Anda di halaman 1dari 87

TRADISI PASA FULANG DALAM PENENTUAN AWAL

BULAN RAMADAN DI DESA SERAKAPI KECAMATAN

WOJA KABUPATEN DOMPU NUSA TENGGARA

BARAT

(Tinjauan Fiqih dan Sains)

Skripsi

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Mataram untuk

melengkapi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh :

Taufan

NIM 210204132

PROGRAM STUDI ILMU FALAK

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

MATARAM

2023
MOTTO

ۡ ‫سانَ ِۙلَف ۡىِۙ ُخ ۡسرِۙ َو ۡال َع‬


ِۙ‫صر‬ َ ‫ِۙاۡل ۡن‬ َ ِۙ‫ِۙوت َ َواص َۡواِۙب ۡالحَق‬
ۡ َّ‫ِۙوت َ َواص َۡواِۙبالص َّۡبرِۙ ان‬ َ ‫ا َّۡلِۙالَّذ ۡينَ ِٰۙا َمنُ ۡو‬
َ ‫اِۙوِۙعَملُواِۙالصّٰل ٰحت‬

“Artinya. “ Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali

orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati

untuk kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran”, (QS. Al-Asr [103]:

1-3)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dalam segala puji dan sembah hanya untuk

Allah, Sang Maha Kasih dalam bentuk semesta alam dan Shalawat

bertangkaikan salam semoga tetap tersampaikan untuk Nabi

Muhammad Saw, juga kepada keluarga, sahabat, dan semua

pengikutnya hingga akhir zaman, aamiin.

Penulis sangat menyadari bahwa perjalanan menempuh

perguruan tinggi dari awal hingga sekarang terutama ketika

menyelesaikan skripsi sebagai rugas akhir ini tidak mungkin akan

selesai dengan baik tanpa dukungan dan keterlibatan berbagai

pihak. Itu sebabnya penulis mesti mengungkapkan rasa

penghargaan setinggi-tingginya melalui ucapan terimakasih.

Penulis atas nama pribadi mengharapkan semoga kebaikan dari

berbagai pihak tersebut mendapat pahala yang berlipat gandadari Allah

SWT. Sehingga coretan ilmiah sebagai karya ini bisa bermanfaat bagi

seluruh ciptaan-Nya. Aamiin.

Mataram, 11 Juni 2023

Penulis,

Taufan
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN JUDUL ................................................................... ii

HALAMAN LOGO .................................................................... iii

HALAMAN MOTO ................................................................. viii

KATA PENGANTAR ..................................................................x

DAFTAR ISI .............................................................................. xii

DAFTAR BAGAN DAN TABEL .............................................xv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................ xvi

ABSTRAK .............................................................................. xviii

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................ 1

A. Latar Belakang ...................................................................1

B. Rumusan Masalah .............................................................. 4


C. Tujuan dan Manfaat ........................................................... 4

D. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian ............................... 5

E. Telaah Pustaka ...................................................................5

F. Kerangka Teori...................................................................8

G. Metode Penelitian............................................................. 14

H. Sistematikan Pembahasan ................................................18

BAB II PENENTUAN AWAL BULAN RAMADAN

MELALUI TRADISI PASA FULANG.....................................20

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................ 20

1. Sejarah Desa Serakapi ................................................20

2. Kondisi Pemerintahan Desa Serakapi ........................ 21

3. Keadaan Geografis ..................................................... 23

4. Jumlah Penduduk ....................................................... 24

5. Data Penduduk Menurut Golongan Umur .................24

6. Data Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ............25

7. Data Penduduk Menurut Mata Pencaharian ...............26

8. Agama dan Kepercayaan Masyarakat ........................ 28

9. Kondisi Sosial dan Budaya ........................................28


10. Kondisi Ekonomi ....................................................... 28

B. Mengenal Tradisi Pasa Fulang Dalam Penentuan Awal

Bulan Ramadan ................................................................ 29

C. Landasan Hukum dan Pelaksanaan Tradisi Pasa Fulang

Dalam Penentuan Awal Bulan Ramadan di Desa

Serakapi ............................................................................37

BAB III TRADISI PASA FULANG DALAM PENENTUAN

AWAL BULAN RAMADAN DI DESA SERAKAPI

KECAMATAN WOJA KABUPATEN DOMPU

NUSA TENGGARA BARAT (Tinjauan Fiqih dan Sains) 49

A. Analisis Penentuan Awal Bulan Ramadan Melalui Tradisi

Pasa Fulang Di Desa Serakapi ........................................49

B. Tinjauan Fiqih dan Sains Terhadap Tradisi Pasa Fulang

Dalam Upaya Penentuan Awal Bulan Ramadan Di Desa

Serakapi ............................................................................56
BAB IV PENUTUP ....................................................................65

A. Kesimpulan ......................................................................65

B. Saran .................................................................................66

DAFTAR PUSTAKA .................................................................67


DAFTAR BAGAN DAN TABEL

Bagan 2.1 Struktur Pemerintah Desa Serakapi, 22.

Bagan 2.2 Struktur Badan Permusyawaratan Desa (BPD Desa

Serakapi), 23.

Tabel 2.1 Daftar Tabel Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis

Kelamin, 24.

Tabel 2.2 Daftar Tebel Data Penduduk Menurut Golongan

Umur, 25.

Tabel 2.3 Daftar Tabel Data Tingkat Pendidikan Masyarakat,

26.

Tabel 2.4 Dafar Tabel Data Menurut Mata Pencaharian

Penduduk, 26.

Tabel 2.5 Daftar Tabel Kesejahteraan Warga, 27.

Tabel 2.6 Daftar Tabel Kategori Pengangguran, 27


TRADISI PASA FULANG DALAM PENENTUAN AWAL

BULAN RAMADAN DI DESA SERAKAPI KECAMATAN

WOJA KABUPATEN DOMPU NUSA TENGGARA

BARAT (Tinjauan Fiqih dan Sains)

Oleh:

Taufan

NIM 210204132

ABSTRAK

Masyarakat Desa Serakapi memiliki keyakinan yang kuat terhadap

kebiasaan orang-orang terdahulu saat mendekati bulan Ramadan, yakni

menjadikan tradisi Pasa Fulang sebagai kegiatan dalam proses penetapannya.

Bila setiap tahun menjelang bulan Ramadan terjadi perbedaan hasil dalam

penetapan awal dimulainya ibadah puasa antara masyarakat Desa Serakapi dan

masyarakat lain pada umumnya, maka menjadi sebuah perdebatan di kalangan

sosial dan pemerintah terhadap masyarakat Desa Serakapi. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui berbagai jenis kegiatan di dalam tradisi Pasa

Fulang serta metode dan dalil yang digunakan, sehingga dijadikan sebagai

kejelasan sumber dan landasan utama dalam penetapan awal bulan Ramadan.

Jenis pendekatan penelitian ini termasuk dalam kategori kualitatif

melalui penelitian lapangan (field research) dan sumber data yang digunakan
yaitu secara primer dan sekunder. Jenis data primer yaitu dalam bentuk hasil

wawancara dari beberapa pihak yang berada di Desa Serakapi seperti Tokoh

Adat, Tokoh Agama, Tokoh Pendidikan, Tokoh Masyarakat, dan Pemerintah

setempat atau Kepala Desa. Sedangkan jenis data sekunder antara lain

didapatkan dari hasil wawancara pihak Kementerian Agama Kabupaten

Dompu, Pengadilan Agama Kabupaten Dompu dan beberapa literatur terkait

yang memiliki kesamaan dalam pembahasan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tradisi Pasa Fulang dilakukan

dengan cara menghitung kapan hari akan dilaksanakan ibadah puasa,

memantau pergerakan bulan sekaligus pasang surut air laut sebagai

pendukungnya dan diakhiri dengan musyawarah sekaligus penetapan serta

mengumumkan hasil dari musyawarah tersebut. Secara fiqih, Pasa Fulang

tidak bertentangan terhadap syariat, sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan

sumber hukum. Sedangkan secara sains, pasang surut air laut menjadi dasar

dalam penentuan awal bulan Ramadan karena pengaruh dari gerak gravitasi

bulan terhadap bumi, yaitu ditandai dengan naik turunnya perrmukaan air laut

secara berkala sesuai dengan peredaran bulan.

Kata Kunci: Pasa Fulang, Awal Bulan Ramadan, Fiqih, Sains.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penentuan awal bulan Ramadan bagi umat muslim di Indonesia

sering kali terjadi kesulitan bahkan kekeliruan dan perbedaan dari

hasil kriteria hilal setelah pelaksanaannya. Bukan menjadi persoalan

baru bahwa hal ini sering terjadi di Indonesia karena berbagai faktor

yang mempengaruhi. Mulai dari keadaan cuaca, kondisi peralatan,

hingga kurangnya keakuratan serta beberapa penyebab lain. Sehingga

dalam penentuan awal bulan Ramadan di Indonesia mesti diperhatikan

berbagai sisi dan sudut pandang yang menjadi dasar penentuan hilal

secara menyeluruh. Walaupun secara subjektif cenderung memihak

pada dasar dan metode yang diyakini paling benar, baik itu secara fiqih

maupun sains atau hanya sebatas mengikuti kebiasaan cara dari orang-

orang terdahulu dan pendapat mayoritas kelompok yang menganut

sebuah metode tertentu dalam penentuan awal bulan Ramadan.

Bila ditelaah secara seksama dan mendalam, berbagai perbedaan

mengenai penentuan awal bulan Ramadan itu disebabkan oleh dua hal

pokok yakni dari segi penetapan hukum dan sistem metode perhitungan

yang digunakan. Sehingga dari hal pokok tersebut kemudian menjadi

tanda tanya bahwa apakah yang kemudian menjadi kecenderungan

umat untuk menjadikan kedua aspek itu sebagai landasan dalam


penentuan awal bulan Ramadan. Kecenderungan itu kemudian

menghadirkan kekeliruan, kesulitan bahkan perbedaan mengenai

penetapan awal bulan Ramadan sebagai akibat dariperbedaan dalam

menafsirkan dalil-dalil mengenai penentuannya.

Sehingga menjadi dasar pelaksanaan oleh setiap kelompok atau

kalangan yang melakukan penentuan awal bulan atau bisa juga

perbedaan tersebut terjadi di luar teknis dari hisab rukyat, sepertikarena

adanya informasi dari Saudi Arabia tetang jatuhnya hari wukuf yang

berbeda dengan keadaan di Indonesia, walaupun pada hakikatnya

mengenai keadaan Indonesia telah menjadi kesepakatan di kalangan

ahli hisab dan ahli rukyat.

Indonesia sendiri memiliki sebagian wilayahnya yang masih kuat

dalam menjaga tradisi ketika melaksanakan kegiatan keagamaan

termasuk penjemputan awal bulan Ramadan. Di daerah sekitar dompu

kecamatan woja nusa tenggara barat terutama di beberapa desa tertentu

masih dikenal dengan tradisinya dalam menentukan awal bulan

Ramadan. Salah satunya adalah di Desa Serakapi ketika beberapa hari

menjelang bulan Ramadan atau di hari raya, masyarakat setempat

menjalankan sebuah tradisi yang kemudian diistilahkan dengan sebutan

Pasa Fulang. Dikatakan sebagai tradisi karena Pasa Fulang dilakukan

secara turun-temurun oleh masyarakat setempat hingga sekarang.

Istilah Pasa Fulang yang terdiri dari dua suku kata ini memiliki

makna secara bahasa yaitu “Menembak Bulan”. Pasa artinya


menembak sedangkan fulang artinya bulan. Namun secara istilah Pasa

Fulang merupakan bahasa orang-orang terdahulu yang digunakan

oleh masyarakat setempat sebagai penamaan kegiatan untuk menebak

dan menentukan awal waktu kapan akan dilaksanakannya ibadah puasa

dengan cara melihat pasang surut air laut dan pergerakan bulan

beberapa hari sebelum penetapannya secara sah menurut masyarakat

setempat.

Pada setiap tahun berturut-turut menunjukkan bahwa tradisi Pasa

Fulang menghasilkan keputusan yang kurang bahkan tidak sesuai

dengan penetapan waktu pelaksanaan puasa oleh pemerintah. Hal ini

terlihat ketika masyarakat Desa Serakapi bersama beberapa masyarakat

lain yang masih menggunakan tradisi Pasa Fulang lebih dahulu

menjalankan ibadah puasa dibandingkan masyarakat lain yang

mengikuti keputusan pemerintah atau mengikuti pendapat ormasnya

masing-masing. Dengan persoalan tersebut, tradisi Pasa Fulang

diindikasikan sebagai salah satu cara penentuan awal bulan yang

berbeda dari cara lain pada umumnya.

Sehingga terjadi kesenjangan antara masyarakat setempat yang

melaksanakan tradisi Pasa Fulang dan juga pemerintah yang

menetapkan awal waktu puasa untuk masyarakat secara umum. Maka

permasalahan ini sangat menarik untuk ditinjau sehingga menjadi

panduan yang layak atau tidaknya dalam penentuan awal bulan

Ramadan dan bulan-bulan hijriah lainnya. Sebab hanya ada beberapa


kemungkinan yang menentukan layak atau tidaknya penentuan Pasa

Fulang tersebut. Antara masyarakat Desa Serakapi lebih dahulu

menenentukan awal bulan dengan kriterianya atau justru terjadi

kekeliruan dalam penentuan. Namun perlu juga diketahui penyebab

tradisi tersebut masih dipertahankan di kalangan masyarakat Desa

Serakapi hingga sekarang, padahal terdapat beberapa desa lain di

Dompu yang pernah melaksanakan tradisi Pasa Fulang pada dekade

sebelumnya namun telah beralih pada informasi awal bulan Ramadan

yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh karenanya peneliti telah

mengkaji persoalan tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul,

“Tradisi Pasa Fulang Dalam Penentuan Awal Bulan Ramadan Di

Desa Serakapi Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Nusa Tenggara

Barat (Tinjauan Fiqih dan Sains)”.

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya,

maka hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan tradisi Pasa Fulang dilakukan oleh

masyarakat Desa Serakapi dalam penentuan awal bulan ramadan?

2. Bagaimana tinjauan secara fiqih dan sains terhadap pelaksanaan

tradisi Pasa Fulang dalam penentuan awal bulan ramadan?

C. Tujuan dan Manfaat

Dari paparan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui pelaksanaan tradisi Pasa Fulang dalam

penentuan awal bulan Ramadan oleh masyarakat Desa Serakapi

Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat.

2. Untuk mengetahui tinjauan secara fiqih dan sains terhadap

pelaksanaan tradisi Pasa Fulang dalam penentuan awal bulan

Ramadan.

Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini akan menambah wawasan serta ilmu

pengetahuan dalam kajian Ilmu Falak, terutama tentang penentuan

awal bulan Ramadan. Selebihnya adalah memberikan sumbangan

pemahaman terhadap orang lain tentang tradisi yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Serakapi Kecamatan Woja Kabupaten Dompu

Nusa Tenggara Barat dimana hal tersebut bisa dijadikan sebagai

inovasi serta pijakan referensi untuk penelitian-penelitian

selanjutnya yang berhubungan dengan penentuan awal bulan

Ramadan.

