Anda di halaman 1dari 4

Smart Government Untuk Smart Governance Mewujudkan Smart Village

(Anis Juniar)

Transformasi digital merupakan fenomena yang niscaya terjadi dan tidak dapat
dihindari oleh berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah dalam dunia
pemerintahan, baik sektor sentral (pemerintah pusat) hingga sektor yang paling
bawah (grassroot) yakni desa. Mengetahui hal ini, tentunya digital adalah sebuah
bonus zaman yang perlu dimanfaatkan oleh pemerintah, (dalam hal ini) khususnya
pemerintah desa. Terlebih, mengingat bahwa masyarakat di tahun-tahun
belakangan hingga beberapa tahun ke depan akan didominasi oleh generasi digital,
yaitu generasi millennial (gen Y), generasi Z, dan generasi alpha.
Pemanfaatan digital dalam pemerintahan desa, yang disebut dengan Digital
Government, merupakan pengembangan dari konsep e-government (electronic
government) dengan lebih menitikberatkan pada keikutsertaan masyarakat pada
pengumpulan dan pemanfaatan data. Electronic government yaitu pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pemerintahan. Fungsinya ialah
untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan pelayanan publik.
Namun, dengan perkembangan yang terus terjadi, konsep digital government atau
e-government kini lebih cocok kita sebut dengan istilah Smart Governance (tata
kelola pemerintahan yang pintar). Smart governance adalah konsep sekaligus
praktik tentang bagaimana mengelola manajemen dan tata pamong/pemerintahan
dan layanan publik secara lebih cepat, efisien, efektif, responsif, komunikatif, dan
terus melakukan peningkatan kinerja birokrasi melalui inovasi dan adopsi teknologi
yang terpadu. Pereira (2018), mendefinisikan smart governance sebagai
kemampuan pemerintah untuk membuat keputusan yang baik melalui dukungan
teknologi informasi dan tata kelola kolaboratif.
Salah satu ciri smart governance adalah pola, budaya, dan proses bisnis birokrasi
internal pemerintah dan layanan publik yang menjadi lebih ringkas, cepat, mudah,
responsif dan komunikatif, serta efisien waktu, biaya, dan usaha.
Dalam lingkup luas, seperti kabupaten atau kota, sering kita dengar istilah smart
city. Dalam lingkup yang lebih kecil seperti desa, kita akan menggunakan istilah
smart village (desa pintar). Menurut Supangkat et al., (2015), smart village adalah
desa yang mampu memahami permasalahan dan mampu mengatur sumber daya
yang dimilikinya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada serta
mengoptimalkan potensinya agar penduduknya merasa nyaman, aman, dan
berkelanjutan. Konsep smart village mengadopsi prinsip-prinsip smart city, yaitu:
budaya, etika, dan norma; ramah lingkungan; berkelanjutan; kemitraan; ekonomis,
efisien, dan efektif; bagi-pakai layanan; kepentingan publik; adaptif; dancitizen
centric (Djunaedi et al., 2018). Seiring dengan perkembangannya, konsep smart
city diadopsi ke dalam lingkup yang lebih kecil, yaitu smart village. Namun dalam
implementasinya, konsep smart village ini dipahami secara berbeda-beda.
Akibatnya, setiap daerah menggunakan indikator yang berbeda pula dalam
penerapannya (Herdiana, 2019).

