Anda di halaman 1dari 76

ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK GERONTIK DENGAN

GANGGUAN PSIKOTIK PADA LANSIA DI PSTW BUDI MULIA 3


CENTEX JAKARTA TIMUR

Pembimbing 1 : Ns Satria Gobel M.Kep., Sp. Kep. Kom


Pembimbing 2 : Dr. Rian Adi Pamungkas, M.N.S., P.H.N
Pembimbing 3 : Ns Abdurrasyid, M.kep., Sp. Kep. Kom

Disusun Oleh :
KELOMPOK 1
1. ISJAN HARISAL LIAMBO 20220305006
2. MELISSA OKTOFERMINA 20220305007
3. RAJA ARFELIANTRY 20220305008
4. THEOPHILA MONICA 20220305009
5. ANASTASYA ELISABETH 20220305010
6. JANITA RUTH LAIDYA 20220305012
7. RAHMA TANIA BR D 20220305013
8. RIA NOVIANTI SUKAN 20220305018
9. DESI NOVALINA S 20220305026

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN GERONTIK


PROGRAM STUDI NERS
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
TAHUN 2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, kasih sayang dan
Kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir dengan judul
“Asuhan Keperawatan Kelompok Gerontik dengan Gangguan Sensori Persepsi:
Halusinasi pada Lansia di PTSW Budi Mulia 3 Centex” sebagai salah satu syarat
menyelesaikan mata kuliah keperawatan stase gerontik progrm studi profesi Ners.
Penulis menyadari bahwa laporan tugas ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan,
bimbingan, dan pengarahan. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu. Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada
pihak-pihak sebagai berikut.

1. Ns. Satria Gobel M.Kep., Sp.Kep.Kom Selaku Koordinator


2. Dr. Rian Adi Pamungkas, M.N.S, P.H.N Selaku Penguji
3. Ns. Abdurrasyid, M.Kep., Sp.Kep.Kom Selaku Penguji
4. Welasi S.Sos selaku kepala Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3 Centex
Jakarta Timur
5. Ahi Hasanudin S.sos selaku wakil Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 3
Centex Jakarta Timur

Penulis menyadari bahwa penyusunan Laporan akhir ini masih jauh dari
sempurna, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan
saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan laporan akhir ini. Akhir kata
penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................5
KONSEP TEORI.....................................................................................................5
BAB III..................................................................................................................40
TINJAUAN KASUS..............................................................................................40
ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK GERONTIK...................................40
DI PSTW BUDI MULIA 3 CENTEX JAKARTA TIMUR..................................40
BAB IV..................................................................................................................71
PENUTUP..............................................................................................................71
Daftar Pustaka........................................................................................................73

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Wenger (2004) komunitas adalah sekelompok orang yang
saling berbagi masalah, perhatian atau kegemaran terhadap suatu topik dan
memperdalam pengetahuan serta keahlian mereka dengan saling
berinteraksi secara terus-menerus. Salah satu kelompok khusus dalam
komunitas adalah kelompok khusus lansia. Klasifikasi lansia menurut
WHO (2013) meliputi usia pertengahan yaitu usia 45-59 tahun, usia lanjut
elderly 60-74 tahun, usia lanjut tua 75-90 tahun dan usia sangat tua diatas
90 tahun lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.
Proses menua pada manusia merupakan peristiwa yang alamiah
yang tidak dapat dihindari dan menjadi lansia merupakan suatu rahmat
(Mangoenprasodjo, 2005). Menurut Tamher dan Noorkasiani (2009)
terdapat 3 aspek yang harus diperhatikan pada lansia, yaitu perubahan
kondisi fisik atau biologis, kondisi psikologis dan kondisi perubahan
sosial.
Gangguan psikotik merupakan gangguan jiwa yang ditandai
dengan adanya halusinasi, waham, perilaku kacau, pembicaraan kacau.
(Sylvia et al, 2010).
Persepsi adalah proses diterimanya rangsang sampai rangsangan
itu disadari dan dimengerti penginderaan atau sensasi. Jadi gangguan
persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara
rangsang yang timbul dari internal seperti pikiran, perasaan, sensasi
somatik dengan impuls dan stimulus eksternal.
Halusinasi adalah suatu keadaan dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi yang disebabkan stimulus yang sebenarnya itu
tidak ada (Sutejo, 2017). Halusinasi adalah persepsi klien yang salah
terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, memberi persepsi yang
salah atau pendapat tentang sesuatu tanpa ada objek atau rangsangan yang

1
nyata dan hilangnya kemampuan manusia untuk membedakan rangsangan
internal pikiran dan rangsangan eksternal (Setyani, 2019).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas
yang dilakukan perawat kepada sekelompok Kelompok WBS yang
mempunyai masalah keperawatan yang sama. Terapi aktivitas kelompok
sudah sejak lama dimasukkan dalam program terapi keperawatan di dunia
yang merupakan salah satu dari interpensi keperawatan yang
diprogramkan terhadap Kelompok WBS jiwa skizoprenia dengan masalah
Kelompok WBS yang mengalami halusinasi (Tarigan, 2021). Terapi
aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) dilaksananakan dengan membantu
Kelompok WBS melakukan sosialisasi dengan individu yang ada disekitar
Kelompok WBS. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari
interpersonal (satu dan satu), kelompok dan massa. Aktivitas dapat berupa
latihan sosialisasi dalam kelompok (Rusdi, 2016). Dengan TAK itu sendiri
memerlukan psikoterapi dengan sejumlah Kelompok WBS dengan waktu
yang sama, manfaat terapi aktivitas kelompok adalah agar klien dapat
kembali belajar bagaimana cara bersosialisasi karena kelompok ini
berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan membantu satu sama
lain untuk menemukan cara menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh
paparan stimulus kepadanya.
Berdasarkan pengkajian yang dilakukan oleh mahasiswa Profesi
Ners Universitas Esa Unggul Jakarta Barat, Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Mulia 3 Centex pada tanggal 4 April 2023, sebanyak 90% lansia
mengalami masalah kesehatan psikologis psikotik akut. Jenis psikotik akut
yang dialami adalah halusinasi pendengaran, oleh karena itu perlu
diadakan Terapi Aktivitas Kelompok tentang halusinasi pada lansia. Jika
tidak dilakukan TAK, maka akan rentan terjadinya resiko perilaku
kekerasan. Oleh karena itu, kami menganggap dengan Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK) lansia dengan gangguan sensori persepsi dapat tertolong
dalam hal mengenal dan mengontrol halusinasi yang mereka alami. Lansia
yang mengikuti terapi ini adalah Kelompok WBS yang sudah kooperatif

2
sehingga pada saat TAK Kelompok WBS dapat bekerjasama dan tidak
mengganggu anggota kelompok yang lain.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan umum
Untuk mengaplikasikan asuhan keperawatan pada lansia dengan
gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di PSTW
Budi Mulia 3 Centex Jakarta Timur.
1.2.2 Tujuan khusus
a. Mampu melakukan asuhan keperawatan terkait dengan
masalah keperawatan pada kelompok lansia yang telah
teridentifikasi yaitu gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran.
b. Mampu melaporkan keberhasilan asuhan keperawatan yang
telah dilakukan selama praktek di Panti Sosial Tresna
Wredha Budi Mulia 3.
1.3 Manfaat
Manfaat dari asuhan keperawatan kelompok lansia ini adalah:
1.3.1 Bagi mahasiswa
Dapat menerapkan konsep teori/asuhan keperawatan gerontik pada
lansia sebagai kelompok di Panti Sosial Tresna Werdha 3
Centex
1.3.2 Bagi lansia
a. Lansia dapat mengenal masalah kesehatannya.
b. Lansia mendaptkan penjelasan tentang kesehatannya secara
sederhana.
c. Lansia dapat meningkatkan kualitas hidupnya secara
optimal.

3
1.3.3 Bagi Panti Sosial Tresna Werdha 3 Centex
Diharapkan dapat memberikan sumbangan/masukkan berupa informasi
tentang kondisi kesehatan masyarakat panti guna membantu
program kesehatan pada masyarakat khususnya lansia.

4
BAB II
KONSEP TEORI

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Definisi Lansia
Lanjut usia adalah seorang yang menggapai umur 60 tahun ke atas
sebagai permulaan tua, bersumber pada undang-undang Nomor 13 tahun
1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab 1 ayat 2 (Kemenkes,
2016). Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia yang akan dialami
setiap individu secara alamiah. Menjadi lansia berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya yaitu anak, dewasa hingga tua. Pada fase
ini lansia banyak mengalami perubahan baik secara fisik maupun mental
khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi tubuh dan kemampuan
yang pernah dimilikinya. Lansia dibagi menjadi tiga yaitu young old (65–
74 tahun), middle old (75–84 tahun), dan old–old lebih dari 85 tahun (Fata
et al., 2014).
Masa lanjut usia adalah proses akhir dari siklus kehidupan manusia,
menurut WHO melaporkan lansia dibagi menjadi 4 kategori ialah umur
pertengahan 45-59 tahun (middle age), lanjut umur 60-74 tahun (eldery),
lanjut umur tua 75-90 dan sangat tua (very old) lebih dari 90 tahun
(Anwar, 2017). Menurut Organisasi kesehatan dunia World Health
Organization (WHO) seseorang disebut lanjut usia (elderly) jika berumur
60 – 74 tahun. Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan
pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3),
(4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia
adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Anggraini,
2018) Seseorang dapat dikatakan lansia apabila sudah berumur lebih dari
60 tahun serta tidak memiliki kemampuan untuk bekerja dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Ratnawati, 2021).
Keputusan Menteri Sosial No. 3-1-50/107 tahun 1971 seseorang
dapat dinyatakan sebagai lansia setelah bersangkutan mencapai usia 55
tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri

5
untuk keperluan hidupnya sehari – hari dan menerima nafkah dari
orang lain (Nisa, 2020).
Lansia merupakan tahap akhir tumbuh kembang manusia. Tahap
dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang
maksimal dan kemudian mulai menyusut karena semakin
berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh. Selain itu tubuh
akan mengalami penurunan fungsi secara perlahan, inilah yang disebut
dengan proses penuaan (Maryam, 2008).
2.1.2 Proses Menua
Menua atau menjadi tua adalah sebuah kondisi yang lazim terjadi pada
kehidupan. Menua merupakan proses yang tidak terjadi pada waktu
tertentu saja tetapi terus terjadi seumur hidup sejak seseorang dilahirkan
hingga mati. Menua adalah hal yang terjadi secara alamiah, artinya
seseorang sudah melewati tiga tahapan kehidupan, yaitu tahap anak, tahap
dewasa, dan tahap tua. Secara biologis maupun psikologis ketiga tahapan
tersebut memiliki perbedaan. Kemunduran akan terjadi ketika masuk usia
tua. Seperti kemunduran fisik salah satu tandanya adalah beberapa gigi
mulai lepas, kendornya kulit, munculnya uban (rambut putih),
menurunnya kemampuan penglihatan, gerakan menjadi semakin lambat,
kemampuan pendengaran menurun, dan secara fisik tubuh menjadi terlihat
kurang profesional (Hasanah, 2021).
Menjadi tua (menua) adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam
kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup
yang tidak hanya di mulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti
seseorang telah mulai tahap – tahap kehidupannya, yaitu neonatus, toddler,
pra school, school, remaja, dewasa dan lansia. Tahap berbeda ini dimulai
baik secara biologis maupun psikologis menua juga terjadi pada sel-sel
otak, hal ini berakibat pada proses berpikir yang menjadi lamban, sulit
berkonsentrasi, kemampuan daya ingat dan fungsi kognitif menurun
(Fajrin, 2020).

6
Menurut WHO dan Undang – Undang No 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan bahwa
umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit,
akan tetapi merupakan proses yang berangsur – angsur mengakibatkan
perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang
berakhir dengan kematian (Fajrin, 2020).
2.1.3 Perubahan yang terjadi pada lansia
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik,
sosial, dan psikologis.
1) Perubahan fisik
2) Perubahan psikologis
3) Perubahan kognitif
4) Perubahan sosial
2.1.4 Tipe lansia
Menurut Maryam (2008), beberapa tipe lansia bergantung pada karakter,
pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisi, mental, sosial, dan
ekonominya.
Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Tipe arif bijaksana
Kaya dengan hikmah, pengalaman menyesuaikan diri dengan perubahan
jaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,
dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru dan selektif dalam
mencari pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan.
c. Tipe tidak puas
Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,
tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak
menuntut.

