Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TERAPI KELUARGA KONTEKSTUAL

Disusun Untuk Memenuhi

Tugas Mata Kuliah : Bimbingan dan Konseling Keluarga

Dosen Pengampu : Tiara Agustiane, S. Pd., M. Ed.St

Disusun Oleh :

Afifah Ditasya 20010205

Amelia Solihah 20010188

Hoed Fahmi 20010248

Mahmud Rahmadi 20010328

Siti Nurul Inayah 20010038

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN SILIWANGI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya

sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Model Terapi Konseling

Kontekstual Ini tepat pada waktunya Adapun tujuan dari penulisan ini dari makalah ini adalah

untuk memenuhi tugas dosen Ibu Tiara Agustine, S.Pd., M.Ed. St pada mata kuliah Bimbingan

dan Konseling Keluarga. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan

tentang bimbingan dan konseling Keluarga bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terimakasih kepada dosen Bimbingan dan Konseling Keluarga yang

telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan

bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian

pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Saya menyadari, makalah yang

saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 10 Mei 2023

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar ..................................................................................................................................

Daftar Isi ...........................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................

I. Latar Belakang Masalah ................................................................................................................

II.Rumusan Masalah .........................................................................................................................

III.Tujuan Masalah............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................................

A.Pengertian Terapi Keluarga Kontekstual ......................................................................................

B. Konsep Terapi Keluarga Kontekstual ..........................................................................................

C. Empat Dimensi Realitas Terapi Keluarga Kontekstual................................................................

D. Peran Konselor dalam Terapi Keluarga Kontekstual ...................................................................

E. Proses Konseling dalam Terapi Keluarga Kontekstual ................................................................

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................................

I.Kesimulan .......................................................................................................................................

II.Saran ..............................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konseling keluarga memandang keluarga sebagai kelompok tunggal yang tidak dapat

terpisahkan sehingga diperlukan sebagai satu kesatuan. Maksudnya adalah apabila terdapat

salah satu anggota keluarga yang memiliki masalah maka hal ini dianggap sebagai symptom

dari sakitnya keluarga, karena kondisi emosi salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi

seluruh anggota keluarga yang lainnya. Anggota keluarga yang mengembangkan simptom ini

disebut sebagai “identified patient” yang merupakan product dan kontributor dari gangguan

interpersonal keluarga. Berdasaran keterangan tersebut, Hasnida (repository.

Usu.ac.id/bitstream) mendefinisikan konseling keluarga sebagai suatu proses interaktif yang

berupaya membantu keluarga untuk memperoleh keseimbangan homeostatis (kemampuan

mempertahankan keluarga dalam keadaan seimbang), sehingga anggota keluarga tersebut

dapat merasa nyaman. Untuk memahami lebih jauh lagi tentang konseling keluarga, dengan

keterlibatan seluruh anggota keluarga dalam konseling akan menanamkan rasa tanggung

jawab kepada setiap anggota keluarga untuk memecahkan masalah bersama. Dengan

demikian konseli tidak lagi memecahkan permasalahanya sendiri melainkan memperoleh

dukungan dan kerja sama yang baik dari keluarganya sendiri.

Merujuk pada pengertian konseling keluarga yang telah dikemukakan diatas maka salah

satu intervensi yang dapat digunakan supaya kondisi emosi dan hubungan antar keluarga

berjalan dengan baik adalah dengan menggunakan Terapi Keluarga Kontekstual.


B. Rumusan Masalah

1. Apa Terapi Keluarga Kontekstual?

2. Bagaimana konsep Terapi Keluarga Kontekstual?

3. Apa saja empat dimensi realitas dalam Terapi Keluarga Kontekstual?

4. Apa peran konselor dalam Terapi Keluarga Kontekstual?

5. Bagaimana Proses Konseling Keluarga Kontesktual?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian Terapi Keluarga Kontekstual

