Anda di halaman 1dari 5

Predictive Maintenance, Solusi Akhir untuk Maintenance di Industri?

Dengan pertumbuhan pasar global dan lingkungan yang semakin kompetitif, industri manufaktur
menghadapi tantangan untuk terus melakukan perbaikan sehingga memaksa produsen untuk
memeras setiap aset untuk memperoleh nilai maksimum dan menuntut efektivitas peralatan yang
tinggi. Teknologi terkini seperti E-manufacturing, Internet of Thinks (IoT), big data analytics, cloud
computing, fog computing cyber-physical systems, digital twin, and industrial artificial intelligence
(AI) menjadi enabler perkembangan Industri 4.0. Pada bidang maintenance untuk industri,
pendekatan maintenance secara prediktif (PdM) semakin berkembang dan diterapkan secara luas
untuk menangani status kesehatan mesin dan peralatan. Teknologi terkini tersebut memungkinkan
untuk mengumpulkan sejumlah besar data terkait dengan kondisi operasional dan proses yang
dihasilkan dari sejumlah peralatan, membuat deteksi dan diagnosis kesalahan, memperkirakan sisa
waktu pakai peralatan sampai dengan terjadi kegagalan secara mandiri tanpa intervensi dari
manusia. Dengan pertumbuhan transformasi digital yang pesat, konsumen kini mengharapkan
penggunaan teknologi tingkat tinggi di lingkungan tempat mereka bekerja dan mesin yang dapat
berinteraksi secara langsung dan cepat dengan mereka atau smart manufacturing.
Pertanyaannya kemudian, apakah pemeliharaan secara prediktif (PdM) dengan didukung oleh
teknologi digital terkini menjadi jawaban atas keseluruhan masalah pada program perawatan di
industri?
Mengingat kembali sejarah perkembangan industri, dimana penggunaan sistem automasi pada
manufaktur menjadi jawaban atas kebutuhan produksi massal untuk memenuhi permintaan suatu
barang yang meningkat pesat dan dimulai sekitar tahun 1950 setelah berakhirnya perang dunia ke
dua. Proses manufaktur yang kompleks memerlukan sistem yang terintegrasi yang sulit jika hanya
mengandalkan pekerja secara massal. Dari sisi maintenance munculah konsep preventive
maintenance yang menjadi cikal bakal yang sekarang dikenal sebagai Total Productive Maintenance
(TPM) dimana keterlibatan seluruh pemangku kepentingan di dalam manufaktur dalam melakukan
perbaikan secara berkesinambungan menjadi kunci utama keberhasilan program (termaktub di
dalam 6 pillar TPM). Pada TPM, improvement atau perbaikan tidak dibatasi hanya untuk mesin atau
peralatan melainkan seluruh aspek yang berpengaruh terhadap proses operasional dan
maintenance manufaktur.
Kehandalan (Reliability), safety (risk), dan biaya perawatan (maintenance cost) kemudian menjadi
fokus utama hingga lahirlah konsep Reliability Centered Maintenance (RCM) pada tahun 1978 oleh
Stanley Nowlan dan Howard F. Heap yang menjelaskan program perawatan dengan biaya yang
minimum pada suatu sistem yang rumit, sebagaimana tertulis dalam laporan mereka. Bagaimana
suatu sistem mengalami kegagalan, konsekuensi apa yang harus ditanggung jika terjadi kegagalan,
dan bagaimana cara untuk mencegah dan memprediksi terjadinya kegagalan menjadi fokus utama
pada konsep RCM. Mengutip dari Norman dan Heap, dikatakan bahwa “program developed through
RCM are on achieving the inherent safety and reliability capabilities of equipment at minimum cost”.
Makna dari inherent adalah sesuatu yang melekat atau bagian tetap dalam hal ini yang dimaksud
adalah design dari komponen atau sistem itu sendiri, artinya maintenance dibatasi oleh kehandalan
dan tingkat safety bawaan dari design atau rancangan komponen atau sistem sendiri. Perlu
digarisbawahi bahwa RCM ini lahir dari industri aviasi yang memiliki konsekuensi dan resiko yang
besar jika terjadi kegagalan pada peralatan pendukungnya. Berangkat dari keberhasilan RCM,
penggunaan peralatan untuk mendeteksi suatu kegagalan sistem meluas di industri lainnya yang
merupakan tulang punggung dalam melakukan prediktif maintenance (PdM).
