KABUPATEN BANDUNG
TENTANG
BUPATI BANDUNG,
1
b. bahwa dengan ditetapkannya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara,
diperlukan pengaturan di bidang
pertambangan yang dapat mengelola dan
mengusahakan potensi bahan tambang
secara mandiri, andal, transparan, berdaya
saing, efisien, dan berwawasan lingkungan,
guna menjamin pembangunan daerah
secara berkelanjutan;
c. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Nomor 8 Tahun 2003 tentang
Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum
sudah tidak sesuai lagi kondisi yang ada
sehingga dibutuhkan pengaturan kembali di
bidang pengelolaan usaha pertambangan
agar dapat mendukung kegiatan usaha
pertambangan di Kabupaten Bandung;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Usaha
Pertambangan;
2
2. Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4389);
3
7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
4
12. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5111);
5
17. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung
Nomor 20 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
Kabupaten Bandung (Lembaran Daerah
Kabupaten Bandung Tahun 2007 Nomor 20)
sebagaimana diubah dengan Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung Nomor 12
Tahun 2010 (Lembaran Daerah Kabupaten
Bandung Tahun 2010 Nomor 12);
dan
BUPATI BANDUNG
6
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
7
9. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam,
yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan
kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan,
baik dalam bentuk lepas atau padu.
10. Mineral radioaktif adalah mineral yang semancarkan radiasi
pengion dengan aktivitas jenis lebih besar dari pada 70
kBq/kg (2 nCi/g).
11. Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan
mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi,
minyak dan gas bumi, serta air tanah.
12. Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka
pengusahaan mineral yang meliputi tahapan kegiatan
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan, serta pasca tambang.
13. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disingkat IUP,
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
14. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk
melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi,
dan studi kelayakan.
15. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan
setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan
tahapan kegiatan operasi produksi.
16. Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disingkat IPR,
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam
wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan
investasi terbatas.
17. Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya disebut
dengan IUPK, adalah izin yang diberikan oleh Menteri untuk
melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha
pertambangan khusus.
18. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan
untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti
tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber
daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai
lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
8
19. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha
pertambangan yang meliputi konstruksi penambangan,
pengolahan, pemurnian termasuk pengangkutan dan
penjualan, serta sarana pengendalian, dampak lingkungan
terkait dengan hasil studi kelayakan.
20. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi,
termasuk pengendalian dampak lingkungan.
21. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan
untuk memproduksi mineral dan/atau batu bara dan mineral
ikutannya.
22. Pengolahan dan Pemurnian adalah kegiatan usaha
pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral serta untuk
memanfaatkan dan memperoleh mineral ikutan.
23. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
memindahkan mineral dari daerah tambang dan / atau tempat
pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.
24. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk
menjual hasil pertambangan mineral.
25. Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di
bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
26. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-
seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan.
27. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan selanjutnya disingkat
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting
suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan serta penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
28. Rencana Pengelolaan Lingkungan selanjutnya disingkat RKL
adalah upaya penanganan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari
rencana usaha dan atau kegiatan.
9
29. Rencana Pemantauan Lingkungan selanjutnya disingkat RPL
adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang
terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha
dan atau kegiatan.
30. Upaya Pengelolaan Lingkungan selanjutnya disingkat UKL
dan Upaya Pemantauan Lingkungan selanjutnya disingkat
UPL adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL.
31. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang
tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan,
dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar
dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
32. Kegiatan pasca tambang, yang selanjutnya disebut
pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan
berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha
pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan
fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah
penambangan.
33. Lahan bekas tambang adalah lahan wilayah IUP yang telah
dilakukan penambangan sampai pada batas kedalaman
penggalian maksimal yang diperbolehkan.
34. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disingkat WP,
adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan tidak terikat
dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan
bagian dari tata ruang nasional.
35. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disingkat
WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki
ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
36. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disingkat
WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP.
37. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disingkat
WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan
usaha pertambangan rakyat.
10
38. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut
WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk
kepentingan strategis nasional.
39. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya
disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat
diusahakan.
40. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus, yang selanjutnya
disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada
pemegang IUPK.
41. Iuran Produksi adalah nominal yang harus dibayarkan oleh
pemegang IUP dan IPR kepada Negara atas mineral logam
yang tergali pada tiap tahapan kegiatan penambangan.
42. Keadaan kahar adalah keadaan yang terjadi di luar
kemampuan manusia, yang meliputi antara lain perang,
kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir,
kebakaran, dan bencana alam.
Pasal 2
11
BAB II
WILAYAH PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Pasal 4
WP terdiri atas:
a. WUP;
b. WPR; dan
c. WPN.
Bagian Kedua
Wilayah Pertambangan Rakyat
Pasal 5
Pasal 6
12
(3) Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah
dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan
untuk ditetapkan sebagai WPR.
Pasal 7
Pasal 8
13
(5) Pemegang IUP mempunyai hak mendapat prioritas untuk
mengusahakan bahan galian lain dalam wilayah kerjanya
dengan memenuhi ketentuan yang berlaku.
