Anda di halaman 1dari 44

RISET MINI

“MERAJUT ASA PERDAMAIAN MELALUI BUDAYA SINTUWU MAROSO


DI KAB POSO”

Disusun Oleh :
ASMADINDA
A311 20 042

Dosen pengampuh :
Dr.Misnah S.Pd.,M.Pd

PROGRAM STUDI S1 SEJARAH


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Pra skripsi tugas akhir tepat pada
waktunya. Adapun gagasan yang melatar belakangi penulis memilih judul ini karena
adanya ketertarikan terhadap konflik yang pernah terjadi di poso yang mana
menjadi perbincangan pada saat itu maka,penulis menarik untuk judul pra skripsi
kali ini yaitu “Merajut Asa Perdamaian Melalui Budaya Sintuwu Maroso Di Kab Poso”

Terima kasih juga kepada beberapa teman yang tidak bisa disebutkan
satupersatu karena berkat dukungan mereka juga pra skripsi ini bisa sampai saat ini
.

Palu…..Oktober,2022

Asmadinda

i
DAFTAR ISI

halaman
PRAKATA ............................................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................................................. 1
1.2. Rumusan masalah ............................................................................................................ 4
1.3. Tujuan dan saran ............................................................................................................. 4
1.4. Manfaat penelitian .......................................................................................................... 4
1.5. Sistematika penulisan ...................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 6
2.1. Pengertian budaya ........................................................................................................... 6
2.2. Unsur-unsur budaya......................................................................................................... 6
2.3. Tinjauan khusus budaya .................................................................................................. 9
2.4. Konflik ..............................................................................................................................12
2.4.1 pengertian konflik……………………………………………………………………………………….12
2.4.2 bentuk-bentuk konflik…………………………………………………………………………………13

2.4.3 faktor-faktor penyebab terjadinya konflik…………………………………………………..14

2.4.4 dampak dari adanya konflik terhadap masyarakat………………………………………15

2.4.5 upaya-upaya untuk mengatasi konflik…………………………………………………………17

2.5. Agama ..............................................................................................................................18


2.5.1 pengertian agama…………………………………………………………………………………......18

2.5.2 dimensi-dimensi agama………………………………………………………………………………19

2.6. Moderasi beragama .......................................................................................................20


2.6.1 pengertian moderasi agama……………………………………………………………………….20

2.6.2 konsep moderasi agama……………………………………………………………………………..21

BAB III METODE PENELITIAN .........................................................................................................23

ii
3.1 lokasi penelitian……………………………………………………………………………………………………......23

3.2. jenis penelitian………………………………………………………………………………………………………….24

3.3.jenis dan sumber data………………………………………………………………………………………………..24

3.3.1 jenis data…………………………………………………………………………………………………….24

3.3.2 sumber data……………………………………………………………………………………………….24

3.4 metode pengumpulan data………………………………………………………………………………………..25

3.5 instrumen penelitian…………………………………………………………………………………….……………25

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................26


4.1 budaya sintuwu maroso……………………………………………………………………………………………..26

4.2 nilai yang terrkandung dalam budaya sintuwu maroso…………………………………………......27

4.3 efektivitas nilai sintuwu maroso membangun dinamika moderasi beragam……..……….31

4.4 nilai serta peran budaya dalam konflik di poso………………………………………………………..…32

BAB V PENUTUP ..............................................................................................................................34


5.1 kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………………34

5.2 saran………………………………………………………………………………………………………………………….36

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................................37

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki keanekaragaman suku,


budaya dan agama sehingga disebut sebagai negara majemuk. Salah satu
daerah yang memiliki keanekaragaman itu adalah Kabupaten Poso di propinsi
Sulawesi Tengah. Dalam masyarakat Poso terdapat kepelbagaian suku, budaya
dan agama. Salah satu faktor penyebab kepelbagaian itu adalah masuknya para
pendatang dari berbagai daerah untuk keperluan dagang, maupun karena
program transmigrasi yang diadakan oleh Pemerintah
Poso adalah ibu kota Kabupaten Poso. Posisi Poso terletak di tengah Pulau
Sulawesi, di pesisir Teluk Tomini, dan menjadi kota pelabuhan dan perhentian utama
di pesisir tengah bagian selatan Teluk Tomini. Kota Poso dilewati oleh Sungai
Poso yang mengalir dari Danau Poso di kecamatan Pamona Puselemba. Wilayah
perkotaannya melingkupi tiga kecamatan, yaitu Poso Kota, Poso Kota
Utara dan Poso Kota Selatan. Pada tahun 2019, penduduk kota Poso dari tiga
kecamatan tersebut berjumlah 49.414 jiwa.
Dari sekian banyaknya konflik yang mewarnai negeri ini, konflik yang membawa
nama agama terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah menjadi kasus yang sangat
memperihatinkan, konflik panjang yang bermula dari tanggal 25 Desember 1998
yang mencapai puncaknya pada tanggal 25 Desember 2001 menelan korban dengan
uraian, 557 meninggal dunia, 384 luka-luka, 7. 932 pemukiman warga, dan 510
fasilitas umum mengalami kerusakan dan pembakaran (Alganih, 2016). Konflik
tersebut tidak dapat dipisahkan dari adanya multi agama dan suku bangsa di
Kabupaten Poso. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Poso pada
tahun 2020, jumlah penduduk kota Poso berjumlah 256.393 jiwa, dengan tingkat
kepadatan mencapai 36,05 jiwa/ km, dengan presentasi penganut agama

1
berdasarkan data dari Kementerian Agama pada tahun 2020 yakni, 60.80% (151.261
jiwa) penganut agama Kristen, Protestan 59.45% (147.899 jiwa) dan Katolik 1,35%
(3.362 jiwa), penganut agama Islam 33,60% (83.597 jiwa),agama Hindu 5,60%
(13.937 jiwa), dan minoritas agama Buddha tidak sampai 0,01% (4 jiwa). Dengan
rincian suku bangsa antara lain penduduk transmigrasi dari pulau Jawa, Lombok,
Gorontalo, Sulawesi Selatan (Bugis dan Makassar) yang pada umumnya memeluk
agama Islam, dan penduduk asli Tojo, Bungku dan Togian. Sedangkan Penduduk
yang memeluk agama Kristen di dominasi penduduk asli dari suku Pamona, Mori,
serta pendatang dari Manado, Toraja dan Nusa Tenggara Timur.
Kota ini dilanda konflik komunal menjelang akhir tahun 1998, dan berlangsung
sampai setidaknya tahun 2001. Kerusuhan terjadi dan menyebar ke hampir seluruh
wilayah di Kabupaten Poso, menyebabkan sekitar 100 ribu jiwa mengungsi ke
daerah lain. Pemerintah bertindak dengan menggelar deklarasi damai untuk kedua
belah pihak, dan kerusuhan mulai menyurut—meskipun tidak sepenuhnya. Baru
pada awal tahun 2007, operasi kepolisian berhasil menangkap mereka yang
dianggap terlibat dalam serangkaian aksi teror di Poso.Seta adanya budaya yang
berperan besar dalam mendamaikan konflik yang terjadi di poso yaitu budaya
situwu maroso,yang mana membuat masyarakat poso hingga kini hidup
berdampingan dengan damai.
Dalam kehidupan sosial masyarakat di Poso, sintuwu maroso tidak hanya
menjadi semboyang daerah. Akan tetapi budaya sintuwu maroso ini merupakan
salah satu ciri masyarakat Poso secara umum terutama dalam hal pandangan
individu-individu dalam kelompok terhadap orang lain dan interaksi sosial. Sudah
sejak lama sintuwu maroso menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Poso yang
sifatnya menyatukan baik itu menyatukan penduduk asli Poso maupun pendatang di
Poso.
Sintuwu maroso merupakan suatu bentuk kesadaran sosial kolektif yang
melembaga dimana setiap orang terikat secara moral untuk terlibat di dalamnya.

2
Sehingga fungsi budaya sintuwu maroso pada dasarnya adalah memelihara
keseimbangan, kesamaan dan keutuhan kohesi sosial. Rasa tanggung jawab moral
yang terkandung dalam sintuwu maroso sangatlah eklusif. Dimana kesedian individu
untuk mosintuwu (sebagai suatu wujud nyata budaya sintuwu maroso) atau berbagi
kehidupan dengan orang lain dalam kehidupan sosial tidak terbentur pada batasan-
batasan tertentu (sasial, suku dan agama).

