Anda di halaman 1dari 76

TUGAS TERSTRUKTUR MATERI-1

RANGKUMAN MATERI JEMBATAN BESERTA


FORMULASINYA SESUAI SNI, AASTHO DAN BSN
Dosen Pengampu
Ir Tondi Amirsyah Putera Pulungan, ST, MT

Disusun Oleh :
Kelompok 2
Awaluddin 2007210079
Muhkamal Barid Sihombing 2007210077
Rayhan Khan Marikan 2007210082
Zahrani Fadhila 2007210096

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
TEMA 1 - DESAIN DAN METODE ANALISIS BEBAN-BEBAN PADA
JEMBATAN

DASAR TEORI
Standar ini menetapkan persyaratan minimum untuk pembebanan beserta
batasan penggunaan setiap beban, faktor beban dan kombinasi pembebanan yang
digunakan untuk perencanaan jembatan jalan raya, termasuk jembatan pejalan kaki
serta bangunan sekunder yang terkait dengan jembatan tersebut. Ketentuan
mengenai pembebanan juga dapat digunakan untuk penilaian/evaluasi struktur
jembatan yang sudah beroperasi. Jika jembatan diharapkan untuk memenuhi
beberapa tingkat kinerja, pemilik jembatan bertanggung jawab untuk menentukan
tingkat kinerja yang diinginkan. Standar ini juga memberikan faktor beban
minimum yang diperlukan untuk menentukan besarnya beban-beban rencana
selama masa konstruksi. Persyaratan tambahan untuk pembangunan jembatanbeton
segmental ditentukan dalam tata cara perencanaan jembatan beton. Dalam hal
khusus, beban-beban dan aksi-aksi serta metode penerapannya boleh dimodifikasi
dengan seizin pemilik pekerjaan.
Faktor beban untuk setiap beban untuk setiap kombinasi pembebanan harus
diambil seperti yang ditentukan dalam Tabel 1. Perencana harus menyelidiki bagian
parsial dari kombinasi pembebanan yang dapat terjadi harus diinvestigasi dimana
setiap beban yang diindikasikan untuk diperhitungkan dalam kombinasi
pembebanan harus dikalikan dengan faktor beban yang sesuai. Hasil perkalian
harus dijumlahkan sebagaimana ditentukan dalam Persamaan 1 dan dikalikan
dengan faktor pengubah seperti yang ditentukan dalam Pasal 5.
Faktor beban harus dipilih sedemikian rupa untuk menghasilkan kondisi
ekstrem akibat beban yang bekerja. Untuk setiap kombinasi pembebanan harus
diselidiki kondisi ekstrem maksimum dan minimum. Dalam kombinasi
pembebanan dimana efek salah satu gaya mengurangi efek gaya yang lain, maka
harus digunakan faktor beban terkurangi untuk gaya yang mengurangi tersebut.
Untuk beban permanen, harus dipilih faktor beban yang menghasilkan kombinasi
pembebanan kritis. Jika pengaruh beban permanen adalah meningkatkan stabilitas
atau kekuatan komponen jembatan, maka perencana harus memperhitungkan
pengaruh faktor beban terkurangi (minimum).

2
Jika komponen pracetak dan prategang digunakan dan dikombinasikan
dengan balok baja, pengaruh dari hal-hal berikut harus diperhitungkan sebagai
beban konstruksi (PL) :
• Friksi antara dek pracetak dan balok baja jika penarikan strand longitudinal
pada pelat pracetak dilakukan sebelum pelat disatukan dengan balok
menjadi penampang komposit.
• Gaya induksi pada balok baja dan shear connector jika penarikan
tendon/strand longitudinal pada pelat pracetak dilakukan setelah dek
disatukan dengan balok menjadi penampang komposit.
• Pengaruh adanya rangkak dan susut yang berbeda pada balok bajadan pelat
beton.
• Pengaruh efekPoisson yang berbeda pada balok baja dan pelat.

1. Faktor beban pada masa konstruksi


a. Evaluasi pada keadaan batas kekuatan
Perencana harus menyelidiki semua kombinasi pembebanan pada keadaan
batas kekuatan yang diatur pada Tabel 1 yang dimodifikasi pada pasal ini. Faktor
beban untuk berat sendiri struktur dan kelengkapannya MS dan MA, tidak boleh

3
diambil kurang dari 1,25 pada waktu melakukan pemeriksaan keadaan batas
kekuatan kombinasi I, III, dan V selama masa konstruksi. Kecuali ditentukan lain
oleh pemilik pekerjaan, faktor beban untuk beban pelaksanaan dan setiap efek
dinamis yang terkait harus diambil tidak kurang dari 1,5 untuk keadaan batas
kekuatan kombinasi I. Faktor beban untuk beban angin pada Keadaan Batas
Kekuatan Kombinasi III tidak boleh kurang dari 1,25.
b. Evaluasi pada keadaan batas kekuatan
Perencana harus menyelidiki semua kombinasi pembebanan pada keadaan
batas kekuatan yang diatur pada Tabel 1 yang dimodifikasi pada pasal ini. Faktor
beban untuk berat sendiri struktur dan kelengkapannya MS dan MA, tidak boleh
diambil kurang dari 1,25 pada waktu melakukan pemeriksaan keadaan batas
kekuatan kombinasi I, III, dan V selama masa konstruksi. Kecuali ditentukan lain
oleh pemilik pekerjaan, faktor beban untuk beban pelaksanaan dan setiap efek
dinamis yang terkait harus diambil tidak kurang dari 1,5 untuk keadaan batas
kekuatan kombinasi I. Faktor beban untuk beban angin pada Keadaan Batas
Kekuatan Kombinasi III tidak boleh kurang dari 1,25.
c. Faktor beban untuk pendongkrakan dan gaya paska tarik
1. Gaya dongkrak
Kecuali ditentukan lain oleh pemilik pekerjaan, besarnya gaya rencana
minimum untuk pendongkrakan adalah 1,3 kali besarnya reaksi akibat beban
permanen pada perletakan, diberlakukan pada posisi dengan dongkrak dipasang.
Jika jembatan tidak ditutup untuk lalu lintas selama proses pengangkatan, maka
gaya pendongkrakan harus memperhitungkan reaksi yang timbul akibat beban
hidup tersebut, konsisten dengan pengaturan lalu lintas selama masa pengangkatan,
dikalikan dengan faktor beban untuk beban hidup.
2. Gaya untuk perencanaan zona angkur tendon paska tarik
Gaya rencana minimum yang digunakan dalam perencanaan zona angkur
tendon paska tarik adalah 1,2 kali gaya pendongkrakan maksimum.

2. Beban permanen
a. Umum
Massa setiap bagian bangunan harus dihitung berdasarkan dimensi yang
tertera dalam gambar dan berat jenis bahan yang digunakan. Berat dari bagian-
bagian bangunan tersebut adalah massa dikalikan dengan percepatan gravitasi (g).
Percepatan gravitasi yang digunakan dalam standar ini adalah 9,81 m/detik2.
Besarnya kerapatan massa dan berat isi untuk berbagai macam bahan diberikan
dalam Tabel 2 :

4
Pengambilan kerapatan massa yang besar, aman untuk suatu keadaan batas
akan tetapi tidak untuk keadaan yang lainnya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat
digunakan faktor beban terkurangi. Akan tetapi, apabila kerapatan massa diambil
dari suatu jajaran nilai, dan nilai yang sebenarnya tidak bisa ditentukan dengan
tepat, perencana harus memilih di antara nilai tersebut yang memberikan keadaan
yang paling kritis. Beban mati jembatan merupakan kumpulan berat setiap
komponen struktural dan non-struktural. Setiap komponen ini harus dianggap
sebagai suatu kesatuan aksi yang tidak terpisahkan pada waktu menerapkan faktor
beban normal dan faktor beban terkurangi. Perencana jembatan harus menggunakan
keahliannya di dalam menentukan komponen- komponen tersebut.
b. Berat sendiri (MS)
Berat sendiri adalah berat bagian tersebut dan elemen-elemen struktural lain
yang dipikulnya, termasuk dalam hal ini adalah berat bahan dan bagian jembatan
yang merupakan elemen struktural, ditambah dengan elemen nonstruktural yang
dianggap tetap. Adapun faktor beban yang digunakan untuk berat sendiri dapat
dilihat pada Tabel 3.

5
c. Beban mati tambahan/utilitas (MA)
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu
beban pada jembatan yang merupakan elemen nonstruktural, dan besarnya dapat
berubah selama umur jembatan. Dalam hal tertentu, nilai faktor beban mati
tambahan yang berbeda dengan ketentuan pada Tabel 4 boleh digunakan dengan
persetujuan instansi yang berwenang. Hal ini bisa dilakukan apabila instansi
tersebut melakukan pengawasan terhadap beban mati tambahan pada jembatan,
sehingga tidak dilampaui selama umur jembatan.

• Ketebalan yang diizinkan untuk pelapisan kembali permukaan


Semua jembatan harus direncanakan untuk bisa memikul beban tambahan
yang berupa aspal beton setebal 50 mm untuk pelapisan kembali di kemudian hari
kecuali ditentukan lain oleh instansi yang berwenang. Lapisan ini harus
ditambahkan pada lapisan permukaan yang tercantum dalam gambar rencana.
• Sarana lain di jembatan
Pengaruh dari alat pelengkap dan sarana umum yang ditempatkan pada
jembatan harus dihitung seakurat mungkin. Berat pipa untuk saluran air bersih,
saluran air kotor dan lain-lainnya harus ditinjau pada keadaan kosong dan penuh
sehingga keadaan yang paling membahayakan dapat diperhitungkan.
d. Beban akibat tekanan tanah (TA)
Koefisien tekanan tanah nominal harus dihitung berdasarkan sifat-sifat
tanah. Sifat-sifat tanah (kepadatan, kadar kelembaban, kohesi sudut geser dalam
dan lain sebagainya) harus diperoleh berdasarkan hasil pengukuran dan pengujian
tanah baik di lapangan ataupun laboratorium. Bila tidak diperoleh data yang cukup
maka karakteristik tanah dapat ditentukan sesuai dengan ketentuan pada pasal ini.
Tekanan tanah lateral mempunyai hubungan yang tidak linier dengan sifat-sifat
bahan tanah. Tekanan tanah lateral pada keadaan batas daya layan dihitung

berdasarkan nilai nominal dari .

6
Tanah di belakang dinding penahan biasanya mendapatkan beban tambahan
yang bekerja apabila beban lalu lintas bekerja pada bagian daerah keruntuhan aktif
teoritis. Besarnya beban tambahan ini adalah setara dengan tanah setebal 0,7 m yang
bekerja secara merata pada bagian tanah yang dilewati oleh beban lalu lintas
tersebut. Beban tambahan ini hanya diterapkan untuk menghitung tekanan tanah
dalam arah lateral saja, dan faktor beban yang digunakan harus sama seperti yang
telah ditentukan dalam menghitung tekanan tanah arah lateral. Faktor pengaruh
pengurangan dari beban tambahan ini tidak perlu diperhitungkan.
Tekanan tanah lateral dalam keadaan diam umumnya tidak diperhitungkan
pada keadaan batas kekuatan. Apabila keadaan demikian timbul, maka faktor beban
untuk keadaan batas kekuatan yang digunakan untuk menghitung nilai rencana dari
tekanan tanah dalam keadaan diam harus sama seperti untuk tekanan tanah dalam
keadaan aktif. Faktor beban pada keadaan batas daya layan untuk tekanan tanah
dalam keadaan diam adalah 1,0, tetapi harus hati-hati dalam pemilihan nilai
nominal yang memadai pada waktu menghitung tekanan tanah.
• Koefisien tekanan tanah aktif (ka)

Nilai-nilai untuk koefisien tekanan tanah lateral aktif dapat diambil sebagai berikut:

7
Untuk kondisi yang tidak sesuai dengan yang dijelaskan dalam Gambar 1,
tekanan aktif dapat dihitung dengan menggunakan prosedur yang didasarkan pada
teori irisan dengan menggunakan Metode Culmann.

8
• Koefisien tekanan tanah pasif (kp)
Untuk tanah nonkohesif, nilai koefisien tekanan tanah lateral pasif dapat
diambil dari Gambar 2 untuk kasus dinding miring atau vertikal dengan timbunan
yang rata dan Gambar 3 untuk kasus dinding vertikal dan timbunan miring. Untuk
kondisi lain yang berbeda dari yang dijelaskan dalam Gambar 2 dan Gambar 3,
tekanan pasif dapat dihitung dengan menggunakan prosedur berdasarkan teori
irisan. Ketika teori irisan yang digunakan, nilai batas sudut geser dinding tidak
boleh diambil lebih besar dari satu setengah sudut geser Untuk tanah kohesif,
tekanan pasif dapat dihitung dengan :

9
10
• Tekanan tanah lateral untuk dinding kantilever nongravitasi
Untuk dinding permanen, distribusi tekanan tanah lateral penyederhanaan
yang ditunjukkan pada Gambar 4 hingga Gambar 6 dapat digunakan. Jika dinding
mendukung atau didukung oleh tanah kohesif untuk penggunaan sementara,
dinding dapat dirancang berdasarkan metode analisis tegangan total dan parameter
kuat geser undrained. Untuk itu, distribusi tekanan tanah penyederhanaan seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 7 hingga Gambar 8 dapat digunakan dengan batasan
sebagai berikut :
➢ Rasio tekanan overburden total untuk kuat geser undrained, Ns harus kurang
dari 3 di dasar dinding.
➢ Tekanan tanah aktif tidak boleh kurang dari 0,25 kali tekanan overburden
efektif pada setiap kedalaman, atau 5,5 kPa/m ketinggian dinding, diambil
yang terbesar.
Untuk dinding sementara dengan elemen vertikal diskrit tertanam dalam
tanah butiran atau batuan, Gambar 4 dan Gambar 5 dapat digunakan untuk

11
menentukan tahan pasif, kemudian Gambar 7 dan Gambar 8 dapat digunakan untuk
menentukan tekanan tanah aktif. Bila elemen dinding vertikal diskrit digunakan
untuk perletakan, maka lebar b dari setiap elemen vertikal harus diasumsikan sama
dengan lebar sayap atau diameter elemen untuk penampang yang didorong dan
diameter lubang untuk penampang yang akan diisi beton. Besarnya beban tambahan
di atas dinding untuk penentuan Pa2 pada Gambar 7 harus berdasarkan irisan tanah
di atas dinding pada area tekanan aktif. Pada Gambar 8, sebagian “Hak cipta Badan
Standardisasi Nasional, copy standar ini dibuat untuk KT 91-01 Bahan Konstruksi
Bangunan & Rekayasa Sipil, dan tidak untuk dikomersialkan” SNI 1725:2016 ©
BSN 2016 22 dari 67 pembebanan negatif pada atas dinding karena kohesi
diabaikan dan tekanan hidrostatik dalam retak tarik harus diperhitungkan, namun
tidak ditampilkan pada gambar.

12
13
14
15
Tekanan tanah pada dinding terangkur
Untuk dinding angkur yang dibuat dari atas ke bawah, tekanan tanah
diestimasi sesuai Pasal 7.4.4.11.1 dan 7.4.4.11.2. Dalam perencanaan tekanan untuk
dinding terangkur, perlu diperhitungkan perpindahan dinding yang dapat
mempengaruhi struktur yang berdekatan dan/atau utilitas bawah tanah. 7.4.4.11.1.
➢ Tanah non kohesif
Tekanan tanah pada dinding angkur sementara maupun permanen yang
dibuat pada tanah non kohesif dapat ditentukan sesuai Gambar 11, dengan ordinat
maksimum dari diagram tegangan yang dihitung sebagai berikut :

16
➢ Tanah kohesif
Distribusi tekanan tanah untuk tanah kohesif berkaitan dengan angka
stabilitas (Ns) yang didefinisikan sebagai :

17
CONTOH

18
19
20
21
22
23
KASUS
Pemodelan jembatan dilakukan dengan menggunakan software CSI Bridge
ver 22. Jembatan Cisomang adalah jembatan dua jalur yang memiliki panjang
252,13 m dengan lebar satu jalur sebesar 12,6 m. Struktur jembatan terdiri dari tujuh
span dan memiliki kemiringan vertikal sebesar 1,92 %. Super- struktur jembatan
pada satu jalur terdiri dari empat girder dengan tipe girder Precast Concrete I (PCI).
Jembatan ini dimodelkan dalam bentuk simple beam dan segmental bridge. Hasil
dari pemodelan Jem- batan Cisomang ditunjukan pada Gambar :

Data teknis Jembatan Cisomang adalah sebagai berikut:


Panjang Jembatan : 252,13 m
Lebar Total Jembatan : 26,9 m
Lebar Jembatan (1 jalur) : 12,6 m
Jenis Girder : PCI H-210
Kemiringan Vertikal : 1,92 %
Jumlah Span :7
Jumlah lokasi Pier : 6 lokasi
Mutu Beton pier : 30 MPa
Mutu Beton PCI Girder : 55 MPa
Mutu Beton deck : 20 MPa
Jumlah jalur dan lajur : 2 dan 6

24
Jembatan Cisomang memiliki dua deck jembatan yang ditopang pada satu
lokasi pier head. Ber- dasarkan Tabel 1 tinggi pilar jembatan memiliki variasi yang
beragam. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh kontur di bawah jembatan. Data
teknis panjang span dapat dilihat pada Tabel 2.

Pembebanan yang diinputkan pada Jembatan Cisomang menggunakan


program CSI Bridge mengacu pada SNI 1725:2016. Kombinasi beban layan
merupakan kombinasi pembebanan yang digunakan untuk menghitung lendutan.
Kombinasi beban ultimit merupakan kombinasi pembebanan akibat beban terfaktor
yang digunakan untuk menghitung tulangan [7]. Kombinasi dan faktor beban untuk
struktur jembatan dapat dilihat pada Tabel 3.

25
Analisis gempa dinamis dilakukan menggunakan grafik respon spektrum.
Pembuatan respon spektrum gempa dilakukan berdasarkan klasifikasi profil tanah.
Data tanah yang digunakan yaitu data tanah pada kedalaman 30 m di bawah struktur
jembatan sesuai dengan peraturan SNI 1725:2016 dan Buku Peta Gempa Indonesia
Tahun 2017. Tujuan dari analisis probabilitas gerak tanah situs spesifik adalah
untuk menghasilkan respon spektra percepatan yang memperhitungkan
kemungkinan terlampaui 7% dalam 75 tahun pada nilai spektra dalam rentang
periode yang ditentukan. Sedikitnya dilakukan dua jenis penyelidikan tanah dalam
pengkalsifikasian jenis tanah [7]. Klasifikasi kelas situs pada analisis beban gempa
ini ditentukan dari nilai rata-rata hasil uji penetrasi standar (NSPT) dan cepat rambat
gelombang geser (VS). Hasil perhitungan NSPT dan VS dapat dilihat pada Tabel 4.

26
(" Pembebanan Untuk Jembatan Badan Standardisasi Nasional, 2016)

(Khairurrijal et al., 2022)

27
TEMA 2 - DASAR-DASAR ANALISIS DAN MERENCANAKAN
STRUKTUR ATAS BETON BERTULANG

DASAR TEORI
Standar perencanaan struktur beton untuk jembatan disusun sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan acuan bagi para perencana jembatan. Standar ini merupakan
penyempurnaan dari konsep “ Bridge Design Code ” bagian 6 yaitu “ Concrete
Design ” yang telah disusun pada tahun 1992 oleh Direktorat Jenderal Bina Marga,
Departemen Pekerjaan Umum dengan dana hibah dari Pemerintah Australia. Pada
tahun 2000, Kementrian Pekerjaan Umum, menyusun konsep Tata Cara
Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan yang berdasarkan konsep yang telah
disusun pada tahun 1992. Pada tahun 2002, Balai Jembatan dan Bangunan
Pelengkap Jembatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Prasarana Transportasi,
Badan Penelitian dan Pengembangan Kimpraswil menyelesaikan konsep yang telah
disusun pada tahun 2000 tersebut dan mengusulkan agar dapat diajukan menjadi
Standar Nasional Indonesia (SNI).
Menindak lanjuti usulan tersebut, Panitia Teknik Standarisasi Bidang
Konstruksi dan Bangunan melalui Gugus Kerja Konstruksi Jembatan dan Sub
Panitia Teknik Standarisasi Bidang Prasarana Transportasi melakukan serangkaian
pembahasan untuk mengkonversi penulisan konsep tata cara menjadi Rancangan
SNI sesuai Pedoman BSN No.8 tahun 2000. Pada proses perumusannya, standar ini
mengacu pada SNI, AASHTO, ASTM, EUROCODE dan AUSTROAD, dan juga
melibatkan para nara sumber dan pakar dalam bidang teknologi beton dan
perencanaan yang berkompeten di bidang jalan dan jembatan. Standar perencanaan
struktur beton untuk jembatan ini mempersyaratkan pemenuhan terhadap ketentuan
minimum bagi para perencana dalam perancangan dan pelaksanaan jembatan di
Indonesia, sehingga struktur yang dihasilkan dari pekerjaan tersebut memenuhi
persyaratan keamanan, kenyamanan, kemudahan pelaksanaan, ekonomis dan
bentuk estetika. Selain menjadi acuan bagi para perencana dan pelaksana jembatan
di Indonesia, standar ini juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai materi
pengajaran di tingkat universitas dalam pembentukan sumber daya manusia yang
handal dalam perancangan konstruksi jembatan di seluruh Indonesia.
Standar Perencanaan Struktur Beton untuk Jembatan ini digunakan untuk
merencanakan jembatan jalan raya dan jembatan pejalan kaki di Indonesia, yang
menggunakan komponen struktur beton bertulang dan beton prategang dengan
memakai beton normal, dan dengan panjang bentang tidak lebih dari 100 meter.
Untuk jembatan berbentang panjang (> 100 m), atau yang menggunakan sistem
struktur khusus, atau material khusus, atau cara pelaksanaan yang khusus, perlu
diperhatikan kondisi-kondisi khusus yang sesuai, di mana usulan dan analisis
struktur yang telah memperhitungkan kondisi-kondisi khusus tersebut harus
dilakukan secara rinci, dan diserahkan kepada yang berwenang beserta semua

28
pembuktian kebenarannya. Beton normal yang dimaksud dalam standar ini adalah
beton yang dibuat dengan menggunakan semen portland, mempunyai massa jenis
sekitar 2400 kg/m 3, dan mempunyai kuat tekan (berdasarkan benda uji silinder)
antara 20 MPa sampai dengan 60 MPa (setara dengan K250 – K700 berdasarkan
benda uji kubus), termasuk beton ringan yang mempunyai massa jenis tidak kurang
dari 2000 kg/m3 dan mempunyai kuat tekan antara 20 MPa sampai dengan 40 MPa.
Walaupun demikian, standar ini bisa berlaku untuk penggunaan beton bermutu
tinggi dengan kuat tekan yang lebih tinggi dari 60 MPa, atau beton ringan dengan
massa jenis yang kurang dari 2000 kg/m 3, asalkan bila dianggap perlu bisa
dilakukan penyesuaian pada perilaku material beton tersebut, berdasarkan suatu
acuan teknis atau hasil penelitian yang bisa diterima oleh yang berwenang.
• Acuan normatif
Standar ini menggunakan acuan dokumen yang dipublikasikan sebagai berikut :
SNI 03-2458-1991, Metode pengambilan contoh campuran beton segar
SNI 03-2492-1991, Metode pengambilan contoh benda uji beton inti
SNI 03-2495-1991, Spesifikasi bahan tambahan untuk beton
SNI 03-2847-1992, Tata cara penghitungan struktur beton untuk bangunan gedung
SNI 03-3403-1994, Metode pengujian kuat tekan beton inti pemboran
SNI 03-3449-1994, Tata cara pembuatan campuran dengan agregat ringan untuk
beton ringan
SNI 03-3976-1995, Tata cara pengadukan dan pengecoran beton
SNI 03-4433-1997, Spesifikasi beton siap pakai
SNI 03-2834-2000, Tata cara pembuatan rencana campuran beton normal
SNI 07-1050-1989, Baja tulangan untuk konstruksi beton pratekan
SNI 07-1051-1989, Kawat baja karbon tinggi untuk konstruksi beton pratekan
SNI 07-1154-1989, Kawat baja tanpa lapisan bebas tegangan untuk konstruksi
beton pratekan, jalinan tujuh
SNI 07-2529-1991, Metode pengujian kuat tarik baja beton
SNI 07-3651.1-1995, Kawat baja beton pratekan, Bagian 1 - Persyaratan umum
SNI 07-3651.2-1995, Kawat baja beton pratekan, Bagian 2 – Kawat tarik dingin
SNI 07-3651.4-1995, Kawat baja beton pratekan, Bagian 4 - Pilinan
AASHTO, ASTM
AASHTO sixteenth edition, 1996
AASHTO T26-79, Quality of water to be used in concrete
AASHTO M31-95, Deformed and plain billet-steel bar for concrete reinforcement
AASHTO M32-94, Cold drawn steel wire for concrete reinforcement
ASTM A 421-91, Uncoated stress-relieved wire for prestresses concrete
ASTM A 722, Uncoated high-strength steel bar for prestresses concrete
ASTM C 494, Water reducing, retarding, accelerating, high range concrete
ASTM C 618, Pozzolans, fly ash and other mineral admixtures

1. Syarat umum perencanaan struktur beton


a. Umur rencana jembatan

29
Umur rencana jembatan pada umumnya disyaratkan 50 tahun. Namun untuk
jembatan penting dan/atau berbentang panjang, atau yang bersifat khusus,
disyaratkan umur rencana 100 tahun. Standar ini menggunakan sistem Satuan
Internasional.
2. Dasar umum perencanaan
Perencanaan harus berdasarkan pada suatu prosedur yang memberikan
jaminan keamanan pada tingkat yang wajar, berupa kemungkinan yang dapat
diterima untuk mencapai suatu keadaan batas selama umur rencana jembatan.
Perencanaan kekuatan balok, pelat, kolom beton bertulang sebagai komponen
struktur jembatan yang diperhitungkan terhadap lentur, geser, lentur dan aksial,
geser dan puntir, harus didasarkan pada cara Perencanaan berdasarkan Beban dan
Kekuatan Terfaktor (PBKT). Untuk perencanaan komponen struktur jembatan yang
mengutamakan suatu pembatasan tegangan kerja, seperti untuk perencanaan
terhadap lentur dari komponen struktur beton prategang penuh, atau komponen
struktur lain sesuai kebutuhan perilaku deformasinya, atau sebagai cara perhitungan
alternatif, dapat digunakan cara Perencanaan berdasarkan Batas Layan (PBL).
Di samping itu, perencanaan harus memperhatikan faktor integriti
komponen-komponen struktur maupun keseluruhan jembatan, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor berikut:
✓ Kontinuitas dan redundansi.
✓ Semua komponen struktur jembatan harus mempunyai ketahanan
yang terjamin terhadap kerusakan dan instabilitas sesuai umur
jembatan yang direncanakan.
✓ Aspek perlindungan eksternal terhadap kemungkinan adanya beban
yang tidak direncanakan atau beban berlebih.

3. Perencanaan berdasarkan beban dan kekuatan terfaktor (PBKT)


Perencanaan komponen struktur jembatan harus didasarkan terutama pada
cara Perencanaan berdasarkan Beban dan Kekuatan Terfaktor (PBKT), yang harus
memenuhi kriteria keamanan untuk semua jenis gaya dalam di dalam semua
komponen struktur jembatan sebagai:

di mana pada sisi kiri mewakili kekuatan rencana dari penampang komponen
struktur jembatan, yang bisa dihitung dari R n (besaran ketahanan atau kekuatan
nominal dari penampang komponen struktur) dikalikan dengan suatu faktor reduksi
kekuatan φ; dan sisi kanan mewakili dampak batas ultimit atau yang paling
membahayakan dari beban-beban, yang bisa dihitung berdasarkan penjumlahan
terkombinasi dari jenis-jenis beban yang berbeda Qi, yang masing-masing
diberikan suatu faktor beban γi. Dengan demikian perencanaan secara PBKT

30
dilakukan untuk mengantisipasi suatu kondisi batas ultimit, yang bisa terjadi antara
lain dari:
✓ Terjadi keruntuhan lokal pada satu atau sebagian komponen struktur
jembatan.
✓ Kehilangan keseimbangan statis karena terjadi keruntuhan atau kegagalan
pada sebagian komponen struktur atau keseluruhan struktur jembatan.
✓ Keadaan purna-elastis atau purna-tekuk di mana satu bagian komponen
jembatan atau lebih mencapai kondisi runtuh.
✓ Kerusakan akibat fatik dan/atau korosi sehingga terjadi kehancuran.
✓ Kegagalan dari pondasi yang menyebabkan pergeseran yang berlebihan
atau keruntuhan bagian utama dari jembatan.

