Anda di halaman 1dari 7

MAINTENANCE DI DALAM KURVA P-F SEDERHANA

Teknologi terkini seperti E-manufacturing, IIoT, big data analytics, cloud computing, fog computing cyber-
physical systems, digital twin, and industrial artificial intelligence (AI) menjadi enabler dan semakin
mendukung perkembangan Industri 4.0. Di sisi lain, pendekatan maintenance secara prediktif (PdM)
diterapkan secara luas untuk menangani status kesehatan mesin dan peralatan di industri. Teknologi terkini
tersebut memungkinkan untuk mengumpulkan sejumlah besar data kondisi operasional dan proses yang
dihasilkan dari sejumlah peralatan baik lokal atau remote. Membuat deteksi dan diagnosis kesalahan secara
otomatis, yang pada akhirnya operasional dan maintenance digantikan oleh robot, menggantikan manusia
yang tidak pernah luput dari kesalahan (baca: failure). Sedemikian canggih mungkin sekaligus kejam akan
tetapi tidak bisa dihindari dengan pertumbuhan transformasi digital yang pesat, konsumen kini
mengharapkan kemajuan teknologi tingkat tinggi di lingkungan tempat mereka bekerja dan mesin yang
dapat berinteraksi secara langsung dan cepat dengan mereka (smart manufacturing).

Dengan pertumbuhan pasar global dan lingkungan yang semakin kompetitif, industri manufaktur
menghadapi tantangan untuk terus melakukan perbaikan sehingga memaksa produsen untuk memeras
setiap aset untuk nilai maksimum dan menuntut efektivitas peralatan tinggi. Mengingat kembali kepada
sejarah perkembangan industri (revolusi industri), dimana penggunaan sistem automasi pada manufaktur
menjadi jawaban atas kebutuhan produksi massal untuk memenuhi permintaan suatu barang yang
berkembang dan dimulai sekitar tahun 1950, process manufaktur yang kompleks memerlukan sistem yang
terintegrasi yang sulit jika hanya mengandalkan orang (pekerja) secara massal. Dari sisi maintenance
munculah konsep preventive maintenance yang menjadi cikal bakal yang sekarang dikenal sebagai Total
Productive Maintenance (TPM) dimana keterlibatan seluruh stake holder di manufaktur dalam melakukan
perbaikan secara kontinu menjadi kunci utama keberhasilan program (termaktub di dalam 6 pillar TPM).

Kehandalan (Reliability), safety (risk), dan biaya perawatan (maintenance cost) kemudian menjadi focus
utama hingga lahirlah konsep Reliability centered maintenance (RCM) pada tahun 1978 oleh Stanley Nowlan
dan Howard F. Heap yang menjelaskan program perawatan dengan biaya yang minimum pada suatu sistem
yang rumit, sebagaimana tertulis dalam laporan mereka sebagai hasil dari penelitian mengenai program
perawatan pada pesawat Boeing 747. Bagaimana suatu sistem mengalami kegagalan, konsekuensi apa yang
harus ditanggung jika terjadi kegagalan, dan bagaimana cara untuk mencegah dan memprediksi terjadinya
kegagalan menjadi focus utama pada konsep RCM. Berangkat dari keberhasilan RCM, penggunaan peralatan
untuk mendeteksi suatu kegagalan sistem meluas di industri lainnya yang merupakan tulang punggung
dalam melakukan prediktif maintenance (PdM).

Pertanyaannya kemudian, apakah pemeliharaan secara prediktif (PdM) dengan didukung oleh teknologi
digital terkini menjadi jawaban atas keseluruhan masalah pada program perawatan di industri? Mari kita
bahas bersama, dan melalui artikel ini akan saya coba hubungkan antara kurva Potensial Failure-Functional
Failure (P-F Qurve) yang disajikan di dalam konsep RCM dengan strategi maintenance yang biasa dilakukan
pada industri. Akan tetapi saya meyakini bahwa maintenance adalah suatu program yang fleksibel, dinamis,
dan berkelanjutan sehingga bisa menyesuaikan dengan sumber daya yang ada, design dan karakteristik dari
mesin atau sistem, level produktivitas pabrik saat ini dan keinginan organisasi di masa mendatang.