7
d. Tipe pasrah
Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan
melakukan pekerjaan apa saja.
e. Tipe bingung
Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif,
acuh tidak acuh.
2.1.5 Batasan lanjut usia
Usia yang dijadikan patokan untuk lanjut usia berbeda-beda umumnya
berkisar antara 60 – 65 tahun. Ada beberapa pendapat tentang batasan usia
adalah sebagai berikut:
a. Menurut WHO (Wijianto, 2018), lanjut usia dibagi menjadi 4
kelompok yakni, sebagai berikut:
1. Usia pertengahan (middle age) antara usia 40-59 tahun
2. Lanjut usia (ederly) dari usia 69-74 tahun.
3. Lansia tua (old) dari usia 75 hingga 90 tahun.
4. Lansia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
b. Menurut (Hasanah, 2021)
1. Young Old (usia 60 – 69 tahun).
2. Middle Age Old (70 – 79 tahun).
3. Old – old (usia 80 – 89 tahun).
4. Very Old – old (usia > 90 tahun).
c. Menurut Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut:
1. Kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa
fertilitas.
2. Kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium.
3. Kelompok usia lanjut (lebih dari 65 tahun) sebagai senium.
d. Menurut (Anwar,2017):
1. Umur pertengahan 45-59 tahun (middle age)
2. lanjut umur 60-74 tahun (eldery)
2. lanjut umur tua 75-90 tahun
3. Sangat tua (very old) lebih dari 90 tahun.

8
2.1.6 Karakteristik lanjut usia
Menurut (Dewi, 2019), lansia mempunyai beberapa karakteristik sebagai
berikut:
a. Berumur lebih dari 60 tahun.
b. Kebutuhan serta permasalahan bisa bermacam-macam dari rentang
sehat hingga sakit dari keperluan biopsikososial sampai spiritual, dan
dari keadaan adaptif.
c. Area tempat tinggal yang bervariasi.
2.1.7 Ciri-ciri lansia
Menurut buku Keperawatan Gerontik (Kholifah, 2016) ciri-ciri lansia
antara lain, yaitu:
a. Lansia periode kemunduran
Degenerasi terhadap lanjut usia disebabkan oleh aspek fisik dan aspek
psikologis. Motivasi mempunyai kedudukan penting dalam
kemunduran pada lanjut usia.
b. Lansia mempunyai status kelompok minoritas
Dalam keadaan terdapat dampak dari perilaku sosial yang tidak menarik
terhadap lanjut usia serta di perkokoh oleh pendapatan uang kurang
baik.
c. Menua memerlukan pergantian peran
Pergantian kedudukan tersebut dilaksanakan karena lansia mulai menderita
degenerasi di seluruh aspek. Kedudukan lanjut usia sebaiknya
dilaksanakan atas dasar kemauan dirinya bukan dasar tekanan dari
area.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Memperlakukan lansia dengan kurang baik menjadikan mereka lansia
berisiko mempraktikkan konsep diri yang kurang baik sehingga lansia
membuktikan wujud sikap buruk. Dampak dari perlakuan buruk
menjadi cara adaptasi lansia menjadi kurang baik.

9
2.1.8 Tugas perkembangan lansia
Seiring tahap kehidupan, lansia memiliki tugas perkembangan khusus.
Menurut Potter dan Perry (2005), tujuh kategori utama tugas
perkembangan lansia meliputi:
1. Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik, dan kesehatan
lansia harus menyesuaikan dengan perubahan fisik seiring
terjadinya penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan
fungsi. Hal ini dikaitkan dengan penyakit, tetapi hal ini adalah
normal.
2. Menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan
lansia umumnya pensiun dari pekerjaan purnawaktu, dan oleh
karena itu mungkin perlu untuk menyesuaikan dan membuat
perubahan karena hilangnya peran bekerja.
3. Menyesuaikan terhadap kematian pasangan
Mayoritas lansia dihadapkan pada kematian pasangan, teman, dan
kadang anaknya, kehilangan ini sering sulit diselesaikan, karena
apa lagi bagi lansia yang menggantungkan hidupnya dari seseorang
yang meninggalkannya dan sangat berarti bagi dirinya.
4. Menerima diri sendiri sebagai individu lansia
Beberapa lansia menemukan kesulitan untuk menerima diri sendiri
selama penuaan. Mereka dapat memperlihatkan
ketidakmampuannya sebagai koping dengan menyangkal
penurunan fungsi, meminta cucunya untuk tidak memanggil
mereka “nenek” atau menolak meminta bantuan dalam tugas yang
menempatkan keamanan mereka pada risiko yang besar.
5. Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup
Lansia dapat mengubah rencana kehidupannya. Misalnya kerusakan
fisik dapat mengharuskan pindah ke rumah yang lebih kecil dan
untuk seorang diri.

10
6. Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa
Lansia sering memerlukan penetapan hubungan kembali dengan anak-
anaknya yang telah dewasa.
7. Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup
Lansia harus belajar menerima aktivitas dan minat baru untuk
mempertahankan kualitas hidupnya. Seseorang yang sebelumnya
aktif secara sosial sepanjang hidupnya mungkin merasa relatif
mudah untuk bertemu orang baru dan mendapat minat baru. Akan
tetapi seseorang yang introvert dengan sosialisasi terbatas,
mungkin menemui kesulitan bertemu orang baru selama pensiun.
2.1.9 Masalah fisik pada lansia
Menurut Azizah (2011). Masalah fisik yang sering ditemukan pada lansia
adalah:
1. Mudah jatuh: jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan
penderita atau saksi mata yang melihat kejadian yang
mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai
atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka.
2. Mudah lelah disebabkan oleh faktor psikologis (perasaan bosan
atau perasaan depresi), gangguan organis, pengaruh obat-obat.
3. Berat badan menurun disebabkan oleh: pada umumnya nafsu
makan menurun karena kurang gairah hidup atau kelesuan, adanya
penyakit kronis, gangguan pada saluran pencernaan sehingga
penyerapan makanan terganggu, faktor-faktor sosio ekonomis
(pensiun).
4. Suka menahan buang air besar disebabkan oleh: obat-obat
pencahar perut, keadaan diare, kelainan pada usus besar, kelainan
pada ujung saluran pencernaan (pada rectum usus).
5. Gangguan pada ketajaman penglihatan disebabkan oleh: pres biop,
kelainan lensa mata (reflek mata kurang), kekeruhan pada lensa
(katarak), tekanan dalam mata yang meninggi (glaucoma).

11
2.1.10 Penyakit yang sering dijumpai pada lansia
Menurut Azizah (2011), dikemukakan adanya 3 penyakit yang sangat erat
hubungannya dengan proses menua yakni:
1. Gangguan sirkulasi darah seperti: hipertensi, kelainan pembuluh
darah, gangguan pembuluh darah di otak (coroner) dan ginjal.
2. Gangguan metabolisme hormonal seperti: diabetes mellitus,
klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid.
3. Gangguan pada persendian seperti: osteoartitis, gout arthritis, atau
penyakit kolagen lainnya dan berbagai macam neoplasma.
2.1.11 Sindrom Geriatri
Sindrom geriatri yaitu kumpulan gejala-gejala mengenai kesehatan yang
sering dikeluhkan oleh para lanjut usia dan atau keluarganya (istilah 14
I), yaitu :
a. Immobility (kurang bergerak)
Keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau
lebih. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, masalah psikologis, depresi
atau demensia.
Komplikasi yang timbul adalah luka di bagian yang
mengalami penekanan terus menerus timbul lecet bahkan infeksi,
kelemahan otot, kontraktur/ kekakuan otot dan sendi, infeksi paru-
paru dan saluran kemih, konstipasi dan lain-lain.
Penanganan : latihan fisik, perubahan posisi secara teratur,
menggunakan kasur anti dekubitus, monitor asupan cairan dan
makanan yang berserat.
b. Instability (Instabilitas dan Jatuh)
Penyebab jatuh misalnya kecelakaan seperti terpeleset,
kehilangan kesadaran mendadak, dizzines/ vertigo, hipotensi
orthostatik, proses penyakit dan lain-lain. Dipengaruhi oleh faktor
intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien misalnya kekakuan
sendi, kelemahan otot, gangguan pendengaran, penglihatan,

12
gangguan keseimbangan, penyakit misalnya hipertensi, DM,
jantung, dll) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di
lingkungan misalnya alas kaki tidak sesuai, lantai licin, jalan tidak
rata, penerangan kurang, benda-benda dilantai yang membuat
terpeleset, dll). Akibat yang ditimbulkan akibat jatuh berupa cedera
kepala, cedera jaringan lunak, sampai patah tulang yang bisa
menimbulkan imobilisasi. Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut
dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah mengobati
berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh,
memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara
berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai,
serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan
yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin.
c. Incontinence Urin dan Alvi (Beser BAB dan BAK)
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin
yang tidak dikehendaki dalam jumlah dan frekuensi tertentu
sehingga menimbulkan masalah sosial dan atau kesehatan.
Inkontinensia urin akut terjadi secara mendadak, dapat diobati bila
penyakit yang mendasarinya diatasi misalnya infeksi saluran
kemih, gangguan kesadaran, obat-obatan, masalah psikologi.
Inkontinensia urin yang menetap di bedakan atas : tipe urgensi
yaitu keinginan berkemih yang tidak bisa ditahan penyebabnya,
over aktifitas/ kerja otot keras karena hilangnya kontrol neurologis,
terapi dengan obat-obatan antimuskarinik prognosis baik, tipe stres
kerena kegagalan mekanisme sfingter/katup saluran kencing untuk
menutup ketika ada peningkatan tekanan intra abdomen mendadak
seperti bersin, batuk, tertawa terapi dengan latihan otot dasar
panggul prognosis baik, tipe overflow yaitu menggelembungnya
kandung kemih melebihi volume normal, post void residu > 100 cc
terapi tergantung penyebab misalnya atasi sumbatan/retensi urin.
Inkontinensia alvi/fekal sebagai perjalanan spontan atau

13
ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui
anus, penyebab cedera panggul, operasi anus/rektum, prolaps
rektum, tumor dll. Pada inkontinensia urin untuk menghindari
sering mengompol pasien sering mengurangi minum yang
menyebabkan terjadi dehidrasi.
d. Intelektual Impairment (Gangguan Intelektual Seperti Demensia
dan Delirium)
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori
didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak
berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran sehingga
mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.
Demensia tidak hanya masalah pada memori. Demensia mencakup
berkurangnya kemampuan untuk mengenal, berpikir, menyimpan
atau mengingat pengalaman yang lalu dan juga kehilangan pola
sentuh, pasien menjadi perasa, dan terganggunya aktivitas.
Faktor risiko : hipertensi, DM, gangguan jantung, PPOK
dan obesitas. Sindrom delirium akut adalah sindrom mental organik
yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta
perubahan kognitif atau gangguan persepsi yang timbul dalam
jangka pendek dan berfluktuasi.
Gejalanya : gangguan kognitif global berupa gangguan
memori jangka pendek, gangguan persepsi (halusinasi, ilusi),
gangguan proses pikir (disorientasi waktu, tempat, orang),
komunikasi tidak relevan, pasien mengomel, ide pembicaraan
melompat-lompat, gangguan siklus tidur.
e. Infection (infeksi)
Pada lanjut usia terdapat beberapa penyakit sekaligus,
menurunnya daya tahan/imunitas terhadap infeksi, menurunnya
daya komunikasi pada lanjut usia sehingga sulit/ jarang mengeluh,
sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini.

14
Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai
dengan meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak
dijumpai pada usia lanjut, malah suhu badan yang rendah lebih
sering dijumpai.
Keluhan dan gejala infeksi semakin tidak khas antara lain
berupa konfusi/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu
makan tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan adanya perubahan
tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut.
f. Impairment of hearing, vision and smell (gangguan pendengaran,
penglihatan dan penciuman)
Gangguan pendengaran sangat umum ditemui pada lanjut
usia dan menyebabkan pasien sulit untuk diajak komunikasi.
Penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran pada geriatri
adalah dengan cara memasangkan alat bantu dengar atau dengan
tindakan bedah berupa implantasi koklea.
Gangguan penglihatan bisa disebabkan gangguan refraksi,
katarak atau komplikasi dari penyakit lain misalnya DM, HT, dll,
penatalaksanaan dengan memakai alat bantu kacamata atau dengan
operasi katarak.
g. Isolation (Depresi)
Isolation (terisolasi)/depresi, penyebab utama depresi pada
lanjut usia adalah kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan
hidup, anak, bahkan binatang peliharaan.
Selain itu kecenderungan untuk menarik diri dari
lingkungan, menyebabkan dirinya terisolasi dan menjadi depresi.
Keluarga yang mulai mengacuhkan karena merasa direpotkan
menyebabkan pasien akan merasa hidup sendiri dan menjadi
depresi. Beberapa orang dapat melakukan usaha bunuh diri akibat
depresi yang berkepanjangan.

15
h. Inanition (Malnutrisi)
Asupan makanan berkurang sekitar 25% pada usia 40-70
tahun. Anoreksia dipengaruhi oleh faktor fisiologis (perubahan rasa
kecap, pembauan, sulit mengunyah, gangguan usus, dll), psikologis
(depresi dan demensia) dan sosial (hidup dan makan sendiri) yang
berpengaruh pada nafsu makan dan asupan makanan.
i. Impecunity (Tidak punya penghasilan)
Dengan semakin bertambahnya usia maka kemampuan fisik
dan mental akan berkurang secara perlahan-lahan, yang
menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau
menyelesaikan pekerjaan sehingga tidak dapat memberikan
penghasilan.
Usia pensiun di mana sebagian dari lansia hanya
mengandalkan hidup dari tunjangan hari tuanya.
Selain masalah finansial, pensiun juga berarti kehilangan teman
sejawat, berarti interaksi sosial pun berkurang memudahkan
seorang lansia mengalami depresi.
j. Iatrogenic (Penyakit karena pemakaian obat-obatan)
Lansia sering menderita penyakit lebih dari satu jenis
sehingga membutuhkan obat yang lebih banyak, apalagi sebagian
lansia sering menggunakan obat dalam jangka waktu yang lama
tanpa pengawasan dokter sehingga dapat menimbulkan penyakit.
Akibat yang ditimbulkan antara lain, efek samping dan efek dari
interaksi obat-obat tersebut yang dapat mengancam jiwa.
k. Insomnia (Sulit tidur)
Dapat terjadi karena masalah-masalah dalam hidup yang
menyebabkan seorang lansia menjadi depresi. Selain itu beberapa
penyakit juga dapat menyebabkan insomnia seperti diabetes
melitus dan gangguan kelenjar tiroid, gangguan di otak juga dapat
menyebabkan insomnia. Jam tidur yang sudah berubah juga dapat
menjadi penyebabnya.

16
Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering dilaporkan
oleh lansia yaitu sulit untuk masuk ke dalam proses tidur, tidurnya
tidak dalam dan mudah terbangun, jika terbangun sulit untuk tidur
kembali, terbangun dini hari, lesu setelah bangun di pagi hari.
Agar bisa tidur : hindari olahraga 3-4 jam sebelum tidur,
santai mendekati waktu tidur, hindari rokok waktu tidur, hindari
minum minuman kafein saat sore hari, batasi asupan cairan setelah
jam makan malam, ada nokturia, batasi tidur siang 30 menit atau
kurang, hindari menggunakan tempat tidur untuk menonton TV,
menulis tagihan dan membaca.
l. Immuno-defficiency (Penurunan sistem kekebalan tubuh)
Daya tahan tubuh menurun bisa disebabkan oleh proses
menua disertai penurunan fungsi organ tubuh, juga disebabkan
penyakit yang diderita, penggunaan obat-obatan, keadaan gizi yang
menurun.
m. Impotence (Gangguan seksual)
Impotensi/ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual
pada usia lanjut terutama disebabkan oleh gangguan organik seperti
gangguan hormon, syaraf, dan pembuluh darah dan juga depresi.
n. Impaction (Sulit buang air besar)
Faktor yang mempengaruhi meliputi kurangnya gerak fisik,
makanan yang kurang mengandung serat, kurang minum, akibat
obat-obat tertentu dan lain-lain. Akibatnya pengosongan usus
menjadi sulit atau isi usus menjadi tertahan, kotoran dalam usus
menjadi keras dan kering dan pada keadaan yang berat dapat terjadi
penyumbatan di dalam usus dan perut menjadi sakit.

17
2.2 Konsep Psikotik (Gangguan Jiwa)
Gangguan jiwa adalah adanya penyimpangan dari norma-norma
perilaku, yang mencakup pikiran, perasaan dan tindakan. Gangguan jiwa
disebut sebagai sindrom atau pola perilaku atau psikologis yang terjadi pada
individu dan sindrom yang dihubungkan dengan adanya distress, disability,
atau peningkatan resiko secara bermakna untuk mati, sakit, ketidakmampuan,
atau kehilangan kebebasan dalam berprilaku. Terdapat bermacam-macam
yang didapatkan oleh penderita gangguan jiwa seperti dikucilkan,
mendapatkan perlakuan diskriminasi, diisolasi bahkan hingga pasung.
Padahal perlakuanperlakuan tersebut tidak akan membantu penderita sama
sekali bahkan dapat menjadi lebih parah. Gangguan jiwa mencakup banyak
penurunan fungsi seperti fungsi pikir dan ingatan, fungsi sosial, perubahan
orientasi realita, fungsi persepsi, fungsi psikomotor, intelegensi dan juga
kepribadian.

2.2.1 Gangguan jiwa Psikotik


Gangguan jiwa psikotik bisa karena organik dan non organik. Pada
gangguan jiwa psikotik organik dimana penyebabnya karena ada
gangguan pada organ dan sistem tubuh yang dapat mengakibatkan
delirium serta demensia. Sedangkan gangguan jiwa psikotik non
organik ini berupa skizofrenia, gangguan mood, gangguan waham, dan
lain lain. Psikotik adalah gangguan jiwa yang disebabkan oleh
sekelompok penyakit yang diketahui atau diduga mempengaruhi kinerja
otak, sehingga Kelompok WBS akan mengalami perubahan dalam pola
pikir, emosi dan kebiasaan. Orang yang mengalami gangguan jiwa ini
akan kehilangan hubungan dengan dunia nyata. Kemampuan berpikir,
merasa, dan mencerap serta mengolah informasi dari luar akan
terganggu. Mereka mungkin akan mengalami rasa takut yang tidak
wajar. Gangguan jiwa jenis ini mencakup skizofrenia dan berbagai
macam depresi. Selama mengalami gangguan ini, penderita akan
melihat, mendengar, dan merasakan sesuatu yang tidak dialami oleh

18
orang lain. Kelompok WBS akan mengalami delusi, halusinasi dan
gangguan proses pikir yang lain (Rohmah S, 2010:5).

2.2.2 Faktor penyebab gangguan psikotik


Pekerjaan sosial melihat penyebab gangguan psikotik tidak semata-
mata disebabkan oleh faktor kekurangan internal dari individu
melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi
yaitu faktor biologi, psikologi, dan sosial. Kehidupan yang penuh
tekanan yang diakibatkan oleh berbagai faktor seperti krisis ekonomi,
pengangguran, hidup di lingkungan masyarakat yang tidak aman,
kegagalan memenuhi peran-peran sosial, pola asuh yang tidak
memadai, pengalaman traumatik, rendahnya daya tahan terhadap stress,
penggunaan obat-obatan terlarang, atau penataan lingkungan yang tidak
tepat dapat menyebabkan kualtias hidup yang buruk. Jika seseorang
dengan resiliensi rendah atau kelompok rentan mengalami beberapa
faktor tersebut maka gangguan mental seperti piskotik bisa terjadi.
Menurut Julianan (2013:68-71) ada beberapa penyebab gangguan
psikotik antara lain :
a) Faktor Organo-biologik terdiri dari genetik (heredity), bentuk tubuh
(konstitusi), terganggunya otak secara organik, pengaruh cacat
congenital, pengaruh neurotrasmiter.
b) Faktor psikologik terdiri dari hubungan intrapersonal dan hubungan
Interpersonal. Faktor sosio agama terdiri dari pengaruh rasial,
golongan minoritas, masalah nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat, masalah ekonomi, masalah pekerjaan, bencana alam,
perang dan faktor agama atau religious baik masalah intra agama
maupun inter agama.

19
2.2.3 Tanda dan Gejala Gangguan Psikotik
Menurut Rohmah S. (2010:7) beberapa tanda dan gejala gangguan jiwa
antara lain sebagai berikut :
a) Gangguan kognisi
Gangguan kognisi adalah gangguan yang terjadi terhadap suatu proses
mental yang dengannya seseorang individu menyadari dan
mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik
lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya (fungsi mengenal).
b) Gangguan perhatian
Gangguan perhatian adalah gangguan pemusatan dan konsentrasi
energi menilai dalam suatu proses kognitif yang timbul dari luar
akibat suatu rangsang. Agar supaya suatu perhatian dapat
memperoleh hasil.
c) Gangguan ingatan
Gangguan ingatan adalah gangguan kesanggupan untuk mencatat,
menyimpan, memproduksi isi dan tanda-tanda kesadaran.
d) Gangguan asosiasi
Gangguan asosiasi adalah gangguan terhadap proses mental yang
dengannya suatu perasaan, menimbulkan kesan atau gambaran
ingatan respon atau konsep lain, yang memang sebelumnya
berkaitan dengannya.
e) Gangguan pikiran
Gangguan berpikir merupakan gangguan proses dalam mempersatukan
atau menghubungkan ide-ide dengan membayangkan, membentuk
pengertian untuk menarik kesimpulan, serta proses-proses yang
lain untuk membentuk ide-ide baru
f) Gangguan kesadaran
Gangguan kesadaran adalah gangguan yang terjadi pada kemampuan
seseorang untuk mengadakan hubungan dengan lingkungan serta
dirinya melalui panca indera dan mengadakan pembatasan terhadap
lingkungan serta dirinya sendiri

20
g) Gangguan kemauan
Gangguan kemauan adalah gangguan proses di mana
keinginankeinginan dipertimbangkan untuk kemudian diputuskan
untuk dilaksanakan sampai mencapai tujuan. Kemauan dapat
dirusak oleh gangguan emosional, gangguan-gangguan kognitif,
kerusakan otak organik.
h) Gangguan afek emosi
Gangguan afek emosi adalah gangguan pada suatu pengalaman yang
sadar dan memberikan pengaruh pada aktifitas tubuh dan
menghasilkan sensasi organis dan kinetis. Afek adalah kehidupan
perasaan atau nada perasaan seseorang, menyenangkan atau tidak,
yang menyertai suatu pikiran, biasa berlangsung lama dan jarang
disertai komponen fisiologis.
i) Gangguan psikomotor
Gangguan psikomotor adalah gangguan terhadap gerakan badan yang
dipengaruhi oleh keadaan jiwa, sehingga merupakan afek bersama
yang mengenai badan dan jiwa, juga meliputi kondisi, perilaku
motoric atau aspek motorik dari suatu perilaku.

2.2.4 Ciri-ciri Gangguan Psikotik


Menurut julianan (2013:77) menjelaskan beberapa ciri-ciri gangguan
psikotik antara lain :
a) Memiliki labilitas emosional.
b) Menarik diri dari interaksi sosial.
c) Tidak mampu bekerja sesuai fungsinya.
d) Mengabaikan penampilan dan kebersihan diri.
e) Mengalami penurunan daya ingat dan kognitif parah.
f) Berpikir aneh, dangkal, berbicara tidak sesuai keadaan.
g) Mengalami kesulitan mengorientasikan waktu.
h) Sulit tidur dalam beberapa hari atau bisa tidur yang terlihat oleh
keluarganya, tetapi Kelompok WBS masih merasa tidur.

21
i) Memiliki keengganan melakukan segala hal, mereka berusaha
untuk tidak melakukan apa-apa bahkan marah jika diminta untuk
melakukan apa-apa.
j) Memiliki perilaku yang aneh misalnya tiba-tiba menangis,
mengurung diri dikamar, berbicara sendiri, marah berlebihan
dengan stimulus ringan, berjalan mondar-mandir tanpa arah dan
tujuan yang tidak jelas.