4. Metode analisis
Analisis untuk semua keadaan batas harus didasarkan pada anggapan-
anggapan elastis linier, kecuali bila cara-cara non-linier secara khusus memang
dianggap perlu atau secara tidak langsung dinyatakan dalam standar ini,
dan/atau bila disetujui oleh yang berwenang. Di samping itu, dalam perhitungan
struktur beton harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
•Analisis perhitungan struktur harus dilakukan dengan cara mekanika
teknik yang baku.
• Bila dilakukan analisis struktur dengan menggunakan program
komputer yang khusus, maka perlu disampaikan penjelasan prinsip
dan alur kerja dari program bersangkutan.
• Percobaan model komponen atau keseluruhan struktur jembatan
terhadap suatu pembebanan khusus bisa dilakukan bila diperlukan
untuk menunjang analisis teoritis.
• Analisis dengan menggunakan model matematik bisa dilakukan,
asalkan model tersebut memang bisa diterapkan pada struktur
jembatan dan dapat dibuktikan kebenarannya, atau sudah teruji
kehandalannya dalam analisis-analisis struktur terdahulu.
5. Metode perencanaan khusus
Standar ini tidak menutup kemungkinan bagi penggunaan sistem
struktur jembatan atau bahan-bahan yang tidak disebutkan secara khusus dalam
standar ini. Bila suatu analisis perencanaan yang rasional diusulkan untuk
menggantikan batasan atau ketentuan yang ada dalam standar ini, atau bila
diusulkan menyimpang dari persyaratan yang digunakan dalam standar ini,
terutama untuk suatu jenis atau sistem struktur jembatan yang khusus, atau untuk
suatu jembatan dengan cara pelaksanaan yang khusus, maka analisis perencanaan
yang telah memperhitungkan kondisi-kondisi khusus tersebut harus dilakukan
secara rinci, dan diserahkan kepada yang berwenang beserta semua pembuktian
kebenarannya. Walaupun demikian, beberapa batasan dan ketentuan umum untuk
perencanaan struktur jembatan yang khusus diberikan dalam bagian 8 “Ketentuan

31
untuk perencanaan struktur khusus”, yang antara lain mencakup jenis jembatan
sebagai berikut:
- Jembatan dengan tipe gelagar boks (box girder).
- Jembatan gelagar boks segmental pracetak.
- Jembatan gelagar boks segmental dengan cara pelaksanaan kantilever.
- Jembatan kabel (cable stayed).
- Jembatan gelagar pelengkung (Arch bridge)

6. Kekuatan nominal
a. Kuat tekan
Bila tidak disebutkan lain dalam spesifikasi teknik, kuat tekan harus
diartikan sebagai kuat tekan beton pada umur 28 hari, f c’, dengan berdasarkan
suatu kriteria perancangan dan keberhasilan sebagai berikut:
• Ditetapkan berdasarkan prosedur probabilitas statistik dari hasil pengujian
tekan pada sekelompok benda uji silinder dengan diameter 150 mm dan
tinggi 300 mm, dinyatakan dalam satuan MPa, dengan kemungkinan
kegagalan sebesar 5%.
• Sama dengan mutu kekuatan tekan beton yang ditentukan dalam kriteria
perencanaan, dengan syarat perawatan beton tersebut sesuai dengan
spesifikasi yang ditentukan.
• Mencapai tingkat keberhasilan dalam pelaksanaan, berdasarkan hasil
pengujian pada benda uji silinder, dinyatakan dalam satuan MPa, yang
memenuhi kriteria keberhasilan sebagaimana disyaratkan dalam pasal
4.4.1.10.

Dalam segala hal, beton dengan kuat tekan (benda uji silinder) yang
kurang dari 20 Mpa tidak dibenarkan untuk digunakan dalam pekerjaan struktur
beton untuk jembatan, kecuali untuk pembetonan yang tidak dituntut persyaratan
kekuatan. Dalam hal komponen struktur beton prategang, sehubungan dengan
pengaruh gaya prategang pada tegangan dan regangan beton, baik dalam jangka
waktu pendek maupun jangka panjang, maka kuat tekan beton disyaratkan untuk
tidak lebih rendah dari 30 MPa.
b. Kuat tarik
Kuat tarik langsung dari beton, f ct, bisa diambil dari ketentuan:
✓ 0,33 √f c ’ MPa pada umur 28 hari, dengan perawatan standar; atau
✓ Dihitung secara probabilitas statistik dari hasil pengujian.
c. Kuat tarik lentur
Kuat tarik lentur beton, fcf, bisa diambil sebesar:
✓ 0,6 √f c ’ MPa pada umur 28 hari, dengan perawatan standar; atau
✓ Dihitung secara probabilitas statistik dari hasil pengujian.

7. Tegangan ijin
a. Tegangan ijin tekan pada kondisi batas layan

32
Tegangan tekan dalam penampang beton, akibat semua kombinasi
beban tetap pada kondisi batas layan lentur dan/atau aksial tekan, tidak boleh
melampaui nilai 0,45 f c ’, di mana f c ’ adalah kuat tekan beton yang direncanakan
pada umur 28 hari, dinyatakan dalam satuan MPa.

b. Tegangan ijin tekan pada kondisi beban sementara atau kondisi


transfer gaya prategang untuk komponen beton prategang
Untuk kondisi beban sementara, atau untuk komponen beton prategang
pada saat transfer gaya prategang, tegangan tekan dalam penampang beton tidak
boleh melampaui nilai 0,60 f ci ’, di mana f ci ’ adalah kuat tekan beton yang
direncanakan pada umur saat dibebani atau dilakukan transfer gaya prategang,
dinyatakan dalam satuan MPa.

8. Susut beton
Bila tidak dilakukan pengukuran atau pengujian secara khusus, nilai
regangan susut rencana beton pada umur t (hari), untuk beton yang dirawat basah
di lokasi pekerjaan, bisa ditentukan berdasarkan rumusan di bawah ini:

33
34
9. Rangkak pada beton
Rangkak, yang merupakan regangan jangka panjang yang tergantung
waktu pada suatu kondisi tegangan tetap, dan yang akan mengakibatkan suatu
tambahan regangan terhadap regangan elastis beton, bisa dihitung dalam
perbandingannya terhadap regangan elastis, melalui suatu koefisien rangkak φcc(t),
di mana:

εe merupakan regangan elastis sesaat, yang diakibatkan oleh bekerjanya


suatu tegangan tetap. Dalam hal koefisien rangkak φcc(t), bila tidak dilakukan
pengukuran atau pengujian secara khusus, bisa dihitung dari rumusan:

35
Dalam hal ini, yang disebut sebagai suatu kondisi standar adalah:
- Kelembaban relatif udara setempat H = 70 %
- Ketebalan minimum komponen beton d = 15 cm
- Konsistensi (slump) adukan beton s = 7,5 cm
- Kadar agregat halus dalam beton F = 50 %
- Kadar udara dalam beton AC = 6 %.

36
KASUS BESERTA CONTOH
Perhitungan kekuatan dari suatu penampang yang terlentur harus
memperhitungkan keseimbangan dari tegangan dan kompatibilitas regangan, serta
konsisten dengan anggapan:
- Bidang rata yang tegak lurus sumbu tetap rata setelah mengalami lentur.
- Beton tidak diperhitungkan dalam memikul tegangan tarik.
- Distribusi tegangan tekan ditentukan dari hubungan tegangan-regangan beton.
- Regangan batas beton yang tertekan diambil sebesar 0,003.
Hubungan antara distribusi tegangan tekan beton dan regangan dapat
berbentuk persegi, trapesium, parabola atau bentuk lainnya yang menghasilkan
perkiraan kekuatan yang cukup baik terhadap hasil pengujian yang lebih
menyeluruh. Walaupun demikian, hubungan distribusi tegangan tekan beton dan
regangan dapat dianggap dipenuhi oleh distribusi tegangan beton persegi ekivalen,
yang diasumsikan bahwa tegangan beton = 0,85 f c ’ terdistribusi merata pada
daerah tekan ekivalen yang dibatasi oleh tepi tertekan terluar dari penampang dan
suatu garis yang sejajar dengan sumbu netral sejarak a = β1c dari tepi tertekan
terluar tersebut. Jarak c dari tepi dengan regangan tekan maksimum ke sumbu netral
harus diukur dalam arah tegak lurus sumbu tersebut.

37
Pembengkokan ujung dari tulangan geser
Tulangan geser harus dibengkokan dengan cukup baik dan merupakan
sengkang tertutup seperti gambar di bawah ini.

Kekuatan pelat lantai terhadap geser harus ditentukan sesuai dengan


ketentuan berikut :
✓ Apabila keruntuhan geser dapat terjadi sepanjang lebar pelat lantai dan
keruntuhan geser dapat terjadi pada lebar yang cukup besar, kuat geser pelat

38
harus dihitung sesuai pasal 5.2.1 kecuali bahwa :Untuk pelat beton
bertulang tanpa tulangan geser, nilai minimum

✓ Apabila keruntuhan geser dapat terjadi secara setempat di sekitar tumpuan


atau beban terpusat, kuat rancang geser pelat lantai harus diambil sebesar
φ Vn di mana Vn dihitung sesuai dengan salah satu harga berikut:

✓ Bila kedua bentuk keruntuhan di atas memungkinkan, kuat geser harus


dihitung sesuai dengan (a) dan (b) di atas, dan nilai terkecil diambil
sebagai kekuatan kritis.

39
TEMA 3 - MERENCANAKAN STRUKTUR ATAS RANGKA
BAJA

TEORI DASAR
Standar perencanaan struktur baja untuk jembatan dipersiapkan oleh
Panitia Teknik Standardisasi Bidang Konstruksi dan Bangunan melalui Gugus
Kerja Bidang Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan pada Sub Panitia Teknik
Standarisasi Bidang Prasarana Transportasi. Standar ini diprakarsai oleh Pusat
Litbang Prasarana Transportasi, Badan Litbang ex. Departemen Permukiman dan
Prasarana Wilayah. Standar ini merupakan acuan bagi para perencana jembatan
yang ini merupakan penyempurnaan dari konsep “Peraturan Perencanaan Teknik
Jembatan Bagian 7 – Perencanaan Baja Struktural (BMS-1992)”, yang telah
disusun pada tahun 1992 oleh Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen
Pekerjaan Umum. Pada tahun 2000, Kantor Menteri Negara Pekerjaan Umum telah
menyusun konsep Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Jembatan yang
mengacu pada BMS-1992, AASHTO dan AUSTROAD. Pada tahun 2003, Balai
Jembatan dan Bangunan Pelengkap Jalan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Kimpraswil, melakukan penyempurnaan konsep tersebut dan mengusulkan agar
dapat diajukan menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Standar perencanaan struktur baja untuk jembatan ini mensyaratkan
pemenuhan terhadap ketentuan minimum bagi para perencana dalam perancangan
pekerjaan jembatan di Indonesia, sehingga struktur yang dihasilkan dari pekerjaan
tersebut memenuhi persyaratan keamanan, kenyamanan, kemudahan pelaksanaan,
ekonomis dan bentuk estetika. Selain menjadi acuan bagi para perencana jembatan
di Indonesia, standar ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai materi
pengajaran di tingkat universitas dalam pembentukan sumber daya manusia yang
handal.
Standar Perencanaan Struktur Baja untuk Jembatan ini digunakan untuk
merencanakan jembatan jalan raya dan jembatan pejalan kaki di Indonesia, yang
menggunakan bahan baja dengan panjang bentang tidak lebih dari 100 meter.
Standar ini meliputi persyaratan minimum untuk perencanaan, fabrikasi,
pemasangan dan modifikasi pekerjaan baja pada jembatan dan struktur komposit,
dengan tujuan untuk menghasilkan struktur baja yang memenuhi syarat keamanan,
kelayanan dan keawetan. Cara perencanaan komponen struktur yang digunakan
berdasarkan Perencanaan Beban dan Kekuatan Terfaktor (PBKT).
1. Umur rencana jembatan
Umur rencana jembatan pada umumnya disyaratkan 50 tahun, namun
untuk jembatan penting, jembatan bentang panjang atau yang bersifat khusus,
disyaratkan mempunyai umur rencana 100 tahun.
2. Satuan yang digunakan
Peraturan ini menggunakan sistem Satuan Internasional.
40
3. Dasar umum perencanaan
Perencanaan harus berdasarkan pada suatu prosedur yang memberikan
jaminan keamanan kenyamanan dan keawetan selama umur rencana jembatan.
Perencanaan kekuatan elemen baja sebagai komponen struktur jembatan yang
diperhitungkan terhadap lentur, geser, aksial, puntir serta kombinasinya, harus
didasarkan pada cara perencanaan berdasarkan Baban dan Kekuatan Terfaktor
(PBKT).
Sebagai pembanding atau alternatif lain dapat digunakan cara
perencanaan yang berdasarkan batan layan untuk perencanaan kekuatan elemen
baja sebagai komponen struktur jembatan sesuai dengan pasal 4.3.4. Dalam
perencanaan kekuatan elemen baja sebagai komponen struktur jembatan harus
memperhatikan faktor integritas komponen-komponen struktural maupun
keseluruhan struktur jembatan, dengan mempertimbangkan faktor-faktor:
a) Kontinuitas dan redundansi.
b) Ketahanan komponen struktur jembatan yang terjamin terhadap kerusakan
dan instabilitas sesuai umur jembatan yang direncanakan.
c) Aspek perlindungan eksternal terhadap kemungkinan adanya beban yang
tidak direncanakan atau beban berlebih.

41
42
43
44
45
46
47
48
49
4. Perhitungan spektrum rencana
Spektrum tegangan dari suatu pembebanan nominal yang menghasilkan
siklus tegangan yang tidak teratur harus diperoleh dengan cara perhitungan siklus
tegangan yang rasional. Dapat digunakan cara perhitungan curah hujan (rain flow)
atau ekivalen.
5. Pengecualian untuk penilaian
Penilaian fatik tidak diperlukan untuk unsur sambungan atau detil
apabila rencana batas variasi tegangan normal dan geser, f*, memenuhi:

50
KASUS DAN CONTOH
Perencanaan kekuatan elemen baja sebagai komponen struktur
jembatan harus didasarkan pada persyaratan yang berlaku di dalam standar ini.
Dalam perencanaan tersebut harus mempertimbangkan pengaruh terhadap
jembatan yang mungkin terjadi, yaitu kondisi pembebanan yang tidak direncanakan
seperti dalam kondisi perang. Setiap jenis pembebanan yang mungkin terjadi
tersebut harus dapat diramalkan sebelumnya secara rasional.
Untuk prosedur dan asumsi dalam perencanaan serta besarnya beban
rencana harus mengikuti ketentuan berikut:
a) Struktur direncanakan untuk menahan semua beban yang mungkin
bekerja
b) Beban kerja dihitung berdasarkan kepada besarnya aksi rencana
yang bekerja.
c) Perencanaan beban angin dan gempa, di mana seluruh bagian
struktur yang membentuk kesatuan harus direncanakan untuk
menahan beban lateral total.
d) Pertimbangan lain yaitu gaya prategang, beban crane, vibrasi, kejut,
susut, rangkak, perubahan suhu, perbedaan penurunan, dan beban-
beban khusus lainnya yang mungkin bekerja.

1. Metode perencanaan khusus


Bila suatu analisis perencanaan yang rasional diusulkan untuk
menggantikan ketentuan yang ada dalam standar ini, atau bila diusulkan
menyimpang dari persyaratan yang digunakan dalam standar ini, terutama untuk
suatu jenis atau sistem struktur jembatan yang khusus, maka usulan dan analisis
rinci harus diserahkan kepada yang berwenang beserta semua pembuktian
kebenarannya.
Beberapa batasan dan ketentuan umum untuk perencanaan struktur
jembatan khusus dapat dilihat pada bagian 12, jembatan khusus tersebut antara lain
:
1) Jembatan busur
2) Jembatan gelagar boks (box girder)
3) Jembatan kabel
4) Jembatan gantung

2. Sifat mekanis baja


Sifat mekanis baja struktural yang digunakan dalam perencanaan harus
memenuhi persyaratan minimum yang diberikan pada tabel 1.

51
Sifat-sifat mekanis baja struktural lainnya untuk maksud perencanaan
ditetapkan sebagai berikut:

3. Alat sambung mutu tinggi


Alat sambung mutu tinggi boleh digunakan bila memenuhi ketentuan
berikut:
a) komposisi kimiawi dan sifat mekanisnya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b) diameter batang, luas tumpu kepala baut, dan mur atau
penggantinya, harus lebih besar dari nilai nominal yang ditetapkan
dalam ketentuan yang berlaku. Ukuran lainnya boleh berbeda;
c) persyaratan gaya tarik minimum alat sambung ditentukan pada
tabel 2 di bawah ini:

4. Perencanaan komponen struktur tarik


a. Kasus gaya tarik hanya disalurkan oleh baut
Bila gaya tarik hanya disalurkan oleh baut :
A = Ant
Adalah luas penampang netto terkecil antara potongan 1-3 dan
potongan 1-2-3 :

52
dengan pengertian :
Ag adalah luas penampang bruto, dinyatakan dalam milimeter per segi, (mm2);
t adalah tebal penampang, dinyatakan dalam milimeter, (mm);
d adalah diameter lubang baut, dinyatakan dalam milimeter, (mm);
n adalah banyaknya lubang dalam satu garis potongan.
s adalah jarak antara sumbu lubang antara dua lubang yang bersebelahan pada
arah sejajar sumbu komponen struktur, dinyatakan dalam milimeter, (mm);
u adalah jarak antara sumbu lubang pada arah tegak lurus sumbu komponen
struktur.
(Rsni-t-03-2005-Perencanaan-Struktur-Baja-Untuk-Jembatan, n.d.)

53
TEMA 4 - DASAR-DASAR PERHITUNGAN BEBAN GEMPA
PADA JEMBATAN BAIK PADA KEPALA JEMBATAN
(ABUTMENT) DAN PILAR (BENT)

TEORI DASAR
1. Gaya rencana di hubungan perlengkapan tahan gempa
a. Gaya jangkar di kepala jembatan
Perlengkapan jangkar diperlukan bila reaksi kearah atas akibat gaya gempa
memanjang melebihi 50% dari reaksi beban mati. Perhitungan berikut
menunjukkan bahwa perlengkapan jangkar tidak diperlukan.

b. Gaya rencana hubungan kolom pilar


Gaya rencana hasil sendi plastis digunakan untuk merencanakan hubungan
kolom pada cap pilar dan pur kolom.

c. Gaya rencana fondasi


Gaya rencana berikut yang dihasilkan oleh sendi plastis digunakan untuk
perhitungan fondasi. Beban mati fondasi harus ditambah pada gaya tersebut.

d. Gaya rencana kepala jembatan dan tembok penahan


Gaya rencana pada kepala jembatan adalah: Gaya aksial perletakan 3183 +
418 = 3601 kN Gigi geser = 10365 kN.
e. Perpindahan rencana
Kategori kinerja seismik C dan D Perpindahan memanjang pada kepala
jembatan akibat beban gempa memanjang adalah (lihat tahap 5):

54
Δ = 0,073 m = 7,3 cm Panjang perletakan minimum pada dudukan perletakan
dihitung sebagai berikut: N = 305 + 2,5 L + 10 H = 305 + 2,5 x 114,7 + 10x7,625
= 668 mm Jadi panjang dudukan pada kepala jembatan adalah 668 mm.

Penjelasan Perhitungan
1. Perhitungan periode alami T dalam sumbu memanjang jembatan:

2. Perhitungan periode alami T dalam sumbu melintang jembatan:

55
KASUS DAN CONTOH
Contoh kasus terdiri dari jembatan empat bentang (lihat Gambar B.1) pilar
10m dan tipe kepala jembatan kaku. Diameter pilar 1,67m dengan momen inersia
0,3 dari nilai bruto dan modulus elastis beton berdasarkan kekuatan silinder 25
MPa. Tahapan perencanaan dilakukan sebagai berikut:
a) isolasi dasar menggunakan perletakan karet dengan inti timah (lihat Tabel
B.1) yang dipilih agar mendistribusikan gaya gempa antara pilar dan kepala
jembatan secara merata;

b. periode alami ditentukan berdasarkan model komputer (lihat Gambar


B.1) dengan kekakuan permulaan dan pasca elastis masing-masing
diperoleh periode 0,89 dan 1,49 detik. Tingkat leleh efektif peredam
dipilih sebesar 6,5% berat bangunan atas (8960 kN). Persentase
pergeseran periode sesuai gempa El Centro dan Parkfield (lihat Gambar
B.2) adalah 69% dan normalisasi redaman sebesar 6,4% terhadap nilai
kritikal (lihat Gambar B.3). Redaman elastis struktur dianggap 5%
terhadap nilai kritikal. Periode efektif dan redaman efektif kemudian
dihitung langsung sebagai berikut:

c. akselerasi dan perpindahan spektral dari spektra elastis El Centro adalah


masing-masing Sa = 0,165 g dan Sd = 69,4mm dimana g adalah
akselerasi gravitasi. Gaya geser respon lantai jembatan pada pilar dan
pangkal diperhitungkan dari perpindahan spektral Sd sebagai berikut:

56
Akselerasi bangunan atas ekuivalen diperoleh dengan membagi gaya geser
total lantai dengan berat total bengunan atas sebesar 8960 kN. Nilai adalah 0,180 g
dibanding S = 0,165 g, hanya 9% perbedaan. Untuk meratakan perbedaan dalam
akselerasi lantai gaya respon yang dihitung dari Sd dikalikan dengan:

Gaya respon yang disesuaikan terdapat dalam Tabel B.2. Sebagai


perbandingan juga diberikan nilai riwayat waktu.

d. perletakan di kepala jembatan dan pilar harus dicek terhadap kriteria


runtuh berikut:
✓ regangan perletakan tidak boleh melebihi 100%;
✓ gaya vertikal tidak boleh melebihi gaya vertikal pada nilai regangan
maksimum;
✓ perletakan tidak boleh meluncur keluar.

Perletakan kepala jembatan:


✓ regangan maksimum adalah (66 x 100)/170 = 39% dimana tebal total karet
adalah 170 mm;
✓ gaya vertikal per perletakan adalah 280 kN<539 kN, yaitu gaya vertikal
maksimum pada regangan 50%;

57
✓ perpindahan maksimum ‘meluncur’ adalah 280 – (330 x 250) / (4 x 280) =
206 mm >66 mm.
Perhatikan bahwa tinggi dan lebar perletakan adalah masing-masing 250
mm dan 280 mm, beban vertikal 280kN dan gaya geser 330kN, berarti perletakan
memenuhi kriteria runtuh. Perletakan pilar: pengecekan menunjukkan terpenuhi
juga. Cek apakah pilihan tingkat leleh peredam sebesar 6,5% terhadap berat
bangunan atas memenuhi. Membagi gaya geser kepala jembatan sebesar 330 kN
dengan perpindahan bangunan atas Δs = 66mm memberikan kekakuan kepala
jembatan efektif K a = 5,0 kN/mm. Berat kepala jembatan efektif diperoleh sebagai
berikut:

Anggapan semula sebesar 6,5% dengan demikian wajar. Perletakan pilar tidak leleh
mengingat perpindahan perletakan hanya 10,7 mm, sehingga tidak terjadi
perubahan periode atau peredaman berarti.
e. Tahap akhir adalah menghitung gaya geser dasar pilar dan momen
lentur. Perpindahan simpangan puncak pilar adalah Δp= 66 –10,7 =
55,3mm. Masa terpusat pada ketinggia 9,4 dan 5m diatas titik jepit
(fixity) masing-masing Mpc = 450 kN dan Mp = 240 kN (lihat Gambar
B.1). Akselerasi maksimum pilar dihitung:

58
59
(Standar Nasional Indonesia Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Jembatan,
n.d.)

60
TEMA 5 – KASUS-KASUS KERUSAKAN PADA JEMBATAN

CONTOH KASUS
Kerusakan jembatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kerusakan paada

lubang bau, kerusakan akibat kelebihan bebean, banjir, erosi tanah,dan kehausan material.

Dampak dari kerusakan jembatan tidak hanya terbatas pada kerugian finansial akibat

perbaikan atau penggantian struktur yang rusak, tetapi juga dapat mengganggu arus lalu

lintas, menghambataktivitas ekonomi, dan bahkan menyebabkan cedera atau kehilangan

nyawa.

1. Kerusakan pada Lubang Baut

Kerusakan lubang baut yang menjadi bulat memanjang, bisa terjadi


jika pelat sudah mencapai tegangan leleh ataupun fraktur namun berdasarkan
perhitungan eksisting jembatan belum ada batang yang leleh ataupun fraktur.
Komponen yang rusak disajikan pada Tabel 6 dengan perbandingan kuat perlu
dan kuat rencana, dimana suatu komponen dikatakan aman jika perbandingan
tersebut lebih kecil atau sama dengan 1.

61
62
(Stress capacity rasio eksisting jembatan)

2. Lendutan Jembatan
Syarat lendutan sesuai SNI 03 1729 2002, untuk jembatan dengan
bentang 54 m adalah 15,0 cm dan berdasarkan perhitungan eksisting jembatan
lendutannya 14,5 cm yang artinya memenuhi persyaratan. Lendutan hasil
perhitungan eksisting jembatan sudah memperhitungkan beban akibat berat sendiri
jembatan, beban mati (pipa), beban hidup, beban angin dan beban gempa. Lendutan
di lapangan adalah 67,5 cm, yang seharusnya lebih kecil dari 14,5 cm karena
bebannya hanya berupa berat sendiri jembatan, sedangkan lendutan hasil
perhitungan yang sudah memperhitungkan semua beban saja masih memenuhi
syarat lendutan. Perhitungan eksisting jembatan menunjukkan bahwa semua batang
dan sambungan aman, maka lendutan yang besar dimungkinkan dari faktor
pelaksanaan (erection) jembatan.
Baut mutu tinggi A325 diameter 22 mm harus dikencangkan hingga
mencapai gaya tarik 121 kN (70%) dan setelah posisinya tepat terkait dengan

63
chamber kemudian dikencangkan lagi hingga mencapai gaya tarik minimumnya
173 kN (100%). Jika pengencangan baut belum mencapai gaya tarik seperti
dijelaskan di atas atau hanya merupakan kencang tangan dan kombinasi dengan
adanya lubang baut yang besar maka ketika penyangga dilepas bisa menyebabkan
lendutan yang besar pada jembatan dan kemungkinan seperti ini bisa terjadi pada
jembatan ini.
3. Metode Perbaikan Jembatan
Metode perbaikan jembatan yang diusulkan adalah :
a. Mengganti baut dengan diameter lebih besar disesuaikan dengan lubang
baut yang ada karena mengganti baut lebih ekonomis daripada mengganti
batangnya.
b. Menambah dua buah pelat sebagai penguat sambungan agar baut tidak
bergeser (Gambar 9).
c. Melakukan pengencangan baut menggunakan alat penunjuk gaya tarik dan
dikencangkan sesuai prosedur yang benar serta digunakan ring baut yang
lebar untuk baut yang lubangnya bulat memanjang.

64
2. Kerusakan Akibat Kelebihan Beban

Dalam ilmu teknik sipil, kerusakan jembatan akibat kelebihan beban adalah kondisi di

mana jembatan mengalami kerusakan struktural atau deformasi yang disebabkan oleh beban

yang melebihi batas desain yang telah ditetapkan. Beban berlebih dapat terjadi baik karena

kegagalan dalam merencanakan dan membangun jembatan yang kuat atau karena perubahan

dalam kondisi penggunaan jembatan dari yang semula direncanakan.

Jembatan dirancang untuk menahan berbagai jenis beban seperti beban kendaraan, beban

angin, dan beban lingkungan lainnya. Ketika beban yang diterima melebihi kapasitas desain

jembatan, maka akan terjadi kerusakan atau deformasi struktural. Beban berlebih dapat

menyebabkan keretakan, kemiringan, pergeseran, atau bahkan keruntuhan jembatan.

Berat sendiri menurut Standar Nasional Indonesia 1726 : 2016 adalah berat bagian struktur

tersebut dan elemen elemen struktur lain yang dipikulnya,termasuk dalam hal ini adalah berat

dari bahan dan bagian jembatan yang merupakan elemen struktual,ditambah dengan elemen

non struktual yang di anggap tetap.Adapun factor beban yang digunakan untuk berat sendiri

adalah sebagai berikut :


Faktor Beban

Tipe Keadaan Batas Layang (Yms) Keadaan Batas Ultimit (Yms)


Beban
Bahan Biasa Terkurangi

Baja 1,00 1,1 0,90

Aluminium 1,00 1,1 0,90

Tetap Beton pracetak 1,00 1,2 0,85

Beton dicor di Tempat 1,00 1,3 0,75

Kayu 1,00 1,4 0,70


Sumber : SNI 1725 : 2016

Dalam ilmu teknik sipil, penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti beban

hidup, beban mati, faktor keamanan, dan kekuatan material ketika merancang dan membangun

jembatan. Penggunaan model analisis struktural yang akurat dan metode perhitungan beban

yang konservatif juga penting dalam memastikan keandalan jembatan.

Untuk mencegah kerusakan akibat kelebihan beban, teknik sipil mengadopsi pendekatan

yang komprehensif, termasuk melakukan analisis dan perencanaan yang teliti, penggunaan

material yang kuat dan tahan lama, serta pengawasan yang ketat selama proses pembangunan.

Selain itu, penggunaan teknologi monitoring jembatan yang canggih dapat membantu
mendeteksi adanya peningkatan beban atau kerusakan pada jembatan secara dini, sehingga

tindakan perbaikan atau penggantian dapat dilakukan dengan tepat waktu.

Kerusakan akibat kelebihan beban pada jembatan menunjukkan pentingnya pemahaman

yang mendalam tentang prinsip-prinsip ilmu teknik sipil dalam merancang, membangun, dan

memelihara infrastruktur transportasi yang aman dan handal.

Salah satu contoh kerusakan akibat kelebihan beban pada jembatan di Indonesia terjadi

pada Jembatan Mahakam IV di Samarinda, Kalimantan Timur. Pada tahun 2018, jembatan

tersebut mengalami kerusakan yang signifikan akibat beban berlebih yang melebihi kapasitas

strukturalnya.

Jembatan Mahakam IV adalah jembatan penghubung utama di Kota Samarinda dan

merupakan jalan arteri yang penting. Pada saat kejadian, jembatan ini telah digunakan selama

beberapa dekade oleh kendaraan dengan berat yang semakin meningkat. Peningkatan volume

lalu lintas dan beban berat kendaraan menyebabkan beban yang diterima oleh jembatan

melampaui kapasitasnya.

Kerusakan pada jembatan ini meliputi retakan dan deformasi pada elemen-elemen

struktural seperti balok, kolom, dan fondasi. Retakan-retakan tersebut menyebabkan

penurunan kapasitas struktural jembatan dan mengancam keamanan pengguna.

Kondisi ini mengakibatkan penutupan sebagian atau seluruh jembatan, menyebabkan

gangguan lalu lintas yang signifikan dan dampak ekonomi negatif bagi masyarakat setempat.

Tindakan perbaikan yang cepat dan tegas diperlukan untuk mengatasi kerusakan dan

memastikan keselamatan pengguna jembatan.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya perencanaan yang tepat, pemeliharaan yang rutin,

dan pemantauan terhadap kondisi jembatan. Dalam menghadapi peningkatan beban

kendaraan, perlu adanya perencanaan yang mempertimbangkan kekuatan struktural yang

memadai dan pemeliharaan yang tepat guna. Kolaborasi antara pemerintah, insinyur sipil, dan
lembaga terkait menjadi kunci dalam menjaga keandalan dan keselamatan jembatan di

Indonesia.

3. Kerusakan Akibat Banjir

Kerusakan jembatan akibat banjir adalah salah satu masalah serius yang dihadapi dalam

bidang teknik sipil di Indonesia. Indonesia adalah negara yang terletak di wilayah tropis

dengan iklim yang cenderung basah. Banjir merupakan ancaman yang sering terjadi, terutama

selama musim hujan yang intens. Banjir dapat menyebabkan kerusakan pada jembatan dan

infrastruktur terkait, menghambat mobilitas dan mengganggu konektivitas.

Contoh kasus kerusakan jembatan akibat banjir di Indonesia adalah kasus kerusakan

Jembatan Wai Kaka . Banjir yang terjadi akibat hujan deras menyebabkan air sungai naik

secara drastis, melampaui kapasitas desain jembatan. Akibatnya, jembatan mengalami

kerusakan struktural, termasuk longsor dan kerusakan pada elemen struktural seperti tiang

penyangga.

Dalam menghadapi kerusakan jembatan akibat banjir, teknik sipil di Indonesia melibatkan

pendekatan yang komprehensif. Beberapa langkah yang diambil antara lain meningkatkan

perencanaan dan desain infrastruktur dengan mempertimbangkan risiko banjir, memperkuat

struktur jembatan dengan material yang tahan terhadap banjir, serta meningkatkan sistem

drainase dan pengelolaan air di sekitar jembatan.


Selain itu, pendekatan mitigasi juga penting dalam mengurangi kerusakan akibat banjir.

Ini termasuk pengembangan sistem peringatan dini banjir, peningkatan pemantauan dan

pemeliharaan jembatan, serta edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga

kebersihan sungai dan saluran drainase untuk mengurangi risiko banjir.

Kerusakan jembatan akibat banjir di Indonesia menunjukkan perlunya upaya yang

berkelanjutan dalam merancang dan membangun infrastruktur yang tahan terhadap bencana

alam. Melalui pendekatan yang holistik dan kolaborasi antara pemerintah, insinyur sipil, dan

masyarakat, diharapkan kerusakan jembatan akibat banjir dapat ditekan dan konektivitas

transportasi dapat dipertahankan bahkan dalam kondisi darurat.

Jembatan Wai Kaka merupakan salah satu contoh kasus kerusakan akibat banjir di

Indonesia. Analisis kerusakan jembatan ini dapat melibatkan beberapa faktor yang

mempengaruhinya:

a. Intensitas dan Durasi Banjir: Analisis dimulai dengan mempertimbangkan

intensitas dan durasi banjir yang melanda daerah tersebut. Banjir dengan curah

hujan yang tinggi dan durasi yang panjang dapat menyebabkan peningkatan

debit air yang melebihi kapasitas drainase normal dan menyebabkan

pembebanan berlebih pada jembatan.

b. Erosi dan Arus Banjir: Banjir seringkali disertai dengan erosi tanah dan arus

air yang kuat. Erosi dapat terjadi di sekitar tiang atau fondasi jembatan,

melemahkan struktur pendukung dan mengancam kestabilan jembatan. Arus

banjir yang kuat juga dapat menyebabkan gaya lateral yang signifikan pada

jembatan, mempengaruhi kekuatan dan stabilitas struktural.

c. Kualitas Konstruksi dan Perawatan: Analisis juga mencakup evaluasi terhadap

kualitas konstruksi dan perawatan jembatan. Jika jembatan tidak dibangun

dengan standar yang memadai atau tidak mendapatkan perawatan rutin,

kerentanan
terhadap kerusakan akibat banjir akan meningkat. Kurangnya perawatan dapat

menyebabkan korosi pada komponen struktural atau penurunan kapasitas drainase,

yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan saat terjadi banjir.

d. Hidrologi dan Hidrolika: Analisis juga melibatkan pemahaman tentang

karakteristik hidrologi dan hidrolika di sekitar jembatan. Melalui pemodelan

dan simulasi banjir, dapat dievaluasi sejauh mana jembatan terkena dampak

tinggi air, aliran permukaan, atau tekanan hidrolik yang berlebihan selama

banjir.

Dalam kasus Jembatan Wai Kaka, kemungkinan analisis menunjukkan bahwa banjir

dengan intensitas yang tinggi dan arus yang kuat menyebabkan erosi tanah di sekitar fondasi

jembatan, melemahkan struktur pendukungnya. Selain itu, kemungkinan faktor konstruksi dan

perawatan yang kurang optimal juga berperan dalam kerentanan jembatan terhadap kerusakan

akibat banjir.

Melalui analisis ini, dapat diketahui penyebab kerusakan jembatan dan langkah-langkah

perbaikan atau mitigasi yang diperlukan. Penting untuk melibatkan ahli teknik sipil dan

mempertimbangkan faktor-faktor ini dalam perencanaan, konstruksi, dan pemeliharaan

jembatan guna meminimalkan risiko kerusakan akibat banjir di masa depan.

4. Kerusakan Akibat Erosi Tanah

Kerusakan jembatan akibat erosi tanah adalah masalah serius yang dihadapi dalam bidang

teknik sipil. Erosi tanah terjadi ketika lapisan tanah yang melindungi fondasi jembatan terkikis

atau tergerus oleh aliran air yang kuat. Hal ini dapat menyebabkan penurunan tingkat tanah di

sekitar jembatan, pergeseran struktur, atau bahkan keruntuhan total jembatan.

Proses erosi tanah dapat dipicu oleh faktor alami, seperti curah hujan yang tinggi, sungai

yang berarus deras, atau kemiringan lereng yang tidak stabil. Selain itu, aktivitas manusia,
seperti deforestasi, perubahan penggunaan lahan, atau konstruksi yang tidak tepat, juga dapat

meningkatkan risiko erosi tanah.

Dalam ilmu teknik sipil, ada beberapa pendekatan untuk mengatasi kerusakan jembatan

akibat erosi tanah. Pertama, perencanaan dan desain yang cermat harus mempertimbangkan

faktor erosi tanah. Ini melibatkan analisis hidrologi untuk memprediksi aliran air dan perkiraan

erosi tanah yang mungkin terjadi di sekitar jembatan. Kemudian, perencanaan drainase yang

efektif dan konstruksi yang sesuai harus dilakukan untuk mengarahkan aliran air jauh dari

fondasi jembatan.

Selain itu, teknik pengendalian erosi juga dapat diterapkan untuk melindungi tanah di

sekitar jembatan. Misalnya, pemasangan bantalan pelindung di lereng atau tepi sungai, seperti

geotekstil atau batu tahan erosi, dapat membantu mengurangi laju erosi tanah. Pemeliharaan

rutin juga penting, termasuk pemantauan erosi tanah dan perbaikan yang diperlukan.

Contoh kasus kerusakan jembatan akibat erosi tanah dapat dilihat pada kasus Jembatan

Ngujang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Erosi tanah yang parah mengakibatkan

bagian bawah jembatan terkikis, menyebabkan penurunan tanah di sekitarnya dan membuat

jembatan tidak stabil.

Melalui pendekatan ilmu teknik sipil yang komprehensif, termasuk perencanaan, desain,

drainase, dan teknik pengendalian erosi, kerusakan jembatan akibat erosi tanah dapat
diminimalkan. Upaya pencegahan dan pemeliharaan yang tepat dapat memastikan

keberlanjutan dan keandalan jembatan dalam menghadapi risiko erosi tanah yang mungkin

terjadi.

Contoh kasus kerusakan jembatan akibat erosi tanah di Indonesia adalah kasus Jembatan

Kedungombo di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah pada tahun 2017. Jembatan tersebut

mengalami kerusakan serius akibat erosi tanah yang terjadi di sekitarnya.

Jembatan Kedungombo terletak di daerah yang rawan terhadap erosi tanah karena

topografi yang curam dan hujan yang intens. Akibat erosi tanah yang terus menerus, tanah di

sekitar fondasi jembatan tergerus secara signifikan. Hal ini menyebabkan penurunan tingkat

tanah di sekitar fondasi dan pergeseran struktur jembatan.

Kerusakan ini menyebabkan jembatan tidak dapat digunakan dan menghambat

aksesibilitas penduduk serta transportasi barang di wilayah tersebut. Perbaikan jembatan

melibatkan upaya yang intensif, termasuk perbaikan fondasi, perkuatan lereng, dan rekayasa

drainase yang lebih baik untuk mengendalikan aliran air dan mencegah erosi tanah di masa

depan.

Kasus ini menunjukkan pentingnya mengidentifikasi dan mempertimbangkan potensi

erosi tanah dalam perencanaan dan desain jembatan di daerah rawan. Selain itu, pemantauan

dan pemeliharaan yang rutin juga penting untuk mendeteksi perubahan kondisi jembatan dan

mengambil tindakan pencegahan atau perbaikan yang diperlukan sebelum kerusakan yang

lebih serius terjadi.

Dalam konteks Indonesia yang memiliki beragam kondisi geografis dan iklim, perhatian

khusus harus diberikan pada mitigasi risiko erosi tanah dalam merancang, membangun, dan

memelihara jembatan. Kolaborasi antara pemerintah, insinyur sipil, dan masyarakat lokal

dalam mengidentifikasi dan mengatasi masalah erosi tanah dapat membantu menjaga

keberlanjutan infrastruktur jembatan di Indonesia.


5. ANALISI KONDISI JEMBATAN KEDUANG PASCABANJIR

Jembatan Keduang merupakan jembatan komposit baja-beton dengan lebar 7 m serta

memiliki total panjang bentang 91,18 m yang dibagi menjadi 3 (tiga) bentang oleh adanya 2

(dua) pilar. Struktur utama bangunan atas berupa 3 (tiga) buah gelagar komposit baja-beton

yang sejajar dengan jarak antar gelagar sekitar 2,7 m dan membentang sejauh sekitar 30 m.

Gelagar-gelagar tersebut diperkuat dengan rangka pengaku baja

Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen Jembatan Keduang baik yang

secara langsung diakibatkan oleh banjir tanggal 26 Desember 2007 maupun oleh sebab yang

lain menghasilkan nilai kondisi 4. Apabila ditelusuri lebih lanjut, nilai kondisi ini dipengaruhi

terutama oleh rusaknya komponen bangunan atas maupun bangunan bawah karena gaya

horizontal yang cukup besar dari aliran air saat banjir. Kerusakan yang secara visual sangat

mudah dikenali adalah miringnya pilar-pilar yang menopang struktur jembatan. Miringnya

pilar-pilar ini meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan Jembatan Keduang.

gambar 1 Penampang melintang struktur atas

Kerusakan-kerusakan yang terjadi pada elemen-elemen Jembatan Keduang baik yang

secara langsung diakibatkan oleh banjir tanggal 26 Desember 2007 maupun oleh sebab yang

lain menghasilkan nilai kondisi 4. Apabila ditelusuri lebih lanjut, nilai kondisi ini dipengaruhi
terutama oleh rusaknya komponen bangunan atas maupun bangunan bawah karena gaya

horizontal yang cukup besar dari aliran air saat banjir. Kerusakan yang secara visual sangat

mudah dikenali adalah miringnya pilar-pilar yang menopang struktur jembatan. Miringnya

pilar-pilar ini meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan Jembatan Keduang.

Pemeriksaan terhadap Jembatan Keduang pasca terjadinya banjir tanggal 26 Desember

2006 menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

a. Nilai kondisi jembatan adalah 4 yang mengindikasikan perlunya dilakukan

penggantian.

b. Gaya horizontal akibat aliran air saat banjir tanggal 26 Desember 2006 telah

menyebabkan pilar miring. Kekuatan struktur pilar yang telah miring ini masih

aman ditinjau dari kapasitas lentur, geser, kestabilan arah vertikal dan horizontal

tetapi beresiko terjadi guling.

c. Ditinjau dari scouring, salah satu pilar pada Jembatan Keduang cenderung kritis

sekalipun ditinjau dari banjir pada kala ulang 2 tahun

PENYEBAB KERUSAKAN
Terdapat perbedaan hasil antara pengujian hardness dengan pengujian
dari laboratorium, dimana hasil uji hardness lebih kecil dari uji laboratorium tetapi
keduanya tetap lebih besar dari kuat tarik yang direncanakan yaitu 340 N/mm2
untuk profil siku dan kanal serta 825 N/mm2 untuk baut [7]. Hal ini disebabkan
oleh adanya penempatan posisi titik uji pada bagian pelat yang tipis (tebal minimum
20 mm) sehingga benda uji bergetar dan hasil pengukuran akan lebih rendah dari
yang seharusnya.
Sesuai dengan penjelasan dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya
serta terbatas pada lokasi pemeriksaan, dari rangkaian pemeriksaan dan evaluasi
yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Penyebab
kegagalan jembatan bukan karena kekuatan batang dan sambungannya melainkan
karena faktor pelaksanaan yang kurang tepat, yaitu kombinasi antara lubang baut
yang besar dengan pengencangan baut yang belum mencapai gaya tarik
minimumnya yang terakumulasi menjadi satu sehingga terjadi lendutan yang besar
ketika penyangga dilepas dan beberapa termasuk beban berlebih, banjir, erosi tanah,
keausan material, dan kurangnya perawatan yang memadai.
Solusi perbaikan untuk jembatan agar bisa digunakan kembali
diantaranya adalah dengan mengganti baut dengan diameter yang lebih besar yang
sesuai dengan lubang baut yang ada, menambah dua buah pelat yang dilas pada
ujung batang sebagai penguat agar baut tidak bergeser, pengencangan baut harus
mengikuti prosedur yang sesuai, dari kesimpulan tersebut diatas dan pemasangan
jembatan harus tepat sesuai dengan kondisi dari tempat dibuatnya sebuah jembatan.
Jadi sebelum di laksanakan sebuah proyek jembatan harus dilaksankan amdan dan
andal terlebih dahulu, aggar bisa mengetahui kondisi tempat bangunan jembatan
akan di banggun., kami memberikansaran-saran sebagai berikut:
Untuk penentuan posisi titik uji untuk pengujian hardness diusahakan
sebisa mungkin dihindari pada pelat yang tipis (tebal minimal 20 mm) agar
diperoleh hasil yang mendekati dengan kenyataannya, untuk pemeriksaan terhadap
lubang baut sebaiknya dilakukan secara keseluruhan sehingga diperoleh informasi
yang lengkap,dan perlu lebih ditingkatkan pengawasan terhadap pelaksanaan
jembatan di lapangan. Melaksanakan dan mengumupulkan semua data amdal dan
andal, agar terlaksananya jembatan yang kokoh dan tahan lama dan berfungsi
dengan baik dan tidak membahyakan apapun yang melintas di jembatan tersebut.
(Handayani et al., n.d.)
REFERENSI
Handayani, T., Besar, B., & Kekuatan Struktur -Bppt, T. (n.d.). EVALUASI PENYEBAB
KEGAGALAN DAN PERBAIKAN STRUKTUR JEMBATAN RANGKA BAJA DENGAN
BENTANG 54 m EVALUATION OF THE CAUSES OF FAILURE AND REPAIR OF 54 M
SPAN TRUSS BRIDGE STRUCTURE.

Indonesia, S. N., & Nasional, B. S. (n.d.). Perencanaan struktur beton untuk jembatan SN
B ICS.

Khairurrijal, Muhammad Fauzan, & Sekar Mentari. (2022). Kekuatan Struktur Jembatan
terhadap Beban Gempa (Studi Kasus: Jembatan Cisomang Tol Purbaleunyi STA
100+700). Jurnal Teknik Sipil Dan Lingkungan, 7(1), 17–32.
https://doi.org/10.29244/jsil.7.1.17-32

" Pembebanan untuk jembatan Badan Standardisasi Nasional. (2016). www.bsn.go.id

rsni-t-03-2005-perencanaan-struktur-baja-untuk-jembatan. (n.d.).

Standar Nasional Indonesia Standar perencanaan ketahanan gempa untuk jembatan.


(n.d.).

Anda mungkin juga menyukai