NAMA :
KELOMPOK :
12
NAMA INSTRUKTUR:
FAKULTAS HUKUM
LABORATORIUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2023
KETERANGAN PRESIDEN
ATAS
Kepada:
Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Di
Jakarta
Dengan Hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini:
1. Nama : H. Mohammad Mahfud Mahmodin, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak
Asasi Manusia
Dalam hal ini bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Presiden
Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut sebagai PEMERINTAH). Perkenankanlah kami
menyampaikan Keterangan Presiden baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan
yang utuh dan tak terpisahkan atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Pasal
359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (selanjutnya
disebut UU Penerbangan) [BUKTI PEMERINTAH – 1] terhadap Pasal 28F Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945)
[BUKTI PEMERINTAH – 2] yang dimohonkan oleh Ratna Sari untuk selanjutnya disebut
sebagai PEMOHON, sesuai dengan Registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor
8/PUU-XX/2018 tanggal 17 November 2018.
Selanjutnya perkenankanlah PEMERINTAH menyampaikan keterangan atas permohonan
pengujian UU Penerbangan sebagai berikut:
Bahwa menurut PEMOHON hasil investigasi KNKT sepanjang berkaitan dengan kejadian
dan kecelakaan penerbangan tidak dapat dikualifikasikan sebagai informasi rahasia karena
hak PEMOHON untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan kecelakaan penerbangan
menjadi hilang. Di samping itu PEMOHON menilai bahwa hasil investigasi KNKT
merupakan alat bukti kuat untuk membuktikan kesalahan pengangkut dalam peradilan
perdata yang sedang dijalani oleh PEMOHON, akan tetapi larangan hasil investigasi untuk
dapat dijadikan alat bukti di pengadilan mengakibatkan terlanggarnya hak PEMOHON
untuk membuktikan gugatannya dan untuk menyampaikan informasi.
Bahwa menurut PEMOHON rumusan Pasal 359 ayat (1) dan (2) UU Penerbangan
menghalangi hak konstitusional PEMOHON untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan kecelakaan penerbangan dan menjadikannya sebagai alat bukti dalam proses
peradilan. Sehingga PEMOHON kesulitan dalam mencari informasi yang berkaitan dengan
kecelakaan pesawat bahkan terhadap informasi yang diumumkan tetap tidak dapat
disampaikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.
II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan yang dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah mereka
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD
NRI Tahun 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
“PEMOHON adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam
undang-undang;
c. badan hukum publik dan privat, atau;
d. lembaga negara.”
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945; Dengan
demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai PEMOHON yang
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-
Undang terhadap UUD NRI TAHUN 1945, maka terlebih dahulu PEMOHON harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana yang disebut dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang
dianggap telah dirugikan oleh berlakunya UndangUndang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005
tanggal 31 Mei 2005 [BUKTI PEMERINTAH – 3], Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 [BUKTI PEMERINTAH – 4], dan
putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK
[BUKTI PEMERINTAH – 5] harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh PEMOHON dalam perkara pengujian
undang-undang a quo, maka PEMOHON tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum
(legal standing) sebagai PEMOHON.
PENDAHULUAN
Sebelum PEMERINTAH menegaskan hal yang diuraikan pada bagian ini sebagai bagian
yang tak terpisahkan dengan keterangan terkait dengan materi muatan yang dimohonkan
untuk diuji, perkenankanlah PEMERINTAH terlebih dahulu menerangkan Politik Hukum
penggantian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai berikut:
Keberadaan pesawat udara sebagai salah satu moda transportasi telah mendorong
perubahan besar di dunia. Penyelengaraan transportasi udara merupakan bagian dari
pelaksanaan tugas negara sebagai penyedia jasa transportasi, baik sebagai “servicing
function” maupun “promotion function” yang melekat pada pertumbuhan ekonomi
masyarakat pengguna jasa transportasi udara. Pertumbuhan penumpang domestik pesawat
udara di Indonesia dari tahun 1999 hingga 2006 menunjukkan angka peningkatan hingga
550. Pada tahun 1999 jumlah penumpang domestik yang diangkut berkisar 6 juta orang,
sementara pada tahun 2006 melonjak hingga 34 juta orang(Jusman Syafii Djamal, From
ST. Louis To Seulawah, Masa Depan Transportasi udara dalam Zaman Yang Berubah,
RoneBook, 2014, hlm.153) [BUKTI PEMERINTAH – 6]. Hal ini diikuti dengan
pembukaan rute baru dan penambahan frekuensi penerbangan. Menilik peristiwa tersebut,
terdapat satu kepastian bahwasanya terjadi peningkatan atas penggunaan pesawat di
Indonesia.
V. PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa,
mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal
359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Penerbangan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1) menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidaktidaknya
menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijke
verklaard);
2) menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
3) menyatakan ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28F Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
4) menyatakan ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat
Atau Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono)
Atas perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia, kami
ucapkan terima kasih.
Jakarta, 1 Desember 2018
MENTERI KOORDNATOR
POLITIK, HUKUM, DAN KEAMANAN
…………………………………………………………………………..
H. Mohammad Mahfud Mahmodin