2.2.5 Faktor-faktor (Dimensi-Dimensi) Yang Berperan Dalam


Terjadinya Gangguan Jiwa (Moeljono Notosoedirdjo & Latipun,
2007)
a. Dimensi Biologis
Terjadinya kerusakan pada otak berpengaruh terhadap status kesehatan
jiwa seseorang. Hal ini bisa terjadi disebabkan oleh adanya infeksi,
pengaruh genetik, gangguan metabolism, keracunan dan
sebagainya. Selain karena adanya kerusakan otak, abnormalitas
sistem endokrin maka gangguan mental bisa juga terjadi karena
adanya faktor genetik, adanya gangguan sensori dan faktor ibu
selama masa kehamilan.
b. Dimensi Psikologis
Beberapa aspek psikologis yang dapat memberi konstribusi dalam
terjadinya gangguan jiwa antara lain:
1) Pengalaman awal: merupakan segenap pengalaman-
pengalaman yang terjadi pada individu terutama yang terjadi di
masa lalunya. Pengalaman awal ini dipandang sebagai bagian
penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental
individu di masa yang akan datang.
2) Proses pembelajaran: dimensi psikologis dari aspek perilaku
manusia sebagian besar adalah hasil belajar, yaitu hasil
pelatihan atau pengalaman. Belajar terhadap lingkungannya
berlangsung sejak masa bayi, karena itu faktor lingkungan

22
anak sangat menentukan mentalitas individu, interaksi individu
dengan lingkungan sangat penting bagi pembentukan perilaku
tertentu.
Dimensi psikologis yang lain: berkaitan dengan faktor kebutuhan,
berbagai studi yang dilakukan oleh Maslow ditemukan bahwa
orang-orang yang mengalami gangguan mental khususnya yang
menderita neurosis disebabkan oleh ketidakmampuan individu
memenuhi kebutuhan kebutuhannya.
Dan beberapa kondisi psikologis lain diantaranya adalah temperamen,
ketahanan terhadap stressor, kemampuan kognitif adalah faktor-
faktor yang ikut berpengaruh terhadap gangguan mental
c. Dimensi Sosial Budaya Dan Lingkungan
1) Aspek stratifikasi social
2) Aspek interaksi social
3) Aspek keluarga
4) Aspek perubahan social
5) Aspek sosial budaya

2.2.6 Penanganan dan Penatalaksanaan Penyandang Psikotik


Menurut Rohmah S. (2010:12) Manusia adalah makhluk holistik yang
terdiri dari biologi, psikologis, sosial dan spiritual. Karena makhluk
holistik ini, maka dalam penanganan dan penatalaksanaan pada klien
gangguan jiwa antara lain :
a) Somatoterapi/Farmakoterapi
Adalah terapi dengan obat, obat yang mempunyai efek tarapeutik langsung
pada proses mental penderita karena kerjanya pada otak, obat yang
bekerjanya secara efektif pada susunan syaraf pusat dan mempunyai
efek utama terhadap aktifitas mental dan perilaku, digunakan untuk
terapi gangguan psikitiarik.
b) Psikoterapi

23
Adalah pengobatan masalah emosional dan kepribadian serta gangguan
psikologik. Dari semua faktor terapeutik, yang terpenting adalah
faktor hubungan therapist dan klien. Psikoterapi ialah suatu cara
pengobatan terhadap masalah emosional seorang Kelompok WBS,
yang dilakukan oleh seorang yang terlatih, dalam hubungan
professional secara sukarela dengan maksud hendak menghilangkan,
mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi
perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan
kepribadian secara positif.
c) Sosioterapi
Manusia tidak bias dipisahkan dari lingkungan sehingga aspek lingkungan
harus mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan
memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan
stimulasi psikologis seseorang yang akan berdampak pada
kesembuhan, karena lingkungan tersebut akan memberikan dampak
baik pada kondisi fisik maupun psikologis seseorang.
d) Spiritual
Terapi pendekatan terapi memang perlu di masyarakatkan, di mana harus
ada rohaniawan yang datang ke rumah sakit atau rehabilitasi
penyandang gangguan jiwa secara berkala dan mendoakan untuk
proses penyembuhan bagi klien.

2.3 Konsep Teori Halusinasi


2.3.1 Definisi

24
Halusinasi adalah distorsi persepsi palsu yang terjadi pada respons
neurobiologis maladaptif. Halusinasi biasanya muncul pada Kelompok
WBS gangguan jiwa diakibatkan terjadinya perubahan orientasi realita,
Kelompok WBS merasakan stimulasi yang sebetulnya tidak ada.
halusinasi penglihatan dan pendengaran yang merupakan gejala dari early
psychosis, yang sebagian besar terjadi pada usia remaja akhir atau dewasa
awal, bingung peran yang berdampak pada rapuhnya kepribadian sehingga
terjadi gangguan konsep diri dan menarik diri dari lingkungan sosial yang
lambat laun membuat penderita menjadi asik dengan hayalan dan
menyebabkan timbulnya halusinasi (Ervina, 2018).
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh
pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang
Kelompok WBS mengalami perubahan sensori persepsi, serta merasakan
sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penciuman. Kelompok WBS merasakan stimulus yang sebetulnya tidak
ada. Kelompok WBS gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal
orientasi realitas (Yusuf, PK, & Nihayati, 2015).

2.3.2 Proses Terjadinya Masalah


2.3.2.1 Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi Kelompok WBS halusinasi menurut (Oktiviani, 2020):
a) Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan kelompok WBS terganggu misalnya rendahnya
mengontrol emosi dan kurangnya keharmonisan keluarga
menyebabkan kelompok WBS tidak mampu mandiri sejak kecil,
mudah frustasi, hilang percaya diri.

b) Faktor Sosiokultural

25
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
c) Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress
yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogen neurokimia.
Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya
neurotransmitter otak.
d) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan Kelompok WBS dalam mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya, Kelompok WBS lebih memilih kesenangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
e) Faktor Sosial Budaya
Meliputi Kelompok WBS mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, Kelompok WBS meganggap bahwa hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan. Kelompok WBS asyik dengan
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata.
g) Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan Kelompok WBS dalam mengambil keputusan yang
tepat demi masa depannya, Kelompok WBS lebih memilih kesenangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
h) Faktor Sosial Budaya
Meliputi Kelompok WBS mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, Kelompok WBS meganggap bahwa hidup bersosialisasi di
alam nyata sangat membahayakan. Kelompok WBS asyik dengan

26
halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi
kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata.
i) Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
schizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi
menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2.3.2.2 Faktor Presipitasi
Menurut Stuart dan Sudeen faktor presipitasi dapat meliputi (Prabowo,
2014) :
a) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif
menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
b) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

2.3.3 Jenis-Jenis Halusinasi


1) Halusinasi pendengaran (auditorik)
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara-suara atau kebisingan,
paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang
keras sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang Kelompok WBS,
bahkan sampai percakapan lengkap antara dua orang atau lebih.
Pikirkan yang didengar Kelompok WBS dimana Kelompok WBS
disuruh untuk melakukan sesuatu yang kadang–kadang
membahayakan.

27
2) Halusinasi penglihatan (visual)
Halusinasi pendengaran adalah stimulus visual dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometris, gambaran kartun, dan bayangan
panorama yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan
atau menakutkan seperti melihat monster.
3) Halusinasi peciuman (olfactory)
Halusinasi penciuman memiliki karakteristik ditandai dengan adanya bau
busuk, amis dan bau yang menjijikkan seperti: darah, urine atau feses.
Kadang-kadang terhirup bau harum.
4) Halusinasi perabaan (tactile)
Halusinasi perabaan adalah stimulus seperti merasa diraba, disentuh,
ditiup, atau seperi ada ulat yang bergerak dibawa kulit, terutama
mengenai organ-organ. Selain itu ada juga yang mengalami nyeri atau
ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa seperti listrik yang
datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
5) Halusinasi pengecapan (gustatory)
Karakteristik halusinasi pengecapan ditandai dengan merasakan sesuatu
yang busuk, amis dan menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa
darah, urin atau feses.
6) Halusinasi sinestetik
Karakteristik Halusinasi sinestetik ditandai dengan merasakan fungsi
tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan
dicerna atau pembentukan urine.

2.3.4 Fase Halusinasi


1) Comforting (Halusinasi menyenangkan)

28
Kelompok WBS mengalami emosi yang berlanjut seperti adanya perasaan
cemas, kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan
bahwa pengalaman pikiran dan sensorinya dapat dia control bila
kecemasannya diatur, dalam tahap ini ada kecendrungan Kelompok
WBS merasa nyaman dengan pengalaman sensori Kelompok WBS
menjadi sering datang dan mengalami bias.
2) Condemming (Halusinasi menjijikan)
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Kelompok WBS
yang berhalusinasi mulai merasa kehilangan control dan
mungkin berusaha menjauhkan diri, serta merasa malu
dengan adanya pengalaman sensori tersebut dan menarik diri
dari orang lain.
3) Controlling (Pengalaman sensori berkuasa)
Kelompok WBS mencoba melawan suara suara atau sebsori
abnormal yang datang. Kelompok WBS dapat merasakan
kesepian bila halusinasinya berakhir. Dari sinilah di mulai
fase gangguan psikotik.
4) Conquering (Melebur dalam pengaruh halusinasi, panic)
Kelompok WBS mengalami kepanikan, ketakutan, Kelompok
WBS sudah dikuasai oleh halusinasi. Karakteristik
pengalaman sensosi menakutkan berlangsung lama dan
intensitas lebih sering muncul. Perilaku Kelompok WBS
panic, mencederai diri, orang lain dan lingkungan, amuk,
tidak mampu berespon terhadap petunjuk komplek, tidak
mampu berespon lebih dari satu orang.

2.3.5 Pohon Masalah

29
Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

Isolasi Sosial : Menarik Diri

Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

2.3.6 Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


1) Masalah keperawatan
a. Resiko perilaku kekerasan
b. Gangguan persepsi sensori : halusinasi
c. Isolasi sosial : menarik diri
d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
2) Data yang perlu dikaji
Data Subjektif
a. Kelompok WBS mengatakan marah dan jengkel kepada orang
lain, ingin membunuh, membakar atau mengacak-acak
lingkungannya.
b. Kelompok WBS mengatakan mendengar bunyi yang tidak
berhubungan dengan stimulus nyata.
c. Kelompok WBS mengatakan melihat gambaran tanpa ada
stimulus yang nyata.
d. Kelompok WBS mengatakan mencium bau tanpa stimulus.
e. Kelompok WBS merasa makan sesuatu.
f. Kelompok WBS merasa ada sesuatu pada kulitnya.
g. Kelompok WBS takut pada suara/bunyi/gambar yang dilihat dan
didengar.
h. Kelompok WBS ingin memukul/melempar barang-barang.

