Anda di halaman 1dari 18

TUGAS PRAKTIKUM HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI

PENDAPAT PEMERINTAH DAN PENDAPAT DPR

NAMA :

MOH. RISQI FADJAR ROMADHANI (202010110311081)

WAHYU BINTANG K. (202010110311141)

KELOMPOK :

12

NAMA INSTRUKTUR:

MUHAMMAD HILMY RISQULLAH R., S.H.

FAKULTAS HUKUM
LABORATORIUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2023
KETERANGAN PRESIDEN

ATAS

PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
TERHADAP
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPBULIK INDONESIA TAHUN 1945
DALAM PERKARA NOMOR:8/PUU-XX/2018

Kepada:
Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Di
Jakarta

Dengan Hormat,
Yang bertandatangan dibawah ini:

1. Nama : H. Mohammad Mahfud Mahmodin, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak
Asasi Manusia

Dalam hal ini bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Presiden
Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut sebagai PEMERINTAH). Perkenankanlah kami
menyampaikan Keterangan Presiden baik lisan maupun tertulis yang merupakan satu kesatuan
yang utuh dan tak terpisahkan atas permohonan pengujian (constitutional review) ketentuan Pasal
359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (selanjutnya
disebut UU Penerbangan) [BUKTI PEMERINTAH – 1] terhadap Pasal 28F Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945)
[BUKTI PEMERINTAH – 2] yang dimohonkan oleh Ratna Sari untuk selanjutnya disebut
sebagai PEMOHON, sesuai dengan Registrasi di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Nomor
8/PUU-XX/2018 tanggal 17 November 2018.
Selanjutnya perkenankanlah PEMERINTAH menyampaikan keterangan atas permohonan
pengujian UU Penerbangan sebagai berikut:

I. POKOK PERMOHONAN PEMOHON


Bahwa PEMOHON adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang merupakan istri dari
Putra Sanjaya yang merupakan korban kecelakaan Pesawat Angkasa Muda dengan jadwal
penerbangantanggal 29 Oktober 2018 bertempat di Kota Tanggerang, Banten, Indonesia
yang merasa hak konstitusionalnya secara spesifik dan aktual terlanggar atau setidak-
tidaknya berpotensi terlanggar dengan keberadaan Pasal 359 ayat (1) UU Penerbangan
yang melarang hasil investigasi Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT)
dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan, dan Pasal 359 ayat (2) UU
Penerbangan yang mengualifikasikan sebagian hasil investigasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai informasi rahasia

Bahwa menurut PEMOHON hasil investigasi KNKT sepanjang berkaitan dengan kejadian
dan kecelakaan penerbangan tidak dapat dikualifikasikan sebagai informasi rahasia karena
hak PEMOHON untuk mendapatkan informasi berkaitan dengan kecelakaan penerbangan
menjadi hilang. Di samping itu PEMOHON menilai bahwa hasil investigasi KNKT
merupakan alat bukti kuat untuk membuktikan kesalahan pengangkut dalam peradilan
perdata yang sedang dijalani oleh PEMOHON, akan tetapi larangan hasil investigasi untuk
dapat dijadikan alat bukti di pengadilan mengakibatkan terlanggarnya hak PEMOHON
untuk membuktikan gugatannya dan untuk menyampaikan informasi.

