Modul Geometrik 2
Modul Geometrik 2
I. JALAN
Menurut UU Jalan yang terbaru, jalan dikelompokkan berdasarkan 4
(empat hal yaitu: (Sosialisasi UU no 38/2004, PP No 15/2005 dan RPP
Jalan)
1. Sistem jaringan jalan,
2. Fungsi jalan,
3. Status jalan,
4. Kelas jalan
Modul 1 1-1
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
1.1.2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti rencana tata ruang
wilayah kota/kabupaten yang menghubungkan secara menerus
kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder
kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya
sampai ke persil.
Modul 1 1-2
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
JALAN ARTERI
PKN PKN
PRIMER (JAP)
JALAN ARTERI
JALAN JALAN ARTERI PRIMER (JAP) PRIMER (JAP)
LOKAL
PRIMER JALAN
(JLP) PKW KOLEKTOR PKW
PRIMER (JKP)
JALAN
JALAN KOLEKTOR PRIMER KOLEKTOR
JALAN
(JKP) PRIMER (JKP)
LOKAL
PRIMER
(JLP) JALAN LOKAL
PKL PRIMER (JLP) PKL
JALAN
LOKAL PK
PRIMER LING-
(JLP) KUNGAN
KPD
Modul 1 1-3
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 1.2. Hubungan Antara Kawasan Perkotaan Dengan Fungsi
Jalan Dalam Sistem Jaringan Jalan Sekunder.
Primer Sekunder Sekunder Sekunder
Kawasan I II III Perumahan
(F1) (F2.1) (F2.2) (F2.3)
Primer (F1) - Arteri - - -
Sekunder I Arteri Arteri Arteri - Lokal
(F2.1)
Sekunder I - Arteri Kolektor Kolektor Lokal
(F2.2)
Sekunder I - - Kolektor Kolektor Lokal
(F2.3)
Perumahan - Lokal Lokal Lokal Lokal
F1
Kawasan
Primer
JALAN ARTERI
SEKUNDER (JAS)
JALAN ARTERI SEKUNDER (JAS)
JALAN ARTERI
JALAN ARTERI SEKUNDER (JAS)
SEKUNDER (JAS)
JALAN KOLEKTOR
F2,2 SEKUNDER (JKS) F2,2
Kawasan Kawasan
JALAN LOKAL Sekunder Sekunder
SEKUNDER II II
(JLS)
F2,3 F2,3
JALAN LOKAL JALAN LOKAL
Kawasan Kawasan
SEKUNDER SEKUNDER (JLS)
Sekunder Sekunder
(JLS)
III III
Perumahan JALAN
LINGKUNGAN Perumahan
SEKUNDER (JLS)
Modul 1 1-4
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
1.3. STATUS JALAN
Menurut statusnya, jalan umum dikelompokkan menjadi 5 (lima)
golongan, yaitu:
1. Jalan Nasional; Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada
di tingkat nasional.
2. Jalan Propinsi; Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di
tingkat propinsi.
3. Jalan Kabupaten; Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya
berada di tingkat kabupaten.
4. Jalan Kota; Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di
tingkat kota.
5. Jalan Desa; Jalan yang pengelolaan dan wewenangnya berada di
tingkat Desa.
Modul 1 1-5
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
1. Spesifikasi Jalan bebas hambatan meliputi pengendalian jalan
masuk secara penuh, tidak ada persimpangan sebidang, dilengkapi
pagar ruang milik jalan, dan dilengkapi dengan median, paling
sedikit mempunyai 2 (dua) lajur setiap arah, lebar lajur sekurang-
kurangnya 3,5 (tiga koma lima) meter.
2. Spesifikasi Jalan raya adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus
dengan pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi
dengan median, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah, lebar lajur
sekurang-kurangnya 3,5 (tiga koma lima) meter.
3. Spesifikasi jalan sedang adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak
sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling
sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar jalur paling
sedikit 7 (tujuh) meter.
4. Spesifikasi jalan kecil adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas
setempat, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan
lebar jalur paling sedikit 5,5 (lima koma lima) meter.
Modul 1 1-6
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
MODUL 2
Modul 2 2-1
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 2.1. Kendaraan Rencana
Modul 2 2-2
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
perkerasan jalan, jalur pemisah, bahu jalan, saluran tepi jalan, trotoar,
lereng, ambang pengaman, timbunan dan galian, gorong-gorong,
perlengkapan jalan, dan bangunan pelengkap lainnya. Lebih jelas
mengenai Ruang Manfaat Jalan dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Modul 2 2-3
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Ruang pengawasan jalan diperuntukan bagi pandangan bebas
pengemudi dan pengamanan konstruksi jalan serta pengamanan
fungsi jalan.
Ruang pengawasan jalan merupakan ruang sepanjang jalan diluar
ruang milik jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu.
Dalam hal ruang milik jalan tidak cukup luas, lebar ruang pengawasan
jalan ditentukan dari tepi badan jalan paling rendah sebagai berikut:
jalan arteri primer 15 (lima belas) meter;
jalan kolektor primer 10 (sepuluh) meter;
jalan lokal primer 7 (tujuh) meter;
jalan lingkungan primer 5 (lima) meter;
jalan arteri sekunder 15 (lima belas) meter;
jalan kolektor sekunder 5 (lima) meter;
jalan lokal sekunder 3 (tiga) meter;
jalan lingkungan sekunder 2 (dua) meter;
jembatan 100 (seratus) meter ke arah hilir dan hulu.
Lebih jelas mengenai Ruang Pengawasan Jalan dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
Modul 2 2-4
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
2.3. JARAK PANDANGAN
2.3.1. Jarak Pandangan Henti Minimum
Adalah jarak yang ditempuh pengemudi untuk menghentikan kendaraan yang
bergerak setelah melihat adanya rintangan pada lajur yang dilaluinya. Besarnya
Jarak pandangan henti minimum sangat tergantung pada kecepatan rencana
jalan.