30
i. Kelompok WBS mengatakan mendengar suara yang
menyuruhnya untuk melakukan sesuatu yang berbahaya.
j. Kelompok WBS mengatakan mendengar suara yang
mengancam dirinya atau orang lain.
Data Objektif
a. Kelompok WBS mengamuk, merusak dan melempar barang-
barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang disekitarnya.
b. Kelompok WBS tampak marah-marah tanpa sebab.
c. Kelompok WBS berbicara dan tertawa sendiri saat dikaji.
d. Kelompok WBS bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu.
e. Kelompok WBS berhenti bicara ditengah kalimat untuk
mendengarkan sesuatu.
f. Kelompok WBS tampak menunjuk-tunjuk kearah tertentu.
g. Disorientasi.
h. Konsentrasi rendah.
i. Pikiran cepat berubah-ubah

2.3.7 Diagnosa Keperawatan


Gangguan sensori persepsi : Halusinasi

2.3.8 Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa Perencanaan
Intervensi Rasional
Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil

31
Gangguan persepsi
TUM SP 1
 Terjalin hubungan 1. Hubungan saling
sensori: Kelompok WBS saling percaya 1. Bina hubungan percaya
Halusinasi tidak mengalami  Dapat mengenali saling percaya merupakan dasar
gangguan halusinasinya dengan untuk kelancaran
persepsi sensori  Dapat mengontrol mengungkapkan hubungan
(halusinasi) halusinasinya prinsip komunikasi interaksi
selama dalam dengan cara terapeutik: selanjutnya
perawatan. menghardik a. Sapa kelompok 2. Kontak sering

 Dapat mengontrol WBS dengan tapi singkat


TUK 1 halusinasinys ramah, baik selain membina
Kelompok WBS dapat dengan cara verbal maupun hubungan saling
membina berbincang- non verbal percaya, juga
hubungan saling bincang b. Perkenalkan dapat
percaya  Dapat mengontrol diri dengan memutuskan

halusinasinya sopan halusinasi

dengan cara c. Tanyakan nama 3. Mengenali

melakukan lengkap perilaku pada

kegiatan harian kelompok WBS saat halusinasi

 Dapat & nama timbul

memanfaatkan panggilan yang memudahkan

obat dengan baik disukai perawat dalam


d. Jelaskan tujuan melakukan
pertemuan intervensi
e. Jujur dan 4. Mengenali
menepati janji halusinasi
f. Tunjukkan sikap memungkinkan
empati dan Kelompok WBS
menerima untuk
kelompok WBS menghindari
apa adanya dari faktor
g. Beri perhatian pencetus

32
pada kelompok timbulnya
WBS dan halusinasi.
perhatian 5. Dengan
kebutuhan dasar mengetahui
Kelompok WBS waktu, isi dan
h. Bantu kelompok frekuensi
WBS mengenali munculnya
halusinasinya halusinasi
i. Jika menemukan mempermudah
yang sedang tindakan
halusinasinya, keperawatan
tanyakan apakah yang dilakukan
ada suara yang perawat.
didengar 6. Untuk
j. Jika kelompok mengidentifikasi
WBS menjawab pengaruh
ada, lanjutkan : halusinasi
apa yang Kelompok WBS
dikatakan
k. Katakan bahwa
perawat percaya
kelompok WBS
mendengar suara
itu, namun
perawat sendiri
tidak
mendengarnya
(dengan nada
bersahabat tanpa
menuduh atau
menghakimi)

33
l. Katakan pada
kelompok WBS
bahwa ada WBS
juga yang seperti
klien
m. Situasi yang
menimbulkan
atau tidak
menimbulkan
halusinasi
n. Waktu dan
frekuensi
terjadinya
halusinasi (pagi,
siang, sore,
malam atau jika
sendiri, jengkel
atau sedih)
o. Diskusikan
dengan
kelompok WBS
apa yang
dirasakan jika
terjadi halusinasi
(marah, takut,
sedih, senang)
beri kesempatan
mengungkapkan
perasaannya
2. Ajarkan cara
mengontrol

34
halusinasi dengan
cara menghardik,
seperti menutup
telinga kemudian
berkata “pergi-pergi
kamu suara palsu,
kamu tidak nyata,
saya tidak mau
dengar”
Menutup mata kemudian
berkata “pergi-pergi
kamu bayangan
palsu, kamu tidak
nyata, saya tidak
mau melihat”
3. Menganjurkan
kelompok WBS
memasukkan dalam
jadwal kegiatan
harian
TUK 2 SP 2 1. Upaya dalam
Kelompok WBS dapat 1. Mengevaluasi mengontrol
mengontrol jadwal kegiatan siklus halusinasi
halusinasinya harian klien sehingga
dengan bercakap- 2. Melatih kelompok halusinasi tidak
cakap dengan WBS mengontrol berlanjut
orang lain halusinasi dengan 2. Reinforcemen
cara bercakap- positif akan
cakap dengan meningkatka
orang lain, seperti: n harga diri
 Mengajak kelompok

35
kenalan orang WBS
lain, “hai, nama 3. Memberika
kamu siapa?” n alternative
 Menanyakan pilihan bagi
tempat tinggal Kelompok
dimana, “kamu WBS untuk
tinggal mengontrol
dimana?” halusinasi
 Menanyakan 4. Memotivasi
kegiatan yang agar dapat
biasa dilakukan meningkatk
atau disukai, an interaksi
“kamu hobinya kelompok
apa?” WBS
3. Menganjurkan
WBS
memasukkan
dalam jadwal
kegiatan harian

36
TUK 3 SP 3 3. Upaya untuk
Kelompok WBS 1. Mengevaluasi memutuskan
dapat jadwal kegiatan siklus halusinasi
mengontrol harian klien sehingga
halusinasinya 2. Melatih WBS halusinasi tidak
dengan mengontrol berlanjut
melakukan halusinasi 4. Reinforcemen
kegiatan harian dengan cara positif akan
melakukan meningkatkan
kegiatan harian, harga diri
seperti kelompok
merapikan WBS
tempat tidur, 5. Memberika
menyapu, n alternative
mengepel, pilihan bagi
mencuci piring, Kelompok
dll WBS untuk
3. Menganjurkan mengontrol
WBS halusinasi
memasukkan 6. Memotivasi
dalam jadwal dapat
kegiatan harian meningkatk
an kegiatan
kelompok
WBS
TUK 4 SP 4 1. Dengan
Kelompok 1. Mengevaluasi mengetahui efek
WBS dapat jadwal kegiatan samping obat
memanfaatkan harian klien kelompok WBS
obat dengan  Diskusikan akan tahu apa
baik dengan WBS yang harus

37
tentang dosis, dilakukan setelah
frekuensi dan minum obat
manfaat 2. Dengan
meminum menyebutkan
obat dosis, frekuensi
 Diskusikan dan manfaat obat
manfaat dan 3. Diharapkan
efek samping kelompok WBS
obat yang melaksakan
dikonsumsi program
 Anjurkan pengobatan
WBS minta untuk menilai
sendiri obat kemampuan
pada perawat kelompok WBS
 Diskusikan dalam
akibat pengobatan
berhenti mandiri
minum obat
tanpa
konsultasi
 Bantu WBS
menggunakan
obat dengan
prinsip benar
2. Menganjurkan
WBS
memasukkan
dalam jadwal
kegiatan harian

38
39
BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK GERONTIK
DI PSTW BUDI MULIA 3 CENTEX JAKARTA TIMUR

3.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Identitas
1. Nama Kelompok : PSTW Budi Mulia 3 Centex Jakarta Timur
2. Umur Lansia
Tabel 3.1 
Distribusi frekuensi berdasarkan kelompok umur WBS PSTW Budi Mulia
3 Centex Jakarta Timur (n=36)
No Umur (dalam tahun) Frekuensi Persentase %
1 55-59 2 5,5%
2 60-74 30 83,3%
3 75-90 3 8,3%
4 >90 1 2,7%
Jumlah 36 100 %
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan dari table 3.1 didapatkan hasil kelompok umur lansia paling banyak
rentang (60-75) sebanyak 30 WBS, dan kelompok umur paling sedikit (>90)
seabanyak 1 WBS.

3. Jenis Kelamin Lansia


Tabel 3.2 
Distribusi frekuensi berdasarkan kelompok Jenis kelamin WBS PSTW
Budi Mulia 3 (n=36)
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase %
1 Perempuan 36 100%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan table 3.2 didapatkan hasil jumlah perempuan sebanyak 36


orang WBS adalah perempuan.

40
4. Suku
Table 3.3
Distribusi frekuensi WBS berdasarkan suku di PSTW Budi Mulia 3 centex
(n=36)

No. Kategori Jumlah Persentase %


1. Sunda 7 orang 19,4%
2. Jawa 18 orang 50%
3 Betawi 7 orang 19,4%
.
4 Banten 3 orang 8,3%
.
5. Palembang 1 orang 2,7%
36 100 %
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan table 3.3 didapatkan hasil WBS dengan suku terbanyak suku
jawa sebanyak 18, dan paling sedikit suku palembang sebanyak 1.

5. Tingkat Pendidikan
Tabel 3.4 
Distribusi frekuensi WBS berdasarkan tingkat pendidikan di PSTW Budi
Mulia 3 (n=36)
No Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentasi %
1 Tidak sekolah 25 69,4%
2 SD 8 22,2%
3 SMP 2 5,5%
4 SMA 1 2,7%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan table 3.4 didapatkan hasil dengan tingkat Pendidikan terbanyak


pada WBS yang tidak bersekolah sebanyak 25 WBS, dan paling sedikit
WBS dengan tingkat Pendidikan SMA sebanyak 1 WBS.

41
6. Kemampuan Aktivitas Fisik

Tabel 3.5
Distribusi Frekuensi kemampuan aktivitas fisik WBS di PSTW Budi Mulia 3
Centex, Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=3)6
No. Kategori Jumlah Persentase %
1. Mandiri 36 orang 100%
36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan table 3.5 didapatkan hasil dengan kategori mandiri sebanyak


36 WBS.

7. Tingkat Sosialisasi

Tabel 3.6
Distribusi Frekuensi Tingkat Sosialisasi WBS di PSTW Budi Mulia 3 Centex,
Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Persentase %
1 bersosialisasi 23 orang 63,8%
2 Tidak bersosialisasi 13 orang 36,2%
36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex
Berdasarkan tabel 3.6 didapatkan hasil tingkat social WBS di panti social
tresna werdha dengan mayoritas WBS bersosialisasi 23 orang, dan WBS
yang tidak bersosialisasi 13 WBS.

42
8. Pemeriksaan Fisik

a. Kepala

Tabel 3.7
Distribusi Frekuensi pemeriksaan Fisik Rambut WBS di PSTW Budi Mulia 3
Centex, Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Persentase %
1 Ketombe 14 38,3%
2 Benjolan 3 8,3%
3 Kutuan 19 52,8%
Jumlah 36 100 %
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.7 didapatkan hasil pemeriksaan fisik kepala WBS


di PSTW dengan jumlah terbanyak 19 WBS mengalami kepala kutuan dan
paling sedikit 3 WBS mempunyai benjolan pada kepalanya.

b. Mata

Tabel 3.8
Distribusi Frekuensi pemeriksaan Fisik Mata WBS di PSTW Budi Mulia 3
Centex, Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Presentase %
1 Katarak 6 16,6 %
2 Presbiopi 22 61,2%
3 Mata Kering 6 16,6%
4 Glaukoma 1 2,8%
5 Retinopati 1 2,8%
36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.8 didapatkan pemeriksaan fisik mata WBS di


PSTW dengan jumlah terbanyak 22 WBS mengalami presbiopi dan paling
sedikit 1 WBS mengalami retinopati.

43
c. Telinga

Tabel 3.9
Distribusi Frekuensi pemeriksaan Fisik Telinga WBS di PSTW Budi Mulia 3
Centex, Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Presentase %
1 Gangguan Pendengaran 3 8,3%
2 Tidak mengalami gangguan pendengaran 33 91,7%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.9 didapatkan hasil pemeriksaan fisik telinga WBS


mengalami gangguan pendengaran sebanyak 3 WBS dan tidak mengalami
gangguan pendengaran sebanyak 33 WBS.

d. Hidung

Tabel 3.10
Distribusi Frekuensi pemeriksaan Fisik Hidung WBS di PSTW Budi Mulia 3
Centex, Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Persentase %
1 Tidak ada masalah 36 100%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.10 didapatkan hasil pemeriksaan fisik hidung


WBS tidak memiliki masalah pada hidung dengan persentase 100%.

44
e. Mulut

Tabel 3.11
Distribusi Frekuensi pemeriksaan Fisik Mulut WBS di PSTW Budi Mulia 3
Centex, Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Persentase %
1 Sariawan 8 22,2%
2 Hipodonsia 24 66,6%
3 Mulut kering 4 11,2%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.11 didapatkan hasil pemeriksaan fisik mulut WBS


terdapat 24 WBS mengalami kehilangan gigi dan 4 WBS mengalami mulut
kering.

f. Ekstremitas :
a) Ekstremitas Atas
Tabel 3.12
Distribusi Frekuensi pemeriksaan Fisik Ektremitas atas WBS di PSTW Budi
Mulia 3 Centex, Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Persentase %
1 Normal 36 100%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.12 didapatkan hasil pemeriksaan fisik Ektremitas atas


WBS di panti social tresna werdha dengan mayoritas WBS normal 36 WBS.

