Anda di halaman 1dari 9

BAB II

LANDASAN TEORITIS

1.1 Manajemen Perawatan

Manajemen perawatan merupakan sistem yang terdiri dari beberapa elemen


berupa fasilitas (machine), penggantian komponen atau sparepart (material),
biaya pemeliharaan (money), perencanaan kegiatan pemeliharaan (method), dan
eksekutor pemeliharaan (man). Elemen-elemen tersebut saling terkait dan
berinteraksi dalam kegiatan pemeliharaan di industri (Ansori dan Mustajib, 2013).

Terdapat lima tugas pokok di dalam sebuah organisasi pemeliharaan. Tugas-tugas


pokok tersebut antara lain (Assauri, 2008):

1. Kegiatan inspeksi yang meliputi kegiatan pengecekan atau pemeriksaan secara


berkala bangunan dan peralatan pabrik sesuai dengan rencana serta kegiatan
pengecekan atau pemeriksaan terhadap peralatan yang mengalami kerusakan
dan membuat laporan-laporan dari hasil pengecekan atau pemeriksaan
tersebut.
2. Kegiatan teknik yang meliputi kegiatan percobaan atas peralatan yang baru
dibeli dan kegiatan-kegiatan pengembangan peralatan atau komponen
peralatan yang perlu diganti. Kegiatan teknik termasuk pula kegiatan
penyelidikan sebab-sebab terjadinya kerusakan pada peralatan tertentu dan
cara-cara atau usaha-usaha untuk memperbaikinya yang sangat diperlukan
dalam kegiatan produksi.
3. Kegiatan produksi yakni kegiatan pemeliharaan yang sebenarnya yaitu
memperbaiki dan mereparasi mesin atau peralatan. Secara fisik melaksanakan
pekerjaan yang disarankan atau diusulkan dalam kegiatan inspeksi dan teknik.
4. Pekerjaan administrasi yang berhubungan dengan pencatatan-pencatatan
mengenai biaya-biaya yang terjadi dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan
pemeliharaan, komponen atau spare part yang dibutuhkan, laporan mengenai
pemeliharaan yang telah dilakukan. Kegiatan pencatatan ini termasuk dalam
penyusunan rencana dan penjadwalan kapan dilaksanakannya pemeliharaan.

6
7

5. Pemeliharaan bangunan yakni kegiatan untuk menjaga agar bangunan gedung


tetap terpelihara dan terjamin kebersihannya. Kegiatan pemeliharaan
bangunan juga meliputi pembersihan, pengecatan dan kegiatan yang tidak
termasuk dalam kegiatan teknik dan produksi dari bagian pemeliharaan
(maintenance).

1.1.1 Tujuan Perawatan

Tujuan utama dilakukannya sistem manajemen perawatan menurut Japan Institute


of Plan Maintenance dan Consultant TPM India sebagai berikut (Ansori dan
Mustajib, 2013):

a. Pemakaian fasilitas produksi lebih lama.


b. Ketersediaan optimum dari fasilitas produksi.
c. Menjamin kesiapan operasional seluruh fasilitas yang diperlukan pada saat
pemakaian darurat.
d. Menjamin keselamatan operator dan pemakaian fasilitas.
e. Membantu kemampuan mesin dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan
fungsinya.
f. Mendukung pengurangan pemakaian dan penyimpanan yang diluar baas
dan menjaga modal yang diinvestasikan dalam perusahaan selama waktu
yang ditentukan sesuai dengan kebijakan perusahaan.
g. Melaksanakan kegiatan maintenance secara efektif dan efisien agar
tercapai tingkat biaya perawatan serendah mungkin (lowest maintenance
cost).
h. Kerjasama yang kuat dengan fungsi-fungsi utama dalam perusahaan untuk
mencapai tujuan utama perusahaan untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya.

1.2 Metode Manajemen Perawatan

Berikut ini adalah metode-metode yang dapat digunakan dalam melakukan


manajemen perawatan (Keith, 2002):

a. Run-to-failure management adalah manajemen teknik pengaktifan kembali


yang menunggu mesin atau peralatan rusak sebelum diambil tindakan
8

pemeliharaan, yang mana sebenarnya adalah “nomaintenance”. Metode ini


merupakan manajemen pemeliharaan yang paling mahal. Metode reaktif ini
memaksa departemen manajemen pemeliharaan untuk mempertahankan
persediaan suku cadang yang banyak yang mencakup seluruh komponen
utama peralatan penting pabrik.