Rumus Umum Jarak Pandangan Henti Minimum (Sukirman, 1994) adalah sebagai
berikut:
V2
d 0.278V.t (2.1)
254fm
dimana:
fm : koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah
memanjang jalan
V : kecepatan kendaraan, km/jam
t : waktu reaksi=2.5 detik
Untuk jalan dengan kelandaian, besarnya jarak pandang henti minimum adalah
sebagai berikut: (Sukirmaan, 1994)
V2
d 0.278V.t (2.2)
254(f L)
dimana:
L : besarnya landai jalan dalam desimal
+ : untuk pendakian
- : untuk penurunan
Besarnya jarak pandangan henti berdasarkan beberapa kecepatan rencana
ditunjukkan pada Tabel 2.3.
Modul 2 2-5
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 2.3. Jarak Pandangan Henti Minimum
Modul 2 2-6
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tahap Pertama
d1 1/3d2
2/3d2
Tahap Kedua
d1 d2 d3 d4
keterangan:
d1 : jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang
hendak menyiap dan membawa kendaraannya yang hendak
membelok ke lajur kanan.
d2 : Jarak yang ditempuh kendaraan yang menyiap selama berada pada
lajur sebelah kanan.
d3 : Jarak bebas yang harus disediakan antara kendaraan yang menyiap
dengan kendaraan yang berlawanan arah setelah gerakan menyiap
dilakukan.
d4 : Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah selama
2/3 dari waktu yang diperlukan oleh knedaraan yang menyiap
berada pada lajur sebelah kanan atau sama dengan 2/3 d 2.
Besarnya jarak menyiap standar adalah sebagai berikut:
d d1 d2 d3 d4 (2.3)
Modul 2 2-7
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
dimana:
at 1
d1 0.278t 1 V m (2.4)
2
d2 0.278Vt 2 (2.5)
d3 30 s.d 100m
(2.6)
d4 2/3 * d 2 (2.7)
dimana:
t1 =waktu reaksi yang besarnya tergantung pada kecepatan yang sesuai
dengan persamaan t1=2.12+0.026V
t2 =waktu dimana kendaraan yanng menyiap berada pada lajur kanan yang
dapat ditentukan dengan mempergunakan korelasi t2=6.56+0.048V.
m =perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yanng
disiap=15km/jam
V =kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dalam perhitungan dapat
dianggap sama dengan kecepatan rencana, km/jam
a =percepatan rata-rata yang besarnya tergantung pada kecepatan rata-rata
kendaraan yang menyiap yang dapat ditentukan dengan mempergunakan
korelasi a=2.052+0.0036V.
Dalam perencanaan seringkali kondisi jarak pandangan menyiap standar dibatasi
oleh kekurangan biaya, sehingga jarak pandangan menyiap yang digunakan
dapat memakai jarak pendangan menyiap minimum (dmin)
d min 2 / 3d 2 d3 d4 (2.8)
Modul 2 2-8
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 2.4. Jarak Pandangan Menyiap Minimum
Modul 2 2-9
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
MODUL 3
3.1. UMUM
Alinemen horisontal adalah proyeksi dari sumbu jalan pada bidang yang
horisontal (plan/denah). Pada alinemen horisontal terdiri dari garis lurus dan garis
lengkung. Untuk garis lengkung terdiri dari busur peralihan dan busur lingkaran atau
busur peralihan saja.
Pada alinemen horisontal terdapat dua jenis gaya yang bekerja, yaitu gaya
sentripetal dan sentrifugal. Berdasarkan arah gaya, arah gaya sentripetal menuju ke
arah pusat lingkaran sedangkan gaya sentrifugal ke arah luar (menjauhi titik pusat
lingkaran) atau terlempar ke luar. Pada alinemen horisontal, gaya yang
diperhitungkan adalah gaya sentrifugal.
Modul 3 3-1
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gaya sentrifugal (F) =m.a = G/g . a = G/g . V2/R ( 3.1 )
dimana :
G = berat kendaraan, kg
= V2/R
V
R V2 G V2
F m
R g R
Modul 3 3-2
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
3.2.2. Gaya Gesek Melintang Antara Roda Kendaraan dengan Permukaan
Perkerasan Jalan
Gaya gesek melintang, Fs adalah gaya gesek arah melintang permukaan jalan
yang ditimbulkan oleh roda (ban) kendaraan dengan permukaan jalan. Dalam
perencanaan alinemen horisontal faktor gaya gesek yang digunakan dalam
perencanaan adalah koefisien gesekan melintang. Koefisien ini diilustrasikan sebagai
perbandingan antara gaya gesek melintang dengan gaya normal yang berkerja.
Modul 3 3-3
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 3.2. Hubungan koefisien gesekan melintang dengan kecepatan
rencana kendaraan (kecepatan tinggi)
Modul 3 3-4
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 3.3. Hubungan koefisien gesekan melintang dengan kecepatan
rencana kendaraan (kecepatan rendah)
Modul 3 3-5
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 3.4. Koefisien gesekan melintang maksimum desain
Modul 3 3-6
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
MODUL 4
KEMIRINGAN MELINTANG JALAN (SUPER-ELEVASI)
Seperti yang telah dijelaskan pada Modul 1, bahwa pada kendaraan yang
melintasi alinemen horisontal perlu andanya gaya-gaya yang dapat mengimbangi
gaya sentrifugal supaya kendaraan tidak terlempar keluar lintasan. Sebagai ilustrasi
gaya-gaya yang bekerja pada lengkung horisontal, seperti halnya pada olah raga
”Lontar Martil atau Lempar Cakram” (Gambar 4.1). Pada olah raga tersebut nilai
yang terbaik adalah lemparan yang terjauh dari titik lontar. Cara kerja olah raga
tersebut adalah seorang atlit harus melempar martil yang dilengkapi tali dengan cara
memutar martil tersebut dengan sumbu putar pada atlit tersebut. Semakin cepat
memutarnya (berarti kecepatan putar besar) maka martil atau cakram yang
terlempar makin jauh, sebaliknya jika kecepatan putarnya rendah, maka martil yang
terlempar juga tidak jauh. Pada saat martil diputar (sebelum dilepas), martil tersebut
tidak terlempar, namun setelah martil dilepas maka martil akan terlempar keluar.