2. Secara praktis, penulis dapat memperoleh wawasan berupapengalaman

langsung serta mendapatkan info dari beberapa informen mengenai cara

penentuan awal bulan Ramadan, terutama tradisi Pasa Fulang dan

selebihnya adalah mendapatkan relasi sosial lebih banyak lagi dalam

memberikan sumbangsi pemahaman baru berupa pengalaman di dunia

pendidikan terhadap masyarakat yang masih melakukan tradisi tersebut


saat melakukan penentuan awal bulan Ramadan.

3. Ruang Lingkup dan Setting Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah terbatas pada

bagaimana cara masyarakat setempat menjalankan tradisi Pasa

Fulang sehingga masih digunakan hingga sekarang, serta akan

ditinjau melalui fiqihdan sains mengenai persoalan yang dialami

akibat ketidaksesuaian penetapan awal bulan Ramadan menurut

tradisi Pasa Fulang dengan penetapan awal bulan Ramadan oleh

pemerintah terhadap masyarakat pada umumnya.

Setting dari penelitian ini dilakukan di Desa Serakapi Kecamatan

Woja Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat karena melihat

bahwa Desa Serakapi menjadi sorotan utama dari masyarakat

umum lainnya ketika melakukan puasa pertama pada hari yang

berbeda.

D. Telaah Pustaka

Istilah lain dari telaah pustaka yaitu cara peneliti melakukan

`pencarian terhadap karya-karya atau studi terdahulu yang terkait

untuk menghindari beberapa hal berupa plagiasi, duplikasi,

replikasi, serta menjamin keaslian dan keabsahan dari penelitian

yang dilakukan. Dari penetapan awal bulan Ramadan atau bulan

hijriah lainnya, telah ditemukan beberapa karya ilmiah yang

berkaitan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Skripsi Agung Wirayuda (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang:


2017) dengan judul Pasang Surut Air Laut Sebagai Metode

Penentuan Awal Bulan Islam Menurut Jam‟ah An-Nadzir Kec.

Bontomarannu Kab. Gowa Perspektif Ilmu Falak dan Oseanografi.1

[1] Pada skripsi ini terdapat kesamaan berdasarkan tujuan

menentukan awal bulan Ramadan dengan menjadikan fenomena

pasang surut air laut sebagai patokan utama dalam kegiatan

penentuannya. Perbedaannya adalah terletak pada rumusan

masalah. Skripsi ini menjelaskan bagaimana ulama an- nadzir

melakukan penentuan awal bulan Ramadan menggunakan pasang

surut air laut dan ditinjau melalui ilmu falak dan oseanografi.

Sedangkan pada proposal ini lebih membahas mengenai tradisi

masyarakat Desa Serakapi yang menjadikan pasang surut air laut

dan memperhatikan pergerakan bulan pada beberapa hari

sebelumnya sebagai patokan utama dalam penentuan awal bulan

ramadan yang diistilahkan dengan istilah Pasa Fulang kemudian

ditinjau melalui fiqih dan sains.

2. Skripsi Alamsyah (UIN Alauddin Makassar: 2017) dengan judul

Metode Istinbat Aliran An-Nadzir Dalam Penetapan 1 Ramadhan

dan 1 Syawal Dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam.2[2] Skripsi

ini menjelaskan seputar instinbat atau penetapan satu ramadan

1
Agung Wirayuda, “Pasang Surut Air Laut Sebagai Metode Penentuan Awal Bulan Islam
Menurut Jama'ah An-Nadzir Kec. Bontomarannu Kab. Gowa Perspektif Ilmu falak dan Oscanografi”,
(Skripsi, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Malang, 2017).
2
Alamsyah, “Metode Istinbataliran An-Nadzir Dalam Penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal
Dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam”, (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin
Mukassar, Gowa, 2017).
dansatu syawal menurut jamaah an-nadzir sehingga ada kesamaan

dalam rumusan masalah mengenai pelaksanaannya. Perbedaannya

adalah terletak pada perspektifnya, dimana pada skripsi ini terlihat

hanya melalui perspektif filsafat hukum islam yang fokusnya

adalah satu ramadan dan satu syawal. Sedangkan pada proposal

peneliti lebih kepada perspektif fiqih dan sains dan fokusnya hanya

kepada bulan ramadan.

3. Skripsi Alfina Rahil Ashidiqi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta:

2009) dengan judul Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif Aboge

(Studi Terhadap Komunitas Aboge di Purbalingga).3[3] Skripsi ini

menjelaskan tentang penentuan awal bulan secara umum menurut

perspektif dari komunitas Aboge. Kesamaannya terletak pada

beberapa kerangka teori yang digunakan oleh peneliti dalam

proposal penelitian ini yakni menggunakan teori hisab dan rukyat.

Sedangkan perbedaannya adalah skripsi tersebut hanya melalui

studi dari komunitas Aboge, sedangkan proposal penelitianini lebih

kepada pelaksanaan sekaligus tinjauannya melalui fiqih dan sains

terhadap tradisi Pasa Fulang di Desa Serakapi.

4. Skripsi Husni Seban (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2011)

dengan judul skripsi Penetapan Awal Bulan Qomariah Perspektif

Masyarakat Desa Wakal (Studi Kasus Desa Wakal, Kec. Lei Hitu,

3
Alfina Rahil Ashidigi, “Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif Aboge (Studi Terhadap
Komunitas Aboge di Purbalingga)”, (Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta, 2009).
Kab. Maluku Tengah, Ambon)4[4]. Kesamaan dari skripsi ini

terlihat pada masyarakat Desa Wakal yang sangat bereratan dengan

tradisi setiap tahunnya ketika melakukan penentuan awal

masyarakat dan ketika mengambil sebuah keputusan biasanya

digunakan secara adat serta lebih fokus kepada awal ramadan, idul

fitri dan juga idul adha. Tokoh adat juga memiliki peran yang

sangat penting akan keterlibatannya dalam hal penetapan.

Sedangkan perbedaannya adalah pemaknaan mengenai istilah dan

bulan puasa. Persamaannya adalah data penelitian bersumber dari

pandanga pandangan ketika melakukan penetuan awal bulan

Ramadan. Proposal penelitian ini pokok rumusan masalahnya

hanya fokus kepada awal bulan Ramadan saja.

E. Kerangka Teori

1. Etno Astronomi

Etno astronomi terdiri dari dua bagian yaitu secara keilmuan

dan secara profesional. Secara keilmuan artinya ada berbagai

disiplin ilmu yang kajiannya berkaitan dengan astronomi planet

serta disiplin ilmu lain yang berhubungan. Sedangkan secara

profesionalnya terbagi menjadi dua cabang yakni astronomi

observasional dan astronomi teoritis. Astronomi observasional

merupakan proses pengamatan astronomi dengan melibatkan

4
Husni Seban, “Penetapan Awal Bulan Oomariyah Perspektif Masyarakat Desa Wakal (Studi
Kasus Desa Wakal, Kec. Lei Hitu, Kab. Maluku Tengah, Ambon)”, (Skripsi, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 201 1).
pengumpulan data dari hasil pengamatan terhadap benda-benda

langit, yang kemudian akan dianalisis melalui teori-teori disiplin

keilmuan lain seperti fisika dan sebagainya. Astronomi teoritis

adalah proses pengamatan astronomi dengan menggunakan model-

model analitik dan simulasi-simulasi numerik komputasional.

Selain dari itu, astronomi teoritis juga berupaya untuk membuat

model-model teoritis dan menyimpulkan akibat-akibat yang dapat

diamati dari model-mdel tersebut.5[5] Secara sains, setiap fenomena

benda-benda langit tersebut memiliki pergerakan tersendiri

dikarenakan sebab dan akibat yang saling berhubungan. Namun

secara fiqih hal tersebut dijadikan sebagai tanda akan sebuah

aktivitas yang harus dilakukan sesuai dengan perintah dalil yaitu

ibadah.

2. Hisab Awal Bulan

Hisab awal bulan terbagi menjadi dua bagian yaitu hisab urfi

dan hisab hakiki. Hisab urfi adalah jenis sistem perhitungan awal

bulan yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi

bumi dan ditetapkan secara baku dan abadi. Sedangkan hisab hakiki

adalah perhitungan awal bulan yang didasarkan pada peredaran

bulan dan bumi sebenarnya dengan sistem keragaman edaran selama

29 atau 30 hari secara berturut-turut atau tetap.

Kerja hisab dalam penentuan awal bulan adalah

5
Muhammad Awaludin, (Astronomi Tradisi (Membaca Kalender Rowot Sasak), (Mataram:
UIN Mataram Press, 2020), hlm. 1-7.
memperhitungkan posisi dan pergerakan bulan dan matahari dalam

gerak hakikinya. Khususnya memperkirakan terbit dan tenggelam

matahari, menghitung terjadinya konjungsi, menghitung posisi

bulan apakah sudah berada di atas ufuk. Perhitungan ini biasanya

tertuang dalam rumus-rumus astronomis matematis yang sudah

disederhanakan oleh para ahli dan tertera dalam buku-buku

astronomi modern. Serta metode hisab cenderung bersifat rasional

karena terkadang data yang dihasilkan tidak dapat disaksikan secara

zahir.

Hisab lebih dikenal sebagai perhitungan secara matematis dan

astronomis dalam menggunakan rumus tertentu (seperti rumus

segitiga bola/spherical trigonometry) yang berpatokan pada

peredaran bulan mengelilingi matahari guna menentukan posisi

bulan terhadap matahari (azimuth), serta ketinggian bulan terhadap

horizon (ufuk) untuk mengetahui ketampakan (visibilitas) hilal

(sabit pertama) setelah terjadinya konjungsi (ijtimak) guna

menentukan dimulainya awal bulan baru (new month) dalam

kelender hijriyah, terutama bulan-bulan yang berkaitan dengan

ibadah umat Islam.6[6]

Hisab hakiki dikategorikan menjadi tiga bagian yakni yang

pertama, Hisab Haqiqi Taqribi secara bahasa Taqribi artinya

pendekatan. Sistem hisab ini telah menggunakan kaidah-kaidah

6
Arino Bemi Sado, Problematika Hisab Rukyat, Kriteria Kecerlangan sebagai Akar Perbedaan Hasil
Hisab dan Rukyat, (Mataram: Sanabil, 2019), hlm. 185.
astronomis matematis, tetapi menggunakan rumus-rumussederhana

sehingga hasilnya kurang teliti. Namun untuk diIndonesia, sistem

tersebut masih digunakan secara luas karena perhitungannya yang

sangat sederhana seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian,

bembagian tanpa menggunakan segitiga bola.

Kedua adalah Hisab Haqiqi bi at-Tahqiq, sistem hisab yang

berakar pada astronomi serta matematika modern ini merupakan

hasil pengembangan oleh para astronom modern (barat) dari para

astronom-astronom muslim klasik. Inti dari sistem ini adalah

menghitung dan menentukan posisi serta titik simpul orbit bulan dan

matahari dalam koordinat ekliptika. Sistem ini menggunakan tabel-

tabel yang telah dikoreksi serta perhitungannya lebih rumit

dibandingkan dengan metode Hisab Haqiqi Taqribi.

Kemudian ketiganya adalah Hisab Haqiqi Kontenporer yakni

hisab yang didasarkan pada astronomi modern, matematika

kontenporer dan alat-alat elektronika modern (software). Pada

metode ini, koreksi mengenai posisi, titik simpul orbit matahari dan

bulan lebih kompleks dan lebih teliti.

3. Fiqih

Konsep dari fiqih dapat dipahami menjadi dua bagian, yakni

pertama adalah fiqih dipahami sebagai pengetahuan atau tindakan

untuk mengetahui hukum-hukum syara‟ tentang perbuatan beserta

dalil-dalilnya. Kedua yaitu segala sesuatu yang diterbitkan oleh


pembuat syara‟ bagi manusia baik berupa perintah-perintahmaupun

aturan perbuatan yang mengatur kehidupan masyarakat dalam

berhubungan antara satu pihak dan pihak lain serta membatasi

perbuatan dengan tindak-tanduk masyarakat itu sendiri. Sedangkan

dalam berbagai macam kajian tentang fiqih, dalil nas belum cukup

digunakan sebagai dalil dalam penetapan hukum. Sehingga

dibutuhkan juga dalil secara aqli sebagai penguatnya dalam

membuat suatu produk ijtihad hukum Islam.

Dalam ijtihad untuk menetapkan hukum, kajian fiqih telah

menghadirkan qawa‟id fiqiyah atau kaidah-kaidah fiqih sebagai

konsep sederhana yang kemudian dipahami sebagai dasar dalam

penetapan hukum Islam melalui dalil Al-Qur‟an dan Hadits.

Dengan demikian kaidah-kaidah fiqih merupakan alat bantu untuk

memahami operasional dalam penggalian hukum Islam (instinbath

al-ahkam al-syar‟iyyah). Maka dalam penerapannya, akan

diketahui juga mengenai tujuan ditetapkan hukum selain dari

landasan yang digunakan dalam proses penetapan, atau dengankata

lain dalam Islam adalah maqasid al-syari‟ah.

F. Metode Penelitian.

1. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian

kualitatif dengan menjadikan penelitian lapangan (field research)


sebagai pendekatan penelitian. Namun antara metode penelitiandan

pendekatan penelitian adalah dua istilah yang berbeda. Metode

penelitian cenderung pada prosedurnya, sedangkan pendekatan

penelitian lebih mengacu kepada sudut pandang atau perspektif

teoritis tertentu. Dalam penelitian ini, peneliti telah berusaha

mengungkap data atau informasi melalui fenomena yang terjadi di

Desa Serakapi berupa deskripsi dan narasi dari setiap narasumber

yang berhubungan dengan tradisi Pasa Fulang, kemudian peneliti

menganalisa hal tersebut melalui sudut pandang secara fiqih dan

sains. Peneliti juga telah mengumpulkan semua data dalam bentuk

kata-kata yang diperoleh dari hasil wawancara atau bentuk data

dari hasil dokumentasi. Alasan peneliti menggunakan pendekatan

tersebut adalah karena untuk menganalisis teori-teori terkait serta

pandangan narasumber mengenai persoalan yang dialami setiap

tahun ketika menjadikan tradisi Pasa Fulang sebagai cara dalam

menentukan awal bulan Ramadan.

2. Kehadiran Peneliti

Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari

pengamatan berperan serta, namun peranan penelitilah yang

menentukan keseluruhan skenarionya. Kehadiran peneliti dalam

melakukan penelitian merupakan sebuah keharusan. Agar data-data

yang diperoleh lebih jelas karena kehadiran peneliti menjadi tolak

ukur dan pendukung sumber data dalam penelitian tersebut bisa


terkumpul dengan baik atau tidak.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi yang menjadi tempat dari peneliti dalam melakukan

penelitian adalah di Desa Serakapi Kecamatan Woja, Kabupaten

Dompu Nusa Tenggara Timur. Alasan dari peneliti memilih lokasi

tersebut karena melihat bahwa Desa Serakapi menjadi sorotan utama

dari masyarakat umum lainnya ketika melakukan puasa pertama

dalam hari yang berbeda.

