Riset Mini - Asmadinda - A311 20 042
Riset Mini - Asmadinda - A311 20 042
Disusun Oleh :
ASMADINDA
A311 20 042
Dosen pengampuh :
Dr.Misnah S.Pd.,M.Pd
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Pra skripsi tugas akhir tepat pada
waktunya. Adapun gagasan yang melatar belakangi penulis memilih judul ini karena
adanya ketertarikan terhadap konflik yang pernah terjadi di poso yang mana
menjadi perbincangan pada saat itu maka,penulis menarik untuk judul pra skripsi
kali ini yaitu “Merajut Asa Perdamaian Melalui Budaya Sintuwu Maroso Di Kab Poso”
Terima kasih juga kepada beberapa teman yang tidak bisa disebutkan
satupersatu karena berkat dukungan mereka juga pra skripsi ini bisa sampai saat ini
.
Palu…..Oktober,2022
Asmadinda
i
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA ............................................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2. Rumusan masalah ............................................................................................................ 4
1.3. Tujuan dan saran ............................................................................................................. 4
1.4. Manfaat penelitian .......................................................................................................... 4
1.5. Sistematika penulisan ...................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 6
2.1. Pengertian budaya ........................................................................................................... 6
2.2. Unsur-unsur budaya......................................................................................................... 6
2.3. Tinjauan khusus budaya .................................................................................................. 9
2.4. Konflik ..............................................................................................................................12
2.4.1 pengertian konflik……………………………………………………………………………………….12
2.4.2 bentuk-bentuk konflik…………………………………………………………………………………13
ii
3.1 lokasi penelitian……………………………………………………………………………………………………......23
5.2 saran………………………………………………………………………………………………………………………….36
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
berdasarkan data dari Kementerian Agama pada tahun 2020 yakni, 60.80% (151.261
jiwa) penganut agama Kristen, Protestan 59.45% (147.899 jiwa) dan Katolik 1,35%
(3.362 jiwa), penganut agama Islam 33,60% (83.597 jiwa),agama Hindu 5,60%
(13.937 jiwa), dan minoritas agama Buddha tidak sampai 0,01% (4 jiwa). Dengan
rincian suku bangsa antara lain penduduk transmigrasi dari pulau Jawa, Lombok,
Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar) yang pada umumnya memeluk
agama Islam, dan penduduk asli Tojo, Bungku dan Togian. Sedangkan Penduduk
yang memeluk agama Kristen di dominasi penduduk asli dari suku Pamona, Mori,
serta pendatang dari Manado, Toraja dan Nusa Tenggara Timur.
Kota ini dilanda konflik komunal menjelang akhir tahun 1998, dan berlangsung
sampai setidaknya tahun 2001. Kerusuhan terjadi dan menyebar ke hampir seluruh
wilayah di Kabupaten Poso, menyebabkan sekitar 100 ribu jiwa mengungsi ke
daerah lain. Pemerintah bertindak dengan menggelar deklarasi damai untuk kedua
belah pihak, dan kerusuhan mulai menyurut—meskipun tidak sepenuhnya. Baru
pada awal tahun 2007, operasi kepolisian berhasil menangkap mereka yang
dianggap terlibat dalam serangkaian aksi teror di Poso.Seta adanya budaya yang
berperan besar dalam mendamaikan konflik yang terjadi di poso yaitu budaya
situwu maroso,yang mana membuat masyarakat poso hingga kini hidup
berdampingan dengan damai.
Dalam kehidupan sosial masyarakat di Poso, sintuwu maroso tidak hanya
menjadi semboyang daerah. Akan tetapi budaya sintuwu maroso ini merupakan
salah satu ciri masyarakat Poso secara umum terutama dalam hal pandangan
individu-individu dalam kelompok terhadap orang lain dan interaksi sosial. Sudah
sejak lama sintuwu maroso menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Poso yang
sifatnya menyatukan baik itu menyatukan penduduk asli Poso maupun pendatang di
Poso.
Sintuwu maroso merupakan suatu bentuk kesadaran sosial kolektif yang
melembaga dimana setiap orang terikat secara moral untuk terlibat di dalamnya.
2
Sehingga fungsi budaya sintuwu maroso pada dasarnya adalah memelihara
keseimbangan, kesamaan dan keutuhan kohesi sosial. Rasa tanggung jawab moral
yang terkandung dalam sintuwu maroso sangatlah eklusif. Dimana kesedian individu
untuk mosintuwu (sebagai suatu wujud nyata budaya sintuwu maroso) atau berbagi
kehidupan dengan orang lain dalam kehidupan sosial tidak terbentur pada batasan-
batasan tertentu (sasial, suku dan agama).
Solidaritas sosial, dalam artian bahwa memandang perlu adanya suatu bentuk
kepeduliaan sosial terhadap orang lain dalam suatu ikatan tertentu dalam
kehidupan bermasyarakat sebagai wujud nyata dan pendukung untuk
terciptanya keseimbangan sosial.
Melihat sintuwu maroso merupakan suatu falsafah yang universal maka masih
sangat relevan dan ideal untuk digunakan sebagai simbol interaksi dalam
masyarakat Poso pasca konflik untuk mencapai perdamaian.
3
1.2. Rumusan masalah
1. Tujuan penlitian
Adapun tujuan dari rumusan masalah tesebut yaitu untuk lebih mngetahui serta
mendalami nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya sintuwu maroso itu sendii
seta lebih membangun dinamika dalam bragama.
2. Saran penelitian
Lebih menggalih lebih dalam lagi makna-makna yang terkandung dalam budaya
sintuwu maroso ini,agar bisa menambah wawasan besama dalam hal kebudayaan.
a. Manfaat teoritis
b. Manfaat praktis
4
1.5. Sistematika penulisan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut
culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga kadang sering
diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa Indonesia.
Budaya atau culture merupakan istilah yang datang dari disiplin antropologi
sosial. Dalam dunia pendidikan budaya dapat digunakan sebagai salah satu transmisi
pengetahuan, karena sebenarnya yang tercakup dalam budaya sangatlah luas.
Budaya laksana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun
persepsi, mengidentifikasi apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta
menghindar dari yang lain.
6
semua bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat
pedesaan hingga sistem kebudayaan yang kompleks seperti masyarakat perkotaan.
7
kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana hidup dan
bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah
kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya,
manusia akan digolongkan ke dalam tingkatan-tingkatan lokalitas geografis
untuk membentuk organisasi sosial dalam kehidupannya.
d. Peralatan hidup dan teknologi Manusia
selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya, sehingga mereka akan selalu
membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para
antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi
yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai
peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan
demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan
hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
e. Mata pencaharian hidup
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus
kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata
pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok
masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya.
f. Religi
Asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya
pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau
supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa
manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Dalam
usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab
lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi
8
suku- suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang
dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan
mereka masih primitif.
g. Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi
mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang
dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau
artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan
etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah
pada teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu,
deskripsi etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni
tari, dan seni drama dalam suatu masyarakat.
Definisi mengenai budaya yang dikemukakan dalam bab ini adalah kumpulan
pendapat beberapa ahli yang mendalami disiplin ilmu pengetahuan tentang budaya.
Sumber literature yang menjadi referensi acuan penulisan tesis ini dalam bentuk
buku-buku materi kuliah, hasil penelitian atau karya ilmiah akademik berupa: tesis,
artikel dan pemanfaatan teknologi informasi melalui media elektronik/internet.
a. Individualisme
kecenderungan akan kerangka sosial yang terjalin longgar dalam masyarakat
dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga
dekatnya.
9
b. Kolektivisme,
kecenderungan akan kerangka sosial yang terjalin ketat dimana individu
dapat mengharapkan kerabat, suku, atau kelompok lainnya melindungi
mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak. Isu utama dalam dimensi ini
adalah derajat kesaling-tergantungan suatu masyarakat diantara anggota-
anggotanya. Hal ini berkait dengan konsep diri masyarakat : "saya" atau
"kami".
c. Jarak kekuasaan
merupakan suatu ukuran dimana anggota dari suatu masyarakat menerima
bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara
merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang kurang
berkuasa dan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki
jarak kekuasaan besar menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang
mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan justifikasi. Orang-
orang dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan
persamaan kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan.
