II-16)
CULLAVAGGA XI
(Vin. II; B.D.V)
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang
orang-orangnya yang terlibat; selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan
apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap
sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang
orang-orangnya yang terlibat, …
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dam
tentang orang-orangnya yang terlibat,…
“Tentang mereka yang menggunakan tipu muslihat dengan mengaku mencapai tingkat
kesucian atau memiliki kekuatan-kekuatan gaib.”
Kemudian ditanyakan tentang pokok persoalannya, lalu tentang asal mulanya dan tentang
orang-orangnya yang terlibat, selanjutnya ditanyakan tentang apa yang ditetapkan dan
apa yang kemudian ditambahkan. Kemudian ditanyakan tentang apa yang dianggap
sebagai pelanggaran dan apa yang dianggap sebagai bukan pelanggaran.
Setelah itu ditanyakan tentang peraturan-peraturan yang lain baik yang berlaku untuk
para bhikkhu maupun yang berlaku untuk para bhikkhuni. Semua pertanyaan dijawab
oleh Bhikkhu Upali dengan terang dan jelas.
Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha
mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan
mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Bhikkhu Ananda mengenai Dhamma.”
Lalu dijawab oleh Bhikkhu Ananda, “Para Bhante yang terhormat, harap Sangha
mendengarkan apa yang akan aku ucapkan. Kalau Sangha menganggap baik, aku akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai Dhamma yang akan diajukan oleh Ayasma
Maha Kassapa.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa bertanya,
“Bhikkhu Ananda, di manakah Brahmajala-sutta disabdakan?”
“Bhante, di tempat peristirahatan Raja di Ambalatthika antara Rajagaha dan Nalanda.”
“Dengan siapa?”
“Dengan pertapa Suppiya dan seorang Brahmin muda bernama Brahmadatta.”
“Mengenai persoalan apa?”
“Mengenai apa yang terpuji dan apa yang tidak terpuji.”
Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.
“Dan di manakah Samaññaphala-sutta disabdakan, Bhikkhu Ananda?”
“Di Rajagaha, Bhante, di taman mangga Jivaka.”
“Dengan siapa?”
“Dengan Ajatasattu, putra dari Videhi.”
Kemudian Bhikkhu Ananda ditanya tentang asal mulanya, lalu tentang orang-orangnya.
Setelah itu Bhikkhu Ananda ditanya tentang lima Nikaya yang semuanya dijawab dengan
terang dan jelas.
Kemudian Bhikkhu Ananda memberitahukan para hadirin, “Para Bhante yang terhormat,
pada waktu Sang Bhagava hendak mencapai parinibbana, Beliau telah meninggalkan
pesan, “Setelah Aku mangkat, Ananda, kalau dikehendaki oleh Sangha, maka peraturan-
peraturan yang kecil dan kurang penting dapat ditiadakan.”
“Tetapi apakah ditanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-
peraturan yang kecil dan kurang penting?”
“Tidak, Bhante, aku tidak menanyakan apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan
yang kecil dan kurang penting.”
Ada hadirin yang mengatakan,
“Selain 4 (empat) peraturan Parajika, semua yang lain termasuk peraturan-peraturan kecil
dan kurang penting.”
Ada pula yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika dan 13 peraturan Sanghadisesa, semua peraturan yang lain
adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada lagi yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa dan 2 peraturan Aniyata, semua
yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada pula yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika, 13 peraturan Sanghadisesa, 2 peraturan Aniyata dan 30
peraturan Nissagiya, semua yang lain adalah peraturan-peraturan kecil dan kurang
penting.”
Ada lagi yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 92 peraturan Pacittiya, semua yang lain adalah
peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Ada juga yang mengatakan,
“Selain 4 peraturan Parajika …..dan 4 peraturan Patidesaniya, semua yang lain adalah
peraturan-peraturan kecil dan kurang penting.”
Kemudian Ayasma Maha Kassapa berkata,
“Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku katakan.
Tata tertib para bhikkhu ada juga yang berhubungan dengan umat dan umat pun
mengetahui mengenai hal tersebut.