4. Sumber Data

Sumber data yang dimaksud adalah dari mana data tersebut

diperoleh. Adapun sumber data yang digunakan oleh peneliti dalam

penelitian yaitu:

a. Data primer, yaitu data lapangan yang diperoleh langsung dari

instrumennya yakni Tokoh Agama yang terlibat langsung dalam

tradisi Pasa Fulang, Kepala Desa Serakapi sebagai pihak yang

mengetahui tentang seluk-beluk di tempat peneliti melakukan

penelitian dan beberapa Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat

serta Tokoh Pendidikan yang mengetahui tujuan serta alasan

Pasa Fulang tersebut masih dilakukan.

b. Data sekunder, yakni data pelengkap atau pendukung yang

diperoleh oleh peneliti dari berbagai macam literatur, baik

berupa karya ilmiah, skripsi para peneliti lain yang masih

berkaitan dengan penelitian ini, serta buku-buku yang di dalam


pembahasannya masih saling berkaitan. Kemudian peneliti juga

telah mewawancarai pihak Kementerian Agama Kabupaten

Dompu dan Pengadilan Agama sebagai bagian dari

pemerintahan yang menyikapi bentuk kegiatan sosial

masyarakat. Dalam hal ini adalah masalah-masalah ketika

menjelang ibadah puasa.

5. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses yang sistematis

danstandar untuk memperoleh data yang diperlukan. Data yang

dikumpulkan harus cukup valid untuk digunakan. Beberapa

prosedur pengumpulan data lainnya adalah sebagai berikut:

a. Metode Observasi

Dalam memperoleh data yang valid dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan jenis observasi non partisipatif. Dalam

observasi tersebut, peneliti hanya sebatas datang ke lapangan untuk

mencari informasi dan mengambil data terkait tanpamelibatkan diri

secara langsung dan hanya pengamatan yang dilakukan sepintas pada

objeknya.

b. Metode Wawancara

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara tidak

terstruktur atau terbuka karena wawancara tersebut lebih bebas dan

mendalam ketika peneliti mewawancarai sekaligus memperoleh

data-data terkait tradisi Pasa Fulang. Pihak yang diwawancarai oleh


peneliti adalah Tokoh Agama yang terlibat langsung dalam

penentuan awal bulan Ramadan tersebut Kepala Desa Serakapi yang

mengetahui kondisi masyarakat setempat, Tokoh Adat, Tokoh

Masyarakat, dan Tokoh Pendidikan yang ikut terlibat dalam tradisi

tersebut. Serta pihak dari pemerintah yakni dalam hal ini adalah

Kementerian Agama Kabupaten Dompu dan Pengadilan Agama

Dompu.

c. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi digunakan untuk mengetahui hal-hal

berupa informasi yang dihasilkan saat melakukan penelitian di

lapangan. Informasi tersebut berupa profil desa, lokasi tempat

dimana penelitian dilakukan ataupun gambar serta rekaman

informasi berupa suara yang berkaitan dengan permasalahan

yang akan diteliti. Metode ini digunakan untuk mendukung

metode wawancara. Sehingga nantinya akan memperoleh data-

data dalam bentuk lain yang berkaitan dengan penentuan awal

bulan Ramadan.

6. Teknik Analisis Data

Setelah semua data penelitian itu terkumpul, selanjutnya semua

data tersebut dianalisis secara deskriptif dan naratif. Analisis

tersebut dilakukan untuk mendeskripsikan dan menarasikan

peristiwa yang berhubungan dengan tradisi Pasa Fulang sebagai

cara masyarakat Desa Serakapi dalam penentuan awal bulan


Ramadan.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data atau validitas merupakan derajat

ketetapan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengandata

yang dilaporkan oleh peneliti. Sedangkan reliabilitas berkenaan

dengan derajat konsistensi dan stabilitas data atau temuan.

a. Triangulasi

Triangulasi yaitu pengecekan data dari berbagai sumber

dengan berbagai teknik atau cara dan waktu. Dalam penelitian

ini menggunakan triangulasi sumber. Hal ini bertujuan untuk

menguji validitas data dengan melakukan pengecekan data dari

yang diperoleh melalui sumber. Sehingga jawaban yang

diperoleh adalah berasal dari sumber-sumber data yang berbeda.

Selanjutnya akan memunculkan pengaruh terhadap pemahaman

serta pandangan yang berbeda mengenai masalah dari penelitian.

b. Diskusi Teman Sejawat

Untuk melanjutkan triangulasi dalam validitas data, melalui

diskusi bersama teman sejawat yang dilakukan oleh peneliti ini

tentu menjadi pendukung dan penopang dalam membandingkan

semua sumber data. Kemudian peneliti menyesuaikan hasil

diskusi tersebut dengan data-data yang telah dikumpulkan

hingga penelusuran lebih mendalam untuk mengetahui tingkat

pemahaman serta sumber data yang digunakan oleh lain pihak


dalam melakukan penelitian atausebagai acuan utama penulisan

karya ilmiah.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk menemukan gambaran secara tersturuktur dan jelas

mengenai tata urutan dalam penelitian ini, maka peneliti perlu

mencantumkan laporan penulisan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan. Pembahasan dalam bab ini terdiri dari Latar

Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Ruang

lingkup dan Setting Penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka Teori,

Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.


BAB II Penentuan Awal Bulan Ramadan Melalui Tradisi Pasa

Fulang yang meliputi pemaparan data yakni gambaran umum kondisi

masyarakat Desa Serakapi, pelaksanaan tradisi penentuan awal bulan

Ramadan, serta faktor yang menyebabkan tradisi dalam penjemputan

awal bulan Ramadan tersebut masih digunakan oleh masyarakat

setempat hingga sekarang.

BAB III Pembahasan. Pada bab ini berisi tentang Tradisi Pasa

Fulang Dalam Penentuan Awal Bulan Ramadan Di Desa Serakapi

Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat yang

berisikan tentang tata cara pelaksanaan, analisis serta tinjauan secara

fiqih dan sains mengenai persoalan realitas dalam halpenentuan awal

bulan Ramadan dengan istilah Pasa Fulang dilengkapi dengan faktor

yang menyebabkan perlu adanya penjelasan lebih detail mengenai

tradisi tersebut.

BAB IV Penutup. Pada bab terakhir ini berisi tentang Kesimpulan

dan Saran yang diikuti dengan jawaban dari pertanyaan pada rumusan

masalah sekaligus dilanjutkan dengan Daftar Pustaka.


BAB II

PENENTUAN AWAL BULAN RAMADAN

MELALUI TRADISI PASA FULANG

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Sejarah Desa Serakapi

Nama Desa Serakapi adalah terjemahan bahasa Bima/Mbojo

dari Kata Sera yang artinya Luas dan Kapi artinya Tumbuhan

(semak). Kemudian dikenal hingga sekarang ini adalah Serakapi atau

“Tumbuhan (semak) yang mengelilingi luasnya daerah

perkampungan“. Desa Serakapi merupakan salah satu desa dari

sembilan belas desa dan kelurahan yang berada di wilayah

Kecamatan Woja. Sejarah terbentuknya Desa Serakapi ini adalah

dimulai ketika pemekaran sebuah desa pada tahun 2004 pasca orde

baru. Sebelum dimekarkan menjadi desa penuh, Desa Serakapi pada

awalnya masih bergabung bersama desa induknya yaitu Desa Saneo

Kecil yang sekarang berada di bagian wilayah barat dari Desa

Serakapi. Demi mendapatkan akses sekaligus pendekatan pelayanan

terhadap masyarakat secara utuh dan merata karena semakin

bertambahnya jumlah penduduk, maka melalui keputusan bersama

dari para Tokoh Adat, Agama dan semua komponen penting dari

masyarakat bersangkutan lainnya untuk memekarkan desa tersebut

menjadi dua bagian, yang salah satunya adalah Desa Serakapi atau

nama lain dari Kampung Kecil. Dalam perjalanan pemerintahan


desa yang pada saat itu masih berstatus sebagai Desa Persiapan,

maka untuk menjalankan roda pemerintahan danpembangunan desa,

Pemerintah Kabupaten Dompu menyetujui Bapak Kasman H.

Mas`ud sebagai Kepala Desa pertama yang diangkat melalui SK

Bupati Dompu dengan Nomor: 01 /DH /Kep/ 2005. Kemudian

dibantu oleh seorang Sekretaris Desa, tiga orang Kepala Urusan,

sesuai Peraturan Daerah Nomor 6 tentang Struktur Pemerintahan

Desa.

2. Kondisi Pemerintahan Desa Serakapi

Wilayah Desa Serakapi memiliki luas wilayah + 110 ha dari Dua

dusun yaitu, Dusun 01 dan Dusun 02. Begitu juga dengan Perangkat Desa

menurut jenis jabatannya di Desa Serakapi terdiri dari Kepala Desa,

Sekretaris Desa, Kaur Keuangan, Kaur Umum dan Perencanaan, Kasi

Pemerintahan, Kasi Kesejahteraan dan Pelayanan, 2 Kepala Dusun. Desa

Serakapi terdiri dari 4 Rukun Warga (RW) dan 8 Rukun Tangga (RT).

Sebagaimana dipaparkan dalam UU Nomor 06 tahun 2014 bahwa di

dalam desa, terdapat tiga kategori kelembagaan yang memiliki peranan

dalam tata kelola, yaitu Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa,

dan Lembaga Kemasyarakatan. Dalam undang-undang tersebut dapat

dipahami bahwa penyelenggaraan berbagai macam urusan pemerintahan

di tingkat desa dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan

Permusyawaratan Desa. Segala hal yang dijalankan Pemerintahan Desa

dijalankan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat


setempat akan senantiasa berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat

yang diakui sekaligus dihormati dalam sistem pemerintahan di negeri ini.

Selanjutnya Pemerintah Desa atau yang disebut sebagai Kepala Desa dan

Perangkat Desa lainnya menjadi unsur penyelenggara pemerintahan desa

melalui integrasi peran. Kepala Desa mempunyai tugas

menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan

kemasyarakatan. Sedangkan Badan Permusyawaratan Desa adalah

lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan

pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara terpenting pada

pemerintahan Desa. Terutama Badan Permusyawaratan Desa berfungsi

menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat. Sehingga yang menjadi anggota dari

BPD itu sendiri adalah wakil dari penduduk desa asli berdasarkan

keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan

mufakat atas beberapa pihak, yaitu terdiri dari Ketua Rukun Warga,

Pemangku Adat, Golongan Profesi, Pemuka Agama dan tokoh

masyarakat lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Desa Serakapi untuk

saat ini hingga saat ini, dipimpin oleh Bapak Sastromijoyo sebagai Kepala

Desa dan Bapak Abdul Rafik sebagai Sekretaris yang dibantu oleh

beberapa jajaran sebagaimana susunan organisasi tata kerja serta struktur

badan permusyawaratan desa berikut:


Bagan 2.1 Struktur Pemerintah Desa Serakapi.

KEPALA DESA
SASTROMIJOYO

SEKRETARIS
ABDUL RAFIK

KAUR UMUM &


PERENCANAAN
NAIMA KAHAR KASIE KESEJAHTERAAN
KASIE PEMERINTAHAN DAN PELAYANAN
RAHMAD KARIM ASHRAF MEHALI
KAUR KEUANGAN
KASIM HAJU

KEPALA DUSUN I KEPALA DUSUN II


Bagan 2.2 Struktur Badan Permusyawaratan Desa (BPD Desa Serakapi).

KETUA
IDHAR, S.Pd

WAKIL
ARMAN USMAN SEKRETARIS
SRI HARTINI USMAN

ANGGOTA

SUDIEMAN DOLUPUKONG AHMAD DJAWA ABD HAMID MINTA

SUMIATI HASAN

3. Keadaan Geografis

Desa Serakapi merupakan salah satu desa dari sembilan belas

desa dan kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Woja

Kabupaten Dompu Provinsi Nusa Tenggara Barat. Desa Serakapi ini

berjarak sekitar 13 km dari Kota Kalabahi ke arah barat. Wilayah

Desa Serakapi juga memiliki luas sekitar + 110 ha dengan jumlah

dua dusun yaitu Dusun 01 dan Dusun 02 sekaligus terdiri dari 4

Rukun Warga (RW) dan 8 Rukun Tangga (RT). Desa Serakapi

memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:


Utara : Desa Madaprama Kecamatan Woja
Selatan: Wilayah laut Desa Bara Kecamatan Woja
Timur : Desa Nowa Kecamatan Woja
Barat : Desa Serakapi Kecamatan Woja
Iklim Desa Serakapi sebagaimana desa-desa lain di wilayah
Indonesia mempunyai musim kemarau dan penghujan sehingga hal
tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap kehidupan di Desa
Serakapi.
4. Jumlah Penduduk
Dalam pembagian jumlah penduduk yang terdiri dari 6 dusun
diantaranya Dusun 01, Dusun 02 Dusun, Dusun 03, Dusun 04,
Dusun 05, Dusun 06 dengan jumlah penduduk 1675 Jiwa atau 294
KK, memiliki perincian sebagaimana tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.

No. Jenis Kelamin `Jumlah

1 Laki – Laki 670

2 Perempuan 570
3 Kepala Keluarga 435

5. Data Penduduk Menurut Golongan Umur


Data ini bermanfaat untuk mengetahui laju pertumbuhan
penduduk dan mengetahui jumlah angkatan kerja yang ada. Data
penduduk menurut golongan umur di Desa Serakapi dapat dilihat
pada tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2 Data Penduduk Menurut Golongan Umur.

No
Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa)
.

1. 0 Bln – 12 Bln 14

2. 2 s/d 5 Thn 69

3. 6 s/d 10 Thn 108

4. 11 s/d 25 Thn 300

5. 26 s/d 60 Thn 467

6. 60 Thn tahun keatas 91

Jumlah 1.049

6. Data Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan berpengaruh pada kualitas sumber daya

manusia, proses pembangunan desa akan berjalan dengan lancar

apabila masyarakat memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi.

Pada umumnya sebagian besar penduduk Desa Serakapimengenyam

pendidikan SD dan SLTP. Namun demikian, sejak tahun 5 tahun

sebelumnya mulai banyak penduduk desa ini mengenyam

pendidikan SLTA, bahkan di Perguruan Tinggi. Meningkatnya taraf

pendidikan ini dikarenakan adanya peningkatan kemampuan


ekonomi penduduk untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang

yang lebih tinggi. Data tingkat pendidikan masyarakat Desa

Serakapi Kecamatan Woja sebagaimana tabel 2.3.

Tabel 2.3 Data Tingkat Pendidikan Masyarakat.

