Anda di halaman 1dari 24

 

 
BAB II
  LANDASAN TEORI
  II.1 Proses Pemurnian di Pabrik Gula Tersana Baru

Nira  yang didapatkan dari proses penggilingan dan masih mengandung pengotor
masuk ke  proses pemurnian untuk menghilangkan zat yang bukan gula ataupun kotoran

  yang masih terdapat dalam nira mentah. Proses pemurnian nira di pabrik ini
menggunakan bahan pembantu dalam prosesnya. Dalam proses pemurnian nira ini
 
menggunakan proses sulfitasi yaitu menambahkan gas SO₂ dan Ca(OH)₂ yang disebut
 
sebagai susu kapur dengan maksud untuk mengendapkan kotoran agar mudah dipisahkan
dalam proses
  penapisan.
  Di stasiun pemurnian nira mentah dari hasil penggilingan masuk ke dalam saringan.
Nira mentah hasil saringan menuju ke tangki penampungan nira mentah. Kemudian nira
mentah dipompa menuju ke juice heater I untuk dipanaskan dengan suhu mencapai 75-
80˚C (167-176oF). Proses pemanasan ini bertujuan untuk mempercepat proses
penggumpalan koloid dan membunuh bakteri patogen yang ada pada nira mentah. Setelah
melewati juice heater I nira mentah dimasukan pada mixer (defekator) untuk
ditambahkan lime-saccharate (Ca(OH)₂) hingga pH mencapai 8,5-9,0 untuk
menghilangkan inti endapan kalsium pospat. Selanjutnya nira dimasukkan dalam
sulfitator tower untuk direaksikan dengan gas SO₂ hingga mencapai pH 7,0-7,2. Hal ini
bertujuan untuk menghilangkan endapan kalsium sulfur dan menetralkan kelebihan kapur
pada proses penambahan susu kapur.
Untuk lebih menyempurnakan reaksi maka nira dimasukan ke sulfit tank dengan
menjaga pH sekitar 7,0-7,2 dengan menambahkan sedikit susu kapur. Nira mentah
kemudian dipompa menuju juice heater II untuk dipanaskan sampai mencapai suhu 105-
110˚C (221-230oF). Tujuan dari pemanasan ini untuk menurunkan kelarutan garam-
garam dan viskositas, serta menyempurnakan reaksi. Selanjutnya nira masuk ke dalam
flash tank dengan suhu sekitar 105-110˚C (221-230oF) untuk menghilangkan gas-gas
yang tidak terembunkan sehingga tidak menghambat proses pengendapan nantinya. Nira
yang dihasilkan ditampung dan disemprotkan floculant ke dalamnya, floculant ini
berfungsi untuk mengikat rantai endapan sehingga dihasilkan rantai yang lebih besar.

 
II-1
 

 
Setelah itu nira yang tercampur dengan floculant akan mengalir ke dalam wadah
 
pengendapan (clarifier) untuk memisahkan nira jernih dan nira kotor. Nira jernih masuk
  ke proses penguapan sedangkan nira kotor masuk ke Rotary Vacum Filter (RVF) untuk

dilakukan  penapisan nira kotor terhadap pengotornya. Di mana penapisan ini


menghasilkan
  blotong dan nira encer. Blotong dapat digunakan sebagai biokompos dan
nira encer hasil penapisan di masukan kembali ke tangki penampungan nira mentah.
 

  II.2 Juice Heater

Juice
  heater merupakan alat yang bertugas menaikkan suhu sari-sari (ekstrak)
dengan menggunakan
  steam. Jenis dan bentuk dari alat pemanas ini adalah heat
exchanger yang biasanya berbentuk shell and tube. Di dalam shell and tube ini salah satu
 
fluida mengalir di dalam tube (nira), sedang fluida lainnya dialirkan melalui shell (steam)
melintasi luar tabung. Di dalam shell pada juice heater terdapat sekat-sekat (baffles)
untuk menjamin bahwa fluida di shell mengalir secara turbulent selama melintasi tabung
dan dengan demikian menyebabkan perpindahan kalor lebih optimal. Adapun gambar
juice heater secara umum ditunjukkan pada Gambar II-1 di bawah ini.

Gambar II. 1 Juice Heater


Sumber: Hugot, E. 1986

 
II-2
 

 
Bagian-bagian dari juice heater berdasarkan Gambar II.1 dijelaskan sebagai berikut
 
ini:
  a) Saluran masuk nira (juice inlet): yaitu saluran ini berfungsi sebagai saluran masuk
  juice heater.
nira ke

  keluar nira (juice outlet): yaitu saluran ini berfungsi sebagai saluran keluar
b) Saluran
nira setelah proses pemanasan.
 
c) Saluran masuk uap pemanas (steam entry): yaitu saluran ini berfungsi sebagai saluran
 
masuk uap pemanas untuk memanaskan nira.
d) Pipa  kondensat: yaitu saluran yang berfungsi untuk menyalurkan air yang terkumpul
untuk  keluar dari juice heater.

  II.3 Heat Exchanger

Heat exchanger atau dalam bahasa Indonesia disebut alat penukar panas
didefinisikan sebagai suatu alat yang dipergunakan untuk memindahkan atau mentransfer
energi panas antara satu fluida dengan fluida lain. Heat Exchanger sangat banyak
diaplikasikan di industri-industri seperti kilang minyak, pabrik kimia, industri pengolahan
gas bumi, refrigerasi, pembangkit listrik, industri pangan dan industri lainnya. Heat
Exchanger dapat diklasifikasikan berdasarkan proses perpindahan panas, pengaturan
aliran dan pengaturan laluan. Berikut akan dijelaskan jenis heat exchanger berdasarkan
klasifikasi tersebut.

