Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TAHAPAN KONSELING KELUARGA DAN KETERAMPILAN

INDIVIDUAL KONSELOR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Bimbingan dan Konseling Keluarga

Dosen Pengampu: Tiara Agustine, S.Pd., M.Ed.St

Disusun oleh:

Aldy Rizqi Gumilar (20010252)

Chintia Pratiwi (20010147)

M. Rizki Azmi (20010177)

Putry Mustika Pratama Soleh (20010288)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) SILIWANGI

CIMAHI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-

Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Tahapan

Konseling Keluarga dan Keterampilan Individual Konselor. Ini tepat pada waktunya

Adapun tujuan dari penulisan ini dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas

dosen Ibu Tiara Agustine, S.Pd., M.Ed. St pada mata kuliah Bimbingan dan Konseling

Keluarga Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang

konsep inovasi bimbingan dan konseling bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada dosen Bimbingan dan Konseling

Keluarga yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan

wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi

sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh

karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan

makalah ini.

Bandung, 02 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB 1 .................................................................................................................. iv
PENDAHULUAN ............................................................................................... iv
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... iv
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. v
1.3 Tujuan Pembahasan............................................................................... v
1.4 Manfaat Makalah .................................................................................. vi
BAB II................................................................................................................... 1
PEMBAHASAN ................................................................................................... 1
2.1. Proses dan Tahapan Konseling Keluarga ............................................ 1
2.1.1 Pengembangan Raport ............................................................................ 2
2.1.2 Pengembangan Apresiasi Emosional ...................................................... 5
2.1.3 Pengembangan Alternatif Modus Perilaku ............................................. 5
2.1.4 Fase Membina Hubungan Konseling ...................................................... 7
2.1.5 Memperlancar Tindakan Positif .............................................................. 8
2.2. Teknik-Teknik Konseling Keluarga ..................................................... 9
2.2.1 Teknik Konseling Keluarga dalam Pendekatan Sistem .......................... 9
2.2.2 Skill Individual yang Perlu Dikuasai Konselor ..................................... 11
2.2.3 Keterampilan Untuk Menyenangkan dan Menangani Krisis ............... 13
2.2.4 Keterampilan untuk Mengadakan Tindakan Positif dan Perubahan
Perilaku Konseli .................................................................................................. 16
BAB III ............................................................................................................... 18
PENUTUP .......................................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 19

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri,
atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU 52
Tahun 2009. Dalam hal ini ada tiga bentuk keluarga yaitu: Nuclear Family, Extended
Family dan Blended Family. Helmawati (2014) menjelaskan bahwa keluarga
merupakan lingkungan pertama bagi anak. Di dalam lingkungan keluarga anak
pertama-tama mendapatkan berbagai pengaruh (nilai). Oleh karena itu, keluarga
merupakan lembaga pendidikan tertua yang bersifat informal dan kodrati. Ayah dan
ibu dalam keluarga sebagai pendidiknya dan anak sebagai siterdidiknya. Jika karena
suatu hal anak terpaksa tidak tinggal di lingkungan keluarga yang hidup bahagia, anak
tersebut masa depannya akan mengalami kesulitan baik di sekolah, masyarakat maupun
kelak sebagai suami istri di dalam lingkungan kehidupan berkeluarga.

Istilah bimbingan, adalah proses pemberian bantuan kepada individu atau


kelompok untuk memahami dan menggunakan secara luas kesempatan-kesempatan
pendidikan, jabatan, dan pribadi yang mereka miliki untuk dapat mereka kembangkan,
dan sebagai satu bentuk bantuan yang sistemik melalui dimana individu dibantu untuk
dapat memperoleh penyesuaian yang baik terhadap lingkungan dan kehidupan dimana
individu tersebut berada (Dunsmoor & Miller, dalam McDaniel, 1969 dalam
Faizah,2017).

Istilah konseling berasal dari kata councel yang artinya bersama atau bicara
bersama. Pengertian berbicara bersama dalam hal ini adalah pembicaraan konselor
dengan konseli atau beberapa konseli. Dengan demikian konseling berarti: “people
coming together to gain an understanding of problem that beset them were evident
“(Baruth dan Robinson, 1987 dalam Faizah, 2017).

iv
Menurut Golden dan Sherwood konseling keluarga adalah metode yang
dirancang dan difokuskan pada masalah-masalah keluarga dalam usaha untuk
membantu memecahkan masalah pribadi konseli. Masalah ini pada dasarnya bersifat
pribadi karena dialami oleh konseli sendiri. Akan tetapi, konselor menganggap
permasalahan yang dialami konseli tidak semata disebabkan oleh konseli sendiri
melainkan dipengaruhi oleh sistem yang terdapat dalam keluarga konseli sehingga
keluarga diharapkan ikut serta dalam menggali dan menyelesaikan masalah konseli.
Konseling keluarga memandang keluarga sebagai kelompok tunggal yang tidak dapat
terpisahkan sehingga diperlukan sebagai satu kesatuan. Maksudnya adalah apabila
terdapat salah satu anggota keluarga yang memiliki masalah maka hal ini dianggap
sebagai symptom dari sakitnya keluarga, karena kondisi emosi salah satu anggota
keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga yang lainnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian antara lain:

