Anda di halaman 1dari 15

The Milan Family Therapy

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah:Bimbingan dan Konseling Keluarga
Diampu oleh: Dr. Nani M Sugandhi, M.Pd

Makalah

Disusun Oleh:

Andri Oktavianas (2105254)


Rizki Maulita (2107024)
Yusef Abdul Aziz (2106625)

PROGRAN STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan hanya pada Yang Maha Sempurna Allah SWT, karena atas rahmat dan
ridho-Nya penyusunan makalah yang berjudul “The Structural Family Therapy” yang di susun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Bimbingan dan Konseling Keluarga dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan, sehingga saran dari rekan-
rekan sangat di butuhkan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga dapat memberi kontribusi dan manfaat dari segi
wawasan keilmuan bagi mahasiswa khususnya dan bagi bidang Bimbingan dan Konseling pada
umumnya.

Bandung, Februari 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga memiliki arti khusus dan arti umum. Secara khusus, keluarga adalah
suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa (biasanya
berlainan jenis) yang hidup bersama dengan atau tanpa anak – anak. Berdasar pengertian
ini, Pujosuwarno (1994) berpendapat ada empat unsur penting dalam keluarga, yaitu: a)
keluarga adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita yang paling mendasar dan
terkecil, b) persekutuan hidup ini paling sedikit terdiri dari dua orang dewasa yang
berlawanan jenis, c) persekutuan terbentuk berdasar atas ikatan darah, perkawinan atau
adopsi, d) adakalanya keluarga hanya terdiri dari laki – laki dan perempuan dewasa saja
tanpa anak – anak atau dengan anak – anak. Secara umum, keluarga adalah institusi
sosial yang paling dasar. Sejak kecil seorang anak mendapatkan pendidikan dasar sejak
awal yakni dari keluarga, dengan arti bahwa madrasah pertama seorang anak adalah
keluarga itu sendiri. Sehingga diharapkan ketika berangsur dewasa seorang anak ini
dapat menyadari dan mempercayai dirinya adalah salah satu dari bagian keluarga.
Kepercayaan ini yang diharapkan untuk dimiliki oleh seluruh anggota keluarga agar
dapat memposisikan dirinya sesuai dengan kepercayaannya dengan dirinya maupun
dengan anggota keluarganya sebagai sebuah keluarga. Apabila kepercayaan ini kuat
dalam diri seluruh anggota keluarga maka keluarga tersebut akan dapat saling
mempercayai dan dan terindah dari miskomunikasi karena ketidakpercayaan antara satu
sama yang lain.
Kepercayaan antar anggota keluarga diharapkan dapat membentuk kehidupan
dalam keluarga terutama orang tua kepada anak-anak maupun anak anak kepada orang
tuanya maupun kepada saudaranya. Hal ini perlu ditumbuhkan dalam diri sesama
anggota keluarganya, misal contohnya seorang adik menyadari kepercayaannya bahwa
dia adalah seorang adik dan dia juga sebagai seorang anak sehingga dengan kepercayaan
itu dia dapat bersifat dan bersikap layaknya seorang adik maupun layaknya seorang
anak. Akan tetapi terkadang tidak semua anggota keluarga dapat memiliki kepercayaan
yang sesuai dengan posisinya dalam keluarga tersebut, dengan contoh seorang adik
perempuan yang merasa dibedakan kelakuannya dari kakak laki-lakinya sehingga dia
harus berjuang lebih kuat dan lebih keras dibandingkan dengan yang lain agar
mendapatkan kepercayaan dari orang tuanya, akan tetapi dalam hal ini adik tersebut
tidak mempercayai bahwa kakaknya adalah seorang kakaknya dia menganggap dan dia
mau percaya bahwa kakaknya ini adalah seorang saingan bagi dirinya. Hal tersebut
menyebabkan kurangnya kepercayaan dalam sama anggota keluarganya dan hal ini
memerlukan terapi, salah satu terapi yang dapat digunakan yakni Terapi Keluarga Milan
dimana pada terapi ini akan ditekankan berkali-kali mengenai kepercayaannya apakah
keluarga ini memiliki relasi atau hubungan antara satu dengan yang lainnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu sebaai berikut:
1. Bagaimana sejarah dan tokoh dari Teori keluarga Millan?
2. Bagaimana konsep Teori Keluarga Millan?
3. Bagaimana Sesi Keluarga Struktural
4.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah agar pembaca mengetahui dan memahami
tentang Teori Keluarga Milan Terapi serta dapat menambah wawasan tentang teori terapi
Keluarga Milan.
D.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Tokoh Terapi Keluarga Milan