2. Mengetahui konsep dari Terapi Keluarga Kontekstual

3. Mengetahui empat dimensi realitas dalam Terapi Keluarga Kontekstual

4. Mengetahui peran konselor dalam Terapi Keluarga Kontekstual

5. Mengetahui proses Konseling Keluarga Kontekstual


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Terapi Keluarga Kontekstual

Ivan Boszormenyi- Nagy adalah pelopor utama terapi kontekstual. Seorang psikiater

dengan pelatihan psikoanalitik yang berimigrasi ke Amerika Serikat dari Hungaria pada

tahun 1948, ia mendirikan Institut Psikiatri Pennsylvania Timur (EPPI) di Philadelphia

pada tahun 1957 sebagai pusat penelitian untuk mempelajari skizofrenia (James Framo,

Geraldine Spark, Gerald Zuk, dan David Rubenstein adalah rekan awal). Setelah

serangkaian panjang upaya gagal untuk menemukan petunjuk biokimia untuk

menjelaskan etiologi gangguan tersebut, Boszormenyi- Nagy dan rekan- rekannya

berfokus pada aspek perilaku dan psikologis skizofrenia, akhirnya beralih ke isu- isu

transgenerasional dalam keluarga.

Terapi keluarga kontekstual adalah model terapi antargenerasi yang merangkul

setidaknya tiga generasi dalam sesi keluarga. Isu- isu seperti kepercayaan, loyalitas,

keadilan, dan hak dibahas selama sesi konseling. Penting untuk dicatat bahwa strategi

yang digunakan dalam terapi kontekstual tidak dimaksudkan untuk menghapus atau

mengurangi dampak dari hubungan masa lalu melainkan dimaksudkan untuk mengenali

pola yang akan mengarah pada perbaikan dan pengayaan hubungan sekarang dan masa

depan (Boszormenyi- Nagy, 1987). Ini dapat diringkas sebagai mengingat masa lalu yang

berbeda untuk menciptakan masa depan yang bebas dan aman.


B. Konsep Terapi Keluarga Kontekstual

1. Entitlement

Konsep dasar terapi kontekstual adalah hak. Menurut Boszormenyi- Nagy (1987), hak

dalam keluarga merupakan dasar dari "kebebasan untuk menikmati hidup, kreativitas dan

keberanian untuk berkomitmen" (hal. 238). Fenomena ini milik individu dan dicapai oleh

setiap anggota keluarga yang berusaha untuk memperhatikan kepentingan dan

kesejahteraan orang lain. Hak dapat bersifat konstruktif atau destruktif. Hak konstruktif

dikembangkan ketika anggota keluarga menerima imbalan yang adil dari pemberian

mereka (pengakuan, pujian, dll.).

Boszormenyi- Nagy mencatat bahwa hak konstruktif memungkinkan individu untuk

mempertahankan kebebasan dan keamanan dalam hidupnya. Orang yang mampu

mendapatkan hak melalui hubungan lebih mampu mengklaim haknya dalam hubungan,

untuk menikmati hidup, termasuk seksualitas, untuk mengambil risiko hubungan baru,

dan bebas dari penyakit psikosomatis atau pola perilaku yang merusak diri sendiri. .

(Bostormenyi- Nagy, 1987. hal. 244)

Hak destruktif (Boszormenyi- Nagy, 1993) mengacu pada luka lama yang dibalas di

masa sekarang dan masa depan yang baru. Misalnya, jika seorang anak dilecehkan di

rumahnya, dia mungkin terluka dan mencari keadilan dan balas dendam. Namun, bila

tidak ada kompensasi yang diberikan dalam keluarga asal, balas dendam ini sering

dilakukan pada hubungan baru. Anak, kemudian sebagai orang dewasa, percaya dia

berhak bertindak atau berperilaku dengan cara ini karena sejarahnya sendiri

(Boszormenyi- Nagy, 1993). Konsekuensi dari realitas destruktif ini dapat berupa

kurangnya penyesalan dalam pernikahan atau perilaku orang tua yang merusak
(Boszormenyi- Nagy, 1987). Dalam banyak kasus, orang- orang yang telah mengalami

hak destruktif dari orang tua atau pasangan mereka menolak untuk menyalahkan mereka

dan sebaliknya, mereka terus mendapatkan hak destruktif melalui "tetap setia, korban

tawanan masa lalu" (Boszormenyi- Nagy, 1987, hal. 245)

2. Loyality

Loyalitas adalah konsep etika kewajiban kepada orang lain dalam hubungan dekat.

