Anda di halaman 1dari 3

MENGULIK PERISTIWA BERDARAH SIANTAR HOTEL

Kelompok 6
Nama Anggota:
09. Damba Simanjuntak
16. Hamsen Gultom
18. Imada Silalahi
28. Nadine Samosir
33. Rosu purba
39. Uli Ambarita

Pematang Siantar adalah kota yang menyimpan begitu banyak misteri yang belum

banyak orang ketahui, khususnya pada era kolonial Belanda dan Jepang. Tak hanya itu,

Pematangsiantar juga punya banyak cerita tentang perlawanan pemuda dan laskar-laskar
rakyat terhadap Belanda yang ingin kembali berkuasa pasca proklamasi kemerdekaan tanggal

17 Agustus 1945. Salah satunya adalah peristiwa Berdarah Siantar Hotel yang terjadi pada 15

Oktober 1945. Pada masa itu Siantar Hotel berganti dari markas tentara Jepang menjadi

markas tentara Belanda yang tergabung dalam Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL).

Siantar Hotel yang berada di lokasi strategis, karena terletak di pusat kota Siantar tepatnya di

Jl. W. R. Supratman No. 3 sempat menjadi pusat perdagangan dan perantaraan Pemerintahan

Kolonial Belanda. Siantar Hotel dibangun pada masa kolonial Belanda pada 1913 dan

diresmikan pada 1 Februari 1915. Hotel ini diprakarsai oleh 3 orang berkebangsaan Swis,

yakni Dr. Erns Surbeck, Hedwie Euse Surbeck, dan Lydia Rosa Otto Surbeck. Sebagai

pendiri dan pemilik, mereka mempercayakan pengelolaannya kepada Uegen Ralph Otto

sebagai direktur utama. Namun pada 1969, terjadi pergantian kepemilikan Siantar Hotel

kepada Julianus Hutabarat yang kemudian melakukan perombakan dengan penambahan

kamar, lobby serta restoran.

Siantar Hotel adalah saksi bisu dalam perjuangan merebut kemerdekaan di daerah

Simalungun. Tentara jepang yang menyerah pada Sekutu pada 1942 sempat mempergunakan

tempat ini sebagai markasnya. Setelah diproklamasikannya kemerdekaan, para laskar pemuda

Siantar menyerang tentara KNIL yang bermarkas di Siantar Hotel.

Pertempuran Siantar Hotel ini dipicu masuknya pasukan Nederlands Indies Civil

Administration (NICA) ke wilayah Indonesia pasca proklamasi. Kedatangan NICA ini

mengobarkan semangat kemerdekaan dan ketidakrelaan bila harus dijajah lagi. Tentara NICA

yang memboncengi pasukan Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang ada di Indonesia,

tidak terkecuali wilayah Sumatera Utara. Keinginan NICA untuk mengembalikan

pemerintahan Kolonial Belanda ke Indonesia menyulut amarah rakyat.

Awalnya tersebar informasi bahwa tentara Belanda akan mendarat secara besar-

besaran pada 9 Oktober 1945 di Belawan, Medan. Bertepatan dengan kedatangan tentara
Belanda tersebut, masyarakat sedang melaksanakan pawai Merah Putih dan peringatan

Kebulatan Semangat Pemuda. Karena hal teknis yang berhubungan dengan Jepang,

mobilisasi tentara ditunda menjadi tanggal 10 Oktober 1945.

Sesampainya di daerah Simalungun-Siantar, 20 orang tentara NICA langsung

mengambil alih Siantar Hotel. Pasukan jepang yang berjaga diamankan dan digantikan oleh

pasukan NICA Watermantel sambil mengibarkan bendera Belanda. Di setiap sudut hotel,

pasukan NICA berdiri dengan membawa senjata. Setiap bangsa Indonesia yang melewati

hotel tersebut menerima hinaan dari pasukan NICA dengan mengatakan, “Hei, anjing-anjing

Soekarno! Kamu orang sebentar lagi akan dikubur.” Rasa anti kolonialisme, anti

imperialisme, anti propinsialisme, anti sukuisme, anti kelompokisme sudah melekat pada

jiwa dan raga rakyat Indonesia khususnya rakyat Pematang Siantar. Tak persoalan bahwa

mereka memiliki marga yang berbeda-beda (Purba, Silalahi, Girsang, Damanik, Saragih,

Simanjuntak, dll). Bagi mereka yang paling penting adalah bagaimana mempertahankan

kemerdekaan ini.

Sejak tanggal 10 Oktober 1945, markas besar BKPI (Badan Kebaktian Pemuda

Indonesia) dipindah ke samping kantor Pemkot (mulanya Kantor Bunsuco) yang berhadapan

langsung dengan Siantar Hotel. Pemuda Siantar tampak sudah siap untuk melawan pasukan

NICA yang ada di Siantar Hotel dengan senjata seadanya. Melihat hal ini, pasukan NICA

semakin naik pitam.

Anda mungkin juga menyukai