Isu utama atas dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat menangani
perbedaan diantara penduduk ketika hal tersebut terjadi. Hal ini mempunyai
konsekuensi jelas terhadap cara orang-orang membangun lembaga dan
organisasi mereka.
d. Penghindaran ketidakpastian
merupakan tingkatan dimana anggota masyarakat merasa tak nyaman
dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka
untuk mempercayai kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara
lembaga-lembaga yang melindungi penyesuaian. Masyarakat yang memiliki
penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan dan perilaku
yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang menyimpang.
Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang lemah
10
menjaga suasana yang lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari
prinsip dan penyimpangan lebih dapat ditoleransi. Isu utama dalam dimensi
ini adalah bagaimana suatu masyarakat bereaksi atas fakta yang datang
hanya sekali dan masa depan yang tidak diketahui. Apakah ia mencoba
mengendalikan masa depan atau membiarkannya berlalu. Seperti halnya
jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian memiliki konsekuensi akan
cara orang-orang mengembangkan lembaga dan organisasi mereka.
e. Maskulinitas
kecenderungan dalam masyarakat akan prestasi, kepahlawanan, ketegasan,
dan keberhasilan material. Lawannya, feminitas berarti kecenderungan akan
hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan kualitas hidup.
Isu utama pada dimensi ini adalah cara masyarakat mengalokasikan peran
sosial atas perbedaan jenis kelamin
11
b. Aktivitas (tindakan),
c. Artefak (karya),
artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa bendabenda
atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya
paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
2.4. Konflik
12
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan
konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat
menyeluruh dikehidupan.3 Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara
melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompokkelompok yang saling
menantang dengan ancaman kekerasan.
13
Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau
kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik
yang terjadi antar organisasi massa
1. Kemajemukan horizontal,
yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara kultural, seperti
suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan
dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri,
militer,wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan
14
horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural
tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat
budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut.
Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai
yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan
perang saudara.
2. Kemajemukan vertikal,
yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan,
pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik
sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan,
pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara
sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan
tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini
merupakan benih subur bagi timbulnya konflik social.
Tak perlu diragukan lagi, proses sosial yang namanya konflik itu adalah suatu
proses yang bersifat disosiatif. Namun demikian, sekalipun sering berlangsung
dengan keras dan tajam, proses-proses konflik itu sering pula mempunyai akibat-
akibat yang positif bagi masyarakat. Konflik-konflik yang berlangsung dalam diskusi
misalnya, jelas akan unggul, sedangkan pikiran-pikiran yang kurang terkaji secara
benar akan tersisih. Positif atau tidaknya akibat konflik-konflik memang tergantung
dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang
menjadi ajang berlangsungnya konflik. Oleh karena itu ada dua dampak dari adanya
konflik terhadap masyarakat yaitu:
15
a. Dampak positif dari adanya konflik
Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok.
Apabila terjadi pertentangan antara kelompokkelompok, solidaritas antar
anggota di dalam masing-masing kelompok itu akan meningkat sekali.
Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit
dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik
dengan pihak-pihak luar.
Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga
masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan
tertentu di dalam masyarakat.
16
2.4.5. Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik
Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat
menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan
(dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada
terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas.
Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-
nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan,
pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat
dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif.
Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan
sebagai usaha menyelesaikan konflik.
17
4. Perwasitan Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat
untuk memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi diantara mereka.
2.5. Agama
Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia.
Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama
ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya
kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala
konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaranajarannya teratur dan tersusun
rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem
kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk
aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa
aman dan tentram.
18
namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian
yang sama dengan “agama”.
Kata agama selain disebut dengan kata diin dapat juga disebut syara,
syari’at/millah. Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu
wajib dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan,
dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan
syara.