45
b) Ekstremitas Bawah
Tabel 3.13
Distribusi Frekuensi pemeriksaan Fisik Ektremitas bawah WBS di PSTW Budi
Mulia 3 Centex, Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Presentase
1 Normal 33 91,6%
2 Kelainan 3 8,3%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.13 didapatkan hasil pemeriksaan fisik Ektremitas


bawah WBS di panti social tresna werdha dengan mayoritas WBS normal 33
WBS, dengan WBS yang mengalami kelainan 3 WBS.

g. Kulit

Tabel 3.14
Distribusi Frekuensi pemeriksaan Fisik kulit WBS di PSTW Budi Mulia 3 Centex,
Ciracas, Jakarta Timur April 2023 (n=36)
No. Kategori Jumlah Presentase
1 Kering & Bersisik 19 78,1%
2 Memar 1 3,1%
3 Luka 6 18,8%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.13 didapatkan hasil pemeriksaan fisik kulit WBS


terbanyak pada lansia dengan kulit kering dan bersisik sebanyak 29 WBS dan
paling sedikit WBS dengan memar sebanyak 1 WBS.

46
4. Pola Kebiasaan hidup
a) Pola Makan
Tabel 3.15 
Distribusi frekuensi WBS berdasarkan pola makan di PSTW Budi Mulia 3
(n=36)
No Pola Makan Frekuensi Persentase %
1 1x/hari 2 5,5 %
2 2x/hari 7 19,4%
3 3x/hari 27 75%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.15 didapatkan hasil pola makan terbanyak dengan pola
makan 3x/hari 27 WBS, dengan WBS pola makan 1x/hari 2 WBS.
b) Pola Minum
Tabel 3.16
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola Minum di PSTW Budi Mulia 3
centex (n=36)
No Pola Minum Frekuensi Persentase
1 <4 gelas 23 63,3 %
2 4 – 7 gelas 13 36,1%
Jumlah 36 100 %
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan table 3.16 hasil didapatkan paling banyak adalah <4 gelas
sebanyak 23 WBS, dengan pola minum 4-7 gelas sebanyak13 WBS.
c) Kebutuhan Istirahat-Tidur
Tabel 3.17
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kebutuhan istrahat tidur di PSTW
Budi Mulia 3 centex (n=36)
No Kebutuhan Istrahat tidur Frekuensi Persentasi %
1 1-3 jam/hari 6 16,7%
2 4-6 jam/hari 21 58,3%
3 7-8 jam/hari 9 25%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

47
Berdasarkan tabel 3.17 didapatkan hasil pola tidur WBS dengan
frekuensi terbanyak pada kategori 4-6 jam sebanyak 21 WBS dan paling
sedikit pada kategori 1-3 jam sebanyak 6 WBS.
d) Pola BAB
 Frekuensi BAB
Tabel 3.18
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pola BAB WBS di PSTW Budi Mulia
3 centex (n=36)
No Pola BAB Frekeunsi Persentasi%
1 1x/hari 25 69,4%
2 2 hari/1x 4 11,1%
3 Tidak tentu 7 19,4%
Jumlah 36 100%

Berdasarkan tabel 3.18 didapatkan hasil pola BAB WBS dengan


frekuensi terbanyak pada kategori 1x/hari 25 WBS, dengan pola BAB
paling sedikit 2 hari sekali 4 WBS.

e) Pola BAK
 Frekuensi BAK
Tabel 3.19
Distribusi frekuensi berdasarkan frekuensi BAK di PSTW Budi Mulia 3
(n=36)
No Pola BAK Frekuensi Persentase %
1 2-4x/hari 22 61,1%
2 4-6x/hari 13 36,1
3 Pakai pampers 1 2,7%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.19 didapatkan hasil pola BAK WBS dengan


frekuensi terbanyak pada kategori 2-4x/hari sebanyak 22 WBS, dengan
pakai pampers sebanyak 1 WBS.

48
5. Masalah Kesehatan
1. Masalah Kesehatan Kelompok
Tabel 3.20
Distribusi frekuensi penyakit yang dialami WBS PSTW Budi Mulia 3
centex 2023 (n=36)

No Kategori Frekuensi Persentase


1 Hipertensi 1 2,8%
2 Hipertensi + Demensia 10 27,2%
3 Demensia 1 2,8%
4 Riwayat Stroke 4 11,2%
5 Riwayat Operasi Katarak 1 2,8%
6 Gangguan Kejiwaan 13 36,1%
7 Batuk + Demensia 1 2,8%
8 Batuk + Gangguan Jiwa 1 2,8%
9 Nyeri Sendi + Demensia 2 5,5%
10 Nyeri Sendi + Gangguan Jiwa 2 5,5%
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.20 didapatkan hasil penyakit dengan lansia terbanyak


terdapat pada penyakit gangguan jiwa sebanyak 16 WBS dan paling sedikit pada
penyakit hipertensi sebanyak 1 WBS.

2. Masalah kesehatan psikotik


Tabel 3.21
Distribusi frekuensi psikotik yang dialami WBS di PSTW Budi Mulia 3
centex 2023 (n=36)
No Masalah Kesehatan psikotik Frekuensi Prosentase
1 Halusinasi 11 30,5%
2 Isolasi social 5 13,8%
3 Tidak ada 20 55,5%
Jumlah 36 100 %
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan table 3.21 didapatkan hasil yang tidak mengalami


psikotik 20 wbs, yang mengalami gangguan psikotik 16 WBS, dengan
halusinasi 11 wbs, Dari 11 wbs yang mengalami halusinasi 8 di

49
antaranya mengatakan sering mendengarkan suara-suara tanpa wujud, 8
dari 11 wbs tampak sering menyendiri, 5 dari 11 wbs tampak marah-
marah tanpa sebab, 8 dari 11 wbs berbicara sendiri dan tertawa saat
dikaji.

6. Agama Yang di Anut


Tabel 3.22
Distribusi frekuensi berdasarkan agama di PSTW Budi Mulia 3 (n=36)
Agama Frekuensi Prosentase (%)
(orang)
Islam 33 91,6 %
Kristen 2 5,5 %
Katolik 1 2,7 %
Jumlah 36 100 %
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.22 didapatkan hasil lansia yang paling dominan


beragama islam sebanyak 33 WBS, yang paling sedikit dengan agama
katolik 1 WBS.
7. Kepercayaan
Banyak Lansia masih mempercayai adanya ritual - ritual Kejawen seperti
kegiatan Sedekah Bumi, kegiatan Peringatan orang yang sudah meninggal,
acara Tolak Bala, yang dipercaya sebagai kegiatan - kegiatan yang
membawa keselamatan.
8. Komunikasi
1. Jenis Alat Komunikasi
Jenis alat komunikasi yang digunakan Posyandu Lansia di
Kelurahan Mersi untuk mengadakan kegiatan yaitu secara langsung
(lisan)
2. Cara Penyebaran Komunikasi
Informasi disampaikan dari lansia pada anggota mahasiswa
universitas esa unggul Jakarta barat.

50
9. Kegiatan yang dilaksanakan di PSTW Budi Mulia 3 Centex
1. Jenis Kegiatan di pstw budi mulia 3 centex
Sebagian besar (64%) lansia mengatakan jenis kegiatan di
Posyandu Lansia sesuai dengan keinginan dan hampir setengah (36%)
kurang sesuai dengan keinginan lansia.
2. Jenis Kegiatan yang ingin dikembangkan di PSTW Budi Mulia 3 centex
Tabel 3.23 
Distribusi frekuensi lansia berdasarkan jenis kegiatan yang ingin
dikembangkan di PSTW Budi Mulia 3 (n=36)
No Jenis Kegiatan Frekuensi Presentasi
1 Pemeriksaan Kesehatan 1x sehari
2 Panggung gembira 2x seminggu
3 Kerajinan Tangan 1x seminggu
4 Nonton Bareng Setiap hari
5 Senam 2x seminggu
6 Sholat berjamaah Setiap hari
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.23 diketahui bahwa jenis kegiatan yang ingin


dikembangkan di Pstw budi mulia 3 adalah pemeriksaan kesehatan dan
kerajinan tangan.

10. Data Sub system


1. Pemukiman
a) Jenis Bangunan
Seluruhnya (100%) jenis bangunan PSTW Budi Mulia 3 centex
adalah permanen.
b) Atap PSTW
Hampir seluruhnya (92%) atap PSTW Budi Mulia 3 terbuat dari
genteng dan sebagian kecil (8%) terbuat dari asbes.
c) Dinding PSTW
Seluruhnya (100%) dinding PSTW Budi Mulia 3 terbuat dari
tembok.

51
d) Lantai PSTW
Seluruhnya menggunakan keramik.
e) Pencahayaan
Seluruh (100%) pencahayaan PSTW Budi Mulia 3 centex baik.
f) Kebersihan
Seluruh (100%) kebersihan di PSTW Budi Mulia 3 centex baik.
g) Pengaturan ruangan dan perabot
Seluruh (100%) pengaturan ruangan dan perabot di PSTW Budi
Mulia 3 centex baik.
h) Kelengkapan alat rumah tangga
Seluruh (100%) alat rumah tangga dai PSTW Budi Mulia 3 centex
lengkap.

2. Sanitasi
1) Penyediaan Air
Tabel 3.24 
Distribusi frekuensi berdasarkan sumber dari penyediaan air
No Penyedia Air Bersih Frekuensi Presentasi
1 PDAM 36 100%
2 Sumur 0 0
Jumlah 36 100%
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Dari tabel 3.24 diketahui bahwa semua (100%) sumber penyediaan


air dari PDAM.
2) Pengelolaan Jamban
a) Jenis Jamban
Seluruh (100%) pengelolaan jamban di PSTW Budi Mulia 3 centex
WBS menggunakan jenis jamban jongkok.
b) Jumlah Jamban
Seluruh (100%) jumlah jamban yang dimiliki di PSTW Budi Mulia
3 centex sebanyak 3 buah.

52
c) Pengelolaan sampah
Seluruh (100%) pengelolaan sampah di PSTW Budi Mulia 3
centex di ambil oleh petugas kebersihan setempat.
3) Polusi
Hampir seluruh (88%) dilingkungan WBS tidak terjadi polusi dan
sebagian kecil (12%) terdapat polusi udara dilingkungan lansia.
4) Sumber polusi
Hampir seluruhnya (80%) di lingkungan WBS tidak terdapat polusi
udara dan sebagian kecil (20%) terdapat sumber polusi dari kendaraan
bermotor dan asap rokok.
3. Tempat Pelayanan Sosial dan kesehatan
1) Lokasi (Pasar)
Pasar terletak kurang lebih 2 km dari pemukuman namun di sekitar
pemukiman ada banyak toko untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2) Tempat Ibadah
Tempat Ibadah terdiri 1 Aula terletak di dalam PSTW Budi Mulia
3 centex.
3) Rekreasi
Kebiasaan Rekreasi Sebagian besar lansia (60%) mempunyai
kebiasaan rekreasi dan (40%) tidak mempunyai kebiasaan rekreasi.

11. Pengkajian Khusus Lansia


1. Pengkajian Screening Fall
Tabel 3.25
Distribusi pengkajian Screening Fall pada lansia di PSTW Budi Mulia 3
Centex (n=36)
No Kategori Jumlah Presentase (%)
1 Risiko rendah 9 25
2 Risiko sedang 27 75
Jumlah 36 100
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

53
Berdasarkan tabel 3.25 didapatkan hasil pengkajian risiko jatuh
terbanyak pada WBS dengan kategori risiko sedang sebanyak 27 WBS dan
paling sedikit lansia dengan kategori risiko rendah sebanyak 9 WBS.

2. Pengkajian Barthel indeks

Tabel 3.26
Distribusi pengkajian Barthel Indeks pada lansia di PSTW Budi Mulia 3
Centex (n=36)
No Analisa Hasil Jumlah Presentase (%)
1 Nilai A 36 97,2
2 Nilai B 1 2,8
Jumlah 36 100
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex

Berdasarkan tabel 3.26 didapatkan hasil Nilai A sebanyak 35 WBS


dan paling sedikit Nilai B 1 WBS.
3. Pengkajian Status Mental
Tabel 3.27
Distribusi Pengkajian Status Mental Pada Lansia di PSTW Budi Mulia 3
Centex (n=36)
No Kategori Jumlah Presentase (%)
1 Intelektual utuh 3 8,3
2 Kerusakan intelektual ringan 7 19,4
3 Keruskan Intelektual sedang 20 55,6
4 Kerusakan intelektual berat 6 16,7

Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex Jakarta


Berdasarkan tabel 3.27 didapatkan hasil pengkajian status mental
dengan jumlah terbanyak pada kategori kerusakan intelektual sedang dengan
jumlah 20 WBS dan paling sedikit pada kategori intelektual utuh sebanyak 3
WBS.