Tingkat Jumlah
No.
Pendidikan (orang)

1 Belum Sekolah 36

2 PAUD / TK 61

3 Sedang SD 123

4 Tamat SD 317

5 Sedang SLTP 86

6 Tamat SLTA 116

7 Sedang Kuliah 39

8 S1 26

1. Data Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk di Desa Serakapi sebagian besar

masih berada di sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa sektor

pertanian memegang peranan penting dalam bidang ekonomi

masyarakat. Sedangkan dalam setiap tahun, mata pencaharian yang

lain selalu naik atau turun sesuai dengan sumber daya manusianya.

Berikut adalah data mata pencaharian dalambentuk tabel.


Tabel 2.4 Data Menurut Mata Pencaharian Penduduk.

NO. Uraian Pekerjaan Jumlah

1. Petani 139

2. Nelayan 13

3. Pelajar 289

4. Security 4

5. Tukang Jahit 1

6. PNS/TNI/Polri/Pensiunan 15

7. Mekanik/Bengkel 1

8. Bidan 3

9. Penyuluh 1

10. Tukang Batu dan Kayu 20

11. Honorer 34

12. Wiraswasta 90

13. Ojek 16

14. Supir 12

15. Pengurus Rumah Tangga 214

16. Belum/Tidak Bekerja 153


Tabel 2.5 Daftar Kesejahteraan Warga.

No Uraian Jumlah

1 Jumlah Kepala Keluarga 294 KK

2 Jumlah penduduk miskin 276 KK

3 Jumlah penduduk sedang 18 KK

Jumlah penduduk kaya KK


4 -

Tabel 2.6 Daftar Kategori Pengangguran.

No Uraian Keterangan

1 Jumlah penduduk usia 15 s/d 55 yang belum 153 orang

bekerja

2 Jumlah angkatan kerja usia 15 s/d 55 tahun 612ang

1. Agama dan Kepercayaan Masyarakat

Bila ditinjau dari segi agama dan kepercayaan masyarakat Desa

Serakapi mayoritas beragama Islam, dengan rincian data sebagai

berikut :

1. Islam : 1.049 orang

2. Kristen : -

3. Khatolik : -

4. Hindu : -

5. Budha : -
Keagamaan masyarakat di Desa Serakapi adalah mayoritas

100% beragama Islam ditandai dengan adanya dua bangunan masjid

yaitu Masjid Nurul Iman Alukae untuk masyarakat yang bermukim

di wilayah dekat pesisir pantai dan Masjid At-Taqwa Baoraja untuk

masyarakat yang bermukim di wilayah sekitar perbukitan.

2. Kondisi Sosial dan Budaya

Berbagai macam kegiatan masyarakat yang dilakukan oleh

ormas di Desa Serakapi seperti Remaja Masjid, Karang Taruna,

Jamiyah Yasin, PKK, Posyandu, hingga masyarakat secara umum

merupakan aset desa paling bermanfaat untuk menyampaikan

informasi dalam setiap proses pembangunan desa pada masyarakat.

Kondisi sosial budaya dari masyarakat Desa Serakapi terbangun

karena kegitan keseharian, terutama kegiatan keagamaan,

kemasyarakatan sosial dan kebudayaan adat-istiadat.

3. Kondisi Ekonomi

Mayoritas mata pencarian penduduk Desa Serakapi bergerak di

bidang pertanian dan kelautan. Permasalahan yang sering muncul

berkaitan dengan mata pencaharian penduduk adalah tersedianya

lapangan pekerjaan yang kurang memadai dengan perkembangan

penduduk sebagaimana tertuang dalam perencanaan pembangunan

daerah Kabupaten Alor. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam

pembangunan desa adalah melakukanperluasan kesempatan kerja


dengan melakukan penguatan usaha kecil bahkan pemberian kredit

sebagai modal untuk pengembangan setiap usaha, khususnya pada

bidang perdagangan.

Tingkat angka kemiskinan Desa Serakapi yang masih tinggi

menjadikan Desa Serakapi harus mencari peluang lain yang mampu

menunjang peningkatan taraf ekonomi bagi masyarakat. Kekayaan

Sumber Daya Alam yang ada di Desa Serakapi amat sangat

mendukung baik dari segi pengembangan ekonomi maupun sosial

budaya. Selain itu, letak geografis desa yang cukup strategis dan

merupakan jalur utama bagi pencinta obyek wisata laut di desa

tetangga yang masih dalam satu wilayah kecamatan.

4. Mengenal Tradisi Pasa Fulang Dalam Penentuan Awal Bulan

Ramadan

Dalam pengertian secara tekstual, ungkapan Pasa Fulang berasal

dari bahasa Alor dalam bentuk kata Pasa dan Fulang. Pasa yangartinya

“Menembak”, sedangkan Fulang artinya “Bulan”. Jadi secara

sederhana, makna tekstual dari Pasa Fulang adalah “Menembak

Bulan”. Menurut Bapak Abdullah Likur, M.Ag. (SDN 31 Woja) atau

selaku narasumber dari Tokoh Pendidikan menjelaskan bahwa

sebenarnya Pasa Fulang merupakan istilah orang-orang terdahulu

terutama bagi umat muslim di Alor untuk menamakan aktifitas dalam

menentukan keputusan kapan waktu yang tepat dilaksanakannya ibadah

puasa. Sebagaimana yang disampaikan dalam wawancara penelitian,

beliau mengatakan:
“Pasa Fulang itu memang kalau diterjemahkan secara bahasa

artinya menembak bulan, tetapi kita juga mesti tahu bahwa untuk

mengartikan sesuatu itu tidak serta-merta diartikan dengan lurus begitu

saja. Harus ada penafsiran lain sesuai dengan maksud apa dari kata yang

disampaikan itu. Penggunaan kata itu walaupun maknanya jelas, tetapi

tujuannya tidak jelas maka akan sulit untuk dipahami. Begitu pun dengan

Pasa Fulang, yang artinya menembak bulan. Kita harus melihat maksud

dan tujuan ungkapan itu disampaikan. Ibarat seperti memanah, seorang

pemanah sebelum menarikpanahnya, ia perlu mengetahui dimana letak

target sasarannya. Namun bukan hanya target sasaran, ia juga harus

menghitung jarak yang tepat sehingga tidak meleset apabila ia telah

melepas busur panahnya. Begitu pun juga dengan penentuan awal Bulan

Ramadan, sebelum orang menetapkan kapan waktu paling tepat untuk

mengawali ibadah puasa, tentu hal utama yang harus dimiliki adalah

landasan penentuannya. Landasan orang memanah karena ia telah melihat

sasarannya dan menghitung ketepatan kapan busur panah itu akan

dilepas”.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di Desa

Serakapi Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat

perihal tradisi Pasa Fulang dalam penentuan awal Bulan Ramadan,

masyarakat setempat memiliki pandangan tersendiri dalam memahami

cara penentuannya. Sebelum masyarakat melaksanakan ibadah puasa, hal

terpenting yang lebih utama dilakukan adalah penetapan awal waktu


untuk memulainya melalui ikhtiar yang dilakukan oleh Tokoh Adat,

Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat. Masyarakat di Desa Serakapi lebih

berpatokan pada perhitungan hari kapan akan dilaksanakannya puasa

pertama. Hal tersebut kemudian dikuatkan dengan mengamati

pergerakan bulan dan pasang surutnyaair laut.

Melalui keterangan yang disampaikan oleh narasumber

terkhususnya Tokoh Adat yaitu Bapak Amir Beda kepada penelitiketika

wawancara di Desa Serakapi, beliau menyatakan bahwa:

“Dari dua belas bulan Islam atau dengan nama lain bulan hijriyah

yang kita ketahui selama ini salah satunya adalah Bulan Ramadan, yaitu

bulan seluruh umat Islam diwajibkan untuk berpuasa. Menahan diri dari

segala bentuk hawa nafsu. Namun sebelum melaksanakan ibadah puasa,

maka terlebihdahulu hal yang dilakukan adalah kita menghitung kapan

awal waktunya dan melihat perjalanan bulan dari purnama itu hingga

mengecil lalu menghilang kemudian muncul bulan baru. Hal tersebut

bisa dilihat melalui naik turun atau pasang surutnya air laut untuk

memastikan pergerakan bulan. Saat air laut semakin surut, memiliki

tanda bahwa bulan semakin kecil. Begitu pun saat air laut semakin

pasang, maka bulan akansemakin membesar”.

Keterangan lain disampaikan oleh salah seorang guru madrasah

aliyah Bapak Badarudin Sogo, beliau mengatakan bahwa:

Keputusan dari pemerintah, melainkan urusan agama itu

seharusnya adalah urusan privasi antara seorang hamba dan Tuhannya


tanpa semuanya bisa diatur karena keragaman penafsiran itu. Masyarakat

juga memiliki pemahamantersendiri ketika menafsirkan dalil, terutama

mengenai penentuan awal waktu ibadah yang di bulan suci selama itu

sesuai dengan anjuran agama tanpa ada unsur kesyirikan.”

“Hanya beberapa kali saja yang hasilnya sama. Selain dari itu

selalu beda, karena kita memang berbeda cara dalam penentuannya.

Pemerintah menggunakan teropong untuk melihat bulan, kami

menggunakan pasang surut air laut sebagaitanda bahwa perjalanan bulan

telah sampai dimana. Kami juga lebih awal menghitung dan menemukan

hasil kapan bulan itu akan muncul. Sehingga dalam beberapa tahun, kami

lebih dahulu menjalankan ibadah puasa. Sama halnya seperti untuk

melihat seorang perempuan apakah hamil atau tidak, tidak perlu kita

menunggu perutnya besar. Maksudnya adalah dari tanda-tanda berupa

raut wajah dan cara jalannya saja sudahbisa kita ketahui perempuan itu

hamil atau tidak.”

Pada sisi lain, pihak pemerintah yang dalam hal ini adalah

Kementerian Agama Kabupaten Alor memiliki pemahaman tersendiri

dan berbeda pandangan terhadap beberapa desa yang masih

menggunakan tradisi Pasa Fulang dalam penentuan awal bulan

Ramadan. Khususnya di Desa Serakapi sebagaimana peneliti

melakukaan diskusi secara langsung bersama Kepala Kementerian

Agama Kabupaten Alor dan Ketua Seksi Bimbingan Masyarakat Islam.

Dalam diskusi tersebut, Bapak Ketua Seksi Bimbingan Masyarakat


Islam Bapak Drs. Nurdin Abdullah menyampaikan bahwa:

“Masyarakat di beberapa wilayah terutama di Desa Serakapi,

Tuabang Desa Batu, Ternate dan beberapa desa lain itu sampai sekarang

masih mengikuti kebiasaan nenek moyangnya mereka yang belum tentu

itu benar atau tidak. Padahal perintah berpuasa dalam hadits itu adalah

jelas-jelas melihat bulan, berpuasalah ketika melihat hilal, dan

berbukalah ketikamelihat hilal, bukan melihat laut. Kami juga bingung

perihal dalil apa yang digunakan oleh mereka, namun sosialisasi yang

ditawarkan oleh pemerintah terhadap masyarakat Desa Serakapi dan

beberapa desa lain mengenai kapan dilaksanakan ibadah puasa itu sudah

dijalankan, akan tetapi masyarakat setempat masih tetap keras dengan

pendirian mereka. Bahkan dalil mengenai taati Allah, taati Rasul dan taati

Pemimpin jugasudah kami sampaikan dengan beberapa dalil penguat lain

mengenai penentuan awal bulan Ramadan di setiap tahun, namun tetap

saja tidak ada perubahan, bahkan menolak kehadiran pemerintah yang

melakukan sosialisasi denganberbagai macam alasan.”

Dalam diskusi tersebut, peneliti berusaha menggali informasi

mengenai penentuan awal bulan Ramadan di Nusa Tenggara Timur

terkhususnya pada wilayah sekitar Alor. Ada beberapa titik lokasiyang

menjadi sasaran utama dari pihak Kementerian Agama Kabupaten Alor

dalam memantau hilal. Sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan lokasi

pengamatan hilal sekaligus mendakwahkan caramenentukan awal bulan

Ramadan kepada seluruh masyarakat Alorterlebih kepada masyarakat


Desa Serakapi dan beberapa desa lain.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Awaluddin Husain

KepalaKementerian Agama Kabupaten Alor, beliau mengatakan:

“Sebenarnya jarang sekali yang membicarakan tentang penentuan

awal bulan Ramadan di Kementerian Agama Kabupaten Alor, karena

memang masih kekurangan sumberdaya dan masih minim fasilitas seperti

alat-alat. Tetapi khusus di kementerian Agama Kabupaten Alor sendiri

juga memiliki teleskop manual tetapi hanya beberapa orang yang bisa

mengaplikasikannya ketika penentuan awal bulan, terutama bulan puasa.

Begitu juga dengan di wilayah sekitar Alor ini, hanya beberapa lokasi

yang memiliki kemungkinan bisamelihat hilal, seperti di pantai Aimoli,

Bota, Bearuhing dan beberapa desa sekitar Kecamatan Woja, termasuk

wilayah Alila. Tapi dalam beberapa tahun ini memang ketika tim hisab

rukyat dari kementerian agama akan turun ke lokasi untuk melakukan

pengamatan hilal, selalu saja ada halangan seperti awan dan hujan.

Kebanyakan untuk wilayah Nusa Tenggara Timur yang paling sering

menemukan hilal hanya di Kupang, selain dari itu sampai saat ini belum

diketahui. Sedangkan mengenai kebiasaan masyarakat Desa Serakapi dan

beberapa desa lain yang sampai saat ini masih menjalankan tradisi seperti

orang-orang terdahulu dalam menentukan awal bulan Ramadan

sebenarnya hal biasa. Menjadi tidak wajar bila menolak apa yang telah

menjadi ketetapan dari pemerintah padahal sebenarnya itu baik untuk

masyarakat. Namun karena memiliki pandangan yang berbeda, sehingga


kita tidak memaksakan itu.”

Pendapat selanjutnya disampaikan oleh pihak dari Pengadilan

Agama, yaitu Bapak Khairil Anwar Ali, S.T. sebagai Kasubbag

Perencanaan, Teknologi Informasi dan Pelaporan. Beliau menyatakan

perihal setiap tahun dalam penentuan awal bulan Ramadan bahwa:

“Kami dari Pengadilan Agama Kalabahi dalam setiap kali

penentuan awal bulan Ramadan, tidak pernah diminta untuk ikut terlibat

langsung di lapangan. Melainkan dalampengamatan bulan tersebut, pihak

yang melakukannya adalah Kementerian Agama Kabupaten Alor

khususnya pada bidang hasil Masyarakat.

Pengamatan tersebut, kami dari Pengadilan Agama yang membuat

SK mengenai penentuan awal bulan dan dikirim ke provinsi kemudian

dilanjutkan menuju pusat untuk diumumkankepada seluruh masyarakat.