Bahwa menurut PEMOHON rumusan Pasal 359 ayat (1) dan (2) UU Penerbangan
menghalangi hak konstitusional PEMOHON untuk memperoleh informasi yang berkaitan
dengan kecelakaan penerbangan dan menjadikannya sebagai alat bukti dalam proses
peradilan. Sehingga PEMOHON kesulitan dalam mencari informasi yang berkaitan dengan
kecelakaan pesawat bahkan terhadap informasi yang diumumkan tetap tidak dapat
disampaikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.
II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan yang dapat mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah mereka
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD
NRI Tahun 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
“PEMOHON adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam
undang-undang;
c. badan hukum publik dan privat, atau;
d. lembaga negara.”
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan “hak
konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945; Dengan
demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai PEMOHON yang
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian Undang-
Undang terhadap UUD NRI TAHUN 1945, maka terlebih dahulu PEMOHON harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana yang disebut dalam Pasal 51
ayat (1) UU MK;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang
dianggap telah dirugikan oleh berlakunya UndangUndang yang diuji;
c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional PEMOHON sebagai akibat
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
Bahwa selanjutnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005
tanggal 31 Mei 2005 [BUKTI PEMERINTAH – 3], Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 [BUKTI PEMERINTAH – 4], dan
putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK
[BUKTI PEMERINTAH – 5] harus memenuhi 5 (lima) syarat sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual, atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Jika kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh PEMOHON dalam perkara pengujian
undang-undang a quo, maka PEMOHON tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum
(legal standing) sebagai PEMOHON.

III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON


Perihal hal tersebut yaitu kedudukan hukum (legal standing) yang dikemukakan oleh
PEMOHON, maka PEMERINTAH memberikan penjelasan sebagai berikut:
1. Pemohon dalam hal ini memiliki legal standing
Hal itu disebabkan oleh bahwa dalam permohonan ini pemohon merupakan sebagai
perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dengan Nomor: 3237456890123456 memiliki hak konstitusional yang diberikan
oleh UUD NRI 1945 yaitu hak untuk memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya dan mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia
2. Hasil Investigasi KNKT bukan satu-satunya sarana untuk membuktikan dalil
gugatan PEMOHON di persidangan perdata.
PEMOHON dapat mengajukan alat bukti lain yang tidak dilarang peraturan perundang-
undangan. Artinya PEMOHON tidak dapat membuktikan bahwa Undang-Undang a quo
telah melanggar hak konstitusionalnya dan tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal
verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian, sehingga pandangan PEMERINTAH terhadap Undang-Undang a quo tidak
dapat dikatakan melanggar hak konstitusional PEMOHON.
3. Ketidakjelasan dalam materi yang diujikan pemohon
PEMERINTAH menanggapi dali-dalil tersebut. Bahwapemohon mendalilkan jika
pemberlakuan UU Penerbangan telah melanggar hak konstitusionalnya, khususnya pada
hak atas informasi mengenai pengaksesan hasil investigasi yang tidak dapat dijadikan
sebagai alat bukti pemohon dalam mengajukan ganti rugi tambahan kepada PT. Angkasa
Muda. Pemerintah berpendapat jika pemohon menguji UU Penerbangan denganPasal 28F
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah tidak tepat sebabdalam hal ini
mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penerbangantelah diupayakan untuk
disebarluaskan ke khalayak umummelalui mediayang tersedia dan dapat diakses oleh
seluruh masyarakat Indonesia.
4. Menganai ganti rugi tambahan
PEMERINTAH memberikan pendapat bahwa persoalan mengenai ganti rugi dalam hal ini
sudah diberikan sebagaimana ketentuanyangterdapat di peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia, sehingga dengan Pasal 28F UUD Negara Republik Indonesia
Tahun1945sebagai batu uji ialah tidak tepat.
5. PEMOHON tidak mendalilkan kerugian apa yang akan pulih (legal remedy).
PEMOHON tidak menjelaskan akibat hukum dari putusan MK terhadap materi
permohonan PEMOHON, sehingga dalam hal ini PEMOHON tidak dapat mendeskripsikan
keadaan seperti apa yang akan terjadi jika MK mengabulkan permohonan PEMOHON dan
pemulihan hak (legal remedy) yang akan didapatkan atau dialami PEMOHON.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka PEMERINTAH berpendapat bahwa adalah
tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan
PEMOHON tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklard).
Namun demikian, PEMERINTAH menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah
Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah PEMOHON memiliki
kedudukan hukum (legal standing) atau tidak dalam Permohonan Pengujian Undang-
Undang a quo, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK maupun
berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-
V/2007.
IV. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS UJI MATERI PERMOHONAN YANG
DIMOHONKAN UNTUK DIUJI