b. Preventive Maintenance, ada banyak definisi pemeliharaan preventive, tetapi


semua program manajemen pemeliharaan preventive adalah dijalankan
berdasarkan waktu. Dengan kata lain tugas-tugas pemeliharaan berlalu
berdasarkan pada jam operasi. Dalam manajemen pemeliharaan preventive,
perbaikan mesin dijadwalkan berdasarkan pada statistik waktu rata-rata
kerusakan Mean Time To Failure (MTTF).

c. Predictive Maintenance, seperti pemeliharaan preventif, pemeliharaan


prediktif memiliki banyak defenisi. Untuk sebagian pekerja, pemeliharaan
prediktif adalah pemantauan getaran mesin dalam upaya untuk mendeteksi
masalah baru dan untuk mencegah kerusakan fatal. Pemeliharaan prediktif
adalah menggerakkan kondisi program pemeliharaan preventif. Untuk jadwal
kegiatan pemeliharaan, pemeliharaan prediktif menggunakan pengawasan
langsung terhadap kondisi mekanik, efisiensi sistem, dan indicator lainnya
untuk menentukan rata-rata waktu aktual sampai rusak atau hilangnya efisiensi
untuk setiap mesin dan sistem di pabrik. Penambahan program pemeliharaan
prediktif yang komprehensif dapat dan akan menyediakan data faktual pada
kondisi mekanik aktual dari setiap mesin dan efisiensi operasional setiap
sistem proses.

d. Metode peningkatan pemeliharaan lainnya, selama 10 tahun terakhir,


berbagai metode manajemen, seperti pemeliharaan produktif total (TPM) dan
kehandalan yang berpusat pada pemeliharaan (RCM), telah dilembangkan dan
disebut-sebut sebagai obat mujarab untuk pemeliharaan yang tidak efektif.
Banyak pabrik domestik menggunakan salah satu dari metode cepat,
memperbaiki dalam upaya untuk mengimbangi kekurangan pemeliharaan
yang dirasakan.
9

1) Total Productive Maintenance (TPM)


Pemeliharaan ini disebut-sebut sebagai pendekatan jepang untuk
manajemen perawatan yang efektif, konsep ini di kembangkan oleh
Deming di akhir 1950-an. TPM bukan program manajemen pemeliharaan.
Sebagian besar kegiatan terkait dengan pendekatan manajemen jepang
diarahkan pada fungsi produksi dan menganggap pemeliharaan akan
memberikan tugas-tugas dasar yang diperlukan untuk mempertahankan
aset produksi kritis. Semua manfaat di ukur dari TPM yang di kemas
dalam hal kapasitas, kualitas produk, dan total biaya produksi.

2) Reliability Centered Maintenance (RCM)


Dalil dasar RCM adalah bahwa semua mesin harus gagal dan memiliki
umur yang terbatas, tetapi asumsi ini tidak berlaku, jika mesin dan sistem
pabrik dirancang baik, dipasang, dioperasikan, dan dipelihara.

1.3 Reliability Centered Maintenance (RCM)

Reliability Centered Maintenance (RCM) adalah suatu proses yang digunakan


untuk menentukan apa yang harus dikerjakan untuk menjamin setiap aset fisik
tetap bekerja sesuai yang diinginkan atau suatu proses untuk menetukan
perawatan yang efektif. Menurut Anthony Smith (1992) RCM adalah suatu
metode untuk mengembangkan, memilih dan membuat alternatif strategi
perawatan yang didasarkan pada kriteria operasional, ekonomi dan keamanan.
RCM merupakan suatu pendekatan pada bagian perawatan yang didapat dari
keandalan suatu komponen untuk mendapatkan hasil strategi perawatan terbaik
(Kurniawan, 2013).

Pada dasarnya penelitian RCM merupakan usaha untuk menjawab tujuh


pertanyaan utama yang berkaitan dengan asset atau peralatan yang sedang diteliti.
Ketujuh pertanyaan utama tersebut antara lain adalah (Moubray, 2000):

1. Apakah fungsi dan hubungan performansi standar dari asset dalam konteks
operasional pada saat ini (system functions)?
2. Bagaimana asset tersebut rusak dalam menjalankan fungsinya (functional
failure)?
10

3. Apa yang menyebabkan terjadinya kegagalan fungsi asset tersebut (failure


modes)?
4. Apa yang terjadi pada saat terjadi kerusakan (failure effect)?
5. Bagaimana masing-masing kerusakan tersebut dapat terjadi (failure
consequences)?
6. Apa yang dapat dilakukan untuk memprediksi atau mencegah masing-
masing kerusakan tersebut (proactive task and task interval)?
7. Apa yang harus dilakukan apabila kegiatan proaktif yang sesuai tidak
ditemukan (default action)?