Mengenai alat-alat dalam pengamatan awal bulan seperti teropong atau

teleskop memang dari Pengadilan Agama Kalabih juga masih dalam

proses perencanaan untuk pengadaan. Agar bukan sekedar membuat SK

saja dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Kementerian Agama,

tetapi juga ikut terlibat langsung di lapangan. Selama ini lokasi yang

menjadi tempat pengamatan bulan adalah di pantai Bota untuk pesisir dan

di Desa Bearuhing untuk wilayah perbukitan, namun semenjak

Kementerian Agama memiliki beberapa alat untuk melakukan

pengamatan terhadap bulan ternyata itu tidak cukup apabila SDM dalam

bidang hisab rukyat sendiri pada Kementerian Agama Kabupaten Alor


belum ada, sehingga menjadi wajar bila kami dari Pengadilan Agama

hanya sebatas membuat SK saja sebagai pendukung dalam kegiatan

tersebut. Hanya beberapa orang yang mengoperasikan alat-alat hisab

rukyat seperti teleskop, namun hanya sebatas digunakan sesuai

kemampuan. Selebihnya yang diketahui selama ini oleh kami adalah rata-

rata di Kementerian Agama Kabupaten Alor masih minim akan

sumberdaya dalam mengelola alat-alat hisab rukyat dari pemerintah”

Dari penjelasan yang disampaikan tersebut, antara narasumber yang

berada di Desa Serakapi dan narasumber pada tataran pemerintah yaitu

Kemneterian Agama Kabupaten dompu dan Pengadilan Agama

Kalabahi, sangat jelas bahwa pemahaman mengenai penentuan awal

bulan Ramadan antara masyarakat dan pemerintah terihat sangat

berbeda, terkhususnya pada masyarakat Desa Serakapi dan beberapa

desa lain yang sampai saat ini masih menggunakan tradisi Pasa Fulang

sebagai ijtihad dalam penetapan awal bulan Ramadan sepertidi Desa

Saneo Kecil, Desa Ternate dan Desa Batu serta beberapa desa lain yang

beradai di Alor Nusa Tenggara Timur.

Dari diskusi tersebut, ternyata sumber utama dari perbedaan antara

pemerintah dan masyarakat dari beberapa desa yang masih

menggunakan tradisi Pasa Fulang adalah ketika menafsirkan dalil

sekaligus menginterpretasikannya dan merealisasikan dalil tersebut

dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian besar dari desa-desa muslim

yang berada di Alor Nusa Tenggara Timur kini lebih beralih kepada
keputusan dari pemerintah perihal awal bulan Ramadan, namun khusus

beberapa desa terutama masyarakat Desa Serakapi memiliki sikap yang

cukup kuat dalam mempertahankan tradisi tersebut sebagai satu-satunya

jalan dalam menentukan awal bulan Ramadan. Pada sisi lain, masih

kurangnya sumber daya manusia yang mapan dalam mengelola

ketersediaan alat pengamatan bulan berupa teleskop ketika melakukan

pengamatan awal bulan Ramadan oleh KementerianAgama Kabupaten

Dompu.

5. Landasan Hukum dan Pelaksanaan Tradisi Pasa Fulang Dalam

Penentuan Awal Bulan Ramadan di Desa Serakapi

Masyarakat setempat memiliki pandangan dan metode tersendiri

mengenai pelaksanaan tradisi Pasa Fulang yang kemudian dijadikan

sebagai landasan dalam penetapan awal waktunya. Pandangan tersebut

berupa faktor-faktor yang menyebabkan tradisi Pasa Fulang tersebut

masih tetap dilaksanakan hingga sekarang. Padahal masyarakat di Desa

Serakapi terus terang menyadari bahwa di era modern ini kecanggihan

dalam bentuk teknologi untuk mengamati benda langit seperti bulan

telah tersedia. Bahkan Kementerian Agama Kabupaten Dompu selaku

otoritas lembaga pemerintah memiliki peran dalam mengurusi

persoalan mengenai penentuan awal Bulan Ramadan, namun

masyarakat setempat tetap mengutamakan dan menjaga kebiasan orang-

orang terdahulu secara turun-temurun melaluikebiasaan setiap tahunnya

karena beberapa faktor berupa penafsiran dalil, interpertasi, hingga


situasi, kondisi dan metode yang menjadi alasan utama tradisi Pasa

Fulang itu masih dijalankan hingga sekarang. Sebagaimana yang

disampaikan dalam wawancara oleh Tokoh Agama yaitu Imam Masjid

Nurul Iman Alukae Bapak Bahtiar Luma, beliau mengatakan:

“Setiap kali Bulan Ramadan, umat Islam diwajibkan untuk

melaksanakan ibadah puasa sebagaimana perintah Allah dalam

Q.S Al-Baqarah ayat 183-184 Allah berfirman:

َِۙ‫ع َلىِۙالَّذ ْينَ ِۙم ْنِۙ َقبْل ُك ْمِۙلَعَلَّ ُك ْمِۙت َِۙتَّقُ ْون‬ َ ‫علَ ْي ُك ُمِۙالصيَا ُمِۙ َك َماِۙكُت‬
َ ِۙ‫ب‬ َ ‫ٰ ٰٓياَيُّهَاِۙا َّلذ ْينَ ِٰۙا َمنُ ْواِۙكُت‬
َ ِۙ‫ب‬

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman!

Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu

bertakwa.

‫ة َّدعَفِۙرَفَسِٰۙىَل َعِۙ ۡ َوأِۙا ًضيرَّمِۙمُكنمِۙ َناَكِۙنَمَفِۙ ٖۚت َٰدوُدۡعَّمِۙاٗماَّ َيأ‬ِٞۙ‫ِۙ َنيذَّلٱِۙىَلَعَوِۙ َ ٖۚر َ ُخأِۙماَّ َيأِۙۡنم‬

ُ ‫ َةيۡدف ُِۙۥهَن ُوقي‬ٞ ِۙ‫رۡيَخَِۙوُهَفِۙاٗرۡيَخَِۙعَّوَ َطتِۙنَمَفِۙ ٖۖنيكۡسمُِۙم َاعَط‬ِٞۙ‫وِۙ ٖۚهَّل‬


‫طي‬ َ ‫ص‬
‫تِۙنأ َ ُۥ‬ َ ُ ‫رۡيَخ ِْۙاوُمو‬ِٞۙ‫نإِۙۡمُكَّل‬

‫نوُمَل ۡ َعتِۙۡمُتنُك‬

Artinya : (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka

barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam

perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib

mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu)

pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat


menjalankannya, wajib membayar

23
ma‟duudaat yang artinya (yaitu) beberapa hari tertentu, itu

menjadi tanda bahwa jika pada ayat sebelumnya telah menetapkan perihal

kewajiban untuk berpuasa, maka tentu harus ada kejelasan mengenai

kapan waktunya yang tepat. Sehingga perlu dilakukan penentuan awal

waktu kapan akan dikatakan sebagai awal dari bulan Ramadan untuk

memulai ibadah puasa karena itu sangat penting.”

ma‟duudaat yang artinya (yaitu) beberapa hari tertentu, itu

menjadi tanda bahwa jika pada ayat sebelumnya telah menetapkan perihal

kewajiban untuk berpuasa, maka tentu harus ada kejelasan mengenai

kapan waktunya yang tepat. Sehingga perlu dilakukan penentuan awal

waktu kapan akan dikatakan sebagai awal dari bulan Ramadan untuk

memulai ibadah puasa karena itu sangat penting.”

Mengenai bagaimana cara menentukan kapan awal waktu yang

tepat untuk menjalankan ibadah puasa, menurut Bapak Bahtiar Luma itu

adalah sebuah keharusan bagi masyarakat yang telah lama menetap di

Desa Serakapi. Sehingga ketika menjelang bulan Ramadan, masyarakat

Desa Serakapi selalu menyiapkan diri untuk menjemputnya melalui

sistem perhitungan hari dan melihat pergerakan bulan sekaligus pasang

surut air laut sebelum penetapannya. Kemudian yang menjadi landasan

utama masyarakat setempat dalam penentuannya adalah beberapa surah

dan ayat Al-Qur‟an sebagaimana disampaikan oleh Bapak Amir Beda


selaku Tokoh Adat. Beliau mengatakan:

“Berbicara tentang penentuan awal waktu terutama kapan

memulai ibadah puasa, selain tentang hukumnya dari surah Al- Baqarah

ayat 183 hingga seterusnya tentu di Al-Qur‟an ituterdapat beberapa

dalil lain yang menjelaskan perintah agar melihat ciptaan Allah untuk

dijadikan sebagai tanda perhitungan waktu bagi manusia. Seperti

misalkan salah satunya adalah di dalam Q.S Yunus Ayat 5 Allah

berfirman:”

َ ِۙ‫اِۙوقَد ََّرهٗ ِۙ َمنَازلَِۙلت َ ْعلَ ُم ْوا‬


ِۙ‫ع َددَِۙالسني َْن‬ َّ ‫سِۙض َي ۤا ًء‬
َّ ‫ِۙوا ْلقَ َم َرِۙنُ ْو ًر‬ َّ ‫ه َُوِۙالَّذ ْيِۙ َجعَلَِۙال‬
َ ‫ش ْم‬

ِۙ‫ُِۙاۡل ٰيتِۙلقَ ْومِۙيَّ ْعلَ ُم ْو َن‬ َۗ ‫َِّٰۙللاُ ِٰۙذلكَ ِۙا َّۡلِۙبا ْلح‬
ٰ ْ ‫َقِۙيُفَصل‬ َ َۗ ‫س‬
ّٰ ‫ابِۙ َماِۙ َخلَق‬ َ ‫َوا ْلح‬

Artinya : Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan

bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat

orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan

perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu

melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda

(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

“Ayat ini sangat jelas menyinggung soal ciptaan Allah berupa

benda langit yaitu Bulan dan Matahari yang kemudian manusia mesti

menjadikannya sebagai tanda untuk mengenal atau menghitung waktu.


Namun itu berlaku secara umum dalamsetiap aktivitas manusia sehingga

perlu untuk kita ketahui juga penjelasan-penjelasan lebih lanjut seperti

yang terdapat di dalam hadits. Sebab salah satu fungsi hadits adalah

melanjutkan lagi penjelasan Al-Qur‟an yang sekiranya masih bersifat

umum baru dilanjutkan dengn risalah-risalah lain berupa perkataan

sahabat atau jumhur ulama. Maka salah satu hadits yang menyinggung

perihal cara penentuan awal waktu untuk ibadah puasa yaitu misalkan

sering kita dengar atau pernah diketahui:


‫علَ ۡيكُمۡ ِۙ َفأ َ ۡكملُواِۙع َّدةَِۙش َۡعبَانَ ِۙث َ ََلثين‬ ُ ِۙ‫ِۙفَ ۡإن‬،‫ِۙوأ َ ۡفط ُرواِۙل ُر ۡؤيَته‬
َ ِۙ‫غب َي‬ َ ‫صو ُمواِۙل ُر ۡؤيَته‬
ُ

dari peneliti. Selanjutrnya hal ini kemudian diterangkan lebih panjang

melalui penjelasan Bapak Amir Beda mengenai faktor penyebabnya.

Beliau menerangkan bahwa:

“Sebenarnya perbedaan siapa yang lebih dahulu atau terlambat

dalam melaksanakan ibadah puasa itu adalah hal yang lumrah terjadi.

Contoh kecil seperti gerakan sholat saja sampai sekarang penyebabnya

masih didebatkan. Masyarakat di kampung ini juga hanya menjaga tradisi

orang-orang terdahulu,itu pun tetap mengikuti perintah Allah dan Rasul

walaupun antara kita dengan pemerintah atau masyarakat di Desa lain

ketika menafsirkan perintah melakukan puasa dan bagaimana penentuan

awal waktunya berbeda-beda cara. Itu wajar karena kondisi kita yang

seperti ini, tidak ada paksaan dalam beragama dan bukan berarti kita

sesuka hati mengajarkan tentang agama. Hilal itu adalah bulan yang baru

berdiri, tapi bagaimana mungkin orang bisa melihatnya sedangkan

ukurannya begitu kecil. Kalau dilihat dari kondisi yang sebenarnya,

pekerjaan orang-orang terdahulu kita di Serakapi ini adalah nelayan, tentu


air laut itu menjadi tempat untukhidup dan makan minum bagi kita. Kalau

kita ingin melihat bulan secara langsung itu sangat sulit, bukan tidak bisa,

bukan juga karena bulan yang baru lahir itu ukurannya kecil. Tapi bukit,

gunung, awan dan lain-lain yang menutupi itu menjadi alasan bulan sulit

kita lihat. Sehingga orang-orang terdahulu ketika ingin melihat bulan, air

laut itu menjadi patokan utama, mulai dari purnama hingga hilang, atau

sebaliknya. Pada saat air laut pasang itu menandakan bulan belum

menjadi sabit dan ketika air laut telah surut maka itu adalah tanda bahwa

bulan akan terus mengecil bahkan menghilang dan muncul bulan baru.

Kita tidak mungkin mengikuti keputusan pemerintah karena kita lebih

dahulu melihat matahari. Kalau kita menunggu lagi, itu juga menjadi

tanda tanya mengenai kejelasannya sehingga ragu. Jadi yang

menyebabkan awal waktu puasa kita berbeda dengan pemerintah atau

masyarakat lain sebenarnya bukan sekedar kita berbeda menafsirkan dalil,

tetapi juga karena kondisi alam, kondisi sosial dan hal lain yang menjadi

alasan utama. Karena dalil yang kita gunakan itu sama saja. Sama-sama

untuk melakukan ibadah puasa lewat tuntunan Al-Qur‟an dan Hadits.

Karena Allah perintah agar menjadikan bulan dan matahari sebagai tanda
untuk mengenal atau menghitung waktu bagi orang-orang yang berfikir.

Kalau kita tidak gunakan itu, berarti sama halnya kita menjadi manusia

yang sia-sia. Nabi Muhammad itu sudah dikehendaki tinggal di gurun

padang pasir, sehingga diperintahkan untuk melihat hilal. Tetapi jika

saja konteksnya adalah Nabi tinggal di pesisir pantai dan pandangan

untuk mengamati bulan tertutupi oleh pulau, gunung dan bukit, maka

tentu hal yang dilakukan adalah menghadirkan ikhtiar baru. Dalam Al-

Qur’an Surah Al-Muzzammil ayat 20 juga Allah telah sampaikan bahwa

Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas

waktu itu, maka Dia memberikan keringanan kepadamu, karena itu

bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur‟an.7[7]

Dari penyampaian yang dipaparkan oleh Bapak Amir Beda tersebut

memberikan penjelasan bahwa faktor utama sebagai penyebabselama

ini masyarakat di Desa Serakapi lebih dahulu menjalankan ibadah puasa

adalah model perhitungan serta kondisi alam sosial dan perbedaan

dalam menafsirkan dalil. Selebihnya adalah persoalan mengenai

7
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhary (Beirut: Dar al-Kutub al-'Tlmiyyah, 1425/2004), hlm. 346
(Hadits Nomor 1909).
persepsi bahwa kebiasan orang-orang terdahulu ketika menjelang bulan

Ramadan adalah sebuah keharusan yang mesti secara terus-menerus

harus dilakukan sehingga segala bentuk kebaikan berupa maksud dan

tujuan dari Pasa Fulang tersebut tetap terjagatanpa hilang karena

terbawa oleh arus zaman. Pada sisi lain, masyarakat setempat

menganggap bahwa penafsiran dalil mengenai pemimpin seharusnya

memiliki konteks tersendiri ketika dihadapkan dengan persoalan yang

berbeda.