Model ini pertama kali di presentasikan oleh sekelompok penerapi keluarga dari
Milan italy yang dipimpin oleh Mara Selvinii palazzoli. Model kelompok Milan secara
konseptual Dan secara metodologis ini selaras dengan ide-ide dari batasan tentang
epistemologi circular. Dan dengan ciri-ciri pencarian yang sistematis untuk perbedaan
dalam perilaku dalam hubungan dalam bagaimana berbagai anggota keluarga
memandang dan menafsirkan suatu peristiwa dan dengan upaya untuk mengungkapkan
hubungan yang menghubungkan anggota keluarga dan menjaga sistem dalam
keseimbangan homeostatis dan pendekatan ini dikenal sebagai terapi keluarga yang
sistemik. Pada akhir tahun 1960 an ada 8 psychiater yang bergabung dengan Selvini-
Palazzoli, diantaranya Luigi Boscolo, Gianfranco Cecchin, Guiliana Prata. Pada awalnya
mereka merawat keluarga dari anak-anak yang sangat terganggu banyak dari mereka
yang yang menderita anoreksia nervosa. Untuk memperbaiki keterbatasan akan
psychoanalysis yang dirasakan, tim ini beralih ke karya kelompok Palo alto khususnya
dari buku Pragmatis of Human Communication..
Pada tahun 1971 keempat orang ini membentuk pusat studi keluarga Milan untuk
bekerja lebih eklusif dengan sistem keluarga. Watzlawik sebagai konsultan utama mereka
pada awal tahun akan tetapi seiring berjalannya waktu kelompok ini mengembangkan
teori mereka sendiri dengan serangkaian teknik intervensi yang strategis. Mereka
memperkenalkan pendekatan tim untuk pengobatan dan teknik seperti konotasi positif
yang dirancang untuk mengatasi kebuntuan terapiotik dan mengubah rangkaian interaktif
keluarga yang menemui jalan buntu. Model komprehensif pertama mereka muncul
dalam buku paradoks dan counter paradoks: new model in the therapy of the family in
schizophrenic transaction. Setelah satu dekade bersama keempat orang ini dipisahkan
menjadi dua kelompok yang masing-masing mengejar penekanan yang berbeda adalah
pemikiran dan praktik meskipun tetap mempertahankan pandangan sistemik yang serupa,
B. Peranan Konselor dalam terapi Keluarga Milan
Peran konselor dalam model milan, adalah menjadi orang yang ingin tau dan
kreatif. Model Milan mengarahkan terapis untuk mengamati pola interaksi keluarga dan
membuat intervensi terapeutik. Peran penting terapis memfasilitasi interaksi antara
anggota keluarga. Terapis menggunakan rasa ingin tahu mereka untuk membantu
masalah keluarga melalui pertanyaan terbuka. Terapis perlu menilai cara anggota
keluarga melihat masalah dan berupaya membangun komunikasi antar keluarga (Storms:
2011).
Dalam konseling ini konselor diminta untuk bersikap netral (Neutrality). Terapis
dapat dikatakan memiliki netralitas jika setiap anggota keluarga diminta pendapat pada
akhir sesi, tentang tanggapan konselor membela siapa diantara anggota keluarga, dan
mereka semua akan mengatakan, membela saya. Netralitas merupakan upaya untuk
konselor untuk melihat titik cara pandang orang. Model Milan menekankan pentingnya
intervensi yang tersisa sebagai sistemik dan netral (Storms: 2011).
Milan Systemic Family Therapy disebut sebagai konseling keluarga yang mengacu
pada intervensi, teknik, metode, strategi, dan perspektif. Pelaksanaan konseling keluarga
sendiri tidak hanya mengacu kepada satu pendekatan atau intervensi, sehingga penerapan
konseling dapat mengintegrasikan ke dalam berbagai domain.
Dalam pendekatan Milan, perubahan terjadi ketika keluarga mampu melihat
masalah mereka dengan cara yang lebih sistemik dan sehat misalnya, mengakui bahwa
masalah mereka dapat membuat masalah pada keluarga (Storms: 2011). Melalui
penggunaan pertanyaan berpusat pada hubungan, konselor Milan membantu
mengungkapkan cara berpikir yang baru. Sebagai anggota keluarga, masing-masing
individu mulai menangapi pertanyaan konselor, mereka harus menghadapi kenyataan
hubungan yang dialami oleh masing-masing individu anggota keluarga.
C. Konsep Kunci; Paradoks, Kontra Paradoks, Konotasi Positif.
- Paradoks dan Kontra Paradoks
Beberapa konsep kunci dalam teori Milan; paradoks, kontraparadoks, konotasi positif,