19
d. Dimensi pengalaman Merupakan perasaan atau pengalaman keagamaan yang
pernah dialami individu dalam interaksi dengan ajaran agama, misalnya
merasa takut bila melakukan perbuatan dosa, merasakan kedekatan dengan
Tuhan saat berdoa.
e. Dimensi konsekuensi Merupakan dampak atau penerapan ajaran agama
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari yang ditunjukkan dengan perilaku
dan kebiasaan, sehingga bisa membedakan antara orang yang religius dan
nonreligius. Konsekuensi keberagamaan seseorang ini bisa positif dan negatif,
karena merupakan hasil evaluasi dan interpretasi seseorang terhadap ajaran
agama yang ditransformasikan dalam bentuk sikap dan perilaku.
1. pengurangan kekerasan,
2. penghindaran keekstreman.
Jadi jika dikatakan orang itu bersikap moderat, maka dapat diartikan orang itu
bersikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrem moderasi beragama dan
kerukunan umat beragama yang digagas oleh Kementerian Agama secara teoritik
memiliki empat indikator, yaitu komitmen kebangsaan, antikekerasan, akomodatif
terhadap kebudayaan lokal, dan toleransi. moderasi beragama dapat dipahami
sebagai sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu
bertindak adil, dan tidak ekstrem kanan atau kiri dalam praktik beragama.
adalah cara pandang dalam beragama secara moderat yakni memahami dan
mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan
(pemahaman agama yang sangat kaku) maupun ekstrem kiri (pemahaman agama
20
yang sangat liberal)Istilah moderasi beragama memang baru digaungkan di
Indonesia, namun ide dan semangat moderasi beragama itu sudah tumbuh dan
tertanam sejak lama dalam kehidupan masyarakat Indonesia sampai dengan saat ini.
21
memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan
ajaran agamanya.
Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat beragama,
serta menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang
penuh dengan permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat
beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi
kondusif dan maju.
22
BAB III
METODE PENELITIAN
Batas–batas wilayah
23
3.2. Jenis penelitian
24
b. Data Langsung
Data langsung diperoleh dari observasi lapangan, pengambilan data secara
visual atau dokumentasi gambar serta hasil dari wawancara dengan pihak
yang bersangkutan
Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Studi Literatur
Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji literatur sebagai
pendukung proses penelitian, Langkah ini bertujuan sebagai tolak ukur
proses pengambilan data lapangan yang sesuai dan tidak melampaui batasan
pembahasan penelitian.
b. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data informasi tentang budaya situwu maroso di
kabupaten poso melalui pengumpulan bukti data dari keterangan berupa
gambar, kutipan, informasi yang terpublikasi dan bahan referensi lain yang
terkait.
25
BAB IV
Kerusuhan dan konflik yang pernah terjadi Poso pada tahun 1998 dalam
kurun waktu yang cukup lama telah menjadi tragedi menakutkan yang
mengakibatkan suasana konflik menjadi tidak dapat terhindari. Masyarakat pecah
kedalam kelompok agama termasuk juga suku yang bertindak atas mana kelompok
masingmasing, dimana konflik yang terjadi mengakibatkan perubahan sosial dalam
kehidupan sehari-hari.
26
berarti ada kesepakatan dan kesepakatan berarti didalamnya ada persetujuan
bersama. Budaya sintuwu maroso merupakan budaya local masyarakat tanah Poso
yang mengandung nilai-nilai yang diyakini sangat bermanfaat dalam kehidupan
masyarakat. Sebagai suatu system nilai budaya, sintuwu maroso berfungsi sebagai
pedoman atau pandangan hidup (falsafah hidup) baik dalam membentuk sikap
mental maupun dalam cara berpikir dan bertingkah laku, baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok masyarakat, juga termasuk bagi para pemimpin atau
tokoh-tokoh dalam masyarakat.
Salah satu langkah yang paling efektif untuk mengembalikan kondisi yang
pernah terjadi yaitu dengan membuat masyarakat Poso kembali menjadi aman dan
terntram adalah pehamaham moderasi baragama yang di bingkai dengan kearifan
lokal masyarakatnya, sekaligus menjadi harapan pemersatu kembalinya masyarakat
dan orang-orang yang mendiami tanah Pamona Poso agar menjadi tentram dan
nyaman kembali seperti sedia kala, masyarakat Poso sangat akrab dengan
ungakapan atau semboyan bahkan telah menjadi jargon dalam keseharian mereka
yaitu hadirnya suatu budaya kearifan lokalditengah-tengah masyarakat yang disebut
dengan budaya “Sintuwu Maroso”.
27
berasal dari Bahasa Pamona yang di sebut dengan istilaah Mesale (gotong royong)
yang dilakukan oleh Tau piamo (orang tua dulu/nenek monyang). Di sana mereka
merasa hidup sebeban, hidup sepe-nanggungan, dan memiliki perasaan serta
sependeritaan yang sama.
Sedangkan kata Maroso yang berarti kuat. Jadi Sintuwu Maroso berarti hidup
yang kuat, atau dengan hidup secara bersama kita menjadi kuat. Persatuan yang
kuat disini bukan berarti membentuk beberapa kelompok tertentu untuk
memperkuat diri, akan tetapi membaur bersama masyarakat dalam berbagai
perbedaan. Inilah dasar solidaritas sosial orang Poso hususnya masyarakat Pamonoa
dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masyarakat dan sekaligus membentuk
identitas kolektif mereka. Sintuwu Maroso mempunyai nilai seperti nilai kesabaran,
kejujuran, saling menghidupi termasuk jangan berbuat malu, kepatuhan, dan
keteguhan hati, nilai inilah yang membentuk identitas kehidupan mereka
28
didalamnya juga mengandung unsur spontanitas, pamrih dan kewajiban sosial yang
bertujuan untuk menciptakan suatu ketahanan sosial dalam masyarakat.
Sebagai hasil cipta, rasa dan karsa masyarakat tanah Poso. Sebagai kearifan
lokal, Sintuwu Maroso memiliki nilai yang mengandung makna filosofis, seperti
makna moralitas (hubungan antara sesama), dan makna keberlangsungan
hidupterwujudnya kerharmonisan, persatuan, dan kesatuan dalam kehidupan
masyarakat. Sebagai pandangan hidup, Sintuwu Maroso sarat dengan nilai dasar
yang berasal dari kandungan nilai budaya mayarakat Poso secara umum, yang
selanjutnya dapat dijabarkan dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai yang
terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai panutan moral dan etika baik
individu maupun kelompok masyarakat yang memiliki cita kebersamaaan untuk
keberlangsungan hidup yang harmonis, dalam makna yang lebih luas bersatu dan
menjunjung tinggi nilai Bhineka Tunggal Ika. Budaya ini mengandung tiga inti
nilainilai luhur yang sangat bermanfaat dalam kehidupan masyarakat, adalah:
29
Budaya sintuwu Maroso merupakan budaya local atau kearifan Lokal
masyarakat tanah Poso yang mengandung nilai-nilai yang sangat bermanfaat dalam
kehidupan masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sintuwu
maroso itu ialah:
30
4.3. efektifitas nilai Sintuwu Maroso membangun dinamika moderasi beragama
Untuk menjaga dan melestarikan agar nilai budaya yang telah merekat
dalam diri masyarakat, maka pemerintah setempat perlu melakukan penguatan
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, diantaranya dengan melakukan
pengenalan budaya melalui fastival budaya setempat atau melalui pesan-
pesan moral yang di kelola oleh sanggar seni yang di inisiasi oleh Pemerintah
Daerah, bertujuan untuk menjaga dan melestarikan agar ajaran leluhur itu tidak
ditinggalkan dan mampu bertahan ditengah gempuran arus budaya luar
yang begitu massif, karena di dalamnya mengandung nilai kearifan lokal yang
bisa menjadi solusi dalam mempererat hubungan antar umat beragama.