Secara umum, budaya sintuwu maroso mengandung unsur-unsur yang bersifat


sangat universal yaitu,

 Kebersamaan dan keseimbangan sosial, memandang bahwa dalam kehidupan


haruslah ada suatu keseimbangan baik antar individu, individu dengan
kelompok, dan antar kelompok (duduk sama rendah, berdiri sama tinggi) atau
antar manusia dengan alam. Pandangan ini mencakup segala bidang dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan.

 Solidaritas sosial, dalam artian bahwa memandang perlu adanya suatu bentuk
kepeduliaan sosial terhadap orang lain dalam suatu ikatan tertentu dalam
kehidupan bermasyarakat sebagai wujud nyata dan pendukung untuk
terciptanya keseimbangan sosial.

 Ketergantungan sosial, sebagai individu memiliki ketergantungan yang tinggi


terhadap kelompoknya. Oleh karena itu perlu adanya keharmonisan dalam
kelompok.

Melihat sintuwu maroso merupakan suatu falsafah yang universal maka masih
sangat relevan dan ideal untuk digunakan sebagai simbol interaksi dalam
masyarakat Poso pasca konflik untuk mencapai perdamaian.

3
1.2. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas sebagai berikut :

1. Apakah nilai yang terkandung dalam Kearifan Lokal Sintuwu Maroso ?


2. Bagaimana efektifitas nilai Sintuwu Maroso membangun dinamika moderasi
beragama.?

1.3. Tujuan dan saran

1. Tujuan penlitian

Adapun tujuan dari rumusan masalah tesebut yaitu untuk lebih mngetahui serta
mendalami nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya sintuwu maroso itu sendii
seta lebih membangun dinamika dalam bragama.

2. Saran penelitian

Lebih menggalih lebih dalam lagi makna-makna yang terkandung dalam budaya
sintuwu maroso ini,agar bisa menambah wawasan besama dalam hal kebudayaan.

1.4. Manfaat penelitian

Dengan mengetahui pemecahan permasalahan maka manfaat yang di harapkan


dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Manfaat teoritis

Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai kebudayaan


sintuwu maroso sehingga dapat meningkatkan pengetahuan mngenai kebudayaan
yang ada di Indonesia.

b. Manfaat praktis

Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kabupaten poso, dalam hal


kebudayaan sintuwu maroso ini aga lebih mempe eat hubungan beragama.

4
1.5. Sistematika penulisan

Berikut adalah sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini


yaitu:
a. BAB I : Pendahuluan
Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat yang
didapat dari penelitian untuk pihak-pihak terkait serta sistematika penulisan.
b. BAB II : Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi landasan teori dan konsep apa yang akan digunakan sebagai
referensi untuk melakukan penelitian, penelitian terdahulu yang digunakan
sebagai acuan dalam pembentukan hipotesis, kerangka pemikiran yang akan
menjelaskan mengenai garis besar penelitian ini, dan pengembangan hipotesis
yang digunakan di penelitian ini.
c. BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisi variabel penelitian dan definisi operasional variabel, populasi dan
sampel dalam penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data
yang digunakan di penelitian.
d. BAB IV : Hasil dan Analisis
Bab ini berisi penggambaran objek penelitian, analisis data, dan interpretasi
hasil penelitian.
e. BAB V : Penutup
Bab ini berisi kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian, kelemahan di dalam
penelitian, dan saran untuk penelitian selanjutnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia, dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut
culture yang berasal dari kata latin colere yaitu mengolah atau mengerjakan dapat
diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani, kata culture juga kadang sering
diterjemahkan sebagai “Kultur” dalam bahasa Indonesia.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, budaya (culture) diartikan sebagai;


pikiran, adat istiadat, sesuatu yang sudah berkembang, sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan yang sukar diubah. Dalam pemakaian sehari-hari, orang biasanya
mensinonimkan pengertian budaya dengan tradisi (tradition). Dalam hal ini tradisi
diartikan sebagai kebiasaan masyarakat yang tampak.

Budaya atau culture merupakan istilah yang datang dari disiplin antropologi
sosial. Dalam dunia pendidikan budaya dapat digunakan sebagai salah satu transmisi
pengetahuan, karena sebenarnya yang tercakup dalam budaya sangatlah luas.
Budaya laksana software yang berada dalam otak manusia, yang menuntun
persepsi, mengidentifikasi apa yang dilihat, mengarahkan fokus pada suatu hal, serta
menghindar dari yang lain.

2.2. Unsur-unsur budaya

Mempelajari unsur-unsur yang terdapat dalam sebuah kebudayaan sangat


penting untuk memahami kebudayaan manusia. Kluckhon dalam bukunya yang
berjudul Universal Categories of Culture membagi kebudayaan yang ditemukan pada

6
semua bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat
pedesaan hingga sistem kebudayaan yang kompleks seperti masyarakat perkotaan.

Berbagai unsur budaya tersebut adalah:

a. Bahasa Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan


sosialnya guna berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya. Dalam ilmu
antropologi, studi mengenai bahasa disebut dengan istilah antropologi linguistik.
Menurut Keesing, kemampuan manusia dalam membangun tradisi budaya,
menciptakan pemahaman tentang fenomena sosial yang diungkapkan secara
simbolik, dan mewariskannya kepada generasi penerusnya sangat bergantung
pada bahasa. Dengan demikian, bahasa menduduki porsi yang penting dalam
analisa kebudayaan manusia.
b. Pengetahuan
Pengetahuan dalam kultural universal berkaitan dengan sistem peralatan hidup
dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat abstrak dan berwujud di
dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas batasannya karena
mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang digunakan dalam
kehidupannya. Banyak suku bangsa yang tidak dapat bertahan hidup apabila
mereka tidak mengetahui dengan teliti pada musim-musim apa berbagai jenis
ikan pindah ke hulu sungai. Selain itu, manusia tidak dapat membuat alat-alat
apabila tidak mengetahui dengan teliti ciriciri bahan mentah yang mereka pakai
untuk membuat alat-alat tersebut. Tiap kebudayaan selalu mempunyai suatu
himpunan pengetahuan tentang alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, benda, dan
manusia yang ada di sekitarnya.
c. Sosial
Unsur budaya berupa sistem kekerabatan dan organisasi sosial merupakan
usaha antropologi untuk memahami bagaimana manusia membentuk
masyarakat melalui berbagai kelompok sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap

7
kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturan
mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan di mana hidup dan
bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang paling dekat dan dasar adalah
kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat yang lain. Selanjutnya,
manusia akan digolongkan ke dalam tingkatan-tingkatan lokalitas geografis
untuk membentuk organisasi sosial dalam kehidupannya.
d. Peralatan hidup dan teknologi Manusia
selalu berusaha untuk mempertahankan hidupnya, sehingga mereka akan selalu
membuat peralatan atau benda-benda tersebut. Perhatian awal para
antropolog dalam memahami kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi
yang dipakai suatu masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai
peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan
demikian, bahasan tentang unsur kebudayaan yang termasuk dalam peralatan
hidup dan teknologi merupakan bahasan kebudayaan fisik.
e. Mata pencaharian hidup
Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus
kajian penting etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata
pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok
masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya.
f. Religi
Asal mula permasalahan fungsi religi dalam masyarakat adalah adanya
pertanyaan mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib atau
supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada manusia dan mengapa
manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan mencari
hubungan-hubungan dengan kekuatan-kekuatan supranatural tersebut. Dalam
usaha untuk memecahkan pertanyaan mendasar yang menjadi penyebab
lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi bahwa religi

8
suku- suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk religi kuno yang
dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika kebudayaan
mereka masih primitif.
g. Kesenian
Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian etnografi
mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang
dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda atau
artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan
etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah
pada teknikteknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu,
deskripsi etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni
tari, dan seni drama dalam suatu masyarakat.

2.3. Tinjauan khusus budaya

Definisi mengenai budaya yang dikemukakan dalam bab ini adalah kumpulan
pendapat beberapa ahli yang mendalami disiplin ilmu pengetahuan tentang budaya.
Sumber literature yang menjadi referensi acuan penulisan tesis ini dalam bentuk
buku-buku materi kuliah, hasil penelitian atau karya ilmiah akademik berupa: tesis,
artikel dan pemanfaatan teknologi informasi melalui media elektronik/internet.

Pendapat dikemukakan Hofstede (2020 : 21) bahwa budaya merupakan berbagai


interaksi dari ciri-ciri kebiasaan yang mempengaruhi kelompok-kelompok orang
dalam lingkungannya, terdapat 5 (lima) dimensi budaya yaitu:

a. Individualisme
kecenderungan akan kerangka sosial yang terjalin longgar dalam masyarakat
dimana individu dianjurkan untuk menjaga diri mereka sendiri dan keluarga
dekatnya.

9
b. Kolektivisme,
kecenderungan akan kerangka sosial yang terjalin ketat dimana individu
dapat mengharapkan kerabat, suku, atau kelompok lainnya melindungi
mereka sebagai ganti atas loyalitas mutlak. Isu utama dalam dimensi ini
adalah derajat kesaling-tergantungan suatu masyarakat diantara anggota-
anggotanya. Hal ini berkait dengan konsep diri masyarakat : "saya" atau
"kami".
c. Jarak kekuasaan
merupakan suatu ukuran dimana anggota dari suatu masyarakat menerima
bahwa kekuasaan dalam lembaga atau organisasi tidak didistribusikan secara
merata. Hal ini mempengaruhi perilaku anggota masyarakat yang kurang
berkuasa dan yang berkuasa. Orang-orang dalam masyarakat yang memiliki
jarak kekuasaan besar menerima tatanan hirarkis dimana setiap orang
mempunyai suatu tempat yang tidak lagi memerlukan justifikasi. Orang-
orang dalam masyarakat yang berjarak kekuasaan kecil menginginkan
persamaan kekuasaan dan menuntut justifikasi atas perbedaan kekuasaan.
Isu utama atas dimensi ini adalah bagaimana suatu masyarakat menangani
perbedaan diantara penduduk ketika hal tersebut terjadi. Hal ini mempunyai
konsekuensi jelas terhadap cara orang-orang membangun lembaga dan
organisasi mereka.
d. Penghindaran ketidakpastian
merupakan tingkatan dimana anggota masyarakat merasa tak nyaman
dengan ketidakpastian dan ambiguitas. Perasaan ini mengarahkan mereka
untuk mempercayai kepastian yang menjanjikan dan untuk memelihara
lembaga-lembaga yang melindungi penyesuaian. Masyarakat yang memiliki
penghindaran ketidakpastian yang kuat menjaga kepercayaan dan perilaku
yang ketat dan tidak toleran terhadap orang dan ide yang menyimpang.
Masyarakat yang mempunyai penghindaran ketidakpastian yang lemah

10
menjaga suasana yang lebih santai dimana praktek dianggap lebih dari
prinsip dan penyimpangan lebih dapat ditoleransi. Isu utama dalam dimensi
ini adalah bagaimana suatu masyarakat bereaksi atas fakta yang datang
hanya sekali dan masa depan yang tidak diketahui. Apakah ia mencoba
mengendalikan masa depan atau membiarkannya berlalu. Seperti halnya
jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian memiliki konsekuensi akan
cara orang-orang mengembangkan lembaga dan organisasi mereka.
e. Maskulinitas
kecenderungan dalam masyarakat akan prestasi, kepahlawanan, ketegasan,
dan keberhasilan material. Lawannya, feminitas berarti kecenderungan akan
hubungan, kesederhanaan, perhatian pada yang lemah, dan kualitas hidup.
Isu utama pada dimensi ini adalah cara masyarakat mengalokasikan peran
sosial atas perbedaan jenis kelamin

Pendapat lain yang menyebut tentang Artefacts, dikemukakan oleh J.J.


Hoenigman yang membedakan wujud kebudayaan menjadi 3 (tiga), yaitu: gagasan,
aktivitas, dan artefak, sebagai berikut:

a. Gagasan (Wujud ideal),

adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai,


norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat
diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala
atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut
menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari
kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para
penulis warga masyarakat tersebut.

11
b. Aktivitas (tindakan),

adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia


dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling
berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya
menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya
konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan
didokumentasikan.

c. Artefak (karya),

artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa bendabenda
atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya
paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

2.4. Konflik

2.4.1. Pengertian konflik


Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap
ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Di dalam setiap kehidupan sosial tidak
ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis,
kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya. Dari setiap konflik ada
beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak
dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan
merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan
kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan

12
Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan
konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat
menyeluruh dikehidupan.3 Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara
melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompokkelompok yang saling
menantang dengan ancaman kekerasan.

2.4.2. Bentuk-bentuk konflik


Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke
dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :

1. Berdasarkan sifatnya Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi


konflik destruktuif dan konflik konstruktif.

 Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan


tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok
terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang
mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso,
Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.

 Konflik Konstruktif Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini


muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok
dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan
suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu
perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi

2. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik

 Konflik Vertikal Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam


satu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara
atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor.

13
 Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau
kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik
yang terjadi antar organisasi massa

 Konflik Diagonal Merupakan konflik yang terjadi karena adanya


ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga
menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik yang terjadi di
Aceh.

2.4.3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik


Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya
hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-
sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat
terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.

Ketidak merataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut


dianggap sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan
pihak-pihak tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi
yang perolehan asset sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah
mendapatkan pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan
dan bisa juga menambahinya. Pihak yang cenderung mempertahankan dan
menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha
mendapatkannya disebut sebagai status need. Pada dasarnya, secara sederhana
penyebab konflik dibagi dua, yaitu:

1. Kemajemukan horizontal,
yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara kultural, seperti
suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan
dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri,
militer,wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan

14
horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural
tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat
budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut.
Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai
yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan
perang saudara.

2. Kemajemukan vertikal,
yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan,
pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik
sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan,
pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara
sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan
tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini
merupakan benih subur bagi timbulnya konflik social.

2.4.4. Dampak dari Adanya Konflik terhadap Masyarakat

Tak perlu diragukan lagi, proses sosial yang namanya konflik itu adalah suatu
proses yang bersifat disosiatif. Namun demikian, sekalipun sering berlangsung
dengan keras dan tajam, proses-proses konflik itu sering pula mempunyai akibat-
akibat yang positif bagi masyarakat. Konflik-konflik yang berlangsung dalam diskusi
misalnya, jelas akan unggul, sedangkan pikiran-pikiran yang kurang terkaji secara
benar akan tersisih. Positif atau tidaknya akibat konflik-konflik memang tergantung
dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang
menjadi ajang berlangsungnya konflik. Oleh karena itu ada dua dampak dari adanya
konflik terhadap masyarakat yaitu:

15
a. Dampak positif dari adanya konflik
 Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok.
Apabila terjadi pertentangan antara kelompokkelompok, solidaritas antar
anggota di dalam masing-masing kelompok itu akan meningkat sekali.
Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit
dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik
dengan pihak-pihak luar.
 Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga
masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan
tertentu di dalam masyarakat.

b. Dampak negatif dari adanya konflik


 Hancurnya kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil
diselesaikan menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang
tentu kesatuan kelompok tersebut akan mengalami kehancuran.
 Adanya perubahan kepribadian individu. Artinya, di dalam suatu
kelompok yang mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok
orang yang semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar menjadi
beringas, agresif dan mudah marah, lebih-lebih jika konflik tersebut
berujung pada kekerasan.
 Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada. Antara nilainilai dan
norma sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat
korelasional, artinya bisa saja terjadi konflik berdampak pada hancurnya
nilai-nilai dan norma sosial akibat ketidak patuhan anggota masyarakat
akibat dari konflik

16
2.4.5. Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik

Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat
menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan
(dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada
terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas.
Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-
nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan,
pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat
dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif.
Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan
sebagai usaha menyelesaikan konflik.

Menurut Nasikun, bentuk-bentuk pengendalian konflik ada enam yaitu:

1. Konsiliasi (conciliation) Pengendalian semacam ini terwujud melalui


lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan
pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan
mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.
2. Mediasi (mediation) Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah
pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan
nasihatnasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan
pertentangan mereka.
3. Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan
seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda
dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang
mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang
hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu,
ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi
pengadilan nasional yang tertinggi.

17
4. Perwasitan Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat
untuk memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi diantara mereka.

2.5. Agama

2.5.1. Pengertian agama

Agama merupakan masalah yang berhubungan dengan kehidupan batin


manusia. Agama hadir dalam penampilan yang bermacam-macam, mulai dari
sekedar ajaran akhlak hingga ideologi gerakan

Dilihat dari perspektif agama, umur agama setua dengan umur manusia.
Tidak ada suatu masyarakat manusia yang hidup tanpa suatu bentuk agama. Agama
ada pada dasarnya merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya
kekuatan gaib dan supranatural yang biasanya disebut sebagai Tuhan dengan segala
konsekuensinya. Atau sebaliknya, agama yang ajaranajarannya teratur dan tersusun
rapi serta sudah baku itu merupakan usaha untuk melembagakan sistem
kepercayaan, membangun sistem nilai kepercayaan, upacara dan segala bentuk
aturan atau kode etik yang berusaha mengarahkan penganutnya mendapatkan rasa
aman dan tentram.

Mengenai arti agama secara etimologi terdapat perbedaan pendapat, di


antaranya ada yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sansekerta
yang terdiri dari dua suku kata yaitu : “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau, jadi
berarti tidak kacau.3Kata agama dalam bahasa Indonesia sama dengan “Adiin” (dari
bahasa Arab) dalam bahasa Eropa disebut “religi”, religion bahasa Inggris, la religion
(bahasa Perancis), the religie (bahasa Belanda), die religion, (bahasa Jerman). Kata
“diin” dalam bahasa Semit berarti undang-undang (hukum), sedang kata diin dalam
bahasa Arab berarti menguasi, menundukkan, patuh, hutang, balasan, kebiasaan.
Meskipun terdapat perbedaan makna secara etimologi antara diin dan agama,

18
namun umumnya kata diin sebagai istilah teknis diterjemahkan dalam pengertian
yang sama dengan “agama”.

Kata agama selain disebut dengan kata diin dapat juga disebut syara,
syari’at/millah. Terkadang syara itu dinamakan juga addiin/millah. Karena hukum itu
wajib dipatuhi, maka disebut addin dan karena hukum itu dicatat serta dibukukan,
dinamakan millah. Kemudian karena hukum itu wajib dijalankan, maka dinamakan
syara.

2.5.2. Dimensi - dimensi Agama

Dalam kegiatan keberagamaan individu/kelompok mengalami dinamika yang


sangat kompleks. Berdasarkan Hal tersebut maka para ahli mencoba memahami
dinamika dalam kompleksitas keberagamaan seseorang dengan menganalisa dari
sudut dimensi-dimensi agama. Dimensi-dimensi agama tersebut adalah:

a. Dimensi Ideologis Berkaitan dengan seberapa kuat seseorang menerima


keyakinan dan percaya terhadap prinsip-prinsip dasar dalam agama yang
menyangkut konsep keimanan, keberadaan Tuhan, takdir, termasuk hal-hal
yang bersifat dogmatik dan doktrin
b. Dimensi ritualistik Merupakan bentuk perilaku yang dilakukan seseorang
dalam menjalankan perintah dan anjuran dalam agama yang dianutnya
sebagai bentuk dari ketaatan dan penghambaan kepada Tuhan atau yang
sakral. Misalnya sholat, puasa, membayar zakat dalam Islam. Setiap agama
biasanya memiliki cara dan aturan tersendiri tentang bagaimana penganutnya
menjalankan ritual keagamaan atau kegiatan peribadatan.
c. Dimensi pengetahuan/ intelektual Merujuk pada pengetahuan, informasi,
sejarah, aturan dan perkembangan berkaitan dengan agama atau kitab suci
yang diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam hal ini biasanya berkaitan
dengan aturan atau tata cara peribadatan atau fikih.

19
d. Dimensi pengalaman Merupakan perasaan atau pengalaman keagamaan yang
pernah dialami individu dalam interaksi dengan ajaran agama, misalnya
merasa takut bila melakukan perbuatan dosa, merasakan kedekatan dengan
Tuhan saat berdoa.
e. Dimensi konsekuensi Merupakan dampak atau penerapan ajaran agama
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari yang ditunjukkan dengan perilaku
dan kebiasaan, sehingga bisa membedakan antara orang yang religius dan
nonreligius. Konsekuensi keberagamaan seseorang ini bisa positif dan negatif,
karena merupakan hasil evaluasi dan interpretasi seseorang terhadap ajaran
agama yang ditransformasikan dalam bentuk sikap dan perilaku.

2.6. Moderasi beragama

2.6.1. Pengertian moderasi beragama

Moderasi menurut KBBI artinya ada dua, yaitu:

1. pengurangan kekerasan,
2. penghindaran keekstreman.

Jadi jika dikatakan orang itu bersikap moderat, maka dapat diartikan orang itu
bersikap wajar, biasa-biasa saja dan tidak ekstrem moderasi beragama dan
kerukunan umat beragama yang digagas oleh Kementerian Agama secara teoritik
memiliki empat indikator, yaitu komitmen kebangsaan, antikekerasan, akomodatif
terhadap kebudayaan lokal, dan toleransi. moderasi beragama dapat dipahami
sebagai sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu
bertindak adil, dan tidak ekstrem kanan atau kiri dalam praktik beragama.

adalah cara pandang dalam beragama secara moderat yakni memahami dan
mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan
(pemahaman agama yang sangat kaku) maupun ekstrem kiri (pemahaman agama

20
yang sangat liberal)Istilah moderasi beragama memang baru digaungkan di
Indonesia, namun ide dan semangat moderasi beragama itu sudah tumbuh dan
tertanam sejak lama dalam kehidupan masyarakat Indonesia sampai dengan saat ini.

Kajian tentang moderasi beragama berbasis kearifan lokal menggunakan


paradigma metode kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah sistematik literatur
review. Literatur sebagai sumber data dibaca-dianalisis dengan lensa pembacaan
moderasi berbasis kearifan lokal. Literatur yang dimaksud adalah buku-buku dan
artikel jurnal yang mazhabnya relevan dengan nilai (value) kearifan lokal12 dan
moderasi beragama. Model penelitian tersebutdigunakan atas dasar pertimbangan
fokus analisis tentang pemahaman, pemaknaan, dan argumentasi. Data penelitian
difokuskan pada penekanan urgensi pemahaman makna moderasi beragama
berbasis kearifan lokal. “Moderasi Umat Beragama” terbitan Balitbang Kemenag
sebagai buku utama dalam merumuskan makna dan manfaat moderasi. Gagasan
dalam jurnal yang relevan merupakan topik yang didialogkan untuk merentang ide
tentang moderasi beragama. Pengolahan data dilakukan dengan cara deskriptif-
analis-kualitatif.Langkah upaya menganalisis data deskriptif yaitu mencatat-
melakukan koding data, menginterpretasikan data, reduksi data, dan kemudian
rumusan antitesis diargumentasikan berdasarkan data pendukung.

2.6.2. Konsep modersai beragama

Konsep moderasi beragama bukanlah memaksakan orang lain agar


melaksanakan pemahaman agama kita kepada agama orang lain. Ini pemahaman
yang keliru. Moderasi beragama adalah bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai
luhur ajaran agama yang diyakininya ke dalam kehidupan masyarakat yang plural.
Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama. Menjadi moderat
bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada
anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak

21
memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan
ajaran agamanya.

Oleh karena pentingnya keberagamaan yang moderat bagi kta umat beragama,
serta menyebarluaskan gerakan ini. Jangan biarkan Indonesia menjadi bumi yang
penuh dengan permusuhan, kebencian, dan pertikaian. Kerukunan baik dalam umat
beragama maupun antarumat beragama adalah modal dasar bangsa ini menjadi
kondusif dan maju.

22
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi penelitian

Kabupaten Poso adalah sebuah kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi


Tengah, Indonesia. Kabupaten ini mempunyai luas wilayah 7.112,25 km² dan
berpenduduk sebanyak 248.325 jiwa (2021) dan Ibu kota kabupaten terletak di Kota
Poso.

Batas–batas wilayah

a. Utara : teluk tomini dan kabupaten parigi mouton


b. Timur : kabupaten tojo una-una dan kabupaten morowali utara
c. Selatan : Sulawesi selatan
d. Barat : kabupaten sigi

23
3.2. Jenis penelitian

Penelitian dilakukan menggunakan Metodemengumpulkan data literatur,


dokumen dan karya ilmiah serta sumber data terkait bahasan penelitian yang
kemudian dirumuskan melalui analisis makro dan mikro. Dengan tujuan untuk
memperoleh keterangan informasi serta data yang jelas sebagai acuan.

3.3. Jenis dan sumber data

3.3.1. Jenis data


a. Data Primer
Data yang diperoleh melalui observasi di lapangan terhadap subjek
penelitian, data yang di kumpulkan berupa data visual dan hasil wawancara
dari narasumber pihak pengelola desa salumbia. Data primer yang
dibutuhkan diantaranya mengenai kondisi eksisting di kawasan, potensi
kawasan, aksesbilitas, serta sarana dan prasarana yang telah ada. b. Data
Sekunder
b. Data sekunder
berupa data-data yang diperlukan sebagai acuan perancangan
pengembangan wisata udang mah serta literatur kajian teori arsitektural,
regulasi pemerintah, data lokasi tentang keadaan geografis dan klimatologi
kawasan, serta data berupa informasi yang berkaitan dengan perancangan
kaawasan wisata udang mah tanjung sanjangan nantinya.

3.3.2. Sumber Data


a. Data Tertulis
Data yang menjadi sumber tinjauan teoritis dalam penulisan penelitian ini,
diperoleh melalui buku, karya ilmiah hasil penelitian sejenis, arsip serta
dokumen yang berkaitan dengan judul penelitian.

24
b. Data Langsung
Data langsung diperoleh dari observasi lapangan, pengambilan data secara
visual atau dokumentasi gambar serta hasil dari wawancara dengan pihak
yang bersangkutan

3.4. Metode pengumpulan data

Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Studi Literatur
Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji literatur sebagai
pendukung proses penelitian, Langkah ini bertujuan sebagai tolak ukur
proses pengambilan data lapangan yang sesuai dan tidak melampaui batasan
pembahasan penelitian.
b. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data informasi tentang budaya situwu maroso di
kabupaten poso melalui pengumpulan bukti data dari keterangan berupa
gambar, kutipan, informasi yang terpublikasi dan bahan referensi lain yang
terkait.

3.5. Instrument penelitian

 Teks wawancara terstruktur, mengajukan pertanyaan kepada narasumber


mengenai keperluan data yang dibutuhkan dengan acuan teks yang telah di
susun sebelumnya

 Alat perekam suara

 Kamera, sebagai alat pengambilan gambar

 Laptop, alat kelola visual dan grafis

 Alat tulis menulis

25
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Budaya sintuwu maroso

Kerusuhan dan konflik yang pernah terjadi Poso pada tahun 1998 dalam
kurun waktu yang cukup lama telah menjadi tragedi menakutkan yang
mengakibatkan suasana konflik menjadi tidak dapat terhindari. Masyarakat pecah
kedalam kelompok agama termasuk juga suku yang bertindak atas mana kelompok
masingmasing, dimana konflik yang terjadi mengakibatkan perubahan sosial dalam
kehidupan sehari-hari.

Kabar Keselamatan di Poso menyatakan bahwa masyarakat Poso hidup


dalam budaya “Mosintuwu”. Mosintuwu berasal dari kata “Sintuwu” yang berarti
bercampur-gaul dengan baik. Dalam kata “Sintuwu “ ini terdapat paham “hidup
bersama” atas dasar “kesamaan kehidupan”. Hal ini dadasari oleh suatu pola
kehidupan bersama yang menyebabkan, bahwa orang berjalan bersama-sama,
mengambil jalan yang sama, memperlihatkan diri dengan seperasaan.

Sintuwu Maroso ialah sistem kemasyarakatan masyarakat Poso yang


terwujud dalam bentuk gotong royong, yakni suatu bentuk kerjasama untuk
mencapai tujuan tertentu dengan asas timbal balik guna mewujudkan keteraturan
hubungan social dalam masyarakat Poso. Secara umum, wujud pelaksanaan gotong
royong memilki tiga asas pokok, yaitu asas berlandaskan spontanitas, asas
berlandaskan pamrih, asas untuk memenuhi kewajiban sosial. Kata sintuwu maroso
berpedoman dari dua kata, yaitu sintuwu dan maroso, berasal dari bahasa pamona,
suku terbesar yang mendiami wilayah Administrasi Pemerintahan Kabupaten Poso.
Sintuwu berarti bersatu, seia sekata, sepakat, setuju. Maroso berarti kuat, kokoh,
teguh. Dengan demikian sintuwu maroso berarti bersatu teguh. Apabila seia sekata

26
berarti ada kesepakatan dan kesepakatan berarti didalamnya ada persetujuan
bersama. Budaya sintuwu maroso merupakan budaya local masyarakat tanah Poso
yang mengandung nilai-nilai yang diyakini sangat bermanfaat dalam kehidupan
masyarakat. Sebagai suatu system nilai budaya, sintuwu maroso berfungsi sebagai
pedoman atau pandangan hidup (falsafah hidup) baik dalam membentuk sikap
mental maupun dalam cara berpikir dan bertingkah laku, baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok masyarakat, juga termasuk bagi para pemimpin atau
tokoh-tokoh dalam masyarakat.

Salah satu langkah yang paling efektif untuk mengembalikan kondisi yang
pernah terjadi yaitu dengan membuat masyarakat Poso kembali menjadi aman dan
terntram adalah pehamaham moderasi baragama yang di bingkai dengan kearifan
lokal masyarakatnya, sekaligus menjadi harapan pemersatu kembalinya masyarakat
dan orang-orang yang mendiami tanah Pamona Poso agar menjadi tentram dan
nyaman kembali seperti sedia kala, masyarakat Poso sangat akrab dengan
ungakapan atau semboyan bahkan telah menjadi jargon dalam keseharian mereka
yaitu hadirnya suatu budaya kearifan lokalditengah-tengah masyarakat yang disebut
dengan budaya “Sintuwu Maroso”.

4.2. Nilai yang terkandung dalam Budaya Sintuwu Maroso

Semboyang Sintuwu Maroso sudah akrab terdengar bagi masyarakat Poso,


makna Sintuwu Maroso tidak saja bagi masyarakat sekitar dan bagi penyelanggara
pemerintahan dalam kaitannya dengan upaya pelestarian nilai budaya tetapi juga
bagi kehidupan setiap keluarga dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem nilai budaya
yang mampu mempererat hubungan antar sesama warga, Sintuwu Maroso
berfungsi sebagai pedoman atau pandangan hidup (falsafah hidup) baik dalam
bentuk sikap mental maupun dalam cara berpikir dan bertingkah laku, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok masyarakat dan juga termasuk bagi para
pemimpin atau tokoh-tokoh adat dan agama dalam masyarakat. Sintuwu Maroso

27
berasal dari Bahasa Pamona yang di sebut dengan istilaah Mesale (gotong royong)
yang dilakukan oleh Tau piamo (orang tua dulu/nenek monyang). Di sana mereka
merasa hidup sebeban, hidup sepe-nanggungan, dan memiliki perasaan serta
sependeritaan yang sama.

Mesale dilakukan di kebun, sawah, saat membuat rumah, membuat pagar


kampung dengan secara bekerja sama, serta tidak menuntut balas budi dan itu rutin
dilakukan. Kata mesale kemudian berkembang sehingga munculah istilah Sintuwu
Maroso. Sintuwu Maroso berasal dari dua kata yaitu Sintuwu, dan Maroso. Asal kata
tuwu yang berarti hidup. Kata ini bisa dilihat sebagai sebuah kata sifat, dalam bahasa
Pamona, Pemberian imbuhan Sin terhadap sebuah kata kerjamerupakan kamus
khusus bagi beberapa kata kerja. Dengan mendapat imbuhan sin maka kata kerja itu
menunjuk pada perilaku timbal balik dari dua subjek. Sehingga kata sintuwu berarti
saling menghidupkan. Dengan demikian sintuwu mengandung makna kesediaan
untuk berbagi kehidupan dengan orang lain demi kehidupan itu sendiri. Hal ini
didasarkan pada pola kehidupan kolektif yang menyebabkan semua orang harus
berjalan bersama, menanggung beban bersama, menghadapi ancaman dan
tantangan bersama, dan bahkan memiliki perasaan yang sama.

Sedangkan kata Maroso yang berarti kuat. Jadi Sintuwu Maroso berarti hidup
yang kuat, atau dengan hidup secara bersama kita menjadi kuat. Persatuan yang
kuat disini bukan berarti membentuk beberapa kelompok tertentu untuk
memperkuat diri, akan tetapi membaur bersama masyarakat dalam berbagai
perbedaan. Inilah dasar solidaritas sosial orang Poso hususnya masyarakat Pamonoa
dalam kehidupan mereka sebagai sebuah masyarakat dan sekaligus membentuk
identitas kolektif mereka. Sintuwu Maroso mempunyai nilai seperti nilai kesabaran,
kejujuran, saling menghidupi termasuk jangan berbuat malu, kepatuhan, dan
keteguhan hati, nilai inilah yang membentuk identitas kehidupan mereka

28
didalamnya juga mengandung unsur spontanitas, pamrih dan kewajiban sosial yang
bertujuan untuk menciptakan suatu ketahanan sosial dalam masyarakat.

Sebagai hasil cipta, rasa dan karsa masyarakat tanah Poso. Sebagai kearifan
lokal, Sintuwu Maroso memiliki nilai yang mengandung makna filosofis, seperti
makna moralitas (hubungan antara sesama), dan makna keberlangsungan
hidupterwujudnya kerharmonisan, persatuan, dan kesatuan dalam kehidupan
masyarakat. Sebagai pandangan hidup, Sintuwu Maroso sarat dengan nilai dasar
yang berasal dari kandungan nilai budaya mayarakat Poso secara umum, yang
selanjutnya dapat dijabarkan dalam berbagai aspek kehidupan. Nilai yang
terkandung di dalamnya dapat dijadikan sebagai panutan moral dan etika baik
individu maupun kelompok masyarakat yang memiliki cita kebersamaaan untuk
keberlangsungan hidup yang harmonis, dalam makna yang lebih luas bersatu dan
menjunjung tinggi nilai Bhineka Tunggal Ika. Budaya ini mengandung tiga inti
nilainilai luhur yang sangat bermanfaat dalam kehidupan masyarakat, adalah:

1. Hidup saling menopang atau tolong menolong (Tuwu Siwangi). Adalah


kehidupan yang dibangun bedasarkan satu perinsip atau kesatuan atas
dasar persaudaraan antar sesama yang utuh dan kokoh, nilai ini akan
menjauhkan kita dari sikap iri, suka menjatuhkan, pendendam dan ingin
menang sendiri.
2. Hidup saling menghargai atau sopan santun (Tuwu Mombetubunaka).
Artinya prinsip hidup yang menjunjung tinggi kehidupan atau saling
menghormati, saling menghargai dalam hidup individu, kekerabatan,
antar suku, termasuk lembaga-lembaga pemerintahan.
3. Hidup saling menghidupi atau peka terhadap sesama (Tuwu
Mombetupatuwu). Adalah nilai yang terimplementasi dalam sikap hidup
yang saling menghidupi satu dengan yang lainnya demi kelangsungan
hidup bersama secara utuh.

29
Budaya sintuwu Maroso merupakan budaya local atau kearifan Lokal
masyarakat tanah Poso yang mengandung nilai-nilai yang sangat bermanfaat dalam
kehidupan masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sintuwu
maroso itu ialah:

a) Nilai kebersamaan/gotong royong. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip


hidup saling menopang (tuwu siwagi).
b) Nilai sopan santun. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup saling
menghormati dan menghargai (tuwu mombetubunaka).
c) Nilai persaudaraan/kerukunan. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup
saling mengasihi baik dalam ruang lingkup kenalan, handai tolan (tuwu
mombepomawo).
d) Nilai toleransi. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup saling menerima
dan saling mengakui perbedaan dalam keanekaragaman etnis, budaya dan
keyakinan sebagai komunitas masyarakat kabupaten Poso (tuwu simpande
raya).
e) Nilai solidaritas. Nilai ini terimplementasi dalam sikap hidup saling
menghidupi satu dengan yang lainnya demi kelangsungan hidup bersama
secara utuh (tuwu malinuwu), dan juga terimplementasi dalam prinsip hidup
saling kepedulian terutama didalam menciptakan kesempatan untuk hidup
(tuwu mombepatuwu).
f) Nilai persatuan dan kesatuan. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup
menjunjung tinggi adanya persatuan dan kesatuan baik secara intern
maupun antar komunitas yang hidup di Tanah Poso (tuwu sintuwu raya).

30
4.3. efektifitas nilai Sintuwu Maroso membangun dinamika moderasi beragama

masyarakat Poso mempunya nilai turun termurun yang terus mereka


jaga dan merupakan suatu warisan budaya dari leluhur mereka, warisan nilai
tersebut merupakan makna ajaran yang tertuang dalam simbol kearifan lokal.
penjabaran nilai Sintuwu Maroso sekaligus sebagai falsafah kehidupan yang
meraka miliki, kearifan lokal yang ada di harapkan dapat mempererat hubungan
umat beragama dalam hal ini moderai beragama sebagai salah satu
kekayaan budaya lokal yang mereka yakini memiliki nilai yang terwariskan dari
leluhurnya.

Untuk menjaga dan melestarikan agar nilai budaya yang telah merekat
dalam diri masyarakat, maka pemerintah setempat perlu melakukan penguatan
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, diantaranya dengan melakukan
pengenalan budaya melalui fastival budaya setempat atau melalui pesan-
pesan moral yang di kelola oleh sanggar seni yang di inisiasi oleh Pemerintah
Daerah, bertujuan untuk menjaga dan melestarikan agar ajaran leluhur itu tidak
ditinggalkan dan mampu bertahan ditengah gempuran arus budaya luar
yang begitu massif, karena di dalamnya mengandung nilai kearifan lokal yang
bisa menjadi solusi dalam mempererat hubungan antar umat beragama.
Dalam budaya yang sifatnya baik, atau budaya yang mengedepankan
kemaslahatan maka kita harus mendukung dan juga mempertahankan,
namun jika budaya itu bertentangan dengan nuansa keislaman maka kita
harus menolaknya, karena budaya yang memiliki nilai kebaikan di dalamnya itu
juga merupakan salah satu bagian dari sumber syariat Islam, sejauh ini yang
saya lihat bahwa budaya yang terkandung dalam Sintiwu Maroso mengandung
nilai kebaikan, yaitu bertujuan untuk mempersatukan masyarakatnya agar
tidak terpecah, . budaya yang terkandung dalam Sintuwu Maroso yang sifatnya
baik dan bertujuan untuk mempersatukan umat maka sepenuh hati kita harus

31
mendukungnya, namun jika budaya itu ada yang bertentangan dengan Agama
Islam, maka kita tidak ikut di dalamnya dan kita harus menolak bahkan
meninggalkanya.

4.4. Nilai serta peran dalam konflik di poso

Konflik dan kekerasan yang terjadi di Poso tidak terlepas dari konspirasi elit-
elit politik local dalam memperebutkan posisi jabatan Bupati dengan menggunakan
sentiment agama untuk memecah belah masyarakat Poso yang hidup rukun dan
damai. Taktik ini berhasil memprovokasi dan menghancurkan masyarakat Poso.
Selain factor politik ada juga faktor-faktor lain yang turut memicu terjadinya konflik
di Poso, antara lain: faktor sosial ekonomi, Faktor pendidikan, yakni rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat kabupaten Poso. Hal ini turut mempengaruhi
terjadinya konflik, karena masyarakat mudah diprovokasi dan diadu domba.

Adanya konflik dan kekerasan yang berkepanjangan di Poso telah


menumbuhkan kesadaran baru, yakni perasaan serumpun antar penduduk asli, baik
yang beragama Kristen maupun yang beragama Islam. Hasil dalam penelitian ini
menunjukkan bahwa salah satu pendekatan yang dilakukan dalam membangun
rekonsiliasi di Poso ialah melalui pendekatan budaya. Ada dua model pendekatan
budaya yang dilakukan, yakni:

1. pada tanggal 22 Agustus 2000, dilaksanakan kesepakatan damai dalam


ritual adat Pamona yang disebut rujuk sintuwu maroso dengan
melaksanakan adat motambu tana, yang ditandai dengan pemotongan
seekor kerbau tambun dan kepalanya dikubur dengan symbol bahwa
permusuhan telah dikuburkan bahkan dilupakan. Daging kerbau dimakan
secara bersama dalam kebersamaan. Siapa yang melanggar akan
dihukum secara adat dengan jalan mosampu tana, artinya terusir dari
tanah Poso.

32
2. terbentuknya forum siwagi lemba pada bulan mei 2004, yang menarik
dari pertemuan itu ialah nuansa adat/budaya yang mengikat kedua
komunitas itu. Dibandingkan dengan perhelatan rekonsiliasi yang lainnya,
pertemuan yang melibatkan ribuan orang ini, boleh dikata memiliki
budaya yang lebih kental. Pendekatan budaya ini telah membawa
dampak positif bagi upaya mewujudkan perdamaian di Poso, walaupun
pada saat itu kekerasan terus berlanjut yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak menginginkan Poso damai. Seperti peristiwa bom Tentena, 28
Mei 2005 yang telah menelan banyak korban, penembakan warga di desa
Sepe dan Masani, serta penembakan aparat keamanan ,tetapi
masyarakat sudah cukup menyadari bahwa konflik tersebut terjadi bukan
karena perang agama melainkan konflik yang sarat dengan kepentingan,
sehingga masyarakat dapat menahan diri untuk tidak mudah terprovokasi
dengan peristiwaperistiwa yang terjadi itu.

Pendekatan budaya lebih menyentuh dan dapat diterima, karena dapat


menembus benteng perbedaan dan melampaui sekat-sekat primordialisme komunal
yang selama ini menghambat proses rekonsiliasi. Budaya Sintuwu Maroso tersebut
mendatangkan atmosfer sosial yang positif dalam diri warga masyarakat Poso dan
membawanya untuk mengungkapkan nilai-nilai yang diikat dan dihayati dalam
bentuk-bentuk yang khas, seperti dalam tata sosial, tata politik, adat istiadat dan
tata krama. Dalam perspektif sosiologis, budaya sintuwu Maroso tersebut bekerja
dalam nalar yang dalam istilah Coser disebut sebagai katup pengaman sosial (safety
valve) yang berfungsi meredam konflik sosial.

33
BAB V

PENUTUP

5.1. KESIMPULAN

Budaya Sintuwu Maroso merupakan budaya yang di miliki oleh Suku Pamona
Poso, budaya ini mempunyai ruh yang di sebut dengan Mesale. Sintuwu Maroso
merupakan budaya lokal atau kearifan lokal masyarakat setempat yang sangat
majemuk yang menjadi bagian dari moderasi beragama, di dalamnya mengandung
nilai-nilai luhur yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sosial masyarakat dalam
membangun dan menjaga kualitas hidup bagi warganya, nilai budaya yang ada di
dalamnya merupakan nilai budaya warisan mereka yang di sebut dengan Tau Piamo.
Sintuwu Maroso merupakan nilai budaya asli Suku Pamona Poso yang sudah
akrab di tengah masyarakat, baik itu masyarakat asli maupun pendatang karena di
dalamnya terdapat nilai budaya yang mengandug kearifan lokal, Pengetahuan
masyarakat juga disertai dengan adanya kebijakan pemerintah daerah untuk
menjadikan lambang Adat Suku Pamona Poso sebagai logo dan motto daerah itu.
Sebagai contoh, kesediaan masyarakat pendatang dalam mengikuti sebuah aktifitas
atau tindakan yang disebut dengan istilah Mosintuwu, istilah ini mengandung
pengertian: ikut serta dalam suatu usaha atau turut serta dalam kesusahan orang
lain dengan jalan memberi sesuatu, baik tenaga maupun materi, untuk kepentingan
orang yang memerlukannya. Dasar Mosintuwu adalah kebersaamaan yang
merupakan salah satu bangunan dalam relasi sosial. Kebiasaan ini terus berjalan
dalam kehidupan sehari-hari sehingga warga yang mendiami Tanah Poso dan
sekitarnya meskipun berbeda latar belakang sosial budaya dan agama yang di
bawanya, mereka tetap bisa menerima dalam satu kesadaran yang sama atas

34
kebersamaan dan keutuhan dalam membangun dan menjaga Tanah Poso agar tetap
rukun dalam menjaga kearifan lokalnya.
Budaya sintuwu Maroso merupakan budaya local atau kearifan Lokal masyarakat
tanah Poso yang mengandung nilai-nilai yang sangat bermanfaat dalam kehidupan
masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sintuwu maroso itu
ialah:
a. Nilai kebersamaan/gotong royong. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip
hidup saling menopang (tuwu siwagi).
b. Nilai sopan santun. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup saling
menghormati dan menghargai (tuwu mombetubunaka).
c. Nilai persaudaraan/kerukunan. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup
saling mengasihi baik dalam ruang lingkup kenalan, handai tolan (tuwu
mombepomawo).
d. Nilai toleransi. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup saling menerima
dan saling mengakui perbedaan dalam keanekaragaman etnis, budaya dan
keyakinan sebagai komunitas masyarakat kabupaten Poso (tuwu simpande
raya).
e. Nilai solidaritas. Nilai ini terimplementasi dalam sikap hidup saling
menghidupi satu dengan yang lainnya demi kelangsungan hidup bersama
secara utuh (tuwu malinuwu), dan juga terimplementasi dalam prinsip hidup
saling kepedulian terutama didalam menciptakan kesempatan untuk hidup
(tuwu mombepatuwu).
f. Nilai persatuan dan kesatuan. Nilai ini terimplementasi dalam prinsip hidup
menjunjung tinggi adanya persatuan dan kesatuan baik secara intern maupun
antar komunitas yang hidup di Tanah Poso (tuwu sintuwu raya).

Sebagai kearifan local budaya sintuwu maroso mempunyai peranan yang sangat
penting dalam upaya membangun perdamaian di Poso, antara lain:

35
1. Sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan
kepercayaan.
2. Sebagai katup pengaman social (safety valve) bagi masyarakat Poso dalam
meredam terjadinya konflik.
3. Sebagai pendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebuah
mekanisme bersama, untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir
dan bahkan merusak solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan
bertumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas yang
terintergrasi d. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dimanfaatkan
sebagai modal social seperti gotong royong/kebersamaan, persatuan,
solidaritas social, sopan santun, persaudaraan, toleransi, etika, kepatuhan dan
pola anutan dalam masyarakat sehingga tercipta social order dalam
masyarakat.

5.2. saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diusulkan beberapa saran sebagai berikut:

1. Adanya konflik dan kekerasan yang berkepanjangan di Poso telah


menumbuhkan kesadaran baru, yakni perasaan serumpun antar penduduk asli,
baik yang beragama Kristen maupun yang beragama Islam. Disarankan agar
dilakukan pendekatan budaya untuk mempersatukan kembali masyarakat Poso
yang sudah terpecah-pecah akibat konflik melalui budaya sintuwu maroso yang
selama ini terbilang sangat efektif sebelumnya.
2. Dalam rangka melestarikan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sintuwu

maroso, maka perlu ada program Pemerintah untuk memberdayakan Majelis


adat yang ada di Kabupaten Poso dan menjadikan nilai-nilai budaya sintuwu
maroso itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan khususnya muatan lokal.

36
DAFTAR PUSTAKA

Aulia, Guruh Ryan. "Upacara Adat Rambu Solo." Jurnal Ushuluddin: Media Dialog
Pemikiran Islam 24.2 (2022).

Agama, B. L. Dan D. K. A. R. (2021). Moderasi Beragama. Journal Of Chemical


Information And Modeling, 53(9), 1689–1699.

Aulia, G. R. (2022). Upacara Adat Rambu Solo. Jurnal Ushuluddin: Media Dialog
Pemikiran Islam, 24(2).

Asir, A. (2020). Agama Dan Fungsinya Dalam Kehidupan Umat Manusia. Al-Ulum :
Jurnal Penelitian Dan Pemikiran Keislaman, 1(1), 57–58.
Http://Journal.Uim.Ac.Id/Index.Php/Alulum/Article/View/234

Aulia, Guruh Ryan. Upacara Adat Rambu Solo. Jurnal Ushuluddin: Media Dialog
Pemikiran Islam, 2022, 24.2.

Cangara, S. (2021). Rekonsiliasi Masyarakat Pasca Konflik. Socius: Jurnal Sosiologi,,


Xiv, 41–47.

Di Kabupaten Poso, Resolusi Pasca Konflik. "Jurnal Sosio Sains."

Di Kabupaten Poso, R. P. K. Jurnal Sosio Sains.

Di Kabupaten Poso, Resolusi Pasca Konflik. Jurnal Sosio Sains.

Dini, Jurnal Pendidikan Anak Usia. "Rekonstruksi Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini
Melalui Konsep" Jati Diri." Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini 6.4
(2022): 3253-3266.

Dini, J. P. A. U. (2022). Rekonstruksi Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini Melalui


Konsep" Jati Diri. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(4), 3253-
3266.

Dini, Jurnal Pendidikan Anak Usia. Rekonstruksi Pembelajaran Bagi Anak Usia Dini
Melalui Konsep" Jati Diri. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini,
2022, 6.4: 3253-3266.

37
Imran, Imran, Dwi Septiwiharti, And Nasran Nasran. "Budaya Sintuwu Sebagai
Kearifan Lokal Di Desa Tindoli Kecamatan Pamona Tenggara Kabupaten
Poso." Jurnal Pendidikan Dan Konseling (Jpdk) 4.5 (2022): 4225-4234.

Imran, I., Septiwiharti, D., & Nasran, N. (2022). Budaya Sintuwu Sebagai Kearifan
Lokal Di Desa Tindoli Kecamatan Pamona Tenggara Kabupaten Poso. Jurnal
Pendidikan Dan Konseling (Jpdk), 4(5), 4225-4234.

Imran, Imran; Septiwiharti, Dwi; Nasran, Nasran. Budaya Sintuwu Sebagai Kearifan
Lokal Di Desa Tindoli Kecamatan Pamona Tenggara Kabupaten Poso. Jurnal
Pendidikan Dan Konseling (Jpdk), 2022, 4.5: 4225-4234.

Klußmann, R. (2021). Konflikt. Psychoanalytische Entwicklungspsychologie,


Neurosenlehre, Psychotherapie, 59–60. Https://Doi.Org/10.1007/978-3-662-
00947-5_5

Ii, B. A. B. (2021). Maka Agama-Agama Yang Dianut Manusia Di Dunia Ini Pun
Bermacam-Macam Pula. Barangkali, Karena Kondisi Seperti Inilah 11. 11–44.

Manajemen, M., Kristen, U., Paulus, I., Ekonomi, F., Kristen, U., & Paulus, I. (2022).
Jurnal Sosio Sains. 8(July), 16–22.

Massoweang, Abdul Kadir. "Moderasi Beragama Dalam Lektur Keagamaan Islam Di


Kawasan Timur Indonesia." (2021).

Massoweang, A. K. (2021). Moderasi Beragama Dalam Lektur Keagamaan Islam Di


Kawasan Timur Indonesia.

Massoweang, Abdul Kadir. Moderasi Beragama Dalam Lektur Keagamaan Islam Di


Kawasan Timur Indonesia. 2021.

Nirwana, Nirwana. Budaya Tari Pajaga Lili Dalam Adat Pernikahan Di Desa Ulusalu
Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu. Diss. Universitas Islam Negeri
Alauddin Makassar, 2021

Nur, M. (2020). Kearifan Lokal Sintuwu Maroso Sebagai Simbol Moderasi Beragama.
Pusaka, 8(2), 241–252. Https://Doi.Org/10.31969/Pusaka.V8i2.423

38
Nirwana, N. (2021). Budaya Tari Pajaga Lili Dalam Adat Pernikahan Di Desa Ulusalu
Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu (Doctoral Dissertation, Universitas
Islam Negeri Alauddin Makassar).

Nirwana, Nirwana. Budaya Tari Pajaga Lili Dalam Adat Pernikahan Di Desa Ulusalu
Kecamatan Latimojong Kabupaten Luwu. 2021. Phd Thesis. Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar.

Nur, Muhammad. "Kearifan Lokal Sintuwu Maroso Sebagai Simbol Moderasi


Beragama." Pusaka 8.2 (2020): 241-252.

Nur, M. (2020). Kearifan Lokal Sintuwu Maroso Sebagai Simbol Moderasi


Beragama. Pusaka, 8(2), 241-252.

Nur, Muhammad, Et Al. Kearifan Lokal Sintuwu Maroso Sebagai Simbol Moderasi
Beragama. Pusaka, 2020, 8.2: 241-252.

Permana, Mohammad Didi, And Abdul Manan. "Peran Aparat Kepolisian Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Kabupaten Poso." Maleo Law
Journal 4.1 (2020): 27-42.

Permana, M. D., & Manan, A. (2020). Peran Aparat Kepolisian Dalam


Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Kabupaten Poso. Maleo Law
Journal, 4(1), 27-42.

Permana, Mohammad Didi; Manan, Abdul. Peran Aparat Kepolisian Dalam


Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Di Kabupaten Poso. Maleo Law
Journal, 2020, 4.1: 27-42.

Rosyada, A. (2020). Dampak Penanaman Budaya Religius Pada Peserta Didik (Studi
Kasus Di Sma Negeri 1 Purwoasri Kab. Kediri). Thesis (Undergraduate (S1)), 10.

Saragih, Erman Sepniagus. "Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal Suku


Pakpak-Aceh Singkil." Jurnal Teologi Berita Hidup 4.2 (2022): 309-323.

Sumarto, S. (2020). Budaya, Pemahaman Dan Penerapannya. Jurnal Literasiologi,


1(2), 16. Https://Doi.Org/10.47783/Literasiologi.V1i2.49

Saragih, E. S. (2022). Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal Suku Pakpak-Aceh


Singkil. Jurnal Teologi Berita Hidup, 4(2), 309-323.

39
Savista, H. (2022). Pengembangan Bahan Ajar Atlas Sejarah Peninggalan Kolonial Di
Pekalongan Terhadap Pembelajaran Sejarah Lokal Siswa Kelas Xi Ips Di Sma N 2
Pekalongan Tahun Ajaran 2016/2017.

Saragih, Erman Sepniagus. Moderasi Beragama Berbasis Kearifan Lokal Suku Pakpak-
Aceh Singkil. Jurnal Teologi Berita Hidup, 2022, 4.2: 309-323.

Sulhan, M., And Muhammad Rizal Januri. "Esensi Agama Dalam Konflik Sosial Di
Kabupaten Poso Menggunakan Teori Karl Marx: Sebuah Literatur Review [The
Essence Of Religion In Social Conflict At Poso Regency Using The Theory Of Karl
Marx: A Literature Review]." Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research
And Applications 2.1 (2022).

Sulhan, M., & Januri, M. R. (2022). Esensi Agama Dalam Konflik Sosial Di Kabupaten
Poso Menggunakan Teori Karl Marx: Sebuah Literatur Review [The Essence Of
Religion In Social Conflict At Poso Regency Using The Theory Of Karl Marx: A
Literature Review]. Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research And
Applications, 2(1).

Sulhan, M.; Januri, Muhammad Rizal. Esensi Agama Dalam Konflik Sosial Di
Kabupaten Poso Menggunakan Teori Karl Marx: Sebuah Literatur Review [The
Essence Of Religion In Social Conflict At Poso Regency Using The Theory Of Karl
Marx: A Literature Review]. Acta Islamica Counsenesia: Counselling Research
And Applications, 2022, 2.1.

Yakobus, I. K., Yahya, M., & Agustang, A. D. M. P. (2020). Revitalisasi Nilai Budaya
Sintuwu Maroso Sebagai Alternative Resolusi Pasca Konflik Di Kabupaten Poso.
Jurnal Sosio Sains, 5(1), 14–21. Http://Journal.Lldikti9.Id/Sosiosains

40

Anda mungkin juga menyukai