dan ritual. Goldenberg menyebutkan bahwa tim Milan mulai dengan meresepkan tidak
ada perubahan dalam perilaku simtomatik. Mereka mengadaptasi teknik MRI intervensi
paradoks ke formulasi sistemik mereka sendiri bahwa semua pola sikap dan perilaku
keluarga adalah gerakan yang dirancang untuk mengabadikan permainan keluarga dan
dengan demikian tidak dapat dikonfrontasi atau ditantang secara langsung. Melalui
penggunaan kontraparadoks terapeutik — pada dasarnya ikatan ganda terapeutik —
keluarga diperingatkan terhadap perubahan dini, memungkinkan anggota merasa lebih
dapat diterima dan tidak disalahkan atas keadaan mereka, ketika tim berusaha
menemukan dan melawan pola paradoks keluarga untuk mengganggu pengulangan,
permainan yang tidak produktif (Irene Goldenberg, 2017).
Therapeutic paradox dihubungkan dengan instruksi yang nampak tidak logis digunakan
untuk merubah hubungan keluarga. Intervensi tidak logis muncul karena menghadirkan
secara nyata kontradiksi terhadap tujuan terapi. Kebutuhan terapis untuk meluaskan
kekuatan argumen yang nampak untuk meyakinkan keluarga untuk mengikuti terhadap
intruksi yang berlawanan “kontradiktif”. Subjek pokok dalam proses terapeutik paradox
meliputi prescription, restraining, dan positioning
Paradoks terapeutik mematahkan kecenderungan homeostatis dan mengaktifkan kapasitas
transformasi dengan mengubah aturan yang melestarikan pola transaksional
disfungsional. Dalam keluarga di mana anggotanya terikat dalam ikatan ganda bersama
melalui serangkaian paradoks dengan konsekuensi patologis, pendekatan Milan
menawarkan kontraparadoks. Sebuah kontraparadoks secara positif berkonotasi dengan
gejala dan mengatur sistem transaksi melingkar di mana ia berfungsi. Dalam intervensi
"sistemik" seperti itu, "para terapis mengomunikasikan kondisi tersebut dan
mengkonotasikannya secara positif untuk tujuan baik dan penuh kasih sayang mereka.
Komentar tersebut diuraikan sedemikian rupa sehingga menjadi paradoks yang tidak
dapat ditoleransi (Palazzoli et aI dalam Massey, 1985) (misalnya, dalam keluarga di mana
orang tua mengalami kesulitan besar berkomunikasi dengan orang tua mereka sendiri dan
di mana ada anak perempuan berusia tujuh tahun yang tidak akan pernah berjalan dan
berbicara, dua saudara laki-laki yang cerdas, yang tidak kooperatif di rumah dan
berprestasi buruk di rumah. sekolah, secara paradoks dipuji karena "sulit untuk dilalui"
dan didorong untuk terus mengalihkan perhatian orang tua mereka dari kekecewaan
mereka (Robert F Massey, 1985).
- Konotasi Positif
Konotasi positif membingkai ulang perilaku dalam pemeliharaan keluarga dalam suatu
masalah sehingga gejala-gejala yang muncul terlihat positif atau baik karena membantu
menjaga keseimbangan sistem dan dengan demikian memfasilitasi kohesi dan
kesejahteraan keluarga. Alih-alih dianggap "buruk" atau "sakit" atau "di luar kendali",
anak yang bergejala, misalnya, dianggap memiliki niat baik dan berperilaku sesuai
keinginan. Perhatikan bahwa bukan perilaku simtomatik (misalnya, menolak pergi ke
sekolah) yang dikonotasikan sebagai positif, melainkan maksud di balik perilaku tersebut
(kepaduan atau keharmonisan keluarga). Perilaku simtomatik sekarang dilihat oleh
keluarga sebagai sukarela, sangat meningkatkan kemungkinan perubahan. Sementara itu,
Ritual membahas aspek hubungan keluarga yang dihipotesiskan oleh terapis atau tim
sebagai signifikan untuk fungsi keluarga mengenai kesulitan saat ini. Umumnya, mereka
adalah tindakan seremonial yang diusulkan oleh terapis sebagai eksperimen sementara.
Terapis tidak bersikeras bahwa ritual itu dilakukan tetapi menunjukkan bahwa itu
mungkin berguna. Ambil kasus orang tua yang tidak konsisten atau bersaing satu sama
lain dalam upaya mempertahankan kontrol perilaku anak yang mengganggu. Sebuah
ritual mungkin disarankan di mana Ibu bertanggung jawab penuh disiplin pada hari-hari
ganjil (dengan ayah mengamati dan mencatat dengan tepat interaksi ibu-anak
berikutnya), dan Ayah mengambil alih pada hari-hari genap (dengan ibu memainkan