1. Bagaimana Proses dan Tahapan Konseling Keluarga?


2. Apa saja Teknik-teknik Konseling Keluarga?
3. Apa saja dan Bagaimana Keterampilan Individual dalam diri Konselor?

1.3 Tujuan Pembahasan


Sejalan dengan rumusan masalah diatas, makalah ini disusun dengan tujuan
untuk mengetahui dan mendeskripsikan:

1. Memberikan Pemahaman mengenai bagaimana proses dan tahapan


konseling keluarga.
2. Memberikan penekanan pentingnya proses dan tahapan konseling keluarga
dengan Teknik-teknik yang ada.
3. Pentingnya peranan konselor yang memiliki keterampilan individual yang
baik.

v
1.4 Manfaat Makalah
Makalah ini disusun dengan harapan agar memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai Bimbingan
dan Konseling Keluarga dalam pemberian layanan bagi keluarga untuk berkembang
lebih baik.

vi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Proses dan Tahapan Konseling Keluarga


Proses konseling keluarga berbeda dengan konseling individual karena
ditentukan oleh berbagai faktor seperti jumlah konselinya (anggota keluarga) lebih dari
seorang. Relasi antar anggota keluarga amat beragam dan bersifat emosional, dan
konselor harus melibatkan diri (partisipan penuh) dalam dinamika konseling keluarga.

Berdasarkan kenyataan, ada lima jenis relasi atau hubungan dalam konseling
keluarga, yaitu:

1. Relasi seorang konseli dengan konselor.


2. Relasi satu konseli dengan konseli lainya.
3. Relasi konselor dengan sebagian kelompok anggota keluarga.
4. Relasi konselor denagn keseluruhan anggota keluarga, dan
5. Relasi antar sebagian kelompok dengan sebagian kelompok anggota lain,
misalnya ibu memihak anak laki-laki dan ayah memihak anak perempuan.
Konselor keluarga diharapkan mempunyai kemampuan profesional untuk
mengantisipasi perilaku keseluruhan anggota keluarga yang terdiri dari berbagai
kualitas emosional dan kepribadiannya. Konselor yang profesional mempunyai
karakteristik yaitu:

1. Ilmu konseling dan ilmu lain yang berkaitan dan berwawasan.


2. Keterampilan konseling, dan
3. Kepribadian konselor yang terbuka, menerima dan ceria
Dengan kemampuan-kemampuan ini, diharapkan konselor dapat melakukan
tugasnya dalam beberapa hal yaitu:

1
1. Mampu mengembangkan komunikasi antara anggota keluarga yang tadinya
terhambat oleh emosi-emosi tertentu;
2. Mampu membantu mengembangkan penghargaan anggota keluarga
terhadap potensi anggota lain sesuai dengan realitas yang ada pada dini dan
lingkungannya;
3. Dalam hubungan konseling, konseli berhasil menemukan dan memahami
potensi, keunggulan, kelebihan yang ada pada dirinya dan mempunyai
wawasan dan alternatif rencana untuk pengembangannya atas bantuan
semua anggota keluarga;
4. Mampu membantu agar konseli dapat menurunkan tingkat hambatan
emosional dan kecemasan serta menemukan, memahami, dan memecahkan
masalah dan kelemahan yang dialaminya dengan bantuan anggota lainnya.
Untuk melaksanakan keempat tugas konselor keluarga seperti yang
dikemukakan tadi, penting sekali adanya proses konseling yang berjalan
secara bertahap. Dalam proses konseling itu, komunikasi konselor dengan
konseli/anggota keluarga, dan komunikasi antara anggota keluarga, adalah
wahan yang amat penting yang diwarnai oleh suasana afektif dan interaksi
yang mengandung kualitas emosional, akan tetapi lama-kelamaam berubah
menjadi perilaku rasional.

2.1.1 Pengembangan Raport


Hubungan konseling pada tahap awal seharusnya diupayakan
pengembangan rapport merupakan suasana hubungan konseling yang akrab,
jujur, saling percaya, sehingga menimbulkan keterbukaan diri konseli. Upaya
pengembangan rapport seyogiyanya telah dimulai begitu konseli memasuki
ruang konseling. Hal ini dapat dilakukan jika konselor mamiliki kemampuan
untuk mengembangkannya. Upaya itu ditentukan oleh aspek-aspek diri
konselor yakni:
1. Kontak mata,

2
2. Perilaku non-verbal (perilaku attending, bersahabat/akrab, hangat,
luwes, keramahan, senyum, menerima, jujur/asli, penuh perhatian,
dan terbuka), dan
3. Bahasa lisan/verbal (sapaan sesuai dengan teknik-teknik konseling),
seperti ramah menyapa, senyum, dan bahasa lisan yang halus.
Tujuan menciptakan suasana rapport dalam hubungan konseling adalah agar
suasana konseling itu merupakan suasana yang memberikan keberanian dan
kepercayaan diri konseli untuk menyampaikan isi hati, perasaan, kesulitan dan bahkan
rahasia batinnya kepada konselor.

Akan tetapi menciptakan rapport di dalam hubungan konseling tidaklah begitu


mudah karena sering mengalami berbagai kendala Kendala-kendala itu diungkapkan
oleh Perez (1979:29) sebagai berikut:

1. Konselor kurang mampu menstabilkan emosinya sehubungan dengan latar


belakang kehidupannya yang banyak masalah. Sebagai manusia, sering
konselor terpengaruh suasana sosial psikoligis dan emosional di
sekelilingnya, misalnya suasana keluarga, iklim tempat kerja, dan jabatan
yang dipegangnya terutama jika konselor itu seorang guru. Guru
mengharuskan dirinya senang mengatur bahkan mendikte siswa. Ciri atau
sikap seperti itu menyulitkan dalam menciptakan rapport. Jika konselor
tidak dapat menguasai emosi egonya, dan jika selalu dalam ketidakstabilan
emosi, maka konselor seperti itu tidak akan efektif, bahkan mungkin dapat
lebih merusak konseli.
2. Konselor yang terikat dengan sistem nilai yang dianutnya secara sadar atau
tidak mampu mempengaruhi sistem nilai konseli. Jika sistem nilai konselor
dan konseli memang sama, misalnya sesama penganut agama Islam,
memberikan nasihat peluang yang sangat baik bagi konselor memberi
bantuan secara agama, atau nasehat sesuai dengan ajaran agama. Akan
tetapi jika konselor dan konseli jelas-jelas beda sistem nilai, maka kurang
pantas konselor memaksakan atau "mengkampanyekan" sistem nilainya

3
terhadap konseli. Demikian pula dalam hal-hal seperti nila budaya tertentu
yang dianut demikian kokoh oleh konseli, maka konselor harus berhati-hati,
sebab jika ia menilai, maka hubungan konseling tidak akan memberikan
hasil yang efektif.
3. Konselor dihantui oleh kelemahan teori dan teknik konseling yang ia miliki.
Sebaliknya ada lagi konselor yang fanatik satu aliran konseling dan
menganggap aliran yang lain jelek. Konselor pemula memang sering
dihantui oleh masalah teori dan teknik konseling yang sesuai dalam setiap
fase konseling atau dalam memberikan respon yang akurat sesuai dengan
pernyataan konseli. Masalah ini dapat teratasi jika calon konselor sering
mengadakan latihan wawancara konseling, baik bersama teman maupun
dengan konseli yang sebenarnya. Di samping itu, pendirian yang kaku
dengan satu aliran konseling memang sering menyulitkan konselor. Karena
itu konselor yang bijaksana akan menggunakan pendekatan CSA (creative-
synthesis-analysis) dan eklektisistik (selektif terhadap teori- teori sesuai
keluarga atau konseli yang dihadapi).
Kesulitan lain berada pada pihak eksternal atau pihak konseli yaitu:

1. Jika ada anggota keluarga (seorang, atau beberapa orang) tidak mempunyai
motivasi untuk mengikuti konseling. Mereka akan menghambat jalannya
konseling, betapapun konselor menguasai teori atau teknik, karena mereka
enggan untuk melibatkan diri dalam pembicaraan.
2. Ada konseli yang enggan disebabkan dipaksa oleh orang tua, suami/istri,
polisi, atau pihak lain. Jadi dia hadir kepada konseling keluarga tanpa suka
rela atau keinginan sendiri. Biasanya konseli ini ada yang berpura-pura,
defensif, dan ada pula yang menutup diri sama sekali tehadap konselor,
sehingga sulit bagi konselor untuk mengungkap perasaannya.
3. Ada lagi konseli yang sudah berpengalaman mengikuti berbagai konseling
dari konselor, sehingga seakan-akan dia sudah "kecanduan" untuk

4
mengobrol, dan bukan untuk meminta bantuan dalam pemecahan masalah
yang dihadapinya.

2.1.2 Pengembangan Apresiasi Emosional


Anggota keluarga yang sedang mengikuti konseling keluarga, jika semua
terlibat, akan terjadi interaksi yang dinamik diantara mereka, serta keinginan untuk
memecahkan masalah mereka. Pada saat ini masing-masing anggota keluarga yang
tadinya dalam keadaan terganggu komunikasi atau bahkan dalam keadaan "sakit",
mulai terlihat berinteraksi diantara mereka dan dengan konselor. Mereka mulai mampu
menghargai perasaan masing-masing, dan dengan keinginan agar masalah yang mereka
hadapi dapat mereka selesaikan dihadapan konselor. Hal yang menggembirakan itu
adalah karena kemampuan teknik, penguasaan ilmu, serta kepribadian yang handal dari
konselor.

Ada dua teknik konseling keluarga yang efektif yaitu sculpting dan role
playing. Kedua teknik ini memberikan peluang bagi pernyataan- pernyataan emosi
tertekan, dan penghargaan terhadap luapan emosi anggota keluarga. Dengan demikian,
segala kecemasan dan ketegangan psikis dapat mereda, sehingga memudahkan untuk
treatment konselor dan rencana anggota keluarga.