1.3.1 Prinsip RCM

Terdapat 7 prinsip RCM, yaitu (Rausand, 1998):


1. Memelihara fungsional sistem, bukan sekedar memelihara suatu alat agar
beroperasi tetapi agar fungsi sesuai harapan.
2. Fokus kepada fungsi sistem daripada suatu komponen tunggal, yaitu apakah
sistem masih dapat menjalankan fungsi utama jika suatu komponen
mengalami kegagalan.
3. Berbasiskan pada kehandalan, yaitu kemampuan suatu sistem/equipment
untuk terus beroperasi sesuai dengan fungsi yang diinginkan
4. Menjaga agar kehandalan fungsi sistem tetap sesuai dengan kemampuan yang
didesain untuk sistem tersebut.
5. Mengutamakan keselamatan (safety) baru kemudian untuk masalah ekonomi.
6. Mendefinisikan kegagalan (failure) sebagai kondisi yang tidak memuaskan
(unsatisfactory) atau tidak memenuhi harapan, sebagai ukurannya adalah
berjalannya fungsi sesuai performance standard yang ditetapkan.
7. Harus memberikan hasil-hasil yang nyata atau jelas, Tugas yang dikerjakan
harus dapat menurunkan jumlah kegagalan (failure) atau paling tidak
menurunkan tingkat kerusakan akaibat kegagalan.
11

1.3.2 Langkah-langkah RCM

Berikut merupakan langkah-langkah yang diambil dalam menjalankan RCM


(Smith, 1992):

a. Pemilihan sistem dan pengumpulan informasi: sistem yang akan dipilih adalah
sistem yang mempunyai frekuensi corrective maintenance yang tinggi, dengan
biaya yang mahal dan berpengaruh besar terhadap kelancaran proses pada
lingkungannya.

b. Definisi batasan sistem: defenisi batasan sistem dilakukan untuk mengetahui


apa yang termasuk dan tidak termasuk ke dalam sistem yang diamati.

c. Deskripsi sistem dan Functional Diagram Block (FDB): setelah sistem dipilih
dan batasan sistem telah dibuat, maka dilakukan pendeskripsian sistem.
Bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumentasikan detail penting
dari sistem.

d. Penentuan fungsi dan kegagalan fungsional: fungsi dapat diartikan sebagai apa
yang dilakukan oleh suatu peralatan yang merupakan harapan pengguna.
Fungsi berhubungan dengan masalah kecepatan, output, kapasitas dan kualitas
produk. Kegagalan (failure) dapat diartikan sebagai ketidakmampuan suatu
peralatan untuk melakukan apa yang diharapkan oleh pengguna. Sedangkan
kegagalan fungsional dapat diartikan sebagai ketidakmampuan suatu peralatan
untuk memenuhi fungsinya pada performasi standar yang dapat diterima oleh
pengguna. Suatu fungsi dapat memiliki satu atau lebih kegagalan fungsional.

e. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA): mode kegagalan merupakan suatu
keadaan yang dapat menyebabkan kegagalan fungsional. Apabila mode
kegagalan sudah diketahui maka memungkinkan untuk mengetahui dampak
kegagalan yang menggambarkan apa yang akan terjadi ketika mode kegagalan
tersebut terjadi, selanjutnya digunakan untuk menentukan konsekuensi dan
memutuskan apa yang akan dilakukan untuk mengantisipasi, mencegah,
mendeteksi atau memperbaikinya
12

f. Logic Tree Analysis (LTA): LTA merupakan suatu pengukuran kualitatif


untuk mengklasifikasikan mode kegagalan. Mode kegagalan dapat
diklasifikasikan kedalam 4 kategori yaitu:

1) Safety Problem (kategori A): mode kegagalan mempunyai konsekuensi


dapat melukai atau mengancam jiwa sesorang.
2) Outage Problem (kategori B): mode kegagalan dapat mematikan sistem
3) Minor to Infestigation Economic Problem (kategori C): mode kegagalan
tidak berdampak pada keamanan maupun mematikan sistem. Dampaknya
tergolong kecil dan dapat diabaikan.
4) Hidden Failure (kategori D): kegagalan yang terjadi tidak dapat diketahui
oleh operator

g. Task selection (Pemilihan kebijakan perawatan): task selection dilakukan


untuk menentukan kebijakan-kebijakan yang mungkin untuk diterapkan
(efektif) dan memilih task yang paling efisien untuk setiap mode kegagalan.

