Anda di halaman 1dari 17

MINI RISET

PERKAWINAN DI DALAM ADAT ETNIS MINANGKABAU

Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah


Pengantar Sosiologi
Dosen Pengampu: Dra.Trisni Andayani M. Si
Daniel H.P Simanjuntak S.Sos, M.Si

DISUSUN OLEH:
Rahayu Ade Tri Rahman Tanjung (3213322010)

JURUSAN PENDIDIKAN ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat kasih sayang
dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas Rekayasa Ide ini diselesaikan oleh
saya dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem sosial budaya indonesia dan
menambah wawasan pembaca. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah yakni Ibu Dra. Trisni Andayani M.Si dan Bapak Daniel H.P
Simanjuntak S.Sos, M.Si.
Saya mengucapkan terima kasih juga kepada seluruh pihak yang ikut serta membantu
Saya menyelesaikan tugas laporan mini riset sistet Pengantar Sosiologi ini. Saya menyadari
bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna namun penulis tidak menutup diri untuk
menerima kritik dan saran agar dapa membantu membangun sehinggan mini riset ini
terselesaikan dengan baik. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, bila terdapat kata-kata
yang kurang berkenan penulis meminta maaf dan semoga mini riset ini dapat berguna bagi
Saya ataupun pembaca.
Pandan, 08 November 2021

Rahayu Ade Tri R


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah...........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................................
1.4 Kajian Pustaka..........................................................................................................
1.4.1 Kerangka Teori...............................................................................................
1.4.2 Kerangka Konsep...........................................................................................
1.5 Metode Penelitian.....................................................................................................
1.5.1 Jenis Penelitian...............................................................................................
1.5.2 Lokasi Penelitian............................................................................................
1.5.3 Penentuan Informan.......................................................................................
1.5.4 Teknik Pengumpulan Data.............................................................................
1.5.5 Teknik Analisa Data.......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hasil Pembahasan
2.1.1 Syarat-syarat pernikahan di Minangkabau........................................................
2.1.2 Proses Manjalang..............................................................................................
2.1.3 Sahnya pernikahan menurut agama..................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................................
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minang atau Minangkabau adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan
menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera
Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan
Sumatera Utara, Barat Daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam
percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk
kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun masyarakat ini
biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama
dengan orang Minang itu sendiri).
Minangkabau sering lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada sebagai
bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah. Hal itu mungkin karena
dalam catatan sejarah yang dapat dijumpai hanyalah hal pergantian nama kerajaan yang
menguasai wilayah itu. Tidak ada suatu catatan yang dapat memberi petunjuk tentang
sistem pemerintahan yang demokratis dengan masyarakatnya yang ber-stelsel matrilineal
serta tidak ada catatan sejarah kelahiran sistem matrilineal ini sebagaimana yang dikenal
orang seperti sekarang.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai
beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang),
manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di
pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan
hari pernikahan), kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa
dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari
(pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat,
Indonesia. Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang digunakan di seluruh provinsi-
provinsi lain di Indonesia) tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi,
mempelai pria akan diberikan gelar sebagai panggilan pengganti nama kecilnya
Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar tersebut. Panggilan gelar
itu tergantung dari tingkat sosial masyarakat yaitu sidi (sayyidi), bagindo atau sutan di
kawasan pesisir pantai. Sementara itu di kawasan Luhak Limopuluah Koto, pemberian
gelar ini tidak berlaku.
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa
penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam
membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan. Bagi lelaki Minang,
perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yaitu pihak keluarga
istrinya. Sementara bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam
penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka. Pengertian perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu perkawinan juga harus didasarkan pada hukum
agama masingmasing pihak yang hendak menikah. Perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Adapun sebab
dilarang pernikahan sesuku di minangkabau menurut Koentjaraningrat (Khairani, 2020)
Suatu larangan perkawinan sesuku adalah suatu ketentuan yang sudah diterima secara
turun temurun, namun bagi yang melakukannya sama dengan kawin satu turun temurun.
Oleh sebab itu, suku dalam kekerabatan minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal
dan jodoh harus dipilih di luar suku agar tidak terjadi perkawinan sesuku. Dalam adat
minangkabau sebab terjadinya larangan perkawinanan endogami karena masyarakat yang
sesuku masih dalam setali darah atau seperut (Herviani, 2019). Hal tersebut juga
dijelaskan dalam penelitian (Alade, 2020) Penyebab larangan pernikahan sesama suku
tersebut karena dianggap seperti melakukan pernikahan sedara dan jika pernikahan
sesuku terjadi maka yang dilakukan adalah membayar denda dengan menyembeli seekor
kerbau atau bahkan akan dikucilkan dari Minangkabau dan dianggap sebagai orang tidak
bersuku. Perkawinan sesuku disebut juga perkawinan pantang, yaitu perkawinan yang
berakibat rusaknya system adat dari stelsel matrilineal (Danil, 2019).
1.2 Rumusan Masalah
1.1.1 Apa dampak jika terlaksananya kawin pantang baik itu dalam rumah tangga dan
keluarga?
1.1.2 Apa faktor penyebab dilarangnya nikah dengan sesuku dalam adat minang kabau?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan yang mendasari ini adalah;
1. Untuk mengetahui apa saja dampak yang diberikan jika terjadinya kawin pantang dalam
rumah tangga ataupun keluarga.
2. Untuk mengetahui faktor apa saja penyebab dilarangnya perkawinan sesuku.
1.4 Kajian Pustaka
Pernikahan/perkawinan adalah sebuah proses yang dilalui oleh manusia demi
mempertahankan keturunannya. Dalam proses perkawinan bukan hanya dua orang yang
berpadu yaitu pengatin pria dan wanita, tetapi juga dua keluarga. Dengan demikian
perkawinan adalah penyatuan dua keluarga yang disahkan oleh masyarakat dan juga
agama.
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun
melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki serta menganut sistem adat yang
khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau
matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam. Saat ini
masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Teori
yang dikemukakan oleh Van den Berg, hukum adat yang berlaku pada masyarakat
Minangkabau adalah hukum Islam. Sehingga perkawinan pun harus berdasarkan hukum
Islam, namun pada kenyataannya tidak demikian. Hal ini terlihat pada sistem kekerabatan
Minangkabau yang terkenal dengan sistem matrilineal. Tujuan perkawinan menurut
kompilasi hukum Islam adalah untuk mentaati perintah Allah serta memperoleh
keturunan di dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah dan warrahmah. Bentuk perkawinan di Minangkabau telah mengalami
perubahan.
Menurut adat Minangkabau, perkawinan berlaku secara eksogami ditinjau dari segi
lingkungan suku dan endogami ditinjau dari lingkungan nagari eksogami suku berarti
bahwa seseorang tidak boleh mengambil jodoh dari kelompok sesukunya. Alasannya
karena orang yang sesuku adalah bersaudara, sebab masih dapat ditarik garis hubungan
kekerabatannya secara matrilineal dan menurut asalnya mereka sama-sama serumah
gadang. Perkawinan endogami nagari berarti bahwa seseorang dalam mencari jodoh harus
di antara orang sesama nagari dan tidak boleh kawin ke luar dari nagari. Alasan
keharusan endogami nagari itu ialah karena seorang suami bertempat pada dua rumah.
Sebagai urang sumando ia tinggal dan bermalam di rumah istri. Ia juga mamak rumah di
rumah ibunya dan mempergunakan waktu siangnya bekerja di rumah ibunya untuk
membantu kemenakannya dalam mengolah harta pusaka. Adanya tempat yang ganda ini
hanya mungkin berjalan baik bila rumah istrinya tidak berjauhan dari rumah ibunya.
Inilah di antara yang menyebabkan larangan kawin ke luar nagari. Seorang suami yang
selama ini hanya sebagai seseorang yang tidak berarti apa-apa dalam keluarga istri
kemudian berubah menjadi seorang suami yang penuh tanggung jawab terhadap
kehidupan anak dan istrinya. Apabila tanggung jawab terhadap anak dan istri sudah
penuh, maka yang demikian berarti bahwa waktu yang dipergunakan di rumah istrinya
bukan hanya pada malam hari saja, tetapi sudah menghabiskan sebagian besar waktunya
di rumah istrinya atau bahkan semua waktunya berada di rumah sendiri bersama anak dan
istrinya. Masalah yang dihadapi dalam perkawinan dalam masyarakat Minangkabau
dewasa ini pada masyarakat Minangkabau apalagi yang berada di kota, hanya tinggal
bekas-bekasnya dalam arti kata tidak ada lagi murni menurut hukum adat. Sebagai ciri
pokok dalam perkawinan masyarakat Minangkabau adalah dimana dalam perkembangan
kedua suami istri sudah hidup bersama secara tetap dalam suatu rumah yaitu dalam rumah
istrinya dan adanya kehidupan bersama antara suami istri sudah merupakan suatu
kesatuan rumah tangga yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, pada masa sekarang ini
peranan yang menonjol dari seorang laki-laki dewasa adalah sebagai ayah, bila ia telah
menikah.
1.4.1 Kerangka Teori
Kerangka pikir merupakan suatu bentuk proses dari keseluruhan dari proses
penelitian. Komunikasi adalah proses sosial dimana individu-individu menggunakan
simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan
mereka. Dalam adat Minangkabau ada simbol, simbol tersebut terdapat dalam proses
pernikahan, simbol-simbol dalam kajian ini berupa baik dalam bentuk simbol, kata-
kata dan benda. Adat merupakan media atau alat komunikasi dalam simbol adat
minang. Agar makna dan simbol diketahui maka dalam kajian ini memfokuskan pada
simbol-simbol komunikasi pada adat sebagai media sosialisasi dengan cakupan
sebagai berikut:
1. Pra Pertunangan (Pra Maminang) Pra pertunangan adalah suatu proses yang
dilakukan sebelum bertunangan.
 Maresek, adalah proses pertemuan atau perkenalan kedua belah pihak
skeluarga sebelum dilaksanakannya pertunangan.
2. Pertunangan (Maminang) Pertunangan adalah masa peralihan antara
lamaran dengan pernikahan.
 Maminang dan batuka tando(meminang/ bertukar tanda) Maminang
dan tando (meminang/ bertukar tanda) adalah proses pertemuan kedua
belah pihak secara resmi setelah dilakukannya beberapa kali
perundinagan pada tahap sebelumnya yaitu maresek.
 Mahanta/ Meminta izin Mahanta / Meminta izin merupakan
pemberitahuan kepada keluarga besar untuk meminta doa restu dari
rencana pernikahan, baik dari pihak dari keluarga calon pengantin pria
maupun pihak keluarga calon pengatin wanita.
3. Pernikahan Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang
dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan
ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial.
 Malam bainai (malam berinai) adalah proses pemasangan/ melekatkan
inai yang telah ditumbuk pada kuku calon pengatin.
 Akad nikah, adalah Sebuah proses pengikatan janji nikah yang
dilakukan dengan mengucapakan ijab qabul.
4. Pesta (Baralek) Pesta (Baralek) merupakan sebuah perayaan yang diadakan
sebagai ucapan syukur karena telah menikahkan salah satu dari anak
masingmasing keluarga.
 Manjampuik marapulai (Menjemput Pengantin pria) Manjampuik
marapulai (Menjemput Pengantin pria) merupakan proses
penyambutan pengatin pria dengan cara pihak keluarga pengantin
wanita mendatangi rumah keluarga pengantin pria untuk dibawa
kerumah pengatin wanita.
 Peyambutan dirumah anak daro (Penyambutan dirumah pengantin
wanita) Peyambutan dirumah anak daro (Penyambutan dirumah
pengantin wanita) merupakan langkah selanjutnya yang dilakukan
seiring telah di laksanaknnya proses manjapuik marapulai dengan cara
setelah pengantin pria tiba di rumah pengantin wanita ninik mamak
pihak wanita melemparkan beras kuning sambil memberikan
petatahpetitihnya.
 Basandiang di pelaminan (bersanding dipelaminan) Basandiang di
pelaminan (bersanding dipelaminan) merupakan proses akhir yang
dilakukan dengan cara duduk bersanding dua di pelaminan.
5. Pasca Pesta Pasca Pesta adalah suatu proses yang dilakukan setelah pesta.
 Manjalang, Manjalang dalam adat minang merupakan kewajiban untuk
mengisi adat setelah akad nikah dari pihak keluarga mempelai wanita
kepada keluarga mempelai pria. Seperti namanya mahanta nasi, maka
rombongan keluarga mempelai wanita yang datang kerumah ayah ibu
mempelai pria, wanita yang datang kerumah ayah ibu mempelai pria
ini memang diharuskan untuk membawa berbgai macam makanan.
Berdasarkan kerangka pikir diatas dapat dijelaskan bahwa di dalam
Adat Pernikahan Minang terdapat simbol-simbol yang ada disetiap
proses pernikahan.
Dalam teori Interaksi simbolik dijelaskan bahwa teori ini menyediakan pandangan yang
menonjol mengenai perilaku komunikasi antarmanusia dalam konteks yang sangat luas dan
bervariasi, dimana dalam teori ini dikembangkan dengan baik mulai dari peranan diri dan
kemudian berkembang pada pelajaran mengenai diri dalam masyarakat. Maresek adalah
sebuah cara yang dilakukan sebelum pertungan dilaksanakan, dengan datangnya keluarga
perempuan menemui keluarga laki-laki sebagai langkah awal untuk menjajaki (penjajakan
awal), apakah laki-laki atau keluarganya mau menerima, menjadi suami dan menjadi bako
nantinya dari anak calon istrinya. Maresek dilakukan untuk memastikan kesiapan dan
memantapkan hati, bisa jadi rencana atau niat dari proses maresek ini diterima oleh keluarga
laki-laki, bisa jadi ditolak. Mead mendefinisikan pikiran sebagai kemampuan untuk
menggunakan simbol yang mempunyai makna yang sama, dan Mead percaya bahwa manusia
harus mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Masyarakat percaya
dengan dilakukannya maresek ini akan lebih memudahkan kedua keluarga untuk mengetahui
apakah kelak pasangan pengantin akan bisa hidup bersama kedepannya karena telah
melakukan pencarian yang baik untuk anak kemenkan yang akan menikah. Dalam setiap
proses pernikahan minang terdapat berbagai simbol dengan makna yang berbeda. Maresek
memiliki simbol yang mengandung arti tersendiri bagi masyarakat minang, dalam maresek
terdapat simbol carano yang dilengkapi dengan daun sirih, buah pinang, kapur sirih dan
gambir yang akan dimakan nantinya, dimana makna yang terkandung dari simbol sirih
pinang lengkap itu adalah bahwa mengunyah daun sirih merupakan sebuah makna sebagai
pemersatu harapan untuk selalu menjadi orang yang selalu rendah hati yang murni, tulus,
jujur dan sabar. Tidak hanya itu, ketika daun sirih dimakan akan menimbulkan dua rasa di
lidah yaitu pahit dan manis artinya terkandung simbol-simbol tentang pengharapan dan
kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Mead berargumen bahwa interaksi
mengambil tempat didalam sebuah struktur sosial yang dinamis-budaya, masyarakat dan
sebagainya. individu-individu lahir ke dalam konteks sosial yang diciptakan oleh manusia.
Dalam pernikahan minang terdapat simbolsimbol yang memiliki makna, pemaknaan simbol
tidak akan ada jika tidak dimaknai, artinya setiap simbol yang ada dalam pernikahan minang
tersebut dimaknai oleh manusia (masyarakat). Proses pernikahan tersebut didapatkan
beberapa tahapan-tahapan. Tahapan-tahapan tersebut di mulai dari Pra Pertunangan, pada Pra
Pertunangan terdapat satu proses yaitu maresek. Kemudian tahapan berikutnya Pertunangan,
dalam tahapan Pertuangan ini ada beberapa proses yaitu Maminang dan batuka tando
(meminang/bertukar tanda), Mahanta/Meminta izin, Babako/Babaki. Masuknlah pada
tahapan Pernikahan, dimana dalam tahapan ini dilangsungkannya Akad Nikah. Tahapan
selanjutnya yaitu Pesta (Baralek), pesta pada adat pernikahan Minang terdapat juga proses
yang dijalankan, yaitu Malam bainai (malam berinai), Manjampuik marapulai (Menjemput
Pengantin pria), Peyambutan dirumah anak daro (Penyambutan dirumah pengantin wanita),
dan masuklah pada tahapan akhir yaitu Pasca Pesta, pada tahapan ini ada proses yaitu
manjalang.

1.4.2 Kerangka Konsep

Perkawinan Adat Minangkabau

ADAT
MALAM PERNIKAHAN
PERNIKAHAN
BAINAI

AKAD NIKAH
MARISIK PESTA

MANJAPUIK
PERTUNANGAN MAMINANG MARAPULAI PASCA PESTA
MAHANTA
PENYAMBUTAN
DI RUMAH
1.5 Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data fakta, sitematis,
dan empiris.
1.5.1 Jenis penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian bersifat kualitatif. Dimana
penjelasan tentang pernikahan adat minangkabau dimaksud dengan mempelajari dan
memahami tatacara pelakasanaan ada minangkabau.
Penelitian ini dilakukan terjun ke lapangan atau ke lokasi kediaman
masyarakat yang menjadi objek penelitian. Informan yang dipilih adalah informan
yang telah lama tinggal di jalan Ki Hajar Dewantara, Kota Pandan

1.5.2 Lokasi Penelitian


Menurut Nasution (2003:43) mengatakan bahwa lokasi penelitian menunjuk
pada pengertian lokasi sosial yang dicirikan oleh adanya 3 unsur yaitu pelaku, tempat
dan tinggal kegiatan observasi. Adapun penelitian yang dilakukan penelitian di
Jl.Kihajar Dewantara. Kota Pandan.
1.5.3 Penentuan Informan
Dalam melakukan penelitian, biasanya seorang informan akan terlibat sebagai
orang yang memberikan pedoman yang memberikan informasi dan data-dataterkait
masalah yang diteliti. Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan metode
pruposive sampling yang mana penentuan nya bersifat random dan sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan.
Adapun informan pada penelitian ini adalah:
1. Nama: Nisa
Umur: 25 Tahun
Pekerjaan: Mahasiswa
2. Nama: Dermala
Umur: 34 Tahun
Pekerjaan: Tukang Catering
1.5.4 Teknik Pengumpulan data
Menurut Sugiyono (2009:224) teknik pengumpalan data merupakan langkah-
langkah yang paling starategis dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian untuk
mendapatkan data. Dalam penelitian kualitatif mengguanakan cara dengan
wawancara, observasi, dan dokumentasi.
 Wawancara
Menurut Riyanto (2010:82) interview atau wawancara
merupakan metode pengumpulan data yang mengkehendaki
komunikasi secara langsung. Wawancara ini digunakan untuk mencari
data kepada masyarakat untuk memberikan tanggapan atas pertanyaan
yang diajukan oleh peneliti.
 Observasi
Menurut Widoyoko (2014:46) observasi merupakan suatu
pengamatan dan pencatatan secara sistematid terhadap unsur-unsur
yang nampak pada suatu gejala atau objek penelitian.
 Dokumentasi
Menurut Arikunto (2006:158) metode dokumentasi harus
menyelediki tertulis seperti buku-buku, jurnal-jurnal, majalah,
dokumen, catatan, dan sebagainya untuk menjadi dokumentasi seperti
foto bersama informan.

1.5.5 Teknik Analisa Data


Menurut Sugiyono (2010:335) yang di maksud dengan teknik analisa
data adalah proses mencari data, menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, observasi, wawancara, catatan lapangan,
menjabarkan kedalam unit-unit , melakukan sintetis , menyusun pola memilih
mana yang penting dan yang akandi pelajari dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
 Reduksi Data
Menurut Sugiyono (2010-338) reduksi data artinya sering
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif dengan
teks dan naratif. Pada tahap ini peneliti menyajikan datadatayang telah
di reduksi ke dalam laporan secara sistematis.
 Display Data
Menurut Amailes dan huberman (sugiyono,2010:341) yang
paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian
kualitatif, adalah dengan teks naratif.
 Interpretasi Data
Menurut Mudji (2005) interpretasi data merupakan eksresi
dalam penelitian data kualitatif, yang berusaha menggali pengetahuan
tentang data atau peristiwa melalui pemikirang yang lebi dalam.
 Kesimpulan Data
Menurut Sugiyono (2010:345) adalah penarikan kesimpulan
dan jawaban dari rumusan masalah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hasil Pembahasan
Perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada
umumnya bagi penganut agama tergantung agama yang dianut masyarakat adat yang
bersangkutan. Maksudnya apabila telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya,
maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat kecuali bagi mereka yang belum
menganut hukum agama yang diakui pemerintah. Hukum adat adalah hukum yang tidak
tertulis yang menjadi pedoman atau aturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Hukum
yang tidak tertulis mempunyai sifat dinamis dan berubah mengikuti perkembangan zaman.
Sahnya perkawinan menurut hukum adat Minangkabau sesuai dengan ketentuan yang
dinyatakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat
(1), yaitu sahnya perkawinan berdasarkan agama masing-masing dan kepercayaannya. Bagi
masyarakat Minangkabau yang beragama Islam, sahnya perkawinan sesuai dengan apa yang
ditentukan oleh hukum Islam mengenai syarat sah dan rukun perkawinan. Perkawinan
menurut hukum adat adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan
pribadi satu sama lain dalam hubungannya yang sangat berbedabeda. Jadi perkawinan
menurut hukum adat adalah merupakan tanggung jawab bersama dari masyarakat hukum
adat.
Pada masyarakat yang menganut sistem matrilineal seperti di Minangkabau, masalah
perkawinan adalah masalah yang dipikul oleh mamak (paman). Seorang mamak (paman
dari pihak ibu) peranannya yang sangat besar sekali terhadap kemenakannya yang akan
melakukan perkawinan. Dengan demikian, jelaslah bahwa perkawinan dalam hukum adat
bukan hanya menyangkut masalah pengantin laki-laki dan perempuan tetapi juga masalah
keluarga dari kedua pihak dan sistem masyarakatnya yang berlaku. Dalam hal batas umur
untuk melangsungkan perkawinan, hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang
batas umur untuk melangsungkan perkawinan, dimana hukum adat membolehkan
perkawinan di usia berapapun.
Sistem Kekeluargaan Masyarakat Minangkabau. Hubungan antara Anak dengan
Orang Tua Dalam susunan masyarakat matrilineal Minangkabau, seorang anak yang
dilahirkan menurut hukum adat hanya akan mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.
Dengan demikian, anak akan menjadi atau masuk klan/suku ibunya sedangkan terhadap
ayahnya anak secara lahiriah tidak mempunyai hubungan apaapa walaupun secara alamiah
dan rohaniah mempunyai hubungan darah. Begitu pula sebaliknya, seorang ayah tidak akan
mempunyai keturunan yang menjadi anggota keluarganya. Oleh sebab itu, seorang ayah
tidak perlu bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya untuk memelihara anakanak
dan membesarkannya, juga wewenang untuk mengawinkan. Hubungan-hubungan
pewarisan terjalin dengan ibu beserta mamak dari anak-anak tersebut sebagai kehidupan
modern yang berpengaruh dari kebudayaan barat. Keadaan ini telah banyak mengalami
perubahan. Jabatan seperti itu di rumah istrinya walaupun dari kesukuan ia tetap asing. Jadi
dalam keadaan ini perubahan bukan berarti menghilangkan peranan yang berlaku selama
ini. Perubahan yang terjadi ialah perubahan peranan dari rumah kemenakannya ke rumah
istrinya. Perubahan ini terjadi karena adanya kecenderungan untuk hidup dalam keluarga
inti yang anggotanya terbatas pada anakanak beserta ayah dan ibunya. Adapun pernikahan
menurut Agama Islam dan menurut adat minangkabau yaitu;

 Pernikahan Menurut Agama Islam


Dalam pernikahan menurut agama islam ada beberapa tahapan yang dilaksanakan:
1) Khitbah (Peminangan) Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah
hendaknya ia meminang terlebiih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang dipinang
oleh orang lain, dalam hal ini islam melarang seseorang muslim meminang wanita
yang sedang dipinang orang lain (Muttafaq „alaihi).
2) Akad Nikah Dalam akad anikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus
dipenuhi:
a) Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b) Adanya Ijab dan Qabul Adapun syarat Ijab:
 Pernikahan nikah hendaklah tepat.
 Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran.
 Diucapkan oleh wali atau wakilnya
 Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah.
 Tidak secara taktik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Adapun syarat Qabul: (1) Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab.
 Tiada perkataan sindiran
 Dilafazkan oleh calon suami atau wakilnya
(atas sebab-sebab tertentu).
 Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (seperti
nikah kontrak)
 Tidak secara taktik
(tiada sebutan prasyarat sewajtu ijab dilafazkan)
 Menyebuut nama calon istri.
 Tidak diselangi dengan perkataan lain.
c) Adaya Mahar Mahar atau diistilahkan dengna maskawin adalah hak seorang wanita
yang harus dibayar oleh laki-laki yang dinikahinya. Mahar merupakan milik seorang
istri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun dengan yang
lainnya kecuali dengan keridhaannya. Terdapat 2 jenis mahar yaitu:
 Mahar misil: mahar yang dinilai berdasarkan mahar saudara perempuan
yang sudah berkahwin.
 Mahar muthamma: mahar yang dinilai berdasarkan keadaan,
kedudukan atau ditentukan oleh perempuan atau ayahnya.
d) Adanya Wali Yang dikatakan dengan wali adalah orang yang paling dengan si
wanita. Dan orang yang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah
ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya keatas. Ada beberapa jenis wali, yaitu:
 Wali Mujbir adalah wali dari bapak sendiri atau datuk sebelah bapak
(bapak kepada bapak) mempunyai kuasa mewalikan perkawinan anak
perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuan atau tidak
(sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak
dikawinkan).
 Wali Aqrab adalah wali terdekat mengikut susunan yang layak dan
berhak menjadi wali.
 Wali Ab‟ad adalah wali yang jauh sedikit mengikuti susunan yang layak
menjadi walinya. Wali ab‟ad ini akan berpindah kepada wali ab‟ad lain
seterusnya mengikuti susunan tersebut jika tada yang terdekat lagi.
 Wali Raja/ Hakim adalah wali yang diberi kuasa atau ditauliahkan oleh
pemerintah atau pihak yang berkuasa di negeri kepada orang yang telah
dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu.
e) Adanya Saksi-saksi Adapun syarat saksi sadalah sebagai berikut:
(1) Sekurang-kurangnnya dua orang
(2) Islam
(3) Berakal
(4) Baligh
(5) Lelaki
(6) Memahami kandungan lafaz ijab dan qabbul
(7) Boleh mendengar, melihat dan bercakap
(8) Adil (tidak melakukan dosa-dosa besar dan tiak berterusan melakukan dosa-dosa
kecil).
(9) Merdeka
3) Walimah (Pesta) Walimatul’urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana
mungkin dan alam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin.
2. Aneka Ragam Perkawinan Masyarakat Adat Minangkabau
Stelsel matrilineal dengan sistem kehidupan yang komunal, seperti yang dianut suku
Minangkabau menempatkan perkawinan menjadi persoalan dan urusan kaum kerabat.
Mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan,
bahkan sampai kepada segala urusan akibat perkawinan itu. Perkawinan bukanlah
masalah sepasang insan yang hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah
tangganya saja. Oleh karena falsafah Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup
bersamasama, maka rumah tangga menjadi urusan bersama, sehingga masalah pribadi
dalam hubungan suami istri tidak terlepas dari masalah bersama. Pola perkawinan
mereka bersifat eksogami. Kedua belah pihak atau salah satu pihak dari yang menikah
itu tidak lebur ke dalam kaum kerabat pasangannya. Oleh karena menurut struktur
masyarakat mereka setiap orang adalah kaum dan suku mereka masingmasing yang
tidak dapat dialihkan. Perkawinan eksogami meletakkan para istri pada status yang sama
dengan suaminya. Stelsel matrilineal serta pola hidup komunal menyebabkan mereka
tidak bergantung kepada suaminya. Walaupun suami sangat dimanjakan di dalam rumah
tangga, ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan istrinya. Jika ia ingin terus
dimanjakan, maka ia harus pandai-pandai pula menyesuaikan dirinya

3. Kawin Pantang .
Kawin Pantang Selain untuk memenuhi kebutuhan biologis dan perkembangan anak
cucu, perkawinan juga untuk mempererat dan memperluas hubungan kekerabatan. Oleh
karena itu, hukum perkawinan selain mempunyai larangan juga mempunyai pantangan.
Pengertian larangan ialah perkawinan tidak dapat dilakukan, yang berupa pantangan,
perkawinan dapat dilakukan dengan sanksi hukuman. Di samping itu, ditemui pula
semacam perkawinan sumbang, yang tidak ada larangan dan pantangannya, akan tetapi
tidak dilakukan.
Perkawinan yang dilarang ialah perkawinan yang terlarang menurut hukum
perkawinan yang telah umum seperti mengawini ibu, ayah, anak saudara seibu dan
sebapak, saudara ibu dan bapak, anak adik dan kakak, mertua dan menantu, anak istri
dan ibu atau bapak tiri, saudara kandung istri atau suami, dan anak saudara laki-laki
ayah.
Perkawinan pantang ialah perkawinan yang akan merusak sistem adat mereka, yaitu
perkawinan orang yang setali darah menurut stelsel matrilineal, sekaum, dan juga
sesuku meskipun tidak ada hubungan kekerabatan dan tidak sekampung halaman.
Perkawinan sumbang yang akan merusak kerukunan sosial lebih bertolak pada menjaga
harga diri orang tidak tersinggung atau merasa direndahkan.
Oleh karena ajaran mereka yang terpenting ialah memelihara harga diri, maka untuk
hal itu diagungkan ajaran raso jo pareso (rasa dan periksa) atau tenggang raso (tenggang
rasa) sebagaimana yang diungkapkan ajaran falsafah mereka. Pantangan perkawinan
untuk memelihara kerukunan sosial itu ialah (1) mengawini orang yang telah diceraikan
kaum kerabat, sahabat, dan tetangga dekat; (2) mempermadukan perempuan yang
sekerabat, sepergaulan, dan setetangga; (3) mengawini orang yang tengah dalam
pertunangan; (4) mengawini anak tiri saudara kandung. Sanksi hukum ditetapkan
kepada pelanggar tergantung kepada keputusan yang ditetapkan musyawarah kaumnya.
Tingkatannya antara lain: membubarkan perkawinan itu, hukum buang dengan diusir
dari kampung atau dikucilkan dari pergaulan, juga dapat dilakukan dengan hukum
denda dengan cara meminta maaf kepada semua pihak pada suatu perjamuan dengan
memotong seekor sampai dua ekor binatang ternak. Adapun perkawinan yang dilrang
yaitu:
 Pernikahan Sesuku
Larangan pernikahan satu suku dilarang karena dapat memecah
keturunan bila mana mereka mempunyai datuk yang sama dan apabila
perkawinan sesuku terjadi maka datuk harus membatalkannya. Larangan
perkawinan sesuku erat juga kaitannya dengan pembagian harta pusaka dan
jika seseorang menikah dengan orang yang masih dekat tali darahnya akan
menjadi pergunjingan banyak warga di sekitarnya, karena ini merupakan suatu
Aib besar bagi keluarga (Herviani, 2019) .
Adapun sebab dilarang pernikahan sesuku di minangkabau yaitu suatu
sumber atau pelopor kerusakan suatu kaum di Minangkabau, dapat
mempersempit pergaulan, terlahirnya keturunan yang tidak berkualitas dan
gangguan psikologis bagi anak serta dapat kehilangan beberapa hak dalam
adat (Arisman, 2018). Menurut Akmal Sutan Pamuncak perkawinan yang
dilarang di Minangkabau ada tiga yaitu perkawinan yang dilarang agama,
perkawinan pantangan dan perkawinan sumbang (Ekawiyani, 2020). Larangan
pernikahan itu terjadi karena menjaga keturunan kalau dibiarkan bisa jadi
nanti ketutunana akan cacat dan keluarga tersebut akan tertimpa musibah dari
sang pencipta, selain itu juga menentu kehidupan yang diharapkan agar
terhindar dari malapetaka dan musbih serta menjaga generasi berikutnya.
(ANUGRAH, 2020)
Masyarakat Minangkabau menganut tiga aturan hukum atau yang disebut dengan
Bapilin tigo, yaitu seluruh masyarakat Minangkabau harus senantiasa memegang teguh
pada nilai-nilai ajaran Islam tanpa sedikitpun meninggalkan Adat/ tradisi yang dibawa
leluhurnya terdahulu, selain itu mereka juga melaksanakan aturan-aturan pemerintah
termasuk tata aturan pernikahan secara nasional yang berlaku hingga saat ini, dengan
kata lain mereka harus mematuhi ketiga hukum yaitu: Agama, Adat, dan Pemerintah.
Faktor penyebab dilarangnya nikah sesuku ialah rancunya hubungan/ silsilah
kekerabatan, dikhawatirkan merusak hubungan silaturrahim, dikhawatirkan akan
terjadinya pernikahan antar saudara kandung dan akan sulit membedakan antara saudara
dengan yang tidak, mendidik rasa malu, kepatuhan pada sumpah sotih serta keyakinan
yang kuat bahwa akan terjadi hal-hal buruk kelak pada keturunan (SARI, 2019).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Bentuk perkawinan di Minangkabau telah mengalami perubahan. Menurut adat
Minangkabau, perkawinan berlaku secara eksogami ditinjau dari segi lingkungan suku dan
endogami ditinjau dari lingkungan nagari eksogami suku berarti bahwa seseorang tidak dapat
mengambil jodoh dari kelompok sesukunya. keheranan karena orang yang sesuku adalah
bersaudara, sebab masih dapat ditarik garis hubungan kekerabatannya secara matrilineal dan
menurut asalnya mereka sama-sama serumah gadang. Perkawinan endogami nagari berarti
bahwa seseorang dalam mencari jodoh harus di antara sesama nagari dan tidak boleh kawin
ke luar dari nagari dan ada juga larangan pernikahan sesuku Karena larangan pernikahan
sesuku di minangkabau dilarang karena orang minang berdasarkan bahwa mereka yang satu
suku itu bersaudara dan satu keturunan atau bertalih darah serta separui (perut) dilarang
dalam proses pernikahannya dan juga untuk menjaga harta warisan dan keharmonisan suku
karena nanti terjadi perceraian antara pasangan suami istri itu akan menggagu keharmonisan
sesuku itu namun ada juga masyarakat yang menerima secara positif pernikahan sesuku demi
menghindari zina dan juga karena tidak bertentangan dengan agama meski demikian dilarang
pernikahan tetap berlaku dengan kosekuensi tetangga dan masyarakat. sebagai orang minang
yang taat dengan peraturan adat maka perlu penerimaan diri untuk tidak melaksanakan
larangan pernikahan sesuku tersebut. syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan,
kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Pengenalan
dan pendekatan untuk memperoleh kerasiaan atau dapat mengenal watak dari masing-masing
pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan
dalam pergaulan antara kekuarga kelak kemudian. Perkawinan juga menuntut suatu
tanggungjawab. Antaranya menyangkut nafkah lahir batin, jaminan hidup dan tanggungjawab
pendidikan anakanak yang akan dilairkan. Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di
Minangkabau membawa konsekuensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama
dalam emngetur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya
dalam perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksankan dengan cara serasi,
seiring dan sejalan. Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat
maupu ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa kosekuensi yang
pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan
DAFTAR PUSTAKA
Asmaniar. PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU. 2018. Fakultas Hukum Universitas
Krisnadwipayana
Fitri. Aulia. PENERIMAAN DIRI DENGAN KONSELING REALITA TERHADAP
LARANGAN PERKAWINAN SESUKU DI MINANGKABAU. 2021. Institut Agama Islam
Negeri Batusangkar, Padang, Sumatra Barat, Indonesia
Trusto Subekti. SAHNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN.
Universitas Jendral Soedirman. Purwokerto. Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai