LANDASAN TEORI
5
9. Mereduksi biaya perbaikan dan biaya yang timbul dari terhentinya
proses karena permasalahan keandalan mesin.
6
Maintanability Enggineering dari Amerika Serikat. Jepang mengembangkan
konsep tersebut menjadi Total Productive Maintenance (TPM).
Menurut Fajar Kurniawan (2013) TPM adalah suatu metode yang
bertujuan untuk memaksimalkan efesiensi penggunaan peralatan, dan
menmantapkan sistem perawatan preventif yang dirancang untuk keseluruhan
peralatan dengan mengimplementasikan suatu aturan dan memberikan motovasi
kepada seluruh bagian yang berada dalam suatu perusahaan tersebut, melalui
peningkatan komponenisipasi dari seluruh anggota yang terlibat mulai dari
manajemen puncak sampai kepada level terendah. Selain itu juga TPM bertujuan
untuk menghindari perbaikan secara tiba – tiba dan meminimasi perawatan yang
tidak terjadwal. TPM merupakan proses untuk memaksimalkan produktivitas
penggunaan peralatan, melalui pengurangan downtime dan perbaikan keamanan,
kualitas, pengiriman, biaya dan kreativitas yang melibatkan seluruh lini produksi.
Saat ini banyak perusahaan yang mengimplementasikan TPM dengan
menggunakan Track Equipment Maintenance (TEM). Sistem ini adalah sistem
komputerisasi yang akan melakukan inspeksi prosedur kerja dan menjadwalkan
pekerjaan perawatan. Sistem ini mampu meningkatkan efisiensi fasilitas dan
mereduksi penggunaan energi.
7
perencanaan keuangan, sumber daya manusia, rekayasa, klerikal, dan
pemasaran. Oleh sebab itu, implementasi TPM saat ini diperuntukan bagi
semua anggota perusahaan, tanpa terkecuali, mulai dari manajemen
puncak, sampai kepada lini terendah dari suatu organisasi.
8
4. Kerugian waktu akibat terlalu banyak pertimbangan (analisa)
5. Kerugian waktu akibat pengaturan dan penyeseuaian kegiatan.
6. Kerugian akibat produk cacat.
9
Aktivitas implementasi TPM yang lain adalah upaya untuk
menciptkan lingkungan yang aman. Target kegiatan ini adalah
mengeleminasi semua peluang terjadinya kecelakaan dan polusi (zero
accident & zero pollution). Zero accident dapat dicapai dengan
menerapkan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, sementara itu
Zero pollution dicapai dengan menerapkan manajemen lingkungan.
Menurut Fajar Kurniawan (2013) Zero Accident dapat dicapai
dengan menerapkan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang
dilakukan dengan meminimasi aspek – aspek tidak selamat, dan
merancang suatu fasilitas industri yang dapat memberikan kenyamanan
dan keamanan dalam bekerja. Aktivitas ini juga perlu didukung dengan
penerapan aturan – aturan keselamatan dan upaya peningkatan kesadaran
dari setiap pekerja melalui pemberian pelatihan dan pendidikan.
Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja pada dasarnya mencari dan
mengungkapkan kelemahan operasional yang memungkinkan terjadinya
kecelakaan, dimana fungsi tersebut dapat dilaksanakan dengan dua cara :
(a) Mengungkapkan sebab musabab suatu kecelakaan, (b) Meneliti apakah
pengendalian secara cermat dapat dilaksanakan arau tidak (Silalahi et al,
1995). Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dapat dilaksanakan
melalui beberapa aktivitas antara lain :
1. Komitmen yang dimulai dari top management untuk memiliki visi
dan melaksanakan program keselamtan dan kesehatan kerja.
2. Permbentukan organisasi yang bertanggung jawab untuk mengatur
semua aktivitas yang berkenaan dengan manajamen keselamatan dan
kesehatan kerja, yang dilanjutkan dengan penyusunan job
description dari staff dan pimpinan dalam organisasi tersebut.
3. Penyusunan Standar Oprating Procedure (SOP) mengenai
keselamatan dan kesehatan kerja, serta aturan yang berkenaan
dengan reward & punishment terhadap implementasi program.
4. Pelaksanaan training internal maupun eksternal, yang berkenaan
dengan pemahaman konsep implementasi manajemen keselamatan
dan kesehatan kerja, sehingga mampu merubah paradigm berfikir
10
dari setiap bagian perusahaan untuk dapat melaksanakan program
tersebut dengan kesadaran pribadi.
5. Aktivitas evaluasi terhadap pelaksanaan program manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja. Aktivitas ini dilakukan untuk
membandingkan antara perencanaan yang telah dibuat, dengan
pelaksanaan program.
2.3.5 5-S
Menurut Fajar Kurniawan (2013) 5S merupakan impelemnatasi
manajerial perawatan terhadap stasiun kerja yang bersifat menyeluruh dan
sistematik. Penerapan 5S diperusahaan akan berdampak secara langsung
terhadap keselamatan kerja, efisien, evektivitas kerja, dan peningkatan
produktivitas. 5S itu sendiri merupakan istilah yang berasal dari bahasa
Jepang, yang isinya antara lain : Seiri, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke.
Penjelasan secara ringkas berkenaan dengan terminology 5S, antara lain :
1. Seiri atau penyederhanaan adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memilih, dan meniadakan segala hal yang tidak diperlukan, termasuk
menghilangkan segala hal yang diprediksi dapat menimbulkan
masalah.
2. Seiton atau penataan adalah memposisikan semua fasilitas secara
teratur dan terstruktur, sehingga pada saat diperlukan akan mudah
untuk diperoleh.