peran kontra). Setiap orang tua diarahkan untuk menjalankan peran yang diberikan
selama beberapa hari dan berperilaku “spontan” selama sisa hari dalam seminggu.
Melaksanakan ritual memperjelas perbedaan pendekatan bagi orang tua dan memberikan
kesadaran yang lebih besar tentang bagaimana perbedaan mereka dapat menyebabkan
kebingungan pada anak mereka. Ini menyoroti pentingnya konsistensi dua orang tua
sebagai tujuan jika anak ingin mencapai tingkat kenyamanan yang diperlukan untuk
meninggalkan perilaku mengganggu.
Makalah penting, “Hypothesizing-Circularity-Netrality: Three Guidelines for the
Conductor of the Session” (Selvini-Palazzoli, Boscolo, Cecchin, & Prata, 1980),
memperkenalkan tiga strategi intervensi baru—hipotesis, sirkularitas, dan netralitas—
yaitu pusat inovasi teknis pasca-Milan. Berhipotesis, proses interaktif yang berkelanjutan
untuk berspekulasi dan membuat asumsi tentang situasi keluarga, memandu wawancara
sistemik. Ini tidak benar atau salah melainkan titik awal, terbuka untuk revisi atau
ditinggalkan oleh keluarga serta terapis sebagai data baru menumpuk. Teknik ini
memungkinkan terapis untuk mencari informasi baru, mengidentifikasi pola penghubung
yang menopang perilaku keluarga, dan berspekulasi tentang bagaimana setiap peserta
dalam keluarga berkontribusi pada fungsi sistemik. Lihat Kotak 11.7 untuk contoh
pembentukan hipotesis tentang gejala dalam terapi keluarga. Hipotesis yang dirumuskan
oleh tim biasanya adalah pernyataan sistemik atau relasional yang menghubungkan
semua anggota keluarga dan membentuk struktur melingkar mengenai aturan keluarga
dan perilaku interaktif. Mereka membantu tim mengatur informasi dari keluarga dan
mulai memahami mengapa perilaku simtomatik memanifestasikan dirinya dalam
keluarga ini saat ini. Hipotesis dibangun untuk mendapatkan gambaran tentang
bagaimana keluarga mengatur gejala atau masalah yang muncul. Seperti yang dikatakan
Burbatti dan Formenti (1988), tujuan hipotesis terapeutik adalah perubahan, bukan
kebenaran. Sikap terapeutik sistemikis lainnya—netralitas—berarti terapis tertarik dan
menerima tanpa menantang persepsi unik setiap anggota tentang masalahnya.
Tidak ada pandangan anggota keluarga yang dianggap lebih benar daripada yang lain.
Dengan demikian, setiap anggota keluarga dapat terus-menerus mengalami terapis
sebagai bersekutu dengan satu atau anggota lain sebagai pandangan orang yang
ditimbulkan tetapi tidak pernah bersekutu dengan salah satu peserta. Untuk terapis Milan,
netralitas mengacu pada upaya untuk tetap bersekutu dengan semua anggota keluarga,
menghindari terjebak dalam koalisi atau aliansi keluarga. Pertanyaan melingkar
melibatkan mengajukan pertanyaan kepada setiap anggota keluarga yang membahas
perbedaan atau mendefinisikan hubungan antara dua anggota keluarga lainnya. Perbedaan
ini dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai perspektif anggota keluarga yang
berbeda dan untuk mengekspos pola keluarga rekursif. Terapis memetakan interkoneksi
di antara anggota keluarga, dengan asumsi bahwa mengajukan pertanyaan tentang
perbedaan persepsi adalah cara paling efektif untuk membuat peta seperti itu (Campbell,
Draper, & Crutchley, dalam Irene Goldenberg, 2017). Meminta seorang anak untuk
membandingkan reaksi ibu dan ayahnya terhadap penolakan saudara perempuannya
untuk makan atau untuk menilai kemarahan masing-masing dalam skala 10 poin atau
untuk berhipotesis apa yang akan terjadi jika mereka bercerai—ini semua adalah cara
yang relatif jinak untuk memaksa orang untuk fokus pada perbedaan. Jadi setiap anggota
keluarga terus-menerus terkena umpan balik dari orang lain selama terapi. Seperti yang
didefinisikan Selvini-Palazzoli, Boscolo, Cecchin, dan Prata (dalam Irene Goldenberg,
2017) dalam makalah mereka: Dengan sirkularitas, yang kami maksud adalah kapasitas
terapis untuk melakukan penyelidikannya berdasarkan umpan balik dari keluarga dalam
menanggapi informasi yang dia minta tentang hubungan dan, oleh karena itu, tentang
perbedaan dan perubahan.