2.1.3 Pengembangan Alternatif Modus Perilaku


Mungkin ayah menpunyai alternatif perilaku baru yang ia temukan dalam
konseling, misalnya akan berusaha selalu makan bersama pada waktu makan siang.
Dan alternatif perilaku baru pada anak, misalnya tidak akan menginap di rumah teman,
atau tidak pulang malam-malam.

Aplikasi perilaku tersebut dilakukan melalui praktik di rumah. Mungkin


konselor memberi suatu daftar perilaku baru yang akan dipraktikan selama satu
minggu, kemudian melaporkannya pada sesi konseling keluarga berikut. Tugas
tersebut disebut juga home assignment (pekerjaan rumah).

5
Proses konseling dapat terhambat kelancarannya karena faktor tata ruang.
Ruang konseling yang kecil, sumpek, dan tidak menarik akan mengurangi lancarnya
interpersonal-setting dan suasana keintiman di antara anggota keluarga. Dengan bunga,
peralatan yang menarik, cat dinding yang serasi dan peralatan suara, rekaman suara dan
vidio.

Meja konseling sebaiknya di meja tamu yang santai, dan tidak seperti meja
dokter. Kedekatan (nearness) antara konselor dengan konseli lebuh kurang 75 cm.
Penggunaan rekaman suara juga bisa menghambat jalannya konseling, karena konselor
merekam tanpa izin konseli sehingga timbul keraguan kalau-kalau rahasianya terbuka.
Juga ketidakpercayaan konseli terhadap konselor, hal mana amat penting dalam proses
konseling,

Jadi sekiranya konselor akan merekam dengan tape-recorder dan video


jalannya wawancara koseling itu, harus meminta izin terlebih dahulu kepada konseli,
dan konseli bisa mendengarkan kembali responnya, kemungkinan ada yang sesuai dan
ada yang kurang sesuai dengan tujuan konseling, Kemudian konselor dan konseli dapat
mendiskusikan hasil rekaman tersebut.

Hal yang mungkin bisa menghambat proses konseling adalah jika konselor
mencatat sambil mewawancara Konselor kurang perhatiannya dengan duduk yang
tidak menghadapkan muka dan memainkan benda-benda seperti pensil diketokan di
meja,kaki bergoyang-goyang, duduk kurang sopan dan lain-lain.

Proses konseling lainnya adalah jika konseli seseorang anak yang menghadapi
masalah dikeluarga yang dibawa ke sekolah dengan perilaku salahsuai. Jadi bukan
keuarganya yang dikonseling akan tetapi anak itu sendiri. Hal ini bisa terjadi juga
karena keluarga itu enggan datan ke ruang konseling, merasa malu urusan keluarga
diurus konselor, atau merasa harga diri jatuh karena satu keluarga diselesaikan oleh
orang lain. Proses konseling ini berjalan seperti konseling individual, akan tetapi
konselor berusaha memberi ketahanan kepada konseli agar dengan perilaku barunya
itu ia bisa memberikan dampak positif bagi interaksi di dalam keluarga.

6
Menurut Brammer (1979.51) pada prinsipnya proses konseling itu terdiri atas
dua fase dasar yakni (1) fase membina hubungan konseling, dan (2) memperlancar
tindakan positif.

2.1.4 Fase Membina Hubungan Konseling


Fase ini amat penting di dalam proses konseling, dan keberhasilan tujuan
konseling secara efektif ditentukan oleh keberhasilan konselor dalam membina
hubungan konseling itu. Fase ini harus terjadi di tahap awal dan tahap berikutnya dari
konseling yang ditandai dengan adanya rapport sebagai kunci lancarnya hubungan
konseling. Di samping itu, sikap konselor amat penting selain teknik konseling

Sikap Sikap yang penting dari konselor adalah:

1. Acceptance, yaitu menerma konseli secara ikhlas tanpa mempertim


bangkan jenis kelamin, derajat, kekayaan, dan perbedaan agama. Di
samping itu konseli diterima dengan segala masalahnya, kesulitan, dan
keluhan serta sikap-sikapnya baik yang positif maupun negatif.
2. Unconditional positive regard, artinya menghargai konseli tanpa syarat
menerima konseli apa adanya, tanpa dicampuri sikap menilai, mengejek,
atau mengeritik.
3. Understanding, yaitu konselor dapat memahami keadaan konseli
sebagimana adanya.
4. Genuine, yaitu bahwa konselor itu asli dan jujur dengan dirinya sendiri,
wajar dalam perbuatan dan ucapan.
5. Empati, artinya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain
(konseli).
Secara berurutan, proses hubungan konseling dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Konseli memasuki ruang konseling, konselor mempersiapkan konseli


supaya siap dibimbing, dibantu. Berarti hubungan konseling telah dimulai
2. Tahap klarifikasi, konseli menyatakan alasan kedatangannya mengungkap
pengalaman konseli tentang konseling sebelumnya, mengungkap harapan-

7
harapan konseli dalam wawancara konseling yang akan dilaksanakan,
menyatakan makna konseling.
3. Tahap struktur, konselor mengadakan kontrak dengan konseli tentang
lamanya waktu yang akan digunakan, tentang biaya konseling tentang
kerahasiaan, tentang boleh tidaknya direkam.
4. Tahap meningkatkan relasi atau hubungan konseling, pada tahap ini
konselor membangun hubungan konseling untuk memudahkan bagi
pemberian bantuan kepada konseli.

2.1.5 Memperlancar Tindakan Positif


Fase ini terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:

1. Eksplorasi, mengeksplorasi dan menelusuri masalah, menetapkan tujuan


konseling, menetapkan rencana strategis, mengumpulkan fakta,
mengungkapkan perasaan-perasaan konseli yang lebih dalam, mengajarkan
keterampilan baru konsolidasi, menjelajah alternatif- alternatif,
mengungkap perasaan-perasaan, melatih skill yang baru.
2. Perencanaan, mengembangkan perencanaan bagi konseli sesuai dengan
tujuan untuk memecahkan masalah, mengurangi perasaan-perasaan yang
menyedihkan/ menyakitkan, terus mengkonsolidasi skill baru atau perilaku
baru untuk mencapai aktivitas diri konseli.
3. Penutup, mengevaluasi hasil konseling, menutup hubungan konseling
Secara garis besar, tahapan konseling dapat dibagi atas tiga bagian yaitu:

1. Tahap awal konseling,


2. Tahap pelaksanaan konseling yaitu dimulainya penjelajahan terhadap
masalah konseli,
3. Tahap perencanaan dan penutupan.
Biasanya kesulitan terjadi pada tahap awal konseling, terutama bagi konselor
pemula. Di samping itu, penggunaan respon yang tepat, sesuai dengan isi pernyataan
konseli juga merupakan masalah yang merepotkan konselor pemula. Karena itu usaha

8
ke arah pemantapan keterampilan konseling merupakan hal yang perlu dilakukan
dengan sungguh-sungguh.

2.2.Teknik-Teknik Konseling Keluarga


Teknik Konseling yaitu bagaimana cara yang tepat bagi konselor untuk
memahami dan merespon keadaan konseli, terutama emosinya, dan bagaimana
melakukan tindakan positif dalam usaha perubahan perilaku kien ke arah positif. Sesuai
dengan pendekatan-pendekatan yang telah dikemukakan di bab-bab yang lalu, maka
ada dua pendekatan yang akan dikemukakan, berikut teknik-teknik-konseling yang
sesuai dengan pendekatan tersebut.

2.2.1 Teknik Konseling Keluarga dalam Pendekatan Sistem


Pendekatan sistem yang dikemukakan oleh Perez (1979) mengembangkan
sepuluh teknik konseling keluarga, yaitu:

1. Sculpting (mematung) yaitu suatu teknik yang mengizinkan anggota-anggota


keluarga untuk menyatakan kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai
masalah hubungan diantara anggota-anggota keluarga. Konseli diberi izin
menyatakan isi hati dan persepsinya tanpa rasa cemas. Sculpting digunakan
konselor untuk mengungkapkan konflik keluarga melalui verbal, untuk
mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui verbal, untuk
mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui tindakan
(perbuatan). Hal ini bisa dilakukan dengan "the family relationship tabelau" yaitu
anggota keluarega yang "mematung", tidak memberikan respons apa-apa, selama
seorang anggota menyatakan perasaanya secara verbal.
2. Role playing (bermain peran) yaitu suatu teknik dengan memberikan peran tertentu
kepada anggota keluarga. Peran tersebut adalah peran orang lain di keluarga itu,
misalnya anak memainkan peran sebagai ibu. Dengan cara itu anak akan terlepas
atau terbebas dari perasaan-perasaan penghukuman, perasaan tertekan dan lain-

9
lain. Peran itu kemudian bis dikembalikan lagi kepada keadaan yang sebenarnya
jika ia menghadapi suatu perilaku ibunya yang mungkin kurang la sukai.
3. Silence (diam) apabila anggota keluarga berada dalam konflik dan frustrasi karena
ada salah satu anggota lain yang suka bertindak kejam, maka biasanya mereka
datang ke hadapan konselor dengan tutup mulut. Keadaan ini harus dimanfaatkan
konselor untuk menunggu suatu gejala perilaku yang akan muncul menunggu
munculnya pikiran baru, respons baru, atau ungkapan perasaan baru. Disamping itu
diam juga digunakan dalam menghadapi konseli yang cerewet, banyak omong dan
lain- lain.
4. Confrontation (konfrontasi) ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk
mempertentangkan pendapat-pendapat angota keluarga yang terungkap dalam
wawancara konseling keluarga. Tujuannya agar anggota keluarga itu bisa bicara
terus terang dan jujur serta akan menyadari perasaan masing-masing. Contoh
respons konselor. "siapa biasanya yang banyak omong?", konselor bertanya dalam
situasi yang mungkin saling tuding.
5. Teaching via Questioning ialah suatu teknik mengajar anggota keluarga dengan
cara bertanya. "bagaimana kalau sekolahma gagal?"; "apakah kau senang kalau
ibumu menderita?".
6. Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan seorang anggota
keluarga didenggarkan dengan sabar oleh yang lain. Konselor menggunakan teknik
ini untuk mendengarkan dengan perhatian terhadap konseli. Perhatian tersebut
terlihat dari cara duduk konselor yang menghadapkan muka kepada konseli, penuh
perhatian terhadap setiap pernyataan konseli, tidak menyela selagi konseli bicara
serius.
7. Recapitulating (mengikhitisarkan) teknik ini dipakai konselor untuk
mengikhtisarkan pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga,
sehingga dengan cara itu kemungkinan pembicaraan akan lebih terarah dan
terfokus. Misalnya konselor mengatakan "Rupanya ibu merasa rendah diri dan tak
mampu menjawab jika suami anda berkata kasar".