Adapun split loyalty terjadi ketika seseorang dipaksa untuk menjadi lebih loyal atau lebih

tidak loyal kepada orang- orang penting dalam hidupnya. Biasanya, itu menandakan

konflik, di mana untuk setia pada satu orang, dia harus tidak setia pada yang lain. Situasi

ini sangat umum dialami oleh anak- anak yang orang tuanya memiliki hubungan yang

tidak percaya dan bermusuhan. Sayangnya, fenomena ini sering terjadi dalam situasi

perceraian, terutama perceraian yang sangat konfliktual di mana terjadi perebutan hak

asuh atau kunjungan. Ini sangat merusak anak- anak saat mereka dewasa dan dapat

menciptakan banyak masalah relasional (Goldenthal, 1993).

3. Parentification

Parentifikasi mengacu pada penyalahgunaan otoritas orang tua dengan terlibat dalam

hubungan asimetris antara orang tua dan anak. Contoh umum termasuk anak- anak yang

dipaksa untuk "mengurus" orang tua mereka, dan anak- anak yang kekanak- kanakan

untuk menjaga identitas orang tua (Boszormenyi- Nagy & Krasner, 1986).

4. Revolving slate

Konsep ini mengacu pada transmisi multigenerasi dari ketidakadilan dan hak

destruktif. Ketika orang tua rusak dan memiliki masalah yang belum terselesaikan dengan

keluarga asalnya, mereka mencari haknya dari anak mereka. Dengan melakukan itu,
mereka merampas hak anak itu sendiri. Ini menciptakan pengulangan ketidakadilan dan

ketidakpercayaan yang sama yang dialami oleh orang tua dalam keluarga mereka dalam

pengalaman anak terhadap keluarganya (Boszormenyi- Nagy & Spark, 1984).

5. Ledger of merits

Ledger of merits digunakan untuk menggambarkan keseimbangan antara memberi

dan menerima dalam suatu hubungan. Setiap individu berkewajiban memberi dan berhak

menerima dari hubungan tersebut (Hargrave, Jennings, & Anderson, 1991). Ketika buku

besar ini seimbang, maka rasa keadilan pada individu terpenuhi. Jika fenomena ini

berlanjut untuk suatu periode, orang mengalami rasa kepercayaan dalam hubungan

(Boszormenyi- Nagy & Krasner, 1980).

Boszormenyi- Nagy (1987) membuat perbedaan yang jelas antara hubungan simetris

dan asimetris. Hubungan orang tua- anak adalah asimetris di mana seorang anak tidak

dapat mengembalikan kepada orang tua semua yang dia terima dari orang tua. Jadi, yang

diharapkan di sini adalah adil tapi tidak setara antara orang tua dan anak. Namun, dalam

hubungan orang dewasa, satu orang berutang kepada orang lain pada dasarnya

pertimbangan yang sama (Boszormenyi- Nagy & Krasner, 1986).

Pendekatan terapi kontekstual memungkinkan konselor untuk memperhatikan

keseimbangan buku besar dalam hubungan keluarga. Ketidakseimbangan dalam sistem

adalah dasar dari rasa sakit, ketidakadilan, dan hilangnya kepercayaan (Goldenthal, 1996).

Ketidakseimbangan ini tercipta jika seseorang terus memberi dan tidak menerima

kembali dari hubungan tersebut. Pada saat yang sama, ketidakseimbangan terjadi jika

seseorang terhalang untuk memberi kepada orang lain (Ducommun- Nagy, 2003).
C. Empat Dimensi Realitas dalam Terapi Keluarga Kontekstual

Terapi kontekstual mengasumsikan bahwa dinamika kunci dari setiap hubungan

adalah kepercayaan, yang dicapai oleh semua anggota keluarga yang saling

mempertimbangkan satu sama lain (Boszormenyi- Nagy & Krasner, 1980). Ini juga

mengasumsikan bahwa akuntabilitas dan keadilan adalah kekuatan penghubung penting

dalam asosiasi relasional (Soyez, Tatrai, Broekaert, & Bracke 2004). Istilah kontekstual

mengacu pada model terapeutik yang memasukkan dimensi etis sebagai pedomannya

(Boszormenyi- Nagy, 1987) dan dihubungkan dengan dimensi fakta lainnya, psikologi

individu, dan interaksi sistemik. Menurut Boszormenyi- Nagy (1987), terapi kontekstual