BAB III
USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 9
14
e. pertambangan batuan yang meliputi pumice, tras, toseki,
obsidian, marmer, perlit, tanah diatome, tanah serap (fullers
earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit,
basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal,
kalsedon, chert, kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu
terkersikan, gamet, giok, agat, diorit, topas, batu gunung
quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu kali,
kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang,
kerikil berpasir alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah),
urukan tanah setempat, tanah merah (laterit), batu gamping,
onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung unsur
mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah
yang berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan.
Pasal 10
BAB IV
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
15
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam
bentuk :
a. IUP; dan/atau
b. IPR.
Pasal 12
16
Pasal 13
Pasal 14
17
j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di
sekitar wilayah pertambangan;
k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan;
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n. dokumen kajian lingkungan.
18
q. penyelesaian perselisihan;
r. keselamatan dan kesehatan kerja;
s. konservasi mineral;
t. pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri;
u. penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan
pertambangan yang baik;
v. pengembangan tenaga kerja Indonesia;
w. pengelolaan data mineral; dan
x. penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknologi
pertambangan mineral.
Bagian Kedua
IUP Eksplorasi
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17
Bagian Ketiga
IUP Operasi Produksi
Pasal 18
20
Pasal 19
Pasal 20
21
Bagian Keempat
Pertambangan Mineral
Paragraf 1
Pertambangan Mineral Logam
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
22
Paragraf 2
Pertambangan Mineral Bukan Logam
Pasal 24
Pasal 25
Pasal 26
Paragraf 3
Pertambangan Batuan
Pasal 27
23
Pasal 28
Pasal 29
BAB V
IZIN PERTAMBANGAN RAKYAT
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
(2) IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun
dan dapat diperpanjang.
25
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 34
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 35
26
d. mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi
Indonesia;
e. meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral;
f. melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat setempat;
g. mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan;
h. melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di
dalam negeri;
i. menyusun program pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat; dan
j. menyampaikan seluruh data hasil eksplorasi dan operasi
produksi;
k. mengikutsertakan karyawannya dalam program perlindungan
tenaga kerja.
Pasal 36
27
Pasal 37
BAB VII
PENGHENTIAN SEMENTARA KEGIATAN
IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 38
28
(4) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang.
Pasal 39
Pasal 40
29
BAB VIII
BERAKHIRNYA IZIN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 41
Pasal 42
(1) Pemegang IUP atau IPR dapat menyerahkan kembali IUP atau
IPR dengan pernyataan tertulis kepada Bupati sesuai dengan
kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas.
Pasal 43
30
Pasal 44
Dalam hal jangka waktu yang ditentukan dalam IUP atau IPR telah
habis dan tidak diajukan permohonan peningkatan atau
perpanjangan tahap kegiatan atau pengajuan permohonan tetapi
tidak memenuhi persyaratan, IUP atau IPR tersebut berakhir.
Pasal 45
Pasal 46
(1) IUP atau IPR yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis
masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
dikembalikan kepada Bupati sesuai dengan kewenangannya.
31
Pasal 47
Apabila IUP atau IPR berakhir, pemegang IUP atau IPR wajib
menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi
dan operasi produksi kepada Bupati.
BAB IX
PENGGUNAAN TANAH UNTUK
KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN
Pasal 48
(1) Hak atas WIUP dan WPR tidak meliputi hak atas tanah
permukaan bumi.
Pasal 49
Pasal 50
32
(2) Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP.
Pasal 51
Hak atas IUP atau IPR bukan merupakan pemilikan hak atas
tanah.
BAB X
REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG
Pasal 52
Pasal 53
33
(2) Sebelum memulai kegiatan operasi produksi, pemegang IUP
diwajibkan membuat rencana reklamasi dan rencana
pascatambang sebagai bagian dari rencana penambangan
dengan mengacu pada rencana tata ruang yang berlaku serta
menyetorkan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan
pascatambang pada Bank yang ditunjuk oleh Bupati.
Pasal 54
34
b. Tahap Penambangan, meliputi kegiatan:
1. Pengaturan blok-blok penambangan untuk
mempermudah pelaksanaan reklamasi;
Pasal 55
Pasal 56
35
(2) Pengusaha pertambangan pemegang IUP yang melakukan
reklamasi wajib menyampaikan laporan kegiatan reklamasi
setiap 3 (tiga) bulan kepada Bupati.
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 57
36
BAB XII
PELAPORAN
Pasal 58
BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 59
37
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 60
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
38
Pasal 62
Ditetapkan di Soreang
pada tanggal 20 Juni 2011
BUPATI BANDUNG
ttd
DADANG M. NASER
Diundangkan di Soreang
pada tanggal 20 Juni 2011
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN BANDUNG
ttd
SOFIAN NATAPRAWIRA
ttd
DADE RESNA, SH
PEMBINA Tk. I
NIP. 19621121 199202 1 002
39