II.3.1 Klasifikasi Heat Exchanger Berdasarkan Proses Perpindahan Panas

Berdasarkan proses perpindahan panasnya, heat exchanger terbagi ke dalam dua


jenis, yaitu tipe kontak tak langsung dan tipe kontak langsung.

a) Heat Exchanger tipe Kontak Tak Langsung

Heat exchanger tipe ini melibatkan adanya suatu dinding pemisah antara fluida
kerja dengan fluida pemanas/pendinginnya. Oleh karena itu, pada tipe ini, tidak akan
terjadi kontak secara langsung antara fluida-fluida yang terlibat.

b) Heat Exchanger tipe Kontak Langsung

 
II-3
 

 
Perpindahan panas antara fluida satu dan lainnya pada alat tipe kontak langsung ini
 
juga melibatkan pencampuran sejumlah massa fluida-fluida tersebut. Perpindahan panas
  yang terjadi biasanya juga melibatkan perubahan fasa dari salah satu fluida yang

mengindikasikan
  terjadinya perpindahan panas dalam jumlah besar dan cepat.

 
II.3.2 Klasifikasi Heat Exchanger Berdasarkan Pengaturan Aliran
 
Aliran dalam sebuah heat exchanger dapat berupa aliran searah (parallel flow),
 
aliran berlawanan arah (counter flow), dan aliran bersilangan (cross flow). Pemilihan jenis
  heat exchanger sangat mempengaruhi efektivitas, arah aliran fluida, level
aliran pada
temperatur,
  dan kriteria desain lainnya. Berikut ini adalah jenis-jenis dari pengaturan

  aliran pada heat exchanger.

a) Parallel Flow Exchanger (Aliran Searah)

Pada heat exchanger tipe aliran ini, aliran fluida memasuki sisi yang sama pada
sebuah heat exchanger dan beraliran searah satu sama lainnya, hingga kemudian keluar
dari sisi yang lain. Pengaturan aliran jenis ini memiliki tingkat efektivitas paling rendah
di antara heat exchanger dengan satu laluan pada laju alir, rasio kapasitas, dan luas
permukaan yang sama, gambar arah aliran searah ditunjukkan pada Gambar II.2 di bawah
ini.

Gambar II. 2 Pola Aliran Searah


Sumber: Thulukkanam, Kuppan. 2000

b) Counterflow Exchanger (Aliran Berlawanan Arah)

Pola aliran ini sebetulnya sama-sama sejajar satu sama lain seperti halnya paralle
flow heat exchanger, akan tetapi arah alirannya saling berlawanan seperti tampak pada
Gambar II.3. Secara ideal, pola aliran ini memberikan efisiensi yang paling besar di antara
jenis pola aliran lainnya pada parameter aliran yang sama.

 
II-4
 

 
Gambar II. 3 Pola Aliran Counterflow
  Sumber: Thulukkanam, Kuppan. 2000

 
c) Crossflow Exchanger (Aliran Berlawanan Arah)
 
Pada heat exchanger tipe aliran ini, dua fluida yang mengalir di heat exchanger
 
memiliki arah yang saling tegak lurus atau bersilangan seperti ditunjukan pada Gambar
 
II.4. Tipe ini memiliki efisiensi perpindahan panas yang lebih rendah dari pada tipe
  counter flow tetapi lebih tinggi dari pada tipe parallel flow. Perpindahan panas yang

paling efisien terjadi pada sudut-sudut aliran.

Gambar II. 4 Pola Aliran Crossflow Exchanger


Sumber: Thulukkanam, Kuppan. 2000

II.3.3 Klasifikasi Heat Exchanger Berdasarkan Banyaknya Laluan

Klasifikasi berdasarkan jumlah laluan yang dilakukan terbagi atas single-pass


exchanger dan multiphase exchanger. Pada single-pass, aliran fluida melewati rangkaian
alat penukar panas hanya sekali saja. Sedangkan pada multipass, fluida yang telah
melewati alat penukar panas diputar kembali melewatinya lagi selama dua kali atau lebih.
Multipass exchanger menjadi alternatif ketika desain yang tersedia memerlukan panjang
pipa yang sangat panjang, sehingga untuk mengefisienkan besar alat, maka fluida akan
dilewatkan kembali sehingga lebih efisien. Heat exchanger tipe ini menyederhanakan
desain seri atau paralel dari beberapa heat exchanger menjadi lebih compact dan tidak

 
II-5
 

 
memakan banyak ruang. Untuk lebih jelasnya pengaturan banyaknya laluan ditunjukan
 
pada Gambar II.5 berikut ini:
 

Gambar II. 5 Pengaturan Aliran Multipass. (a) satu laluan shell, dua laluan tube; (b) dua
laluan shell empat laluan tube; (c) tiga laluan shell enam laluan tube
Sumber: Ozisik, M Necah.1985

Pada Gambar II.5 (a) merupakan pengaturan aliran multipass dengan satu laluan
pada shell dan dua laluan pada sisi tube, pada laluan ini fluida dalam shell mengalir hanya
satu kali di dalam heat exchanger dan dua kali pada sisi tube. Untuk Gambar II.5 (b) di
sini menggunakan pengaturan aliran multipass dengan dua laluan pada shell dan empat
laluan pada sisi tube, pada type ini fluida dalam shell mengalir dua kali dalam heat
exchanger dan empat kali pada sisi tube. Untuk Gambar II.5 (c) ini merupakan pengaturan
aliran multipass dengan tiga laluan shell dan enam laluan tube di mana fluida pada shell
mengalir sebanyak tiga kali dalam heat exchanger dan enam kali pada sisi tube.