3. Seiso atau pembersihan adalah upaya untuk menghilangkan semua
kotoran dan sampah yang ada di stasiun kerja.
4. Seiketsu atau perawatan secara berkala, terus – menerus dan
berulang.
5. Shitsuke atau pembiasaan adalah uapaya untuk membiasakan
keempat aktivitas 5S diatas, sehingga dapat memunculkan
kedisiplinan dari setiap komponen yang mengimplementasikan 5S.
11
satunya adalah upaya perushaaan dalam memperpanjang waktu pengoprasian
suatu fasilitas industri dan mengurangi kerugian produksi yang diakibatkan oleh
rusaknya peralatan. Preventive Maintenance merupakan alternative terbaik dalam
memecahkan masalah tersebut, karena terkadang departemen perawatan disuatu
perusahaan industri tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya kerusakan
mesin secara tiba – tiba.
Menurut Fajar Kurniawan (2013) Perawatan pencegahan (Preventife
Maintenance) adalah inspeksi secara periodik untuk mendeteksi kondisi yang
dapat menyebabkan mesin rusak (break dwon) atau terhentinya proses sehingga
dapat mengembalikan kondisi peralatan seperti pada saat awal peralatan tersebut
ada. Preventive Maintenance merupakan proses deteksi dan perawatan dari
ketidak normalan peralatan sebelum timbul kerusakan yang menyebabkan
kerugian.
Secara umum preventife maintenance dapat diklasifikasikan menjadi 2 aktivitas,
antara lain :
1. Inspeksi secara periodik
2. Pemulihan terencana dari kerusakan berdasarkan hasil inspeksi tersebut.
12
menjadi terfokus merupakan faktor utama metode ini diaplikasikan secara
menyeluruh oleh banyak perusahaan di dunia.
OEE memiliki standar world class untuk semua indikator sebagai berikut ;
1. Availability Rate > 90%
2. Performance Rate > 95%
3. Quality Rate > 99%
4. Nilai OEE > 85%
Formula untuk menentukan nilai OEE menurut Seichi Nakajima (1989)
sebagai berikut :
OEE = Availability Rate % x Performance Rate % x Quality Rate %
Dimana :
OEE : Overall Equipment Effectiveness %
Availability : Pemanfaatan waktu kegiatan produksi %
Performance : Kemampuan peralatan menghasilkan barang %
Quality : Kualitas suatu barang %
OEE merupakan tingkat pengukuran total pada efektifitas mesin yang
mengidentifikasi mengenai tingkat produktifitas mesin atau peralatan dan kinerja.
Pengukuran dengan menggunakan metode ini sangat penting untuk mencari tahu
kapasitas mesin dan untuk meningkatkan produktifitas mesin dan efisiensi mesin
atau peralatan dan juga dapat mengidentifikasikan area penumpukan work in
proses (WIP) yang sering disebut dengan bootleneck yang terjadi pada lini
produksi. Rumus dari perhitungan pada metode OEE dirumuskan sebagai berikut :
OEE = Availability x Performance x Quality Product x 100 % ……….……….
(2.1)
Dalam menghitung OEE memrlukan keseluruhan dari factor
pendukungnya, yaitu availability rate, performance rate, dan quality rate.
Perhitungan tidak bias dilakukan jika hanya dengan satu factor saja. Enam factor
dari six big losses yang harus di ikut sertakan adalah sebagai berikut :
2.5.1 Availability
Menurut nakajima (1989) availanility merupakan rasio dari waktu
operasi (operation time) terhadap loading time dengan cara menghilangkan
13
downtime pada peralatan agar dapat mengitung availability rate maka
diperlukan nilai – nilai dari :
a. Waktu operasi (operation time)
b. Waktu proses actual (loading time)
c. Waktu terbuang (downtime)
Availability rate dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Loading Time−Downtime
Availability = x 100%
Loading Time
………………………….(2)
Loading Time adalah waktu actual yang tersedia dalam satu hari
yang dikurangi dengan waktu pemberhentian yang direncanakan (planned
downtime) seperti waktu istirahat kerja. Rumus dari waktu loading time
adalah sebagai berikut :
Loading time = Total availability - Planned downtime ……………….(2.3)
Planned downtime merupakan downtime yang direncakan untuk
kegiatan perawatan mesin. Operation time adalah loading time dikurangi
planned downtime.
14
Net Operation Rate adalah perbandingan antara jumlah produk yang
diproses (processes amount) dikali dengan actual cycle time dan dibagi
dengan operation time. Net Operation Time berfungsi untuk menghitung
kerugian yang disebabkan oleh minor stoppages dan menurunya kecepatan
produksi (reduced speed).
Ada tiga factor penting yang digunakan untuk menghitung performance
efficiency :
1. Waktu siklus ideal / waktu standar (ideal cycle time)
2. Jumlah produk yang diproses (processed amount)
3. Waktu operasi mesin (operation time)
Performance efficiency dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Performance efficiency = Net operating x Operating cycle time ………
(2.6)
Processed Amount x Ideal Cyle Time
Perf. Eff.= x 100%
OperatingTime
…………………….(2.7)
15
dengan menggunakan alat bantu seven tools yang berupa diagram fishbone dan
diagram pareto.
16
Adalah cara atau prosedur dalam pengoprasian mesin dalam proses
produksi
e. Lingkungan (Enviroment)
Adalah faktor lingkungan untuk menganalisa kemungkinan faktor
– faktor penyebabnya.
Gambar
2.1
Diagram
Fishbone
2.
17
Gambar 2.2 Contoh Digaram Pareto
Sumber : Heizer dan Render (2014)
18
Gambar 2.3 Contoh Chek Sheet
Sumber : Heizer dan Render (2014)
19