Anda di halaman 1dari 72

i

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Penelitian ini telah dipertahankan dihadapan tim

penguji Pendidikan Awal dan disetujui untuk diperbanyak sebagai salah

satu syarat untuk menyelesaikan Jenjang Pendidikan Awal Persatuan

Mahasiswa Tau Sianakkang Makassar.

Makassar,17 November 2019

Mengetahui,
Pembimbing Pendamping

Zulfadli Yunira Mutmainna


NRA.PMTS.08.15.201 NRA.PMTS.11.18.322

Menyetujui,

Wakil Ketua Umum Koord. Departemen PSDM

Muh.Taslim Risaldi Idris

NRA.PMTS.10.17.238 NRA.PMTS.10.17.251
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan

hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis, sehingga

menyelesaikan laporan dengan judul “RITUAL ADAT PERNIKAHAN GOWA”

dalam rangka memenuhi persyaratan menjadi anggota Persatuan Mahasiswa

Tau Sianakkang Makassar.

Dalam penyusunan laporan ini banyak hambatan serta rintangan yang

penulis hadapi namun pada akhirnya dapat melaluinya berkat adanya

bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moral maupun

spiritual. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan

terimakasih kepada:

1. Zulfadli selaku Daeng Pembimbing yang telah bersedia meluangkan

waktu untuk memberikan arahan selama penyusunan laporan.

2. Yunira Mutmainna yang telah memberikan arahan selama penyusunan

laporan.

3. Kedua orang tua beserta kakak yang telah memberikan doa dan

dukungan selama proses pembuatan laporan.

4. Teman-teman yang selalu memberikan dukunsgan.

5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu memberikan dukungan.


Penulis mohon maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukan.

Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat untuk mendorong

penelitian selanjutnya.

Makassar,17 November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................... i

KATA PENGANTAR............................................................................... ii

DAFTAR ISI............................................................................................. iii

DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang....................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................. 2

C. Tujuan penelitian................................................................... 3

D. Manfaat Penelitian................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori............................................................................. 4

1. Prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah pernikahan di

kabupaten Gowa................................................................ 4

2. Jenis-jenis Annyala dalam pernikahan............................... 15

3. Nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam tradisi adat

pernikahan di kabupaten Gowa.......................................... 21

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Dan Sumber Data....................................................... 23


B. Tempat Penelitian.................................................................... 23

C. Waktu Peneitian.................................................................... 23

D. Instrument Penelitian............................................................. 24

E. Pengumpulan data................................................................ 24

F. Pengolahan Data................................................................... 24

BAB IV. PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian...................................................................... 26

1. Prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah

pernikahan di kabupaten Gowa..................................... 26

2. Jenis-jenis Annyala dalam pernikahan............................ 29

3. Nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam tradisi adat

pernikahan di kabupaten Gowa....................................... 30

B. Pembahasan Penelitian......................................................... 36

1. Prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah

pernikahan di kabupaten Gowa....................................... 36

2. Jenis-jenis Annyala dalam pernikahan............................ 41

3. Nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam tradisi adat

pernikahan di kabupaten Gowa....................................... 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan............................................................................ 54

B. Saran..................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mahasiswa memiliki posisi yang strategis dalam rangka menjaga

dan melestarikan suatu budaya atau adat-istiadat. Zaman sekarang,

setelah mahasiswa mengenal teknologi dan budaya modern secara

perlahan mereka sudah lupa akan budaya mereka sendiri. Untuk itu kami

sebagai mahasiswa yang peduli akan budaya kita sendiri khususnya suku

Makassar yang mulai terkikis kembali membahas tentang pernikahan

suku Makassar.

Adat merupakan pencerminan kepribadian suatu bangsa dan

merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa dari abad ke abad. Oleh

karena itu, tiap bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri

yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Ketidaksamaan inilah dapat

dikatakan bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang

memberikan identitas bangsa yang bersangkutan.

Appa’bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan

upacara pernikahan. Pernikahan merupakan salah satu sara’ sahnya

pernikahan dalam catatan kedua bela pihak suka sama suka dan kedua

wali juga saling merestui bagi masyarakat suku Makassar provinsi

Sulawesi Selatan khususnya di daerah kabupaten Gowa menganggap


bahwa upacara pernikahan merupakan sesuatu hal yang sangat sakral,

artinya mengandung nilai-nilai yang suci. Oleh sebab itu dalam rangkaian

proses pernikahan harus ditangani oleh orang-orang yang benar ahli

dalam menangani pernikahan tersebut. dan melakukan beberapa kegiatan

yaitu musyawarah tahap sebelum menikah dan tahap setelah menikah.

Tahapan tersebut dibagi menjadi beberapa proses yaitu pertama Akkuta’-

kuta’nang (mencari informasi), Assuro (Melamar) sampai dengan

Pattamma’ (Penamatan Al-Qur’an) dan terakhir Barazanji. Kemudian

adanya akulturasi yaitu penggabungan budaya dilihat dari pernikahan

sebelum masuknya Islam dilakukan sesuai dengan adat mereka tanpa

adanya hukum Islam yang mengikat hanya hukum adat yang menonjol.

Setelah masuknya Islam pernikahan ini menggabungkan dua budaya yaitu

budaya Islam dengan budaya lokal.

Diharapkan dengan adanya laporan ini dapat membangkitkan

semangat dan motivasi para pembaca untuk melestarikan budaya suku

Makassar.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah

pernikahan di kabupaten Gowa?

2. Apa saja jenis – jenis Anynyala dalam pernikahan?

3. Bagaimana nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam tradisi adat

pernikahan di kabupaten Gowa?


C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah

pernikahan di kabupaten Gowa

2. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis Anynyala dalam pernikahan itu

3. Untuk mengetahui nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam tradisi

adat pernikahan di kabupaten Gowa.

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat bagi penulis

Laporan ini mengenai tradisi adat-istiadat pernikahan yang ada

di kabupaten Gowa ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis

dan memperluas pengetahuan mengenai ritual adat pernikahan Gowa.

2. Manfaat bagi masyarakat

Laporan ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengenal

kembali cerita ditengah masyarakat dan membuat masyarakat semakin

tertarik dengan ritual adat pernikahan Gowa.

3. Manfaat bagi institusi pendidikan

Laporan ini diharapkan dapat menjadi referensi pengerjaan

tugas akhir selanjutnya yang mengangkat tema ritual adat pernikahan

Gowa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah pernikahan di

kabupaten Gowa

a. Adat dan upacara sebelum pernikahan

Acara peminangan melalui beberapa fase dan dimulai dengan

“Accini’rorong” artinya melihat atau mencari jalan sebagai

penyelidik. Usaha semacam ini adalah untuk mengetahui secara

rahasia tentang kemungkinan pihak laki-laki mengajukan lamaran

pada gadis yang dipilih.

Dilanjutkan dengan fase berikutnya yaitu “Appesak-pesak”

(meraba-raba) dalam hal ini diutus seorang perempuan

kepercayaan yang pandai bersiasat. Fase berikutnya adalah

“Appari’ba jangang-jangang” atau “A’rakkang-rakkang” atau

“Ajjangang-jangang” (menerbangkan burung merpati, memasang

alat perangkap, kepiting di sungai, berbuat seperti burung). Setelah

berhasil Appesak-pesak, maka dtentukanlah waktu yang baik dan

diutuslah 2, 3 orang sebagai duta, biasanya adalah orang yang

disegani. Sebelum ke rumah si gadis terlebih dahulu disampaikan

kepada keluarga gadis, tetapi masih Abbisik-bisik (berbisik-bisik


masih rahasia). Tujuannya adalah untuk secara tidak langsung

menyampaikan untuk Assuro. Kalau pihak wanita telah menerima

maksud pihak laki-laki untuk Mange assuro maka disebut

Addangka’mi Jangang-jangang (burung yang diterbangkan telah

hinggap) atau Anngallemi rakkang-rakkangna (alat penangkap

kepitingnya telah menangkap kepitingnya).

1) Mange Assuro (pergi meminang)

Pada hari yang ditentukan sanak keluarga gadis bersama

menanti kedatangan delegasi laki-laki. Salah seorang anggota

delegasi membuka acara dengan membuka sirih pinang yang

dibawanya. Pimpinan itu menyampaikan salam hormat dari orang

tua si .... selanjutnya menyampaikan maksud. Dan terjadilah

perundingan dan apabila dicapai kesepakatan dari juru bicara

sebagai berikut: Lanri kabattuanta. Battuki siagang ada.

“Kutarimaki siagang ada. Nalanri anjo kiboyayya, anu nia

kupa’makkangki”. (Oleh karena kedatangan tuan dengan adat,

maka kami sambut dengan adat. Adapun yang tuan cari. Karena

hal itu barang yang ada kami adakan pula). Selanjutnya

dibicarakan tentang waktu “Appa’nassa”. (penentuan). Pada

waktu Appa’nassa yang menjadi pembicaraan adalah yang ada

hubungannya dengan pelaksaan perkawinan yaitu Sunrang.

Doek balanja, penentuan hari perkawinan.


Sunrang adalah mas kawin, Sunrang itu mutlak menurut

hukum Islam yang dilaksanakan oleh orang Islam di mana pun

juga. Dapat berupa uang ataupun barang. Sunrang berbeda-beda

sesuai dengan kedudukan sosial dari orang yang membayar dan

yang menerimanya.

Doek balanja kadang-kadang menjadi masalah yang

memberatkan pihak laki-laki, walaupun besar kecilnya ditentukan

oleh kedua belah pihak. Selain doek adapula yang disebut

cingkarak yaitu hadiah yang nantinya juga akan dibalas oleh

pihak perempuan. Dan barang hadiah itu nantinya akan menjadi

harta bawaan “barang-barang sisila” bagi kedua orang suami istri.

3) Upacara Appanaik Leko Caddi (menaikkan sirih kecil)

Dalam upacara ini akan disediakan semua yang akan

dibawa serta, misalnya kue-kue: dodoro, waje, dan kue-kue

lainnya. Biasanya 12 bosarak (besek / bakul). Untuk bangsawan

tinggi biasanya 14 bosarak. Di samping itu ada pula yang disebut

baku karaeng (bakul raja) sebuah bakul untuk permintaan waktu.

Isi bakul itu terdiri atas beras segenggam, kelapa, gula, sirih,

pinang. Yang membawa leko’ caddi ini adalah laki-laki dan

perempuan lengkap dengan pakaian adat. Biasanya dirangkaikan

dengan membawa cincin pasikko dan uang belanja.


Setelah fase peminangan selesai dan setelah ada

kesepakatan waktu, maka masing-masing pihak segera

“A’buritta” (penyampaian berita) kepada keluarga dan kerabat.

Sementara kegiatan lainnya pun berlangsung.

4) Appanai Leko’ Lompo (menaikkan sirih besar)

Tujuh atau tiga hari sebelum pernikahan leko lompo

diantarkan ke rumah perempuan. Kalau uang belanja belum

dibawa pada leko caddi maka turut dibawa pada leko lompo ini.

Yang diantarkan dalam leko lompo ini adalah sirih pinang terdiri

dari daun sirih beberapa “ra’na” (ikat) pinang bertandang (Rappo

Appae) tembakau (tambako) gambir (gambare) kapur (pa’leo)

secukupnya, gula merah, kelapa bertandang, pisau (unti) nenas,

jeruk, nangka, dan segala macam buah-buahan. Segala macam

kue-kue adat seperti : sekrok-sekrok, cucuru’ te’ne, rokok-rokok

cangkuneng dan lain-lain. Selain itu, dibawa pula perlengkapan

pakaian perhiasan dan alat-alat kecantikan.

Arak-arakan diiringi oleh gendrang, gong pui-pui, sampai

di rumah perempuan. Tiga malam sebelum akad nikah yang

disebut simorong, suasana di rumah kedua belah pihak sudah

meriah. Terdengar alat-alat musik kadang gendrang, puik-puik

dan lain-lain, sesuai dengan status sosial masing-masing.


5) Abbarumbung (mandi uap)

Tahap Abburumbung atau mandi uap dilakukan sebelum

acara akkorontigi (malam pacar) .Tujuan dari tahap ini adalah

untuk membersihkan tubuh pengantin, baik penganti pria maupun

pengantin wanita agar kelihatan bersih dan berseri saat malam

pacar maupun dalam pesta perjamuan . fase ini disebut mandi

uap karena calon pengantin mandi dari uap .Uap berasal dari

ramuan tradisional yang direbus dan diarahkan kepada calon

pengantin dengan cara menggunakan pipa tabung.kemudian

calon pengnatin ditutupim sarung agar supaya kehangatan uap

tersebut dapat membuat calon pengantin ditutupi sarung agar

supaya kehangatan uap tersebut dapat membuat calon

pengantin berkeringat. Keringat yang diakibatkan oleh uap

tersebut mengeluarkan kotoran dan menghilangkan bau badan.

6) Appasili

Tahap appasilli berarti memandikan calon pengantin

didepan pintu utama rumah . Appasilli dilakukan oleh anrong

bunting (penata rias penganti) dengan membacakan mantera dan

bertujuan untuk membersihkan anggota badan calon pengantin

atau membuang kesialan yang ada agar dijauhkan dari mara

bahaya. Acara ini dilakukann setelah matahari terbit atau sekitar

pukul 09.00 Appasilli dimaksudkan agar calon pengantin tersebut


murah rejeki dan selalu bertambah serta sehat walaafiat dalam

membina rumah tangganya kelak. Pada saat dimandikan , calon

mpengantin memakai baju biasa dan sarung yang tidak boleh

terlalu lusuh (tua) ,karena pakaian yang dipakai calon pengantin

tersebut akan diberikan kepada Anrong bunting yang

melaksanakan passilli .

Calon mempelai duduk diatas sebuah kelapa yang masih

utuh yang diletakkan dalam sebuah Loyang besar sambil diiringi

vocal royong bersama musik pengiring yaitu ganrang pakballe

(gendang pengobatan). Disampingnya dilketakkan pula sebuah

jajjakkang , yaitu sebuah bakul besar yang berisi empat liter

beras , satu buah gula jawa aren, duan buah lilin ,pala ,kayu

manis,dua ikat daun sirih, dan dua pinang. Semuannya ini adalah

simbol kesuburan .

Bahan bahan yang dipakai appassili, terdiri dari:

a) Leko siri (daun malu) yang mengandung arti calon pengantin

menjunjung tinggi nilai siri (malu)

b) Leko sarikaya (daun sirsak) yang mengandung arti agar calon

pengantin dalam membina keluarga dan rumah tangganya

tidak akan sengsara

c) Leko baru (daun waru) subur dan rimbun


Bunga cabbiru dalam pengertian yang nampaknya selalu

senyum mekar (hati ramah dan menarik hati).

d) Tobo rappo (mayang pinang) yang mengandung arti

kesuburan . semua jenis daun daunan yang telah disebutan

diatas ,diikat menjadi satu dengan menggunakan benang

berwarna putih dan diletakkan dalam kuali.

Dahulu bahan bahan appassili diletakkan dalam katoang

butta (baskom dari tanah liat) atas sebuah okong (wadah)

yang mempunyai arti khusus. Siokkong berarti hal yang saling

menguntungkan antara satu sama dengan lainnya.

Selanjutnya ,kuali yang telah berisi daun daunan yang diikat

dengan benang putih kuning diberikan air sampai penuh.air

inilah bersama dengan daun daunan tadi dipercikkan kepada

calon pengantin oleh Anrong bunting secara berurutan , mulai

dari kepala, kemuadian di bahu kanan dan di bahu kiri, dan

terakhir dipunggung . sesudah itu , air tersebut dipercikkan ke

arah luar pintu agar kotoran atau kesialan yang terdapat dalam

dirinya benar benar bersih .pelaksannan upacara tersebut di

atas dilakukan sambil berdoa dengan harapan mendapat

keselamatan dan kebahagian bagi calon pengantin.


7) Abbubbu (memotong rambut)

Abbubbu adalah suatu rangkaian upacara memotong

beberapa helai rambut yang ada pada ubun ubun ,baik calon

pengantin laki laki maupun calon pengantin peempuan .pada

acara abbubbu dipotong pula rambut halus yang ada pada dahi

dan belakang telinga agar tata rias dapat melekat dengan baik .

jadi, ukuran pada dahi seorang perempuan ataupun laki laki

pada etnis Makassar dapat merupakan pertanda bahwa ia

seorang pengantin baru.

Tiga hari sebelum upacara perkawinan, calon pengantin

abbarumbung calon pengantin memakai “ba’rak le’leng”, dan hari

terakhir abbarumbung, calon didupai sebelum diparurui

(didandani) untuk dikorintigi. Dikorintigi adalah upacara

membubuhi ramuan daun-daunan pacar pada kuku calon

pengantin. Pada acara ini calon pengantin memakai pakaian adat

Makassar yang disebut “sikko’ banri”.

Pada malam korintigi, diadakan pembacaan Berzanji

(berasanji). Akkorintigi dimulai oleh keluarga terdekat orang yang

paling utama, orang yang kedudukannya tinggi, baik diantara

anggota adat kemudian diikuti oleh para anggota keluarga. Pada

saat ini bergilirlah mereka memberi panynyori. Demikian suasana

berlangsung dengan meriahnya, acara makan dan minum


berlangsung sampai larut malam, bahkan sampai tiga hari. Oleh

sebab itu, mala mini disebut akmata-akmata yang artinya

berjaga-jaga yang berlangsung di kedua belah pihak.

8) Upacara perkawinan

Pelaksanaan upacara perkawinan dimulai dari akad nikah

dan pertemuan antara pengantin lelaki dan perempuan

seterusnya sampai nippabajikkang (didamaikan) Naik kalena /

simorong. Naik kalena ialah saat pengantin lelaki dan

perlengkapan diarak kerumah perempuan. Sunrang yang sudah

tertentu dimasukkan ke kampu yang dibungkus dengan kain putih

digendong oleh orang tua yang berpakaian adat. Isi kampu

disebut Loro Sunrang. Menjelang sampai ke rumah perempuan

arak-arakan disongsong oleh orang yang berpakaian adat yang

juga dimeriahkan dengan bunyi-bunyian yang serupa. Setelah

sampai di depan tangga dan pada saat berbunyi gendrang

tungrung pakanjarak selesai, keluarlah seorang perempuan yang

agak tua diambang pintu lalu mengambil / memanggil pengantin

dengan susunan kata tertentu seperti nyanyian yang disebut

“pakkiyo’ bunting” (panggilan pengantin) sambil menghamburkan

beras (Abu, 1975).


b. Adat dan Upacara Sesudah Pernikahan

Sesudah acara pernikahan maka masih ada beberapa

kegiatan yang dilakukan pada keesokan harinya diadakan ajje’je

je’ne (pengantin bersiram-siram). Kemudian diaraklah pengantin

laki-laki dan perempuan ke rumah laki-laki yang disebut nilekka.

Selang beberapa malam di rumah mertuanya ia memohon diri yang

disebut “appalak kana” (mohon diri). Ia mempersembahkan lipak

(sarung) yang akan dibalas pula dengan sarung. Setelah berada di

rumahnya bersama suaminya diadakanlah upacara “appabajikan”.

Dengan upacara nipabajikan ini berakhirlah upacara perkawinan

secara resmi.

1) Nilekka

Pada tahap ini merupakan tahap yang cukup penting

dalam rangkaian suatu upacara perkawinan adat

Makassar .nilekka adalah tahapan dimana kedua pengantin

diantar kerumah pengantin laki laki. Apabila seorang atau

mempelai perempuan itu tidak nilekka ke tempat atau rumah

mempelai laki laki, maka dianggap belum sempurna upacara

tersebut .acara ini biasanya dilaksanakan sehari atau beberapa

hari sesudah pesta perkawinan/pernikahan di rumah mempelai

perempuan .seperti halnya dengan upacara nilekka keluarga

pihak perempuan juga memanggil atau mengundang sejumlah


kerabat dan handai tolan untuk turut mengantar kedua mempelai

kerumah pihak laki laki. Demikian pula sebaliknya, pihak keluarga

mempelai laki laki di kediamanya melakukan persiapan

persiapan untuk menyambut atau menerima rombongan

pegantin.

Ada suatu kebiasaan dalam suku Makassar yang sampai

saat ini masih dilakukan oleh mempelai laki laki setelah duduk

bersanding pada pesta perkawinan di rumah pihak

wanita.biasanya sang mempelai laki laki belum di perkenankan

tidur bersama dengan mempelai wanita kendatipun secara

hukum telah resmi/sah sebagai suami istri. Selain itu, sang

mempelai laki laki juga belum di perbolehkan memakan makanan

dari pihak keluarga wanita, sehingga harus membawa bekal

sendiri. (Saleh, 1997/1998 =150).

2) Nipabbajikang

Rangkaian selanjutnya dari suatu prosesi perkawanan

adat suku Makassar adalah upacara nipabajikkang (Penyatuan).

Acara nipabajikkang dipimpim oleh anrong bunting (juru rias

pengantin). Maksud dari upacara ini ialah untuk lebih

mengabkrabkan hubungan antara kedua laki-laki dan

perempuan.
Nipabajikkang di lakukan karena perkawinan bagi orang

Makassar dahulu sebelumnya belum saling kenal. Mereka di

jodohkan oleh orang tua masing-masing.

Dahulu, upacara nipabajikkang di lakukan di rumah

keluarga pengantin perempuan. Tetapi sekarang,nipabajikkang

dapat di lakukan di rumah mempelai pria,tergantung dari

kesepakatan dari kedua bela pihak. Acara nipabajikkang di

laksanakan sehari sesudah malam resepsi di rumah pengantin

pria. Acara ini di hadiri oleh kedua keluarga dekat dari kedua

mempelai dan anrong bunting sebagai pemandu jalannya

upacara. Nipabajikkang di laksanakan di kamar pengantin di

maksudkan kedalam sarung oleh anrong bunting. Kemudian lilin

yang sedang menyala diangkat dan pada saat yang sama anrong

bunting mengitari kedua pengantin baru itu sebanyak tiga kali

sambil membaca mantera-mantera ataupun doa-doa khusus

untuk keselamatan dalam membina rumah tangganya kelak.

2. Jenis – jenis Anynyala dalam pernikahan

a. Sistem kekerabatan

Perkawinan. Dalam hal mencari jodoh dalam kalangan

masyarakat desanya sendiri, adat Makassar menetapkan sebagai

perkawinan yang ideal:


1) Perkawinan yang disebut pasialleang baji’na ialah antara

saudara sepupu derajat kesatu baik dari pihak ayah maupun

ibu.

2) Perkawinan yang disebut pasialleanna ialah perkawinan antara

saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun

pihak ibu.

3) Perkawinan antara nipakambani bellaya ialah perkawinan

antara saudara sepupu derajat ketiga juga dari kedua belah

pihak. Perkawinan antara saudara-saudara sepupu tersebut,

walaupun dianggap ideal, bukan suatu hal yang diwajibkan,

sehingga banyak pemuda dapat saja kawin dengan gadis-gadis

yang bukan saudara-saudara sepupunya. Adapun perkawinan-

perkawinan yang dilarang karena dianggap sumbang (salimara’)

adalah:

a) Perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah;

b) Antara saudara-saudara sekandung;

c) Antara menantu dan mertua;

d) Antara paman atau bibi dengan kemanakannya; dan

e) Antara kakek dan nenek dengan cucu.

b. Perkawinan dengan peminangan

Bentuk ini berlaku umum, baik bangsawan maupun golongan

biasa. Hanya saja golongan bangsawan melalui proses yang


panjang dan upacara adat tertentu. Apabila terjadi kesepakatan

antara kedua calon maka ini disebut “abbayuang” (bertunangan). Ini

adalah suatu cara adat untuk menjamin terciptanya lingkungan

keluarga yang diterima, baik oleh keluarga maupun masyarakat.

c. Perkawinan dengan Annyala

“Annyala” artinya berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah

terhadap adat perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lari, pihak

keluarga gadis menderita sirik, sehingga tumasirik berkewajiban

“Appaenteng sirik”. Dengan membunuh lelaki yang melarikan

anaknya, ada kekecualian yaitu apabila lelaki itu telah berada dalam

rumah atau pekarangan rumah anggota hadat tersebut yang berarti

ia telah berada dalam lindungan hadat, maka ia tidak dapat

diganggu lagi. Bhi kadhi / hadat merupakan kewajiban baginya

untuk menikahkan si Annyala (tumannyala).

Sebagai langkah pertama dihubungi orang tua gadis (Tu-

masirik) untuk dimintai persetujuannya. Tetapi biasanya orang tua

tidak dapat memberikan jawaban apalagi bertindak sebagai wali.

Karena ia merasa antara ia dengan anak gadisnya tidak ada lagi

hubungan yang disebut Nimateimi (dianggap mati). Sebab itu tidak

ada jalan lain bagi kadhi kecuali menikahkan tunnyala. Tetapi bukan

berarti ketegangan berakhir karena peristiwa adatnya belum selesai.

Hubungan antara Tumasirik dengan Tuannyala sebagai


tuappakasirik tetap tegang, dan dendam tumasirik akan terus

berlangsung selama tuannyala belum abbajik (damai). Annyala ada

beberapa macam:

1) Silariang berarti sama-sama lari karena kehendak bersama

setelah mengadakan mufakat kemudian menetapkan waktu

untuk bersama menuju rumah penghulu meminta perlindungan

dan selanjutnya untuk dinikahkan. Adapun sebab khusus

terjadinya silariang adalah:

a) Si gadis telah punya tambatan hati dengan seorang laki-laki

lalu ia ingin dikawinkan dengan seseorang yang tidak

dicintainya yang merupakan paksaan baginya.

b) Si laki-laki tidak dapat memenui tuntutan keluarga si gadis

padahal keduanya saling mencintai.

c) Karena perbedaan derajat antara keduanya.

2) Nilariang berarti dilarikan. Laki-laki secara paksa membawa lari

si gadis ke rumah penghulu meminta perlindungan untuk

dinikahkan. Adapun sebab khusus dari nilariang adalah:

a) Pasangan laki-laki ditolak oleh pihak perempuan sedang

mereka saling mencintai dan mereka dalam hubungan

siratang. Penolakan itu di anggap penghinaan terhadap

keluarga laki-laki sehigga, laki-laki nekad membawa lari si

gadis secara paksa.


b) Penghinaan langsung dari gadis yang di pinangnya.

3) Erangkale, membawa diri. Terjadi karena perempuan sendiri

yang datang pada laki-laki minta di kawini atau kerumah kadhi

meminta dikawinkan dengan laki-laki tertentu yang dipilihnya

sebab khusus dari Erangkale :

a) Karena pangngasengang (guna-guna), hal ini apabila

pemuda dihina oleh gadis ataupun keluarganya.

b) Karena si gadis telah mengadakan hubungan rahasia

dengan seorang laki-laki sehingga ia hamil dan tak ada

jalan lain baginya kecuali mendatangi si laki-laki yang

melakukannya untuk di kawini.

c) Menghindari kawin paksa, sehingga si gadis mendatangi

laki-laki pujaannya untuk minta di kawini.

Tiap tu-manynyala mempunyai niat untuk abbajik agar ia

hidup baik di tengah keluarganya. Oleh sebab itu apabila

tumnynyala mampu dan berkesempatan untuk abbajik ia lalu minta

bantuan kepada penghulu untuk melindunginya. Lalu diutuslah

seorang untuk menyampaikan maksud appalak bajik (meminta

bajik) kepada keluarga tumasirik atau kepada penghulu kampung

tempat keluarga tumasirik yang selanjutnya menghubungi keluarga

tumasirik agar berkenan menerima kembali tumatetallasa’na (orang

mati yang masih hidup).


Dalam hubungan ini keluarga tumasirik menyampaikan kepada

semua sanak keluarganya tentang maksud kedatangan

tumanynyala appala bajik (orang yang bersalah meminta berdamai).

Bila seluruh keluarga berkenan menerimanya. Maka hal itu

disampaikan kepada pihak pengurusnya, selanjutnya kepada

tumanynyala. Kemudian tumanynyala dan keluarganya

mengadakan persiapan yang di perlukan untuk abbajik. Si

tumanynyala menyediakan sunrang, pappasa (denda karena

berbuat salah). Keduanya dimasukan ke dalam sebuah tempat yang

di sebut kampu disertai leko’sikampu (sirih pinang dalam kampu).

Selain itu, juga menyediakan persediaan dalam pertemuan itu

antara lain hidangan adat secukupnya.

Pada waktu yang di tentukan, tumanynyala datanglah keluarga

dengan yang mengiringnya ke rumah salah seorang tumasirik

tempat acara di laksanakan. Sementara itu keluarga tumasirik telah

hadir pula. Dengan upacara penyerahan kampu dari pihak

tumnynyala kepada pihak tumasirik, maka berakhirlah dendam dan

ketegangan selamanya. Tumanynyala tadi diterima sebagai

keluarga yang sah, lalu meminta maaf kepada semua yang ada di

dalam tempat itu, kemudian berkunjung ke rumah keluarga dengan

membawa ala kadarnya.


3. Nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam tradisi adat pernikahan

dikabupaten Gowa

Nilai Islam yang terdapat dalam proses pernikahan adalah nilai

yang berdasarkan pada ajaran agama Islam yang terdapat pada

proses pernikahan di kelurahan Cikoro’ kecamatan Tompobulu

kabupaten Gowa. Nilai yang mengandung unsur-unsur Islam seperti

halnya terjadi pada acara yang dilakukan sebelum akad nikah, yaitu

terlebih dahulu membaca al-Qur’an beberapa ayat maupun acara akad

nikah dilakukan dengan cara islami. Nilai yang masih dilakukan oleh

masyarakat di kelurahan Cikoro’ adalah kerjasama atau gotong royong

dalam persiapan acara pernikahan, karena sanak keluarga dan

tetangga serta masyarakat lainnya datang berkumpul ditempat acara

sehingga hubungan silaturahmi terjalin dengan sangat erat.

Nilai-nilai budaya Islam yang terkandung dalam acara

pernikahan di kelurahan Cikoro’ adalah sebagai berikut:

a) Membaca al-Qur’an adalah termasuk nilai-nilai Islam dalam

pernikahan tersebut, dimana al-Qur’an ini adalah kitab suci umat

Islam yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. Melalui

malaikat Jibril.

b) Akad nikah adalah salah satu nilai Islam dalam proses pernikahan

dimana masyarakat Cikoro’ umumnya beragama Islam, oleh


karena itu acara akad nikah dilangsungkan menurut tuntunan

ajaran Islam dan dipimpin oleh imam kampung setempat.

c) Setelah itu mempelai pria duduk berhadapan dengan imam atau

penghulu sambil berpegangan ibu jari (jempol) dengan tangan

kanan. Dengan bimbingan imam mempelai pria mulai

mengucapkan beberapa bacaan seperti istigfar, dua kalimat

syahadat, dan ijab qabul. Kalimat ijab qabul yang disampaikan

oleh mempelai pria harus jelas kedengaran oleh para saksi untuk

sahnya akad nikah. Oleh karenanya tak jarang mempelai pria

harus mengulanginya hingga dua sampai tiga kali. Akad nikah

yang dilakukan adalah akad nikah sesuai syariat Islam yaitu

dengan memenuhi semua syarat dan rukun nikah yang telah diatur

oleh Islam. Seperti halnya kedua mempelai, wali nikah, saksi,

maupun mahar dan lain-lain (Adabiyah:2018).


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis data

Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif kualitatif yaitu

hasil yang diperoleh dengan menganalisis buku-buku sejarah dan

materi jurnal dari internet yang berkaitan dengan tradisi adat-

istiadat pernikahan yang ada di kabupaten Gowa sebagai

referensi yang kami jadikan acuan.

2. Sumber data

Sumber data yang digunakan adalah data sekunder. Data

sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh melalui

media perantara atau secara tidak langsung berupa buku,

catatan, bukti yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan

maupun yang tidak dipublikasikan secara umum.

B. Tempat Penelitian

Kami menyusun laporan ini menggunakan beberapa tempat

diantaranya yaitu Universitas Muslim Indonesia (UM), wifi id corner

dan F/1 BTN Tonasa.

C. Waktu penelitian

Kami menyusun laporan ini mulai dari tanggal 31 Oktober 2019–

14 November 2019.
D. Instrument Penelitian

Instrument pada penelitian laporan ini kami memakai referensi

buku-buku sejarah yang terdapat pada perpustakaan daerah dan

materi jurnal yang diambil dari internet mengenai tradisi adat-istiadat

pernikahan yang ada di kabupaten Gowa. Kami juga menggunakan

media elektronik diantaranya yaitu laptop sebagai media untuk

menyusun data laporan dan printer sebagai media cetak serta alat

pendukung seperti cas, dan lain-lain.

E. Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data kami melakukan studi kepustakaan.

Studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan membaca

buku-buku yang berhubungan dengan tradisi adat-istiadat pernikahan

yang ada di kabupaten Gowa dan kami juga mengumpulkan

informasi data dari jurnal web (internet) maupun informasi lainnya

yang berhubungan dengan judul dari laporan kami yaitu tradisi adat-

istiadat pernikahan yang ada di kabupaten Gowa.

F. Pengolahan Data

Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan tekhnik

analisis deskriptif dan uji hipotesis dengan analisis korelasional.

Sebelum melaksanakan analisis korelasional, dilakukan terlebih

dahulu uji normalitas dan uji linearitas. Tujuan melalukukan uji

normalitas adalah untuk mengetahui dari masing-masing variabel


bersifat normal sedangkan uji linearitas untuk mengetahui apa-apa

hubungan antara variabel bersifat linear yang merupakan syarat

untuk uji korelasi.


BAB IV

PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah pernikahan di

kabupaten Gowa.

Konsep suatu perkawinan bagi masyarakat Gowa, merupakan

sesuatu yang sakral dan sangat penting. Tetapi melalui beberapa

fase dengan rentang waktu yang agak panjang serta melibatkan

orang tua, kerabat dan keluarga. Perkawinan dianggap ideal apabila

prosesi-prosesi yang telah menjadi ketentuan adat dan agama

tersebut dilalui.

Perkawinan dianggap sangat penting dalam kehidupan

seseorang, karena merupakan babak baru untuk membentuk

keluarga sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat. Sesuai dengan

sifat dan watak orang Gowa yang religius dang mengutamakan

kekeluargaan, maka untuk menuju kepada suatu perkawinan

diperlukan partisipasi keluarga dan kerabat untuk merestui

perkawinan tersebut.

Sebelum acara perkawinan dilangsungkan maka ada beberapa

prosesi adat yang harus dilalui, prosesi-prosesi tersebut adalah

sebagai berikut:
a. Prosesi adat dan upacara sebelum pernikahan

1) Accini’rorong artinya melihat atau mencari jalan sebagai penyelidik.

Usaha semacam ini adalah untuk mengetahui secara rahasia

tentang kemungkinan pihak laki-laki mengajukan lamaran pada

gadis yang dipilih.

2) Appesak-pesak (meraba-raba) dalam hal ini diutus seorang

perempuan kepercayaan yang pandai bersiasat.

3) Apparibak jangang-jangang (menerbangkan burung merpati)

tujuannya adalah untuk secara tidak langsung menyampaikan untuk

assuro. Setelah itu ada proses yang lebih serius, yaitu:

4) Mange assuro (pergi meminang) yaitu mengutus beberapa orang ke

rumah perempuan yang akan dilamar, biasanya orang yang diutus

tersebut adalah orang-orang yang mengetahui tentang seluk beluk

cara meminang. Pada fase ini pihak perempuan melakukan

musyawarah dengan keluarganya untuk membicarakan berbagai

hal seperti sunrang, doek balanja, serta hari pernikahan. Pihak laki-

laki pun kembali melakukan hal yang sama guna membicarakan

persiapan menjelang pernikahan.

5) Upacara appanaik leko caddi (menaikkan sirih kecil) dalam upacara

ini akan disediakan semua yang akan dibawa serta, misalnya kue-

kue: dodoro’ waje, dan kue-kue lainnya. Yang membawa leko caddi

ini adalah laki-laki dan perempuan lengkap dengan pakaian adat.


Biasanya dirangkaikan dengan membawa cincin pasikko dan uang

belanja.

6) Appanaik leko’ lompo (menaikkan sirih besar) tujuh atau tiga hari

sebelum pernikahan leko lompo diantarkan ke rumah perempuan.

Kalau uang belanja belum dibawa pada leko caddi maka turut

dibawa pada leko lompo ini. Yang diantarkan dalam leko lompo ini

adalah sirih pinang. Selain itu, dibawa pula perlengkapan pakaian

perhiasan dan alat-alat kecantikan.

7) Simorong, dilakukan tiga malam sebelum akad nikah sampai hari

akad nikah itu tiba. Dimana simorong ini menggunakalan alat musik

ciri khas yaitu kadang gendrang, puik-puik dan lain-lain.

8) Tiga hari sebelum pernikahan calon pengantin didandangi untuk

dikorintigi. Akkorintigi adalah upacara membubuhi ramuan daun-

daunan pacar pada kuku calon pengantin. Pada acara ini calon

pengantin memakai pakaian adat Makassar yang disebut Sikko’

banri.

9) Pada malam korintigi, diadakan pembacaan Berzanji (berasanji).

Akkorintigi dimulai oleh keluarga terdekat orang yang paling utama,

orang yang kedudukannya tinggi, baik di antara anggota adat

kemudian diikuti oleh para anggota keluarga. Pada saat itu

bergilirlah mereka memberi panynyori.


10) Pelaksanaan upacara perkawinan dimulai dari akad nikah dan

pertemuan antara pengantin lelaki dan perempuan seterusnya

sampai nipabbajikang (didamaikan) naik kalena/simorong.

b. Prosesi adat dan upacara sesudah pernikahan

1) Sesudah acara pernikahan maka masih ada beberapa kegiatan

yang dilakukan pada keesokan harinya diadakan ajje’ne-je’ne

(pengantin bersiram-siram).

2) Kemudian diaraklah pengantin laki-laki dan perempuan ke rumah

laki-laki yang disebut nilekka.

3) Selang beberapa malam di rumah mertuanya ia memohon diri yang

disebut “appalak kana” (mohon diri). Ia mempersembahkan lipak

(sarung) yang akan dibalas pula dengan sarung.

4) Setelah berada di rumahnya bersama suaminya diadakanlah

upacara “appabajikan”. Dengan upacara nipabajikan ini berakhirlah

upacara perkawinan secara resmi.

2. Jenis – jenis Anynyala dalam pernikahan

a. Silariang berarti sama-sama lari karena kehendak bersama setelah

mengadakan mufakat kemudian menetapkan waktu untuk bersama

menuju rumah penghulu meminta perlindungan dan selanjutnya

untuk dinikahkan.

b. Nilariang, berarti dilarikan. Laki-laki secara paksa membawa lari si

gadis ke rumah penghulu meminta perlindungan untuk dinikahkan.


c. Erangkale, membawa diri. Terjadi karena perempuan sendiri datang

pada laki-laki minta dikawini atau ke rumah kadhi meminta

dikawinkan dengan laki-laki tertentu yang dipilihnya.

Pada kasus Silariang, Nilariang, dan Erang Kale. Hukum adat

yang berlaku biasanya adalah pembunuhan tujuannya adalah sebagai

patongko siri’. Namun seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu mulai

terkikis. Hal ini terjadi karena Indonesia adalah negara hukum maka

ada Undang-undang yang berlaku.

Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) berbunyi

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu

menghilangkan nyawa orang lain, dihukum karena pembunuhan

direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur

hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”

Dari uraian bunyi di atas, bisa disimpulkan bahwa pembunuhan

berencana itu memiliki dua unsur, yaitu unsur Subyektif dan unsur

obyektif.

1) Unsur subyektif, yaitu dengan sengaja, dengan rencana lebih

dahulu,

2) Unsur obyektif, yaitu perbuatan (menghilangkan nyawa), obyeknya

(nyawa orang lain).

3. Nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam tradisi adat pernikahan di

kabupaten Gowa
a. “Accini’rorong” atau taaruf artinya melihat atau mencari jalan sebagai

penyelidik. Usaha semacam ini adalah untuk mengetahui secara

rahasia tentang kemungkinan pihak laki-laki mengajukan lamaran

pada gadis yang dipilih.

b. Sakralitas, nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam

ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan barazanji,

acara Akkorintigi, dan lain sebagainya. Ritual-ritual tersebut dianggap

sakral yang bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Allah

SWT.

c. Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada

keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai

pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum

perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai

penghargaan terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya

pemberian mahar berupa mas kawin duit belanja yang cukup tinggi

dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar

sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan

perempuan.

Mahar adalah kewajiban yang wajib diserahkan suami kepada

istrinya ketika akan menikah dan menjadi harta milik istri. Hal ini

merupakan perintah Allah dalam Al-Quran. Allah berfirman,

‫ص ُد َقات ِِهنَّ نِحْ لَ ًة َفإِن طِ ب َْن لَ ُك ْم َعن َشىْ ٍء ِّم ْن ُه َن َفسً ا َف ُكلُوهُ َهنِي ًئا م َِّري ًئا‬
َ ‫َو َءا ُتوا ال ِّن َسآ َء‬
“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian

dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada

kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah

(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

akibatnya.” (An-Nisa: 4)

Mahar wajib ditunaikan walaupun tidak memiliki harga yang

tinggi. Sebagaimana kisah seorang sahabat yang akan menikah tapi tidak

memiliki harta, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap

memerintahkan sahabat tersebut untuk mencari mahar yang memiliki nilai

dan harga walaupun hanya cincin besi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat

tersebut,

ُ ‫ا ْن‬
‫ظرْ َولَ ْو َخا َتما ً مِنْ َح ِد ْي ٍد‬

“Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Besaran nilai mahar tidak ditetapkan oleh syariat. Mahar boleh

saja bernilai rendah dan boleh saja bernilai tinggi asalkan saling ridha. An-

Nawawi menjelaskan,

‫ ألن‬،‫في هذا الحديث أنه يجوز أن يكون الصداق قليال وكثيرا مما يتمول إذا تراضى به الزوجان‬

‫ وهذا مذهب الشافعي وهو مذهب جماهير العلماء من السلف والخلف‬،‫خاتم الحديد في نهاية من القلة‬

“Hadits ini menunjukkan bahwa mahar itu boleh sedikit (bernilai rendah)

dan boleh juga banyak (bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling

ridha, karena cincin dari besi menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah
pendapat dalam madzhab Syafi’i dan juga pendapat jumhur ulama dari

salaf dan khalaf.” (Syarh Shahih Muslim 9/190)

Akan tetapi hendaknya mahar itu adalah mahar yang mudah

akan membuat pernikahan berkah. Berkah itu adalah bahagia dunia-

akhirat baik kaya maupun miskin. Tidak sedikit orang kaya tetapi rumah

tangga tidak bahagia dan tidak berkah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ‫َـﺎﺡ ﺃَ ْﻳﺴَـﺮُﻩ‬
ِ ‫َﺧﻴْـﺮُ ﺍﻟﻨِّﻜ‬
‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’ (HR. Abu Dawud)

Dalam riwayat Ahmad,

‫َـﺎﺡ َﺑﺮَ َﻛ ًﺔ ﺃَ ََْـْﻳﺴَﺮُﻩُ ُﻣﺆْ َﻧ ًﺔ‬ َ


ِ ‫ﺇِﻥَّ ﺃﻋْ ﻈَﻢَ ﺍﻟﻨَّﻜ‬
“Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah

maharnya.”

Amirul Mukminin, ‘Umar radhiallahu anhu pernah berkata,

“Janganlah kalian meninggikan mahar wanita. Jika mahar termasuk

kemuliaan di dunia atau ketakwaan di akhirat, tentulah Nabi shalallahu

‘alaihi wasallam paling pertama melaksanakannya.” (HR. At-Tirmidzi,

shahih Ibni Majah)

Sebaliknya apabila mahar terlalu mahal dan membebankan bagi

calon suami (apalagi sampai berhutang untuk menikah karena tabungan

tidak cukup), tentu akan mengurangi keberkahan pernikahan. Ibnu Qayyim

al-Jauziyyah menjelaskan,
‫المغاالة في المهر مكروهة في النكاح وأنها من قلة بركته وعسره‬.

“Berlebihan-lebihan dalam mahar hukumnya makruh (dibenci) pada

pernikahan. Hal ini menunjukkan sedikitnya barakah dan sulitnya

pernikahan tersebut.” (Zaadul Ma’ad, 5/187)

1. Kekerabatan, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan yang

berlainan jenis menjadi hubungan suami istri, tetapi lebih kepada

menyatukan dua keluarga besar. Dengan demikian, pernikahan

merupakan salah satu sarana untuk menjalin dan mengeratkan

hubungan kekerabatan.Menikah merupakan salah satu anjuran yang

dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam

kepada umatnya. Ada banyak ayat di dalam kitab suci Al-Qur’an

mengenai anjuran untuk menikah. Salah satu ayat yang sering dijadikan

dasar untuk menikah karena setiap makhluk diciptakan berpasang –

pasangan seperti yang tercantum pada Al – Qur’an.

Berikut beberapa Ayat Pernikahan Dalam Islam, seperti surat Az-

Zariyat Ayat 49 sebagai berikut :

َ ‫ْن لَ َعلَّ ُك ْم َت َذ َّكر‬


‫ُون‬ ِ ‫َومِنْ ُك ِّل َشيْ ٍء َخلَ ْق َنا َز ْو َجي‬

“Dan segala sesuatu Kami Ciptakan Berpasang – pasangan supaya

kamu mengingat kebesaran Allah.”

Di dalam Ayat Pernikahan Dalam Islam lainnya juga dijelaskan

bahwa dijelaskan bahwa pasangan-pasangan ini adalah laki – laki dan

perempuan. Di tengah maraknya kisah cinta sesama jenis yang muncul


dan terlihat jelas di masyarakat, maka patut diketahui bahwa pasangan

yang diridhoi oleh Allah adalah pasangan yang terdiri dari laki – laki dan

perempuan, bukan pasangan sesama jenis seperti yang tercantum

dalam ayat berikut.

‫ث ِم ْن ُه َما ِر َجااًل َكثِيرً ا‬ ٍ ‫َيا أَ ُّي َها ال َّناسُ ا َّتقُوا َر َّب ُك ُم الَّذِي َخلَ َق ُك ْم مِنْ َن ْف‬
َّ ‫س َوا ِح َد ٍة َو َخلَ َق ِم ْن َها َز ْو َج َها َو َب‬

َ ‫إِنَّ هَّللا َ َك‬  ‫ون ِب ِه َواأْل َرْ َحا َم‬


١:‫﴿النساء‬  ‫ان َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا‬ َ ُ‫ َوا َّتقُوا هَّللا َ الَّذِي َت َسا َءل‬  ‫﴾ َون َِسا ًء‬

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu Yang menciptakan kamu

dari satu jiwa dan darinya Dia menciptakan jodohnya, dan

mengembang-biakan dari keduanya banyak laki-laki dan perempuan;

dan bertakwalah kepada Allah swt. yang dengan nama-Nya kamu

saling bertanya, terutama mengenai hubungan tali kekerabatan.

Sesungguhnya Allah swt. adalah pengawas atas kamu”. (An Nisa: 1)

‫الذ َك َر َواأْل ُ ْن َث ٰى‬


َّ ‫ْن‬ َّ ‫َف َج َع َل ِم ْن ُه‬
ِ ‫الز ْو َجي‬

“Lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan

perempuan.” (QS.Al-Qiyamah:39)

Gotong royong, nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta

pernikahan yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para

tetangga. Mereka tidak hanya memberikan bantuan, berupa pikiran dan

tenaga tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ِ ‫َو َت َع َاو ُنوا َعلَى ْال ِبرِّ َوال َّت ْق َو ٰى ۖ َواَل َت َع َاو ُنوا َعلَى اإْل ِ ْث ِم َو ْالع ُْد َو‬
ۘ ‫ان ۚ َوا َّتقُوا هَّللا َ ۖ إِنَّ هَّللا َ َشدِي ُد‬

ِ ‫ْال ِع َقا‬
‫ب‬
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah

amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]

2. Status sosial, pesta pernikahan bukan sekedar upacara perjamuan

biasa, tetapi lebih kepada penongkatan status sosial. Semakin meriah

sebuah pesta, maka semakin status sosial seseorang. Oleh karena itu,

tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta pernikahan sebagai ajang

untuk meningkatkan status sosial mereka.

B. Pembahasan Penelitian

1. Prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah pernikahan di

kabupaten Gowa

Indonesia telah berakulturasi dengan berbagai kebudayaan

dalam waktu yang lama. Letak strategis Indonesia berada pada jalur 2

pusat perdagangan internasional pada masa lampau, India dan Cina,

memberi pegaruh besar kebudayaan pribumi. Dengan terjadinya

percampuran antara dua budaya tersebut maka mengembangkan

kebudayaan asli setempat.

Selain dari pengaruh budaya asing pada masa lampau,

perkembangan pesat era globalisasi saat ini semakin menekan proses

akulturasi budaya, terutama, pengaruh budaya barat. Dengan

kemajuan teknologi modern mempercepat akses pengetahuan tentang


budaya lain. Membawa perubahan sampai ke tingkat dasar kehidupan

manusia di Indonesia.

Pengaruh interaksi dengan budaya Barat mewarnai

kehidupan masyarakat Indonesia. Indonesia di kenal sebagai negara

multi etnis dan agama, dari situlah Indonesia memiliki ragam budaya

yang berbeda-beda. Di setiap budaya tersebut terdapat nilai-nilai

sosial dan seni yang tinggi. Pada kondisi saat ini kebudayaan

Indonesia, kian memudar secara perlahan. Hal ini dikarenakan

semakin berkembangnya teknologi yang akhirnya dapat memberikan

dampak negative terhadap kebudayaan asli Indonesia. Dengan

banyak berkembangnya media elektronik, kebudayaan barat dapat

dengan mudah masuk ke Indonesia, sehingga mulai mengubah pola

pikir dan perilaku masyarakat Indonesia.

Kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia sebenarnya

memiliki dampak positif dan negatif bagi masyarakat Indonesia.

Dampak positif misalnya, kreatifitas, inovasi dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, hidup disiplin dan profesionalitas dan lain-

lain.

Namun besar juga dampak negatif kebudayaan asing

terhadap kebudayaan Indonesia, khususnya dikalangan remaja.

Dampak negatif kebudayaan asing atau barat terhadap masyarakat

Indonesia khususnya dikalangan remaja, sudah sampai pada tahap


memprihatinkan, karena ada kecenderungan para remaja sudah

melupakan kebudayaan bangsanya sendiri.

a. Prosesi adat dan upacara sebelum pernikahan

1) Accini’rorong artinya melihat atau mencari jalan sebagai

penyelidik. Usaha semacam ini adalah untuk mengetahui

secara rahasia tentang kemungkinan pihak laki-laki mengajukan

lamaran pada gadis yang dipilih.

2) Appesak-pesak (meraba-raba) dalam hal ini diutus seorang

perempuan kepercayaan yang pandai bersiasat.

3) Apparibak jangang-jangang (menerbangkan burung merpati)

tujuannya adalah untuk secara tidak langsung menyampaikan

untuk assuro. Di jaman modern ini, Accini’rorong, Appesak-

pesak dan Apparibak jangang-jangang masih dilakukan oleh

segelintir masyarakat tetapi dengan lebih ringkas. Biasanya

semuanya digabung menjadi satu agar lebih efisien.

4) Mange assuro (pergi meminang) yaitu mengutus beberapa

orang ke rumah perempuan yang akan dilamar, kegiatan ini

masih dilakukan di era modern sekarang namun karena adanya

pengaruh budaya asing terjadi perubahan dari segi pakaian jika

biasanya pakaian yang digunakan adalah baju adat Sulawesi

Selatan, sekarang menggunakan baju jas rapi.


5) Upacara appanaik leko caddi (menaikkan sirih kecil), kegiatan

ini masih dilakukan di era modern sekarang namun ada

beberapa perubahan yang terjadi diantaranya yaitu apabila isi

leko caddi ini ada yang kurang maka akan diganti dengan uang.

Yang membawa leko caddi ini adalah laki-laki dan perempuan

lengkap dengan pakaian adat namun kebanyakan cewek gengsi

dan akhirnya leko caddi dibawa oleh laki-laki saja.

6) Appanaik leko’ lompo (menaikkan sirih besar) tujuh atau tiga

hari sebelum pernikahan leko lompo diantarkan ke rumah

perempuan. Kalau uang belanja belum dibawa pada leko caddi

maka turut dibawa pada leko lompo ini. Yang diantarkan dalam

leko lompo ini adalah sirih pinang. Selain itu, dibawa pula

perlengkapan pakaian perhiasan dan alat-alat kecantikan,

banyak yang menyalah artikan alat-alat kecantikan ini banyak

masyarakat yang memperebutkan untuk dijadikan sebagai milik

pribadi padahal setiap isi leko’ lompo mempunyai harapan

tersendiri untuk mempelai wanita.

7) Simorong, dilakukan tiga malam sebelum akad nikah sampai

hari akad nikah itu tiba. Dimana simorong ini menggunakalan

alat musik ciri khas yaitu kadang gendrang, puik-puik dan lain-

lain namun sekarang digantikan dengan tampilan yang lebih

menarik dan mengikuti zaman contohnya yaitu orkes, electon


bahkan untuk kalangan atas biasanya mengundang artis agar

lebih meriah lagi.

8) Akkorintigi masih dipertahankan hingga sekarang karena

dianggap setiap ramuannya itu mempunyai manfaat untuk calon

mempelai. Pada kegiatan ini seluruh keluarga inti berkumpul

sampai teman terdekat calon mempelai untuk membubuhi

ramuan daun-daunan.

9) Pada malam korintigi, diadakan pembacaan Berzanji

(berasanji).

10) Pelaksanaan upacara perkawinan dimulai dari akad nikah dan

pertemuan antara pengantin lelaki dan perempuan seterusnya

sampai nipabbajikang (didamaikan) naik kalena/simorong.

b. Prosesi adat dan upacara sesudah pernikahan

1) Sesudah acara pernikahan maka masih ada beberapa kegiatan

yang dilakukan pada keesokan harinya diadakan ajje’je je’ne

(pengantin bersiram-siram).

2) Kemudian diaraklah pengantin laki-laki dan perempuan ke

rumah laki-laki yang disebut nilekka.

3) Selang beberapa malam di rumah mertuanya ia memohon diri

yang disebut “appalak kana” (mohon diri). Ia

mempersembahkan lipak (sarung) yang akan dibalas pula

dengan sarung.
4) Setelah berada di rumahnya bersama suaminya diadakanlah

upacara “appabajikan”. Dengan upacara nipabajikan ini

berakhirlah upacara perkawinan secara resmi.

2. Jenis – jenis Anynyala dalam pernikahan

a. Silariang berarti sama-sama lari karena kehendak bersama

setelah mengadakan mufakat kemudian menetapkan waktu untuk

bersama menuju rumah penghulu meminta perlindungan dan

selanjutnya untuk dinikahkan.

b. Nilariang, berarti dilarikan. Laki-laki secara paksa membawa lari si

gadis ke rumah penghulu meminta perlindungan untuk dinikahkan.

c. Erangkale, membawa diri. Terjadi karena perempuan sendiri

datang pada laki-laki minta dikawini atau ke rumah kadhi meminta

dikawinkan dengan laki-laki tertentu yang dipilihnya.

Dalam kasus Annyala sejak dari dulu berlaku hukum adat,

khususnya menyangkut masalah siri’ atau harga diri. dan disisi lain

berlaku pula hukum positif yang disebut hukum pidana. Kedua hukum

yang hidup di masyarakat ini, dalam hal kasus Annyala saling bertolak

belakang. Di satu sisi, hukum adat mengatakan, membunuh si

pelaku Annyala dengan alasan siri’ tidak bisa dikenakan hukuman,

karena ia dianggap sebagai pahlawan yang membela siri’ nya. Disisi

lain, dalam hukum pidana , tidak menerima alasan kalau ada terjadi

kasus pembunuhan termasuk alasan siri’, dan pelakunya bisa


dikenakan pasal pembunuhan atau penganiayaan dalam KUHP.

Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan

dipatuhi. Tradisi pernikahan yang sudah dianggap sebagai simbol

kesucian dari penyatuan antara dua mempelai.

Annyala Contoh pada kasus Silariang ini dilakukan atas kata

sepakat bagi kedua pelaku silariang untuk lari bersama untuk  kawin,

maka  dalam kasus Nilariang ini, kehendak untuk kawin lari, datangnya

dari pihak laki-laki.  Kalau kehendak kawin lari datangnya dari pihak

laki-laki, maka itu berarti,  perempuan yang akan dilarikan itu 

dilakukan secara paksa atau tipu muslihat. Jenis lainnya dari  

silariang adalah, ada yang dinamakan kawin Nilari atau Erang Kale.

Pada kasus kawin  Erang kale atau Nilari ini  datangnya dari pihak

perempuan. Perempuan itu lari ke rumah imam, lalu menunjuk  laki-

laki yang pernah menggaulinya. 

Dengan demikian, laki-laki yang ditunjuk itu harus bertanggung

jawab atas perbutannya untuk mengawini perempuan yang

menunjuknya. Biasanya , kalau tidak ada laki-laki yang mau

bertanggung jawab, maka biasanya, ditunjuk  laki-laki yang mau

secara sukarela mengawini  perempuan tersebut. Perkawinan seperti

ini disebut Pattongkok siiri’ (penutup malu). Ada juga  kasus yang

dilakukan oleh  gadis atau perempun yang sudah beristri dengan jalan

lari ke rumah imam tanpa  ada laki-laki yang ditunjuk untuk


mengawininya. Wanita itu  mungkin sudah hamil, tapi ia tidak tahu laki-

laki mana yang ditunjuk  bertanggung jawab. Disisi lain, pihak

keluarganya juga mempertanyakan kehamilannya, dan siapa laki-laki

yang menghamilinya. Untuk menyelamatkan jiwa perempuan itu,

biasanya   ia lari ke rumah imam untuk minta perlindungan dan

mencarikan solusinya. Biasanya, pada kasus ini, ditunjuk laki-laki

mana saja yang mau menikahinya, setelah itu apakah mereka

meneruskan parkawinan atau cerai, yang penting sudah ada   laki-laki

yang mau bertanggung jawab. Peristiwa semacam ini disebut Annyala

Kalotoro yakni perempuan  kawin lari tanpa  ada laki-laki yang

bertanggung jawab. Ada pula jenis perkawinan yang sangat dibenci

oleh masyarakat, karena terkait dengan adanya hubungan darah yang

sangat dekat, misalnya antara ayah dengan putrinya, ibu dengan

putranya atau sesama saudara. Perkawinan seperti ini oleh orang

Makassar disebut Salimara.

Kalau kasus silriang, nilariang atau Erang Kale masih ada jalan

keluarnya, yakni setelah mereka dinikahkan, maka  persoalan sebagai

suami istri sudah selesai. Tetapi pada kasus Salimara,  merupakan

kasus yang tak berujung. Keduanya sulit dikawinkan, karena terikat

hubungan darah yang terlalu dekat. Pada kasus Salimara ini, pada

zaman dulu, biasanya kedua pelaku Salimara dikenakan hukuman

niladung. Hukuman Niladung adalah  kedua pelaku itu diikat, lalu


digantung batu sebagai pemberat, lalu keduanya ditenggelamkan ke

tengah  laut atau sungai hingga mati.Ada kepercayaan dari

masyarakat Makassar tentang adanya kasus ini. Bila ada kasus

Salimara terjadi di sebuah kampung, maka itu menurut kepercayaan

masyarakat, nasib sial yang akan melanda  kampungnya dan seluruh

warga dalam kampung itu akan merasakan akibatnya, misalnya 

tanaman rusak, ikan pada menghilang di kali, hewan piaraan mati dan

penyakit akan  melanda masyarakat.

Dari pada seluruh masyarakat merasakan akibatnya, itulah

sebabnya, masyarakat setempat harus melenyapkan kedua pelaku

salimara tersebut dengan jalan  Niladung. Baik kasus Silariang,

Nilariang,  Erang Kale atau Nilari, Annyala Kalotoro  dan Salimara,

semuanya itu berkibat siri’ (malu) bagi pihak keluarga  perempuan.

Siri’ disini bukan hanya diartikan sebagai malu-malu, tetapi  lebih

mendalam lagi, siri’ merupakan harga diri, kehormatan atau martabat

sebagai seorang manusia yang beriman dan bertaqwa pada Allah

SWT.

Ini berarti martabat atau sifat antara   manusia dan binatang 

dinding atau pembatasnya sangat tipis. Itulah sebabnya, ada orang

yang wujudnya seperti manusia, tapi perbuatannya seperti binatang.

Dikatakan perbuatannya seperti binatang, karena mereka  melakukan

hubungan badan tanpa nikah sama dengan binatang. Dinding


pembatas antara sifat manusia dan binatang sangat tipis. Dengan

alasan Siri’ inilah, mak kasus membela harga diri bagi suku Makassar

tidak bisa lagi ditolerir. Dalam hukum adat mengharuskan pada

seseorang yang merasa dipermalukan (dari pihak keluarga

perempuan) untuk menegakkan siri’ keluargnya.

Dan biasanya berakhir dengan  pembunuhan atau

penganiayaan. Keluarga dari pihak perempuan, setelah mendengar

anaknya melakukan  silariang,  mereka akan menemui kaluarganya

untuk Appala Siri (minta bantuan pada keluarga untuk menegakkan

siri’ nya). Pihak keluarga yang tahu bahwa  anak kemenakannya itu  

silariang maka mereka  siap-siap mengambil tindakan, bilamana di

suatu saat atau di suatu tempat ketemu orang yang melarikan

anaknya, mereka   bisa menindakinya, baik dengan cara mengusir, 

memukul atau tidak sedikit diantara pelaku silariang ini menemui

ajalnya di ujung badik.

Sebaliknya bagi pelaku Silariang, mereka juga melakukan kawin

Silariang, karena  beberapa alasan, antara lain, karena  pinangannya

ditolak, mungkin ditolak karena  perbedaan strata sosial,  karena

miskin atau karena punya  istri atau alasan lainnya. Mereka 

melakukan kawin silariang dengan tekad yang bulat, yakni muntuk

membentuk keluarga. Walaupun  mereka tahu, bahwa ini mengandung

resiko yang sangat berat, yakni bisa saja kedua-duanya  celaka mati di
ujung badik dari tangan pihak keluarga perempuan yang

disebut Tumasiri’. Walau rintangan  sebert itu menghadang, tapi bagi

pelaku silariang yang disebut Tumannyala, tak gentar menghadapinya,

apapun resikonya, termasuk  maut. Para pelaku silariang, khususnya 

laki-laki, biasanya ia selalu siap sedia senjata tajam dengan

menyelipkan badik di pinggangnya, kemanapun ia pergi.

Ini dimaksud, bila mana suatu saat mendapat tantangan  maka

ia melakukan pembelaan diri. Walaupun sanksi yang ditetapkan pada

pelaku Silariang atau Tumannyala ini sangat berat, akan tetapi  Hukum

Adat Makassar juga memberikan batasan pada Tumasiri’ untuk

mengambil tindakan pada Tumannyala nya. Para Tumasiri’ tidak bisa

mengambil tindakan sembarangan.

Mereka harus mengetahui di tempat mana yang boleh atau

tidak boleh melakukan tindakan.Dalam hukum Adat Makasar, batasan

bagi Tumasiri’  untuk memngambil tindakan dibatasi  dalam hal-hal:

Bilamana Tumasiiri’ memburu Tumannyala, kemudian Tumannyala

melemparkan apa yang melekat di badannya, misalnya songkok atau

baju masuk dalam pekarangan orang lain,  atau kalau berada di

pematang sawah di buruh kemudian menghindar turun ke sawah,

maka itu berarti  Tumannyala dianggap  sudah minta perlindungan.

Dan kalau Tumannyala sudah minta perlindungan seperti itu, maka

Tumasiri’ tak boleh lagi melakukan tindakan pada Tumannyala nya.


Dalam Hukum Internasional, hak hak minta perlindungan disebut hak

suaka atau hak asyil.

Antara Tumannyala dan Tumasiri’ ini bagaikan kucing dan

anjing. Tak bisa akur  selama dalam proses silriang. Akan tetapi, bila

pelaku Silariang ini, meminta rela  kepada  kedua orang tua

perempuan  dan disetujui, maka selanjutnya dilakukan acara  damai

yang disebut Abbaji. Bilamana sudah  ada acara Abbaji ini, maka 

anak yang anak atau kedua pelaku silariang ini, tadinya dianggap

musuh bersama dari pihak keluarga perempuan, kemudian, berbalik

seratus persen.

Kedua pelaku silariang itu   sudah dianggap anak. Bila sudah

ada acara Abbaji, maka tidak ada lagi namanya Tumasiri’ dan

Tumannyala, sanksi adatpun tidak bisa diperlakukan. Dalam Hukum

pidana (KUHP) kalau menyangkut masalah nyawa seseorang,

terutama menyangkut masalah penganiayaan atau pembunuhan,

maka   tidak ada  satu alasanpun untuk melakukannya, termasuk

alasan siri’ mereka  bisa dikenakan hukuman pidana penjara bagi para

Tumasiri’.

Bila sudah mendengar berita, bahwa anaknya atau keponakan 

atau sanak keluarganya melakukan silariang, mereka dituntut oleh

hukum Adat untuk menegakkan siri’nya. Sebab kalau tidak bertindak,

mereka dicap oleh masyarakat setempat sebagai


orang ballorang (alias penakut). Tertapi mereka harus berani, tampil

sebagai pembela martabat keluarga. Dalam  ungkapan ini orang-orang

Makassar ada yang disebut Eja Tonpi sen Na Doang (nanti merah

baru terbukti udang).

Maksudnya,  penegakan siri’ itu memang  banyak resiko,

terutama membunuh dan  akhirnya masuk penjara. Tetapi resiko

seperti itu, tidak terpikirkan dulu. Nanti kalau sudah berhasil

menegkkan siri’ barulah terbuklti bahwa udang itu kalau sudah

dimasak merah. Kemudian ada pula istilah yang mengatakan, bahwa

orang Makassar itu kalau menegakkan siri,  luka tusuk senjata tajam

itu,  bukan berada di belakangnya, tetapi  harus ada dimuka. Kalau 

luka tusuk berada di belakang badan ,itu berarti pengecut atau

penakut, tapi kalau  luka ada di bagian depannya, itu berarti

pemberani. 

Dalam ungkapan orang Makassar disebutkan Tiai Mangkasara

punna Bokona Loko’ (bukan orang Makassar kalau bagian belakang

badannya terluka). Inilah yang disebut Tubarani. Bagi Tumannyala

(pelaku silariang), juga bertekad, resiko  apapun yang menimpa

dirinya, harus mereka jalani, termasuk maut demi  mendapatkan si

buah hati belahan jantung.  Mati itu urusan Tuhan,  tapi semangat

untuk menyatukan dirinya dengan  gadis pelihannya tak bisa

dibendung, walau itu maut sekalipun. Cinnaku Cinnana pakkekkepa


pasisa’laki (Cintaku dan cintanya, hanya linggislah yang bisa

memisahkannya).

Begitu eratnya cinta kedua Tumannyala, sehingga mereka

nekad kawin lari. Pada kasus Silariang, tindak pidana yang banyak

terjadi adalah, kasus pengniayaan  dan kasus pembunuihan. Kadang

Tumasiri’ bila menemukan Tumannyala nya di suatu tempat, misalnya

di jalanan, mereka sering memburuh Tumannyala nya, dan bila

Tumannyala tidak mendapat perlindungan, biasanya terjdi perkelahian.

Kalau ada orang yang melerai,  mungkin nyawa salah satu pihak

masih bisa diselamatkan, maka dalam hal ini dapat dikenakan pasal

penganiayaan (351 KUHP), tapi kalau mereka membawa senjata

tajam dan tidak ada yang melerainya, maka biasanya kasus ini

berakhir dengan  maut atau pembunuhan, maka si pelaku dapat

dikenakan pasal pembunuhan yakni pasal 340 KUHP untuk

pembunuhan berenca dan pasal 338 tentang pembunuhan biasa.

Selain itu, dalam kasus silariang, tentunya kedua belah pihak, baik

Tumannyala maupun Tumasiri’  keduanya  selalu siap senjata tajam

berupa badik yang terselip di pinggangnya. Ini juga  melanggar pasal

dalam Undang-undang Darurat tahun 1957.

Kemudian pada kasus silariang, karena ini dilakukan atas

kesepakatan  kedua belah pihak yang mau kawin lari, maka dalam

KUHP tidak ada satu pasalpun yag melarang mereka untuk  kawin lari.
Kecuali dalam agama, biasanya pada kasis Silariang ini, sebelumnya

disertai dengan perzinahan, maka  kasus itu melanggar aturan agama

Islam. Untuk kasus Nilariang, ini dapat  dikenakan pasal dalam KUHP,

sebab  pihak perempun itu dipaksa untuk kawin dengan cara menculik

atau tipu muslihat.

Pihak laki-laki yang melakukan kawin Nilariang ini dapat

dikenakan pasal penculikan atau  pasal penipuan. Dari aspek sosial,

pada kasus silariang ini, merupakan  aib bagi keluarga kedua belah

pihak, baik keluarga laki-laki lebih-lebih bagi keluarga perempuan yang

merasa  sangat malu sebab ulah anaknya. Masyarakat  mencelah

perbuatan ini dan mencapnya sebagai orang yang tak mampu

mendidik anak-anaknya, serta menyalahi aturan adat dan agama.

3. Nilai-nilai Islam yang terkandung di dalam tradisi adat pernikahan di

kabupaten Gowa

a. “Accini’rorong” atau taaruf kegiatan ini masih dipertahankan sampai

sekarang karena sesuai dengan ajaran Islam. Dimana kegiatan ini

dilakukan tidak lebih dari 3 bulan. Setelah mencapai 3 bulan maka

calon mempelai wanita mengatakan pada keluarganya apakah

kegiatan ini masih mau dilanjutkan atau sampai pada Accini’rorong

saja.

b. Sakralitas, nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam

ritual-ritual khusus seperti mandi tolak bala, pembacaan barazanji,


acara Akkorintigi, dan lain sebagainya. Ritual-ritual itu masih

dipertahankan sampai sekarang karena dianggap sakral yang

bertujuan untuk memohon keselamatan kepada Allah SWT.

c. Penghargaan terhadap kaum perempuan atau yang biasa disebut

mahar. Kegiatan ini masih dipertahankan sampai sekarang karena hal

ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargai kaum perempuan

dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan

terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian

mahar berupa mas kawin duit belanja yang cukup tinggi dari pihak laki-

laki kepada pihak perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini

merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan. Meskipun begitu

kegiatan ini tidak sesuai dengan ajaran Islam karena mahar berlebihan

dan membebani akan mengurangi keberkahan pernikahan.

d. Kekerabatan, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan yang

berlainan jenis menjadi hubungan suami istri, tetapi lebih kepada

menyatukan dua keluarga besar. Dengan demikian, pernikahan

merupakan salah satu sarana untuk menjalin dan mengeratkan

hubungan kekerabatan kegiatan ini sesuai dengan ajaran islam

dimana kita harus menjalin sistem kekerabatan di antara hamba Allah

sesuai dengan syariat yang berlaku.

e. Gotong royong, nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta pernikahan

yang melibatkan kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga.


Mereka tidak hanya memberikan bantuan, berupa pikiran dan tenaga

tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut. Kegiatan ini sesuai

dengan ajaran islam dimana kita harus saling membantu sesama

makhluk-Nya.

f. Status sosial, pesta pernikahan bukan sekedar upacara perjamuan

biasa, tetapi lebih kepada penongkatan status sosial. Semakin meriah

sebuah pesta, maka semakin status sosial seseorang. Oleh karena itu,

tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta pernikahan sebagai

ajang untuk meningkatkan status sosial mereka. Namun seiringnya

berjalannya waktu status sosial mulai mengalami pergeseran. Tidak

ada lagi kasta yang berlaku apabila mereka suka sama suka maka

pernikahan dapat terjadi. Orang kaya menikah dengan orang miskin,

begitupun sebalinya dan ana’ karaeng menikah dengan rakyat biasa

begitupun sebaliknya. Ada faktor lain juga yang menyebabkan adanya

faktor pergeseran yaitu bukan hanya didasarkan pada keturunan,

kasta, maupun stratifikasi sosial lama. Jabatan struktural di

pemerintahan, kekayaan, serta tingkat pendidikan lebih dominan

berpengaruh dalam menentukan derajat sosial seseorang. Status

sosial juga tidak sesuai dengan ajaran islam karena sebagai hamba-

Nya kita semua sama.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Prosesi adat dan upacara sebelum dan sesudah pernikahan

merupakan rangkaian prosesi adat peninggalan dari nenek moyang

zaman dahulu yang diwariskan secara turun temurun kepada


masyarakat Gowa. Prosesi pernikahan masyarakat Gowa memiliki

rangkaian atau susunan acara dan makna dalam pelaksanaan prosesi

pernikahan tersebut. Namun seiringnya berjalannya waktu, terjadi

beberapa perubahan. Terkikisnya tradisi adat istiadat akibat dari

teknologi dan budaya asing yang berkembang dengan mudahnya di

masyarakat. Sehingga banyak masyarakat yang lupa dengan

tradisinya sendiri.

2. Karena adanya hukum HAM ( Hak Asasi Manusia) bahwasanya

setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan Pasal 340 KUHP (Kitab

undang-undang hukum pidana) yang berlaku di Indonesia, maka

hukum adat istiadat mulai tidak berlakukan lagi di masyarakat.

3. Nilai-nilai islam yang terkandung di dalam tradisi adat pernikahan di

kabupaten Gowa masih dipertahankan hingga sekarang karena sesuai

dengan ajaran Islam.

B. SARAN

Dari penelitan yang telah dilakukan penulis mempunyai beberapa

harapan bagi pengembangan yang lebih baik, berupa saran-saran

sebagai berikut.

1. Masyarakat Gowa, khususnya generasi muda diharapkan

memahami dan mengerti tahapan-tahapan dalam prosesi


perkawinan dan urutan-urutan setiap prosesi adat perkawinan

tersebut.

2. Pemerintah Gowa mampu memberikan perhatian khususpada

pengembangan dan pelestarian kebudayaan daerah, khususnya

tuturan-tuturan adat yang masih ada dalam masyarakat.

3. Kepada masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat

Gowa diharapkan mampu menjaga kelangsungan perkembangan

kebudayaan daerah dalam hal ini tuturan-tuturan dalam upacara atau

adat ritual.

4. Peran selanjutnya dapat mengembangkan penelitian tentang

variable lain selain prosesi adat perkawinan, karena penelitian ini

hanya terbatas pada prosesi adat istiadat sebelum dan sesudah

pernikahan di kabupaten Gowa, jenis-jenis Annyala dan nilai-nilai

Islam yang terkandung di dalam tradisi adat pernikahan di kabupaten

Gowa

DAFTAR PUSTAKA

Adabiyah, 2018 Prosesi pernikahan Adat di Kelurahan Cikoro’ Kecamatan


tompobulu Kabupaten Gowa,

Ammi Baits Nur 2016 Derajat Manusia di Hadapan Tuhan Itu Sama,
Dinda Pratiwi.Hadist dan ayat al-Qur’an Tolong Menolong, 2018.

Kasim Muhammad. 2016.Pergeseran Status Sosial Dalam Masyarakat Bugis


Makassar,

Khanza Safitra. 2016. Hukum Islam Pernikahan Ayat Pernikahan dalam


Islam,

Raehanil Bahraen. 2018. Mahar Berlebihan dan Membebani akan


Mengurangi Keberkahan Pernikahan,

Siagian Benedikt Adven. 2016.Tindak Pidana Pembunuhan Berencana dan

Penjelasan Pasal 340 KUHP,

Solihing.2004.Royong.Makassar:Masagena Press.

Tidak diketahui. 2017. Sekilas Mengenai Silariang Kali Ini,

Wahid,sugirah.2017.Manusia Makassar.Makkassar:Pustaka Refleksi.

Wahyuni K. 2017. Adat Pernikahan di desa Paccellekang Kecamatan


Patallasang Kabupaten Gowa,
Lampiran II

Biodata Peserta
1. Nama :Mustakim Fajar Syam

Tempat,Tanggal Lahir :Takalar, 19 Maret 2000

Asal :Takalar

Alamat :Bassara Sabintang

2. Nama :Nur Ramdani

Tempat,Tanggal Lahir :Bantaeng, 15 Desember 2000

Asal : Bantaeng

Alamat :BTN Tonasa, Blok f No.1

3. Nama : Sherawali Muis

Tempat,Tanggal Lahir : Makassar, 3 Juli 2000

Asal : Makassar

Alamat : Jl. Mangadel No. 13

4. Nama :Bintang Nugraha. S

Tempat,Tanggal Lahir :Makassar, 15 Maret 2002

Asal :Takalar

Alamat :Mannuruki 2

5. Nama :Muhammad Dzul Fikri

Tempat,Tanggal Lahir :Makassar, 31 Maret 2001

Asal :Makassar

Alamat :Jl. Barawaja 1 lorong 1

6. Nama : Muh. Khaerul


Tempat,Tanggal Lahir : Gowa, 22 Juli 2001

Asal : Gowa

Alamat : Jl. H. Ibrahim Dg. Tompo

7. Nama : Almukarramah. Ridwan

Tempat,Tanggal Lahir : Makassar, 14 Juni 2001

Asal :Gowa

Alamat :Pampang 4

DAFTAR HADIR KELOMPOK 12

LAPORAN PENDIDIKAN AWAL ANGKATAN XII PANRITA


NO NAMA L/P PERTEMUAN

KET
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Mustakim Fajar Syam L 


2 Nur Ramdani P
3 Sherawali Muis P
4 Almukarramah. Ridwan P
5 Muhammad Dzul Fikri L
6 Muh. Khaerul L
7 Bintang Nugraha L
Gambar 1.1. Pengerjaan Laporan Pertama

Gambar 1.2.Pengerjaan Laporan Kedua


Gambar 1.3. Pengerjaan Laporan Ketiga

Gambar 2.1. Asistensi Pertama


Gambar 2.2. Asistensi kedua

Gambar 2.3. Asistensi ketiga


Gambar 3.1. Mange Assuro

Gambar 3.2. Leko caddi (menaikkan sirih kecil)


Gambar 3.3. Abbarumbung/Appasili (Mandi Uap)

Gambar 3.4. Sebelum apassili


Gambar 3.5 Apassili

Gambar 3.6. Akkorongtigi (malam pacar)


Gambar 3.7. Akad nikah

Gambar 3.8 Nipabajikkang

Anda mungkin juga menyukai