"memanfaatkan sumber daya kepercayaan yang melekat pada investasi relasional

tersembunyi, alih- alih berfokus pada upaya untuk melawan patologi atau memaksakan

'perubahan' dalam layanan konformitas sosial" ( hal.210).

Pendekatan terapi kontekstual secara historis merupakan proses integratif dari empat

dimensi realitas: fakta, psikologi individu, interaksi sistemik, dan etika relasional.

Bostormenyi- Nagy menulis bahwa keempat dimensi ini "membentuk konteks relasional

dan dinamika fungsi keluarga" (Boszormeng Nagy & Krasner, 1986, hal. 44).

1. Factual (Distiny)

Dimensi ini mewakili fakta tentang kehidupan dan hubungan yang sulit diubah. Ini

mungkin termasuk fakta biologis (usia, jenis kelamin), kondisi medis, fakta sejarah

(kematian ibu saat melahirkan), fakta ras dan budaya, dan informasi pribadi (perceraian,

adopsi, konflik keuangan; Boszormenyi- Nagy , 1987). Pengetahuan tentang fakta- fakta

memungkinkan untuk menyelidiki keseimbangan manfaat yang komprehensif

(Boszormenyi- Nagy, 1987). Tidak semua konseli akan mengenali atau mau mengakui
bahwa fakta spesifik dari riwayat pribadi mereka memiliki pengaruh pada kehidupan

mereka (Hargrave & Plitzer, 2003). Sebagai contoh, seorang konseli mungkin

mengatakan bahwa perceraian orang tuanya tidak berpengaruh pada dirinya meskipun itu

mungkin tidak tergantung pada konselor untuk mengenali dan memastikan fakta- fakta

kehidupan konseli.

2. Individual Psychology

Dimensi ini menggambarkan bagaimana orang mengubah informasi dari lingkungan

eksternal mereka menjadi informasi kognitif, pengalaman, emosi, perasaan, motivasi, dan

ingatan (Hargrave & Pfitzer, 2003). Selama proses ini, seseorang mengembangkan

pandangan tentang diri sendiri, orang lain, dan dunia, serta hubungan di antara mereka,

yang menurut terapi kontekstual, menjadi kepribadiannya. Berbeda dengan dimensi

faktual, psikologi individu bersifat subyektif, artinya dua orang dapat berasal dari latar

belakang yang identik dan memiliki pengalaman yang sama tetapi dapat membentuk

kepribadian individu yang sangat berbeda (Hargrave & Pfitzer, 2003).

3. Systematic Interactions (power alignments)

Dimensi ini berkaitan dengan pola komunikasi dalam hubungan. Dimensi ini

dianggap objektif karena fakta bahwa interaksi sistemik dapat disaksikan. Aturan

keluarga, yang merupakan homeostasis, dan pembentukan peran yang tepat

dikomunikasikan melalui pola interaksi sistemik yang berbeda (Hargrave & Pfitzer,

2003).

4. Relational Ethics ( The balance of fairness)

Etika relasional membedakan terapi kontekstual dari pendekatan terapi lainnya. Ini

berkaitan dengan keseimbangan antara apa yang orang berikan dan apa yang berhak
mereka terima dari orang lain. Boszormenyi- Nagy (1987) menggambarkan proses ini

sebagai berikut:

“Sejauh saya mendapat manfaat dari kontribusi Anda, saya berhutang budi kepada

Anda dan Anda mendapatkan hak di sisi jasa Anda. Kemudian ketika saya berkontribusi

kepada Anda atau setidaknya mengakui kredit Anda, saya mulai mengembalikan saldo

jasa. (hal.207)”

