DISUSUN OLEH:
Rahayu Ade Tri Rahman Tanjung (3213322010)
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hasil Pembahasan
2.1.1 Syarat-syarat pernikahan di Minangkabau........................................................
2.1.2 Proses Manjalang..............................................................................................
2.1.3 Sahnya pernikahan menurut agama..................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minang atau Minangkabau adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan
menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera
Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan
Sumatera Utara, Barat Daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam
percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk
kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun masyarakat ini
biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama
dengan orang Minang itu sendiri).
Minangkabau sering lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada sebagai
bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah. Hal itu mungkin karena
dalam catatan sejarah yang dapat dijumpai hanyalah hal pergantian nama kerajaan yang
menguasai wilayah itu. Tidak ada suatu catatan yang dapat memberi petunjuk tentang
sistem pemerintahan yang demokratis dengan masyarakatnya yang ber-stelsel matrilineal
serta tidak ada catatan sejarah kelahiran sistem matrilineal ini sebagaimana yang dikenal
orang seperti sekarang.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai
beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang),
manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di
pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan
hari pernikahan), kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa
dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari
(pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang digunakan di seluruh provinsi-
provinsi lain di Indonesia) tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi,
mempelai pria akan diberikan gelar sebagai panggilan pengganti nama kecilnya
Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar tersebut. Panggilan gelar
itu tergantung dari tingkat sosial masyarakat yaitu sidi (sayyidi), bagindo atau sutan di
kawasan pesisir pantai. Sementara itu di kawasan Luhak Limopuluah Koto, pemberian
gelar ini tidak berlaku.
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa
penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam
membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan. Bagi lelaki Minang,
perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yaitu pihak keluarga
istrinya. Sementara bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam
penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka. Pengertian perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu perkawinan juga harus didasarkan pada hukum
agama masingmasing pihak yang hendak menikah. Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Adapun sebab
dilarang pernikahan sesuku di minangkabau menurut Koentjaraningrat (Khairani, 2020)
Suatu larangan perkawinan sesuku adalah suatu ketentuan yang sudah diterima secara
turun temurun, namun bagi yang melakukannya sama dengan kawin satu turun temurun.
Oleh sebab itu, suku dalam kekerabatan minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal
dan jodoh harus dipilih di luar suku agar tidak terjadi perkawinan sesuku. Dalam adat
minangkabau sebab terjadinya larangan perkawinanan endogami karena masyarakat yang
sesuku masih dalam setali darah atau seperut (Herviani, 2019). Hal tersebut juga
dijelaskan dalam penelitian (Alade, 2020) Penyebab larangan pernikahan sesama suku
tersebut karena dianggap seperti melakukan pernikahan sedara dan jika pernikahan
sesuku terjadi maka yang dilakukan adalah membayar denda dengan menyembeli seekor
kerbau atau bahkan akan dikucilkan dari Minangkabau dan dianggap sebagai orang tidak
bersuku. Perkawinan sesuku disebut juga perkawinan pantang, yaitu perkawinan yang
berakibat rusaknya system adat dari stelsel matrilineal (Danil, 2019).
1.2 Rumusan Masalah
1.1.1 Apa dampak jika terlaksananya kawin pantang baik itu dalam rumah tangga dan
keluarga?
1.1.2 Apa faktor penyebab dilarangnya nikah dengan sesuku dalam adat minang kabau?
ADAT
MALAM PERNIKAHAN
PERNIKAHAN
BAINAI
AKAD NIKAH
MARISIK PESTA
MANJAPUIK
PERTUNANGAN MAMINANG MARAPULAI PASCA PESTA
MAHANTA
PENYAMBUTAN
DI RUMAH
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data fakta, sitematis,
dan empiris.
1.5.1 Jenis penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian bersifat kualitatif. Dimana
penjelasan tentang pernikahan adat minangkabau dimaksud dengan mempelajari dan
memahami tatacara pelakasanaan ada minangkabau.
Penelitian ini dilakukan terjun ke lapangan atau ke lokasi kediaman
masyarakat yang menjadi objek penelitian. Informan yang dipilih adalah informan
yang telah lama tinggal di jalan Ki Hajar Dewantara, Kota Pandan
3. Kawin Pantang .
Kawin Pantang Selain untuk memenuhi kebutuhan biologis dan perkembangan anak
cucu, perkawinan juga untuk mempererat dan memperluas hubungan kekerabatan. Oleh
karena itu, hukum perkawinan selain mempunyai larangan juga mempunyai pantangan.
Pengertian larangan ialah perkawinan tidak dapat dilakukan, yang berupa pantangan,
perkawinan dapat dilakukan dengan sanksi hukuman. Di samping itu, ditemui pula
semacam perkawinan sumbang, yang tidak ada larangan dan pantangannya, akan tetapi
tidak dilakukan.
Perkawinan yang dilarang ialah perkawinan yang terlarang menurut hukum
perkawinan yang telah umum seperti mengawini ibu, ayah, anak saudara seibu dan
sebapak, saudara ibu dan bapak, anak adik dan kakak, mertua dan menantu, anak istri
dan ibu atau bapak tiri, saudara kandung istri atau suami, dan anak saudara laki-laki
ayah.
Perkawinan pantang ialah perkawinan yang akan merusak sistem adat mereka, yaitu
perkawinan orang yang setali darah menurut stelsel matrilineal, sekaum, dan juga
sesuku meskipun tidak ada hubungan kekerabatan dan tidak sekampung halaman.
Perkawinan sumbang yang akan merusak kerukunan sosial lebih bertolak pada menjaga
harga diri orang tidak tersinggung atau merasa direndahkan.
Oleh karena ajaran mereka yang terpenting ialah memelihara harga diri, maka untuk
hal itu diagungkan ajaran raso jo pareso (rasa dan periksa) atau tenggang raso (tenggang
rasa) sebagaimana yang diungkapkan ajaran falsafah mereka. Pantangan perkawinan
untuk memelihara kerukunan sosial itu ialah (1) mengawini orang yang telah diceraikan
kaum kerabat, sahabat, dan tetangga dekat; (2) mempermadukan perempuan yang
sekerabat, sepergaulan, dan setetangga; (3) mengawini orang yang tengah dalam
pertunangan; (4) mengawini anak tiri saudara kandung. Sanksi hukum ditetapkan
kepada pelanggar tergantung kepada keputusan yang ditetapkan musyawarah kaumnya.
Tingkatannya antara lain: membubarkan perkawinan itu, hukum buang dengan diusir
dari kampung atau dikucilkan dari pergaulan, juga dapat dilakukan dengan hukum
denda dengan cara meminta maaf kepada semua pihak pada suatu perjamuan dengan
memotong seekor sampai dua ekor binatang ternak. Adapun perkawinan yang dilrang
yaitu:
Pernikahan Sesuku
Larangan pernikahan satu suku dilarang karena dapat memecah
keturunan bila mana mereka mempunyai datuk yang sama dan apabila
perkawinan sesuku terjadi maka datuk harus membatalkannya. Larangan
perkawinan sesuku erat juga kaitannya dengan pembagian harta pusaka dan
jika seseorang menikah dengan orang yang masih dekat tali darahnya akan
menjadi pergunjingan banyak warga di sekitarnya, karena ini merupakan suatu
Aib besar bagi keluarga (Herviani, 2019) .
Adapun sebab dilarang pernikahan sesuku di minangkabau yaitu suatu
sumber atau pelopor kerusakan suatu kaum di Minangkabau, dapat
mempersempit pergaulan, terlahirnya keturunan yang tidak berkualitas dan
gangguan psikologis bagi anak serta dapat kehilangan beberapa hak dalam
adat (Arisman, 2018). Menurut Akmal Sutan Pamuncak perkawinan yang
dilarang di Minangkabau ada tiga yaitu perkawinan yang dilarang agama,
perkawinan pantangan dan perkawinan sumbang (Ekawiyani, 2020). Larangan
pernikahan itu terjadi karena menjaga keturunan kalau dibiarkan bisa jadi
nanti ketutunana akan cacat dan keluarga tersebut akan tertimpa musibah dari
sang pencipta, selain itu juga menentu kehidupan yang diharapkan agar
terhindar dari malapetaka dan musbih serta menjaga generasi berikutnya.
(ANUGRAH, 2020)
Masyarakat Minangkabau menganut tiga aturan hukum atau yang disebut dengan
Bapilin tigo, yaitu seluruh masyarakat Minangkabau harus senantiasa memegang teguh
pada nilai-nilai ajaran Islam tanpa sedikitpun meninggalkan Adat/ tradisi yang dibawa
leluhurnya terdahulu, selain itu mereka juga melaksanakan aturan-aturan pemerintah
termasuk tata aturan pernikahan secara nasional yang berlaku hingga saat ini, dengan
kata lain mereka harus mematuhi ketiga hukum yaitu: Agama, Adat, dan Pemerintah.
Faktor penyebab dilarangnya nikah sesuku ialah rancunya hubungan/ silsilah
kekerabatan, dikhawatirkan merusak hubungan silaturrahim, dikhawatirkan akan
terjadinya pernikahan antar saudara kandung dan akan sulit membedakan antara saudara
dengan yang tidak, mendidik rasa malu, kepatuhan pada sumpah sotih serta keyakinan
yang kuat bahwa akan terjadi hal-hal buruk kelak pada keturunan (SARI, 2019).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Bentuk perkawinan di Minangkabau telah mengalami perubahan. Menurut adat
Minangkabau, perkawinan berlaku secara eksogami ditinjau dari segi lingkungan suku dan
endogami ditinjau dari lingkungan nagari eksogami suku berarti bahwa seseorang tidak dapat
mengambil jodoh dari kelompok sesukunya. keheranan karena orang yang sesuku adalah
bersaudara, sebab masih dapat ditarik garis hubungan kekerabatannya secara matrilineal dan
menurut asalnya mereka sama-sama serumah gadang. Perkawinan endogami nagari berarti
bahwa seseorang dalam mencari jodoh harus di antara sesama nagari dan tidak boleh kawin
ke luar dari nagari dan ada juga larangan pernikahan sesuku Karena larangan pernikahan
sesuku di minangkabau dilarang karena orang minang berdasarkan bahwa mereka yang satu
suku itu bersaudara dan satu keturunan atau bertalih darah serta separui (perut) dilarang
dalam proses pernikahannya dan juga untuk menjaga harta warisan dan keharmonisan suku
karena nanti terjadi perceraian antara pasangan suami istri itu akan menggagu keharmonisan
sesuku itu namun ada juga masyarakat yang menerima secara positif pernikahan sesuku demi
menghindari zina dan juga karena tidak bertentangan dengan agama meski demikian dilarang
pernikahan tetap berlaku dengan kosekuensi tetangga dan masyarakat. sebagai orang minang
yang taat dengan peraturan adat maka perlu penerimaan diri untuk tidak melaksanakan
larangan pernikahan sesuku tersebut. syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan,
kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan
dan pendekatan untuk memperoleh kerasiaan atau dapat mengenal watak dari masing-masing
pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan
dalam pergaulan antara kekuarga kelak kemudian. Perkawinan juga menuntut suatu
tanggungjawab. Antaranya menyangkut nafkah lahir batin, jaminan hidup dan tanggungjawab
pendidikan anakanak yang akan dilairkan. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di
Minangkabau membawa konsekuensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama
dalam emngetur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya
dalam perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksankan dengan cara serasi,
seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat
maupu ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa kosekuensi yang
pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan
DAFTAR PUSTAKA
Asmaniar. PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU. 2018. Fakultas Hukum Universitas
Krisnadwipayana
Fitri. Aulia. PENERIMAAN DIRI DENGAN KONSELING REALITA TERHADAP
LARANGAN PERKAWINAN SESUKU DI MINANGKABAU. 2021. Institut Agama Islam
Negeri Batusangkar, Padang, Sumatra Barat, Indonesia
Trusto Subekti. SAHNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN.
Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. Indonesia.