Komponen mekanikal atau elektrikal yang digunakan saat ini telah digunakan 25 tahun yang lalu saat
pertama kali saya bekerja di industri dan saya yakin beberpa tahun jauh sebelumnya. Pemanfaatan sensor
sebagai predictive tools juga telah digunakan saat itu, demikian juga dengan kontrol automatisasi pada
peralatan yang digunakan. Yang berbeda adalah dari sisi harga dan kehandalan, ada bengkel yang masih
menggunakan mesin bubut Cincinnati dengan komponen original yang lebih tua dari usia saya dan masih
handal untuk digunakan saat ini dan sebaliknya mesin yang baru digunakan 1-2 tahun lalu sudah harus
diganti motor penggerak, gear, atau bearingnya. Saya pernah bekerja sebagai maintenance pada suatu
perusahaan Jepang, dimana proses improvement (baca: modifikasi alat) begitu diperhatikan untuk
mengurangi beban biaya maintenance, bahkan sekitar 80% consumable part impor berhasil “dilokalkan”. Hal
yang sebaliknya terjadi saat bekerja di perusahaan lain, dimana proses improvement (baca: modifikasi alat)
menjadi suatu hal yang seakan tabu padahal organisasi tersebut mengadopsi metode maintenance yang
berasal dari negeri Sakura. Bentuk organisasi perusahaan, politik didalamnya, keberanian mengambil resiko
dan banyak hal lain yang berpengaruh terhadap kebijakan maintenance pada suatu organisasi. Terlepas dari
pengalaman tersebut, komponen dasar baik itu elektrikal maupun mekanikal yang digunakan saat ini dan
jauh beberapa tahun sebelumnya adalah sama oleh karena itu aktivitas maintenance yang dilakukan adalah
relative sama antara satu jenis industri dengan industri lainnya. Aspek yang membedakannya adalah
bagaimana strategi maintenance itu dibuat, dipilih dan dikerjakan. Strategi maintenance yang diterapkan
seharusnya menyesuaikan sedemikian rupa dengan kebutuhan dari masing-masing industri, bahkan di dalam
suatu pabrik yang sama dimungkinkan untuk dilakukan strategi maintenance yang berbeda.

Maintenance atau pemeliharaan adalah kombinasi dari berbagai aktivitas yang dilakukan untuk
mempertahankan, memelihara dan mengembalikan fungsi dari suatu item (komponen, mesin, sub-proses,
proses dan sistem) sesuai dengan keinginan dan tujuan yang ditetapkan oleh perusahaan atau organisasi
terkait. Kemampuan dalam melakukan pemeliharaan (maintainability) berkaitan erat dengan kehandalan
atau reliability dari suatu item, semakin handal suatu item semakin mudah program pemeliharaan yang
diterapkan dan dapat lebih diupayakan ke arah pencegahan (preventive maintenance). Demikian juga
sebaliknya, semakin buruk kehandalan dari suatu item maka sebagian besar program pemeliharaan akan
semakin berfokus kepada upaya perbaikan untuk mengembalikan kondisi item kepada fungsi yang
diinginkan.

Merujuk kepada waktu atau kapan maintenance dilakukan, maka maintenance terbagi menjadi dua jenis
yaitu preventive maintenance (PM) dan corrective maintenance (CM) walaupun aktivitas dasar yang
dilakukan pada kedua jenis maintenance tersebut adalah sama. (lihat gambar)

1. Preventive maintenance atau perawatan melalui pencegahan. Terminologi preventive atau pencegahan
bukan berarti aktivitas untuk mencegah terjadinya kegagalan, mengingat tingkat kegagalan atau
reliability sudah dihitung dan diperkirakan sebelumnya saat proses design. Preventive maintenance
adalah suatu bentuk maintenance yang dilakukan dalam suatu interval waktu tertentu sesuai dengan
kriteria yang ditentukan dengan tujuan untuk mengurangi laju kegagalan. Preventive maintenance itu
sendiri memiliki dua strategi dalam pelaksanaanya, yaitu:
1.1 Time Base Maintenance (TBM) atau maintenance terjadwal, jenis aktivitas dan jadwal biasanya
merujuk kepada petunjuk manual operasi dan maintenance (OEM) atau berdasarkan data historical
yang ada.
1.2 Condition Base Maintenance (CBM) atau maintenance yang dilakukan berdasarkan kondisi aktual
komponen di lapangan.

Aktivitas yang menjadi pembeda dari kedua strategi ini adalah, strategi TBM melakukan penggantian
komponen sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya sedangkan pada strategi CBM
penggantian komponen dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau pengukuran kondisi aktual
pada komponen tersebut.