Berbeda dengan penggunaan kata yang lebih umum, dalam terapi keluarga

kontekstual, kata etika tidak mengacu pada persepsi moral atau kriteria apa pun tentang

benar dan salah (Boszormenyi- Nagy. Grunebaum, & Ulrich, 1991). Hargrave dkk. (1991)

menulis bahwa dimensi ini didasarkan pada gagasan bahwa "tanpa pengalaman

berhubungan, memberi, dan menerima dari orang lain, individu tidak memiliki dasar

yang cukup untuk mengalami emosi dan pikiran" (hal. 146). Etika relasional ini berkaitan

dengan manusia mencapai keseimbangan hubungan sehat yang dapat diterima di antara

mereka sendiri, yang dalam terapi kontekstual disebut keseimbangan antara memberi dan

menerima.

Keadilan dalam hubungan memiliki dua dimensi: vertikal (hubungan orang tua) dan

horizontal (hubungan saat ini). Pola relasional keseimbangan dan kepercayaan ini, atau

ketidakseimbangan dan hak destruktif, diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Jika seorang anak tidak menerima pengasuhan yang memadai dari orang tuanya, dia

mengalami ketidakadilan. Menurut etika relasional, anak ini berhak atas beberapa bentuk

kompensasi. Biasanya, seorang anak tidak dapat mengklaimnya kembali dari orang

tuanya, jadi dia mungkin berusaha untuk menerimanya dalam hubungannya saat ini -

yang dapat berubah menjadi perlakuan tidak adil terhadap pasangan atau keturunannya
(Ducommun- Nagy, 2002). Dalam teori Boszormenyi- Nagy, kompensasi harus dibayar

kembali oleh orang atau entitas asli (dalam hal ini, orang tua; tidak ada penggantian yang

diperbolehkan (Boszormenyi- Nagy et al., 1991).

D. Peran Konselor dalam Terapi Keluarga Kontekstual

Dalam model terapi kontekstual, konselor tidak mengambil sikap netral. Kewajiban

konseleor adalah berkomitmen untuk berpihak secara berurutan dan berkesinambungan

dengan setiap anggota relasi yang dipengaruhi oleh proses terapi (Soyez et al., 2004)

meskipun mereka tidak hadir secara aktif dalam sesi tersebut.

Menurut Boszormenyi- Nagy, dalam sesi terapi kontekstual, konselor perlu

memperhatikan masalah keadilan di antara semua anggota yang menjadi bagian dari

hubungan, integritas, hutang, hak, dan eksploitasi satu sama lain. Peran konselor adalah

untuk "mendapatkan dan memfasilitasi proses penguatan diri dari kepercayaan yang

saling menguntungkan antara orang- orang yang terkait erat (Boszormenyi- Nagy, 1987,

hal. 196). Hal ini dapat dicapai dengan model keadilan relasional terapis melalui

keberpihakan multidirected, mendorong saling peduli, pertimbangan, dan komitmen di

antara anggota keluarga.

E. Proses Konseling Keluarga Kontesktual

1. Joining and Building Rapport

Ini adalah periode bagi konselor untuk membangun kepercayaan dengan konseli.

Konselor harus mendengarkan situasi dan menilai kesesuaian model multigenerasi

psikodinamik ini. Pada saat yang sama, konseli menilai minatnya untuk bekerja dengan

konselor.

Berikut adalah beberapa pertanyaan yang digunakan oleh konselor selama fase ini:
 "Kekhawatiran apa yang membawa kamu ke sesi ini?"

 "Tolong ceritakan tentang keluarga tempat kamu dibesarkan."

 "Bagaimana rasanya tumbuh besar di keluargamu?"

 "Apa yang ingin kamu perlihatkan secara berbeda kepada keluarga setelah sesi ini

selesai"

2. Understanding The presenting Issue

Saat mendengarkan dan membentuk strategi konseling, konselor membuat penilaian

mengenai keempat dimensi: fakta eksistensial, psikologi individu, transaksi dan

kekuasaan keluarga, dan etika hubungan.

Berikut adalah beberapa komentar atau pertanyaan yang mungkin digunakan terapis

selama fase ini:

 "Saya ingin mendengar cerita dari sisi kamu tentang apa yang terjadi."