D. Tahapan atau Struktur Konseling


Milan Systemic Family Therapy merupakan salah satu metode dalam proses
konseling dengan mengedepankan berpikir sistemik, yang berkembang dalam proses
konseling keluarga. Selain itu, model Milan memiliki metodeyang cukup unik dalam
proses konseling seperti menerapkan tim konselor yang bertugas secara langsung dengan
konseli dan konselor yang bertugas mengobservasi, konotasi positif, penggunaan
kesepakatan akhir sesi, dan waktu sesi (Storms: 2011). Milan Systemic Family Therapy
memiliki lima segmen atau tahpan dalam setiap sesi konseling, dimulai dari the
presession (prasesi), the session (sesi), the intersession, the intervention, and the
postsession (Storms: 2011; Goldenberg, I., et al: 2017). Adapun penjelasan lebih lanjut
a. Prasesi (Presession),
Pada taph PreSession, konselor merekam dan mencatat data atau informasi yang
relevan terkait dengan kondisi awal, kemudian hasil tersebut akan didiskusikan
dengan tim konselor untuk dijadikan dasar hipotesis awal mengenai permasalahan
keluarga.
b. Sesi (Session), konselor bertemu dengan keluarga untuk mulai memodifikasi,
memvalidasi, atau mengubah hipotesis awal mereka melalui pertanyaan. Pada tahap
ini terdapat tiga proses utama yang dilakukan yaitu Hypothesizing, Neutrality, dan
Circular Questioning. Hypothesizing, merupakan proses interaktif yang berkelanjutan
untuk berspekulasi dan membuat asumsi tentang situasi keluarga, memandu
wawancara sistemik. Teknik ini memungkinkan terapis untuk mencari informasi baru,
mengidentifikasi pola penghubung yang menopang perilaku keluarga, dan
berspekulasi tentang bagaimana setiap peserta dalam keluarga berkontribusi pada
fungsi sistemik. Neutrality, proses dimana konselor memungkinkan untuk membuat
sebuah hubungan dengan seluruh keluarga tanpa memihak kepada salah satu anggota
keluarga. Circular Questioning, mengajukan pertanyaan kepada setiap anggota
keluarga yang membahas perbedaan atau mendefinisikan hubungan antara dua
anggota keluarga lainnya. Perbedaan tersebut adalah dimaksudkan untuk
mengungkapkan berbagai perspektif anggota keluarga yang berbeda dan untuk
mengekspos rekursif pola keluarga. Terapis memetakan interkoneksi di antara
anggota keluarga, dengan asumsi bahwa mengajukan pertanyaan tentang perbedaan
persepsi adalah cara paling efektif. Tomm (Goldenberg, I., et al: 2017) mengacu pada
pertanyaan refleksi, yang dirancang untuk membantu keluarga merenungkan makna
yang mereka ambil dari persepsi, tindakan, dan sistem kepercayaan mereka saat ini,
merangsang mereka untuk mempertimbangkan kognisi dan perilaku konstruktif
alternatif. Tom membedakan delapan kelompok pertanyaan refleksi:
1) Pertanyaan berorientasi masa depan (dirancang untuk membuka pertimbangan
perilaku alternatif dalam masa depan) (“Jika kalian berdua bergaul lebih baik
di masa depan, apa yang akan terjadi nanti itu tidak terjadi sekarang?")
2) Pertanyaan perspektif pengamat (membantu orang menjadi pengamat diri
sendiri) (“Bagaimana perasaan Anda ketika istri dan anak remaja Anda
bertengkar?”)