II.4. Tubular Heat Exchanger

Heat exchanger tipe ini melibatkan penggunaan tube pada desainnya. Bentuk
penampang tube yang digunakan bisa bundar, elips, kotak, twisted dan lain sebagainya.
Heat exchanger tipe tubular didesain untuk dapat bekerja pada tekanan tinggi, baik
tekanan yang berasal dari lingkungan kerjanya maupun perbedaan tekanan antar fluida

 
II-6
 

 
kerjanya. Tipe tubular sangat umum digunakan untuk fluida kerja cair-cair, cair-uap, cair-
 
gas, ataupun juga gas-gas. Jenis heat exchanger tipe tubular ada double pipe heat
  exchanger, coiled tube heat exchanger, linde coil wound heat exchanger dan shall and

tube heat  exchanger.

 
II.4.1 Shell and Tube Heat Exchanger
 
Shell and tube exchanger merupakan alat penukar panas yang cocok digunakan
 
jika dibutuhkan permukaan perpindahan panas yang luas. Alat ini terdiri dari sebuah shell
  bagian luar dan sejumlah tube (tube bundle) di bagian dalam. Di mana
silindris di
  fluida di dalam tube bundle berbeda dengan temperatur di dalam shell
temperatur

  (Sugiyanto, 2008).
Pada sebuah industri proses, shell and tube heat exchanger digunakan dalam jumlah
yang sangat besar, paling banyak di antara jenis alat penukar panas lainnya. Lebih dari
90% alat penukar panas yang dipakai di industri adalah berupa shell and tube. Alat
penukar panas jenis ini menjadi pilihan pertama saat mendesain suatu heat exchanger
karena prosedur desain dan manufakturnya mudah dan dapat dibuat dari berbagai jenis
material. Selain itu, codes dan desain standar sudah banyak tersedia. Tidak ada batasan
desain dalam shell and tube, baik dari segi temperatur operasi, maupun tekanan.

II.4.2 Klasifikasi Kelas Heat Exchanger Shell and Tube Berdasarkan


Tubular Exchanger Manufacturing Association (TEMA)

Alat penukar panas jenis shell and tube yang digunakan pada dunia industri sangat
banyak. Untuk mengklasifikasikannya tentunya sangat sulit, untuk itu Tubular Exchanger
Manufacturing Association (TEMA) mengelompokkan alat penukar panas berdasarkan
pemakaiannya di industri menjadi 3 yaitu:
a) Kelas B: kelas B menentukan persyaratan desain dan fabrikasi untuk heat exchanger
tipe shell and tube yang berada pada proses industri kimia di mana banyak terdapat
proses kimia, zat yang korosif dan fluida dengan suhu yang tinggi dan menggunakan
alloy material construction. Kelas B mirip dengan Kelas R Sehubungan dengan
persyaratan desain, tetapi lebih mendekati kelas C sehubungan dengan ketebalan
minimal dan corrosion allowance.

 
II-7
 

 
b) Kelas C: kelas C menentukan persyaratan desain dan fabrikasi untuk heat exchanger
 
type shell and tube yang berada di lingkungan layanan komersial dan industri proses
  umum dengan tekanan dan temperatur sedang serta fluida yang relatif tidak korosif.
c) Kelas  R: kelas R menentukan persyaratan desain dan fabrikasi untuk heat exchanger
type  shell and tube yang ada di lingkungan migas seperti refinery, oil field dan
industri terkait lainnya. Kelas R umumnya dipilih untuk aplikasi di mana daya tahan
 
dan faktor keamanan menjadi faktor utama.
 
II.4.3 Klasifikasi Tipe Heat Exchanger Shell and Tube Berdasarkan Tubular
 
Exchanger Manufacturing Association (TEMA)
 

  TEMA juga membuat pembagian tipe dari front stasionary head, tipe shell, dan
tipe rear-head, TEMA menggunakan kode tipe yang terdiri atas tiga buah huruf. Adapun
urutan huruf tersebut sebagai berikut:
a) Huruf pertama menyatakan bentuk “Front End Stationary Head Type” atau channel,
dengan menggunakan notasi huruf: A, B, C, dan D
b) Huruf kedua menyatakan bentuk dari shell type. dengan menggunakan notasi huruf:
E, G, H, J, dan K
c) Huruf ketiga menyatakan bentuk dari “Rear End Head Type” atau bagian belakang
dengan menggunakan notasi huruf: L, M, N, P, S, T, U, dan W.
Untuk bentuk dari front stasionary head, tipe shell, dan tipe rear-head ditunjukkan
pada Gambar II.5 di bawah ini.