PENDAHULUAN

Sebelum PEMERINTAH menegaskan hal yang diuraikan pada bagian ini sebagai bagian
yang tak terpisahkan dengan keterangan terkait dengan materi muatan yang dimohonkan
untuk diuji, perkenankanlah PEMERINTAH terlebih dahulu menerangkan Politik Hukum
penggantian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai berikut:

Keberadaan pesawat udara sebagai salah satu moda transportasi telah mendorong
perubahan besar di dunia. Penyelengaraan transportasi udara merupakan bagian dari
pelaksanaan tugas negara sebagai penyedia jasa transportasi, baik sebagai “servicing
function” maupun “promotion function” yang melekat pada pertumbuhan ekonomi
masyarakat pengguna jasa transportasi udara. Pertumbuhan penumpang domestik pesawat
udara di Indonesia dari tahun 1999 hingga 2006 menunjukkan angka peningkatan hingga
550. Pada tahun 1999 jumlah penumpang domestik yang diangkut berkisar 6 juta orang,
sementara pada tahun 2006 melonjak hingga 34 juta orang(Jusman Syafii Djamal, From
ST. Louis To Seulawah, Masa Depan Transportasi udara dalam Zaman Yang Berubah,
RoneBook, 2014, hlm.153) [BUKTI PEMERINTAH – 6]. Hal ini diikuti dengan
pembukaan rute baru dan penambahan frekuensi penerbangan. Menilik peristiwa tersebut,
terdapat satu kepastian bahwasanya terjadi peningkatan atas penggunaan pesawat di
Indonesia.

Berdasarkan amanat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dilaksanakan perubahan


terhadap Undang-Undang Penerbangan Tahun 1992 menjadi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan. Melalui payung hukum undang-undang ini, langkah
pembenahan sistem, struktur dan mekanisme organisasi otoritas penerbangan sipil
dilaksanakan. Salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam mewujudkan hal
ini adalah membuat investigasi teknis yang dilakukan oleh KNKT bertujuan untuk
menemukan penyebab sebenarnya dari suatu kecelakaan agar tidak terjadi lagi pada
penerbangan berikutnya, haruslah dipisahkan dari tujuan untuk mencari kesalahan maupun
pertanggungjawaban.

Keuntungan paling besar dari terselesaikannya masalah mengenai penurunan angka


kecelakaan penerbangan serta peningkatan kualitas pengoperasian pesawat udara adalah
sustainability atau keberlanjutan dari suatu maskapai penerbangan yang menjadi tujuan
utama dalam penerapan regulasi mengenai pelarangan penggunaan hasil investigasi
sebagai alat bukti di peradilan. Dengan harapan, pengusaha ataupun seluruh pihak terlibat
dalam pengoperasian pesawat udara dapat terfokus dalam memperbaiki kualitas
keselamatan dan keamanan penerbangan. Dilihat dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa politik hukum pembentukan UU Penerbangan yang baru adalah untuk
meningkatkan kualitas keselamatan dan keamanan penerbangan Indonesia.

terhadap materi yang dimohonkan, berikut keterangan yang dapat PEMERINTAH


jelaskan:

