Anda di halaman 1dari 48

MENGANALISIS HUBUNGAN BELIS DALAM

KONTEKS PERKAWINAN ADAT SIKKA KROWE DI


DESA NITA

OLEH
ELISABETH CLAVERITA DUA MONE
MARIA HELMINA PASKALIA DOU

SMA SWASTA KATOLIK BHAKTYARSA


MAUMERE
2020
HALAMAN PERSETUJUAN
KARYA ILMIAH REMAJA

DIAJUKAN UNTUK MENGUKUTI SALAH SATU UJIAN KELULUSAN KELAS


XII

MENYETUJUI
PEMBIMBING

PETRUS AFENDI, S.Pd

i
HALAMAN PENGESAHAN

DITERIMA DAN DISAHKAN OLEH PANITIA


UJIAN KARYA ILMIAH SMAS KHATOLIK BHAKTYARSA

HARI :
TANGGAL :

PENGUJI
MENGESAHKAN

KEPALA SEKOLAH SMASK BHAKTYARSA


SR. MARCELINA LIDI, SSPS,S.FIL. LIC

ii
MOTO

“Kehidupan sewaktu-waktu dapat berubah, tetapi tradisi adat-istiadat tidak


akan hilang.
Tradisi di jaga, dunia jadi ,manusia pun jadi”

iii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana atas
karunia, rahmat hidayah-Nya dan dibekali kesehatan lahir dan batin serta atas izin-
Nya, penulis dapat menyusun sebuah karya ilmiah remaja yang berjudul
“Menganalisis Hubungan Belis Dalam Konteks Perkawinan Adat Sikka-Krowe
di Desa Nita” dapat selesai tepat pada waktunya.Penyusunan karya ilimah ini
diajukan sebagai syarat kelulusan. Dengan segala daya dan upaya serta bantuan,
bimbingan maupun pengarahan dan hasil diskusi dari berbagai pihak dalam proses
penulisan karya ilmiah ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada batas kepada :
1. Sr. Marcelina Lidi, SSpS,S.fil, Lic selaku kepala sekolah SMAS Katolik
Bhaktyarsa Maumere yanng telah menyetujui karya ilmiah ini.
2. Bapak Petrus Afendi, SPd selaku pembimbing yang telah memberikan saran
dan bimbingan kepada penulis sejak awal hingga akhir penulisan karya ilmiah.
Juga selaku guru metodologi yang telah memberikan bimbingan dan
pemahaman terkait penulisan karya ilmiah ini.
3. Bapak Januarius Lose yang bersedia meluangkan waktunya untuk
diwawancarai (menjadi narasumber ) oleh penulis.
4. Orang tua dan teman-teman yang memberikan dukungan , menjadi sumber
semangat dan inspirasi serta doa-doanya yang selalu menyertai penulis dalam
proses penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga apa yang telah penulis sampaikan dalam karya ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya bagi penulis pribadi. Penulis yang tak
pernah luput dari salah menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan karya ilmiah
selanjutnya.

Maumere, 11 November 2020

iv
Penulis

ABSTRAK

MENGANALISIS HUBUNGAN BELIS DALAM KONTEKS PERKAWINAN


ADAT SIKKA KROWE DI DESA NITA
OLEHELISABETH CLAVERITA DUA MONE DAN MARIA HELMINA
PASKALIA DOU

Dalam karya illmiah ini, penulis membahas tentang hubungan belis dalam
konteks perkawinan adat Sikka-Krowe di Desa Nita, Kabupaten Sikka Nusa Tenggara
Timur. Di Nusa Tenggara Timur ada beragam bentuk belis yang digunakan yakni
berupa emas, perak, uang maupun hewan seperti sapi, kerbau, kuda. Uniknya pada
masyarakat Sikka belisnya disertakan pula dengan gading gajah. Dan hal ini
merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang.
Masalah yang dikaji dalam karya ilmiah ini adalah: 1) Bagaimana tahapan dan
proses belis dalam perkawinan adat Sikka-Krowe 2) Apa saja nilai-nilai yang
terkandung dalam perkawinan adat Sikka-Krowe 3) Bagaimana pandangan tokoh
masyarakat di Desa Nita terhadap belis dalam perkawinan adat Sikka-Krowe 4)
Mengapa masyarakat di Desa Nita masih mempertahankan tradisi belis
tersebut.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode analisis data
menggunakan wawancara (interview) serta dokumentasi. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori menurut salah satu ahli yaitu Sariyono, dimana
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,
menggambarkan, menjelaskan, menemukan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh
sosial yang tidak dapat djelaskan, diukur atatu digambarkan melalui pendekatan
kuantitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa, 1) Pandangan
masyarakat Desa Nita terhadap jumlah nominal belis disebabkan oleh nominal belis
yang ditentukan terkadang diukur berdasarkan strata sosial perempuan atau
keluarganya. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh seorang perempuan maka
semakin tinggi pula yang ditentukan. 2) Dalam perkawinan adat yang dilangsungkan
ternyata menyimpan nilai-nilai tentang kehidupan didalamnya, menciptakan keluarga
yang kukuh hingga akhir hayat dalam ikatan keluarga yang kuat 3) masyarakat
Kabupaten Sikka di Desa Nita masih mempertahankan tradisi tersebut dalam
perkawinan mereka.

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………………... i

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………… ii

MOTTO ………………………………………………………………………... iii

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… iv

ABSTRAK ……………………………………………………………………... v

DAFTAR ISI …………………………………………………………………... vi


BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ………………………………………………… 1
1.2 BATASAN MASALAH ……………………………………………….. ................
1.3 RUMUSAN MASALAH ……………………………………………… 3
1.4 TUJUAN ……………………………………………………………….. 3
1.5 MANFAAT …………………………………………………………….. 4
1.5.1 BAGI PENULIS ……………………………………………………….. ................
1.5.2 BAGI PENDIDIK ……………………………………………………... ................
1.5.3 BAGI LEMBAGA PENDIDIKAN …………………………………… ................
1.5.4 BAGI MASYARAKAT ……………………………………………….. ................
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 ANALISIS ……………………………………………………………... 5
2.1.1 PENGERTIAN ANALISIS …………………………………………... 5
2.2 TRADISI ………………………………………………………………. 6
2.2.1 PENGERTIAN TRADISI ……………………………………………. 6
2.3 PERKAWINAN ……………………………………………………….. 7
2.3.1 PENGERTIAN PERKAWINAN …………………………………….. 7

vi
2.4 BELIS ………………………………………………………………….. 9
2.4.1 PENGERTIAN BELIS ………………………………………………... ................
2.4.2 FUNGSI BELIS ……………………………………………………….. 9
2.4.3 DAMPAK PEMBERIAN BELIS …………………………………….. ................
2.5 PERKAWINAN ADAT SIKKA KROWE …………………………... ..............
2.5.1 PENGERTIAN PERKAWINAN ADAT …………………………….. ..............
2.5.2 PERKAWINAN ADAT DALAM KEBUDAYAAN SIKKAKROWE 12
2.5.2.1MENGENAL MASYARAKAT SIKKAKROWE …………………. ..............
2.5.2.2TUJUAN PEEKAWINAN DALAM ADAT SIKKAKROWE ……. ..............
2.5.2.3BENTUK-BENTUK PERKAWINAN ADAT SIKKAKROWE …. 15
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………………. 20
3.2 METODEAN PENGUMPULAN DATA …………………………….. ..............
3.3 PENDEKATAN PENELITIAN ……………………………………… 21
3.3.1JENIS DATA …………………………………………………………… ..............
3.4 METODE ANALISIS DATA ………………………………………… 22
BAB IV ANALISIS DATA
4.1 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN …………………………….. 23
4.1.1 TAHAPAN DAN PROSES BELIS DALAM PERKAWINAN ADAT
SIKKA KROWE ………………………………………………………. ..............
4.1.2 TAHAPAN/PROSES PERKAWINANAN ADAT SIKKA KROWE …..
27
4.1.3 NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PERKAWINAN
ADAT SIKKA KROWE
………………………………………………………. 30
4.1.4 PANDANGAN MASYARAKAT DESA NITA TERHADAP BELIS
DALAM PERKAWINAN ADAT SIKKA KROWE ………………… 30
4.1.5 ALASAN MASYARAKAT MASIH MEMPERTAHANKAN TRADISI
BELIS TERSEBUT …………………………………………………… 32
4.1.6 HUBUNGAN BELIS DALAM KONTEKS PERKAWINAN
ADAT SIKKA KROWE ……………………………………………….. 32
BAB V PENUTUP

vii
5.1 KESIMPULAN ………………………………………………………... 34
5.2 USUL DAN SARAN …………………………………………………... 35
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 36
LAMPIRAN …………………………………………………………………… 37

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai ragamnya mulai dari

suku, ras dan budaya/adat istiadat yang masing-masing berbeda, contohnya

dalam melangsungkan proses perkawinan, selalu dipenuhi dengan susasan yang

sangat sakral dan kental. Hal ini disebabkan oleh kekuatan adat yang secara

turun temurun yang dipercayai oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu hal

yang wajib dilaksanakan oleh masyarakat. Adat sangat mendominasi dalam

sebuah proses perkawinan, salah satunya dalam hal pemberian “belis”

masyarakat SikkaKrowe.

“Belis” merupakan unsur penting dalam lembaga perkawinan. Selain dipandang

sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur dan bentuk penghargaan terhadap

perempuan, namun disatu sisi juga sebagai pengikat pertalian kekeluargaan dan

simbol untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami isteri.

“Belis” dianggap sebagai syarat utama seorang wanita telah dianggap sah untuk

menjadi salah satu bagian dari keluarga pihak pria.

Di Nusa Tenggara Timur terdapat beragam “belis” yang digunakan yakni

berupa emas, perak, uang maupun hewan seperti kerbau, sapi atau kuda. Di

daerah tertentu “belis” dapat berupa barang khusus. Uniknya pada masyarakat

Sikka Krowe, nilai seorang perempuan pada mas kawin dikonkritkan dalam

1
bentuk nilai dan ukuran gading gajah yang sulit untuk diperoleh dan beberapa

ekor kuda serta uang tunai. Hal tersebutlah yang menjadi alasan mendasar

untuk memulai suatu proses perkawinan adat terkhususnya pada masyarakat

Sikka Krowe.

Perkawinan memang menjadi sebuah momen yang penting dan begitu sakral

dalam kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali dengan adanya pemberian

mahar atau mas kawin yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada

mempelai perempuan pada saat melangsungkan perkawinan. Perkawinan

bertujuan untuk membangun keluarga ynag harmonis, sejahtera dan bahagia.

Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera

artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya

kebutuhan hidup, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni rasa kasih sayang

antara anggota keluarga. Perkawinan adat bagi masyarakat SikkaKrowe yang

menggunakan belis merupakan suatu simbol penghargaan tertinggi terhadap

martabat dan derajat seorang perempuan yang akan dinikahi dan juga

merupakan simbol untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan sebagai

pasangan suami isteri. Dengan melihat fakta yang ditemukan, maka penulis

berasumsi dasar yaitu, bahwa adanya belis dalam perkawinan adat merupakan

suatu segi kebudayaan, sebagai pencerminan kekerabatan dan penghargaan

tertinggi yang diberikan masyarakat terhadap seorang perempuan. Dari hal-hal

yang ditemukan diatas, maka penulis terdorong untuk mengangkat judul

tersebut.

2
1.2 Batasan Masalah

Agar kajian masalah tidak melebar dan lebih menfokuskan pada permasalahan,

maka penelitian ini dibatasi hanya pada seputar proses atau tahapan belis dalam

perkawinan adat Sikka Krowe di Desa Nita saja.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana tahapan dan proses dalam perkawinan adat Sikka Krowe?

2. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan adat Sikka Krowe?

3. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat di Desa Nita terhadap belis dalam

perkawinan adat Sikka Krowe?

4. Mengapa masyarakat di Desa Nita masih mempertahankan tradisi belis

tersebut?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis hubungan proses belis dalam konteks perkawinan adat

Sikka-Krowe.

2. Untuk mengetahui proses belis dalam perkawinan adat Sikka-Krowe.

3. Sebagai salah satu dokumen untuk akreditasi sekolah.

4. Sebagai salah satu syarat kelulusan.

3
1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi peserta didik

Dapat menjadi bahan rujukan, sebagai sumber informasi dan bahan referensi

penelitian selanjutnya agar bisa mengetahui lebih dalam dan menambah

wawasan tentang proses belis dalam perkawinan adat Sikka Krowe.

2. Bagi pendidik

Penelitian ini bisa dijadikan referensi bahan ajar secara khusus pada mata

pelajaranbahasa dan budaya.

3. Bagi lembaga pendidikan

Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan kualitas lembaga

pendidikan yang ada, termasuk para pendidik yang ada didalamnya danjuga

sebagai penentu kebijakan dalam lembaga pendidikan.Sebagai bahan referensi

dalam ilmu pendidikan sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan.

4. Bagi masyarakat

Sebagai bahan referensi agar masyarakat tetap mempertahankan tradisi belis

dalamperkawinan adat tersebut.

4
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Analisis

2.1.1 Pengertian Analisis

Pengertian analisis secara umum adalah, sebuah kemampuan memecahkan atau

menguraikan suatu materi atau informasi menjadi komponen-komponen yang lebih

kecil sehingga lebih muda dipahami (https://www.zonareferensi.com/pengertian-

analisis-menurut-para-ahli-dan-secara-umum/). Adapun menurut komaruddin (2001),

pengertian analisis adalah kegiatan berpikir untuk menguraikan suatu keseluruhan

menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungannya

satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan yang terpadu.

Menurut harahap (2004), pengertian analisis adalah suatu upaya untuk memecahkan

atau menguraikan sesuatu unit menjadi berbagai unit terkecil. Menurut wiradi,

pengertian analisis adalah, aktivitas yang memuat kegiatan memilah mengurai,

membedakan sesuatu yang kemudian digolongkan dan dikelompokkan menurut

kriteria tertentu lalu dicari makna dan kaintannya masing-masing.

(https://www.zonareferensi.com/pengertian-analisis-menurut-para-ahli-dan-secara-

umum/)

5
2.2 Tradisi

2.2.1 Pengertian tradisi

Tradisi ( Bahasa Latin: traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan dalam pengertian

yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama

dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari

suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama yang sama

(https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi). Menurut Van Reusen (1992:115),

tradisi adalah suatu norma adat istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Tetapi

tradisi bukan suatu yang tidak dapat diganti. Tradisi justru perpaduan dengan

berbagai perbuatan manusia dan diangkat dalam keseluruhannya

(https://www.seputarpengetahuan.co.id/2017/10/pengertian-tradisi-menurut-

para-ahli.html). Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi

yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali)

secara lisan, karena tanpa adanya ini maka suatu tradisi akan punah.

Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” yang keduanya merupakan hasil

karya. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitupun dengan budaya.

Keduanya kata ini merupakan personafikasi dari sebuah makna hukum tidak

tertulis, dan hukum tidak tertulis ini menjadi patokan norma dalam masyarakat

yang dianggap baik dan benar.

6
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian tersembunyi

tentang adanya kaitan antara masa lalu merujuk pada sesuatu yang diwariskan

oleh nenek moyang pada zaman dahulu tetapi masih berwujud dan berfungsi

pada masa sekarang. Oleh karena itu, tradisi dalam pengertian yang paling

elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan dan diwariskan dari masa lalu ke

masa kini

Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi.

Tradisi berevolusi menjadi budaya. Itulah sebab sehingga keduanya merupakan

personafikasi. Maka dari sini, penulis memahami “belis” dalam tradisi

perkawinan sebagai yang diwariskan sejak masa nenek moyang dan

dipertahankan sampai saat ini.

2.3 Perkawinan

2.3.1 Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi

yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata

budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim

dan seksual (https://id.scribd.com/document/). Perkawinan umumnya dimulai

dan diresmikan melalui upacara pernikahan. Umumnya pernikahan dijalani

dengan maksud untuk membentuk keluarga. Dalam ajaran katolik, perkawinan

atau juga disebut sebagai sakramen perkawinan adalah perjanjian antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan

7
hidup. Tujuan dari perkawinan ialah kesejahteraan suami-istri, kelahiran anak

dan pendidikan anak.

Adapun menurut Prof. Soedirman Kartohadiprodjo, SH, bahwa perkawinan

adalah suatu hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi.

Menurut Paul Schollten mendefenisikan perkawinan adalah suatu hubungan

hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan

kekal yang diakui oleh Negara. Menurut Prof. Subekti,SH, perkawinan sebagai

pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu

yang lama. menurut Prof. Ali Afandi, SH, perkawinan adalah persetujuan

kekeluargaan. Selain itu juga, adapun pengertian perkawinan menurut UUP,

yang terdapat dalam pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir

dan dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan

Yang Maha Esa” (https://raypratama.blogspot.com/2012/02/pengertian-

perkawinan.html?m=1). Perkawinan itu sendiri akan dianggap sah apabila

dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan

serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang

berlaku. Perkawinan itu dilandasi oleh hubungan cinta antara dua pribadi yang

berjanji. Cinta itulah yang kemudian menjiwai hubungan lahir dan batin

tersebut. Dengan demikian perkawinan pada dasarnya merupakan persekutuan

cinta seorang pria dan wanita yang kemudia dimengerti sebagai megu moong

dalam bahasa Sikka-Krowe dan termasuk tujuan dari perkawinan itu sendiri.

8
Tujuan dari perkawinan tersebut adalah untuk membentuk persekutuan hidup

atau membentuk suatu keluarga yang bahagia dan sejahtera. Hubungan

perkawinan tersebut harus didasarkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya

sebagai makhluk ber-Tuhan, seseorang harus yakin bahwa perkawinan tersebut

adalah campur tangan dan kehendak Tuhan sendiri. Dengan demikian keluarga

yang terbentuk harus juga mendasarkan hidupnya pada kehendak Tuhan sendiri.

2.4 Belis

2.4.1 Pengertian Belis

“Belis” adalah hak mutlak (calon) mempelai wanita dan kewajiban mempelai

pria untuk memberikannya sebelum akad nikah dilangsungkan. Pelaksanaannya

dapat dilakukan secara tunai dan boleh pula secara hutang. “Belis” merupakan

lambang tanggung jawab memepelai pria terhadap mempelai wanita yang

kemudian menjadi isterinya (https://e-journal.unipma.ac.id/index.php/JA/

article/viewFile/).

2.4.2 Fungsi Belis

“Belis” mempunyai beberapa fungsi untuk pihak laki-laki dan perempuan

antara lain sebagai berikut :

1. Sebagai alat untuk memperat hubungan dua keluarga.

2. Sebagai alat/simbol sahnya suatu perkawinan.

3. Sebagai penanda bahwa si perempuan telah menjadi bagian dari keluarga

laki-laki.

9
4. Sebagai alat untuk menaikan nama keluarga laki-laki.

2.4.3 Dampak Pemberian Belis

Terdapat beberapa dampak yang didapat pada saat “belis” telah diberikan. Ada

dampak positif dan juga dampak negatifnya. Dampak positif dari pemberian

belis antara lain :

1. Martabat keluarga laki-laki menjadi terhormat

Melalui pemberian “belis”, maka martabat keluarga laki-laki menjadi

terhormat atau diangkat karena pihak pria dianggap mampu membayar “belis”

yang ditentukan oleh pihak wanita.

2. Pihak keluarga perempuan merasa dihargai

Maksud dari pemberian “belis” ini adalah sebagai imbalan jasa atau

penghormatan atas kecapaian, kesakitan dan jerih payah orang tua selama

mengandung, melhahirkan dan merawat anak perempuannya hingga dewasa.

3. Terjalinnya hubungan kekerabatan yang baru

Dengan memberikan “belis” maka akan terjalinnya sebuah hubungan

kekerabatan yang baru antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki.

“Belis” dijadikan sebagai pengikat.

4. Calon pengantin mendapat restu

10
Melalui pemberian “belis”, maka calon penganun pria dan wanita telah

mendapat restu dari orang tua dan keluarga sehingga dapat melanjutkan

hubungan ke jenjang pernikahan.

Adapun dampak negatif dari pemberian “belis” antara lain :

1. Martabat wanita direndahkan

Pemberian “belis” kepada keluarga wanita pihak pria merasa bisa bertindak

bebas kepada wanita sehingga martabat wanita direndahkan dan wanita

kurang dihargai dalam hidup berumah tangga.

2. Pertentangan di antara ke dua keluarga

Hal ini terjadi karena “belis” yang dituntut oleh pihak wanita terlalu tinggi

sehingga pihak pria tidak mampu membayarnya.

3. Menimbulkan utang piutang

Karena tak mampu melunasi “belis”, maka pihak keluarga laki-laki

mengambil jalan pintas dengan memimjam uang pada pihak lain sehingga

menimbulkan piutang.

2.5 Perkawinan Adat Sikka Krowe

2.5.1 Pengertian Perkawinan Adat

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan masyarakat adat. Peristiwa ini bukan hanya suatu peristiwa yang

mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki), akan tetapi

orang tua, saudara-saudara dan keluarga-keluarganya. Dapat disimpulkan

11
bahwa perkawinan menurut adat hakikatnya merupakan suatu peristiwa yang

tidak hanya mengakibatkan suatu hubungan atau ikatan antara kedua mempelai

saja, tetapi juga kedua orang tua dan keluarga masing-masing. Dari segi

kebudayaan masyarakat, suatu perkawinan merupakan perilaku manusia yang

berhubungan dengan kehidupan seksualnya. Dengan demikian fungsi

perkawinan adat adalah:

1. Suatu lembaga yang mengatur manusia dalam bidang seks.

2. Suatu sarana untuk memenuhi manusia dalam kebutuhan hidup sebagai

kawan (pendamping) hidup.

3. Lembaga yang berisikan hak-hak dan kewajiban mengenai hubungan suami

isteri dan anak-anak.

2.5.2 Perkawinan Dalam Kebudayaan Sikka Krowe

Masyarakat Sikka Krowe adalah salah satu etnis yang cukup dikenal dalam

sejarah dan kehidupannya. Secara umum hal ini dapat dibuktikan dengan

banyaknya ragam kearifan adat sesuai kebiasaan yang ada dalam kehidupan

orang Sikka Krowe. Salah satu kebudayaan yang telah dibahas di atas

merupakan sebuah tradisi yang sangat melekat erat dalam kehidupan

masyarakat ini.

Sebelum agama masuk dan mempengaruhi kehidupan masyarakat, kebiasaan

ini sudah terlebih dahulu dipraktekan pada zamannya. Perkawinan adat

termasuk dalam kategori kultur masyarakat Sikka Krowe, sehingga ketika

agama masuk dalam kehidupan masyarakat, agama mengubah sebagian ritus

12
asli menjadi inkulturasi kristiani. Buktinya ada pada perkawinan adat yang

bernuansa katolik tetapi tidak meninggalkan unsur-unsur kultural. Orang Sikka

Krowe memahami bahwa perkawinan adat menjadi salah satu bagian penting.

Dalam praktek perkawinan tersebut ada berbagai macam aturan dan ritual-ritual

adat yang menjadi tahapan awal mendahului perkawinan resmi gerejani. Setelah

perkawinan adat tersebut disahkan, kemudian dilanjutkan dengan perkawinan

secara katolik dalam perayaan dan penerimaan sakramen perkawinan di gereja.

2.5.2.1 Mengenal Masyarakat Sikka Krowe

Nama Sikka Krowe berasal dari nama dua etnis, yaitu Ata Sikka (orang Sikka)

dan Ata Krowe (orang Krowe). Kedua etnis ini memiliki latar belakang sejarah

yang berbeda. Ata Sikka adalah sebuah etnis yang berasal dari campuran rupa-

rupa bangsa, sedangkan Ata Krowe adalah penduduk asli di Nuhun Ular Tanah

Laran(Kabupaten Sikka). Ata Sikka mendapat pengaruh cukup kuat dalam hal

politik, budaya dan adat-istiadat dari budaya luar terutama dari bangsa Portugal.

Pengaruh bangsa Portugal tersebut lebih menonjol dalam segi religius (agama)

dan politik sehingga Ata Sikka menjadi terkenal dan lebih maju ketimbang Ata

Krowe adalah penduduk asli dari daerah pegunungan.

Ada keyakinan lain bahwa kata Sikka Krowe itu diambil dari leluhur Sikka Dua

Goit, nama salah seorang putri Moang Ria dan Dua Seru Dodang di Iligai.

Salah satu anaknya yang lain bernama Krowe Wai Bola. Dua nama ini

kemudian dijadikan suatu istilah untuk pembagian wilayah dan bahasa yang

digunakan di Kabupaten yang dikenal hingga saat ini.

13
Sikka-Krowe adalah sebutan khas untuk suku-suku yang tersebar dalam

wilayah Kabupaten. Secara etimologi, kata Sikka Krowe berasal dari dua kata,

yaitu Sikka dan Krowe. Kata Sikka berasal dari istilah Sikkang yang berarti

mengusir atau menghalau. Sikka juga menunjukan nama sebuah kampung

tradisional di wilayah pantai selatan yang dikenal dengan Sikka Natar.

Sedangkan kata Krowe berarti orang pedalaman yang tinggal di wilayah Nele

sampai ke arah timur dan Tana Ai.

Selain itu orang Krowe juga disebut sebagai orang pegunungan karena mereka

mendiami wilayah pegunungan Sikka Tengah. Ada beberapa kampung di

wilayah tersebut, di antaranya adalah Kampung Bola, Kampung Eha, Kampung

Hewokloang, Kampung Kewagahar dan lain-lain. Mereka tidak hanya

bermukim di gunung, tetapi juga memberikan makna khusus terhadapnya.

Gunung mereka anggap sebagai “ibu” yang memberi mereka makanan dan

menjamin seluruh kehidupan mereka. Mereka meyakini bahwa nenek moyang

menitipkan gunung-gunung itu untuk mereka jaga, sehingga tidak sepatutnya

dijarah atas dasar kekuasaan perorangan. Oleh karena itu, berdasarkan batas

wilayah dan pembagiannya, istilah ini menunjuk pada suatu kelompok

masyarakat yang tersebar mulai dari pantai selatan wilayah Sikka Natar sampai

ke timur wilayah Tana Ai.

2.5.2.2 Tujuan Perkawinan dalam Adat Sikka Krowe

Dalam tradisi orang Sikka Krowe, perkawinan adalah sesuatu yang mendasar

dalam hidup manusia. Jika ditilik berdasarkan penjelasan umum tentang

14
perkawinan dalam perspektif orang Sikka Krowe, maka sesungguhnya secara

garis besar ada pemahaman yang lebih terarah pada aspek religius. Sebuah

pemahaman yang terkesan kultur tetapi sekiranya sangat bernuansa kekatolikan.

Perkawinan menjadi sarana untuk mempertahankan kelangsungan hidup

manusia. Salah satu tujuan dalam perkawinan adalah cinta kasih. Dalam bahasa

Sikka, kata cinta kasih dapat dimengerti dari ungkapan, “megu moong” yang

secara harafiah berarti cinta kasih. Selain itu ada tujuan lain dari perkawinan

yang dipahami dan menjadi tuntutan dalam perkawinan adalah memperbanyak

keturunan (melahirkan anak). Tujuan ini dapat dipahami dalam unugkapan

kuno dalam bahasa adat Sikka-Krowe “Wua me Ae dodor”. Wua me berarti

melahirkan anak dan Ae dodor artinya menggendong dengan maksud

memelihara, merawat dan membesarkannya dengan megu moong (cinta kasih).

Intinya bahwa perkawinan adalah untuk memperbanyak keturunan.

Meskipun agama dan adat berbeda tetapi apa yang menjadi perbedaan itu hanya

ada pada cara dan pelaksanaan ritus perkawinan saja. Sedangkan, secara garis

besar penjelasan mengenai arti dan makna perkawinan itu sebenarnya sama.

Dengan demikian, pemahaman tentang perkawinan adat dalam budaya Sikka

Krowe itu sebenarnya merujuk pada perkawinan katolik.

2.5.2.3 Bentuk-bentuk Perkawinan Adat Sikka Krowe

Ada beberapa bentuk perkawinan yang baik dan pantas secara hukum adat

namun ada juga beberapa yang memang dilarang secara hukum adat. Jika ada

oknum yang melanggar perkawinan yang dilarang, maka hukum dan sanksi

15
adat bertindak sesuai aturan yang berlaku. Ada beberapa bentuk perkawinan

dalam adat budaya ini, sebagai berikut :

1. Wain Ha (perkawinan monogami)

Kata wain ha ini berarti satu isteri. Orang Sikka memiliki prinsip hidup dan

aturan sendiri dalam urusan perkawinan. Adat secara khusus melarang orang

memiliki dua atau lebih dari satu isteri. Ada aturan yang melarang untuk beristeri

dua atau lebih. Jika benar didapati seorang pria mempunyai dua isteri, maka akan

dikenakan sanksi adat sebagai hukuman dan lebih dari itu salah satu dari kedua

isteri tersebut harus dilepas (pue) oleh pria tersebut.

2. Wain Leto Nora Lin Welin (perkawinan jujur)

Istilah wain leto nora lin welin secara harafiah dapat diartikan sebagai

perkawinan jujur. Perkawinan jujur artinya perkawinan yang sah secara adat dan

melalui jalur adat yang benar. Yang dimaksud dengan jalur yang benar adalah

proses terjadinya perkawinan yang dimulai dari tahap perjodohan, peminangan,

antar belis dan sebagainya sampai pada tahap penetapan hari perkawinan atau

tulis nama(kela naran). Jika tahap-tahap tersebut dilalui dan dilakukan tepat

sesuai aturan maka perkawinan tersebut dikatakan sebagai perkawinan jujur

(Wain Leto Nora Li’in Welin).

3. Wain Palan (perkawinan minang)

Pada zaman dahulu, antara pria dan wanita sir senang wiin (saling

suka/mencintai) berdasarkan persetujuan orang tua dalam hal perjodohan.

16
Perjodohan tersebut menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tua yang mencari

jodoh atau pasangan hidup untuk anak mereka termasuk alasan setuju atau tidak,

semua keputusan itu menjadi urusan dan hak orang tua. Dalam hubungan dengan

wain palan ini ada pun istilah pelang kila yang juga menjadi bagian dari tahapan

ini. Pelang kila berarti tukar cincin atau memasang cincin kepada pasangannya

sebagai tanda atau ikatan yang resmi.

4. Wain Selung (perkawinan ganti)

Ada istilah lain dalam bahasa Sikka Krowe yang sepadan maknanya dengan

Wain Selung adalah “hiwi lian bekat nukak” ini memiliki arti bahwa suasana

meninggalkan laki-laki sebagai suami sah pertama dalam nikah resmi gereja

sehingga ada laki-laki lain datang mengambilnya kembali menjadi isterinya.

Ketika sebelumnya berstatus janda, kemudian ada laki-laki lain mengambilnya

kembali sebagai isteri secara sah dalam adat sehingga kemudia peristiwa tersebut

dinamakan hiwi lian bekat nukak.

5. Wain Plari depo (perkawinan lari)

Wain Plari depo merupakan perkawinan yang disebabkan karena si perempuan

melarikan diri dari rumah untuk mengikuti pria yang akan menjadi suaminya.

Ada beberapa alasan terjadinya perkawinan lari ini yaitu, pertama si perempuan

telah hamil diluar nikah atau hamil sebelum persetujuan pihak keluarga melalui

tahapan-tahapan adat. Kedua, bisa juga disebabkan karena tidak mendapat restu

dari pihak keluarga karena alasan tertentu. Ketiga, ada kemungkinan lain

disebabkan oleh alasan si pria tidak sanggup memberikan bayaran belis pada

17
tahapan wain leto nora li’in welin yang terlalu besar sehingga akan mudah ketika

si perempuan segera mengikuti pria sebelum pembayaran atau antar belis. Hal ini

akan memudahkan si pria untuk memberikan belis kepada pihak keluarga

perempuan.

6. Wain Lodong (perkawinan rampas)

Ada istilah lain sebagai penjabaran makna dari wain lodong ini yaitu “Huma le

loni di boga, tata le loha di biha” yang sama artinya dengan wain lodong. Dalam

tradisi SikkaKrowe, perkawinan rampas ini disebut dalam istilah wain lodong.

Perkawinan rampas merupakan perkawinan yang terjadi karena wanita dirampas

oleh pria lain dan membawanya ke rumah. Secara hukum adat perkawinan

rampas ini akan diselesaikan melalui dua kemungkinan yaitu pada tempat

pertama, pihak keluarga akan datang mengambilnya (perempuan) atau

membawanya kembali ke rumah. Hal ini dapat dilakukan karena perempuan yang

dirampas telah bersuami. Lalu pada tempat kedua, ada kemungkinan untuk

menjadikan perempuan itu sebagai isteri dari pria yang merampasnya. Di sini

akan ada musyawarah (kula babong) adat yang harus dituntaskan oleh kedua

belah pihak. Penyelesaiannya melalui proses hukum adat yang berlaku berupa

bayaran adat yang harus menjadi salah satu syarat dan kewajiban dari pihak

perampas. Bayaran terseut merupakan bagian dari sanksi adat yang patut

dilakukan oleh pihak yang dirasa merugikan, dan sanksi tersebut merupakan

tahap penyelesaian. Bayaran tersebut dilihat dari tanah ongen, jarang dan seng

hoang (luasnya tanah, kuda dan uang) dari pihak pria perampas.

18
7. Wain rua (perkawinan poligami)

Wain rua adalah istilah dua isteri untuk seorang pria/suami. Dalam hukum adat

Sikka Krowe, seorang laki-laki yang memiliki dua isteri harus dilepas (pue) salah

satunya. Pelepasan salah satu isteri entah itu isteri sah atau yang tidak sah

merupakan sebuah keputusan dan tanggung jawab laki-laki bersama keluarganya

terhadap ata ina ama, dari pihak isteri sah pertama maupun kedua.

Pada situasi demikian, pria akan dihadapkan pada sebuah pilihan apakah memilih

untuk lanjut hidup berkeluarga dengan siteri pertama atau dengan isteri kedua.

Pilihan itu ditentukan atas dasar kemauan dari pihak laki-laki bersama

keluarganya. Lebih dari itu, ketika pilihan itu telah jatuh pada salah satu isteri

maka urusan berikutnya adalah soal adat dan bayaran yang harus dilimpahkan

kepada pihak isteri yang ditinggal atau dilepas. Bayaran itu terjadi sesuai aturan

adat dan sejauh permintaan dari pihak keluarga yang dilepas dan juga diukur dari

berapa banyak tanah ongen, jarang dan seng hoang (luasnya tanah, kuda dan

uang).

8. Perkawinan atas dasar kemauan sendiri

Perkawinan ini lebih pribadi dari perkawinan yang merupakan hasil perjodohan

oleh pihak kedua (dijodohkan oleh orang tua). Perkawinan yang demikian

merupakan perkawinan yang didasarkan pada pilihan dari si perempuan atau

sebaliknya oleh laki-laki. Artinya bahwa sebuah hubungan cinta kasih yang lahir

dan dibangun atas dasar cinta antara si perempuan terhadap pilihannya bukan

atas perantara atau campur tangan dari pihak lain.

19
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Nita Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka Nusa

Tenggara Timur, Indonesia. Berjarak sekitar 12 km dari kota Meumere. Pada tahun

1958, terbentuklah pemerintahan Kabupaten Sikka dan Hamente Nita menjadi

Kecamatan Nita dengan Camat pertamanya adalah Philipus Muda Meak da Silva dan

yang menjadi Kepala Kampung Nita pada saat itu adalah Hendrikus Gleko Kolit.

Pada tahun 1967, istilah Kampung berubah menjadi Desa Gaya Baru dan kemudia

menjadi Desa seperti sekarang ini yaitu Desa Nita. Pemerintahan Desa Nita secara

resmi dan sah sebagai Desa Gaya Baru Nita berdasarkan Intruksi Gubernur kDh Tkt.

20
I Nusa Tenggara Timur Nomor 1/2/1967 tertanggal 04 Desember 1967. Pada tahun

1999, wilayah pemerintahan Desa Nita dimekarkan menjadi dua Desa yaitu Desa Nita

dan Desa Takaplager.

Adapun batas-batas wilayahnya sebagai berikut :

- Sebelah utara berbatasan dengan KecamatanMagepanda, Kecamatan Alok

Barat dan Kecamatan Alok.

- Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Koting dan Kecamatan Nelle.

- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Lela.

- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mego.

Sedangkan berdasarkan letak astronomis, Kabupaten Sikka berada pada 121 o55’40”-

122o41’30” BT dan 08o22”-08o50” LS. Pertimbangan pemilihan lokasi penelitian

tersebut berdasarkan tinjauan deskriptif, dimana masih dirasakan adatnya yang kental

akan hal-hal yang berkenaan dengan tradisi perkawinan.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data adalah dengan

melakukan wawancara (interview) dan dokumentasi. Wawancara merupakan

pertemuan dua orang untuk saling bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,

sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam satu topik tertentu yaitu adanya

percakapan dengan maksud tertentu. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara

kepada salah satu masyarakat Desa Nita yaitu bapak Januarius Lose.

3.3 Pendekatan Penelitian

21
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu menggunakan pendekatan

(metode) kualitatif. Dengan penggunaan metode kualitatif ini menjadikan penulis

mudah dalam pengambilan data.

3.3.1 Jenis Data

a. Data primer

Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Dalam data

primer ini penulis menggunakan wawancara langsung terhadap

informan, yaitu masyarakat Desa Nita.

b. Data sekunder

Yaitu data yang diambil sebagai penunjang tanpa harus terjun langsung

ke lapangan, antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-

buku, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan dan sebagainya.

3.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan pada

analisis data kualitatif. Peneliti melakukan analisis terhadap data-data penelitian

dengan tujuan agar data mentah yang telah diperoleh bisa lebih mudah

dipahami. Analisis ini menggunakan teori-teori yang relevan, artinya teori-teori

yang berkaitan dengan masalah yang dibahasa yaitu dengan usaha mengamati

untuk menemukan dan mengetahui bagaimana masyarakat mengorganisasikan

22
budaya mereka dalam pikiran mereka, kemudian menggunakan kebudayaan

mereka tersebut dalam kehidupan.

Selanjutnya peneliti membangun dan mendekripsikan melalui analisis dan

nalar, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai

“belis” dalam konteks perkawinan adat Sikka Krowe.

BAB IV

ANALISIS DATA

4.1 Pembahasan Hasil Penelitian

4.1.1 Tahapan/proses Belis Dalam Perkawinan Adat SikkaKrowe

1. Langkah awal perjodohan

Sesuai adat yang berlaku maka tahap awal dalam perkawinan adat ini

dimulai dengan “Pano Ahu” yang artinya langkah anjing, tanpa bunyi

resmi atau utusan resmi. Sebab untuk memilih jodoh, maka seorang

pemuda tidak akan secara langsung mengutus delegasi resminya.

Terlebih dahulu ia akan akan menggunakan penghubung yang lebih

dekat dengan si gadis sehingga dapat menjembatani (pano ahu).

23
Pemuda tersebut datang tanpa membawa apa-apa, hanya sekedar

mengatakan “ami kenang mai dulu-dalang” yang artinya kami hanya

mau bertandang untuk main-main (bukan hal negatif). Ada juga yang

mengatakan “ami berniat meminjam benang tenun dari rumah ini.

Apakah kami dapat atau tidak? Jika diperkenankan maka kami akan

menerimanya. Maksud dari perkataan itu adalah si pemuda ingin

mengetahui atau mengenal hati si gadis apakah ia berkenan. Jika si gadis

mengiyakan perkataan si pemuda itu artinya si gadis telah menerima

niat baik si pemuda untuk bersilahturahmi.

2. Tahap berikutnya adalah perminangan yang disebut Poto Wua

Ta’a(antar sirih pinang)

Pada suatu waktu yang telah disepakati bersama, maka keluarga pihak

laki-laki akan mengutus beberapa orang secara resmi untuk menghantar

poto wua ta’a. Hal ini merupakan langkah awal yang lebih resmi dari

sebelumnya. Keluarga pihak laki-laki datang sambil membawa serta

sirih pinang, tembakau, pisang 1-2 tandan, seekor kuda, padi, jagung

serta buah-buahan sebagai syarat untuk meresmikan hubungan cinta

antara seorang pemuda dan seorang gadis. Tradisi seperti ini telah

dilakukan sejak tahun 60-an. Di sini, sirih pinang bisa dikatakan sebagai

salah satu simbol diterima atau tidaknya niat baik dari pihak laki-laki.

Setelah sirih pinang dinyatakan telah diterima oleh orang tua dan

keluarga perempuan, maka selanjutnya akan dilakukan perundingan

belis atau mas kawin bersama antara pihak laki-laki dan perempuan

24
(delegasi). Pada proses perundingan belis, sudah mejadi adat leluhur

sejak dahulu bahwa seorang perempuan patutlah dibelisi oleh keluarga

calon tunangannya sebelum menikah ataupun sesudah menikah. Belis

menjadi lambang harga diri yang harus diutamakan serta dihormati.

Sebagaimana biasanya, para delegasi akan disuguhi rokok, kopi dan

tuak serta daging sebagai tanda bahwa perundingan akan segera dimulai.

Seperti yang sudah diketahui bahwa pihak perempuan akan bergelar Ina

Ama (paman atau bapak kecil atau orang lain yang bukan keluarga

rapat/kandungnya), sedangkan pihak laki-laki diberi gelar Me Pu(paman

atau ipar kandung atau samping yang mampu mengetahui periahal

adat). Setelah mendengar penyampaian delegasi, Ina Ama akan mulai

berbicara mewakili keluarga. Lalu setelahnya Ina Ama memberi

kesempatan pada Me pu untuk mempertimbangkannya, apakah sesuai

atau kurang dari itu.

Belis yang dibicarakan di sini adalah berupa uang tunai, gading,

beberapa ekor kuda, emas dsb tergantung dari berapa banyak yang

diminta oleh keluarga pihak perempuan. Kemudian setelah dibicarakan

lebih lanjut dan telah disepati maka akan disampaikan kapan

pelaksanaan pemberian belis.

3. Weli Balik (kasih belis) atau pemberian belis

Tiba saatnya waktu yang sudah disepakati untuk pelaksanaan pemberian

belis, orang tua dan keluarga pihak laki-laki akan mengutus beberapa

orang (delegasi) dan membawa serta ‘permintaan’ dari kelurga pihak

25
perempuan. Selain belis yang diminta, biasanya dibawa serta juga

seserahan lain seperti pisang, padi, jagung, buah-buahan dsb. Tak lupa

pula pihak perempuan akan memberi balasan dalam bentuk beras, babi,

kambing, tuak, sarung dsb. Jika ternyata belis yang bawa oleh pihak

laki-laki tidak sesuai atau kurang, maka pihak perempuan akan

menuntut sampai pihak laki-laki melunasi tunggakan belis(sube dun)

tersebut. Pada saat pihak laki-laki datang membawa tunggakan belis

tersebut saat itu juga pihak laki-laki dapat meminta kesediaan orang tua

untuk kela narang (tulis nama) biasanya dalam jangka waktu beberapa

hari, bulan atau bahkan tahun kemudian.

4. Sube Dun (Sambung tunggakan belis)

Pada saat sebelum perniikahan dilanjutkan dan dilaksanakan pihak

orang tua perempuan akan menyampaikan bentuk belis yang lain yang

harus diselesaikan oleh pihak laki-laki yaitu belis yang di sebut

“Plewur” belis ini haknya pihak om dari keluarga perempuan untuk

meminta belis tersebut. Balasannya yang harus disediakan/diserahkan

dalam bentuk babi, beras, tua, sarung. Jadi pada saat itu dari pihak laki-

laki dan perempuan dapat langsung menentukan tanggal penulisan nama

(kela naran).

5. Hakeng Kawit

Setelah sebulan, setahun dua tahun atau lebih menjalani masa

pertunangan, maka dari pihak laki-laki akan diajuki rencana untuk

persiapan pernikahan. Mereka akan merundingkan penetapan jadwal

26
yang nanti akan diberikan kepada pihak perempuan. Dalam tahap ini

akan dibahas mengenai hari dan tanggal dilaksanakan Kela Naranlalu

kemudian tanggal pernikahan.

6. Kela Naran (tulis nama)

Pada hari yang telah ditetapkan, kedua pihak bersama calon pengantin

akan mendatangi Paroki tempat mereka akan melangsungkan upacara

pernikahan nanti untuk mencatatkan diri. Setelah dicatat, selanjutnya

Pastor akan menentukan hari upacara pernikahan dilangsungkan yang

tidak bisa diubah, kecuali ada alasan yang sangat mendesak dan tak

dapat dihindari. Setelah kela narang, sebagaimana biasanya akan

diumumkan nama mereka melalui mimbar selama tiga minggu berturut-

turut.

7. Belis “Ola Uneng” (Belis kamar pengantin)

Menjelang satu malam sebelum pernikahan, dilaksanakan pembelisan

“Ola Uneng” yang diminta oleh pihak tanta perempuan. Dalam bentuk

gading, mas dan uang. Alasannya karena pelaksaan belis ini harus

terjadi didalam kamar, tetapi sekarang sudah mengalami perubahan

sampai diminta kuda. Maksudnya supaya keutuhan keluarga, yang

baruterbentuk itu tidak berantakan, rukun, dan jujur.

4.1.2Tahapan/proses perkawinan adat Sikka Krowe.

1. Hari Pernikahan

27
Setelah proses kesepakatan pembelisan ini selesai dalam pelaksaan,

diadakanlah Perkawinan secara adat. Berkumpulah dua belah pihak keluarga

besar dirumah calon pengantin perempuan, diawali dengan acara ramah tama

keluarga. Lalu semua keluarga berkumpul dengan posisi melingkar, dan

kedua calon mempelai berada di tengah-tengah. Lalu bertindaklah a’a

gete(tanta besar) mulai membuka acara perkawinan adat dengan sapa’an.

“Lue beta jajin sawe wutun plulur pu’an pletuk, plerit meri kosen

dower,yang artinya sudah tiba saatnya sesuai dengan kesepakatan, upacara

perkawinan akan segera dimulai. “Miu laba lepo werun sorong woga braha”

yang artinya tiba saatnya membangun keluarga yang baru. ‘Miu du’a ba’a

gi’it, gi’it dena plamangwoga, au moa’an ba’a mangan, mangan dena jaga

lepo” yang artinya kamu sudah dewasa dan bertanggung jawab untuk

menjaga keutuhan rumah tangga. A’a gete menyerahkan hati babi kepada

kedua mempelai dengan mengucapkan kalimat “ gea sai wawi w’aten ara

plangan, dadi wain nora la’in” yang artinya makanlah hati babi ini sebagai

tanda resmi kamu dua menjadi suami dan isteri. setelah itu a’a gete

menyerahkan secangkir tuak untuk dicicipi oleh kedua pengantin dengan

mengucapkan kalimat “minu sai tua gahu, donen l’ihan nora lalan”, yang

artinya minumlah tuak yang keras ini, melambangkan hubungan kamu

berdua juglah mengikat dua belah pihak keluarga. Ini pernyataan dari pada

a’a gete untuk pengesahan “Nian tana delo telon, lero wulan bitak natan,

bur degu kokor leong bitak pleur boga baler, bitak gliang ganu unu, gegar

alan nora ewan, dunia dadi adat dadi atabian dadi”. Yang artinya sejak

28
alam diciptakan, terbentuklah pulau-pulau dengan adat yang berbeda-beda,

dan terjadi dimana-mana. Tetapi setelah masuknya agama katolik,

perkawinan adat di laksanakan berdampingan dengan perkawinan gereja .

Karena masyarakat mempercayai bahwa perkawinan akan lebih terasa sakral

bila diberkati oleh Sang pencipta yang Maha Esa. Sehingga perkawinan ini

bisa direstui oleh agama sesuai dengan ajaran agama katolik. Jadi dibalik

pemberkatan nikah secara gereja, proses perkawinan adat tetap dilakukan

berdampingan dengan pernikahan gereja. Maka dari itu setelah selesai

pemberkatan nikah secara gereja, pernikahan itu dilanjutkan dengan prsedur

perkawinan adat yang terjadi dirumah pesta.

2. Tama Ola Uneng( masuk kamar pengantin)

Biasanya terjadi pada tengah malam di rumah mempelai wanita. Yang

disebut ola uneng ialah kamar pengantin yang telah dihias seindah mungkin

dan harus dihormati dan hanya dapat dibuka oleh Aa gete yang akan

membawa pengantin masuk ke dalam kamar. Tepat pukul 00.00, pengantin

pria akan dijemput setelahnya, bibi ata atau Aa gete datang menjemput

pengantin wanita untuk masuk ke dalam ola uneng (kamar pengantin).

Kemudian pintu kamar akan ditutup oleh Aa gete.

3. Teo Liman tama ola uneng ( jaba tangan sebelum masuk kamarb pengantin)

Memang sudah menjadi adat bahwa delegasi dari pihak laki-laki, sesudah

acara pernikahan berlangsung masih harus menyelesaikan tugas mereka

29
yaitu memberi balasan atau memberi belis ola uneng kepada keluarga

perempuan sebagai dana kamar pengantin. Ini tidaklah termasuk dalam mas

kawin melainkan suatu dana khusus yang hanya diberikan kepada Aa gete.

Biasanya dalam bentuk gading, emas serta uang tunai.

4. Ngoro Er’man

Artinya pembersihan lokasi pesta. Biasanya diminta belis apa adanya yang

bisa diberikan pada orang-orang atau anggota keluarga yang membersihkan

halaman rumah pesta.

4.1.3 Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Perkawinan Adat Sikka Krowe

Terdapat beberapa nilai yang terkandung dalam perkawinan adat SikkaKrowe, antara

lain sebagai berikut :

1. Nilai sakral

Mengajarkan kita untuk saling menghormati dan menjaga keutuhan keluarga

bagi pasangan suami-isteri yang baru saja menikah. Selalu mendoakan agar

mereka hidup saling jujur, rukun dan sejahtera.

2. Nilai kekeluargaan

Mengajarkan kita untuk saling mempererat hubungan antara keluarga laki-laki

dan perempun karena dengan adanya pernikahan, kedua keluarga yang pada

awalnya tidak saling mengenal akhirnya menjadi satu keluarga.

30
3. Nilai kehormatan keluarga

Mengajarkan kita untuk saling menjaga nama baik keluarga, mempertahankan

derajat serta wibawa kedua keluarga.

4. Nilai kebersamaan dan saling menghargai

Mengajarkan kita untuk selalu bertannggung jawab dan saling membantu.

Apapun urusannya telah menjadi kewajiban bersama.

4.1.4 Pandangan Para Tokoh Masyarakat Desa Nita Terhadap Belis Dalam

Perkawinan Adat SikkaKrowe

Bagi masyarakat Desa Nita yang berasal dari Sikka sudah jelas menjadikan belis

sebagai syarat dalam tradisi perkawinan mereka, bukan hanya masyarakat Desa Nita

saja tetapi hampir semua daerah yang masyarakatnya merupakan orang asli Maumere

(Sikka) pun begitu. Keunikan dari belis ini adalah pembayarannya tidak hanya

menggunakan uang dan emas tetapi juga menggunakan gading. Belis wajib dibayar

oleh mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang nantinya menjadi isterinya.

Jumlah belis terkadang dipengaruhi oleh keturunan, pendidikan, status sosial,

keadaan ekonomi, pekerjaan bahkan juga kecantikan putri-putri mereka. Sehingga

semakin tinggi strata mereka, maka semakin banyak jumlah belis yang harus dibayar

oleh calon mempelai laki-laki. Adapun problematika sosiologis dari belis tersebut,

meski bertujuan mulia untuk mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan,

namun belis dapat juga menjadi sumber persoalan dalam rumah tangga yang pada

akhirnya dapat melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi bila

tuntutan belis terlampaui tinggi melebihi kemampuan finansial seorang laki-laki dan

31
keluarganya. Selain itu jumlah nominal belis yang ditentukan, jika itu besar akan

berdampak pada beban psikologis seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang

berasal dari strata sosial yang tinggi, sehingga banyak perempuan yang pada akhirnya

tidak menikah , hamil di luar nikah, menikah dengan orang luar. Belis juga bisa

menjadi salah satu faktor penyebab seorang suami menelantarkan anak dan isterinya

dan membebani ekonimi keluarga.

Tetapi karena adanya keringanan yang bisa diberikan pihak perempuan pada pihak

laki-laki yang tidak sanggup membayar belis secara tuntas, maka sang calon suami

boleh berhutang kepada calon isteri dan keluarganya sampai mereka telah sah

menjadi pasangan suami isteri hutang tersebut akan tetap berlaku hingga ia bisa

melunasinya.

Namun semua ini kembali lagi pada tradisi. Sebab belis merupakan salah satu warisan

dari nenek moyang kita sehingga suka tidak suka tetap akan berlaku seperti itu

sampai kapan pun.

4.1.5. Alasan Masyarakat Desa Nita Masih Mempertahankan Tradisi Belis

Tersebut

Belis merupakan tradisi yang telah mendarah daging bagi masyarakat Kabupaten

Sikka. Perkawinan adat yang diawali dengan pemberian belis pada seorang gadis

mempunyai nilai dan harga diri yang diakui oleh orang tua, seluruh keluarga dan

masyarakat.

4.1.6 Hubungan Belis Dalam Konteks Perkawinan Adat Sikka Krowe

32
Hubungan belis dengan perkawinan adat merupakan factor yang paling penting,

untuk mengikat eratnya hubungan keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak

perempuan. Melalui belis setiap acara, keluarga selalu dipanggil, karena sudah terikat

dari belis yang sudah ditentukan yang belum selesai dan perkawinan. Yang berikut

hubungan kekerabatan itu tetap dijaga sampai kapan pun karena itu tidak dapat

dipisahkan. Hubungan belis dengan perkawinan adat ini, juga menentukan status

sosial keluarga. Sebagai contoh, belis yang jumlahnya banyak menunjukan status

social yang tinggi dari satu keluarga.sedangkan yang belisnya rendah itu menunjukan

rendahnya status social dari satu keluarga. Dalam hubungan belis dan perkawinan

adat ini juga dapat memperluas sayap keluarga, mengangkat wibawa dan martabat

keluarga. Contoh dari maksud memperluas sayap keluarga, bila ada acara keluarga

selalu dipanggil dan pihak laki-laki, datang dengan membawa uang atau gading atau

kuda sesuai dengan statusnya. Kemudian ketika mereka pulang akan diberi

balasannya dalam bentuk sarung, beras, tuak dan babi (dikadarkan dengan

pembawaannya). Sehingga belis itu tidak hanya hak dari orang tua kandung, tetapi

juga berlaku untuk keluarga-keluarga yang lain.

33
BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan analisanya sebagaimana yang telah

disajikan pada bab sebelumnya, maka dapat penulis menarik kesimpulan yaitu :

1. Tahapan dan proses belis yang dilakukan masih sama seperti dulu meskipun

sekarang ini sedikit mengalami perubahan. Tetapi untuk tahap-tahap intinya

masih sama.

2. Proses belis dalam perkawinan adat SikkaKrowe ini mengajarkan nilai-nilai yang

merupakan unsur kehidupan.

34
3. Pandangan dari tokoh masyarakat terhadap belis yang menjadi syarat untuk

melangsungkan perkawinan adat SikkaKrowe berupa uang, hewan, gading dsb

keberlakuannya tetap wajib bagi siapa saja yang ingin menikah dengan gadis-

gadis Maumere, Kabupaten Sikka. Karena dengan adanya belis ini , mereka

menganggapnya sebagai kesungguhan dari si pria yang ingin menikahi anak

mereka. Belis juga dianggap sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan

terhadap harkat martabat dan derajat kaum hawa serta orang tuanya terkhususnya

ibu yang telah mengandung dan melahirkan anaknya.

4. Masyarakat Desa Nita dan masyarakat Kabupaten Sikka pada umumnya masih

mempertahankan belis dalam perkawinan adat mereka, selain sebagai upaya

untuk mempertahankan tradisi mereka, juga sebagai cara untuk memuliakan para

wanita dan meninggikan derajat wanita sehingga bagi pria yang ingin menikah

dengan gadis Maumere harus mau berjuang memberikan belis sebagai wujud

pengorbanan dan kesungguhan, juga sebagai cara untuk memuliakan calon isteri

beserta keluarganya. Oleh karena itu masyarakat Desa Nita sangat

mempertahankan tradisi belis dalam perkawinan adat SikkaKrowe yang sudah

mereka lestarikan hingga saat ini.

5.2 Saran

1. Kepada Pembaca

Diharapkan bagi para pembaca yang telah membaca karya ilmiah ini dapat

menyadari bahwa adat-istiadat tentang belis dan proses perkawinan adat Sikka

35
Krowe sangatlah penting. Maka dari itu, pembaca harus teliti dalam membaca

sehingga dapat memahami tradisi Sikka Krowe dan dapat menambah wawasan.

2. Kepada Masyarakat

Diharapkan sebaiknya bagi masyarakat harus tetap melestarikan tradisi belis

dengan perkawinan adat ini, dan tetap menjaga tradisi ini dengan baik, agar

tidak hilang karena perubahan zaman, sehingga generasi muda dapat terus

melestarikannya.

DAFTAR PUSTAKA

Afendi, Petrus. 2018. Panduan Penulisan Laporan Penelitian SMAS Katolik


Bhaktyarsa. Maumre: SMAS Bhaktyarsa.

Parera, Mandalangi M. 1988. Adat Istiadat SikkaKrowe di Kabupaten Sikka.

Parera, Edmundus. 1991. Seputaran Warisan Adat Kabupaten Sikka.

Lose, Januarius. 2019. Wawancara langsung, 12 September 2019.

36
LAMPIRAN

37
BIOGRAFI NARASUMBER

Nama : Januarius Lose


Tempat, tanggal lahir
: Nitakloang, 28 Oktober 1943
Agama : Katolik
Usia : 77 tahun
Pekerjaan : Pensiunan guru dan tokoh masyarakat/umat
Alamat : Nitakloang
Status : Berkeluarga
Nama isteri : Felixia Nurak
Anak : Tujuh orang (tiga anak perempuan dan empat anak laki-laki,
serta memiliki delapan orang cucu.
Riwayat pendidikan : 1. SDK Nitakloang (1953-1959)
2. SMPK Kimang Buleng (1959-1962)
3. SGPD Negeri Kupang (1962-1966)

38
Riwayat pekerjaan : Selama menjadi guru, beliau mengajar di SMPK Lambunga
Adonara pada tahun 1967. Kemudian pada tahun 1968-1971,
beliau mengajar di SMPK Kimang Buleng. Tahun 1971-1983,
menjadi guru di SMP Negeri Nita. Beliau kemudian diangkat
menjadi Kepala SMP Wolon Walu pada tahun 1983-1985.
Pada tahun 1985-2000, beliau mengajar di SMP Negeri
Kewapante Ili sampai dengan pensiun.

39

Anda mungkin juga menyukai