 
II-8
 

Gambar II. 6 Bagian-Bagian Heat Exchanger Sesuai TEMA


Sumber: Tubular Exchanger Manufacturers Association. 1988

II.4.4 Komponen Dasar Shell & Tube Heat Exchanger

Dalam penguraian komponen-komponen alat penukar panas tipe shell & tube akan
dibahas beberapa komponen dasar yang sangat berpengaruh dalam konstruksinya.

 
II-9
 

 
Komponen-komponen dasar tersebut antara lain: shell & cover shell, tube, channel &
 
cover channel, tubesheet, dan baffle.
  a) Shell & Cover Shell: merupakan bagian tengah dari alat penukar panas tipe shell and
tube,  di mana terdapat tube bundle. Shell dapat dibuat dari pipa yang berukuran besar
atau dari
  pelat logam yang di roll welded. Konstruksi shell sangat ditentukan oleh
keadaan tube yang akan ditempatkan di dalamnya. Cover shell adalah penutup bagian
 
belakang yang dapat dibuka pada saat pengecekan atau pembersihan di sisi shell.
 
Cover shell berbentuk pelat atau head.
b) Tube:  merupakan bidang perpindahan panas dan sekaligus berfungsi sebagai bidang
pemisah
  antara fluida yang mengalir di sisi shell dan tube. Pemilihan bahan dan
ketebalan tube harus disesuaikan dengan jenis dan tekanan operasi fluida kerjanya.
 
Susunan tube ini dibuat berdasarkan pertimbangan untuk mendapatkan jumlah tube
atau untuk kemudahan perawatan. Ada beberapa tipe susunan tube (layout) seperti
yang dapat dilihat pada Gambar II.6 di bawah ini.

Gambar II. 7 Tube Layout


Sumber: Kern. 1983

c) Channel & Cover Channel: berfungsi untuk mengatur aliran fluida pada sisi tube
agar sistem perpindahan panas merata sesuai yang diinginkan. Channel terdiri dari
chanel flange, channel shell, partition plate, channel nozzle inlet & outlet. Cover
channel adalah bagian penutup depan dari alat penukar panas tipe shell & tube yang
dapat dibuka untuk pengecekan dan pembersihan pada sisi tube. Cover channel
berbentuk pelat atau head.

 
II-10
 

 
d) Tube Sheet: adalah suatu pelat lingkaran yang berfungsi untuk memegang ujung-
 
ujung tube dan sebagai pembatas aliran fluida di sisi shell dan tube. Tube sheet dapat
  dilihat pada Gambar II.7.
e) Baffle:
  adalah sekat-sekat di dalam shell di mana fungsi dari baffel ini adalah untuk
mengatur
  aliran fluida di sisi shell sehingga turbulensi yang tinggi akan didapatkan,
menahan struktur dari tube bundle dan menahan atau mencegah terjadinya getaran
 
pada tube. Bentuk dari baffel seperti ditampilkan Gambar II.7.
 

Gambar II. 8 Baffel


Sumber: Kern. 1983

II.5 Perancangan Heat Exchanger Tipe Shell & Tube

Untuk merancang heat exchanger yang berbentuk shell and tube, dibutuhkan
asumsi dimensi pipa yang ditentukan seperti diameter luar (OD), diameter dalam (ID),
panjang tube, banyaknya laluan pada shell dan tube, jarak baffle, jarak pitch (jarak antara
pusat tube ke pusat tube lain), bentuk tube layout maupun ketebalan pipa yang ditentukan

 
II-11
 

 
dengan melihat parameter Birmingham Wire Gauge (BWG). Perancangan heat exchanger
 
ini memiliki syarat dalam penentuan nilai-nilai tersebut yaitu berdasarkan pressure drop
  dan dirt factor (faktor kekotoran) hasil perhitungan harus sesuai ketentuan. Ketentuannya

untuk pressure
  drop untuk sisi aliran panas (shell) dari air kondensat dan sisi aliran dingin
nira mentah
  (tube) harus kurang dari atau sama dengan 10 psi, serta dirt factor
perancangan harus lebih besar dari sama dengan dirt factor ketentuan (Kern, 1950). Jika
 
ketentuan tersebut belum tercapai maka penentuan dimensi harus diulang kembali sampai
 
ketentuan tersebut tercapai.
Adapun
  langkah-langkah dalam perancangan heat exchanger type shell and tube

  metode Kern dapat dilihat sebagai berikut.


berdasarkan

  II.5.1 Menghitung Neraca Energi

Langkah pertama yang perlu dilakukan dalam perhitungan perancangan ini adalah
melakukan perhitungan neraca energi di sisi tube yaitu digunakan persamaan sebagai
berikut:

𝑄𝑐 = 𝑚𝑐 𝐶𝑝𝑐 (𝑇𝑐𝑜 − 𝑇𝑐𝑖 ) ...................................................................... (2.1)

Keterangan :
𝑄𝑐 = Energi panas yang diterima oleh nira mentah (Btu/h)
𝑚𝑐 = Laju alir massa pada nira mentah (lb/h)
𝑇𝑐𝑖 = Temperatur masuk nira mentah (oF)
𝑇𝑐𝑜 = Temperatur keluar nira mentah (oF)
𝐶𝑝𝑐 = Panas jenis nira mentah (Btu/lboF)
Energi panas yang dilepas air kondensat (𝑄ℎ ) sama dengan energi yang diterima
oleh nira mentah (𝑄𝑐 ). Untuk mencari nilai 𝐶𝑝𝑐 digunakan persamaan (Hugot, E. 1986)
sebagai berikut:

𝐵𝑥
𝐶𝑝𝑐 = 1 − (0,6 − 0,0018𝑇 + 0,0008 . (100 − 𝑃). 100 ..................... (2.2)

Keterangan :

 
II-12
 

 
𝐶𝑝𝑐 = Panas jenis nira mentah (kcal/kgoC)
 
P = Harkat kemurnian (HK)
 
Bx = Brix (larutan gula yang menunjukkan kandungan zat padat yang terdiri
dari
  sukrosa dan zat bukan gula)

T =  Temperatur film (temperatur rata-rata) (oC)

  II.5.2 Menghitung Temperatur Keluaran Air Kondensat


 
Untuk menghitung temperatur keluaran air kondensat dapat digunakan persamaan
 
sebagai berikut:
 
𝑄ℎ
  ∆𝑇𝑘 = ...................................................................................... (2.3)
𝑀ℎ 𝐶𝑝ℎ

𝑇𝑘𝑜𝑢𝑡 = 𝑇𝑘𝑖𝑛− ∆𝑇𝑘 ............................................................................... (2.4)

Keterangan:
𝑚ℎ = Laju alir massa air kondensat (lb/h)
𝐶𝑝ℎ = Panas jenis air kondensat (Btu/lboF)
𝑄ℎ = Energi panas yang dilepas oleh air kondensat (Btu/h)
∆𝑇𝑘 = Beda Temperatur air kondensat (oF)
𝑇𝑘𝑜𝑢𝑡 = Temperatur air kondensat keluar heat exchanger (oF)
𝑇𝑘𝑖𝑛 = Temperatur air kondensat masuk heat exchanger (oF)

II.5.3 Menghitung Beda Temperatur Rata-Rata Logaritmik

Setelah parameter suhu kedua fluida diketahui baik di sisi masukan dan di sisi
keluaran, langkah selanjutnya adalah menghitung beda temperatur rata-rata logaritmik
dengan tipe aliran counter flow, tipe ini dipilih untuk mendapatkan efisiensi perpindahan
panas yang paling besar. Perhitungannya digunakan persamaan berikut:

 
II-13
 

 
∆𝑇1 = 𝑇ℎ𝑜 − 𝑇𝑐𝑖 ................................................................................. (2.5)
 

 
∆𝑇2 = 𝑇ℎ𝑖 − 𝑇𝑐𝑜 ................................................................................. (2.6)
 

 
∆𝑇1 −∆𝑇2
∆𝑇𝑚𝐶𝑓 = ∆𝑇1 ................................................................................. (2.7)
  ln(
∆𝑇2
)

𝑅 = 
𝑇ℎ𝑖 −𝑇ℎ𝑜
........................................................................................ (2.8)
𝑇𝑐𝑜 −𝑇𝑐𝑖
 

 
𝑇𝑐𝑜 −𝑇𝑐𝑖
𝑆= ............................................................................. (2.9)
𝑇ℎ𝑖 −𝑇𝑐𝑖

∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 = 𝐹𝑇 ∆𝑇𝑚𝐶𝑓 ........................................................................... (2.10)

Keterangan:
𝑇ℎ𝑖 = Temperatur masuk air kondensat (oF)
𝑇ℎ𝑜 = Temperatur keluar air kondensat (oF)
𝑇𝑐𝑖 = Temperatur masuk nira mentah (oF)
𝑇𝑐𝑜 = Temperatur keluar nira mentah (oF)
∆𝑇𝑚𝐶𝑓 = Temperatur rata-rata counter flow (oF)
S = Temperatur grup
R = Temperatur grup
∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 = Log mean temperature difference (oF), perbedaan suhu antara aliran
panas dan dingin di setiap akhir heat exchanger
𝐹𝑇 = Faktor perbedaan temperatur, bernilai 0-1 didapatkan dari grafik
LMTD correction factors
Grafik untuk mencari nilai faktor koreksi dapat dilihat pada lampiran Gambar D.2.

 
II-14
 

 
II.5.4 Menghitung Temperatur Kalorik
 

  Untuk menghitung temperatur kalorik digunakan persamaan sebagai berikut:

 
(𝑇ℎ𝑖 +𝑇ℎ𝑜 )
𝑇𝑐 = ..................................................................................... (2.11)
  2

 
(𝑇𝑐𝑜 +𝑇𝑐𝑖 )
  𝑡𝑐 = ...................................................................................... (2.12)
2

 
Keterangan:
Tc =  Temperatur kalorik air kondensat (oF)
  tc = Temperatur kalorik nira mentah (oF)
𝑇ℎ𝑖 = Temperatur masuk air kondensat (oF)
𝑇ℎ𝑜 = Temperatur keluar air kondensat (oF)
𝑇𝑐𝑖 = Temperatur masuk nira mentah (oF)
𝑇𝑐𝑜 = Temperatur keluar nira mentah (oF)

II.5.5 Menghitung Luas Daerah aliran Shell

Untuk menghitung luas aliran shell digunakan persamaan sebagai berikut:


𝐼𝐷 𝐶 ′ 𝐵
𝑎𝑠 = 144 𝑃 .......................................................................................... (2.13)
𝑇

Keterangan:
𝑎𝑠 = Luas daerah aliran shell (ft2)
ID = Diameter dalam shell (in)
𝐶′ = Jarak antar tube (in)
B = Jarak baffel (in)
𝑃𝑇 = tube pitch (in)