Baik TBM atau CBM menggunakan aktivitas inspeksi atau pemeriksaan yang dilakukan secara rutin yang
menjadi tulang punggung keberhasilan kedua strategi tersebut. Inspeksi itu sendiri dibagi menjadi dua
kategori, yaitu pemeriksaan tanpa menggunakan alat bantu atau hanya menggunakan panca indera yang
disebut sebagai subjective inspection. Operator produksi adalah aktor yang memegang peranan penting
pada subjective inspection, sebagai pekerja yang sebagian besar waktunya digunakan untuk
mengoperasikan mesin biasanya melaporkan temuan masalah ke maintenance untuk ditindaklanjuti.
Temuan tersebut bisa jadi masalah settingan mesin yang tidak tepat, cacat produksi, suara yang
mencurigakan, dan hal-hal lain yang sifatnya bisa dideteksi oleh panca indera. Pada Total Productive
Maintenance (TPM) tugas inspeksi ini merupakan bagian dari tugas operator sebagai bagian dari pilar
Autonomous Maintenance (AM) yang dibungkus dalam satu paket Cleaning, Inspection, Lubricating and
Tigntening (CILT).

Inspeksi menggunakan alat bantu untuk mendeteksi kondisi suatu komponen disebut sebagai Objective
Inspection. Alat bantu yang digunakan biasanya berupa suatu sensor untuk mengukur besaran fisik,
listrik, atau kimia untuk kemudian diubah menjadi suatu sinyal elektronik sehingga bisa terbaca oleh
tangkapan layar. Besaran yang diukur bisa jadi tekanan, flow, vibrasi, arus, tegangan dan lain sebagainya,
nilai besaran yang terbaca dapat digunakan sebagai standar untuk menentukan status kondisi suatu
komponen apakah itu normal atau tidak. Sedangkan perubahan sinyal yang terjadi dapat digunakan
untuk memprediksi apakah komponen tersebut mengalami keausan dan berpotensi menimbulkan
kegagalan sistem atau tidak. Objective Inspection dan algoritma yang digunakan untuk memprediksi
terjadinya suatu kegagalan suatu komponen di dalam bidang maintenance disebut sebagai Predictive
Maintenance (PdM), dan metoda ini termasuk ke dalam strategi maintenance menggunakan Condition
Base Maintenance (CBM).

2. Corrective maintenance atau maintenance melalui perbaikan, ada dua strategi di dalam melakukan
maintenance perbaikan, yaitu:

2.1 Temporary Corrective Maintenance atau Restore Basic Condition (RBC) yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi komponen ke semula sesuai dengan design baik itu melalui penggantian
komponen atau berupa perbaikan (service). Kegagalan fungsi yang terjadi secara mendadak atau
dibiarkan terjadi terlepas bahwa gejalanya sudah atau belum terdeteksi maka disebut sebagai
breakdown, dan corrective maintenance yang dilakukan diberikan istilah breakdown maintenance
atau run to failure. Jenis maintenance ini bukanlah hal yang buruk jika kita sudah memperhitungkan
konsekuensi atau resiko dari kegagalan tersebut. Misalkan pada lampu baca dimana bola lampu
diganti setelah tidak berfungsi (mati), sebaliknya untuk lampu emergency di dalam pabrik adalah
wajib untuk dilakukan pemeriksaan secara rutin dengan mempertimbangkan resiko keselamatan
yang harus diambil sebagai konsekuensi jika lampu emergency tersebut padam saat terjadi
kebakaran atau mati listrik.
2.2 Permanent Corrective Maintenance melalui Design Improvement. Design atau suatu rancangan
tidak melulu berbicara mengenai mesin; perbaikan pada metoda pengerjaan (SOP), process flow,
penambahan alat anti kegagalan (poka yoke), training, bahkan perombakan organisasi adalah bagian
dari perbaikan suatu design atau perancangan. Tujuan utama dari perbaikan dari sisi rancangan
adalah untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya kegagalan secara berulang atau
menghilangkan potensi terjadinya kegagalan (failure elimination). Mengutip dari Norman dan Heap,
dikatakan bahwa “program developed through RCM are on achieving the inherent safety and
reliability capabilities of equipment at minimum cost”. Makna dari inherent adalah sesuatu yang
melekat atau bagian tetap atau dapat diartikan sebagai design dari sistem itu sendiri. Sebagai contoh
suatu bearing menggunakan L10 masa pakai berdasarkan standar American Bearing Manufacturers
Association’s (ABMA), artinya dalam suatu populasi bearing dengan spesifikasi yang sama akan
memiliki peluang kegagalan sebesar 10% sebelum bearing berhasil berotasi sebanyak n kali pada
kecepatan dan beban tertentu. Perlu diingat bahwa kegagalan tersebut diakibatkan hanya oleh
faktor kelelahan (fatique) dari material yang digunakan, bukan hal-hal lain seperti bearing
missaligment, korosi atau faktor non-design. Hal yang harus digarisbawahi disini bahwa program
preventive maintenance erat terkait dengan upaya untuk mempertahankan kehandalan suatu
komponen atau sistem sesuai dengan apa yang diberikan oleh design dengan cara meminimalkan
terjadinya kegagalan dan upaya untuk meningkatkan kehandalan suatu komponen hanya bisa
dilakukan melalui perbaikan pada design komponen atau sistem tersebut.

Kehandalan didefinisikan sebagai peluang suatu item untuk memenuhi fungsi yang diinginkan dalam suatu
interval waktu yang ditentukan. Kehandalan dari suatu komponen dapat digunakan untuk memperkirakan
umur pakai atau life time dari suatu komponen untuk bekerja sesuai dengan fungsinya, dan menggunakan
waktu (misalkan: jam, hari, minggu, dst) atau frekuensi pemakaian (misalkan: 1 juta kali switching, dll)
sebagai besaran pengukuran. Design engineer melakukan analisa dan perhitungan beban, material,
mekanisme, safety, proteksi, korosi, kondisi lingkungan, design margin dan finance sebelum mengambil
keputusan dalam menentukan design suatu komponen yang menjadi penentu awal suatu kehandalan atau
reliability dari sistem tersebut. Sebaliknya di sisi pengguna dalam hal ini adalah stake holder di sisi operasi
dan maintenance, perhitungan Life Cycle Cost (LCC) sebelum dilakukan pembelian suatu mesin atau sistem
adalah mutlak dilakukan untuk menghindari beban biaya operasi dan maintenance yang tinggi.

Kehandalan adalah fungsi dari kegagalan. Kegagalan atau failure adalah probabilitas dari suatu item untuk
tidak dapat atau gagal memenuhi fungsi yang diinginkan pada interval waktu tertentu. Dengan kata lain
untuk mengetahui keandalan suatu komponen atau sistem maka pertama kali yang dilakukan adalah dengan
menghitung dan mengukur peluang terjadinya kegagalan.

Kegagalan suatu item untuk bekerja sesuai dengan fungsinya pada dasarnya adalah mutlak terjadi. Setiap
komponen mengalami penurunan kehandalan (deterioration) seiring dengan waktu pemakaian, namun
dengan tingkat dan laju deterioration yang berbeda untuk
setiap komponen bahkan untuk jenis dan spesifikasi yang
sama. Kegagalan terjadi ketika beban yang diterima oleh
suatu komponen melebihi kekuatan atau kemampuan
yang dimiliki oleh komponen tersebut (gambar 1). Keausan
(wear out), korosi, dan kelelahan (fatique) adalah factor-
faktor yang menjadi penyebab terjadinya penurunan
kehandalan. Suatu item yang identik, bisa jadi memiliki
peluang terjadinya kegagalan yang berbeda dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi
lingkungan dimana item tersebut digunakan, proses
pembuatan, proses instalasi, proses operasional dan program maintenance yang diterapkan. Terlihat disini
bahwa kehandalan suatu item yang sudah dibatasi oleh design, kembali cenderung mengalami penurunan
sesaat setelah proses fabrikasi dan instalasi dan berlanjut saat operasi.

Lebih jauh lagi maka bisa dikatakan bahwa program maintenance yang kita lakukan adalah untuk
mengurangi terjadinya laju kegagalan (failure rate) dan mengerti bagaimana proses terjadinya kegagalan dan
gejalanya adalah hal pertama yang harus pelajari. Dengan mengetahui lebih awal gejala-gejala yang muncul
maka kita bisa melakukan persiapan untuk melakukan perbaikan sebelum terjadi kegagalan fungsi secara
mendadak.

Bayangkan suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem dan banyak komponen terpasang di dalamnya
dengan tingkat kehandalan yang berbeda dan tentu saja dengan laju penurunan kehandalan seiring waktu
operasi yang berbeda pula. Peluang terjadinya kegagalan pada
suatu sistem yang rumit tentu saja berbeda dengan suatu item
yang sederhana, semakin rumit suatu sistem akan semakin
sulit memperkirakan terjadinya kegagalan.