1
Dalam smart village, jantung pembangunannya adalah terletak pada smart
governance. Dengan adanya tata kelola pemerintahan desa yang pintar, muncul
upaya-upaya inovatif yang dilakukan ekosistem desa dalam mengatasi berbagai
persoalan dan meningkatkan kualitas hidup manusia dan komunitas setempat,
sumber daya alam, serta anggarannya. Smart village menjadi kawasan yang dapat
mengelola berbagai macam sumber daya secara efektif dan efisien untuk
menyelesaikan berbagai tantangan yang ada di era digital. Tantangan tersebut
berupa program dan permasalahan prioritas yang perlu penanganan cepat dan tepat
guna meningkatkan kualitas layanan, meningkatkan produktivitas, dan daya saing.
Dalam merealisasikan konsep smart governance untuk mewujudkan smart village
ini dibutuhkan smart government (pemerintah desa yang pintar) dan juga smart
society (masyarakat yang cerdas). Cerdas disini bukan menitikberatkan pada
kepandaian akademik, tapi lebih kepada cerdas IT. Masyarakat Indonesia memiliki
tingkat literasi digital yang berbeda berdasarkan karakter wilayah. Sebagai daerah
dengan roda perekonomian yang relatif lebih maju, literasi digital masyarakat
perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan. Berdasarkan survei Status
Literasi Digital Indonesia 2021 yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC)
dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), responden di daerah
perkotaan (urban) yang memiliki indeks literasi digital tinggi sebesar 52,5 persen.
Artinya, terdapat selisih sebesar 2,7 persen dibandingkan dengan perdesaan alias
kawasan rural. Pasalnya, di desa, porsi masyarakat dengan tingkat literasi digital
tinggi sekitar 49,8 persen. Literasi digital tersebut diukur merujuk kepada pilar
digital skills, digital ethics, digital safety, dan digital culture. Selisih yang relatif
tipis di antara porsi masyarakat yang melek digital di perkotaan dan perdesaan
menunjukkan semakin merata perkembangan daya saing digital di Indonesia.
Selaras dengan indeks literasi digital, laporan East Ventures - Digital
Competitiveness Index (EV-DCI) yang disusun bersama dengan KIC dan PwC
Indonesia pada 2022 juga menunjukkan pola yang sama.
Pemerintah dan masyarakat yang cerdas akan teknologi, nantinya akan
memudahkan proses-proses dalam mencapai smart governance. Dalam hal ini,
smart governance harus dapat dimplementasikan ke dalam tiga unsur dalam tata
kelola, yaitu pelayanan (service), birokrasi (bureaucracy), dan kebijakan (policy).
Inisiatif pembangunan smart governance dilakukan pada beberapa indikator
sebagai berikut:
a. Pelayanan Publik (Public Service)
Pelayanan administrasi kepada masyarakat: produk ini meliputi status
kewarganegaraan, status usaha, sertifikat kompetensi, kepemilikan, atau
penguasaan atas barang. Wujud dari produk tersebut adalah dokumen -
dokumen resmi seperti SIUP, ijin trayek, ijin usaha, akta, kartu tanda
penduduk, sertifikat tanah, dan lain sebagainya. Peningkatan penyediaan
sarana prasarana dan monitoring penyediaan kebutuhan bahan pokok untuk
masyarakat misalnya sembilan bahan pokok, air bersih, dan lain-lain.
Peningkatan penyediaan sarana prasarana dan monitoring penyediaan
kebutuhan jasa pokok bagi masyarakat misalnya jaringan telepon, listrik,
internet, dan lain-lain.

2
b. Manajemen Birokrasi Yang Efisien (Bureaucracy)
Tata kelola birokrasi yang berorientasi pada keadilan (fairness),
bertanggung-jawab (accountability) dan keterbukaan (transparency).
Misalnya: sistem e-planning, e-budgeting, e-monev dan lain-lain.
Pengembangan aplikasi e-gov harus diarahkan menuju integrated & inter-
operability e-gov atau yang saling berkomunikasi dan terhubung antar satu
aplikasi dengan aplikasi lainnya serta lintas OPD atau yang disebut dengan
Smart e-Gov. Pelayanan Smart e-Gov ini perlu didukung dengan sebuah
"Village Operation Center (VOC)".

c. Efisiensi Kebijakan Publik (Public Policy)


Pengambilan kebijakan publik dengan mengutamakan pada aspek yang
memberikan dampak positif bagi masyarakat melalui mekanisme
mendengarkan aspirasi masyarakat secara berkesinambungan. Sistem
informasi kebijakan pemerintah (Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah) yang dapat diakses oleh masyarakat dengan mudah.

Target dari smart governance ini adalah untuk mewujudkan tata kelola birokrasi
pemerintahan yang cerdas (smart bureaucracy), dengan mengintegrasikan seluruh
aplikasi penyelenggara pemerintahan mulai e-planning, e-budgeting, SPSE, monev
KU, sakip KU dalam Sistem Informasi Eksekutif (Dashboard). Yang tak kalah
penting adalah mengenai surat menyurat, dengan menggunakan e-surat atau e-
office yang menyediakan ruang secara elektronik untuk mempermudah akses
pembuatan surat atau permintaan surat. Selain itu juga perlu mengintegrasikan data
WebGIS, diantaranya terkait kondisi jalan, sarana pengairan, lokasi sekolah,
fasilitas kesehatan, pendidikan, dan sosial.
Optimalisasi aplikasi perangkat desa dengan cara mengembangkan sistem
informasi desa dan aplikasi laporan keuangan desa. Selanjutnya, optimalisasi
aplikasi Geoportal untuk meningkatkan kualitas penataan ruang dan data spasial.
Serta masih banyak yang lain.

Selain untuk mewujudkan tata kelola birokrasi pemerintahan yang cerdas, smart
governance ini memiliki target meningkatkan kualitas layanan publik (smart public
service), dengan memgoptimalkan aplikasi IzinKu dalam layanan perizinqn yang
telah berbasis NIK, tracking dokumen, tanda tangan digital, serta respon kepuasan
pelanggan. Supaya tidak terlalu ‘njlimet’, perlu dibangun command center sebagai
tempat pemantauan terpadu berbagai pelayanan publik. Untuk memudahkan
masyarakat desa mengajukan pengaduan, perlu dioptimalkan pula LAPOR, yang
mengintegrasikan aduan dari seluruh layanan publik yang ada. Selain semua itu,
asa juga layanan izin praktek dokter, bidan, dan industri rumah tangga secara
online. Supaya seluruh aplikasi diatas bisa diakses seluruh masyarakat, maka harus
dipastikan bahwa seluruh layanan publik harus terhubung dengan data ware house
kependudukan. Untuk memudahkan pembuatan akta kelahiran, perlu ada aplikasi
layanan akta kelahiran yang terintegrasi dengan seluruh fasilitas kesehatan. Banyak
lagi layanan-layanan lain seperti KIR Online yang dapat melayani booking,
pemeriksaan, dan status kendaraan. Aplikasi Monev Penyedia sebagai mekanisme

3
kontrol progres fisik dan keuangan kontrak. E-PBB untuk memudahkan
pembayaran, pengecekan status pembayaran. E-PDAM untuk mempermudah
pembayaran dan pengcekan status PDAM. Pendaftaran Online Poliklinik untuk
booking layanan pemeriksaan, serta Sidalmentel, yakni aplikasi perizinan dan
retribusi menara telekomunikasi

Dari penjabaran-penjabaran diatas, Hari Kusdaryanto mengatakan bahwa, Smart


Village itu bukan untuk banyak-banyakan membuat aplikasi (Setiap bagian
membuat aplikasinya masing-masing), namun yang terpenting justru semangat
inovasi yang harus ada diberbagai desa. Karena dengan kompleksitas permasalahan
desa dan keterbatasan periode kepemimpinan desa di satu sisi, dan di sisi lain
keterbatasan anggaran dan sumber daya desa yang ada, jelas tidak mungkin
Pemimpin Desa dan Kepala Bagian memakai pendekatan biasa. Setiap Pemimpin
Desa dan Kepala Bagian perlu strategi dan pendekatan inovatif (keluar dari pakem
kebiasaan) dan solutif namun tetap sesuai dengan peraturan yang ada.

Teknologi dalam smart village hanya sebagai penunjang. Yang terpenting adalah
kepala desa yang mampu memaksimalkan teknologi dan berinovasi. Teknologi bisa
dibeli, tapi kecerdasan harus timbul daripada kemampuan kepala desa itu untuk
mengelola segala macam teknologi yang kemudian bermanfaat untuk masyarakat.
Jangan hanya terpukau dengan istilah kota cerdas, yang penting dikembangkan
adalah kepala desa dan warga desa yang cerdas.

Daftar Pustaka

Aulia, S., & dkk. (2020). Implementasi Smart Governance Berdasarkan Konsep
Smart Village. Jurnal PIKOM (Penelitian Komunikasi dan Pembangunan),
Vol. 21 No. 2 Desember 2020.
Gede, A.W., & dkk. (2020). Sistem Digital Tata Kelola Pemerintahan Daerah.
Public Inspiration: Jurnal Administrasi Publik, 5 (1) (2020), 58.
Sartika, A., & dkk. (2021). Tata Kelola Pemerintahan Desa Bina Baru Berbasis E-
Government Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik di Era Industri 4.0.
Jurnal Praja, Volume 9 Nomor 3 Edisi Oktober 2021.

“Indonesia dan Konsep Pemerintahan Digital” di https://inet.detik.com/indonesia-


dan-konsep-pemerintahan-digital
“Indeks Literasi Digital Berdasarkan Wilayan Di Indonesia di
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/12/indeks-literasi
digital-berdasarkan-wilayah-di-indonesia
“From E-Government to Smart Government” di
https://kominfo.magetan.go.id/from-e-goverment-to-smart-goverment/
“Smart Governance” di http://smartcity.kulonprogokab.go.id/smart_governance
“Smart Government” di https://data.bimakota.go.id/smart-government

Anda mungkin juga menyukai