54
4. Pengkajian Apgar Keluarga
Tabel 3.28
Distribusi Pengkajian Apgar Keluarga Pada Lansia di PSTW Budi Mulia
3 Centex (n=36)
No Kategori Jumlah Presentase (%)
1 Kadang-kadang 36 100
Jumlah 36 100
Sumber: Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex Jakarta
Berdasarkan tabel 3.28 di dapatkan hasil kelompok WBS sebanyak 36
lansia memiliki apgar score kadang-kadang ada penerimaan terhadap WBS.

5. Pengkajian Risiko Decubitus Skala Norton

Tabel 3.29
Distribusi Pengkajian Risiko Decubitus Skala Norton Pada Lansia di
PSTW Budi Mulia 3 Centex (n=36)
No Kategori Jumlah Presentase (%)
1 Skor >14 36 100
Jumlah 36 100
Sumber : Data Primer 2023 di PSTW Budi Mulia 3 Centex Jakarta
Berdasarkan tabel 3.29 didapatkan hasil kelompok WBS sebanyak 36
WBS memiliki risiko kecil terjadi nya decubitus.

3.1.2 Analisa Data


Di PSTW Budi Mulia 3 Centex, Jakarta Timur, kelompok 1
Mahasiswa Profesi Universitas Esa Unggul melakukan pengkajian lansia
kepada 36 WBS yang terdiri dari pengkajian risiko jatuh (screening fall),
pengkajian tingkat kemandirian atau Barthel Index, pengkajian tingkat
intelektual atau (Short Portable Mental Status QuestionaireI), dan
pengkajian Norton (risiko terkena decubitus).
Hasil Pengkajian Lansia :
1) Pengkajian Risiko Jatuh (Screening Fall)
Hasil pengkajian risiko jatuh pada 36 WBS : 25% atau 9 dari 36 WBS
memiliki skore risiko jatuh rendah, 75% atau 27 dari 36 WBS memiliki
skore risiko jatuh sedang,

55
2) Barthel Indeks
Hasil pengkajian tingkat kemandirian dengan menggunakan Barthel
index : 97,2% atau 35 dari 36 WBS memiliki nilai atau skore tingkat
kemandirian A : kemandirian dalam hal makan, kontinen (BAB/BAK),
berpindah, ke kamar kecil, mandi, dan berpakaian.
3) SPMSQ
Hasil pengkajian status mental : 8,3% atau 3 dari 36 WBS memiliki
fungsi intelektual utuh, 19,4% atau 7 dari 36 WBS mengalami kerusakan
intelektual ringan, 55,5% atau 20 dari 36 WBS mengalami kerusakan
intelektual sedang, 16,6% atau 6 dari 36 WBS mengalami kerusakan
intelektual.
4) Norton (Tingkat Resiko Dekubitus)
Hasil pengkajian risiko decubitus : 100% atau 36 WBS pada kelompok
WBS ini memiliki resiko kecil mengalami decubitus.
5) Apgar Keluarga
Hasil pengkajian apgar keluarga : kelompok WBS sebanyak 36 lansia
memiliki apgar score kadang-kadang ada penerimaan terhadap WBS.
Dari hasil pengkajian pada kelompok agregat lansia di PSTW Budi
Mulia 3 Centex Jakarta timur, dapat disumpulkan bahwa rata-rata masalah
yang dialami WBS yaitu :

Data Masalah Keperawatan

DS : Gangguan sensori persepsi : Halusinasi


 8 dari 11 wbs mengatakan sering pada agregat lansia PSTW Budi Mulia 3
mendengar suara-suara tanpa wujud Centex (D.0085)
DO :
 8 dari 11 wbs tampak sering
menyendiri
 3 dari 11 wbs mengamuk dan
melakukan tindakan kekerasan
pada orang-orang disekitarnya.
 5 dari 11 WBS tampak marah-
marah tanpa sebab.

56
 8 dari 11 wbs berbicara dan tertawa
sendiri saat dikaji.
 3 dari 11 WBS bersikap seperti
mendengar/melihat sesuatu.
 3 dari 11 WBS tampak menunjuk-
tunjuk kearah tertentu

DS : Hambatan Memori pada agregat lansia


- 8 dari 13 WBS mengatakan sering lupa PSTW Budi Mulia 3 Centex (D.0062)
dengan kejadian yang terjadi
sebelumnya
- 7 dari 13 WBS mengatakan sulit
mengingat nama orang yang baru saja
berkenalan
- 10 dari 13 lansia mengatakan lupa
dengan kalimat yang baru saja
diucapkan.
DO :
- 5 dari 13 WBS sulit mempelajari cara
merajut
- 3 dari 13 WBS sulit mengingat kegiatan
yang baru saja dilakukan (senam pagi)
- 8 dari 13 WBS lupa mengingat nama
perawat yang baru saja berkenalan
- Hasil pengkajian status mental : 8,3%
atau 3 dari 36 WBS memiliki fungsi
intelektual utuh, 19,4% atau 7 dari 36
WBS mengalami kerusakan intelektual
ringan, 55,5% atau 20 dari 36 WBS
mengalami kerusakan intelektual
sedang, 16,6% atau 6 dari 36 WBS
mengalami kerusakan intelektual
- Riwayat Kesehatan WBS di PSTW
Budi Mulia 3 Centex yang mengalami
masalah demensia sebanyak 13 WBS.
DS : - Risiko Jatuh pada lansia PSTW Budi
DO : Mulia 3 Centex (D.0143)
- Hasil pengkajian risiko jatuh terbanyak
pada lansia dengan kategori risiko
sedang sebanyak 27 WBS dan paling
sedikit lansia dengan kategori risiko
rendah sebanyak 9 WBS.
- Kondisi kamar mandi rapi, tampak
kotor dan tidak ada pegangan didalam
kamar mandi. Banyak lansia yang takut
akan jatuh sehingga lansia harus sangat

57
hati-hati ketika berada di kamar mandi.
- Penerangan pada lingkungan WBS
redup.
- WBS memiliki 2 ruang kamar tidur
dengan jenis tempat tidur 1 WBS 1
tempat tidur dengan tidak ada bed
streal.
- Lokasi kamar mandi terletak di sebelah
kamar tidur WBS tanpa ada pegangan
kamar mandi dan jalan yang tidak rata.
3.2 Diagnosa Keperawatan Prioritas
1. Gangguan sensori persepsi : Halusinasi pada agregat lansia PSTW Budi
Mulia 3 Centex (D.0085)
2. Hambatan Memori pada agregat lansia PSTW Budi Mulia 3 Centex (D.0062)
3. Risiko Jatuh pada lansia PSTW Budi Mulia 3 Centex (D.0143)

3.3 Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa Perencanaan
Intervensi Rasional
Keperawatan
Tujuan Kriteria Hasil

Gangguan TUM 1. Terjalin SP 1 1. Hubungan saling


persepsi Kelompok WBS hubungan saling 1. Bina hubungan percaya
sensori: tidak mengalami percaya saling percaya merupakan dasar
Halusinasi gangguan 2. Dapat mengenali dengan untuk kelancaran
persepsi sensori halusinasinya mengungkapkan hubungan
(halusinasi) 3. Dapat prinsip komunikasi interaksi
selama dalam mengontrol terapeutik: selanjutnya
perawatan. halusinasinya a. Sapa Kelompok 2. Kontak sering
dengan cara WBS dengan tapi singkat
TUK 1 menghardik ramah, baik selain membina
Kelompok WBS 4. Dapat verbal maupun hubungan saling
dapat membina mengontrol non verbal percaya, juga
hubungan saling halusinasinys b. Perkenalkan dapat
percaya dengan cara diri dengan memutuskan

58
berbincang- sopan halusinasi
bincang c. Tanyakan nama 3. Mengenali
5. Dapat lengkap perilaku pada
mengontrol Kelompok WBS saat halusinasi
halusinasinya & nama timbul
dengan cara panggilan yang memudahkan
melakukan disukai perawat dalam
kegiatan harian d. Jelaskan tujuan melakukan
6. Dapat pertemuan intervensi
memanfaatkan e. Jujur dan 4. Mengenali
obat dengan baik menepati janji halusinasi
f. Tunjukkan memungkinkan
sikap empati Kelompok WBS
dan menerima untuk
kelompok WBS menghindari
apa adanya dari faktor
g. Beri perhatian pencetus
pada kelompok timbulnya
WBS dan halusinasi.
perhatian 5. Dengan
kebutuhan mengetahui
dasar waktu, isi dan
Kelompok frekuensi
WBS munculnya
h. Bantu halusinasi
kelompok mempermudah
WBS tindakan
mengenali keperawatan
halusinasinya yang dilakukan
i. Jika perawat.
menemukan 6. Untuk

59
yang sedang mengidentifikasi
halusinasinya, pengaruh
tanyakan halusinasi
apakah ada Kelompok WBS
suara yang
didengar
j. Jika kelompok
WBS
menjawab ada,
lanjutkan : apa
yang dikatakan
k. Katakan bahwa
perawat
percaya
kelompok WBS
mendengar
suara itu,
namun perawat
sendiri tidak
mendengarnya
(dengan nada
bersahabat
tanpa menuduh
atau
menghakimi)
l. Katakan pada
kelompok WBS
bahwa ada
WBS juga yang
seperti klien
m. Situasi yang

60
menimbulkan
atau tidak
menimbulkan
halusinasi
n. Waktu dan
frekuensi
terjadinya
halusinasi
(pagi, siang,
sore, malam
atau jika
sendiri, jengkel
atau sedih)
o. Diskusikan
dengan
kelompok WBS
apa yang
dirasakan jika
terjadi
halusinasi
(marah, takut,
sedih, senang)
beri
kesempatan
mengungkapka
n perasaannya
2. Ajarkan cara
mengontrol
halusinasi dengan
cara menghardik,
seperti menutup

61
telinga kemudian
berkata “pergi-pergi
kamu suara palsu,
kamu tidak nyata,
saya tidak mau
dengar”
Menutup mata
kemudian berkata
“pergi-pergi kamu
bayangan palsu,
kamu tidak nyata,
saya tidak mau
melihat”
3. Menganjurkan
kelompok WBS
memasukkan dalam
jadwal kegiatan
harian
TUK 2 SP 2 5. Upaya dalam
Kelompok WBS 1. Mengevaluasi mengontrol
dapat jadwal kegiatan siklus halusinasi
mengontrol harian klien sehingga
halusinasinya 2. Melatih kelompok halusinasi tidak
dengan bercakap- WBS mengontrol berlanjut
cakap dengan halusinasi dengan 6. Reinforcemen
orang lain cara bercakap- positif akan
cakap dengan meningkatkan
orang lain, seperti: harga diri
a. Mengajak kelompok
kenalan orang WBS
lain, “hai, nama 7. Memberikan

62
kamu siapa?” alternative
b. Menanyakan pilihan bagi
tempat tinggal Kelompok
dimana, “kamu WBS untuk
tinggal mengontrol
dimana?” halusinasi
c. Menanyakan 8. Memotivasi
kegiatan yang agar dapat
biasa dilakukan meningkatk
atau disukai, an interaksi
“kamu hobinya kelompok
apa?” WBS
3. Menganjurkan
WBS
memasukkan
dalam jadwal
kegiatan harian
TUK 3 SP 3 7. Upaya untuk
Kelompok WBS 1. Mengevaluasi memutuskan
dapat mengontrol jadwal kegiatan siklus halusinasi
halusinasinya harian klien sehingga
dengan 2. Melatih WBS halusinasi tidak
melakukan mengontrol berlanjut
kegiatan harian halusinasi dengan 8. Reinforcemen
cara melakukan positif akan
kegiatan harian, meningkatkan
seperti merapikan harga diri
tempat tidur, kelompok
menyapu, WBS
mengepel, mencuci 9. Memberikan
piring, dll alternative

63
3. Menganjurkan pilihan bagi
WBS memasukkan Kelompok
dalam jadwal WBS untuk
kegiatan harian mengontrol
halusinasi
10. Memotiv
asi dapat
meningkatk
an kegiatan
kelompok
WBS
TUK 4 SP 4 4. Dengan
Kelompok WBS 1. Mengevaluasi mengetahui efek
dapat jadwal kegiatan samping obat
memanfaatkan harian klien kelompok WBS
obat dengan baik a. Diskusikan akan tahu apa
dengan WBS yang harus
tentang dosis, dilakukan setelah
frekuensi dan minum obat
manfaat 5. Dengan
meminum obat menyebutkan
b. Diskusikan dosis, frekuensi
manfaat dan efek dan manfaat obat
samping obat 6. Diharapkan
yang dikonsumsi kelompok WBS
c. Anjurkan WBS melaksakan
minta sendiri program
obat pada pengobatan
perawat untuk menilai
d. Diskusikan kemampuan
akibat berhenti kelompok WBS

64
minum obat dalam
tanpa konsultasi pengobatan
e. Bantu WBS mandiri
menggunakan
obat dengan
prinsip benar
2. Menganjurkan WBS
memasukkan dalam
jadwal kegiatan
harian

65
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan

2. D.0062. Setelah dilakukan perawatan 3 x 24 jam, Latihan Memori :


Gangguan masalah keperawatan gangguan memori
teratasi sebagian pada kelompok agregat 1. Monitor perubahan kemampuan
Memori
lansia WBS yang ada di PSTW Budi Mulia mengingat WBS selama terapi
3, Centek , Jakarta Timur dengan
aktivitas kelompok berlangsung
Kriteria Hasil : 2. Melakukan rancangan terapi aktivitas
kelompok sesuai dengan kemampuan
WBS yang ada di PSTW.
Status Kognitif :
3. Memfasilitasi pembelajaran dan
1. Kelompok wbs mampu melakukan konsentrasi kelompok WBS dengan
komunikasi jelas sesuai usianya
melakukan terapi menyusun puzzle
saat ini (artikulasi kalimat jelas,
kalimat yang disampaikan jelas dan
dapat dipahami orang lain)
2. Konsentrasi meningkat dilihat dari Orientasi Realita :
kelompok WBS mampu mengikuti
kegiatan/ terapi bermain hingga 1. Kelompok WBS melakukan
selesai. perkenalan dengan menyebutkan
nama masing-masing saat sebelum
Proses Informasi :
terapi aktivitas dimulai.
1. Kelompok WBS mampu 2. Melakukan orientasi realita kepada
memahami kalimat yang
disampaikan oleh petugas saat kelompok WBS terkait tempat,
melakukan terapi bermaik waktu, tanggal, hari, dan tahun saat
kelompok ini.
2. Kelompok WBS mampu
memahami dan menyebutkan
symbol atau gambar yang
digunakan dalam terapi aktivitas Stimulasi Kognitif :
menebak gambar
1. Kelompok WBS diberikan informasi
Orientasi Kognitif : atau orientasi terkait waktu, tempat,
serta Tindakan yang akan dilakukan
1. Masing-masing WBS mampu
mengidentifikasi diri sendiri saat ini
dengan menyebutkan Namanya 2. Melakukan pengkajian kemampuan
2. Kelompok WBS mampu
pada kognitif WBS sebelum dan
mengidentifikasi tempat WBS
berada saat ini dengan sesudah diberikan terapi bermain
menyebutkan nama atau lokasi aktivitas
PSTW
3. Kelompok WBS mampu

66
menyebutkan tanggal, hari, tahun
saat ini

Memori :

1. Kelompok WBS mampu


menyampaikan atau menyimpulkan
petunjuk yang disampaikan oleh
perawat dalam melakukan terapi
bermain.

No. Diagnosa Tujuan Umum Tujuan Khusus Intervensi


3. Resiko Jatuh L.14138 tingkat jatuh Setelah dilakukan Pencegahan Jatuh (I.14540)
menurun tindakan keperawatan
3x24 jam Observasi
Kriteria hasil : 1. Identifikasi faktor jatuh
1. Menyebutkan WBS (mis: usia > 65 tahun,
faktor resiko jatuh penurunan Tingkat
2. Memonitor kesadaran, defisit kognitif,
lingkungan untuk hipotensi ortostatik,
risiko jatuh gangguan keseimbangan,
3. Mencegah wbs gangguan penglihatan,
Jatuh saat berdiri neuropati)
4. Memodifikasikasi 2. Identifikasi risiko jatuh
gaya berjalan setidaknya sekali setiap shift
untuk mencegah atau sesuai dengan
risiko jatuh kebijakan institusi
5. Menggunakan alat 3. Monitor gaya berjalan WBS
bantu jalan yang 4. Identifikasi faktor
diperlukan untuk lingkungan yang
menurunkan risiko meningkatkan risiko jatuh
jatuh WBS (mis: lantai licin,
penerangan kurang)
5. Bantu ambulasi WBS yang
memiliki
ketidakseimbangan
6. Hitung risiko jatuh dengan
menggunakan skala (mis:
fall morse scale, humpty
dumpty scale).

Edukasi
1. Anjurkan WBS memanggil
petugas jika membutuhkan
bantuan untuk berpindah
2. Anjurkan WBS
menggunakan alas kaki

67
yang tidak licin
3. Anjurkan WBS
berkonsentrasi untuk
menjaga keseimbangan
tubuh
4. Anjurkan WBS melebarkan
jarak kedua kaki untuk
meningkatkan
keseimbangan saat berdiri

Manajemen Keselamatan
Lingkungan (I.14513)
Observasi
1. Identifikasi kebutuhan
keselamatanWBS (mis:
kondisi fisik, fungsi
kognitif, dan Riwayat
perilaku)
2. Monitor perubahan status
keselamatan lingkungan
WBS

Terapeutik
1. Hilangkan bahaya
keselamatan lingkungan
WBS (mis: fisik, biologi,
kimia), jika memungkinkan
2. Modifikasi lingkungan
WBS untuk meminimalkan
bahaya dan risiko
3. Sediakan alat bantu
keamanan lingkungan untuk
WBS (mis: commode chair
dan pegangan tangan)

Edukasi
1. Ajarkan WBS, keluarga,
dan kelompok risiko tinggi
bahaya lingkungan

3.4 Implementasi, Evaluasi

WAKTU DIAGNOSA IMPLEMENTASI EVALUASI (SOAP)


Kamis, Gangguan Persepsi SP 3 S:
Sensori : Halusinasi Mejelaskan dan melatih kelompok 1. Dari 11 WBS, 8 WBS

68
6 April 2023 WBS dalam mengontrol halusinasi mengatakan tau apa itu
dengan cara melakukan kegiatan, halusinasi, dan 3 lainnya
seperti bernyanyi bersama tidak tau
(karaoke) 2. Dari 11 WBS, 8 WBS
mengatakan sangat senang
S: mengikuti kegiatan, dan 3
1. Dari 11 WBS, 8 WBS WBS lainnya mengatakan
mengatakan sangat senang bosan saat mengikuti
mengikuti kegiatan, dan 3 kegiatan
WBS lainnya mengatakan 3. Dari 11 WBS, 5 WBS
bosan saat mengikuti kegiatan mengatakan suka bernyanyi
2. Dari 11 WBS, 8 WBS yang dan berjoget, 3 WBS
mengikuti TAK mengatakan mengatakan suka berjoget,
halusinasi dapat berkurang
dan 3 WBS lainnya
dengan adanya kegiatan karaoke
mengatakan tidak suka
bersama, dan 3 WBS lainnya
bernyanyi
mengatakan masih ada halusinasi.
O:
O:
1. Dari 11 WBS, 8 WBS tampak
1. Dari 11 WBS, 8 WBS tampak
kooperatif dan 3 WBS lainnya
kooperatif dan 3 WBS lainnya
kurang kooperatif
kurang kooperatif
2. Dari 11 WBS, 8 WBS tampak
2. Dari 11 WBS, 8 WBS tampak
semangat dan 3 WBS lainnya
semangat dan 3 WBS lainnya
tampak kurang semangat
tampak kurang semangat
3. Dari 11 WBS, 5 WBS tampak
3. Dari 11 WBS, 5 WBS tampak
mau bernyanyi dan berjoget, 3
mau bernyanyi dan berjoget, 3
WBS tampak berjoget saja dan
WBS tampak berjoget saja dan 3
3 WBS lainnya tampak hanya
WBS lainnya tampak hanya
duduk dan melihat saja.
duduk dan melihat saja.
A:
Tujuan tercapai sebagian.
Masalah belum teratasi

69
P:
Lanjutkan intervensi

70
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari hasil asuhan keperawatan pada kelompok agregat WBS di PSTW Budi
Mulia 3, centex, Jakarta Timur dapat disimpulkan bahwa :
1. Total WBS di PSTW Budi Mulia 3, centex sebanyak 36 WBS, (91,6%)
beragama Islam, (5,5%) beragama Kristen dan (2,9%) khatolik
berjenis kelamin perempuan
2. Usia WBS di PSTW Budi Mulia 3, centex dari usia 55 – 59tahun (5,5%)
, 60-74 tahun (83,3%), 75-90 tahun ( 8,4% ) dan > 90 tahun (2,8%)
3. Hasil pengkajian WBS :
- Pengkajian Resiko Jatuh (Screening Fall) :
Resiko jatuh rendah : 25% atau 9 dari 36 WBS
Resiko jatuh sedang : 75% atau 27 dari 36 WBS
- Katz Index
a. Tingkat kemandirian A, kemandirian dalam hal makan, konitnen
(BAB/BAK), berpindah, ke kamar kecil, mandi, dan berpakaian
97,2% atau 35 dari 36 WBS
b. Tingkat kemandirian B : Kemandirian dalam semua satu dari
fungsi tersebut. 2,8% atau 1 dari 36 WBS
- SPMSQ
a. Fungsi intelektual utuh : 8,3% atau 3 dari 36 WBS
b. Kerusakan intelektual ringan : 94,4% atau 7 dari 36 WBS
c. Kerusakan intelektual sedang : 55,6% atau 20 dari 36 WBS
d. Kerusakan intelektual berat: 16,7% atau 6 dari 36 WBS

71
4.2 Saran
1. Bagi WBS
Diharapankan kelompok wbs mampu melakukan kegiatan untuk mencegah
Halusinasi, dengan beberapa kegiatan yang ada dipanti salah satunya
kegiatan panggung ceria, agar pasien mampu untuk mencegah
Halusinasinya.
2. Bagi Prosefesi Keperawatan
Bagi profesi keperawatan agar lebih meningkatkan pengetahuan asuhan
keperawatan untuk mencegah Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi pada
WBS

72
Daftar Pustaka

Anwar, I., & Satrio, B. (2015). Pengaruh Harga dan Kualitas Produk terhadap
Keputusan Pembelian. Jurnal Ilmu dan Riset Manajemen , 4 (12).
Azizah, Lilik Ma’rifatul, Dkk. 2016. Buku Ajar Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :
Indonesia Pustaka. Sutejo. 2019. Keperawatan Jiwa : Konsep Dan
Praktik Asuhan Keperawatan Jiwa Gangguan Jiwa Dan Psikososial.
Yogyakarta : Pustaka Baru Press.

Dwi Oktiviani, P. (2020). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K dengan


masalah Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi Pendengaran di
Ruang Rokan Rumah Sakit Jiwa Tampan (Doctoral dissertation,
Poltekkes Kemenkes Riau).
Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Ervina, I., & Hargiana, G. (2018). Aplikasi keperawatan Generalis dan
Psikoreligius pada Kelompok WBS pada gangguan sensori persepsi:
Halusinasi penglihatan dan pendengaran. Jurnal Riset Kesehatan
Nasional, 2(2).
Rusdi. (2016). Peningkatan Kemampuan Interaksi Pada Kelompok WBS Isolasi
Sosial Dengan Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi.
Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Satrio, Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Lampung : LP2M.


Setyani, S. D. (2019). Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Halusiansi
Pendengaran. 8(5), 55.

Tarigan, S. P. (2021). Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi Pada


Kelompok WBS Halusinasi Di Yayasan Pemenang Jiwa Sumatera Elis
Melina Br Manullang , Emma Pratiwi Manik , Teuku Hamdi , Abstrak.

Yusuf, P. K., dan Nihayati, H. E. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan


Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, Iyus. (2016). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika
Aditama.

73

Anda mungkin juga menyukai