A. Tujuan Pelaksanaan Investigasi Kecelakaan atau Kejadian Penerbangan adalah


untuk Mencegah Terjadinya Kecelakaan Bukan Mencari Pertanggungjawaban
1. Penerbangan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Penerbangan, adalah suatu kesatuan
sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup,
serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
2. Konstruksi dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 mengenai hukum udara
internasional nyatanya mengakui adanya kedaulatan negara. Di mana dikatakan bahwa:
“The Contracting States recognize that every state has complete and exclusive
sovereignty over the air-space above its territory” Berdasarkan pasal tersebut, kita
dapat melihat bahwa Konvensi Chicago 1944 mengakui kedaulatan yang utuh dan
eksklusif atas ruang udara yang dimiliki setiap negara di atas wilayahnya. Artinya,
pengaturan mengenai transportasi dibidang udara pada akhirnya dikembalikan kepada
kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masing negara.
3. PEMERINTAH sebagai regulator dalam menjalankan kekuasaannya membentuk
peraturan perundang-undangan dalam bidang penerbangan melandaskan kebijakannya
kepada UUD NRI 1945 dan instrumen hukum internasional. Oleh sebab itu,
PEMERINTAH akan menjabarkan seluruh alasan mengenai ketentuan yang terdapat
dalam industri penerbangan di Indonesia yang telah disesuaikan dengan konstitusi
negara Indonesia.
4. Undang-undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 sebagai pengganti atas UU Nomor
15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan sangat menjanjikan terhadap pertumbuhan
transportasi udara di Indonesia, karena undangundang ini secara komprehensif
mengatur pengadaan pesawat udara sebagaimana diatur dalam Konvensi Cape Town
2001, berlakunya Undang-Undang secara ekstra-teritorial, kedaulatan atas wilayah
udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan yang lebih dipertegas, produksi
pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan
pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan di dalam pesawat udara,
asuransi pesawat udara, indenpendensi investigasi kecelakaan pesawat udara,
pembentukan majelis profesi penerbangan, dan lembaga penyelenggaraan pelayanan
umum yang sering disebut badan pelayan umum (BLU).
5. Dalam Cetak Biru Transportasi Udara yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Perhubungan Udara, ditetapkan bahwa peran pemerintah dalam industri penerbangan
adalah sebagai fasilitator untuk mendorong pertumbuhan perekonomian nasional
dalam menghadapi perkembangan ekonomi global. Selain itu, dikatakan bahwa setelah
transportasi udara telah menjadi kegiatan usaha yang menguntungkan, maka negara
berperan untuk menjadi regulator yang bertugas menerbitkan berbagai aturan guna
menjamin terlaksananya pelaksanaan transportasi udara yang memenuhi standar
keselamatan penerbangan. Oleh karena itu, dalam aspek yang menyangkut keamanan
dan keselamatan penerbangan, penyelenggaraannya merupakan tanggung jawab
pemerintah.
6. Tujuan utama investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan merujuk pada Pasal 3
UU A Quo adalah untuk keselamatan. Lebih lanjut secara spesifik dinyatakan dalam
Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2017 tentang
Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil bagian 830 (Civil Aviation Safety Regulation
Part 830) tentang Prosedur Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Serius Pesawat Udara
Sipil, tepatnya pada Lampiran Sub Bagian 830.3 [BUKTI PEMERINTAH - 11]
adalah: “Tujuan Investigasi kecelekaan atau kejadian serius adalah pencegahan
kecelakaan dan kejadian serius. Maksud dari investigasi tersebut tidak untuk mencari
kesalahan atau pertanggungjawaban”
7. UU Penerbangan Pasal 359 ayat (1) [VIDE BUKTI PEMERINTAH - 1]
menyebutkan bahwa:
“hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan”
Larangan penggunaan hasil investigasi KNKT dalam suatu proses peradilan memiliki
landasan yang jelas. Salah satunya adalah investigasi yang dilakukan oleh KNKT itu
sendiri tidak bertujuan untuk mencari pihak yang bersalah atau yang bertanggungjawab
dalam suatu kecelakaan dan kejadian penerbangan, sehingga hasil investigasi ini tidak
dapat dikualifikasikan ke dalam alat bukti yang dibutuhkan karena penggunaannya itu
sendiri dilarang oleh undang-undang
8. Ketika hasil investigasi KNKT dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses
peradilan, maka investigasi yang awalnya bertujuan untuk mencegah kejadian serupa
terjadi di masa depan, kemungkinan besar menjadi tidak objektif dan berkurang
keorisinalitasannya karena investigasi KNKT akan berubah orientasinya untuk mencari
kesalahan atau pihak yang harus bertanggung jawab atas kecelakaan penerbangan
tersebut. Selain itu, hasil investigasi ketika dijadikan sebagai alat bukti dapat
mendorong saksi-saksi atau pihak yang terlibat memberikan keterangan yang tidak
objektif karena takut dipersalahkan, dan juga pihak lain seperti korban, keluarga
korban, perusahaan pengangkutan udara dan lain sebagainya dapat mengintervensi
investigasi yang dilakukan oleh KNKT untuk kepentingan pribadi mereka
masingmasing. Selanjutnya para ahli penerbangan berpendapat bahwa ketika adanya
campur tangan penyidik dalam penggunaan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam
proses peradilan terdapat kekhawatiran bahwa hasil investigasi yang awalnya objektif
akan dipengaruhi oleh kepentingan bisnis dan politik yang kemudian dijadikan dasar
dalam penuntutan pidana. [BUKTI PEMERINTAH - 14]
9. Larangan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan seperti yang
tertuang dalam UU Penerbangan Pasal 359 ayat (1) dibutuhkan sebagai imunitas bagi
pihak-pihak yang terlibat dalam proses investigasi itu sendiri. Hal ini akan
memudahkan KNKT sebagai investigator untuk mendapatkan informasi yang akurat
karena saksi sebagai pihak yang mengalami suatu kecelakaan atau kejadian
penerbangan dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya tanpa ada rasa
takut karena investigasi tidak berfokus untuk mencari orang yang bersalah sehingga
secara tidak langsung saksi telah dilindungi oleh undang-undang.
10. National Transportation Safety Board, Lembaga investigasi Amerika, pada tahun 2000
membuat peryataan terkait dengan terhambatnya investigasi teknis sebagai akibat dari
berjalannnya investigasi hukum yang mengintervensi pelaksanaan investigasi teknis.
Bahkan dalam beberapa investigasi, pengadilan memerintahkan untuk menangguhkan
NTSB dari pengujian instrument penting hingga akhirnya tidak bisa mewawancarai
operator transportasi sebagai akibat dari meningkatnya kasus peradilan perdata maupun
pidana. Sehingga penundaan yang diakibatkan dari permintaan penuntutan ini telah
membatasi kemampuan lembaga investigasi untuk menentukan secara tepat dan cepat
mengenai kemungkinan penyebab kecelakaan serta rekomendasi keselamatannya. Oleh
sebab itu, untuk memastikan bahwa lembaga investigasi dapat bertindak secara objekitf
dan cepat dibutuhkan penegasan atas kewenangan dari lembaga investigasi itu sendiri
agar tidak dapat di intervensi oleh lembaga lainnnya.
11. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa investigasi, baik berdasarkan
hukum nasional, hukum internasional, dan pendapat ahli memiliki tujuan utama yaitu
untuk mencegah kecelakaan dan kejadian penerbangan terjadi kembali di masa yang
akan datang. Meskipun terdapat tujuan-tujuan lain guna dilaksanakannya investigasi,
fokus utama investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan atau investigasi teknis
di Indonesia dilakukan oleh KNKT adalah keselamatan penerbangan (Aviation Safety)
dan keamanan penerbangan (Aviation Security) bukan untuk mencari siapa yang
bersalah atau yang bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Karena sejatinya
investigasi teknis tidaklah sama dengan investigasi hukum (Penyidikan) yang
tujuannya memang untuk mencari pertanggungjawaban ketika ditemukan indikasi
tindak pidana dalam suatu kecelakaan dan kejadian penerbangan. Untuk itu perlu
ditekankan lagi bahwa terdapat perbedaan yang fundamental terkait tujuan investigasi
teknis dan investigasi hukum khususnya dalam peristiwa kecelakaan dan kejadian
penerbangan sehingga kedua investigasi tersebut harus dipisahkan.
B. Larangan Penggunaan Hasil Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Penerbangan
untuk Dijadikan Alat Bukti di Pengadilan Telah Selaras dengan UUD NRI Tahun
1945
12. Pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (UU
Penerbangan) tidak terlepas dari tujuan-tujuan yang ingin dicapai sesuai
staatsfundamentalnorm (Pancasila dan Pembukaan UUD 1945) dan staatsgrundgesetz
(Pasal-Pasal UUD NRI Tahun 1945) sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam konsiderans menimbang, UU Penerbangan menyatakan:
a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri
nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-
hak, dan kedaulatan yang diftetapkan oleh Undang-Undang;
b. bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan
Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi
nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah,
mempererat hubungan antarbangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara;
c. bahwa penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang
mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan
teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan
keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan
peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi
nasional yang mantap dan dinamis;
d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut
penyelenggaraan penerbangan yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, perlindungan
konsumen, ketentuan internasional yang disesuaikan dengan kepentingan nasional,
akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi daerah;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sudah tidak
sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan
penyelenggaraan penerbangan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-
undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penerbangan
13. Lebih jauh, dalam bagian mengingat UU Penerbangan yang memuat sumber hukum
dan dasar hukum, selain Pasal-Pasal UUD 1945 mengenai kekuasaan dan kewenangan
membentuk undang-undang (oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden dalam
Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945) dan mengenai wilayah
negara (dalam Pasal 25A UUD 1945, karena penerbangan berkaitan dengan lalu lintas
di wilayah udara suatu negara), UU Penerbangan juga melandaskan diri pada Pasal 33
UUD 1945 mengenai Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Artinya, ada
cita-cita besar agar dunia penerbangan berkontribusi untuk mewujudkan ekonomi atas
dasar kekeluargaan, juga demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. [BUKTI
PEMERINTAH-15]
14. Dilihat dari naskah akademik (misalnya dapat dilihat dari landasan filosofis, sosiologis,
dan yuridis), risalah sidang [BUKTI PEMERINTAH-16] serta semua pasal dalam UU
Penerbangan, politik hukum yang ada dalam UU Penerbangan pada dasarnya adalah
menjamin kualitas keselamatan yang baik serta memaksimalkan peranan pemerintah
sebagai penguasa cabang produksi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak
(termasuk penerbangan) untuk mencapai kemakmuran bagi masyarakat.
15. Larangan hasil investigasi KNKT dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan
sebagai suatu pembatasan hak asasi manusia (terhadap hak untuk menyampaikan
informasi sesuai Pasal 28F UUD 1945) merupakan sesuatu yang sah (legitimate) dan
penting untuk menjamin kualitas keselamatan yang merupakan bagian dari keamanan,
yakni perlindungan terhadap keselamatan individu, kehidupan atau integritas fisik
mereka, maupun perlindungan atas property mereka. Ini juga merupakan tanggung
jawab negara sesuai Pembukaan UUD 1945, yakni, “melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Tanpa adanya ketentuan perundang-