2.5 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan salah satu program
peningkatan dan pengendalian kualitas yang dapat mencegah terjadi kegagalan
dalam suatu produk atau proses. Berikut adalah beberapa definisi FMEA yaitu:
1) FMEA menurut Chrysler (2008): FMEA merupakan metodologi analisis yang
digunakan untuk memastikan masalah potensial pada produk dan proses
dipertimbangkan dan dialamatkan secara menyeluruh melalui perbaikan
proses.
2) FMEA menurut McDermott (2009): FMEA merupakan suatu metode yang
sistematik dalam mengidentifikasi dan mencegah masalah yang terjadi pada
produk dan proses.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa FMEA adalah metode


untuk mengidentifikasi dan menganalisa potensi kegagalan dan akibatnya yang
bertujuan untuk merencanakan proses produksi secara baik dan dapat menghindari
kegagalan proses produksi dan kerugian yang tidak diinginkan.
13

2.5.1 Tujuan FMEA

Tujuan dari penerapan FMEA adalah mencegah masalah terjadi pada proses dan
produk. Jika digunakan dalam desain dan proses manufaktur, FMEA dapat
mengurangi atau menekan biaya dengan mengidentifikasi dan memperbaiki
produk dan proses secara cepat pada saat proses pengembangan. Pembuatannya
relatif mudah serta tidak membutuhkan biaya yang banyak. Hasilnya adalah
proses menjadi lebih baik karena telah dilakukan tindakan koreksi dan
mengurangi serta mengeliminasi kegagalan (McDermott, 2009).

Berikut adalah beberapa tujuan dari penerapan FMEA (Chrysler, 2008):


a. Mengidentifikasi penyebab kegagalan proses dalam memenuhi kebutuhan
pelanggan.
b. Memperkirakan risiko penyebab tertentu yang menyebabkan kegagalan.
c. Mengevaluasi rencana pengendalian untuk mencegah kegagalan.
d. Melaksanakan prosedur yang diperlukan untuk memperoleh suatu proses
bebas dari kesalahan.
Penggunaan efektif FMEA dapat menghasilkan pengurangan dalam hal berikut
(McDermott, 2009):
a. Meningkatkan reliabilitas dan kualitas produk atau proses.
b. Meningkatkan kepuasan pelanggan.
c. Cepat dalam mengidentifikasi dan mengurangi kecacatan yang terjadi pada
produk atau proses.
d. Memprioritaskan pada kekurangan produk atau proses.
e. Mendapatkan perekayasaan atau pembelajaran keorganisasian.
f. Menekankan pada pencegahan terjadinya masalah.
g. Mempunyai sistem pengulangan jenis kecacatan komponen yang sistematik
untuk meyakinkan bahwa beberapa kegagalan minimal menghasilkan kerugian
bagi produk dan proses.
h. Mengetahui efek-efek dari kegagalan pada produk atau proses yang diteliti
dan fungsi-fungsinya.
i. Menetapkan komponen-komponen dari produk atau proses yang gagal akan
memiliki efek kritis pada produk atau proses dan kecacatan-kecacatan tersebut
akan menghasilkan efek merugikan.
14

2.6 Logic Tree Analysis (LTA)

Logic Tree Analysis (LTA) bertujuan untuk memberikan prioritas pada setiap
mode kerusakan dan melakukan peninjauan terhadap fungsi dan kegagalan fungsi.
Prioritas suatu mode kerusakan dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang telah disediakan dalam LTA ini. LTA mengandung informasi
mengenai nomor dan nama kegagalan fungsi, nomor dan mode kerusakan, analisis
kekritisan dan keterangan tambahan yang dibutuhkan. Analisis kekritisan
menempatkan setiap mode kerusakan ke dalam satu dari empat kategori. Empat
hal yang penting dalam analisis kekritisan yaitu sebagai berikut:
a. Evident: Apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi
gangguan dalam sistem?
b. Safety: Apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan?
c. Outage: Apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau sebagian
mesin berhenti?
Berdasarkan LTA tersebut failure mode dapat digolongkan dalam empat kategori,
yaitu:
a. Kategori A, jika failure mode mempunyai konsekuensi safety terhadap
personel maupun lingkungan.

b. Kategori B, jika failure mode mempunyai konsekuensi terhadap operasional
pabrik (mempengaruhi kuantitas ataupun kualitas output) yang dapat
menyebabkan kerugian ekonomi secara signifikan.
c. Kategori C, jika failure mode tidak berdampak pada safety maupun
operasional pabrik dan hanya menyebabkan kerugian ekonomi yang relatif
kecil untuk perbaikan.
d. Kategori D, jika failure mode tergolong sebagai hidden failure, yang
kemudian digolongkan lagi ke dalam kategori D/A, kategori D/B, dan kategori
D/C.

Anda mungkin juga menyukai