Di mana untuk nilai C’ dapat dicari dengan persamaan sebagai berikut:


𝐶 ′ = 𝑃𝑇 − 𝑂𝐷 ................................................................................... (2.14)

Keterangan:

 
II-15
 

 
OD = Diameter luar tube (in)
 
𝐶′ = Jarak antar tube (in)
  𝑃 = tube pitch (in)
𝑇

 
II.5.6 Menghitung Luas Daerah Aliran Tube
 

 
Untuk menghitung luas aliran tube digunakan persamaan sebagai berikut:
𝑁𝑡
 
𝑎𝑡 = 144𝑛 𝑎′ ........................................................................................ (2.15)

Keterangan:
 

𝑎𝑡 =  Luas daerah aliran tube (ft2)


  Nt = Jumlah tube
𝑛 = Laluan pada tube
𝑎′ = Permukaan luar per linear foot (in2)

II.5.7 Menghitung Laju Alir Massa Shell per Luas Daerah Aliran

Untuk menghitung laju aliran massa shell per luas daerah aliran digunakan
persamaan sebagai berikut:
𝑊𝑠
𝐺𝑠 = .............................................................................................. (2.16)
𝑎𝑠

Keterangan:
𝐺𝑠 = Laju alir massa shell per luas daerah aliran (lb/h ft2)
Ws = Laju Massa shell (lb/h)
𝑎𝑠 = Luas daerah aliran shell (ft2)

II.5.8 Menghitung Laju Alir Massa Tube per Luas Daerah Aliran

Untuk menghitung laju aliran massa tube per luas daerah aliran digunakan
persamaan sebagai berikut:
𝑊𝑡
𝐺𝑡 = ............................................................................................... (2.17)
𝑎𝑡

Keterangan:

 
II-16
 

 
𝐺𝑡 = Laju alir massa tube per luas daerah aliran (lb/h ft2)
 
Wt = Laju Massa tube (lb/h)
 
𝑎𝑡 = Luas daerah aliran tube (ft2)
 
II.5.9 Menghitung Bilangan Reynold Sisi Shell
 

  Untuk menghitung bilangan reynold di sisi shell digunakan persamaan sebagai

  berikut:
𝐷𝑒 𝐺𝑠
𝑅𝑒𝑠   = ........................................................................................ (2.18)
𝜇

 
Keterangan:
  𝑅𝑒𝑠 = Bilangan reynold shell
De = Diameter ekuivalen untuk perpindahan panas dan penurunan tekanan
(ft)
𝜇 = Viskositas (lb/ft h) pada temperatur kalorik (Tc)
Gs = Laju alir massa shell (lb/h ft2)

II.5.10 Menghitung Bilangan Reynold Sisi Tube

Untuk menghitung bilangan reynold di sisi tube digunakan persamaan sebagai


berikut:
𝐷 𝐺𝑡
𝑅𝑒𝑡 = .......................................................................................... (2.19)
𝜇

Keterangan:
𝑅𝑒𝑡 = Bilangan reynold tube
D = Diameter dalam tube (ft)
𝜇 = Viskositas (lb/ft h) pada temperatur kalorik (tc)
Gt = Laju alir massa tube (lb/h ft2)

II.5.11 Mencari Nilai Faktor Perpindahan Panas (JH) Sisi Shell and Tube

Untuk mencari nilai faktor perpindahan panas (JH) baik itu di sisi shell maupun tube
menggunakan grafik. Untuk nilai faktor perpindahan panas (JH) sisi shell dapat dicari

 
II-17
 

 
dengan menggunakan grafik (JH) sisi shell pada lampiran Gambar D.4 dan untuk nilai
 
faktor perpindahan panas (JH) sisi tube dapat dicari dengan menggunakan grafik (JH) sisi
  tube pada lampiran Gambar D.3

 
II.5.12 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Umum Outside Fluida per
 
Viskositas Rasio Shell
 
Untuk menghitung koefisien perpindahan panas umum outside fluida per viskositas
 
rasio shell digunakan persamaan sebagai berikut:
ℎ𝑜
  𝐾 𝐶𝑝𝜇 1
= 𝐽𝐻 ( )3 ............................................................................ (2.20)
𝜑s 𝐷𝑒 𝐾
 

 
Keterangan:
ℎ𝑜 = Koefisien perpindahan panas umum outside fluida (Btu/h ft2 oF)
JH = faktor perpindahan panas shell
𝜇 = Viskositas (lb/ft h) pada temperatur kalorik (Tc)
K = Konduktivitas panas (Btu/ft h oF ) pada temperatur kalorik (Tc)
De = Diameter ekuivalen untuk perpindahan panas dan penurunan tekanan
(ft)
Cp = Kapasitas panas (Btu/lboF) pada temperatur kalorik (Tc)
𝜑s = Viskositas ratio shell (perbandingan nilai viskositas pada temperatur
kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)
Nilai parameter untuk 𝜇, k, dan Cp dicari berdasarkan temperatur kalorik air kondensat
(Tc) menggunakan tabel Perrys Chemical.Engineers.

II.5.13 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Umum Inside Fluida per


Viskositas Rasio Tube

Untuk menghitung koefisien perpindahan panas umum inside fluida per viskositas
rasio tube digunakan persamaan sebagai berikut:
ℎ𝑖 𝐾 𝐶𝑝𝜇 1
= 𝐽𝐻 ( )3 ............................................................................. (2.21)
𝜑t 𝐷 𝐾

Untuk mencari konduktivitas panas nira digunakan persamaan berikut ini:

 
II-18
 

 
𝐾 = (3,61 × 10−4 𝑇) − (1,96 × 10−3 𝐵𝑥) + 0,322 ......................... (2.22)
 
Keterangan:
 
ℎ𝑖 = Koefisien perpindahan panas umum inside fluida (Btu/h ft2oF)
 
JH = Faktor perpindahan panas tube
𝜇 =  Viskositas (lb/ft h) pada temperatur kalorik (tc)
  K = Konduktivitas panas (Btu/ft h oF ) pada temperatur kalorik (tc)
  D = Diameter dalam tube (ft)
Cp = Kapasitas panas (Btu/lboF) pada temperatur kalorik (tc)
 
𝜑t = Viskositas rasio tube (perbandingan nilai viskositas pada temperatur
 
kalorik terhadap viskositas suhu suhu dinding)
  T = Suhu Nira (oF)
Bx = Brix (larutan gula yang menunjukkan kandungan zat padat yang terdiri
dari sukrosa dan zat bukan gula)

II.5.14 Konversi Koefisien Perpindahan Panas Umum Inside Fluida (𝒉𝒊 ) ke


Nila Koefisien Perpindahan Panas Umum Inside Fluida Ketika
Merujuk pada Diameter Luar Tube (𝒉𝒊𝒐 )

Untuk mengkonversi ℎ𝑖 ke ℎ𝑖𝑜 digunakan persamaan sebagai berikut:

....................................................................... (2.23)
ℎ𝑖𝑜 ℎ 𝐼𝐷
= 𝜑t𝑖 ×
𝜑t 𝑂𝐷

Keterangan:
𝐼𝐷 = Diameter dalam tube (in)
OD = Diameter luar tube (in)
ℎ𝑖 = Koefisien perpindahan panas umum inside fluida (Btu/h ft2 oF)
𝜑t = Viskositas rasio tube (perbandingan nilai viskositas pada temperatur
kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)
ℎ𝑖𝑜 = Nila Koefisien perpindahan panas umum inside fluida (hi) ketika
merujuk pada diameter luar tube (Btu/h ft2 oF)

 
II-19
 

 
II.5.15 Menghitung Temperatur Dinding
 

  Untuk menghitung temperatur dinding digunakan persamaan sebagai berikut:


ℎ𝑜

𝑡𝑤  = 𝑡𝑐 + (𝑇𝑐 − 𝑡𝑐) ............................................................. (2.24)


𝜑s
ℎ𝑖𝑜 ℎ𝑜
+
𝜑t 𝜑s
 
Keterangan:
 
𝑡𝑤 = Temperatur dinding (oF)
 
Tc = Temperatur kalorik air kondensat (oF)
tc =  Temperatur kalorik nira mentah (oF)
ℎ𝑜 =  Koefisien perpindahan panas umum outside fluida (Btu/h ft2 of)

  𝜑t = Viskositas rasio tube (perbandingan nilai viskositas pada temperatur


kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)
𝜑s = Viskositas ratio shell (perbandingan nilai viskositas pada temperatur
kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)
ℎ𝑖𝑜 = Nila Koefisien perpindahan panas umum inside fluida (hi) ketika
merujuk pada diameter luar tube (Btu/h ft2 of)

II.5.16 Menghitung Viskositas Rasio Shell (𝝋s)

Untuk menghitung viskositas rasio shell (𝜑s) digunakan persamaan sebagai


berikut:
𝜇
𝜑s = ( )0.14 ..................................................................................... (2.25)
𝜇𝑤

Keterangan:
𝜑s = Viskositas ratio shell (perbandingan nilai viskositas pada temperatur
kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)
𝜇 = Viskositas (lb/ft h) pada temperatur kalorik (Tc)

𝜇𝑤 = Viskositas (lb/ft h) pada suhu dinding (tw)

 
II-20
 

 
II.5.17 Menghitung Viskositas Rasio Tube (𝝋t)
 

  Untuk menghitung viskositas rasio tube (𝜑t) digunakan persamaan sebagai


berikut:
 
𝜇
𝜑t = ( )0,14 ..................................................................................... (2.26)
  𝜇𝑤

  Keterangan:

  𝜑t = Viskositas rasio tube (perbandingan nilai viskositas pada temperatur

  kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)


𝜇 = Viskositas (lb/ft h) pada temperatur kalorik (tc)
 
𝜇𝑤 = Viskositas (lb/ft h) pada suhu dinding (tw)
 

II.5.18 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Umum outside fluida (𝒉o)

Untuk menghitung koefisien perpindahan panas umum outside fluida digunakan


persamaan sebagai berikut:

ℎ𝑜 =
ℎ𝑜
𝜑s
× 𝜑s................................................................................... (2.27)
Keterangan:
𝜑s = Viskositas rasio shell
ℎ𝑜 = Koefisien perpindahan panas umum outside fluida (Btu/h ft2 oF)

II.5.19 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Umum Inside Fluida


Ketika Merujuk pada Diameter Luar Tube (𝒉𝒊𝒐 )

Untuk menghitung koefisien perpindahan panas umum inside fluida kerika


merujuk pada diameter luar tube digunakan persamaan sebagai berikut:
ℎ𝑖𝑜
ℎ𝑖𝑜 = × 𝜑t .................................................................................... (2.28)
𝜑t