Dalam budaya yang sifatnya baik, atau budaya yang mengedepankan
kemaslahatan maka kita harus mendukung dan juga mempertahankan,
namun jika budaya itu bertentangan dengan nuansa keislaman maka kita
harus menolaknya, karena budaya yang memiliki nilai kebaikan di dalamnya itu
juga merupakan salah satu bagian dari sumber syariat Islam, sejauh ini yang
saya lihat bahwa budaya yang terkandung dalam Sintiwu Maroso mengandung
nilai kebaikan, yaitu bertujuan untuk mempersatukan masyarakatnya agar
tidak terpecah, . budaya yang terkandung dalam Sintuwu Maroso yang sifatnya
baik dan bertujuan untuk mempersatukan umat maka sepenuh hati kita harus
31
mendukungnya, namun jika budaya itu ada yang bertentangan dengan Agama
Islam, maka kita tidak ikut di dalamnya dan kita harus menolak bahkan
meninggalkanya.
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Poso tidak terlepas dari konspirasi elit-
elit politik local dalam memperebutkan posisi jabatan Bupati dengan menggunakan
sentiment agama untuk memecah belah masyarakat Poso yang hidup rukun dan
damai. Taktik ini berhasil memprovokasi dan menghancurkan masyarakat Poso.
Selain factor politik ada juga faktor-faktor lain yang turut memicu terjadinya konflik
di Poso, antara lain: faktor sosial ekonomi, Faktor pendidikan, yakni rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat kabupaten Poso. Hal ini turut mempengaruhi
terjadinya konflik, karena masyarakat mudah diprovokasi dan diadu domba.
32
2. terbentuknya forum siwagi lemba pada bulan mei 2004, yang menarik
dari pertemuan itu ialah nuansa adat/budaya yang mengikat kedua
komunitas itu. Dibandingkan dengan perhelatan rekonsiliasi yang lainnya,
pertemuan yang melibatkan ribuan orang ini, boleh dikata memiliki
budaya yang lebih kental. Pendekatan budaya ini telah membawa
dampak positif bagi upaya mewujudkan perdamaian di Poso, walaupun
pada saat itu kekerasan terus berlanjut yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak menginginkan Poso damai. Seperti peristiwa bom Tentena, 28
Mei 2005 yang telah menelan banyak korban, penembakan warga di desa
Sepe dan Masani, serta penembakan aparat keamanan ,tetapi
masyarakat sudah cukup menyadari bahwa konflik tersebut terjadi bukan
karena perang agama melainkan konflik yang sarat dengan kepentingan,
sehingga masyarakat dapat menahan diri untuk tidak mudah terprovokasi
dengan peristiwaperistiwa yang terjadi itu.
33
BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Budaya Sintuwu Maroso merupakan budaya yang di miliki oleh Suku Pamona
Poso, budaya ini mempunyai ruh yang di sebut dengan Mesale. Sintuwu Maroso
merupakan budaya lokal atau kearifan lokal masyarakat setempat yang sangat
majemuk yang menjadi bagian dari moderasi beragama, di dalamnya mengandung
nilai-nilai luhur yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sosial masyarakat dalam
membangun dan menjaga kualitas hidup bagi warganya, nilai budaya yang ada di
dalamnya merupakan nilai budaya warisan mereka yang di sebut dengan Tau Piamo.
Sintuwu Maroso merupakan nilai budaya asli Suku Pamona Poso yang sudah
akrab di tengah masyarakat, baik itu masyarakat asli maupun pendatang karena di
dalamnya terdapat nilai budaya yang mengandug kearifan lokal, Pengetahuan
masyarakat juga disertai dengan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk
menjadikan lambang Adat Suku Pamona Poso sebagai logo dan motto daerah itu.
Sebagai contoh, kesediaan masyarakat pendatang dalam mengikuti sebuah aktifitas
atau tindakan yang disebut dengan istilah Mosintuwu, istilah ini mengandung
pengertian: ikut serta dalam suatu usaha atau turut serta dalam kesusahan orang
lain dengan jalan memberi sesuatu, baik tenaga maupun materi, untuk kepentingan
orang yang memerlukannya. Dasar Mosintuwu adalah kebersaamaan yang
merupakan salah satu bangunan dalam relasi sosial. Kebiasaan ini terus berjalan
dalam kehidupan sehari-hari sehingga warga yang mendiami Tanah Poso dan
sekitarnya meskipun berbeda latar belakang sosial budaya dan agama yang di
bawanya, mereka tetap bisa menerima dalam satu kesadaran yang sama atas
34
kebersamaan dan keutuhan dalam membangun dan menjaga Tanah Poso agar tetap
rukun dalam menjaga kearifan lokalnya.