undangan yang melarang penggunaan hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses
peradilan, independensi investigator dari komite independen (di Indonesia adalah
KNKT) akan sulit untuk dijaga dan akan menyulitkan tercapainya tujuan dari
investigasi itu sendiri, yaitu keselamatan (sebagai bagian dari keamanan yang
merupakan salah satu tujuan legitime untuk melakukan pembatasan HAM menurut
Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945). Dengan berbagai tekanan yang ada (baik dari media,
perwakilan korban, dan lain sebagainya), ketika hasil investigasi dapat dijadikan alat
bukti, KNKT hanya akan berfokus pada siapa yang salah dan harus bertanggung jawab
saja sehingga mengabaikan untuk mencari penyebab kecelakaan yang sebenarnya.
Padahal, menemukan faktor utama penyebab kecelakaan adalah sesuatu yang sangat
penting untuk mencegah kecelakaan melalui safety recommendation dari hasil
investigasi. Abainya KNKT akan penyebab utama dari kecelakaan justru menjadi
sesuatu hal yang mengerikan karena negara berarti mengabaikan keselamatan
penumpang pesawat di masa depan yang sangat mungkin mengalami peristiwa serupa
(kecelakaan dengan penyebab yang sama) karena KNKT tidak fokus untuk mencegah
peristiwa yang sama terulang kembali (Chloe A. S. Challinor, “Accident Investigators
Are The Guardians of Public Safety: The Importance of Safeguarding the Independence
of Air Accident Investigations as Illustrated by Recent Accidents”, Volume 42 Air and
Space Law, Issue 1, 2017, hlm. 43) [BUKTI PEMERINTAH-17] Lebih jauh, faktor
keselamatan yang terabaikan akan menyebabkan terpuruknya dunia penerbangan,
utamanya dalam hal perekonomian.
C. Larangan Penggunaan Hasil Investigasi Sebagai Alat Bukti di Pengadilan Tidak
Mempengaruhi Proses Pembuktian dalam Peradilan Perdata.
16. Dalam Pengangkutan Udara kita mengenal terdapat 3 (tiga) konsep dasar tanggung
jawab hukum yakni Tanggung Jawab Hukum atas dasar Kesalahan (Based on Fault
Liability), Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumption of Liability), Tanggung
jawab Hukum Tanpa Bersalah (Liability Without Fault). Konsep tanggung jawab
hukum yang utama digunakan dalam UU Penerbangan adalah konsep tanggung jawab
hukum tanpa bersalah atau tanggung jawab mutlak (Absolute Liability atau Strict
Liability) khususnya dalam hal penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau
luka-luka, yang berarti perusahaan penerbangan bertanggungjawab mutlak terhadap
kerugian yang timbul akibat kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya barang dan/atau
orang dari pesawat udara, tanpa memerlukan adanya pembuktian lebih dahulu.
17. Latar Belakang lahirnya konsep tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan
representasi dari gugatan masyarakat lapisan bawah atas ketidakadilan adanya
Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-19 yang hanya menguntungkan para
industriawan tetapi memberikan dampak negatif bagi mereka. Sehingga dalam
gugatannya masyarakat lapisan bawah menginginkan hukum harus menjamin
perlindungan terhadap masyarakat banyak. Hukum juga harus menjamin kehidupan
ekonomi, sosial, budaya maupun politik dalam masyarakat banyak, yang kemudian
lahir doktrin yang menggugat tanggung jawab para industriawan.
18. Mengenai dalil PEMOHON yang menyatakan dengan adanya pembatasan pada hasil
investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan berpotensi menyulitkan proses
pembuktian dalam peradilan perdata khususnya membuktikan kesalahan dari
pengangkut, PEMERINTAH berpendapat bahwa alat bukti yang dapat diajukan dalam
proses pembuktian perkara perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR/ 284 RBg
dan Pasal 1866 KUHPerdata yang diantaranya tidak hanya meliputi pengajuan alat
bukti surat saja sebagaimana PEMOHON akan mengkualifikasikan hasil investigasi
awal kedalam alat bukti surat, namun masih terdapat alat bukti lainnya yang dapat
diajukan oleh PEMOHON, baik itu alat Bukti dengan saksi; Bukti dengan Persangkaan;
Bukti dengan Pengakuan; Bukti dengan Sumpah; atau bahkan alat bukti lainnya yang
sah menurut hukum. [BUKTI PEMERINTAH-18]
19. Dalam hal membuktikan suatu peristiwa, ada beberapa cara yang dapat ditempuh.
Seperti halnya Penggugat dapat mengajukan sepucuk surat kepada hakim yang isinya
menerangkan tentang adanya peristiwa tertentu ketika peristiwa tersebut tidak dapat
dihadapkan di muka persidangan. Selain itu, masih ada kemungkinan untuk
membuktikan suatu peristiwa tertentu, yaitu apabila peristiwa “a” sukar
pembuktiannya, maka untuk membuktikan peristiwa itu dibuktikan dengan peristiwa
“b” yang masih memiliki korelasi dengan peristiwa “a”. Dengan berhasilnya
pembuktian peristiwa “b”, maka peristiwa “a” dianggap terbukti
20. Dalam Permohonan, PEMOHON menyatakan bahwa dengan tidak dapat dijadikannya
hasil investigasi sebagai alat bukti maka akan menyulitkan proses pembuktian unsur-
unsur PMH dalam peradilan perdata terutama unsur kesalahan guna mendapat ganti
rugi lebih dari yang ditetapkan perundang-undangan. Padahal, PEMOHON dalam
perkara perdatanya belum sampai hingga tahap pembuktian. Sehingga, kata
“menyulitkan” dalam dalil PEMOHON tidak termasuk kerugian potensial menurut
penalaran yang wajar akan terjadi. PEMOHON harus memahami bahwa penilaian
terhadap alat bukti yang diajukan ke persidangan adalah kewenangan hakim sehingga
hasil investigasi KNKT belum tentu memiliki kekuatan alat bukti yang sempurna,
selain itu hasil investigasi bukanlah satu satunya alat bukti yang dapat membuktikan
dalil gugatan PEMOHON.
21. Terhadap kasus di atas PEMERINTAH berpendapat bahwa keberadaan hasil
investigasi yang dijadikan sebagai alat bukti tidak menjamin seseorang akan mutlak
dinyatakan menang dalam suatu proses peradilan, yang kemudian harus
mengesampingkan keberadaan alat bukti lainnya yang secara tegas tidak dilarang oleh
hukum.
22. Berdasarkan uraian diatas, PEMERINTAH berpendapat bahwa norma yang
terkandung dalam Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Penerbangan tidak
mempengaruhi proses pembuktian dalam peradilan perdata. Menilik kasus yang sudah
dipaparkan di atas telah membuktikan bahwa hasil investigasi bukan satu satunya
informasi yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dan juga tidak terkualifikasi sebagai
alat bukti sempurna dalam kecelakaan penerbangan. Oleh karena itu Pemerintah
menilai bahwa hasil investigasi sebagai alat bukti dalam proses peradilan tidak
memiliki pengaruh besar bagi pihakpihak yang berkepentingan untuk membuktikan
dalilnya. Namun sebaliknya, apabila hasil investigasi menjadi alat bukti akan
membahayakan kepentingan masyarakat umum yang lebih luas yakni keselamatan
dalam dunia penerbangan sesuai dengan Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945
menyatakan bahwa “… untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa indonesia …” ketentuan saat ini telah tepat bahwa hasil
investigasi tidak dapat dijadikan alat bukti di persidangan adalah untuk melindungi
keselamatan bangsa Indonesia.

V. PETITUM
Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada
Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa,
mengadili dan memutus permohonan pengujian (constitusional review) ketentuan Pasal
359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Penerbangan terhadap Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1) menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidaktidaknya
menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijke
verklaard);
2) menerima Keterangan Presiden secara keseluruhan;
3) menyatakan ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28F Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
4) menyatakan ketentuan Pasal 359 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat

Atau Apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono)

Atas perhatian Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia, kami
ucapkan terima kasih.
Jakarta, 1 Desember 2018

MENTERI KOORDNATOR
POLITIK, HUKUM, DAN KEAMANAN

…………………………………………………………………………..
H. Mohammad Mahfud Mahmodin

Anda mungkin juga menyukai