Akibatnya peluang terjadinya kegagalan bisa berlaku kapan


saja, bisa jadi akibat dari satu kegagalan yang tidak diketahui
(hidden failure) atau kombinasi dari beberapa kegagalan.
Nowlan and Heap, dalam dokumennya tentang Reliability-
Centered Maintenance memperkenalkan kepada kita tentang
hubungan antara laju kegagalan (failure rate) dengan lama
waktu operasional (operating ages) yang hasilnya berupa
enam kurva karakteristik reliability - lama waktu operasi (Age-Reliability Characteristic) seperti yang
ditunjukkan oleh gambar 2. Kurva A-B-C menunjukan hubungan yang kuat antara laju kegagalan dengan
waktu (age-related failures) dan kurva D-E-F menunjukkan hubungan yang lemah antara laju kegagalan
dengan waktu operasional atau disebut kegagalan yang bersifat acak (random failures).

Fungsi dari kurva ini adalah untuk membantu kita dalam menentukan strategi maintenance apa yang harus
dilakukan dan salah satu factor yang seharusnya menjadi pertimbangan dengan melihat jenis kegagalannya.
Terlihat pada kurva, 11% dari prosentase kegagalan memiliki kaitan yang erat dengan usia pemakaian dan
sisanya sebesar 89% berupa kegagalan acak atau random failure. Artinya bahwa dari seluruh program
maintenance yang dilakukan hanya 11% saja yang efektif menggunakan penggantian terjadwal. Menjadi
sia-sia jika penggantian komponen dilakukan secara terjadwal untuk mengatisipasi kegagalan yang sifatnya
acak atau random failure.

Kondisi kegagalan yang bersifat acak atau random failure, bukan berarti bahwa tidak terjadi keausan pada
suatu sistem. Akan tetapi lebih disebabkan karena laju keausan (wear out rate) dari beberapa item yang
membangun sistem tersebut berbeda satu sama lain. Mungkin saja laju keausan suatu komponen begitu
cepat karena kesalahan saat proses manufaktur atau instalasi, sedangkan komponen lain memiliki laju
keausan yang lambat sehingga belum bisa terlihat atau terukur pada rentang waktu pemeriksaan yang sama.

Gejala kerusakan (kegagalan) belum bisa disebut memiliki potensi kerusakan (kegagalan) sampai kita sadar,
memeriksa, mengukur, dan menganalisa hingga bisa menyimpulkan bahwa gejala tersebut berpotensi
menimbulkan kerusakan. Harus ada suatu pernyataan, standar atau nilai yang menjadi rujukan suatu item
bekerja pada fungsi yang diinginkan, kemudian mulai terjadi keausan entah itu bending, retakan, atau tanda-
tanda lainnya dimulainya keausan (early wear out) sampai dengan sinyal tersebut bisa terdeteksi dan/atau
terukur sebagai gejala menuju kerusakan.

Sinyal yang bisa terukur atau gejala menuju kerusakan tersebut pada kurva P-F dinyatakan sebagai potensi
kegagalan atau potential failure (“P”) dan kerusakan tadi disebut sebagai kegagalan fungsi atau functional
failure (“F”). Pada suatu pabrik kwetiaw, seorang teknisi melakukan beberapa pengukuran getaran pada
bearing motor penggerak belt conveyor, hasil pengukuran menunjukkan bahwa getaran bearing masih
berada batas aman, sesuai dengan spesifikasi motor dan standar yang digunakan. Pertanyaanya apakah
hasil pengukuran tadi sudah cukup membuktikan bahwa tidak terjadi gejala keausan atau potensi kegagalan
pada bearing motor tersebut?

Gejala terjadinya kegagalan belum bisa disebut sebagai potensi kegagalan atau potential failure jika belum
diketahui atau belum bisa diukur baik secara objektif (menggunakan alat ukur) maupun secara subjektif
(menggunakan panca indera). Kegagalan fungsi itu sendiri bukan berarti harus terjadi breakdown, akan
tetapi jika suatu komponen atau sistem tidak bisa memberikan fungsi seperti yang diinginkan maka bisa
disebut sebagai kegagalan fungsi. Kembali ke pabrik kwetiaw yang seharusnya beroperasi pada suatu
operating speed yang ditentukan maka jika terjadi masalah pada “head box” dan “dryer” maka
kecepatannya harus diturunkan untuk memastikan “thickness” dan “consistency” dari produk kwetiaw yang
dihasilkan sesuai dengan spesifikasi, kondisi tersebut adalah termasuk kegagalan fungsi dari mesin pembuat
kwetiaw.

