OLEH
ELISABETH CLAVERITA DUA MONE
MARIA HELMINA PASKALIA DOU
MENYETUJUI
PEMBIMBING
i
HALAMAN PENGESAHAN
HARI :
TANGGAL :
PENGUJI
MENGESAHKAN
ii
MOTO
iii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Yang mana atas
karunia, rahmat hidayah-Nya dan dibekali kesehatan lahir dan batin serta atas izin-
Nya, penulis dapat menyusun sebuah karya ilmiah remaja yang berjudul
“Menganalisis Hubungan Belis Dalam Konteks Perkawinan Adat Sikka-Krowe
di Desa Nita” dapat selesai tepat pada waktunya.Penyusunan karya ilimah ini
diajukan sebagai syarat kelulusan. Dengan segala daya dan upaya serta bantuan,
bimbingan maupun pengarahan dan hasil diskusi dari berbagai pihak dalam proses
penulisan karya ilmiah ini, maka dengan segala kerendahan hati penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang tiada batas kepada :
1. Sr. Marcelina Lidi, SSpS,S.fil, Lic selaku kepala sekolah SMAS Katolik
Bhaktyarsa Maumere yanng telah menyetujui karya ilmiah ini.
2. Bapak Petrus Afendi, SPd selaku pembimbing yang telah memberikan saran
dan bimbingan kepada penulis sejak awal hingga akhir penulisan karya ilmiah.
Juga selaku guru metodologi yang telah memberikan bimbingan dan
pemahaman terkait penulisan karya ilmiah ini.
3. Bapak Januarius Lose yang bersedia meluangkan waktunya untuk
diwawancarai (menjadi narasumber ) oleh penulis.
4. Orang tua dan teman-teman yang memberikan dukungan , menjadi sumber
semangat dan inspirasi serta doa-doanya yang selalu menyertai penulis dalam
proses penyelesaian karya ilmiah ini.
Semoga apa yang telah penulis sampaikan dalam karya ilmiah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya bagi penulis pribadi. Penulis yang tak
pernah luput dari salah menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan karya ilmiah
selanjutnya.
iv
Penulis
ABSTRAK
Dalam karya illmiah ini, penulis membahas tentang hubungan belis dalam
konteks perkawinan adat Sikka-Krowe di Desa Nita, Kabupaten Sikka Nusa Tenggara
Timur. Di Nusa Tenggara Timur ada beragam bentuk belis yang digunakan yakni
berupa emas, perak, uang maupun hewan seperti sapi, kerbau, kuda. Uniknya pada
masyarakat Sikka belisnya disertakan pula dengan gading gajah. Dan hal ini
merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang.
Masalah yang dikaji dalam karya ilmiah ini adalah: 1) Bagaimana tahapan dan
proses belis dalam perkawinan adat Sikka-Krowe 2) Apa saja nilai-nilai yang
terkandung dalam perkawinan adat Sikka-Krowe 3) Bagaimana pandangan tokoh
masyarakat di Desa Nita terhadap belis dalam perkawinan adat Sikka-Krowe 4)
Mengapa masyarakat di Desa Nita masih mempertahankan tradisi belis
tersebut.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode analisis data
menggunakan wawancara (interview) serta dokumentasi. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori menurut salah satu ahli yaitu Sariyono, dimana
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,
menggambarkan, menjelaskan, menemukan kualitas atau keistimewaan dari pengaruh
sosial yang tidak dapat djelaskan, diukur atatu digambarkan melalui pendekatan
kuantitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa, 1) Pandangan
masyarakat Desa Nita terhadap jumlah nominal belis disebabkan oleh nominal belis
yang ditentukan terkadang diukur berdasarkan strata sosial perempuan atau
keluarganya. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh seorang perempuan maka
semakin tinggi pula yang ditentukan. 2) Dalam perkawinan adat yang dilangsungkan
ternyata menyimpan nilai-nilai tentang kehidupan didalamnya, menciptakan keluarga
yang kukuh hingga akhir hayat dalam ikatan keluarga yang kuat 3) masyarakat
Kabupaten Sikka di Desa Nita masih mempertahankan tradisi tersebut dalam
perkawinan mereka.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABSTRAK ……………………………………………………………………... v
vi
2.4 BELIS ………………………………………………………………….. 9
2.4.1 PENGERTIAN BELIS ………………………………………………... ................
2.4.2 FUNGSI BELIS ……………………………………………………….. 9
2.4.3 DAMPAK PEMBERIAN BELIS …………………………………….. ................
2.5 PERKAWINAN ADAT SIKKA KROWE …………………………... ..............
2.5.1 PENGERTIAN PERKAWINAN ADAT …………………………….. ..............
2.5.2 PERKAWINAN ADAT DALAM KEBUDAYAAN SIKKAKROWE 12
2.5.2.1MENGENAL MASYARAKAT SIKKAKROWE …………………. ..............
2.5.2.2TUJUAN PEEKAWINAN DALAM ADAT SIKKAKROWE ……. ..............
2.5.2.3BENTUK-BENTUK PERKAWINAN ADAT SIKKAKROWE …. 15
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ……………………. 20
3.2 METODEAN PENGUMPULAN DATA …………………………….. ..............
3.3 PENDEKATAN PENELITIAN ……………………………………… 21
3.3.1JENIS DATA …………………………………………………………… ..............
3.4 METODE ANALISIS DATA ………………………………………… 22
BAB IV ANALISIS DATA
4.1 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN …………………………….. 23
4.1.1 TAHAPAN DAN PROSES BELIS DALAM PERKAWINAN ADAT
SIKKA KROWE ………………………………………………………. ..............
4.1.2 TAHAPAN/PROSES PERKAWINANAN ADAT SIKKA KROWE …..
27
4.1.3 NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PERKAWINAN
ADAT SIKKA KROWE
………………………………………………………. 30
4.1.4 PANDANGAN MASYARAKAT DESA NITA TERHADAP BELIS
DALAM PERKAWINAN ADAT SIKKA KROWE ………………… 30
4.1.5 ALASAN MASYARAKAT MASIH MEMPERTAHANKAN TRADISI
BELIS TERSEBUT …………………………………………………… 32
4.1.6 HUBUNGAN BELIS DALAM KONTEKS PERKAWINAN
ADAT SIKKA KROWE ……………………………………………….. 32
BAB V PENUTUP
vii
5.1 KESIMPULAN ………………………………………………………... 34
5.2 USUL DAN SARAN …………………………………………………... 35
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 36
LAMPIRAN …………………………………………………………………… 37
viii
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan berbagai ragamnya mulai dari
sangat sakral dan kental. Hal ini disebabkan oleh kekuatan adat yang secara
turun temurun yang dipercayai oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu hal
masyarakat SikkaKrowe.
sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur dan bentuk penghargaan terhadap
perempuan, namun disatu sisi juga sebagai pengikat pertalian kekeluargaan dan
“Belis” dianggap sebagai syarat utama seorang wanita telah dianggap sah untuk
berupa emas, perak, uang maupun hewan seperti kerbau, sapi atau kuda. Di
daerah tertentu “belis” dapat berupa barang khusus. Uniknya pada masyarakat
Sikka Krowe, nilai seorang perempuan pada mas kawin dikonkritkan dalam
1
bentuk nilai dan ukuran gading gajah yang sulit untuk diperoleh dan beberapa
ekor kuda serta uang tunai. Hal tersebutlah yang menjadi alasan mendasar
Sikka Krowe.
Perkawinan memang menjadi sebuah momen yang penting dan begitu sakral
mahar atau mas kawin yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
martabat dan derajat seorang perempuan yang akan dinikahi dan juga
pasangan suami isteri. Dengan melihat fakta yang ditemukan, maka penulis
berasumsi dasar yaitu, bahwa adanya belis dalam perkawinan adat merupakan
tersebut.
2
1.2 Batasan Masalah
Agar kajian masalah tidak melebar dan lebih menfokuskan pada permasalahan,
maka penelitian ini dibatasi hanya pada seputar proses atau tahapan belis dalam
2. Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan adat Sikka Krowe?
tersebut?
Sikka-Krowe.
3
1.5 Manfaat Penelitian
Dapat menjadi bahan rujukan, sebagai sumber informasi dan bahan referensi
2. Bagi pendidik
Penelitian ini bisa dijadikan referensi bahan ajar secara khusus pada mata
pendidikan yang ada, termasuk para pendidik yang ada didalamnya danjuga
4. Bagi masyarakat
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Analisis
satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan yang terpadu.
Menurut harahap (2004), pengertian analisis adalah suatu upaya untuk memecahkan
atau menguraikan sesuatu unit menjadi berbagai unit terkecil. Menurut wiradi,
(https://www.zonareferensi.com/pengertian-analisis-menurut-para-ahli-dan-secara-
umum/)
5
2.2 Tradisi
yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
tradisi bukan suatu yang tidak dapat diganti. Tradisi justru perpaduan dengan
(https://www.seputarpengetahuan.co.id/2017/10/pengertian-tradisi-menurut-
para-ahli.html). Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi
yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali)
secara lisan, karena tanpa adanya ini maka suatu tradisi akan punah.
Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” yang keduanya merupakan hasil
Keduanya kata ini merupakan personafikasi dari sebuah makna hukum tidak
tertulis, dan hukum tidak tertulis ini menjadi patokan norma dalam masyarakat
6
Secara terminologi perkataan tradisi mengandung suatu pengertian tersembunyi
tentang adanya kaitan antara masa lalu merujuk pada sesuatu yang diwariskan
oleh nenek moyang pada zaman dahulu tetapi masih berwujud dan berfungsi
pada masa sekarang. Oleh karena itu, tradisi dalam pengertian yang paling
elementer adalah sesuatu yang ditransmisikan dan diwariskan dari masa lalu ke
masa kini
Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka bumi.
2.3 Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi
budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim
7
hidup. Tujuan dari perkawinan ialah kesejahteraan suami-istri, kelahiran anak
adalah suatu hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi.
hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan
kekal yang diakui oleh Negara. Menurut Prof. Subekti,SH, perkawinan sebagai
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu
yang lama. menurut Prof. Ali Afandi, SH, perkawinan adalah persetujuan
yang terdapat dalam pasal 1 yang berbunyi: “Perkawinan adalah ikatan lahir
dan dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan
berlaku. Perkawinan itu dilandasi oleh hubungan cinta antara dua pribadi yang
berjanji. Cinta itulah yang kemudian menjiwai hubungan lahir dan batin
cinta seorang pria dan wanita yang kemudia dimengerti sebagai megu moong
dalam bahasa Sikka-Krowe dan termasuk tujuan dari perkawinan itu sendiri.
8
Tujuan dari perkawinan tersebut adalah untuk membentuk persekutuan hidup
perkawinan tersebut harus didasarkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya
adalah campur tangan dan kehendak Tuhan sendiri. Dengan demikian keluarga
yang terbentuk harus juga mendasarkan hidupnya pada kehendak Tuhan sendiri.
2.4 Belis
“Belis” adalah hak mutlak (calon) mempelai wanita dan kewajiban mempelai
dapat dilakukan secara tunai dan boleh pula secara hutang. “Belis” merupakan
article/viewFile/).
laki-laki.
9
4. Sebagai alat untuk menaikan nama keluarga laki-laki.
Terdapat beberapa dampak yang didapat pada saat “belis” telah diberikan. Ada
dampak positif dan juga dampak negatifnya. Dampak positif dari pemberian
terhormat atau diangkat karena pihak pria dianggap mampu membayar “belis”
Maksud dari pemberian “belis” ini adalah sebagai imbalan jasa atau
penghormatan atas kecapaian, kesakitan dan jerih payah orang tua selama
10
Melalui pemberian “belis”, maka calon penganun pria dan wanita telah
mendapat restu dari orang tua dan keluarga sehingga dapat melanjutkan
Pemberian “belis” kepada keluarga wanita pihak pria merasa bisa bertindak
Hal ini terjadi karena “belis” yang dituntut oleh pihak wanita terlalu tinggi
mengambil jalan pintas dengan memimjam uang pada pihak lain sehingga
menimbulkan piutang.
kehidupan masyarakat adat. Peristiwa ini bukan hanya suatu peristiwa yang
11
bahwa perkawinan menurut adat hakikatnya merupakan suatu peristiwa yang
tidak hanya mengakibatkan suatu hubungan atau ikatan antara kedua mempelai
saja, tetapi juga kedua orang tua dan keluarga masing-masing. Dari segi
Masyarakat Sikka Krowe adalah salah satu etnis yang cukup dikenal dalam
sejarah dan kehidupannya. Secara umum hal ini dapat dibuktikan dengan
banyaknya ragam kearifan adat sesuai kebiasaan yang ada dalam kehidupan
orang Sikka Krowe. Salah satu kebudayaan yang telah dibahas di atas
masyarakat ini.
12
asli menjadi inkulturasi kristiani. Buktinya ada pada perkawinan adat yang
Krowe memahami bahwa perkawinan adat menjadi salah satu bagian penting.
Dalam praktek perkawinan tersebut ada berbagai macam aturan dan ritual-ritual
adat yang menjadi tahapan awal mendahului perkawinan resmi gerejani. Setelah
Nama Sikka Krowe berasal dari nama dua etnis, yaitu Ata Sikka (orang Sikka)
dan Ata Krowe (orang Krowe). Kedua etnis ini memiliki latar belakang sejarah
yang berbeda. Ata Sikka adalah sebuah etnis yang berasal dari campuran rupa-
rupa bangsa, sedangkan Ata Krowe adalah penduduk asli di Nuhun Ular Tanah
Laran(Kabupaten Sikka). Ata Sikka mendapat pengaruh cukup kuat dalam hal
politik, budaya dan adat-istiadat dari budaya luar terutama dari bangsa Portugal.
Pengaruh bangsa Portugal tersebut lebih menonjol dalam segi religius (agama)
dan politik sehingga Ata Sikka menjadi terkenal dan lebih maju ketimbang Ata
Ada keyakinan lain bahwa kata Sikka Krowe itu diambil dari leluhur Sikka Dua
Goit, nama salah seorang putri Moang Ria dan Dua Seru Dodang di Iligai.
Salah satu anaknya yang lain bernama Krowe Wai Bola. Dua nama ini
kemudian dijadikan suatu istilah untuk pembagian wilayah dan bahasa yang
13
Sikka-Krowe adalah sebutan khas untuk suku-suku yang tersebar dalam
wilayah Kabupaten. Secara etimologi, kata Sikka Krowe berasal dari dua kata,
yaitu Sikka dan Krowe. Kata Sikka berasal dari istilah Sikkang yang berarti
Sedangkan kata Krowe berarti orang pedalaman yang tinggal di wilayah Nele
Selain itu orang Krowe juga disebut sebagai orang pegunungan karena mereka
Gunung mereka anggap sebagai “ibu” yang memberi mereka makanan dan
dijarah atas dasar kekuasaan perorangan. Oleh karena itu, berdasarkan batas
masyarakat yang tersebar mulai dari pantai selatan wilayah Sikka Natar sampai
Dalam tradisi orang Sikka Krowe, perkawinan adalah sesuatu yang mendasar
14
perkawinan dalam perspektif orang Sikka Krowe, maka sesungguhnya secara
garis besar ada pemahaman yang lebih terarah pada aspek religius. Sebuah
manusia. Salah satu tujuan dalam perkawinan adalah cinta kasih. Dalam bahasa
Sikka, kata cinta kasih dapat dimengerti dari ungkapan, “megu moong” yang
secara harafiah berarti cinta kasih. Selain itu ada tujuan lain dari perkawinan
Meskipun agama dan adat berbeda tetapi apa yang menjadi perbedaan itu hanya
ada pada cara dan pelaksanaan ritus perkawinan saja. Sedangkan, secara garis
besar penjelasan mengenai arti dan makna perkawinan itu sebenarnya sama.
Ada beberapa bentuk perkawinan yang baik dan pantas secara hukum adat
namun ada juga beberapa yang memang dilarang secara hukum adat. Jika ada
oknum yang melanggar perkawinan yang dilarang, maka hukum dan sanksi
15
adat bertindak sesuai aturan yang berlaku. Ada beberapa bentuk perkawinan
Kata wain ha ini berarti satu isteri. Orang Sikka memiliki prinsip hidup dan
aturan sendiri dalam urusan perkawinan. Adat secara khusus melarang orang
memiliki dua atau lebih dari satu isteri. Ada aturan yang melarang untuk beristeri
dua atau lebih. Jika benar didapati seorang pria mempunyai dua isteri, maka akan
dikenakan sanksi adat sebagai hukuman dan lebih dari itu salah satu dari kedua
Istilah wain leto nora lin welin secara harafiah dapat diartikan sebagai
perkawinan jujur. Perkawinan jujur artinya perkawinan yang sah secara adat dan
melalui jalur adat yang benar. Yang dimaksud dengan jalur yang benar adalah
antar belis dan sebagainya sampai pada tahap penetapan hari perkawinan atau
tulis nama(kela naran). Jika tahap-tahap tersebut dilalui dan dilakukan tepat
Pada zaman dahulu, antara pria dan wanita sir senang wiin (saling
16
Perjodohan tersebut menjadi tanggung jawab orang tua. Orang tua yang mencari
jodoh atau pasangan hidup untuk anak mereka termasuk alasan setuju atau tidak,
semua keputusan itu menjadi urusan dan hak orang tua. Dalam hubungan dengan
wain palan ini ada pun istilah pelang kila yang juga menjadi bagian dari tahapan
ini. Pelang kila berarti tukar cincin atau memasang cincin kepada pasangannya
Ada istilah lain dalam bahasa Sikka Krowe yang sepadan maknanya dengan
Wain Selung adalah “hiwi lian bekat nukak” ini memiliki arti bahwa suasana
meninggalkan laki-laki sebagai suami sah pertama dalam nikah resmi gereja
kembali sebagai isteri secara sah dalam adat sehingga kemudia peristiwa tersebut
melarikan diri dari rumah untuk mengikuti pria yang akan menjadi suaminya.
Ada beberapa alasan terjadinya perkawinan lari ini yaitu, pertama si perempuan
telah hamil diluar nikah atau hamil sebelum persetujuan pihak keluarga melalui
tahapan-tahapan adat. Kedua, bisa juga disebabkan karena tidak mendapat restu
dari pihak keluarga karena alasan tertentu. Ketiga, ada kemungkinan lain
disebabkan oleh alasan si pria tidak sanggup memberikan bayaran belis pada
17
tahapan wain leto nora li’in welin yang terlalu besar sehingga akan mudah ketika
si perempuan segera mengikuti pria sebelum pembayaran atau antar belis. Hal ini
perempuan.
Ada istilah lain sebagai penjabaran makna dari wain lodong ini yaitu “Huma le
loni di boga, tata le loha di biha” yang sama artinya dengan wain lodong. Dalam
tradisi SikkaKrowe, perkawinan rampas ini disebut dalam istilah wain lodong.
oleh pria lain dan membawanya ke rumah. Secara hukum adat perkawinan
rampas ini akan diselesaikan melalui dua kemungkinan yaitu pada tempat
membawanya kembali ke rumah. Hal ini dapat dilakukan karena perempuan yang
dirampas telah bersuami. Lalu pada tempat kedua, ada kemungkinan untuk
menjadikan perempuan itu sebagai isteri dari pria yang merampasnya. Di sini
akan ada musyawarah (kula babong) adat yang harus dituntaskan oleh kedua
belah pihak. Penyelesaiannya melalui proses hukum adat yang berlaku berupa
bayaran adat yang harus menjadi salah satu syarat dan kewajiban dari pihak
perampas. Bayaran terseut merupakan bagian dari sanksi adat yang patut
dilakukan oleh pihak yang dirasa merugikan, dan sanksi tersebut merupakan
tahap penyelesaian. Bayaran tersebut dilihat dari tanah ongen, jarang dan seng
hoang (luasnya tanah, kuda dan uang) dari pihak pria perampas.
18
7. Wain rua (perkawinan poligami)
Wain rua adalah istilah dua isteri untuk seorang pria/suami. Dalam hukum adat
Sikka Krowe, seorang laki-laki yang memiliki dua isteri harus dilepas (pue) salah
satunya. Pelepasan salah satu isteri entah itu isteri sah atau yang tidak sah
terhadap ata ina ama, dari pihak isteri sah pertama maupun kedua.
Pada situasi demikian, pria akan dihadapkan pada sebuah pilihan apakah memilih
untuk lanjut hidup berkeluarga dengan siteri pertama atau dengan isteri kedua.
Pilihan itu ditentukan atas dasar kemauan dari pihak laki-laki bersama
keluarganya. Lebih dari itu, ketika pilihan itu telah jatuh pada salah satu isteri
maka urusan berikutnya adalah soal adat dan bayaran yang harus dilimpahkan
kepada pihak isteri yang ditinggal atau dilepas. Bayaran itu terjadi sesuai aturan
adat dan sejauh permintaan dari pihak keluarga yang dilepas dan juga diukur dari
berapa banyak tanah ongen, jarang dan seng hoang (luasnya tanah, kuda dan
uang).
Perkawinan ini lebih pribadi dari perkawinan yang merupakan hasil perjodohan
oleh pihak kedua (dijodohkan oleh orang tua). Perkawinan yang demikian
sebaliknya oleh laki-laki. Artinya bahwa sebuah hubungan cinta kasih yang lahir
dan dibangun atas dasar cinta antara si perempuan terhadap pilihannya bukan
19
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Desa Nita Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka Nusa
Tenggara Timur, Indonesia. Berjarak sekitar 12 km dari kota Meumere. Pada tahun
Kecamatan Nita dengan Camat pertamanya adalah Philipus Muda Meak da Silva dan
yang menjadi Kepala Kampung Nita pada saat itu adalah Hendrikus Gleko Kolit.
Pada tahun 1967, istilah Kampung berubah menjadi Desa Gaya Baru dan kemudia
menjadi Desa seperti sekarang ini yaitu Desa Nita. Pemerintahan Desa Nita secara
resmi dan sah sebagai Desa Gaya Baru Nita berdasarkan Intruksi Gubernur kDh Tkt.
20
I Nusa Tenggara Timur Nomor 1/2/1967 tertanggal 04 Desember 1967. Pada tahun
1999, wilayah pemerintahan Desa Nita dimekarkan menjadi dua Desa yaitu Desa Nita
Sedangkan berdasarkan letak astronomis, Kabupaten Sikka berada pada 121 o55’40”-
tersebut berdasarkan tinjauan deskriptif, dimana masih dirasakan adatnya yang kental
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data adalah dengan
pertemuan dua orang untuk saling bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab,
sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam satu topik tertentu yaitu adanya
percakapan dengan maksud tertentu. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara
kepada salah satu masyarakat Desa Nita yaitu bapak Januarius Lose.
21
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh penulis yaitu menggunakan pendekatan
a. Data primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama. Dalam data
b. Data sekunder
Yaitu data yang diambil sebagai penunjang tanpa harus terjun langsung
Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan pada
dengan tujuan agar data mentah yang telah diperoleh bisa lebih mudah
yang berkaitan dengan masalah yang dibahasa yaitu dengan usaha mengamati
22
budaya mereka dalam pikiran mereka, kemudian menggunakan kebudayaan
nalar, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai
BAB IV
ANALISIS DATA
Sesuai adat yang berlaku maka tahap awal dalam perkawinan adat ini
dimulai dengan “Pano Ahu” yang artinya langkah anjing, tanpa bunyi
resmi atau utusan resmi. Sebab untuk memilih jodoh, maka seorang
23
Pemuda tersebut datang tanpa membawa apa-apa, hanya sekedar
mau bertandang untuk main-main (bukan hal negatif). Ada juga yang
Apakah kami dapat atau tidak? Jika diperkenankan maka kami akan
Pada suatu waktu yang telah disepakati bersama, maka keluarga pihak
poto wua ta’a. Hal ini merupakan langkah awal yang lebih resmi dari
sirih pinang, tembakau, pisang 1-2 tandan, seekor kuda, padi, jagung
antara seorang pemuda dan seorang gadis. Tradisi seperti ini telah
dilakukan sejak tahun 60-an. Di sini, sirih pinang bisa dikatakan sebagai
salah satu simbol diterima atau tidaknya niat baik dari pihak laki-laki.
Setelah sirih pinang dinyatakan telah diterima oleh orang tua dan
belis atau mas kawin bersama antara pihak laki-laki dan perempuan
24
(delegasi). Pada proses perundingan belis, sudah mejadi adat leluhur
tuak serta daging sebagai tanda bahwa perundingan akan segera dimulai.
Seperti yang sudah diketahui bahwa pihak perempuan akan bergelar Ina
Ama (paman atau bapak kecil atau orang lain yang bukan keluarga
beberapa ekor kuda, emas dsb tergantung dari berapa banyak yang
belis, orang tua dan keluarga pihak laki-laki akan mengutus beberapa
25
perempuan. Selain belis yang diminta, biasanya dibawa serta juga
seserahan lain seperti pisang, padi, jagung, buah-buahan dsb. Tak lupa
pula pihak perempuan akan memberi balasan dalam bentuk beras, babi,
kambing, tuak, sarung dsb. Jika ternyata belis yang bawa oleh pihak
tersebut saat itu juga pihak laki-laki dapat meminta kesediaan orang tua
untuk kela narang (tulis nama) biasanya dalam jangka waktu beberapa
orang tua perempuan akan menyampaikan bentuk belis yang lain yang
dalam bentuk babi, beras, tua, sarung. Jadi pada saat itu dari pihak laki-
(kela naran).
5. Hakeng Kawit
26
yang nanti akan diberikan kepada pihak perempuan. Dalam tahap ini
Pada hari yang telah ditetapkan, kedua pihak bersama calon pengantin
tidak bisa diubah, kecuali ada alasan yang sangat mendesak dan tak
turut.
“Ola Uneng” yang diminta oleh pihak tanta perempuan. Dalam bentuk
gading, mas dan uang. Alasannya karena pelaksaan belis ini harus
1. Hari Pernikahan
27
Setelah proses kesepakatan pembelisan ini selesai dalam pelaksaan,
besar dirumah calon pengantin perempuan, diawali dengan acara ramah tama
“Lue beta jajin sawe wutun plulur pu’an pletuk, plerit meri kosen
perkawinan akan segera dimulai. “Miu laba lepo werun sorong woga braha”
yang artinya tiba saatnya membangun keluarga yang baru. ‘Miu du’a ba’a
gi’it, gi’it dena plamangwoga, au moa’an ba’a mangan, mangan dena jaga
lepo” yang artinya kamu sudah dewasa dan bertanggung jawab untuk
menjaga keutuhan rumah tangga. A’a gete menyerahkan hati babi kepada
kedua mempelai dengan mengucapkan kalimat “ gea sai wawi w’aten ara
plangan, dadi wain nora la’in” yang artinya makanlah hati babi ini sebagai
tanda resmi kamu dua menjadi suami dan isteri. setelah itu a’a gete
mengucapkan kalimat “minu sai tua gahu, donen l’ihan nora lalan”, yang
berdua juglah mengikat dua belah pihak keluarga. Ini pernyataan dari pada
a’a gete untuk pengesahan “Nian tana delo telon, lero wulan bitak natan,
bur degu kokor leong bitak pleur boga baler, bitak gliang ganu unu, gegar
alan nora ewan, dunia dadi adat dadi atabian dadi”. Yang artinya sejak
28
alam diciptakan, terbentuklah pulau-pulau dengan adat yang berbeda-beda,
bila diberkati oleh Sang pencipta yang Maha Esa. Sehingga perkawinan ini
bisa direstui oleh agama sesuai dengan ajaran agama katolik. Jadi dibalik
disebut ola uneng ialah kamar pengantin yang telah dihias seindah mungkin
dan harus dihormati dan hanya dapat dibuka oleh Aa gete yang akan
pria akan dijemput setelahnya, bibi ata atau Aa gete datang menjemput
3. Teo Liman tama ola uneng ( jaba tangan sebelum masuk kamarb pengantin)
Memang sudah menjadi adat bahwa delegasi dari pihak laki-laki, sesudah
29
yaitu memberi balasan atau memberi belis ola uneng kepada keluarga
perempuan sebagai dana kamar pengantin. Ini tidaklah termasuk dalam mas
kawin melainkan suatu dana khusus yang hanya diberikan kepada Aa gete.
4. Ngoro Er’man
Artinya pembersihan lokasi pesta. Biasanya diminta belis apa adanya yang
Terdapat beberapa nilai yang terkandung dalam perkawinan adat SikkaKrowe, antara
1. Nilai sakral
bagi pasangan suami-isteri yang baru saja menikah. Selalu mendoakan agar
2. Nilai kekeluargaan
dan perempun karena dengan adanya pernikahan, kedua keluarga yang pada
30
3. Nilai kehormatan keluarga
4.1.4 Pandangan Para Tokoh Masyarakat Desa Nita Terhadap Belis Dalam
Bagi masyarakat Desa Nita yang berasal dari Sikka sudah jelas menjadikan belis
sebagai syarat dalam tradisi perkawinan mereka, bukan hanya masyarakat Desa Nita
saja tetapi hampir semua daerah yang masyarakatnya merupakan orang asli Maumere
(Sikka) pun begitu. Keunikan dari belis ini adalah pembayarannya tidak hanya
menggunakan uang dan emas tetapi juga menggunakan gading. Belis wajib dibayar
oleh mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang nantinya menjadi isterinya.
semakin tinggi strata mereka, maka semakin banyak jumlah belis yang harus dibayar
oleh calon mempelai laki-laki. Adapun problematika sosiologis dari belis tersebut,
meski bertujuan mulia untuk mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan,
namun belis dapat juga menjadi sumber persoalan dalam rumah tangga yang pada
akhirnya dapat melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini terjadi bila
tuntutan belis terlampaui tinggi melebihi kemampuan finansial seorang laki-laki dan
31
keluarganya. Selain itu jumlah nominal belis yang ditentukan, jika itu besar akan
berdampak pada beban psikologis seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang
berasal dari strata sosial yang tinggi, sehingga banyak perempuan yang pada akhirnya
tidak menikah , hamil di luar nikah, menikah dengan orang luar. Belis juga bisa
menjadi salah satu faktor penyebab seorang suami menelantarkan anak dan isterinya
Tetapi karena adanya keringanan yang bisa diberikan pihak perempuan pada pihak
laki-laki yang tidak sanggup membayar belis secara tuntas, maka sang calon suami
boleh berhutang kepada calon isteri dan keluarganya sampai mereka telah sah
menjadi pasangan suami isteri hutang tersebut akan tetap berlaku hingga ia bisa
melunasinya.
Namun semua ini kembali lagi pada tradisi. Sebab belis merupakan salah satu warisan
dari nenek moyang kita sehingga suka tidak suka tetap akan berlaku seperti itu
Tersebut
Belis merupakan tradisi yang telah mendarah daging bagi masyarakat Kabupaten
Sikka. Perkawinan adat yang diawali dengan pemberian belis pada seorang gadis
mempunyai nilai dan harga diri yang diakui oleh orang tua, seluruh keluarga dan
masyarakat.
32
Hubungan belis dengan perkawinan adat merupakan factor yang paling penting,
untuk mengikat eratnya hubungan keluarga pihak laki-laki dan keluarga pihak
perempuan. Melalui belis setiap acara, keluarga selalu dipanggil, karena sudah terikat
dari belis yang sudah ditentukan yang belum selesai dan perkawinan. Yang berikut
hubungan kekerabatan itu tetap dijaga sampai kapan pun karena itu tidak dapat
dipisahkan. Hubungan belis dengan perkawinan adat ini, juga menentukan status
sosial keluarga. Sebagai contoh, belis yang jumlahnya banyak menunjukan status
social yang tinggi dari satu keluarga.sedangkan yang belisnya rendah itu menunjukan
rendahnya status social dari satu keluarga. Dalam hubungan belis dan perkawinan
adat ini juga dapat memperluas sayap keluarga, mengangkat wibawa dan martabat
keluarga. Contoh dari maksud memperluas sayap keluarga, bila ada acara keluarga
selalu dipanggil dan pihak laki-laki, datang dengan membawa uang atau gading atau
kuda sesuai dengan statusnya. Kemudian ketika mereka pulang akan diberi
balasannya dalam bentuk sarung, beras, tuak dan babi (dikadarkan dengan
pembawaannya). Sehingga belis itu tidak hanya hak dari orang tua kandung, tetapi
33
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
disajikan pada bab sebelumnya, maka dapat penulis menarik kesimpulan yaitu :
1. Tahapan dan proses belis yang dilakukan masih sama seperti dulu meskipun
masih sama.
2. Proses belis dalam perkawinan adat SikkaKrowe ini mengajarkan nilai-nilai yang
34
3. Pandangan dari tokoh masyarakat terhadap belis yang menjadi syarat untuk
keberlakuannya tetap wajib bagi siapa saja yang ingin menikah dengan gadis-
gadis Maumere, Kabupaten Sikka. Karena dengan adanya belis ini , mereka
terhadap harkat martabat dan derajat kaum hawa serta orang tuanya terkhususnya
4. Masyarakat Desa Nita dan masyarakat Kabupaten Sikka pada umumnya masih
untuk mempertahankan tradisi mereka, juga sebagai cara untuk memuliakan para
wanita dan meninggikan derajat wanita sehingga bagi pria yang ingin menikah
dengan gadis Maumere harus mau berjuang memberikan belis sebagai wujud
pengorbanan dan kesungguhan, juga sebagai cara untuk memuliakan calon isteri
5.2 Saran
1. Kepada Pembaca
Diharapkan bagi para pembaca yang telah membaca karya ilmiah ini dapat
menyadari bahwa adat-istiadat tentang belis dan proses perkawinan adat Sikka
35
Krowe sangatlah penting. Maka dari itu, pembaca harus teliti dalam membaca
sehingga dapat memahami tradisi Sikka Krowe dan dapat menambah wawasan.
2. Kepada Masyarakat
dengan perkawinan adat ini, dan tetap menjaga tradisi ini dengan baik, agar
tidak hilang karena perubahan zaman, sehingga generasi muda dapat terus
melestarikannya.
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
37
BIOGRAFI NARASUMBER
38
Riwayat pekerjaan : Selama menjadi guru, beliau mengajar di SMPK Lambunga
Adonara pada tahun 1967. Kemudian pada tahun 1968-1971,
beliau mengajar di SMPK Kimang Buleng. Tahun 1971-1983,
menjadi guru di SMP Negeri Nita. Beliau kemudian diangkat
menjadi Kepala SMP Wolon Walu pada tahun 1983-1985.
Pada tahun 1985-2000, beliau mengajar di SMP Negeri
Kewapante Ili sampai dengan pensiun.
39