Sepanjang ingatan saya, komponen mekanikal atau elektrikal yang digunakan saat ini juga telah
digunakan 25 tahun yang lalu saat pertama kali saya bekerja di industri dan mungkin beberapa
tahun jauh sebelumnya. Demikian pula dengan aktivitas maintenance yang dilakukan sekarang,
telah dilakukan pula saat itu bahkan relative sama antara satu jenis industri dengan industri
lainnya. Pemanfaatan sensor sebagai predictive tools juga telah digunakan saat itu, demikian juga
dengan penggunaan kontrol automatisasi pada peralatan yang digunakan, yang mungkin berbeda
adalah dari sisi harga dan kehandalan.
Kehandalan didefinisikan sebagai peluang suatu item untuk memenuhi fungsi yang diinginkan
dalam suatu interval waktu yang ditentukan. Kehandalan dari suatu komponen dapat digunakan
untuk memperkirakan umur pakai atau life time dari suatu komponen untuk bekerja sesuai dengan
fungsinya, dan menggunakan waktu (misalkan: jam, hari, minggu, dst) atau frekuensi pemakaian
(misalkan: 1 juta kali switching, rotasi, dll) sebagai ukuran. Sebagai contoh, suatu pabrik kwetiaw
menggunakan bearing pada conveyornya dengan kode L10 masa pakai berdasarkan standar
American Bearing Manufacturers Association’s (ABMA), artinya dalam suatu populasi bearing
dengan spesifikasi yang sama akan memiliki peluang kegagalan sebesar 10% sebelum seluruh
bearing di dalam populasi tersebut berhasil berotasi sebanyak n kali pada kecepatan dan beban
tertentu. Yang pasti jenis komponen yang digunakan untuk membangun suatu peralatan bervariasi
begitu pula dengan kehandalannya. Hal inilah yang mendasari mengapa kehandalan itu dibatasi
oleh faktor design dan cenderung mengalami penurunan setelah melalui proses fabrikasi, instalasi
dan berlanjut saat operasi sehingga hanya melalui design-out maintenance (DOM) suatu mesin atau
sistem dapat ditingkatkan kehandalannya.
Kehandalan adalah fungsi dari kegagalan. Kegagalan atau failure adalah probabilitas dari suatu item
untuk tidak dapat atau gagal memenuhi fungsi yang diinginkan pada interval waktu tertentu. Setiap
komponen mengalami penurunan kehandalan seiring dengan waktu pemakaian (deterioration),
namun dengan tingkat dan laju deterioration yang berbeda untuk setiap komponen bahkan untuk
jenis dan spesifikasi yang sama. Suatu item yang identik bisa jadi memiliki peluang terjadinya
kegagalan yang berbeda karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi lingkungan
dimana item tersebut digunakan, proses pembuatan, proses instalasi, proses operasional dan
program maintenance yang diterapkan.
Failure adalah suatu kondisi yang dinamis dan Jika kita kaitkan dengan satu cara untuk mengukur
produktifitas dan efektifitas suatu proses atau manufaktur, bisa disimpulkan bahwa kegagalan atau
failure sebagai suatu kondisi dimana suatu komponen atau sistem gagal untuk memenuhi salah satu
atau tiga parameter yang biasa digunakan yaitu ketersediaan (availability), kinerja (performance),
dan kualitas (quality) sesuai dengan spesifikasi atau target yang diinginkan. Kembali ke pabrik
kwetiaw yang seharusnya beroperasi pada suatu operating speed yang ditentukan maka jika terjadi
masalah pada “head box” dan “dryer” maka kecepatannya harus diturunkan untuk memastikan
“thickness” dan “consistency” dari produk kwetiaw yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi,
kondisi tersebut adalah termasuk kegagalan fungsi dari mesin pembuat kwetiaw. Penurunan
kualitas produk biasanya berbanding lurus dengan penurunan kinerja sistem, jika dibiarkan maka
penurunan kinerja sistem akan berakhir dengan kegagalan fungsi sistem secara keseluruhan.
Gejala kerusakan belum bisa disebut berpotensi menjadi kerusakan (functional failure) sampai kita
sadar, memeriksa, mengukur, dan menganalisa hingga bisa menyimpulkan bahwa gejala tersebut
berpotensi menjadi kerusakan. Sinyal yang bisa terukur atau gejala menuju kerusakan tersebut
pada kurva P-F dinyatakan sebagai potensi kegagalan atau potential failure (P) dan kerusakan tadi
disebut sebagai kegagalan fungsi atau functional failure (F). Untuk bisa mengetahui potensi
kegagalan (P) maka kita harus melakukan inspeksi atau pemeriksaan pada komponen tersebut.
Aktivitas inspeksi tersebut dibagi menjadi dua kriteria yaitu subjective inspection dan objective
inspection, yang mana kedua kriteria ini adalah langkah awal dalam melakukan predictive
maintenance (PdM). Pada suatu pabrik kwetiaw, seorang teknisi melakukan beberapa pengukuran
getaran pada bearing motor penggerak belt conveyor, hasilnya menunjukkan bahwa getaran
bearing masih berada batas aman, sesuai dengan spesifikasi motor dan standar yang digunakan.
Apakah hasil pengukuran tadi sudah cukup membuktikan bahwa tidak terjadi gejala keausan atau
potensi kegagalan pada bearing motor tersebut?
RCM lahir dari industri aviasi, dimana satu potensi kegagalan bisa menyebabkan resiko kegagalan
fungsi dengan konsekuensi yang mengerikan. Oleh karena itu cara untuk mendeteksi potensi
kegagalan dilakukan dengan menggunakan predictive tools (baca: objective inspection) yang rumit
dan mutakhir, hal ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab mengapa kecelakaan pesawat
lebih jarang terjadi dibandingkan alat transportasi di darat. Bagaimana dengan industri lainnya,
apakah diperlukan predictive tools seperti di industri aviasi? Resiko dan konsekuensi yang harus
diterima jika terjadi kegagalan fungsi haruslah menjadi pertimbangan awal dan utama.
Bayangkan suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem dan banyak komponen terpasang di
dalamnya dengan tingkat kehandalan yang berbeda dan tentu saja dengan laju penurunan
kehandalan seiring waktu operasi yang berbeda pula. Peluang terjadinya kegagalan pada suatu
sistem yang rumit tentu saja berbeda dengan suatu item yang sederhana, semakin rumit suatu
sistem akan semakin sulit memperkirakan terjadinya kegagalan. Akibatnya peluang terjadinya
kegagalan bisa berlaku kapan saja, bisa jadi akibat dari satu kegagalan yang tidak diketahui (hidden
failure) atau kombinasi dari beberapa kegagalan.
Nowlan and Heap, dalam konsep RCM-nya memperkenalkan kepada kita tentang hubungan antara
laju kegagalan (failure rate) dengan lama waktu operasional (operating ages) yang hasilnya berupa
enam kurva karakteristik reliability - lama waktu operasi (Age-Reliability Characteristic). Kesimpulan
yang diperoleh dari kurva tersebut adalah 11% dari prosentase kegagalan memiliki kaitan yang erat
dengan usia pemakaian dan sisanya sebesar 89% berupa kegagalan acak atau random failure.
Artinya bahwa dari seluruh program maintenance yang dilakukan hanya 11% saja yang efektif
menggunakan penggantian terjadwal. Tidaklah tepat jika penggantian komponen dilakukan secara
terjadwal untuk mengatisipasi kegagalan yang sifatnya acak atau random failure.
Kondisi kegagalan yang bersifat acak atau random failure, bukan berarti bahwa tidak terjadi
keausan pada suatu sistem. Akan tetapi lebih disebabkan karena laju keausan (wear out rate) dari
beberapa item yang membangun sistem tersebut berbeda satu sama lain. Mungkin saja laju
keausan suatu komponen begitu cepat karena kesalahan saat proses manufaktur atau instalasi,
sedangkan komponen lain memiliki laju keausan yang lambat sehingga belum bisa terlihat atau
terukur pada rentang waktu pemeriksaan yang sama.
Beberapa literature menggunakan ratio kombinasi dari beberapa strategi maintenance sebagai
pendekatan untuk memperoleh suatu perbandingan ideal pada suatu program maintenance.
Misalnya dengan membatasi workload dari aktivitas maintenance yang berasal dari Time base
Maintenance (TBM) adalah 15%. Persentase untuk melakukan aktivitas Condition base maintenance
(CBM) adalah 30-40% dan maksimal 5% untuk corrective maintenance (CM) terkait dengan
kegagalan fungsi secara mendadak, dan seterusnya.
Apabila kita masih menggunakan aktivitas inspeksi secara subjektif, maka lakukanlah secara
konsisten dan pastikan hasil dari inspeksi dilaporkan untuk dianalisa sebagai feedback terhadap
perencanaan maintenance yang sedang berjalan. Keuntungan lain dari inspeksi secara subjektif
adalah untuk memudahkan front line maintenance dalam memahami fungsi dan karakteristik mesin
yang digunakan, di dalam team sendiri akan memicu diskusi yang produktif mengingat pemeriksaan
atau penilaian status kondisi adalah berdasarkan persepsi dari masing-masing personel di team
yang berbeda secara pengetahuan dan pengalamanya.
Mengingat maintenance itu adalah biaya, maka penting disini bahwa suatu aktivitas maintenance
harus selalu memberikan nilai tambah kepada efektifitas manufaktur, tanpa nilai tambah aktivitas
maintenance hanya menjadi beban. John Day, Jr., Manager of Engineering and Maintenance at
Alumax of South Carolina dalam 6:1 rule yang ia buat, menjelaskan bahwa setiap 6 kali dilakukan
inspeksi rutin pada suatu komponen atau sistem maka harus menemukan satu (1) masalah atau
potensi kegagalan yang harus diperbaiki melalui corrective maintenance (CM) agar tidak berpotensi
menjadi kegagalan fungsi. Jika tidak ditemukan masalah, maka perlu dipertimbangkan untuk
memperpanjang rentang waktu inspeksi atau bahkan menghilangkannya.
Lebih lanjut, lakukan critical asset assestment untuk memastikan program maintenance kita
berjalan sesuai prioritas merujuk kepada fungsi dan tingkat resiko kegagalan dari peralatan dan
mesin yang digunakan. Dengan memitigasi resiko dan konsekuensi yang harus diambil jika terjadi
kegagalan maka ini adalah langkah berikutnya dalam menerapkan predictive maintenance strategy
(PdM) pada asset kita.
Teknologi predictive maintenance semakin gencar dipromosikan seiring dengan arah perubahan
teknologi menuju digitalisasi berbagai sektor industri. Perusahaan pembuat mesin atau penyedia
jasa maintenance tidak perlu lagi mengirim tenaga ahlinya ke remote area untuk memeriksa dan
menganalisa suatu masalah pada unitnya, hanya cukup terhubung dengan jaringan internet. Bahkan
untuk mesin yang telah dibekali oleh artificial intelegence beserta machine learning dan deep
learningnya, sudah tidak membutuhkan tenaga ahli untuk menangani masalah tersebut dimana
secara otomatis mesin memberikan informasi terkait masalah yang terjadi. Meskipun demikian saat
ini, seseorang tetap harus berjalan ke lokasi mesin untuk mengganti bearing yang rusak, mengelas
plat tambahan sebagai support sementara pada dudukan pompa yang keropos karena berkarat,
melakukan zero calibration pada control valve atau sekedar membersihkan sensor yang tertutup
kotoran karena kondisi lingkungan kerja yang berdebu.
Program maintenance adalah kombinasi dari beberapa strategi maintenance menggunakan sumber
daya yang ada dengan biaya yang minimal; closed loop system dimana improvement adalah sesuatu
yang dilakukan secara berulang dan berkelanjutan dan memerlukan feedback dari hasil inspeksi
untuk dilakukan analisa; dinamis dan fleksibel sehingga mampu beradaptasi dengan peralatan,
sistem, dan kebijakan organisasi yang diterapkan. Sesederhana itu.

Terimakasih,
Cicurug, 02 November 2021

Anda mungkin juga menyukai