Mereka tahu bahwa ini “diperbolehkan” dan itu pasti “tidak diperbolehkan” untuk para
pertapa, putra-putra Sakya.
Kalau kita menghapuskan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting, mungkin
diantara mereka ada yang berkata, “Pada waktu Buddha Gotama masih hidup, Beliau
telah menetapkan tata tertib untuk murid-murid-Nya. Sewaktu Buddha Gotama masih
hidup, memang mereka melatih diri dalam tata tertib tersebut, tetapi setelah Buddha
Gotama mencapai parinibbana mereka tidak lagi melatih diri dalam tata tertib tersebut.
Kalau Sangha menganggap baik, maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang
belum ditetapkan dan tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala
sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan. Inilah usulku.
Para Bhante yang terhormat, harap Sangha mendengarkan apa yang akan aku ucapkan
maka Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan
menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai
dengan apa yang sudah ditetapkan.
Kalau para Bhante setuju dengan tidak menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan
tidak akan menghapus sesuatu yang sudah ditetapkan dan segala sesuatu harus berjalan
terus sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, maka Sangha harap diam. Kalau ada yang
tidak setuju, diharap bicara.
Sangha tidak akan menetapkan sesuatu yang belum ditetapkan dan tidak akan menghapus
sesuatu yang sudah ditetapkan. Segala sesuatu harus berjalan terus sesuai dengan apa
yang sudah ditetapkan.
Karena Sangha diam, maka Sangha telah setuju.
Begitulah apa yang kumengerti.”
Kemudian para Thera berkata kepada Bhikkhu Ananda “Bhikkhu Ananda, ini merupakan
suatu pelanggaran, karena Anda telah lalai untuk menanyakan kepada Sang Bhagava, apa
yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil dan kurang penting. Akuilah bahwa
Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Para Bhante yang terhormat, karena kurang waspada aku tidak menanyakan kepada
Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan peraturan-peraturan kecil yang kurang
penting. Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatan kepada
para Bhante, aku mengaku melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda menjahit jubah
musim hujan Sang Bhagava, setelah Anda menginjaknya terlebih dulu. Akuilah bahwa
Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Para Bhante yang terhormat, bukan karena rasa kurang hormat aku telah menjahit jubah
musim hujan Sang Bhagava, setelah dengan tidak disengaja menginjaknya. Aku tidak
melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku kepada para Bhante, aku
mengakui telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran karena Anda mengizinkan para
wanita memberi penghormat terlebih dulu terhadap jenazah Sang Bhagava, sehingga air
mata mereka mengotori jenazah Sang Bhagava. Akuilah bahwa Anda telah melakukan
pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak pantas.”
“Para Bhante yang terhormat, karena aku pikir, lebih baik aku memberikan waktu
terlebih dulu kepada para wanita untuk memberi penghormatan terakhir terhadap jenazah
Sang Bhagava, sehingga mereka nanti tidak berada dalam waktu yang tidak tepat (kalau
para Thera telah berkumpul).
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para
Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak
pantas.”
Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena meskipun diberi isyarat-
isyarat dan tanda-tanda yang jelas dapat diraba maksudnya, Anda telah lalai untuk
memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan untuk hidup terus
sampai satu kappa, semoga Sang Sugata berkenan untuk hidup terus demi kesejahteraan
orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas asih-Nya terhadap dunia,
demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”
Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.
“Para Bhante yang terhormat, karena pada saat itu pikiranku tergoda oleh Mara, maka
aku telah lalai tidak memohon kepada Sang Bhagava, “Semoga Sang Bhagava berkenan
……demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan para dewa dan umat manusia.”
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para
Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu melakukan suatu kelalaian.”
“Bhikkhu Ananda, ini pun merupakan suatu pelanggaran. Karena melakukan usaha dan
memohon dengan sangat kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai
bhikkhuni.
Akuilah bahwa Anda telah melakukan pelanggaran berbuat sesuatu yang tidak baik.”
“Para Bhante yang terhormat, aku telah melakukan usaha dan memohon dengan sangat
kepada Sang Bhagava, agar wanita dapat diterima sebagai bhikkhuni oleh karena aku
pikir, “Maha Pajapati adalah bibi Sang Bhagava, ibu tiri-Nya, yang merawat-Nya, yang
memberikan air susunya sendiri kepada bayi Siddhattha setelah ibu-Nya meninggal
dunia.
Aku tidak melihatnya sebagai suatu pelanggaran, namun karena ketaatanku terhadap para
Bhante, aku mengaku telah melakukan pelanggaran, yaitu berbuat sesuatu yang tidak
baik.”
Beberapa waktu setelah pembacaan Dhamma dan Vinaya selesai, Bhikkhu Ananda
menghadap para Thera dan berkata : “Pada waktu Sang Bhagava hendak memasuki
parinibbana, Beliau juga telah meninggalkan pesan, “Ananda, bila Sang Tathagata sudah
tidak ada lagi, Sangha harus melaksanakan hukuman berat (brahmadanda) terhadap
Bhikkhu Channa.”
“Tetapi, Bhikkhu Ananda, apakah Anda menanyakan apa yang dimaksud dengan
hukuman berat itu?”
“Aku telah menanyakan kepada Sang Bhagava, apa yang dimaksud dengan hukuman
berat itu. Beliau mengatakan, “Ananda, Bhikkhu Channa boleh mengatakan apa saja yang
ia suka, tetapi bhikkhu-bhikkhu lain tidak boleh bicara dengannya, tidak boleh
menasehatinya dan tidak boleh memberi petunjuk kepadanya.”
“Kalau demikian halnya, laksanakanlah hukuman berat itu terhadap Bhikkhu Channa.”
“Tetapi para Bhante yang terhormat, bagaimana mungkin aku dapat melaksanakan
hukuman berat tersebut kepada Bhikkhu Channa karena Bhikkhu Channa orangnya kuat
dan kekar badannya.”
“Kalau begitu, Bhikkhu Ananda, pergilah bersama dengan lima ratus bhikkhu lain.”
“Baiklah, Bhante,” jawab Bhikkhu Ananda.
Kemudian berangkatlah Bhikkhu Ananda dengan lima ratus bhikkhu lain. Berselang
beberapa hari tibalah mereka di Kosambi, tidak jauh dari taman hiburan Raja Udena.
Di taman itu Raja Udena sedang bersenang-senang dengan para selirnya. Kemudian para
selir mendengar bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman tersebut dan sedang
beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Mereka lalu memohon kepada Raja
Udena, “Paduka Tuan, telah dikabarkan bahwa Bhikkhu Ananda telah tiba di dekat taman
dan sekarang sedang beristirahat di bawah sebuah pohon rindang.
“Perkenankanlah kami menemui Guru Ananda.”
“Pergilah kamu menemui Guru Ananda.”
Pergilah para selir Raja Udena menemui Bhikkhu Ananda. Setelah bertemu, mereka
memberi hormat dan mengambil tempat duduk. Bhikkhu Ananda kemudian memberikan
wejangan tentang Dhamma yang membuat hati para selir menjadi tenang, gembira dan
bahagia. Para selir yang telah tenang hatinya, gembira dan bahagia lalu memberikan lima
ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda dan kemudian mereka kembali ke taman Raja
Udena.
Setelah tiba di sana, mereka ditanya oleh Raja Udena, “Apakah kamu telah bertemu
dengan Guru Ananda?”
“Kami telah bertemu dengan Guru Ananda.”
“Apakah kamu memberikan sesuatu kepada Guru Ananda?”
“Kami telah memberikan lima ratus pakaian dalam kepada Guru Ananda.”
Mendengar itu, Raja Udena merasa kecewa dan mengecam Bhikkhu Ananda,
“Bagaimana mungkin pertapa Ananda menerima sekian banyak baju dalam.
Apakah pertapa Ananda ingin berdagang pakaian atau apakah ia ingin menawarkannya
untuk dijual di toko?”
Setelah itu Raja Udena sendiri pergi menemui Bhikkhu Ananda dan setelah memberi
hormat sebagaimana layaknya lalu mengambil tempat duduk.
Raja Udena kemudian bertanya,
“Bhante, apakah para selirku tadi telah datang kemari?”
“Benar, Paduka Tuan.”
“Apakah mereka memberikan sesuatu kepada Bhante?”
“Mereka memberikan lima ratus pakaian dalam kepadaku.”
“Tetapi, apakah yang Bhante ingin lakukan dengan lima ratus pakaian dalam itu?”
“Aku akan membagi-bagikannya kepada para bhikkhu yang jubahnya telah tipis.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah bekas dari para bhikkhu tersebut?”
“Kami akan memakainya sebagai jubah luar.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan jubah luar yang bekas pakai itu?”
“Kami akan menggunakan jubah-jubah bekas itu untuk membuat penutup kasur.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan tutup kasur yang lama?”
“Kami akan memakainya untuk penutup lantai.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penutup lantai yang lama?”
“Kami akan membuat penyeka-penyeka kaki.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan penyeka kaki yang lama?”
“Kami akan membuat kain-kain untuk menyeka debu.”
“Tetapi, apa yang Bhante ingin lakukan dengan kain penyeka debu yang lama?”
“Setelah mencabik-cabiknya dan mengaduknya dengan tanah fiat, kami akan gunakan
untuk memplester lantai.”
Setelah itu Raja Udena berpikir, “Pertapa-pertapa, putra-putra Sakya, memakai segala
sesuatu dengan cara yang teratur, hemat dan tidak boros.”
Maka oleh karena itu, ia memberikan lagi lima ratus baju dalam kepada Bhikkhu Ananda.
Inilah untuk pertama kali Bhikkhu Ananda mendapat hadiah seribu potong baju dalam.
Setelah itu bhikkhu Ananda pergi ke Vihara Ghosita.
Di tempat itu Bhikkhu Channa, yang setelah memberi hormat sebagaimana layaknya,
mempersilakan Bhikkhu Ananda mengambil tempat duduk.
Pada waktu itulah Bhikkhu Ananda memberitahukan Bhikkhu Channa, “Bhikkhu
Channa, Sangha telah menjatuhkan hukuman berat terhadap diri Anda.”
“Tetapi, Bhante, apakah yang dimaksud dengan hukuman berat itu?”
“Bhikkhu Channa, Anda boleh mengatakan apa saja yang Anda suka, tetapi bhikkhu-
bhikkhu lain tidak diperkenankan untuk bicara kepada Anda, tidak diperkenankan untuk
menasehati Anda dan tidak diperkenankan untuk memberi petunjuk-petunjuk kepada
Anda.”
Bhikkhu Channa lalu menjawab,
“Bhante, hancurlah sudah aku ini, tidak ada bhikkhu yang boleh bicara kepadaku, tidak
ada bhikkhu yang boleh memberi nasehat kepadaku dan tidak ada bhikkhu yang boleh
memberi petunjuk kepadaku.”
Kemudian ia jatuh pingsan di tempat itu.
Setelah siuman, karena merasa malu, cemas dan muak dikenakan hukuman berat,
Bhikkhu Channa lalu pergi mencari tempat yang sunyi. Di tempat itulah ia kemudian
dengan giat, tekun dan dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri, sehingga
dalam waktu yang tidak terlalu lama ia mencapai tingkat Arahat “Hancurlah tumimbal
lahir, hidup suci telah dilaksanakan, telah dilakukan apa yang harus dilakukan dan tidak
ada lagi yang tersisa.”
Dengan demikian Bhikkhu Channa menjadi Arahat.
Setelah itu Bhikkhu Channa mencari Bhikkhu Ananda dan setelah bertemu, Bhikkhu
Channa lalu berkata, “Bhante yang terhormat, sekarang cabutlah kembali hukuman berat
terhadap diriku.”
Dijawab oleh Bhikkhu Ananda,
“Bhikkhu Channa, pada saat Anda mencapai tingkat Arahat, pada saat itu pulalah
hukuman berat terhadap diri Anda telah dicabut kembali.” (Bhikkhu Channa yang
dimaksud di sini ialah bekas kusir dari Pangeran Siddhattha Gotama).
Keterangan:
Parajika :
pelanggaran yang membuat seorang bhikkhu/ bhikkhuni dipecat/diusir ke luar Sangha.
Sanghadisesa :
pelanggaran yang harus diselesaikan dalam rapat resmi dari Sangha.
Aniyata :
pelanggaran yang masih belum ditentukan masuk golongan yang mana.
Nissagiya :
pelanggaran yang menyebabkan sesuatu barang disita.
Pacittiya :
pelanggaran yang menyebabkan seseorang harus menjalankan hukuman “penebusan
dosa”.
https://forum.dhammacitta.org/index.php?topic=2256.0
Mengenai hal ini,saya harap umat telah mengerti seriusnya Pelanggaran Parajika.dan mari kita
lihat pada batasan - batasan mana seorang umat berinteraksi kepada Bhikkhu.
1. Keintiman , Menyentuh,Mengelus-elus
Seorang bhikkhu baik itu menyentuh secara langsung lawan jenis dengan niat seksual atau tidak
,maka ia akan berada dalam sidang Sangha yaitu Sanghadisesa, segala kontak fisik
seperti berjabat tangan akan memasuki Sanghadisesa oleh karena itu Bhikkhu Theravada
biasanya menggunakan sehelai kain untuk menerima persembahan dari lawan jenis.
Peraturan ini diturunkan dari cerita Bhikkhu Udayin yang melakukan usapan kepada seorang
wanita yang telah berumah tangga,dan wanita itu melaporkan bahwa tindakan itu bisa
digolongkan tindakan sexual harassment,maka Sang Buddha memaktubkan dalam Sanghadisesa
yang berbunyi :
"Seorang Bhikkhu yang melakukan tindakan kontak tubuh dengan lawan jenis baik dengan
pikiran yang penuh nafsu atau tidak,memegang tangannya,atau segenggam rambut atau
mengusap tubuhnya,maka dia harus melakukan sidang Sangha (Sanghadisesa 2)"
Bedah kasus
-. Jika bhikkhu berjalan terburu2 dan menabrak wanita,ia tetap akan mengakui perlakuannya
pada sidang Sangha,maka seorang bhikkhu diharapkan memperhatikan cara berjalan,dan umat
diharapkan tidak berlari2 di vihara atau dimana bhikkhu tinggal
-. Menyentuh ibu kandung,saudara kandung,sebenarnya juga termasuk pelanggaran hanya akan
dijelaskan pada sidang Sangha maksud dan tujuannya.karena seorang bhikkhu diharapkan tidak
tergoda oleh kehidupan duniawinya lagi.
-. seorang bhikkhu yang dengan pemikirannya akhirnya merasa bahwa vinaya untuk mencegah
memegan wanita,dan akhirnya ia memegang sesama jenis dengan pikiran yang penuh nafsu ,ia
akan menghadapi sidang Sangha dan jikalau ia ternyata melakukan penetrasi seks dengan
sesama jenis,ia akan terkena Parajika dan dikeluarkan.
4. Mak comblang
asal berasal dari bhikkhu Udayin yang selalu mencomblangkan/menjodohkan umat wanita
dengan pria,maka Sang Buddha menetapkan aturan
"Seorang Bhikkhu yang melakukan penjodohan secara maksud dari pria kepada wanita,maka ia
akan menghadapi Sanghadisesa"
Seorang Bhikkhu tidak menjodohkan apalagi sampai terjadinya pernikahan dalam artimenjadi
Event Organiser acara pernikahan,maka ia akan terkena Sanghadisesa,kecuali hanya sekedar
blessing
Dapat ditarik kesimpulan,berhape ria dengan lawan jenis juga termasuk Sanghadisesa dimana
komunikasi oleh Sang Buddha dibatasi 6 kalimat Dhamma(bukan gosip,candaan,kata-kata tidak
penting) saja.sad vaca
Semoga Vinaya ini saya dapat memberikan pemahaman dan batasan dari seorang umat kepada
bhikkhu.