Seperti yang disampaikan oleh Bapak Kadir Maleng selaku Kepala

Desa Serakapi turut memberikan penegasan melalui penjelasannya

bahwa:

“Kami dari pihak Pemerintah Desa sangat memahami bahwa

antara Agama, Adat dan Pemerintah itu adalah satu tungku yang terdiri

dari tiga tiang sekaligus saling menguatkan satu sama lain. Sehingga

apa yang pernah dilakukan oleh orang- orang terdahulu sebelum kita

berupa adat dan kebiasaan, selama itu baik maka harus tetap dijaga dan

dirawat agar nantinya dilanjutkan oleh generasi setelah kita. Sampai

sekarang tradisi Pasa Fulang masih terus dilakukan karenatelah menjadi


keyakinan yang terbawa secara turun-temurun. Ketika Nisyfu Sya‟ban

atau dua minggu sebelum Ramadan, masyarakat dari Tokoh Adat, Agama,

Masyarakat dan pemerintah Desa turut berkumpul di masjid dan doa

bersama sekaligus membicarakan perihal Pasa Fulang atau penentuan

awal bulan Ramadan. Walaupun sebelumnya mereka telah melewati

Rekeng Seru yang dilakukan pada tahun lalu danmenemukan hasil harinya

kapan, namun mereka juga harus melihat perjalanan bulan dan pasang

surut air laut selama beberapa hari terakhir bulan Sya‟ban karena itu

merupakan tanda alam untuk manusia. Ketika memasuki tanggal 29

Sya‟ban tepat di sore hari setelah ashar tua, para Tokoh Agama, Tokoh

Masyarakat dan Tokoh Adat berkumpul kembali di masjid dan berbicara

perihal penentuan awal waktunya yang setelahnya dilanjutkan dengan

pemukulan beduk, sebagai tanda langsung bagi masyarakat Desa Serakapi

bahwa pada malam hari akan dilangsungkan sholat terawih dan sahur

sebagai tanda awal bulan Ramadan. Jika tidak dilakukan pemukulan

beduk pada saat itu juga, maka akan dilangsungkan pertemuan yang kedua

kalinya pada esok hari dan malamnya akan dimulai ibadah sholat terawih.

Namun pertemuan untuk kedua kalinya itu jarang dilakukan. Lebih sering

dilakukanpemukulan beduk saat pertemuan diakhir Sya‟ban itu.”


Penyampaian dari Bapak Kadir Maleng tersebut dapat dipahami

bahwa sebenarnya awal hari dilaksanakannya ibadah puasa itu telah

diperkirakan sebelumnya melalui perhitungan atau masyarakat setempat

menyebutnya dengan istilah Rekeng Seru. Rekeng yang artinya

menghitung, sedangkan Seru artinya memantau. Memantaudalam hal ini

adalah aktivitas memperhatikan perjalanan bulan dan pasang surut air

laut. Namun untuk memastikannya lebih jelas, maka hal tersebut

dilakukan melalui Pasa Fulang yaitu dimulai dari pertengahan hingga

akhir dari bulan Sya‟ban. Hingga setelahnya akan diambil keputusan

melalui kesepakatan bersama di dalam masjid dan mengumumkan hasil

kesepakatan tersebut dengan cara memukul beduk.

Sistem perhitungan yang digunakan oleh masyarakat Desa

Serakapi untuk menentukan kapan dilaksankannya ibadah puasa terbagi

menjadi dua cara. Pertama adalah konsep yang diistilahkan Kartou Taling

Tou, Kartou Gute Tou (Sepuluh Jari Tambah Satu,Sepuluh Jari Kurang

Satu) dan kedua adalah Talo Lema (Aturan Tiga Lima) sebagai penjelasan

lebih lengkap disampaikan oleh Bapak Nurdin Kawali yang

menyampaikan bahwa:

“Untuk menentukan hari kapan kita akan melangsungkan puasa


atau lebaran itu memiliki rumus tersendiri. Ada dua rumus ataucara yang

digunakan oleh orang tua dahulu dan mereka menyebutnya dengan istilah

Kartou Taling Tou, Kartou Gute Tou atau “Sepuluh Tambah Satu,

Sepuluh Kurang Satu” dan Talo Lema atau “Aturan Tiga Lima”. Pertama,

Sepuluh Jari Tambah Satu adalah perhitungan menuju Puasa di tahun

berikutnya, sedangkan Sepuluh Jari Kurang Satu adalah perhitungan

menuju Lebaran. Cara menghitungnya adalah misalkan puasa kita nanti

ini dimulai dari hari Sabtu, maka dihitung dengan jari lanjut Minggu,

Senin, Selasa, Rabu, akan melaksanakan lebaran.” Penjelasan dari Bapak

Nurdin Kawali dapat dipahami bahwa dalam menghitung kapan akan

dilaksanakan ibadah puasa terdiri dari dua konsep perhitungan yaitu

hitungan sepuluh kurang satu, sapuluh tambah satu dan hitungan tiga,

lima. Kedua konsep perhitungan Kamis, Jum‟at, Sabtu, Minggu, Senin,

Selasa. Pada saat genap hitungan sepuluh jari, maka satu hari atau satu

jari terakhir yaitu hari Selasa itu dibuang dan tersisa hari Senin yang

terakhir maka hari Senin itu adalah Hari Lebaran. Sedangkan Sepuluh Jari

Tambah Satu cara hitunganya adalah sama, Minggu, Senin, Selasa, Rabu,

Kamis, Jum‟at, Sabtu, Minggu, Senin, Selasa. Setelah genap menjadi

sepuluh hari, maka hari terakhir itu ditambah dengan satu hari selanjutnya.
Misalkan Selasa adalah hari terakhir, maka ditambah lagi dengan satu

hari selanjutnya sehingga menjadi hari Rabu. Maka puasa untuk tahun

berikutnya jatuh pada hari Rabu. Selanjutnya hitungan Tiga, Lima. Tiga

itu adalah hitungan dari Puasa ke Lebaran, sedangkan hitungan Lima

adalah dari Puasa tahun ini ke Puasa tahun depan yang itu terus berlanjut

hingga tujuh kali dan akan kembali ke hari semula. Misalkan tahun lalu

kita puasanya jatuh hari Selasa, maka akan dihitung dari hari Selasa,

Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, hari Sabtu kita akan puasa di tahun ini. Kalau

dihitung dari Puasa ke Lebaran, maka digunakan hitungan tiga, cara

memulainya dihitung dari hari Sabtu, maka perhitungannya adalah Sabtu,

Minggu, Senin. Berarti hari Senin kita bukan sekedar menghitung hari

dimulainya puasa melainkan juga lebaran danpuasa sekaligus lebaran di

tahun-tahun berikutnya seperti yang telah disampaikan. Perhitungan

tersebut terus berlanjut hingga hingga tujuh

kali dan setelah itu kembali pada hari pertama. Hal ini kemudian dapat

dipahami bahwa jika puasa di tahun 2022 jatuh pada hari Sabtu, maka tujuh

tahun yang mendatang pasti akan kembali lagi ke hari Sabtu.


BAB III

TRADISI PASA FULANG DALAM PENENTUAN AWAL BULAN

RAMADAN DI DESA SERAKAPI KECAMATAN WOJA

KABUPATEN DOMPU NUSA TENGGARA BARAT

(Tinjaun Fiqih dan Sains)

A. Analisis Penentuan Awal Bulan Ramadan Melalui Tradisi Pasa

Fulang Di Desa Serakapi

Tradisi Pasa Fulang secara khusus diyakini oleh masyarakat di

Desa Serakapi sebagai satu-satunya jalan terbaik dalam menetapkan

awal bulan Ramadan yang mengandung banyak kebermanfaat sekaligus

dianggap bertentangan bagi sebagian orang pada umumnya akibat

dinamika kultur sosial. Pertentangan yang dialami sebenarnya

bersumber dari asimilasi budaya masyarakat di luar dari Desa Serakapi

sehingga menghadirkan pengklaiman pemahaman antara satu samalain.

Baik itu bertentangnya pemahaman antara masyarakat Desa Serakapi

dengan masyarakat pada umumnya atau bahkan pertentanganterhadap

pemerintah yaitu Kementerian Agama Kabupaten Alor. Hal ini

kemudian menjadi pembahasan hangat ketika proses penentuan awal

bulan Ramadan setiap tahunnya di Alor Nusa Tenggara Timur.

Jika dilihat dari historis, terbentuknya sosio kultural masyarakat

muslim khususnya di Desa Serakapi masih memiliki kaitan erat terhadap

proses persebaran agama Islam di Alor pada umumnya yaitu berdasarkan


letak keberadaan geografis. Tidak menutup kemungkinan bahwa Tradisi

Pasa Fulang merupakan pengaruh dari lingkungan serta kebiasaan

masyarakat Desa Serakapi yang secara geografisnya menempati posisi

terdekat dengan pesisir pantai. Pada sisi tertentu, keseharian masyarakat

setempat tidak terlepas dari aktivitas melaut atau menjadi nelayan ulung.

Selebihnya adalah petani dan lain-lain. Sehingga dari keberadaan tersebut

mengharuskan masyarakat setempatbergantung pada keadaan yang ada.

Termasuk dalam hal melakukan penentuan awal bulan Ramadan dengan

menggunakan sistem perhitungan dan pengamatan terhadap bulan serta

pasang surut air laut.Pada sisi lain, kondisi masyarakat di Desa Serakapi

memiliki corak budaya dan sosial yang itu terbentuk atas dasar kebiasaan

adat-istiadat. Dalam artian masyarakat setempat masih menggabungkan

agama dan budaya dalam segala aktifitas sehar-hari.

Maka kebiasaan untuk saling mendengarkan pendapat satu sama

lain dan musyawarah bersama sebelum memutuskan suatu perkaraharus

ada keterlibatan dari beberapa pihak yang diantaranya adalah tokoh

adat, tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah. Sehingga dalam

proses penentuan awal bulan Ramadan bagi masyarakat setempat mesti

ada keterlibatan satu sama lain. Sekalipun penentuan awal bulan

Ramadan adalah urusan agama, akan tetapi keterlibatandari semua

pihak tersebut sangat penting bagi masyarakat setempat. Sebab terdapat

istilah bagi masyarakat setempat bahwa antara agama, adat serta

pemerintah seperti tungku yang terdiri dari tiga kaki dalam membangun
keseimbangan kehidupan sebagai satu kesatuan tanpa ada keterpisahan.

Secara interpretasi, hal tersebut tidak bermaksud untuk

mencampuradukkan antara urusan adat, agama dan pemerintah.

Melainkan saling melengkapi satu sama lain sesuai dengan porsi

masing-masing.

Beberapa dalil Al-Qur‟an dan Hadits yang menjelaskan tentang

kewajiban untuk berpuasa sekaligus keterkaitannya terhadap bulan

Ramadan seperti pengertian, aktivitas penentuannya, aturan berupa

perintah dan larangannya hingga bagian paling terpenting yaitu

mengenai waktu pelaksanaan. Maka terlihat jelas bahwa pada ayat 184

tersebut dimulai dengan kalimat (Yaitu) beberapa hari tertentu sebagai

tanda akan pembatasan waktu untuk memulai dan mengakhiri ibadah

puasa.

Dalam menetapkan awal bulan Ramadan untuk memulai atau

mengakhiri ibadah puasa bagi umat muslim adalah dimulai dengan

munculnya hilal, yaitu bulan sabit yang pertama kali terlihat lalu terus

membesar menjadi bulan purnama, kemudian menipis kembali dan

akhirnya menghilang dari langit sebagaimana diisyarakatkan pada QS.

Al-Baqarah ayat 189. Penyampaian lain dari Rasulullah Saw turut

memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa mengenai awal waktu

dimulainya ibadah puasa itu ditandai dengan ketika melihat hilal.

Sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:

‫علَ ۡيكُمۡ ِۙ َفأ َ ۡكملُواِۙع َّدةَِۙش َۡعبَانَ ِۙثَ ََلثين‬ ُ ِۙ‫ِۙفَ ۡإن‬،‫ِۙوأ َ ۡفط ُرواِۙل ُر ۡؤيَته‬
َ ِۙ‫غب َي‬ َ ‫صو ُمواِۙل ُر ۡؤيَته‬
ُ
Artinya : Berpuasalah kamu semua apabila telah melihat hilal dan

berbukalah kamu semua jika kamu telah melihatnya (hilal). Jika

terhalang, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya‟ban tiga puluh

hari.” 8[8]

Hadits tersebut mengandung makna perintah berpuasa di bulan

Ramadan sekaligus sebagai tanda dan perhitungan untuk memulainya

atau dalam menentukan awal waktu. Namun persoalan yang kerap kali

terjadi di tengah-tengah keberadaan umat Islam terutama pada saat

penentuan awal bulan Ramadan sebenarnya bukan mengenai

penggunaan dalil seperti apa atau dalam bentuk apa. Sebab hampir

semua kalangan umat Islam menggunakan landasan yang sama yaitu

berbagai macam dalil tentang penentuan awal bulan Ramadan dari

sumber aslinya berupa Al-Qur‟an, Sunnah serta pandangan para ulama

dan lain-lain. Akan tetapi hal yang kemudian menjadi persoalan adalah

menemukan titik temu dari berbagai macam perbedaan ketika

menafsirkan dalil sekaligus realisasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Ada berbagai macam metode yang digunakan dalam menentukan

awal bulan Ramadan. Secara umum beberapa metode yang dimaksud

adalah Hisab, Rukyat, Imkan Al-Rukyat. Ketiga metode ini kemudian

8
QS. Al-Baqarah Ayat 189.
di dalam penentuan awal bulan Ramadan terkhususnya di berbagai

wilayah Indonesia sering digaungkan dengan beberapa organisasi

masyarakat yaitu Muhammadiyah dengan Hisab berupa Wujudul Hilal,

NU melalui Rukyat berupa pengamatan langsung, serta organisasi

masyarakat lain dan Imkan Al-Rukyat khusus menjadi metode yang

digunakan oleh Pemerintah atas dasar kriteria MABIMS (Menteri

Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malasya, Singapura).9

Dari berbagai macam organisasi masyarakat dengan kriteria

metodenya dalam penentuan awal bulan Ramadan di Indonesia yang

sering dikenal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian

kelompok masyarakat muslim lain sampai saat ini masih

mempertahankan ide mereka dan memegang teguh keyakinan terhadap

aktivitas menjelang ibadah puasa melalui caranya masing-masing

termasuk ketika menentukan awal waktu untuk memulainya. Walaupun

secara garis umumnya setiap kali penentuannya memiliki konsep yang

sama dan tidak jauh berbeda dengan berbagai macam perbedaan istilah

saja, namun perpaduan dari keberagaman konsep metodologis tersebut

berpotensi menghadirkan konsep baru yang tentu berbeda dari

sebelumnya. Apalagi jika hal tersebut telah dilakukan secara terus-

menerus sehingga menjadi sebuah tradisi bagi kelompok masyarakat

muslim tertentu terkhususnya ketika melakukan penentuan awal bulan

Ramadan.

