Anda di halaman 1dari 2

Sendu Dibawah Kelabu

Tujuh belas tahun ragaku diberi nyawa. Kulihat dunia dengan seutuhnya. Semesta
dengan banyaknya hiruk piruk bencana. dan keelokan isinya. Ketika percikan rintik berlabuh,
manusia berlalu lalang mencari tempat berteduh. Manusia itu aneh, ya. Milyaran darinya
berkata, kalau mereka menyukai hujan. Tetapi realitanya, mereka buru buru berlindung di
bawah payung, buru buru mencari atap, dan dengan nalurinya, memaki hujan seenaknya.
Mereka tidak benar benar menyukai. Kata yang keluar dari mulutnya, berbeda dengan
aksinya. Mereka hanya gunakan hujan sebagai romantisme saja. Dahulu mungkin aku merasa
bahwa hujan itu merupakan anugerah Tuhan yang menyeramkan. Kuanggap bahwa hujan itu
merupakan simbol teguran Tuhan untuk manusia yang tinggi rasa. Perasaan takut selalu
menyelimuti diri ketika segerombolan awan menyatu kesana kemari untuk menutupi sang
matahari. Pohon yang tadinya diam, berkutik menggerakan daunnya untuk ber ayun ayun.
Kemudian terbawa oleh alunisasi angin yang menandakan bahwa hujan akan segera datang.

Mendungnya langit, membawa suasana jadi terasa seram. Belum lagi jika ditambah
semesta yang melontarkan gemuruhnya yang membuat risau seluruh jiwa. Ibu ibu rumah
tangga bergegas mengangkat jemurannya. Para pengendara sepeda motor bergerak minggir
untuk memakai jas hujannya, atau berteduh ditempat seadanya. Ya, memang lebih sering
begitu. Hujan sering dikaitkan dengan hal hal yang berbau sial saja. Apalagi, dinginnya cuaca
di musim hujan menjadi tonggak penyakit yang merugikan banyak manusia. Nyatanya, hujan
tidak seburuk itu. Bagaimana nasib para makhluk hidup jika hujan tidak terjadi? Darimana
kita cari sumber air apabila hujan tidak turun untuk membasahi bumi?

Kudengar saat itu berita banjir yang membuat kemacetan kota dan berhasil merendam
beberapa wilayah, dikarenakan derasnya hujan yang tak kunjung reda. Akan tetapi dibalik
layar, sampah berserakan dimana mana. Dan betapa sedihnya, ketika kulihat di suatu hari,
manusia dengan akal liciknya membuang sampah ke sungai yang seharusnya dijaga keasrian
alamnya. Bukannya mencari solusi, mereka malah memperkeruh keadaan dengan
menyalahkan nikmat Tuhannya. Para penguasa dunia berlomba lomba membangun gedung
gedung yang menjulang tingggi untuk menentukan siapa yang paling berkuasa, pemukiman
warga yang semakin padat mencipta kesenjangan sosial yang nyata.

Pada bulan oktober, hujan jadi sering berkunjung. Memang faktanya, musim hujan
selalu diperkirakan terjadi pada bulan September hingga penghujung tahun, bulan Desember.
Belum lama ini, berita juga memaparkan bencana tanah longsor yang melumpuhkan salah
satu desa di kabupaten Banjarnegara, Desa Karangkobar. Tidak hanya satu dua kali Desa
Karangkobar ini menjadi topik pembicaraan masyarakat sekitar. Ditebangnya pohon pohon
untuk kepentingan pembukaan rute jalan menjadi pemicu bencana yang menimbulkan banyak
kemalangan ini.

Suasa hening, sunyi, yang terdengar hanya suara percikan air yang membentur atap
atap rumah dan meneteskan percikannya ke tanah. Burung burung berkolaborasi mencari
tempat bersembunyi. aku membaringkan diri diatas ranjang tempat aku beristirahat. Kubuka
jendela kamarku dengan perasaan hikmat, panorama langit mendung kelabu disertai Awan
yang dibaluri kabut menghipnotis sorot mataku. Aroma percikan rintik diluar menyapa indra
penciumanku, dan hawa dinginnya seakan akan mengirim bisikan kepadaku supaya segera
kembali ke tempat aku beristirahat. Aku tertegun merenungkan berita berita yang sudah
banyak kudengar. Ku putar lagu lama yang membawa kenangan dahulu kala. Pikiranku
dibaluti oleh opini opini yang belum sempat aku ungkapkan. Semakin aku dewasa, aku
menyadari bahwa Tuhan memberikan bencana, tidak selalu buruk niatnya. Kalaupun terasa
semena mena, pasti ada ulah manusia dibaliknya. Ini semua tergantung kepada bagaimana
kita mencipta solusi dengan sebaik baiknya.

Anda mungkin juga menyukai