Keterangan:
𝜑t = Viskositas rasio tube (perbandingan nilai viskositas pada temperatur
kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)

 
II-21
 

 
ℎ𝑖𝑜 = Nila Koefisien perpindahan panas umum inside fluida (hi) ketika
 
merujuk pada diameter luar tube (Btu/h ft2 of)
 
II.5.20 Menghitung
  Koefisien Perpindahan Panas Bersih Keseluruhan

Untuk
  menghitung koefisien perpindahan panas bersih keseluruhan digunakan
  persamaan sebagai berikut:

  𝑈𝑐 = ℎ
ℎ𝑖𝑜 ℎ𝑜
𝑖𝑜𝑐 + ℎ𝑜
................................................................. (2.29)
 
Keterangan:
𝑈c =  koefisien perpindahan panas bersih keseluruhan (Btu/h ft2 oF)
  ℎ𝑖𝑜 = Nila Koefisien perpindahan panas umum inside fluida (hi) ketika
merujuk pada diameter luar tube (Btu/h ft2 oF)
ℎ𝑜 = Koefisien perpindahan panas umum outside fluida (Btu/h ft2 oF)

II.5.21 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Desain Keseluruhan

Untuk menghitung koefisien perpindahan panas desain keseluruhan digunakan


persamaan sebagai berikut:
𝑄𝑐
𝑈𝐷 = A .................................................................................... (2.30)
∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷

𝐴 = 𝑁𝑡 𝑎" L ....................................................................................... (2.31)

Keterangan:
𝑈𝐷 = koefisien perpindahan panas desain keseluruhan (Btu/h ft2 oF)
𝑄𝑐 = Energi panas yang diterima oleh nira mentah (Btu/h)
𝐴 = Luas permukaan perpindahan panas (ft2)
∆𝑇𝐿𝑀𝑇𝐷 = Log mean temperature difference (oF), perbedaan suhu antara aliran
panas dan dingin di setiap akhir heat exchanger
𝑁𝑡 = Jumlah tube
𝑎" = External surface per linear foot (ft)
L = Panjang tube (ft)

 
II-22
 

 
II.5.22 Menghitung Faktor Kekotoran
 

  Untuk menghitung faktor kekotoran digunakan persamaan sebagai berikut:


𝑈𝑐 −𝑈𝐷
𝑅𝑑 =
  ......................................................................................... (2.32)
𝑈𝑐 𝑈𝐷

Keterangan:
 

  𝑅𝑑 = Faktor kekotoran (h ft2 oF/Btu)

  𝑈c = Koefisien perpindahan panas bersih keseluruhan (Btu/h ft2 oF)


𝑈𝐷 = Koefisien perpindahan panas desain keseluruhan (Btu/h ft2 oF)
 

 
II.5.23 Menghitung Pressure Drop Sisi Shell

 
Untuk menghitung pressure drop sisi shell digunakan persamaan sebagai berikut:
𝑓 𝐺 2 𝐷 (𝑁+1)
∆𝑝𝑠 = 5,22 ×10𝑠10𝑠𝐷 ................................................................... (2.33)
𝑒 𝑠𝑝𝑔𝑟 𝜑s

𝐿
𝑁+1= .......................................................................................... (2.34)
𝐵

Keterangan:
∆𝑝𝑠 = Peressure drop sisi shell (psi)
𝑓 = Faktor gesekan (ft2/in2)
Gs = Laju alir massa shell (lb/h ft2)
Ds = Diameter dalam (ft)
De = Diameter ekuivalen untuk perpindahan panas dan penurunan tekanan
(ft)
Spgr = Specific gravity
𝜑s = Viskositas rasio shell (perbandingan nilai viskositas pada temperatur
kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)
N = Number of shell side baffle
L = Pajang tube (ft)
B = Baffel spacing (in)

 
II-23
 

 
II.5.24 Menghitung Pressure Drop Sisi Tube
 

  Untuk menghitung pressure drop sisi tubel digunakan persamaan sebagai


berikut:
 

 
𝑓 𝐺2 𝐿 𝑛
∆𝑝𝑡 = 5,22 ×1010𝑡 𝐷 𝑠𝑝𝑔𝑟 𝜑t .................................................................... (2.35)
 
4𝑛 𝑉2
  ∆𝑝𝑟 = ..................................................................................... (2.36)
𝑠𝑝𝑔𝑟 2𝑔
 
∆𝑝𝑇 = ∆𝑝𝑡 + ∆𝑝𝑡 ............................................................................. (2.37)
 
Keterangan:
 
∆𝑝𝑇 = Peressure drop sisi tube total (psi)
∆𝑝𝑡 = Peressure drop sisi tube (psi)
∆𝑝𝑟 = Peressure drop sisi tube akibat laluan (berubah arah) (psi)
𝑓 = Faktor gesekan (ft2 /in2)
Gt = Laju alir massa tube (lb/h ft2)
D = Diameter dalam tube (ft)
Spgr = Specific gravity
𝜑t = Viskositas rasio tube (perbandingan nilai viskositas pada temperatur
kalorik terhadap viskositas pada suhu dinding)
n = Laluan tube
g = Percepatan gravitasi (ft/sec2)
V = Kecepatan (fps)
L = pajang tube (ft)

 
II-24

Anda mungkin juga menyukai