9
Ibid.,Arino Bemi, Problematika Hisab-Rukyat, hlm. 182.
Masyarakat di Desa Serakapi, Kecamatan Woja, Kabupaten Alor

Nusa Tenggara Timur setiap tahunnya meyakini bahwa dalam

menentukan awal bulan Ramadan itu adalah hal yang wajib untuk

dilakukan sebagaimana perintah dari dalil. Masyarakat setempat

kemudian menamakan kegiatan dalam penentuan awal bulan Ramadan

tersebut dengan sebutan Pasa Fulang yang makna secara bahasanya

adalah Menembak Bulan. Namun makna tersebut hanyalah bentuk

formalitas dalam penyebutan kegiatan ketika proses penetapan awal

bulan Ramadan. Substansi yang semestinya dapat dipahami dari tradisi

Pasa Fulang adalah istilah penting dalam menentukan awal bulan

Ramadan di setiap tahunnya bagi masyarakat Desa Serakapi melalui

aktifitas sosial adat kebiasaan dan keagamaan sesuai dengan kondisi

keseharian setempat, yakni keberadaan masyarakat setempat yang

berada di dekat pesisir pantai dan kebiasan untuk selalu bermusyawarah

sebelum memutuskan setiap perkara atas dasarkemaslahatan bersama.

Aktifitas yang dilakukan selama ini dalam tradisi Pasa Fulang yaitu

menentukan hari kapan akan dimulainya ibadah puasa dan lebaran

melalui sistem perhitungan, mengamati perjalanan bulan dan pasang

surut air laut sampai pada puncaknya adalah melakukan pertemuan

sekaligus pembahasan di masjid setelah sholat ashar dan diakhiri

dengan pemukulan beduk sebagai tanda untuk mengumumkankepastian

awal waktu dari bulan Ramadan.

Peneliti kemudian mencermati bahwa tradisi Pasa Fulang sampai


saat ini tetap dilakukan karena berbagai macam faktor yang

melatarbelakanginya. Salah satu faktor utamanya adalah penggunaan

dan penafsiran dalil hingga realisasinya terhadap proses penentuanawal

bulan Ramadan. Sedangkan beberapa faktor lain yang turut serta

mempengaruhi sebab tradisi tersebut masih dilakukan hingga sekarang

adalah karena kondisi letak geografis dan sosial historis kebiasaan adat

setempat atas dasar kemaslahatan bersama yang dimaksudkan.

Penyampaian lain dijelaskan bahwa hal utama yang dilakukan

dalam tardisi Pasa Fulang adalah memperkirakan hari kapan akan

dimulainya awal bulan Ramadan, kemudian menghitung potensi

jumlah hari dilaksanakannya ibadah puasa, memastikan semua

perkiraan dan potensi tersebut melalui pengamatan jalannya bulan dan

pasang surut air laut, hingga pada puncaknya adalah mengadakan

pertemuan untuk melakukan musyawarah bersama pada sore hari

setelah sholat ashar di akhir bulan Sya‟ban. Kemudian menyampaikan

hasil musyawarah tersebut kepada seluruh masyarakat setempatditandai

dengan pemukulan beduk.

Dalam memastikan awal bulan tersebut, masyarakat setempat

memulainya ketika pertengahan bulan Sya‟ban (Malam Nisfu

Sya‟ban), karena pada saat itu bulan terlihat purnama dan berubah

menjadi bulan sabit tua di setiap harinya hingga menghilang lalu muncul

kembali bulan baru (hilal). Maka bulan baru inilah yang disebut sebagai

bulan Ramadan, yaitu bulan setelah Sya‟ban. Hal tersebut ditandai


dengan proses pasang surutnya air laut. Sehingga masyarakat setempat

selalu meyakini bahwa surutnya air laut tersebut adalah tanda bahwa

bulan baru akan segera muncul. Sebab kondisi geografis dan cuaca pada

saat itu tidak memastikan untuk melihat bulan baru, sehingga surutnya

air laut menjadi solusi bagi masyarakat setempat. Sedangkan tujuan

masyarakat mengadakan pertemuan pada sore hari di akhir bulan

Sya‟ban adalah untuk menyampaikan hasil pengamatannya selama

beberapa hari sebelum berkumpul serta membandingkannya dengan

hasil perhitungan yang jauh sebelumnya telah diperkirakan sebagai

pertimbangan untuk pengambilan keputusan. Setelah menyepakati

keputusan, maka diadakan doa bersama yang dilanjutkan dengan

pemukulan beduk untuk memberikan pengumuman bahwa malamnya

akan dilaksanakan sholat terawih dan sahur dalam memulai ibadah

puasa.

Pada penyampaian narasumber selanjutnya cukup menyinggung

tentang kesulitan dalam menetapkan waktu. Bahkan penggunaan dalil

yang disampaikan jarang direalisasikan oleh masyarakat secara umum

ketika penentuan awal bulan Ramadan yaitu QS. Al-Muzzammil ayat

20 yang artinya “Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat

menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberikan keringanan

kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-

Qur‟an.” 10[9]

10
QS. Al-Muzzammil [73]: 20.
Jika dilihat dari keseluruhan ayat tersebut maka dapat diketahui

bahwa sebenarnya ayat 20 dari QS. Al-Muzzammil menyinggung

tentang ibadah sholat. Namun dalam penafsiran menurut Kementerian

Agama RI, ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa mengerjakan

perintah fardu itu tidak boleh melebihi batas ukuran yang ditentukan

agar tidak memberatkan diri atau sia-sia. Sedangkan dari redaksitafsir

secara tekstual pada ayat tersebut, masyarakat Desa Serakapi

memahami bahwa untuk menentukan waktu adalah hal yang sanagat

sulit. Sehingga perlu sekiranya untuk mengetahui hal yang

memudahkan untuk menentukan awal waktu dari bulan Ramadan,

namun hal itu tidak bertentangan dengan syariat. Akan tetapi menjadi

salah satu ijtihad ulama atau orang-orang terdahulu yang telah

mengetahui kesesuaian dari fenomena alam berupa terbitnya bulanserta

naik turunnya pasang surut air laut. Sedangkan puasa di bulan Ramadan

merupakan perintah yang hukumnya fardu atau wajib dan ukuran

mengenai kapan akan dimulai serta diakhiri sesuai dengantakarannya

yaitu antara selama 29 atau 30 hari. Dari beberapa dalil tentang

penentuan awal bulan Ramadan berupa Al-Qur‟an dan Hadits yang

telah disampaikan sebelumnya, masyarakat di Desa Serakapi terlihat

jelas menafsirkan secara kontekstual tanpa berpatokan langsung secara

tekstual ketika menggunakan dalil. Termasuk dengan memberikan

istilah pada kegiatan keagamaan berupa Pasa Fulangdalam penentuan

awal Ramadan. Jika ditelusuri mengenai sistem atau konsep yang


digunakan oleh masyarakat Desa Serakapi dalam penentuan awal bulan

Ramadan, maka dapat diketahui secara tidak langsung bahwa

sebenarnyamasyarakat setempat menerapkan konsep komparasi antara

Hisab dan Rukyat serta memantau kondisi alam berupa pasang surut air

laut sebagai akibat dari grafitasi bulan. Hal itu ditandai dengan

pengakuan dari narasumber mengenai perhitungan yang digunakan

serta pengamatan terhadap objek dan tujuannya. Selebihnya adalah

masyarakat menerapkan akan pentingnya sikap sosial untukmelakukan

musyawarah dalam mengambil sebuah keputusan yang tujuannya

adalah kemaslahatan bersama dalam menjemput awal bulan Ramadan.

B. Tinjauan Fiqih dan Sains Terhadap Tradisi Pasa Fulang Dalam

Upaya Penentuan Awal Bulan Ramadan Di Desa Serakapi

Diskursus mengenai penentuan bulan dalam kelender Islam

sebenarnya telah lama dikenal oleh masyarakat Islam. Namun tidak

begitu banyak pada kalangan ahli atau ilmuan tentang keislaman

(Islamic Studies) yang menaruh pemikirannya terhadap kelender Islam.

Sehingga sampai saat ini ide mengenai pembaharuan dalam kelender

Islam tergolong sebagai bidang kajian yang kolot atau terlantar.

Walaupun telah hadir gagasan mengenai kelender Islam Internasional,

akan tetapi hal tersebut belum mampu menyatukan gagasan dari

beberapa kelender regional dari setiap Negara.

Akibatnya beberapa Negara terutama di Indonesia selalu

mengalami perbedaan pendapat dan penetapan ketika menentukan awal


bulan hijriyah terkhususnya bulan Ramadan. Hal ini terlihat pada

beberapa ormas yang memiliki penafsiran dan kriteria tersendiri

mengenai proses penentuannya, baik itu secara fiqih maupun sains atau

justru melalui kebiasaan-kebiasaan tertentu di setiap wilayah.

Di Desa Serakapi, tradisi Pasa Fulang yang dipahami sebagai

kebiasaan masyarakat dalam menentukan awal bulan Ramadan menjadi

diskursus tersendiri jika ditinjau secara fiqih dan sains. Walaupun pada

paparan data terlihat jelas kecenderungan terhadap metode hisab atau

perhitungan kemudian diikuti dengan rukyat yang kegiatannya bukan

sekedar melihat bulan purnama pada malam pertengahan bulan

Sya‟ban, tetapi juga pemantauan terhadap pasang surut air laut.

Jika dirujuk dari landasan hukum terkait dengan penentuan awal

bulan Ramadan, maka dapat diketahui bahwa hal tersebut masih dalam

kategori kajian fiqih atau ijtihadi para ulama, sebab perselisihan

pendapat yang terjadi di kalangan ulama terkait penentuan awal bulan

hijriyah merupakan refleksi manisfestasi dari perbedaan dalam

memahami dasar hukumnya. Permasalahan ini kemudian menjadi

bagian dari khilafiyyah klasik atau dengan kata lain termasuk hukum

Islam kategori fiqih dalam perselisihan pandangan kalangan fuqoha‟

sebagai akibat perbedaan ijtihad yang ditempuh.

Dari perspektif maqasid al-syari‟ah atau tujuan ditetapkannya

hukum dalam Islam adalah menemukan kebaikan sekaligus

menghindarkan keburukan atau dengan kata lain menarik manfaat dan


menolak mudarat. Istilah sepadan yang sering diungkapkan adalah

mengambil kemaslahatan dalam penetapannya. Maka dapat dipahami

bahwa penentuan awal bulan Ramadan dengan hukumnya yang fardhu

kifayah tersebut mesti diketahui juga tujuan serta maksudnya selain

dari garis ketetapan akan kewajiban. Terlebih lagi oleh tradisi Pasa

Fulang yang di dalamnya terdapat unsur sosiologis dan itu

mengharuskan masyarakat setempat secara tidak langsung untuk terus

menjalankannya secara turun-temurun bukan atas dasar intelektual

primitif (pemahaman awam), melainkan murni atas penafsiran dalil.

Secara fiqih, pembahasan tradisi dalam Islam dikenal dengan istilah

al-„urf yaitu kebiasan yang dilakukan secara berulang sehingga menjadi

budaya atau adat. Kemudian adat atau kebiasaan inilah yang dianggap

sebagai penentu hukum dan harus dilakukan secara terus- menerus

sesuai dengan syaratnya atau kondisi sosial masyarakat setempat

berada. Menurut para ulama perihal „adah, bisa dijadikan dasar untuk

menetapkan hukum Islam apabila tradisi tersebut telah berlaku secara

umum pada masyarakat tertentu. Sebaliknya jika sebuah tradisi tidak

berlaku secara umum, maka tidak dapat dijadikan sebagai pedoman

dalam menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan.

Sebagaimana terdapat salah satu kaidah fiqih yaitu al-„adatu

muhakkamah (adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum) dan

menurut pengertian lain dijelaskan bahwa hukum asal dalam kebiasaan

(adat istiadat) adalah boleh saja sampai ada dalil yangmemalingkan dari
hukum asalnya. Sebab adat adalah membiasakan sesuatu yang dapat

diterima oleh akal sehat dan mengulang-ulangnya sehingga memiliki

andil besar dalam menetapkan hukum atas dasar kemaslahatan umat.56

Sehingga kebiasaan masyarakat Desa Serakapi ketika menjalankan

tradisi Pasa Fulang dalam menentukan awal bulan Ramadan dapat

dipahami bahwa tidak bertentangan sama sekali

dengan syariat Islam dan dapat dibenarkan secara fiqih karena dari awal

proses dijalankannya tradisi tersebut ditemukannya kemaslahatan

bersama dalam setiap aktivitas mulai dari pengamatan bulan serta

pasang surut air laut di bulan Sya‟ban hingga penetapan secara sah oleh

masyarakat setempat.

Dalil yang digunakan sebagai landasan dalam penetapan awal bulan

Ramadan menurut masyarakat Desa Serakapi sama halnya seperti

penggunaan dalil pada umumnya oleh umat Islam yakni dari Al-Qur‟an

dan Hadits terkhususnya perintah untuk melihat hilal. Namun dalam

penerapannya masyarakat Desa Serakapi cenderung menggunakan dalil

Al-Qur‟an yang orientasinya lebih kepada ayat- ayat tentang

perhitungan atau hisab hilal (ar-rukyat bi al-„ilmi) denganpengertian

lain bahwa melihat hilal dengan menggunakan ilmu. Berkaitan dengan

hal tersebut, maka posisi hilal sebenarnya dinilai berkisar pada tiga

keadaan. Pertama yaitu hilal tidak mungkin terlihat (istihalah ar-

rukyah), kemudian yang kedua hilal mungkin dapat dilihat (imkanur

rukyah), sedangkan ketiga adalah hilal pasti dapat dilihat (al-qath‟u bir
rukyah).57 Ketiga keadaan tersebut berkaitan eratdengan media apa yang

mempermudah untuk mengetahui posisi hilal. Sehingga dalam

penggunaan media, masyarakat di Desa Serakapi lebih meyakini sistem

perhitungan hisab dengan istilah sepuluh jari tambah satu dan sepuluh

jari kurang satu dan sistem hitungan tiga, lima untuk menemukan waktu

berupa hari kapan akan dimulainya ibadah puasa dan lebaran.

Sedangkan pasang surut air laut adalah media yang digunakan untuk

mempermudah dalam urusan penentuan awal bulan akibat kondisi sosial

keseharian dari masyarakat setempat sebagian besar adalah para nelayan

dan keberadaannya tidak jauh dari wilayah pantai atau laut.