Failure adalah suatu kondisi yang dinamis dan Jika kita kaitkan dengan satu cara untuk mengukur
produktifitas suatu proses atau manufaktur, bisa disimpulkan bahwa kegagalan atau failure sebagai suatu
kondisi dimana suatu komponen atau sistem gagal untuk memenuhi ketersediaan (availability), kinerja
(performance), dan kualitas (quality) sesuai dengan spesifikasi atau target yang diinginkan dan ini menjadi
tanggung jawab pihak operasinal dan maintenance untuk mengurangi bahkan mengeliminasinya. Di lain sisi,
maintenance adalah biaya dan segala sesuatu yang menyangkut biaya manufaktur harus dilakukan upaya
untuk meminimalkannya tanpa mengurangi fungsi dari maintenance itu sendiri.

Lalu pertanyaannya adalah bagaimana seharusnya strategi maintenance dilakukan? Pertanyaan yang
gampang akan tetapi cukup berat untuk menjawabnya. Pada dasarnya strategi maintenance yang harus
dilakukan adalah kombinasi dari ke empat (4) strategi yang dikemukakan sebelumnya, yaitu time base
maintenance (TBM) atau maintenance terjadwal, conditional base maintenance (CBM), temporary corrective
maintenance dan permanent corrective maintenance.

Merujuk kepada kurva “Age_Reliability Characteristic” maka aktivitas TBM sebagai kompensasi terhadap
kegagalan yang erat kaitanya dengan usia sistem seharusnya di kisaran 11%, beberapa literature mengatakan
bahwa persentase (workload) dari aktivitas maintenance yang berasal dari TBM adalah sekitar 15% dari total
waktu yang tersedia. Aktivitas yang terkait dengan hal ini adalah cleaning, surface protection, lubrikasi,
penggantian komponen terjadwal, setting dan tightening, dan kalibrasi.

Aktivitas Inspeksi atau pemeriksaan terjadwal yang terkait dengan condition base maintenance (CBM)
menghabiskan waktu sekitar 40% dari total workload, baik itu manufaktur yang belum menggunakan
peralatan untuk melakukan predictive maintenance ataupun sudah, pemeriksaan langsung kondisi mesin di
lapangan (gemba) adalah tetap harus dilakukan. Hal ini untuk memudahkan para front line maintenance
untuk memahami fungsi dan karakteristik dari masing-masing komponen pembentuk mesin atau sistem,
disamping tujuan utama yaitu untuk menemukan potensi kegagalan atau masalah yang mungkin akan
terjadi. Pada manufaktur yang sudah memiliki predictive tools maka sebagian beban kerjanya digunakan
untuk menganalisa perubahan standar nilai besaran dari kondisi komponen yang diukur. Perlu digarisbawahi
bahwa beban kerja (workload) sebesar 40% tersebut sudah termasuk aktivitas yang harus dilakukan jika
terjadi temuan masalah saat melakukan inspeksi.

5-10% lainnya digunakan untuk emergency work yang terkait dengan breakdown, penurunan performa,
masalah terkait kualitas produk yang diakibatkan oleh mesin atau sistem, dengan kata lain untuk melakukan
RBC pada fungsi sistem tersebut. Kemudian, sisa waktu maintenance yang tersedia sebagian digunakan
untuk tugas administrasi, dan melakukan upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas program
maintenance dengan melakukan evaluasi terhadap rancangan dan rencana maintenance yang sedang
diterapkan, disamping melakukan pekerjaan-pekerjaan tambahan lainnya yang biasanya permintaan dari
pihak proses produksi.

Persentase atau nilai-nilai tersebut di atas bukanlah sesuatu yang baku, pada kenyataanya strategi
maintenance dapat diubah sesuai dengan kebutuhan. Misalkan, seorang personel maintenance yang harus
melakukan penggantian filter olie gearbox secara berkala (TBM), setelah dilakukan penambahan sensor
transmitter untuk mengukur differensial pressure pada aliran olie maka dia hanya lakukan penggantian
sesuai dengan kondisi yang ditunjukkan oleh alat ukur (CBM).

Anda mungkin juga menyukai