3) Pertanyaan tandingan yang tidak terduga (membuka kemungkinan pilihan
yang sebelumnya tidak dipertimbangkan dengan mengubah konteks di mana
perilaku itu dilihat) ("Apa artinya merasa seperti ketika kalian berdua tidak
berkelahi?”)
4) Pertanyaan saran yang disematkan (terapis menunjuk ke arah yang berguna)
(“Apa yang akan terjadi jika Anda memberi tahu dia ketika Anda merasa
terluka atau marah?”)
5) Pertanyaan perbandingan normatif (menunjukkan masalah tidak abnormal)
(“Apakah Anda perlu memiliki teman yang baru-baru ini anak nya
meninggalkan rumah agar mereka mengerti apa yang kamu alami sekarang?”)
6) Pertanyaan klarifikasi pembeda (memisahkan komponen pola perilaku)
(“Mana yang lebih penting bagi Anda, menunjukkan ketidaktahuan atau
membantu atasan Anda sehingga proyek dapat berhasil diselesaikan?”)
7) Pertanyaan yang memperkenalkan hipotesis (menggunakan hipotesis
terapeutik tentatif untuk menggeneralisasi ke perilaku luar dengan orang lain)
("Anda tahu bagaimana Anda menjadi diam ketika Anda berpikir suami marah
padamu? Apa yang akan terjadi jika lain kali Anda mengatakan kepadanya
bagaimana perasaan Anda?”)
8) Pertanyaan yang mengganggu proses (menciptakan perubahan mendadak
dalam sesi terapi) (“Anda sepertinya hanya diam dan kesal, dan saya ingin
tahu apakah Anda pikir saya berpihak pada istri Anda?")
c. Intersession, merupakan jeda antar sesi dimana pada tahap ini seluruh konselor dapat
berdiskusi untuk menentukan intervensi atau solusi yang tepat terhadap
permasalahan yang terjadi pada keluarga.
d. Intervention, pada tahap ini memungkinkan konselor untuk mengarahkan seluruh
anggota keluarga untuk mengambil sebuah keputusan baru dan merupakan solusi
terbaik atas permasalahan yang terjadi berdasarkan pandangan keluarga, yang perlu
diperhatikan adalah konselor tidaklah memiliki jawaban atas permasalahan
melauinkan bersama-sama dengan anggota keluarga dalam membentuk perspektif
baru atas permasalahan yang terjadi.
e. Postsession, Akhirnya, konselor berkumpul untuk diskusi PostSession untuk
memeriksa reaksi keluarga dan untuk mempersiapkan sesi berikutnya. Penyampaian
hasil keputusan konselor hanya meggunakan satu konselor untuk bertemu dengan
keluarga sementara tim konselor lainnya kembali mengamati.adalah sebagai berikut
(Storms: 2011; Goldenberg, I., et al: 2017):
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Keluarga dalam Milan Theory disebut sebagai rule-government system. Penekanan pada
komunikasi yang structural dan hirarkis sangat penting disini. Dalam konsep tearpi, Teori
Milan menitikberatkan keterlibatan semua anggota keluarga. Smentara proses terapinya
sangat menekankan pada perubahan.
DAFTAR PUSTAKA

- Irene Goldenberg, Mark Stanton and Herbert Goldenber, 2017, Family Therapy: An
Overview, Ninth Edition, Lumina Datamatics, Inc
- Alan Carr, 2006, FAMILY THERAPY Concepts, Process and Practice - Second
Edition, John Wiley & Sons Ltd
- Robert F Massey. 1985. Paradox, Double Binding, and Counterparadox: A
Transactional Analysis Perspective (A Response to Price). Transactional Analysis
Journal
-

Anda mungkin juga menyukai