Budaya sintuwu Maroso merupakan budaya local atau kearifan Lokal masyarakat
tanah Poso yang mengandung nilai-nilai yang sangat bermanfaat dalam kehidupan
masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sintuwu maroso itu
ialah:
a. Nilai kebersamaan/gotong royong. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip
hidup saling menopang (tuwu siwagi).
b. Nilai sopan santun. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup saling
menghormati dan menghargai (tuwu mombetubunaka).
c. Nilai persaudaraan/kerukunan. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup
saling mengasihi baik dalam ruang lingkup kenalan, handai tolan (tuwu
mombepomawo).
d. Nilai toleransi. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup saling menerima
dan saling mengakui perbedaan dalam keanekaragaman etnis, budaya dan
keyakinan sebagai komunitas masyarakat kabupaten Poso (tuwu simpande
raya).
e. Nilai solidaritas. Nilai ini terimplementasi dalam sikap hidup saling
menghidupi satu dengan yang lainnya demi kelangsungan hidup bersama
secara utuh (tuwu malinuwu), dan juga terimplementasi dalam prinsip hidup
saling kepedulian terutama didalam menciptakan kesempatan untuk hidup
(tuwu mombepatuwu).
f. Nilai persatuan dan kesatuan. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup
menjunjung tinggi adanya persatuan dan kesatuan baik secara intern maupun
antar komunitas yang hidup di Tanah Poso (tuwu sintuwu raya).
Sebagai kearifan local budaya sintuwu maroso mempunyai peranan yang sangat
penting dalam upaya membangun perdamaian di Poso, antara lain:
35
1. Sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan
kepercayaan.
2. Sebagai katup pengaman social (safety valve) bagi masyarakat Poso dalam
meredam terjadinya konflik.
3. Sebagai pendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebuah
mekanisme bersama, untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir
dan bahkan merusak solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan
bertumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas yang
terintergrasi d. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dimanfaatkan
sebagai modal social seperti gotong royong/kebersamaan, persatuan,
solidaritas social, sopan santun, persaudaraan, toleransi, etika, kepatuhan dan
pola anutan dalam masyarakat sehingga tercipta social order dalam
masyarakat.
5.2. saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diusulkan beberapa saran sebagai berikut:
36
DAFTAR PUSTAKA
Aulia, Guruh Ryan. "Upacara Adat Rambu Solo." Jurnal Ushuluddin: Media Dialog
Pemikiran Islam 24.2 (2022).
Aulia, G. R. (2022). Upacara Adat Rambu Solo. Jurnal Ushuluddin: Media Dialog
Pemikiran Islam, 24(2).
Asir, A. (2020). Agama Dan Fungsinya Dalam Kehidupan Umat Manusia. Al-Ulum :
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman, 1(1), 57–58.
Http://Journal.Uim.Ac.Id/Index.Php/Alulum/Article/View/234
Aulia, Guruh Ryan. Upacara Adat Rambu Solo. Jurnal Ushuluddin: Media Dialog
Pemikiran Islam, 2022, 24.2.
Dini, Jurnal Pendidikan Anak Usia. "Rekonstruksi Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini
Melalui Konsep" Jati Diri." Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini 6.4
(2022): 3253-3266.
Dini, Jurnal Pendidikan Anak Usia. Rekonstruksi Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini
Melalui Konsep" Jati Diri. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini,
2022, 6.4: 3253-3266.
37
Imran, Imran, Dwi Septiwiharti, And Nasran Nasran. "Budaya Sintuwu Sebagai
Kearifan Lokal Di Desa Tindoli Kecamatan Pamona Tenggara Kabupaten
Poso." Jurnal Pendidikan Dan Konseling (Jpdk) 4.5 (2022): 4225-4234.
Imran, I., Septiwiharti, D., & Nasran, N. (2022). Budaya Sintuwu Sebagai Kearifan
Lokal Di Desa Tindoli Kecamatan Pamona Tenggara Kabupaten Poso. Jurnal
Pendidikan Dan Konseling (Jpdk), 4(5), 4225-4234.
Imran, Imran; Septiwiharti, Dwi; Nasran, Nasran. Budaya Sintuwu Sebagai Kearifan
Lokal Di Desa Tindoli Kecamatan Pamona Tenggara Kabupaten Poso. Jurnal
Pendidikan Dan Konseling (Jpdk), 2022, 4.5: 4225-4234.
Ii, B. A. B. (2021). Maka Agama-Agama Yang Dianut Manusia Di Dunia Ini Pun
Bermacam-Macam Pula. Barangkali, Karena Kondisi Seperti Inilah 11. 11–44.
Manajemen, M., Kristen, U., Paulus, I., Ekonomi, F., Kristen, U., & Paulus, I. (2022).
Jurnal Sosio Sains. 8(July), 16–22.
Nirwana, Nirwana. Budaya Tari Pajaga Lili Dalam Adat Pernikahan Di Desa Ulusalu
Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu. Diss. Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar, 2021
Nur, M. (2020). Kearifan Lokal Sintuwu Maroso Sebagai Simbol Moderasi Beragama.
Pusaka, 8(2), 241–252. Https://Doi.Org/10.31969/Pusaka.V8i2.423
38
Nirwana, N. (2021). Budaya Tari Pajaga Lili Dalam Adat Pernikahan Di Desa Ulusalu
Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu (Doctoral Dissertation, Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar).
Nirwana, Nirwana. Budaya Tari Pajaga Lili Dalam Adat Pernikahan Di Desa Ulusalu
Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu. 2021. Phd Thesis. Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar.
Nur, Muhammad, Et Al. Kearifan Lokal Sintuwu Maroso Sebagai Simbol Moderasi
Beragama. Pusaka, 2020, 8.2: 241-252.
Permana, Mohammad Didi, And Abdul Manan. "Peran Aparat Kepolisian Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Kabupaten Poso." Maleo Law
Journal 4.1 (2020): 27-42.
Rosyada, A. (2020). Dampak Penanaman Budaya Religius Pada Peserta Didik (Studi
Kasus Di Sma Negeri 1 Purwoasri Kab. Kediri). Thesis (Undergraduate (S1)), 10.
39
Savista, H. (2022). Pengembangan Bahan Ajar Atlas Sejarah Peninggalan Kolonial Di
Pekalongan Terhadap Pembelajaran Sejarah Lokal Siswa Kelas Xi Ips Di Sma N 2
Pekalongan Tahun Ajaran 2016/2017.
Saragih, Erman Sepniagus. Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal Suku Pakpak-
Aceh Singkil. Jurnal Teologi Berita Hidup, 2022, 4.2: 309-323.
Sulhan, M., And Muhammad Rizal Januri. "Esensi Agama Dalam Konflik Sosial Di
Kabupaten Poso Menggunakan Teori Karl Marx: Sebuah Literatur Review [The
Essence Of Religion In Social Conflict At Poso Regency Using The Theory Of Karl
Marx: A Literature Review]." Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research
And Applications 2.1 (2022).
Sulhan, M., & Januri, M. R. (2022). Esensi Agama Dalam Konflik Sosial Di Kabupaten
Poso Menggunakan Teori Karl Marx: Sebuah Literatur Review [The Essence Of
Religion In Social Conflict At Poso Regency Using The Theory Of Karl Marx: A
Literature Review]. Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research And
Applications, 2(1).
Sulhan, M.; Januri, Muhammad Rizal. Esensi Agama Dalam Konflik Sosial Di
Kabupaten Poso Menggunakan Teori Karl Marx: Sebuah Literatur Review [The
Essence Of Religion In Social Conflict At Poso Regency Using The Theory Of Karl
Marx: A Literature Review]. Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research
And Applications, 2022, 2.1.
Yakobus, I. K., Yahya, M., & Agustang, A. D. M. P. (2020). Revitalisasi Nilai Budaya
Sintuwu Maroso Sebagai Alternative Resolusi Pasca Konflik Di Kabupaten Poso.
Jurnal Sosio Sains, 5(1), 14–21. Http://Journal.Lldikti9.Id/Sosiosains
40