10
8. Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling kemungkinan konselor akan
menyimpulkan sementara hasil pembicaraan dengan keluarga itu. Tujuannya agar
konseling bisa berlanjut secara progresif.
9. Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau
menjernihkan suatu pernyataan anggota keluarga karena terkesan samar-samar.
Klarifikasi juga terjadi untuk memperjelas perasaan yang diungkap secara samar-
samar. Misalnya konselor mengatakan kepada Jenny: "Katakan kepadanya Jenny,
bukan kepada saya". Biasanya klarifikasi lebih menekankan kepada aspek makna
kognitif dari suatu pernyataan verbal konseli.
10. Reflection (refleksi) yaitu cara konselor untuk merefleksikan perasaan yang
dinyatakan konseli, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya.
"Tampaknya anda jengkel dengan perilaku seperti itu”.

2.2.2 Skill Individual yang Perlu Dikuasai Konselor


Jika pelaksanaan konseling keluarga melalui pendekatan sistem tak mungkin
dilakukan, maka usaha konselor adalah melakukan pendekatan individual terhadap
konseli yang mengalami kasus keluarga. Misalnya siswa yang bermasalah bersumber
dari keluarga. Berhubung kedua orang tuanya sulit untuk di datangkan kesekolah maka
buat pertama kali siswa itu diberi konseling individual. Berikut ini adalah beberapa
teknik konseling individual.

1. Teknik-teknik Yang Berhubungan Dengan Pemahaman Diri


Teknik-teknik yang berkaitan dengan pemahaman diri ini dibagi atas tujuh
kelompok yaitu:

a. Listening skill (keterampilan mendengarkan) Keterampilan ini terdiri dari;


(1) Attending, yaitu pernyataan dalam bentuk verbal dan nonverbal ketika konseli
memasuki ruang konselor,
(2) Paraphrasing, yaitu respon konselor terhadap pesan utama dalam pernyataan
konseli. Respon tersebu merupakan pernyataan ringkas dalam bahasa konselor
sendiri tentang pernyataan konseli,

11
(3) Clarfyng, yaitu pengungkapan diri dan memfokuskan diskusi. Konselor
memperjelas masalah konseli,
(4) Perception checking, yaitu menentukan ketepatan pendengaran konselor.
b. Leading skill (keterampilan memimpin)

Keterampilan ini terdiri dari;

(1) Indirect leading, digunakan dalam awal pembicaraan dimana konselor secara
tak langsung memimpin konseli,
(2) Direct leading, yaitu memberikan konseli dan memperluas diskusi,
(3) Focusing, yaitu memfokuskan pembicaraan, mengawasi keragu-raguan,
memfokuskan pembiacaraan yang menyebar atau bertele-tele atau bersamar-
samar.
(4) Questioning, berhubungan dengan penilikan atau penyelidikan agar konseli
membuka diri dengan pernyataan-pernyataan yang baru.
c. Reflecting skill (keterampilan merefleksi)
(1) Reflecting feeling, yaitu keterampilan merefleksi perasaan konseli;
(2) Reflecting experience, yaitu keterampilan merefleksikan pengalaman konseli
(3) Reflecting content, yaitu keterampilan dalam mengulang ide-ide konseli
dengan bahasa yang lebih segar dan memberikan penekanan.
d. Summarizing skill (keterampilan menyimpulkan)
Yaitu keterampilan konselor dalam menarik kesimpulan-kesimpulan yang
menonjol dari pernyataan konseli.

e. Confronting skill (keterampilan mengkonfrontasi)


(1) Pengenalan perasaan-perasaan dalam diri konselor, konselor sadar akan
pengalaman sendiri dihubungkan dengan pengalaman konseli.
(2) Mengkonfrontasikan pengalaman, perasaan dan pemikiran konseli yang
bertentangan.
(3) Pendapat-pendapat yang mereaksi ekspresi konseli, konselor
mengkonfrontasikan antara pernyataan dengan ekspresi konseli, atau dengan
gerakan tubuh, pandangan mata.