 "Arti apa yang telah kamu pilih untuk memberikan peristiwa ini?"

 "Bagaimana keadaan akan berbeda jika keluargamu lebih dapat dipercaya?"

Menggunakan pertanyaan keberpihakan multiarah juga membantu konselor dan

keluarga untuk memahami masalah yang muncul :

 "Saya mulai memahami bagaimana cara ayah kamu memperlakukan kamu sebagai

seorang anak membuat kamu sakit hati ketika suami kamu mengkritik kamu. Bisakah

kamu memberi tahu saya bagaimana kamu berharap ayah kamu memperlakukanmu?"

 "Saya mulai merasakan bahwa dalam keluarga kamu, ayah kamu adalah kepala

rumah tangga dan kamu melihat bahwa hal itu menyusahkan ibu kamu. Bisakah kamu
memberi tahu saya apa pandangan kamu hari ini tentang apa yang mungkin lebih adil

dalam sebuah pernikahan, seperti dengan pernikahan kamu? orang tua?"

3. Assessment Of Family Dynamics

Peran konselor kontekstual adalah mendengarkan konseli dan keluarga dan mengajak

mereka untuk berpikir tentang masalah keadilan dan kepercayaan. Adalah penting bahwa

konseli sendiri yang menemukan dan menilai keadilan tindakan mereka daripada

konselor yang mengidentifikasi apa yang adil dan apa yang tidak. Peran konselor

bukanlah untuk bertindak sebagai hakim. Konselor harus sangat mengarahkan dalam

mengajukan pertanyaan, yang memungkinkan konseli menilai keseimbangan etika dasar

dan mempelajari dasar- dasar semua hubungan dalam keluarga. Konselor menggunakan

proses penilaian untuk mengidentifikasi strategi intervensi berdasarkan aksesibilitas

cadangan kepercayaan.kepercayaan.

4. Goals

Terapis mendorong konseli untuk mengarah pada peningkatan kepercayaan dan

kebebasan, serta sikap pribadi yang bertanggung jawab, yang diarahkan pada konseli

yang memperoleh hak batin untuk pertumbuhan dan kebebasan pribadi dalam hubungan.

5. Amplifying Change

Ketika anggota keluarga mulai mengenali perubahan yang mereka inginkan dalam

diri mereka dan mulai melakukan sesuatu secara berbeda, maka dapat dikatakan bahwa

tujuan telah tercapai.

6. Terminations

Dalam model terapi kontekstual, penghentian konseling merupakan keputusan

bersama antara konselor dan konseli. Keputusan ini dapat diambil ketika konseli dapat
menyelesaikan situasi di rumah, tanpa membutuhkan konseling. Namun, jika bantuan

lebih lanjut diperlukan, terapis harus memberi tahu klien bahwa mereka dapat menelepon

dan membuat janji jika perlu.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terapi Keluarga Kontekstual dikembangkan oleh Ivan Boszormenyi Nagy. Dimana

pendekatan ini berfokus pada etika relasional dan turunan atau warisan transgenerasional,

dan mengeksplorasi bagaimana pengaruh dari masa lalu mempengaruhi fungsi saat ini di

semua anggota keluarga. Dalam pandangan ini, keluarga memiliki kewajiban kesetiaan

yang tidak terlihat yang berakar pada generasi sebelumnya dan perhitungan yang belum

terselesaikan yang harus diseimbangkan. Terapi kontekstual berupaya membangun

kembali perilaku yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya, dengan

mempertimbangkan hak semua pihak. Tujuannya adalah untuk membantu keluarga

disfungsional menyeimbangkan kembali mengenai memberi- dan- menerima dan sisi

emosional antara anggota dan mengembangkan rasa keadilan, kepercayaan, dan

akuntabilitas dalam interaksi satu sama lain.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa penulisan masih jauh dari kata

sempurna kedepannya kami akan lebih berhati-hati dalam menjelaskan tentang makalah

dengan sumber-sumber lebih banyak dan lebih bertanggung jawab.


Daftar Pustaka

Metcalf, Linda. (2018). Marriage and family therapy: a practice-oriented approach, 2nd

ed. (2). New York: Springer Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai