DEPARTEMEN FARMASI
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan anugerah
yang telah diberikan kepada penyusun, sehingga Panduan Aseptik Dispensing Mayapada Hospital
Bandung ini dapat selesai disusun.
Panduan pelayanan ini merupakan acuan kerja bagi Apoteker di Tahun 2022. Implementasi
daripada Panduan Aseptik Dispensing Mayapada Hospital Bandung, dapat menjadikan sebagai upaya
peningkatan mutu pelayanan dan keselamatan pasien menjadi lebih baik sehingga berdampak pada
peningkatan citra/brand Rumah Sakit dan derajat kesehatan masyarakat.
Penyusun juga menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bantuan semua pihak
yang telah membantu dalam proses menyelesaikan Panduan Aseptik Dispensing Departemen Farmasi
Mayapada Hospital Bandung.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan kefarmasian merupakan komponen penting dalam pengobatan pasien di rumah sakit.
Salah satu kegiatan penting tersebut adalah penyiapan obat steril. Dalam standar pelayanan
farmasi di rumah sakit (PMK No. 72 Tahun 2016) kegiatan dispensing sediaan steril merupakan
salah satu pelayanan farmasi klinik sebagai upaya meningkatkan mutu dan keamanan
pengobatan pasien.
B. Tujuan
1
1. Memberikan panduan bagi Tenaga Kefarmasian untuk melakukan pencampuran
sediaan steril secara aseptik di Departemen Farmasi Mayapada Hospital Bandung.
2. Untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan
berbahaya, serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
C. Batasan Operasional
1. Aseptik dispensing adalah
2.
D. Landasan Hukum
1. Undang-undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang-undang Republik Indonesia No 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit
4. PP Republik Indonesia No 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
5. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
6. Pedoman Pemantauan Terapi Obat (PTO) Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Tahun 2009.
BAB II
RUANG LINGKUP
2
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Departemen Farmasi Rumah Sakit dengan teknik
aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan
berbahaya, serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
A. Dispensing sediaan steril bertujuan :
1. Menjamin agar pasien menerima obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan;
2. Menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
3. Melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan
4. Menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat.
BAB III
TATA LAKSANA
4
A. Teknik Pencampuran Obat Suntik
1. Penyiapan
Sebelum menjalankan proses pencampuran obat suntui perlu dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut :
a. Memeriksa kelengkapan dokumen (formulir) permintaan dengan prinsip 5
BENAR (benar pasien, obat, dosis, rute dan waktu pemberian).
b. Memeriksa kondisi obat-obatan yang diterima (nama obat, jumlah, nomor
batch, tanggal kadaluarsa), serta melengkapi form permintaan.
c. Melakukan konfirmasi ulang kepada pengguna jika ada yang tidak jelas/tidak
lengkap.
d. Menghitung kesesuaian dosis.
e. Memilih jenis pelarut yang sesuai.
f. Menghitung volume pelarut yang digunakan.
g. Membuat label obat berdasarkan : nama pasien, nomor rekam medis, ruang
perawatan, dosis, cara pemberian , kondisi penyimpanan, tanggal pembuatan,
dan tanggal kadaluarsa campuran.
h. Membuat label pengiriman terdiri dari : nama pasien, nomor rekam medis,
ruang perawatan, jumlah paket.
i. Melengkapi dokumen pencampuran
j. Memasukkan alat kesehatan, label dan obat-obatan yang akan dilakukan
pencampuran ke dalam ruang steril melalui pass box.
2. Pencampuran
a. Proses pencampuran obat suntik secara aseptis, mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut :
1) Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
2) Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi sesuai prosedur tetap.
3) Menghidupkan Laminar Air Flow (LAF) sesuai prosedur tetap.
4) Menyiapkan meja kerja LAF dengan memberi alas penyerap cairan dalam
LAF.
5) Menyiapkan kantong buangan sampah dalam LAF untuk berkas obat.
6) Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan alkohol 70%.
7) Mengambil alat kesehatan dan obat-obatan dari pass box.
8) Melakukan pencampuran secara asetis.
b. Ketidakcampuran
c. Formulasi obat suntik
Obat-obat yang sediaaannya berbentuk dry powder, seperti amoksisilin
memerlukan rekonstitusi dengan aqua pro injeksi atau NaCl 0,9% sebelum
5
digunakan. Keuntungan dari sediaan berbentuk dry powder ini adalah dapat
disimpan dalam waktu yang lebih lama.
Beberapa kelemahan dari sediaan berbentuk dry powder adalah :
1) Rekonstitusi menghabiskan waktu, khususnya bila sediaan tersebut sulit
untuk dilarutkan.
2) Dapat terkontaminasi oleh lingkungan di sekitarnya dan terkontaminasi
oleh mikroba yang terdapat dalam pelarut.
3) Dapat terkontaminasi oleh mikroba
4) Perhatian mungkin dibutuhkan jika obat mudah untuk foaming (berbusa)
sebagai dosis yang tidak komplit memungkinkan untuk hilang
(withdrawn). Contoh : teicoplanin
5) Jika ampul dipatahkan, pecahan kaca ampul tersebut dapat masuk
kesediaan, melukai petugas, serta percikan sediaan dapat mencemari
lingkungan sekitarnya.
6) Jika sediaan menggunakan vial timbul kesulitan memasukkan pelarut atau
obat yang telah direkonstitusi karena adanya tekanan dalam vial (beberapa
vial dibuat dengan tekanan didalamnya). Jika vial tersebut tidak memiliki
tekanan di dalamnya). Jika vial tersebut tidak memiliki tekanan di
dalamnya, maka udara perlu dikeluarkan terlebih dahulu sebelum
penambahan pelarut. Jumlah udara yang keluar masuk ke dalam syringe
harus sama dengan jumlah pelarut yang ditambahkan. Sebelum
mengeliminasi obat yang telah direkonstitusi dari dalam vial, perbedaan
tekanan harus dihitung lagi. Udara perlu ditambahkan ke dalam vial
sebanding dengan jumlah obat yang dieliminasi/hilang.
d. Preparasi dari larutan yang memerlukan pelarut tambahan sebelum digunakan
Contoh : ranitidine, amiodarone
Keuntungan dari preparasi ini adalah :
1) Sudah berbentuk cairan, jadi tidak memerlukan proses rekonstitusi lagi.
3. Cara Pemberian
a. Injeksi Intravena (iv)
Injeksi intravena dapat diberikan dengan berbagai cara, untuk jangka waktu
yang pendek atau untuk waktu yang lama.
1) Injeksi bolus
Injeksi bolus volumenya lebih kecil ≤ 10 ml, biasanya diberikan dalam
waktu 3-5 menit, kecuali ditentukan lain untuk obat-obatan tertentu.
2) Infus
Infus dapat diberikan secara singkat (intermittent) atau terus menerus
(continuous).
a) Infus singkat (intermittent infusion)
Infus singkat diberikan selama 24 jam. Volume infus dapat beragam
mulai dari volume infus kecil diberikan secara subkutan dengan pompa
suntik (syringe pump), misalnya 1 ml per jam, hingga 3 liter atau lebih
selama 24 jam, misalnya nutrisi parenteral.
7
b) Infus kontinu (continuous infusion)
Infus kontinu diberikan selama 24 jam. Volume infus dapat beragam
mulai dari volume infus kecil diberikan secara subkutan dengan pompa
suntuk (syringe pump), misalnya 1 ml per jam, hingga 3 liter atau lebih
selama 24 jam, misalnya nutrisi parenteral.
b. Injeksi intratekal
Injeksi intratekal adalah pemberian injeksi melalui sumsum tulang
belakang. Volume cairan yang dimasukkan sama dengan volume cairan
yang dikeluarkan.
c. Injeksi subkutan
Injeksi subkutan adalah pemberian injeksi di bawah kulit.
d. Injeksi intramuskular
Injeksi intramuskukar adalah pemberian injeksi di otot.
8
n. Memasukkan infus untuk spuit yang telah berisi sediaan sitostatika ke dalam
wadah untuk pengiriman.
o. Mengeluarkan wadah untuk pengiriman yang telah berisi sediaan jadi melalui
pass box.
p. Menanggalkan APD sesuai SPO.
3. Cara pemberian
Cara pemberiaan sediaan sitostatika sama dengan cara pemberian obat suntuk
kecuali intramuscular.
4. Penanganan tumpahan dan kecelakaan kerja
a. Penanganan tumpahan
Membersihkan tumpahan dalam ruangan steril dapat dilakukan petugas
tersebut atau meminta pertolongan obat lain dengan menggunakan
chemotherapy spill yang terdiri dari :
1) Membersihkan tumpahan di luar BSC dalam ruang steril
2) Membersihkan tumpahan di dalam BSC
b. Penanganan kecelakaan kerja
Dekontaminasi akibat kontak dengan bagian tubuh yang meliputi kontak
dengan kulit, kontak dengan mata dan tertusuk jarum.
c. Pengelolaan limbah sitostatika
Pengelolaan limbah dari sisa buangan pencampuran sediaan sitostatika (seperti
: bekas ampul, vial, spuit, needle, dll) harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan bahaya pencemaran lingkungan.
9
immunoglobulin rabbit
(ATS Fresenius)
Atracurium 3,5
Atropine 3 – 6,5
Dobutamine 3,5 – 4
Dopamine 2,5 – 4,5
Ergometrine 2,7 – 3,5
Fentanyl 3,3 – 6,3
Folic acid 8 -11
Furosemide 8,7 – 9,3
Ganciclovir 10 -11
Gentamycin 3–5
Glucose (pH dependent 3,5 – 6,5
on concentration of
solution)
Glyceryl trinitrate 3,5 – 6,5
Haloperidol 3 – 3,8
Hyoscine butylbromide 3,7 – 5,5
Ketamine 3,5 – 5,5
Metoclorpramide 3–5
Midazolam 3
Morphine 2,3 – 4,5
Naloxone 3 – 4,5
Noradrenalin acid tartrate 3 – 4,5
Ocreotide 3,9 – 4,5
Omeprazole 9 -10
Ondansentron 3,4 – 3,8
Oxytocin 3,7 – 4,3
Phenobarbital 9 – 10,5
Phenytoin sodium 12
Protamine sulfate 2,5 – 3,5
Quinine dihydrochloride 2–3
Vancomycin 2,8 – 4,5
Glucosa 10% 535
Glucosa 20% 1110
Glucosa 50% 2775
Kalsium gluconate 10% 670
10
Kalsium klorida 1500
5mmol/10 ml
Diazepam 7775
Mannitol 10% 550
Mannitol 20% 1100
Magnesium sulfat 50% 4060
Potassium chloride 4060
20mmol/10 ml
Sodium bicarbonate 1004
4,2%
Sodium bicarbonate 2008
8,4%
Kalsium klorida 20 4000
mmol/10 ml
Natrium bicarbonate 1004
4,2%
Natrium bicarbonate 2008
8,4%
Nutrisi parenteral >290
2. Ekstravasasi
Ekstravasasi adalah bocornya obat dari vena ke dalam jaringan disekitarnya. Hal
ini dapat terjadi karena batang jarum menembus vena atau karena obat bersifat
korosif dan merusak vena. Larutan yang osmolaritasnya tinggi dan Ph larutan yang
ekstrim lebih sering menyebabkan ekstravasasi. Kerusakan jaringan disekitar vena
dapat meluas, contoh setelah pemberian larutan natrium bikarbonat. Dua golongan
obat sitostatika yang lazim diresepkan yang sangat merusak jaringan jika terjadi
ekstravasasi adalah alkaloid vinka, seperti vinkristin dan anthrasiklin, seperti
doksorubisin dan daunorubisin. Obat-obat seperti vinkristin dan doksorubisin bila
diberikan secara perifer harus diberikan secara bolus melalui tetasan (drip) laju
cepat. Hal ini karena jika obat meninggalkan vena dapat menyebabkan
pembengkakan dan petugas yang memberikan obat tersebut harus berada
disamping pasien agar dapat memberikan Tindakan segera bila terjadi hal yang
tidak diinginkan.
Tanda-tanda ekstravasasi, meliputi :
a. Nyeri, rasa kurang anak, rasa terbakar atau bengkak di tempat injeksi
b. Tahanan terhadap Gerakan penghisap alat suntik
c. Aliran cairan infus tidak lancer
11
Jika diduga ada ekstravasasi maka Tindakan yang dapat dilakukan adalah :
a. Hentikan injeksi dengan segera
b. Tinggalkan kanula/jarum pada tempatnya
c. Keluarkan obat (aspirasikan) melalui kanula/jarum
d. Naikkan anggota badan
e. Konsultasikan ke dokter spesialis untuk mengobati efek obat tersebut.
3. Tromboflebitis
Tromboflebitis kadang-kadang disebut flebitis adalah radang vena yang
penyebabnya hampir sama dengan penyebab ekstravasasi. Sangat nyeri dan
disertai dengan kemerahan pada kulit, kadang-kadang disepanjang vena.
Tromboflebitis dapat menyebabkan kebekuan daran.
Resiko dapat dikurangi dengan cara :
a. Menggunakan vena besar;
b. Menghindari infus yang panjang;
c. Menghindari Ph ekstrim atau larutan hyperosmolar;
d. Dianjurkan untuk diberikan dengan aliran darah cepat dan aliran infus cepat.
e. Menggunakan cakram nitrat (nitrat patches) di atas tempat injeksi untuk
meningkatkan aliran darah.
f. Menambahkan heparin pada larutan infus (1 unit/ml)
g. Menggunakan penyaring dalam jalur infus (0,22 mikron)
h. Staf yang berpengalaman.
4. Embolisme
Sumbatan dapat disebabkan oleh endapan obat yang mengendap yang kontak
dengan darah atau gumpalan sel-sel darah akibat reaksi obat. Emboli udara (air
embolus) disebabkan oleh udara yang masuk vena, dapat berakibat fatal.
5. Infeksi
Infeksi sering kali masuk pada tempat kateter menembus kulit dan itu sebabnya
banyak infeksi yang dikaitkan infus yang disebabkan bakteri gram positif
koagulase negative yang umum terdapat pada kulit. Organisme yang sering
diisolasi dari ujung kanula adalah Staphylococcus aureus atau Staphylococcus
epidermis. Risiko terkena infeksis sistemik meningkat pada penggunaan vena
sentral.
6. Reaksi alergi
12
Obat-obat yang cenderung menimbulkan reaksi alergi adalah produk darah,
antibiotic, aspirin, obat anti inflamasi non steroid (AINS), heparin, penghambat
transmisi neuro muskuler.
Reaksi alergi tidak hanya terjadi sebagai respon terhadap bahan aktif dalam
sediaan, tetapi juga terhadap bahan-bahan tambahan dalam produk. Tanda-tanda
alergi, meliputi bersin-bersin, sesak nafas, demam, sianosis, pembengkakan
jaringan lunak, dan perubahan tekanan darah. Epinefrin merupakan pengobatan
yang paling efektif dan harus diberikan segera dan di bawah pengawasan medis
yang cermat. Reaksi minor (ruam kulit, reaksi urtikaria) dapat ditangani atau
dicegah dengan hidrokortison atau suatu antagonis histamin, seperti
Chlorpeniramin maleas (CTM).
7. Syok
Beberapa obat bila diberikan terlalu cepat dapat menyebabkan berbagai
komplikasi antara lain hipotensi, kolaps, bradikardi dan kesulitan pernapasan. Hal
ini digambarkan sebagai speed shock.
BAB IV
DOKUMENTASI
13
14