12
(4) Meningkatkan konfrontasi diri
(5) Membuka perasaan-perasaan yang tak jelas (repeating)
(6) Memudahkan munculnya perasaan-perasaan yang tenggelam (associating)
f. Interpreting skill (keterampilan menafsirkan)

Terdiri dari;

a. Pertanyaan penafsiran (interpretive questions), memudahkan munculnya


kesadaran konseli.
b. Fantasi dan metafora (fantasy and metaphor), yaitu mengandaikan,
menyimbolkan ide-ide dan perasaan konseli.
g. Informing skill (keterampilan menginformasikan)
a. Nasehat (advising), yaitu member sugesti dan pandangan berdasarkan
pengalaman konselor.
b. Menginfrmasikan (informing), yaitu memberikan informasi yang valid
berdasarkan keahlian konselor.

2.2.3 Keterampilan Untuk Menyenangkan dan Menangani Krisis


Keterampilan ini berhubungan dengan konseli atau siapa saja yang mengalami
krisis, agar konselor mampu merespon dengan fleksibel, cepat dan aktif, serta
mencapai tujuan-tujuan yang terbatas. Skill ini juga berhubungan dengan usaha
menyenangkan dan konselor sebagai alatnya.

a. Contacting skill (keterampilan mengadakan kontak)


Kontak tersebut bisa berupa kontak mata dan kontak fisik dengan cara
memegang bahu konseli agar dia merasa senang dan aman. Tetapi kontak
tersebut harus didasari oleh kultur, usia, dan keadaan emosinal konseli.
b. Reassuring skill (keterampilan menentramkan hati konseli)
Keterampilan ini merupakan usaha konselor untuk meyakinkan akibat logis
perbuatannya atau pendekatan. Hal ini merupakan hadiah (reward) bagi
konseli dan mengurangi stress atau konfliknya. Tujuan teknik ini untuk
menanamkan kepercayaan diri konseli, memobilisasi kekuatannya, dan

13
mengurangi kecemasan, dan menguatkan perilaku yang diinginkan. Sebagai
contoh: “anda dapat merasakan merasakan lebih baik” “anda dapat
menyelesaikan sendiri masalah anda”.
c. Relaxing skill (keterampilan untuk memberi relax/santai)
Teknik ini berguna untuk menurunkan ketegangan dengan jalan
mengendorkan otot-otot. Teknik relaxation ini dapat dilakukan sebagai
berikut:
1) Tegangkan kedua otot tangan beberapa detik, kemudian kendorkan
perlahan-lahan.
2) Tegangkan otot perut dan dada, kemudian kendorkan perlahan-lahan.
3) Tegangkan otot kaki, kemudia kendorkan perlahan-laha
4) Tegangkan otot muka, kemudian kendorkan perlahan-lahan
d. Crisis interpeving skill (keterampilan mengupas krisis)
Teknik ini bertujuan untuk mengurangi atau meringankan krisis dengan cara
mengubah lingkungan konseli.
e. Developing action alternatives (mengembangkan tindakan alternatif)
Teknik ini adalah mengembangkan alternatif-alternatif dalam mengatasi
krisis. Konselor mendorong dan memberanikan konseli untuk
mempertimbangkan alternatif-alternatif yang mungkin dapat dilakukan
dalam mengatasi krisisnya. Alternatif tersebut hendaknya diarahkan
konselor berdasarkan persepsi yang realistik konseli. Berdasarkan
kenyataan, maka fase mengembangkan tindakan mengambil alternatif dalam
peristiwa konseli yang krisis adalah sebagai berikut:
1) Mengembangkan persepsi realistik konseli terhadap krisis yang
dihadapi konseli.
2) Memberikan dorongan untuk mengurangi ketegangan karena adanya
krisis dan konflik.
3) Mempertimbangkan semua alternative untuk menagatasi krisis tersebut.
4) Membuat suatu komitmen tentang perbuatan yang bertujuan mencapai
keseimbangan yang beralasan dan kesenangan bagi konseli.

14
f. Reffering skill (keterampilan mereferal konseli/merujuk konseli)
Keterampilan ini berhubungan dengan sulitnya bagi konselor untuk
membantu konseli yang krisis. Karena itu konselor harus merefer atau
mengadakan referal kepada seorang yang ahli terhadap kasus konseli
tersebut. Akan tetapi supaya referal itu berhasil, maka beberapa persyaratan
berikut dapat dipenuhi:
1) Usaha kesediaan konseli untuk referal
2) Mengetahui sumber-sumber referral yang tepat dimasyarakat
3) Jujurlah dengan keterbatasan konselor sehingga konseli perlu direferal.
4) Mendiskusikan kemungkinan referral dengan lembaga yang menerima.
5) Bicarakan dengan konseli tentang orang-orang atau lembaga yang
pernah ia datangi minta bantuan.
6) Jika konseli masih muda, mintalah rekomendasi orang tuanya.
7) Katakana dengan jujur kepada konseli bahwa setiap lembaga juga ada
keterbatasannya.
8) Berilah kesempatan kepada konseli atau orang tuanya untuk membuat
perundingan dan perjanjian dengan lembaga baru yang akan
menanganinya.
9) Jangan mengirim informasi kepada lembaga baru tanpa izin tertulis dari
konseli atau orang tuanya.