Perhitungan atau hisab yang digunakan oleh masyarakat Desa

Serakapi tersebut sesuai dengan prinsip seorang ulama kontenporer

Muhammad Rasyid Ridha bila ditelaah secara cermat setidaknya terdapat

dua alasan penting yaitu pertama Al-Qur‟an lebih menganjurkan umat

islam untuk mempelajari ilmu hisab dan kedua adalah pengamatan hilal

menggunakan mata kepala merupakanperintah yang disesuaikan dengan

kondisi zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Nabi

Muhammad Saw. Hal ini ditandai dengan beberapa narasumber yang

lebih banyak menggunakan dalil Al-Qur‟an sebagai landasan dalam

penetapan awal bulan Ramadan di Desa Serakapi. Sedangkan dalil hadits

mengenai penentuan awal bulantetap digunakan sebagai penguatan dalil

walaupun realisasinya sedikit berbeda disebabkan penyesuaian terhadap

keadaan masyarakat setempat dan juga konteks pemaknaannya.


Begitu juga dengan berbagai macam konsep dalam hukum Islam

melalui sumber-sumber sekunder seperti kemaslahatan, kebudayaan,

adat dan lainnya yang dikembangkan oleh para ulama terdahulu

sebenarnya adalah respon intelektual dan keinginan berekspresi dalam

menyiapkan ruang metodologis yang memadai pengembangan

pemikiran tentang hukum Islam guna melakukan adaptasi terhadap

perubahan sosial serta akomodasi atas elemen-elemen tradisi

modernitas yang dipandang positif, sejalan dengan syariat.59 Maka

dengan menjadikan Pasa Fulang sebagai basis dan pembaharuan

pemikiran dalam hukum Islam dan sebagai salah satu langkah integrasi

penetapan awal bulan Ramadan bagi masyarakat Desa Serakapi adalah

suatu hal yang sesuai dan tidak berrtentangan dengan syariat sekalipun

Pasa Fulang hanya sebatas tradisi semata.

Ketika proses pengamatan terhadap bulan dan pasang surut air laut

telah dilakukan kemudian bila itu belum juga menemukan hasil oleh

masyarakat Desa Serakapi yang benar-benar menjamin sebuah kepastian,

maka satu-satunya jalan adalah kembali pada keyakinan terhadap

perhitungan atau hisab yang sebelumnya telah diperkirakan harinya untuk

memulai kapan akan dilaksanakannya ibadah puasa. Namun yang jelas

bahwa pengamatan terhadap pasang surut air laut cukup menjamin tingkat

kepastian akan pergerakan bulan melintasi bumi, walaupun secara mata

kepala kadang-kadang bulan terhalangi oleh cuaca berupa awan atau

hujan bagi masyarakat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat


keterbtasan dalam melihat pergerakan bulan. Sehingga harus ada media

yang mendukung, yakni melaluipasang surut air laut. Secara sains dapat

dipahami bahwa pada setiap peralihan zaman, ilmu pengetahuan selalu

berevolusi dan berkembang bahkan selalumengalami kemajuan diiringi

dengan keberadaan manusia dalam memahami agama dan dunia di

sekitarnya, sebab manusia tidak dapat kembali pada ketidaktahuannya di

masa lampau hanya dengan kepercayaan diri. Maka manusia harus

menggunakan pengetahuannya sebaik mungkin sehingga dapat

beradaptasi pada lingkungannya. Kondisi sederhananya mengenai

pengetahuan di zaman Nabi Muhammad Saw terlihat jelas bahwa

keberadaan masyarakat setempat jauh dari wilayah pantai atau laut

sehingga hal yang benar-benar menjadi patokan utama dalam penentuan

waktu adalah melihat bulan atau benda-benda langit lainnya sebagaimana

telah tersampaikan dalam QS. Yunus (10) ayat 5. Dengan

berkembangnya segala pengetahuan dan zaman, sebagian manusia atau

lebih khususnya umat Islam secara empiris akhirnya mengetahui bahwa

pengaruh dari aktifitas pergerakan bulan ketika mengelilingi bumi

dapat diketahuimelalui pasang surut air laut. Hal inilah yang kemudian

secara sosial dan tradisi kebiasaan, masyarakat Desa Serakapi selalu

melakukannya setiap tahun untuk menentukan awal bulan Ramadan

karena meyakinibahwa kegiatan tersebut telah dilajalankan oleh orang-

orang terdahulu. Sebagaimana hukum gravitasi menurut Newton telah

memberikan gagasan bahwa semakin jauh jarak antar benda, maka


semakin kecil gaya gravitasi antara keduanya. Sedangkan pengaruh

gravitasi bulanterhadap bumi yang ditandai dengan pasang surut air

laut tersebut menjadi sebuah fakta sains bahwa jarak antara bulan

terhadap bumilebih dekat dibandingkan benda langit lainnya maka jelas

bahwa gaya

gravitasi antara kedua benda tersebut pengaruhnya cukup besar.

Salah satu tipe pasang surut air laut yang selalu dijadikan sebagai

dasar dalam menentukan awal bulan adalah Mixed tides prevailing

diurnal, yaitu pasang surut air laut campuran dengan kecenderungan

terhadap harian tunggal dimana dalam satu hari terdapat satu kalipasang

dan satu kali surut tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi

dua kali pasang dan dua kali surut disertai perbedaan tinggi dan periode

pasang surutnya.

Fenomena pasang surut air laut ini kemudian diartikan sebagai

fenomena naik turunnya permukaan air laut secara bergantian yang

diakibatkan oleh pengaruh kombinasi gaya gravitasi benda-benda

astronomi terutama matahari dan bulan serta gaya sentrifugal (bergerak

menjauhi pusat atau sumbu) dari bumi. Sehingga kondisi permukaan air

laut secara berkala akan mengalami pergantian pasang atau surut sesuai

dengan keberadaan bulan. Pada saat bulan purnama, jarak permukaan

air laut terhadap pusat bulan sangat dekat dibandingkan pusat bumi

dengan pusat bulan yang akibatnya permukaan air laut akan naik. Air

laut akan menjadi surut apabila tidakterjadi bulan purnama. Kemudian


kondisi permukaan air laut yang surut ini diistilahkan dengan pasang

perbani yaitu ketika belahan bumi lain mengalami pasang naik dan

sebagian lainnya surut. Hal tersebut terjadi akibat bagian bumi yang

surut berposisi tepat di bagian tengah antara bagian bumi yang

mengalami bulan purnama.

Namun naiknya permukaan air laut sekitar pertengahan bulan

adalah pasang surut air laut tertinggi kedua dalam kurun waktu sekitar

29 atau 30 hari. Sedangkan pasangnya air laut yang paling tertinggi

adalah ketika permukaan air laut naik turun akibat terjadinyakonjungsi

bulan baru atau dalam Ilmu Falak diistilahkan sebagai ijtima‟, yaitu

ketika posisi bulan, bumi dan mathari berada pada satu garis lurus.Pada

saat itu, masyarakat Desa Serakapi mulai melakukan Pasa Fulang yang

diawali dengan pengamatan (rukyat) terhadap keberadaan bulan

purnama dan naik turunnya air laut, di samping melakukan doa

bersama di malam Nisyfu Sya‟ban hingga puncaknya ketika tanggal 29

Sya‟ban adalah beberapa pihak turut serta berkumpul untuk

musyawarah bersama di masjid guna menetapkan awal bulan Ramadan.

Perhitungan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Serakapi

menggunakan sistem Sepuluh Tambah Satu, Sepuluh Kurang Satu atau

dengan cara lain berupa hitungan Tiga, Lima sama-sama memilikihasil

bahwa awal waktu dilaksanakan ibadah puasa adalah jatuh pada hari

Sabtu, 2 April 2022. Hasil tersebut dihitung dari hari mulainya ibadah

puasa di tahun lalu yaitu hari Selasa. Sehingga hitungan secara Sepuluh

Tambah Satu, Sepuluh Kurang Satu adalah dihitung langsung menuju


ke hari selanjutnya sampai dengan jumlah hari sebanyak sepuluh

kemudian ditambah satu hari yaiu Rabu, Kamis, Juma‟at, Sabtu,

Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat ditambah satu hari sehingga

pada hari Sabtu dimulai ibadah puasa karena Jum‟at malam telah

dimulai awal bulan Ramadan. Kemudin untuk hari lebarannya adalah

jatuh pada hari Senin yang itu dihitung langsung dari awal hari puasa

dengan melanjutkan hari setelahnya yaitu Minggu, Senin, Selasa, Rabu,

Kamis, Jum‟at, Sabtu, Minggu, Senin, Selasa. Padaurutan ke sepuluh

yaitu hari Selasa dibuang sesuai dengan aturan pengurangan satu hari

sehingga sisa terakhir adalah hari Senin. Maka hari Senin kemudian

dianggap sebagai waktu yang tepat untuk lebaran. Namun berbeda

dengan hitungan Tiga, Lima yaitu sistem dimana perhitungan tiga

adalah penentuan hari lebaran. Sedangkan untuk lima adalah

perhitungan menuju puasa pada satu tahun yang akan datang. Namun

perhitungannya dimulai dari hari dilaksanakan puasa. Sebagai contoh,

jika tahun 2022 puasa jatuh pada hari Sabtu, maka hitungannya adalah

Sabtu, Minggu, Senin, Selasa, Rabu. Maka puasa pada satu tahun yang

akan datang jatuh pada hari Rabu. Begitu juga dengan perhitungan

menuju hari lebaran.


BAB IV

PENUTU

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan yang

telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Penentuan awal bulan Ramadan di Desa Serakapi diistilahkan sebagai

tradisi Pasa Fulang atas dasar konsep Rekeng Seru (Hitung Pantau) yaitu

dimulai dengan hisab atau menghitung hari kapan akan dimulainya ibadah

puasa serta lebaran melalui sistem perhitungan Kartou Taling Tou, Kartou

Gute Tou (Sepuluh tambah satu dan sepuluh kurang satu) atau dengan cara

lain adalah Rekeng Talo, Lema (Hitungan Tiga dan Lima), sistem

perhitungan ini berlaku tetap selama tujuh tahun dan akan kembali pada

hari hasil perhitungan semula. Kemudian aktivitas selanjutnya adalah

pemantauan terhadap bulan dan pasang surut air laut ketika pertengahan

bulan Sya‟ban hingga pada puncaknya yaitu di tanggal 29 Sya‟ban para

Tokoh Agama, Tokoh Adat, Tokoh Masyarakat dan Pemerintah Desa

melakukan musyawarah bersama di Masjid setelah Sholat Ashar untuk

mengambil kesepakatan kapan akan dimulainya ibadah puasa dan hasil

kesepakatan tersebut diumumkan dengan cara memukul beduk sebagai

pemberitahuan kepada seluruh masyarakat Desa Serakapi bahwa

malamnya akan dimulai ibadah sholat Terawih.

2. Secara fiqih, tradisi Pasa Fulang tidak bertentangan dengan syariat

Islam sehingga dijadikan sebagai dasar hukum dalam menetapkan


awal bulan Ramadan melalui kaidah fiqih al-„adatu muhakkamah yang

artinya adat kebiasaan bisa dijadikan sebagai pertimbangan untuk

menetapkan hukum. Pasa Fulang dilakuan dengan metode hisab sebagai

dasarnya, kemudian diiringi dengan rukyat yang objeknya adalah bulan

sekaligus pasang surut air laut. Hal ini menunjukkan bahwa

implementasi dari dalil naqli direalisasikan pada konteks dan kondisi.

Secara sains, Pasa Fulang dilakukan atas dasar pengetahuan akan kondisi

masyarakat yang secara geografis tidak jauh dari pesisir pantai.

Selanjutnya pasang surut air laut tersebut dijadikan sebagai dasar

penentuan awal bulan Ramadan karena pengaruh gravitasi pergerakan

bulan terhadap bumi. Selanjutnya tipe pasang surutair laut yang selalu

dijadikan sebagai dasar dalam menentukan awal bulan adalah Mixed tides

prevailing diurnal, yaitu kondisi air laut mengalami satu kali pasang dan

satu kali surut tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua

kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari disertai perbedaan tinggi

dan periode pasang surutnya.

B. Saran

1.Untuk masyarakat secara umum diharapkan untuk saling menerima

akan perbedaan metode dalam penetapan awal bulan Ramadan.

2. Bagi masyarakat Desa Serakapi semestinya lebih inklusif dalam

menerima saran dan masukan dari pemerintah atau pihak akademis

mengenai tata cara penentuan awal bulan Ramadan tanpa didahului

dengan perdebatan yang sulit menemukan ujungnya.


3. Untuk pemerintah terkhususnya Kementerian Agama Kabupaten

Dompu seharusnya memberikan pandangan tanpa mengklaim benar

atau salah, melainkan bagaimana memahami terdahulu bahwa di

setiap wilayah memiliki penafsiran tersendiri terhadap dalil

pengenai hisab dan rukyat.

4. Bagi para akademis terkhsusunya di bidang kajian Ilmu Falak

Astronomi Sains Islam seharusnya lebih giat lagi dalam mencari

sumber-sumber literatur terkait sehingga bisa menjadi patokan kuat

dalam ilmu pengetahun secara umum ketika melihat realitas sosial

masyarakat yang penuh dengan dinamika saat momentum-

momentum penentuan awal bulan hijriyah.


DAFTAR PUSTAKA

[1] “AGUNG WIRAYUDA Pasang surut air laut sebagai penentuan awal bulan islam”.
[2] “ALAMSYAH UIN ALAUDIN”.
[3] D. Kepada, F. Syariah, H. Untuk, dan M. Persyaratan, “PENENTUAN AWAL
BULAN DALAM PERSPEKTIF ABOGE (STUDI TERHADAP KOMUNITAS
ABOGE DI PURBALINGGA) SKRIPSI K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N
A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H/ 2009 M.”
[4] S. Kasus Desa Wakal, K. Lei Hitu, dan K. Maluku Tengah, “PENETAPAN AWAL
BULAN QAMARIYAH PERSPEKTIF MASYARAKAT DESA WAKAL.”
[5] M. Awaludin, Astronomi Tradisi (Membaca Kalender Rowot Sasak).
[6] “Jurnal+Arino+Bemi+Sado PROBLEMATIKA HISAB RUKYAT”.
[7] T. Al-Muzzammil, K. Metodologis, T. Kiai, A. M. Hasan, dan F. Marzuki, “Tafsere
Volume 10 Nomor 2 Tahun 2022.”
[8] K. Azmi, J. Akademi, T. Islam, S. Sosial, dan D. Kemanusiaan, “KOD ETIKA
PEPERANGAN DALAM ISLAM: SURAH AL-BAQARAH (2: 189-195) *.”
[9] “TELAAH SURAT AL MUZAMMIL ATAI 1 SAMPAI 20”.

Anda mungkin juga menyukai