Mengenai kondisi-kondisi krisis yang mungkin dialami manusia dapat


dibagi atas tiga kategori :
1) Kehilangan suatu (Faktor luar), yaitu:
a. Perceraian
b. Kehilangan pekerjaan
c. Kehilangan harta milik seperti kebakaran, pencurian, anak
meninggal dan lain-lain
d. Mengalami bencana atau malapetaka
e. Terkena hukuman penjara

15
2) Keadaan yang sulit dalam diri, yaitu :
a. Kehilangan harapan
b. Putus asa
c. Depresi
d. Kelelahan karena suasana perang
e. Usaha-usaha bunuh diri
f. Kecanduan narkotika
3) Keadaan transisi, yaitu:
a. Pindah pekerjaan
b. Konflik keluarga
c. Sakit-sakitan
d. Pindah tempat tinggal
e. Ketakutan akan keadaan yang akan datang mengancam

2.2.4 Keterampilan untuk Mengadakan Tindakan Positif dan Perubahan


Perilaku Konseli
Keterampilan ini tampaknya banyak di warnai oleh aliran behavioural therapy
(Terapi prilaku). Tujuannya agar setelah konseling maka konseli mengalami perubahan
prilaku dan mampu melakukan tindakan positif.

Perubahan prilaku ini adalah masalah teknologi, dan bukan masalah system
etika, metode terapi ini mempunyai karakteristik :

a. Pendekatan empirik objektif terhadap tujuan-tujuan konseli


b. Perubahan terhadap lingkungan konseli

Mengingat tujuan yang akan dicapai, maka konselor terapi prilaku dituntut
keahlian khusus. Adapun keterampilan Teknik yang termasuk dalam bagian ini adalah :

a. Modeling (pemodelan)
Modeling adalah metode belajar dengan cara mengalami atau memperhatikan
perilaku orang lain. Tentu model perilaku yang akan ditiru konseli hendaklah yang

16
positif dan sesuai dengan tujuan konseli. Adapun prinsip-prinsip umum penggunaan
teknik modeling adalah sebagai berikut:

1) Tentukan dulu model perilaku mana yang menarik bagi konseli


2) Tentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai
3) Pilihlah model yang dipercaya dan sesuai dengan usia, jenis kelamin dan
budaya bangsa
4) Tentukan cara simulasi dan praktikum modeling itu
5) Buat atau persiapkan dulu format modeling, skrip, dan urutan-urutan
permainan peranan
6) Diskusi dengan konseli tentang reaksi-reaksinya da reaksi-reaksinya
dalam hal perasaan., belajar dan sugesti
7) konseli akan melakukan model itu secara informasi terus menerus hingga
ia berhasil berhasil
b. Rewarding skill (keterampilan memberikan reward atau ganjaran)
Keterampilan ini bertujuan untuk memberikan penguat (reinforcement)
kepada konseli yang;
1) Berhasil mengatasi perilakunya yang kurang baik
2) Mengubah perilaku yang tidak diinginkan oleh konseli
3) Dapat memelihara perilaku yang baik (perilaku baru)
Prinsip umum skill ini adalah :

• Pertama, bahwa reward dan sistem insentif harus dapat


mempertahankan derajat perilaku yang tinggi dalam waktu lama.
• Kedua, reward hendaknya sesuai dengan perilaku yang diinginkan
• Ketiga, reward hendaknya cukup kuat dalam menciptakan perilaku baru
penguat atau reward (hadiah) dapat diberikan diberikan berupa pujian,
semangat, hadiah, benda, senyuman, dan pegangan pada bahu.
c. Contracting skill (keterampilan mengadakan persetujuan dengan konseli)
Kontrak adalah suatu persetujuan (agreement) dengan konseli tentang tugas-
tugas khusus. Peran reward disini amat penting.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Penangan layanan bimbingan dan konseling keluarga tidak akan terwujud jika
konselor tidak memiliki keterampilan dalam pelaksanaan layanannya, konselor harus
memiliki beberapa hal sebelum melaksanakan layanan, diantaranya:

1. Memahami proses dan tahapan layanan bimbingan dan konseling keluarga.


2. Memahami Teknik konseling keluarga secara menyeluruh.
3. Memiliki keterampilan individual sebagai konselor.
Konselor harus memiliki tiga hal diatas, mengapa? agar layanan bimbingan dan
konseling keluarga dapat terlaksana secara sistematis, lancar dan terlihat
profesionalitas diri seorang konselor dalam memberikan layanannya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adison, Joni & Sopian. (2020). PERANAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK


KEDISIPLINAN ANAK KELAS VII DI SMP NEGERI 1 KOTO XI TARUSAN
KABUPATEN PESISIR SELATAN. Jurnal Inovasi Pendidikan Vol.1 No.6
Nopember 2020.

Noer Laela, Faizah. (2017). BIMBINGAN KONSELING KELUARGA DAN REMAJA


EDISI REVISI. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

S.Wilis, Sofyan. (2021). Konseling Keluarga (Family Counseling). Bandung: Alfabeta.

Sunarti, Kustiah & Alimuddin Mahmud. (2016). Konseling Perkawinan dan Remaja.
Makassar: Badan Penerbit Universita Negeri Makassar.

19

Anda mungkin juga menyukai