Pada ilustrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa martil tersebut tidak akan terlempar
selama tali yang dipegang tidak dilepas, berarti ada keseimbangan gaya pada
peristiwa tersebut.
Modul 4 4-1
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 4.1. Lontar Martil dan Lempar Cakram
V2 G V2
F m
R g R
Fs
G
Fs = f . N ;N=G
=f.G
G V2
Fs
g R
Modul 4 4-2
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
G V2 V2
f G f
g R g R
V2
f (4.1)
127 R
dimana :
G V2
cos
g R
G sin G V2
G g R
G V2
G sin cos
g R
sin G V2 sin V2 V2
G tg
cos g R cos g R g R
jika tg = e, maka :
V2 V2
e e (4.2)
g R 127 R
dimana :
Modul 4 4-3
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
3. Gaya sentrifugal diimbangi dengan gaya gesek dan kemiringan melintang jalan.
G V2
cos
g R
G V2
Fs g R
G sin G V2
sin
G g R
G cos
2
G V
G sin Fs cos ; Fs = f . N = f . G
g R
G V2 G V2
G sin f G cos sin cos dibagi cos
g R g R
G V2 G V2
G tg f G tg dibagi G
g R g R
V2 V2
tg f 1 tg tg =e
g R g R
V2 V2
e f 1 e
g R g R
V2 V2
e f e f e.f kecil sekali (= 0), maka :
g R g R
V2
e f
g R
V2
e f (4.3)
127 R
Modul 4 4-4
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
4.2. NILAI KEMIRINGAN MELINTANG JALAN (SUPER-ELEVASI, e)
25 m 25
D 360 0
2 R
1432.39
D (4.4)
R
R R
dimana :
Do D = derajat lengkung, o
R = jari-jari lengkung, m
Pada Persamaan 2.4 terlihat bahwa besarnya jari-jari dan derajat lengkung adalah
berbanding terbalik.
Berdasarkan Persamaan 2.3, R minimum akan terjadi pada kondisi e maksimum dan
f maksimum. Sedangkan pada Persamaan 4.4 terlihat bahwa besarnya jari-jari dan
derajat lengkung adalah berbanding terbalik. Sehingga rumusan matematisnya
adalah sebagai berikut :
V2 V2
e f R
127 R 127 e f
V2
Rmin (4.5)
127 emaks f maks
1432.39
karena D maka :
R
Modul 4 4-5
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Distribusi nilai super-elevasi e dan koefisien gesek f pada alinemen
horisontal.
Terdapat 5 metode distribusi nilai e dan f pada alinemen horisontal seperti yang
disajikan pada Gambar 4.3 (ASSHTO 2004). Penjelasan ke lima metode tersebut
adalah :
1. Metode ke 1
Pada metode ini, hubungan antara nilai e dan f berbanding lurus baik pada
kecepatan rencana maupun pada kecepatan aktual (80% - 90% kecepatan
rencana). Sehingga bisa dikatakan metode ini merupakan metode yang ideal.
Akan tetapi, metode ini membutuhkan kecepatan yang konstan pada saat
melintasi alinemen horisontal. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
umumnya pengemudi akan mengalami kesulitan dalam mempertahankan
kecepatan yang konstan terutama pada lalu lintas yang padat. Sehingga metode
ini akan sulit untuk diterapkan di lapangan.
2. Metode ke 2
Pada metode ini, prisnsip kerjanya adalah gaya gesef f akan bekerja terlebih
dahulu sampai dengan f maksimum. Setelah tercapai f maksimum baru kemudian
super-elevasi e akan bekerja untuk mengimbangan gaya sentrifugal. Metode ini
baik digunakan untuk jalan dengan kecepatan rendah dan jalan-jalan perkotaan
yang relatif tidak membutuhkan super-elevasi besar.
3. Metode ke 3
4. Metode ke 4
Metode ini sebenarnya sama dengan metode ke 3, hanya ada sedikit perubahan
konsep kerja koefisien gesek, dimana perubahan tersebut adalah untuk
mengantisipasi adanya koefisian gesek yang negatif pada kecepatan aktual
Modul 4 4-6
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
seperti yang terlihat pada Gambar 4.3. Metode ini biasanya digunakan pada
alinemen horisontal dengan sudut tikungan yang kecil.
Modul 4 4-7
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
5. Metode ke 5
e e f f D (4.7)
D
e f emaks f maks (4.8)
Dmaks
1432.39
D
R
2
D
f1 Mo D tg 1 D < Dp (4.11)
Dp
2
Dmaks D
f2 Mo h D Dp tg 2 D > Dp (4.12)
Dmaks D p
tg tg
Mo Dp Dmaks Dp 2 1
(4.13)
2 Dmaks
181913.53 emaks
Dp 2
VR
VR 80 % s / d 90 % VD
Modul 4 4-8
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
h
tg 1 (4.14)
Dp
f maks h
tg 2 (4.15)
Dmaks D p
2
VD
h emaks 2
emaks (4.16)
VR
Jika diketahui :
Perhitungan :
e e f f D
e f ??????
D
e f emaks f maks ……………….. ?????
Dmaks
= - 0.00065 * 60 + 0.192
= 0.153
1432.39
D
R
1432.39
D 12.03689
119
Modul 4 4-9
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
181913,53 0.10 0.153
Dmaks 12.78448
60 2
12.03689
e f 0.10 0.153 0.238205
12.78448
181913.53 emaks
Dp 2
VR
181913.53 0.10
Dp 2
6.993984 (D = 12.03689) > (Dp= 6.993984)
85 % 60
2
Dmaks D
f2 Mo h D Dp tg 2 f(D)
Dmaks D p
2
VD
h emaks 2
emaks
VR
60 2
h 0.10 2
0.10 0.038408
0.85 % 60
h 0.038408
tg 1 0.005492
Dp 6.993984
tg 2 tg 1
Mo Dp Dmaks Dp
2 Dmaks
0.01979 0.005492
Mo 6.993984 12.78448 6.993984 0.022647
2 12.78448
2
12.78448 12.03689
f2 0.022647 0.038408 12.03689 6.993984 0.01979
12.78448 6.993984
= 0.138583
Modul 4 4-10
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Jadi :
e e f f D
Besarnya nilai super-elevasi jalan di Indonesia baik untuk luar kota maupun
dalam kota bervariasi yaitu 2%, 4%, 6%, 8% dan 10% (Tata cara perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota dan Jalan Perkotaan, Departemen PU, Ditjen Bina Marga,
1997, 1992). Namun demikian, nilai e maksimum menurut Bina Marga untuk jalan
dalam kota adalah 8% dan untuk jalan luar kota adalah 10%. Sedangkan menurut A
Policy on Geometric Design of Highways and Streets, AASHTO, 2004 nilai e
maksimum untuk semua jenis jalan adalah 4%, 6%, 8%, 10% dan 12%. Besarnya
nilai super-elevasi, e dapat dilihat pada Tabel 4.1, sedangakn ilustrasi tentang
diagram superelevasi dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Modul 4 4-11
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 4.1. Lanjutan
Modul 4 4-12
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 4.1. Lanjutan
Modul 4 4-13
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 4.3. Ilustrasi diagram superelevasi dan potongan melintang jalan
Modul 4 4-14
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 4.3. Ilustrasi diagram superelevasi dan potongan melintang jalan
(Lanjutan)
Modul 4 4-15
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
MODUL 5
ALINEMEN HORISONTAL
Sesuai dengan nama peralihan, fungsi dari lengkung spiral adalah untuk
mengantisipasi perubahan alinemen jalan dari betuk lurus dengan R tak terhingga
sampai pada bentuk lengkung dengan R tetap atau untuk menuntun kendaraan dari
posisi kemiringan normal (jalan lurus) ke kemiringan alinemen horisontal (tikungan)
sebagaimana fenomena keimbangan gaya yang diakibatkan adanya gaya sentrifugal.
Perhitungan lengkung peralihan, Ls adalah sebagai berikut :
Vd t
Ls (5.1)
3.6
dimana :
Ls e en B mmaks (5.2)
dimana :
Modul 5 5-1
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
e = superelevasi, %
V3 Ve
Ls 0.022 2.727 (5.3)
RC C
dimana :
R = jari-jari tikungan, m
e = superelevasi, %
emaks en Vd
Ls (5.4)
3.6 re
dimana :
Modul 5 5-2
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Emaks = superelevasi maksimum, %
Contoh perhitungan :
Jika diketahui :
Vd t
Ls ; t = 3 detik
3.6
60 3
Ls 50 meter
3.6
Ls e en B mmaks
Modul 5 5-3
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Cara 3, berdasarkan rumus Modifikasi Shortt
V3 Ve
Ls 0.022 2.727
RC C
60 3 60 0.10
Ls 0.022 2.727 58.93 meter
119 0.4 0.4
emaks en Vd
Ls
3.6 re
emaks = 10%
0.10 0.02 60
Ls 38.10 meter
3.6 0.035
Jadi, dari ke empat cara tersebut, panjang lengkung peralihan rencana adalah 58.93
meter (yang terbesar diantara ke empat cara tersebut).
Panjang lengkung peralihan Ls tersebut adalah untuk jalan 2 lajur 2 arah, sedangkan
panjang Ls untuk jalan yang lebih dari 2 lajur 2 arah adalah :
Bersarnya panjang lengkung peralihan, Ls dapat dilihat pada Tabel 5.1, sedangkan
ilustrasi lengkung peralihan pada tikungan dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Modul 5 5-4
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 5.1. Nilai Superelevasi, e dan Panjang Lengkung Peralihan, Ls
Modul 5 5-5
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 5.1. Lanjutan
Modul 5 5-6
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 5.1. Ilustrasi Lengkung Peralihan Pada Tikungan
Lengkung full circle pada umumnya hanya dapat digunakan jika jari-jari tikungan
R yang direncanakan besar dan nilai superelevasi e lebih kecil dari 3%. Bentuk
lengkung dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Modul 5 5-7
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
TC PI
E
TC Lc CT
R R
1
Tc R tg (5.5)
2
R
E R (5.6)
1
cos
2
Lc R (5.7)
180
dimana :
Modul 5 5-8
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
circle sering disebut panjang lengkung peralihan fiktif. Bina Marga menetapkan
3/4 Ls berada pada bagian lurus sisinya pada bagian lengkung. Sedangkan
AASHTO menetapkan 2/3 Ls pada bagian lurus sisinya pada bagian lengkung.
Bentuk diagram superelevasi Full Circle dengan as jalan sebagai sumbu putar
dapat dilihat pada Gambar 5.3.
BINA MARGA
en = 2% en = 2%
e
TC TC
SC CS
3/4 Ls 1/4 Ls 1/4 Ls 3/4 Ls
Lc
a. Bina Marga
AASHTO
en = 2% en = 2%
e
TC TC
SC CS
2/3 Ls 1/3 Ls 1/3 Ls 2/3 Ls
Lc
b. AASHTO
Contoh perhitungan :
Modul 5 5-9
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Superelevasi normal, en = 2%
Jawaban :
Vd = 60 km/jam
R = 819 m
Ls = 50 m
1
> Tc R tg
2
1
Tc 819 tg 15 107.82 meter
2
R
> E R
1
cos
2
819
E 819 7.07 meter
1
cos 15
2
> Lc R
180
15
Lc 819 214.41 meter
180
Modul 5 5-10
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
TC=107.82 m PI
E=7.07 m
TC Lc=214.41 m CT
R=819 m R=819 m
BINA MARGA
en = 2% en = 2%
e
TC TC
SC CS
3/4 Ls 1/4 Ls 1/4 Ls 3/4 Ls
37.50 12.50 Lc = 214.41 m 12.50 37.50
Modul 5 5-11
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
AASHTO
en = 2% en = 2%
e
TC TC
SC CS
2/3 Ls 1/3 Ls 1/3 Ls 2/3 Ls
33.33 16.67 Lc = 214.41 m 16.67 33.33
Lengkung spiral – circle – spiral pada umumnya digunakan jika nilai superelevasi
e ≥ 3% dan panjang Ls > 20 meter. Bentuk lengkung dapat dilihat pada
Gambar 3.3.
Ts
E
Xs Ys
p SC CS
Lc
k
s s
Ls R R Ls
ST
Ts
90 Ls
s (5.8)
R
Modul 5 5-12
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
2 s R
Lc (5.9)
180
Ls 2
p R 1 cos s (5.10)
6R
Ls 3
k Ls R sin s (5.11)
40 R 2
1
Ts R p tg k (5.12)
2
R p
E R (5.13)
1
cos
2
Ls 2
Xs Ls 1 (5.14)
40 R 2
Ls 2
Ys (5.15)
6 R
dimana :
Modul 5 5-13
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Bentuk diagram super-elevasi dapat dilihat pada Gambar 5.5.
BINA MARGA
2% 2%
e
TS SC CS ST
Ls Lc Ls
a. Bina Marga
AASHTO
2% 2%
e
TS SC CS ST
Ls Lc Ls
b. AASHTO
Contoh perhitungan :
Superelevasi normal, en = 2%
Modul 5 5-14
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Jawaban :
Vd = 60 km/jam
R = 318 m
Ls = 50 m
e = 0.059
90 Ls
> s
R
90 50
s 4.504 meter
318
2 s R
> Lc
180
30 2 4.504 318
Lc 116.504 meter
180
karena e lebih besar dari 3% dan Lc lebih besar dari 25 meter, maka
disarankan menggunakan lengkung spiral – circle – Spiral.
Ls 2
> p R 1 cos s
6R
50 2
p 318 1 cos 4.504 0.328 meter
6 318
Ls 3
> k Ls R sin s
40 R 2
50 3
k 50 318 sin 4.504 24.995 meter
40 318 2
1
> Ts R p tg k
2
1
Ts 318 0.328 tg 30 24.995 110.291 meter
2
Modul 5 5-15
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
R p
> E R
1
cos
2
318 0.328
E 318 11.557 meter
1
cos 30
2
Ls 2
> Xs Ls 1
40 R 2
50 2
Xs 50 1 49.969 meter
40 318 2
Ls 2
> Ys
6 R
50 2
Ys 1.310 meter
6 318
Ts=110.291m =30o
Ys=1.310m E=11.557m
Xs=49.969m p=0.328m
SC CS
k=24.995 Lc=116.504
s m s
m
Ls=50m R=318m R=318m Ls=50m
ST
Ts
Modul 5 5-16
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
BINA MARGA
e=5.9%
2% 2%
e=5.9%
TS SC CS ST
Ls = 50 m Lc = 116.504 m Ls = 50 m
AASHTO
e=5.9%
2% 2%
e=5.9%
TS SC CS ST
Ls = 50 m Lc = 116.504 m Ls = 50 m
Ts
E
p SC=CS
k
s s
Ls R R Ls
ST
TS
Modul 5 5-17
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Parameter lengkung spiral – spiral :
1
s (5.16)
2
Ls 2
p R 1 cos s (5.17)
6R
Ls 3
k Ls R sin s (5.18)
40 R 2
Ts R p tg s k (5.19)
R p
E R (5.20)
cos s
Besarnya Ls pada tipe lengkung ini adalah didasarkan pada landai relatif
minimum yang disyaratkan (Cara 2). Bentuk matematisnya seperti pada
persamaan 3.2, adalah :
dimana :
Modul 5 5-18
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Contoh perhitungan :
Superelevasi normal, en = 2%
Jawaban :
Vd = 60 km/jam
R = 205 m
Ls = 50 m
e = 0.080
90 Ls
> s
R
90 50
s 6.987 meter
205
2 s R
> Lc
180
20 2 6.987 205
Lc 21.559 meter
180
Modul 5 5-19
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
karena e lebih besar dari 3% dan Lc lebih kecil dari 25 meter, maka
disarankan menggunakan lengkung spiral – Spiral. Sehingga perhitungan
parameter lengkung seperti yang disajikan dibawah ini.
1
> s
2
1
s 20 10 o
2
90 Ls R s
> s Ls
R 90
205 10
Ls 71.559 meter cek terhadap :
90
Vd t
Ls ; t = 3 detik
3.6
60 3
Ls 50 meter
3.6
V3 Ve
Ls 0.022 2.727
RC C
60 3 60 0.08
Ls 0.022 2.727 67.108 meter
119 0.4 0.4
Modul 5 5-20
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Cara 4, berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian
emaks en Vd
Ls
3.6 re
emaks = 10%
0.10 0.02 60
Ls 38.10 meter
3.6 0.035
Ls 2
> p R 1 cos s
6R
71.559 2
p 205 1 cos 10 1.049 meter
6 205
Ls 3
> k Ls R sin s
40 R 2
71.559 3
k 71.559 205 sin 10 71.341 meter
40 205 2
1
> Ts R p tg k
2
1
Ts 205 1.049 tg 20 71.341 107.673 meter
2
R p
> E R
1
cos
2
205 1.049
E 205 4.227 meter
1
cos 20
2
Modul 5 5-21
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Ts=107.673m
E=4.227m
p=1.049m SC=CS
k=71.341m
s s
R=205m R=205m
Ls=71.559m Ls=71.559m
ST
TS
BINA MARGA
e = 8%
en = 2% en = 2%
e = 8%
TS SC=CS ST
Ls = 71.559 m Ls = 71.559 m
a. Bina Marga
AASHTO
BINA MARGA
e = 8%
en = 2% en = 2%
e = 8%
TS SC=CS ST
Ls = 71.559 m Ls = 71.559 m
a. AASHTO
Modul 5 5-22
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
5.3. JARAK KEBEBASAN SAMPING
Garis Pandang E
Penghalang
Pandangan
R R' R
28.65 S
E R' 1 cos
R'
dimana :
E = kebebasan samping, m
R = jari-jari tikungan, m
S = jarak pandangan, m
Modul 5 5-23
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
2. Jika jarak pandangan, S lebih besar daripada panjang total lengkung, Lt
Lajur Luar
Lt Lajur Dalam
S
E
Garis Pandang R'
R R
Penghalang
Pandangan
28.65 S S Lt 28.65 S
E R' 1 cos sin
R' 2 R'
Seringkali dirasakan bagi pengguna jalan yang melalui sebuah tikungan akan
mengalami kesulitan dalam mempertahankan lintasannya. Hal ini dikarenakan :
1. Pada saat kendaraan membelok seringkali lintasan roda belakang keluar lajur
yang disediakan (off tracking)
Wc Wn (5.21)
Wc N U C N 1 Fa Z (5.22)
Modul 5 5-24
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
U R R2 L2
L
U R X
U X R2 L2
U R R2 L2
U R R2 L2 (5.23)
R X X
Fa R2 A 2L A R
L
A
Fa
Fa X R
2
U X L A
2
R2 L2
X L2 2 LA A2 R2 L2
X R2 A 2L A
Fa R2 A 2L A R (5.24)
R X X
X
Modul 5 5-25
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
V
Z (5.25)
R
dimana :
N = jumlah lajur
C = clearance
A = front overhang
1. Tikungan gabungan searah, adalah gabungan dua atau lebih tikungan dengan
arah putaran yang sama, tetapi dengan jari-jari yang berbeda.
Modul 5 5-26
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Persyaratan untuk gabungan alinemen horinsontal antara lain (Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, DPU, Ditjen Bina Marga 1997) :
R1 2
, tikungan gabungan searah harus dihindari
R2 3
R1 2
, tikungan gabungan harus dilengkapi bagian lurus atau
R2 3
clothoide sepanjang minimum 20 meter
2. Setiap likungan gabungan balik harus dilengkapi dengan bagian lurus diantara
kedua tikungan tersebut sepanjang minimum 20 meter.
Modul 5 5-27
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
5.6. STASIONING
Pada perencanaan jalan raya, stasioning (lebih dikenal dengan sebutan STA)
dibutuhkan untuk mengetahui letak parameter-parameter alinemen horisontal pada
trase jalan terhadap titik acuan trase. Penentuan STA untuk parameter lengkung
umumnya tergantung pada titik acuan yang telah ditentukan, misalnya awal dari
proyek jalan. Perhitungan STA untuk masing-masing parameter lengkung adalah
seperti pada contoh berikut.
Ts=110.291m =30o
Ys=1.310m E=11.557m
Xs=49.969m p=0.328m
SC CS
k=24.995 Lc=116.504
s m s
m
Ls=50m R=318m R=318m Ls=50m
ST
Ts
Pada contoh gambar di atas, diasumsikan bahwa titik awal proyek adalah tepat pada
titik TS, jadi STA untuk masing-masing parameter lengkung diatas adalah :
= 0 + 050
= 0 + 166.5 0 + 167
= 0 + 217
Modul 5 5-28
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
MODUL 6
ALINEMEN VERTIKAL
Alinyemen vertikal atau biasa juga disebut penampang melintang jalan didefinisikan
sebagai perpotongan antara potongan bidang vertikal dengan badan jalan arah
memanjang (Sukirman, 1994).
Perencanaan alinemen vertikal berkaitan erat dengan besarnya volume galian dan
timbunan, oleh karena itu perencanaannya juga terkait dengan besarnya biaya
konstruksi yang akan terjadi. Sebagai contoh, jalan yang cenderung mengikuti muka
tanah asli akan menghasilkan volume galian dan timbunan yang relatif kecil sehingga
mengakibatkan biaya yang ditimbulkan menjadi relatif murah.
KELANDAIAN JALAN
Yang disebut kelandaian selalu dilihat dari kiri ke kanan bidang gambar. Agar lebih jelas,
berikut ini adalah ilustrasi penentuan kelandaian jalan.
Modul 6 6-1
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Kelandaian Positif (+)
X atau Y
X atau Y
Z
Landai Minimum
Kelandaian jalan merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
alinemen vertikal. Kelandaian yang bagus bagi kendaraan tentunya adalah kelandaian
yang tidak menimbulkan kesulitan dalam mengoperasikan kendaraan yaitu kelandaian
0% (datar). Namun, untuk keperluan drainase justru kelandaian yang tidak datar-lah
yang lebih disukai. Beberapa panduan yang bisa diikuti dalam perencanaan kelandaian
adalah sebagai berikut:
Untuk jalan-jalan di atas timbunan yang tidak memiliki kereb dan kemiringan
melintang jalan sudah memadai untuk mengalirkan air, maka kelandaian “datar”
sangat dianjurkan.
Untuk jalan-jalan di atas timbunan dan berada pada medan datar serta memiliki
kereb, maka kelandaian 0.15% dianjurkan untuk dipakai guna mengalirkan air
menuju saluran samping atau inlet.
Untuk jalan-jalan di atas galian dan memiliki kereb dianjurkan untuk
menggunakan kelandaian minimum sebesar 0.3%-0.5%.
Landai Maksimum
Selain memiliki batasan minimum, kelandaian juga memiliki batasan maksimum yang
diijinkan. Hal ini terkait dengan masalah pengoperasian kendaraan, terutama
kendaraan-kendaraan berat seperti truk. Pengaruh kelandaian terhadap pengoperasian
kendaraan dapat berupa berkurangnya kecepatan kendaraan pada tingkat putaran
mesin yang sama atau mulai digunakannya transmisi rendah (gigi rendah). Secara
praktis, suatu nilai kelandaian masih diperkenankan bila kelandaian tersebut
Modul 6 6-2
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
mengakibatkan kecepatan kendaraan lebih besar dari setengah nilai kecepatan rencana.
Secara detil, batasan kelandaian maksimum menurut Bina Marga dan AASHTO
ditunjukkan pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Kelandaian Jalan
Jalan Luar Kota
Jalan Arteri Luar Kota (AASHTO’90)
Kecepatan (Bina Marga)
Rencan Kelandaian Kelandaian
(km/j) Datar Perbukitan Pegunungan Maks Maks Mutlak
Standar (%) (%)
40 7 11
50 6 10
64 5 6 8
60 5 9
80 4 5 7 4 8
96 3 4 6
113 3 4 5
Modul 6 6-3
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Penentuan panjang kritis berdasarkan pada pengurangan kecepatan kendaraan yang
mencapai 30-50% kecepatan rencana dan kendaraan tersebut berjalan selama 1 menit.
i<imax standar
i<imax standar
Panjang kritis
Lajur Pendakian
Pada jalan-jalan dengan kelandaian yang dilewati volume kendaraan yang cukup tinggi
termasuk jenis kendaraan truk, maka pada jarak tertentu diperlukan lajur pendakian.
Lajur pendakian dibuat untuk menghindari terjebaknya kendaraan yang lebih cepat di
belakang kendaraan berat yang melaju lebih lambat.
LENGKUNG VERTIKAL
Bentuk Kurva yang mungkin untuk digunakan adalah sebagai berikut:
1. Circle (lingkaran)
2. Parabola
Namun demikian, bentuk parabola-lah yang direkomendasikan oleh Bina Marga untuk
dipakai di Indonesia.
Jika dilihat dari bentuknya, lengkung vertikal dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
1. Lengkung Vertikal Cembung
2. Lengkung Vertikal Cekung
Modul 6 6-4
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Kemungkinan bentuk lengkung vertikal parabola:
No g1 g2 Ev Bentuk Gambar
1 (-) (+) (-) Cekung Ev=(-)
Modul 6 6-5
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
8 (-) (-) (+) Cembung
Contoh:
Dua pertemuan gradient dengan kondisi sebagai berikut:
a. g1=0%, g2=(-)1%
b. g1=(-)1%, g2=(+)2%
c. g1=(-)1%, g2=(-)2%
Modul 6 6-6
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Manakah yang menghasilkan lengkung vertikal cekung?
Solusi:
a. 0-(-1)=(+1) cembung
b. (-1)-(+2)=(-3) cekung
c. (-1)-(-2)=(+1) cembung
Jawab: b.
A’ PTV
PPV B
y
P
Y
PLV
A
x
0.5L
L
Modul 6 6-7
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Formula Lengkung Vertikal diturunkan dengan asumsi sebagai berikut:
Panjang lengkung vertikal bukan merupakan panjang busur, tapi panjang
proyeksi busur terhadap bidang datar.
d 2Y
Perubahan garis singgung adalah konstan sebesar r (konstan).
dx 2
A=g1-g2 (6.1)
d 2Y
r (konstan).
dx 2
dY dY
rx C x 0 g1 C g1
dx dx
dY g2 g1
x L g2 rL g1 g2 r
dx L
dY (g 2-g1 )
X g1
dx L
(g 2-g1 ) X 2
Y g1X C'
L 2
Karena pada salah satu titik X=0 menghasilkan Y=0), maka C’=0, sehingga rumus di
atas akan menjadi:
(g 2-g1 ) X 2
Y g1X (6.2)
L 2
Modul 6 6-8
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
(g 2-g1 ) X 2
Y Y y
L 2
(g1 g 2 ) 2 A
y X y X 2 , jika A dinyatakan dalam persen
2L 200L
Contoh perhitungan:
Sta 0+260
Solusi:
A=g1-g2=(-5)-(-2)=(-3), (CEKUNG)
L=130m, Elevasi PLV=+80m
Persamaan umum lengkung:
A -3 3
y X2 X2 X2
200L 200 * 130 26000
Modul 6 6-9
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
a. Elevasi Sta 0+100
130-100m=30m
l
k
kedua;
Mencari Jarak vertikal antara k dan l dengan cara (y):
Modul 6 6-10
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
x=160-130=30m
3
y 302 0.104m , tanda (–) menunjukkan lengkung cekung.
26000
n
y
m
Perpanjangan
g1=(-)5%
Sama dengan Sta 0+160, Sta 0+220 juga berada di lengkung vertikal, sehingga
untuk mencari elevasi permukaan jalan juga dilakukan dengan 2 (dua) tahap,
pertama;
Mencari elevasi m, dengan menggunakan variable kemiringan dan jarak saja,
yaitu: El m=el. PLV-g1*(220-130)=80-0.05*90= +75.5m
kedua;
Mencari Jarak vertikal antara m dan n dengan cara (y):
x=220-130=90m
Modul 6 6-11
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
3
y 902 0.935m, tanda (–) menunjukkan lengkung cekung.
26000
PPV
g2
g1 E h2
h1
PLV
d1 d2
A A
y X2 y k.X 2 , dimana k
200L 200L
y k.X2 , (k konstanta)
y Ev Ev k(1/2) 2
y h1 h1 kd12
y h2 h2 kd 22
Modul 6 6-12
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Berapakah L?
h1 kd12 h2 kd 22
Ev 1 Ev 1
k L2 k L2
4 4
h1 4d12 h2 4d 22
Ev L2 Ev L2
h1L2 h 2L2
d1 d2
4Ev 4Ev
S d1 d2
h1L2 h 2L2
S
4Ev 4Ev
AL
Ev
800
200h1L 200h 2L
S
A A
100L
S 2h1 2h 2
A
100L 2
S2 2h1 2h 2
A
AS2
L 2
100 2h1 2h 2
Menurut Bina Marga, untuk desain berdasarkan Jarak Pandangan Henti, besarnya nilai
h1 diambil dari tinggi mata pengemudi yang terendah (terkritis) yaitu sebesar 120cm
dan besarnya nilai h2 diambil dari tinggi obyek penghalang yaitu sebesar 10cm.
Sedangkan jika desain berdasarkan Jarak Pandangan Menyiap, besarnya h 2 diambil
sebesar 120cm. Nilai ini sebenarnya bisa lebih besar lagi karena sebenarnya pengemudi
masih bisa melihat tinggi atap kendaraan yang akan didahului. Namun untuk keamanan
ditetapkan h2 sebesar 120cm.
Modul 6 6-13
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Jika JPH yang dipakai;
h1=120cm, h2=10cm, maka
AS2
L 2
100 2 * 120 2 * 10
AS2
L C 1AS2
399
Jika JPM yang dipakai;
h1=120cm, h2=120cm, maka
AS2
L 2
100 2 * 120 2 * 120
AS2
L C 1AS2 (6.4)
960
Nila C adalah konstanta yang nilainya tergantung pada asumsi nilai h 1 dan h2 serta Jarak
Pandang yang dipakai.
PPV
g1 g2
S
100h1/g1 L/2 100h2/g2
1 100h1 100h 2
S L
2 g1 g2
200h1 200h 2
L 2S
g1 g2
Modul 6 6-14
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Panjang Lengkung minimum jika dL/dg=0, sehingga:
h1 h2 h1 h2
0
g12 g22 g12 g22
h2
g2 g1
h1
Karena A merupakan jumlah aljabar g1+g2, maka:
A g1 g2
h2
A 1 g1
h1
A h1
g1
h1 h2
A h2
g2
h1 h2
Sehingga:
200h1 h1 h2 200h 2 h1 h2
L 2S
A h1 A h2
2
200 h1 h2
L 2S
A
Jika menggunakan JPH, asumsi-asumsi yang dipakai adalah sebagai berikut:
h1=120cm, h2=10cm, maka;
2
200 120 10
L 2S
A
399
L 2S
A
C'
L 2S
A
Jika menggunakan JPM, asumsi-asumsi yang dipakai adalah sebagai berikut:
h1=120cm, h2=12cm, maka;
2
200 120 120
L 2S
A
Modul 6 6-15
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
960
L 2S
A
C'
L 2S (6.5)
A
Selain syarat drainase, syarat lain yang harus diperhatikan dalam mendisain panjang
lengkung vertikal adalah syarat kenyamanan yang besarnya tergantung pada kecepatan
rencana. Lengkung vertikal cembung harus memenuhi syarat kenyamanan sebesar
minimal dapat ditempuh dalam 3 detik perjalanan dengan menggunakan kecepatan
rencana.
S B
1o B'
1o
60cm A/100
O V D D
L
Modul 6 6-16
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
A L
DB
100 2
2
S
D' B' DB
L
S2 A
D' B'
200L
tg 1o 0.0175
S2 A
0.60 S tg1o
200L
AS2
L (6.6)
120 3.50S
B'
1o
B
1o
60cm A/100
O V D D
L/2 S-L/2
A L
D' B' S
100 2
Modul 6 6-17
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Lengkung Vertikal Berdasarkan Jarak Pandangan Bebas di bawah Jembatan
(S<L)
2
S m AL
E
L E 800
2
S 800m
L AL
S2 L S2 A
L m
800m 800L
Jika C adalah jarak antara permukaan perkerasan dengan bagian terendah jembatan
(clearance jembatan), maka:
h1 h2
m C
2
S2A h1 h 2
C
800L 2
S2 A
L
800C 400(h1 h2 )
Dengan memberikan angka h1=1.8m, h2=0.5m dan C=5.5m, maka persamaan …
menjadi:
AS2
L (6.18)
3480
Modul 6 6-18
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Lengkung Vertikal Berdasarkan Jarak Pandangan Bebas di bawah Jembatan
(S>L)
Asumsi: titik PPV berada tepat berada di bawah jembatan.
S E m S 1 m
L 2E L 2 2E
AL
E
800
h1 h2
m C
2
800C 400 h1 h2
L 2S
A
Dengan memberikan angka h1=1.8m, h2=0.5m dan C=5.5m, maka persamaan tersebut
menjadi:
3480
L 2S (6.9)
A
Selain berdasarkan pada pertimbangan jarak pandang dan jarak penyinaran lampu,
persyaratan panjang lengkung vertikal cekung juga harus memenuhi bebrapa
persyaratan lain, yaitu:
Modul 6 6-19
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
1. Bentuk visual
Untuk mengurangi ketidaknyamanan pengemudi akibat adanya gaya sentrifugal dan
gravitasi, maka panjang lengkung vertikal cekung tidak boleh kurang dari nilai L berikut:
AV2
L (6.10)
380
dimana:
V= kecepatan rencana, km/jam
A= perbedaan aljabar landai
L= panjang lengkung vertikal cekung
2. Kenyamanan mengemudi
Untuk menghindari terlalu pendeknya panjang lengkung vertikal akibat perbedaan
kelandaian yang terlalu kecil, maka panjang lengkung vertikal cekung disyaratkan
minimal dapat ditempuh dalam 3 detik dengan menggunakan kecepatan rencana (> 3
detik perjalanan)
Alinemen Horisontal
Alinemen Vertikal
Modul 6 6-20
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
a. Sefase
Alinemen Horisontal
Alinemen Vertikal
b. Tidak Sefase
Akibat sefase dan tidaknya alinyemen horisontal dan vertikal ditunjukkan pada
Gambar6.6.
a. b.
c. d.
keterangan: a dan c akibat lengkung yang sefase
b dan d akibat lengkung yang tidak sefase
Modul 6 6-21
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Beberpa pedoman koordinasi Alinyemen Vertikal dan Horisontal dijelaskan pada uraian
berikut ini
1. Untuk alinyemen vertikal pada alinyemen horisontal yang lurus, sebaiknya dalam
perencanaan harus dihindarkan penurunan lokal yang kecil pada kelandaian, yang
sekiranya tidak akan panjang dan merata. Biasanya hal ini terjadi untuk
menyeimbangkan volume galian dan timbunan dan mengurangi jarak angkut material.
Yang terpilih
Alinyemen
Vertikal
Alinyemen
Horisontal
yang dipilih
Alinyemen
Vertikal
Modul 6 6-22
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
3. Punggungan pada kelandaian yang panjang setelah tikungan horisontal harus
dihindari.
Alinyemen
Horisontal punggungan
yang dipilih
punggungan
Alinyemen
Vertikal
4. Alinyemen horizontal lurus yang pendek di antara dua tikungan dan terletak pada
cembungan sebaiknya dihindari, hal ini menyebabkan terjadinya belokan pada
cembungan.
Tangent/Garis Lurus
Lengkung Horisontal
Alinyemen
Horisontal
Alinyemen
Vertikal
Modul 6 6-23
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
5. Kombinasi seperti ini akan memberikan penampilan yang buruk karena lengkung
horizontal akan tampak sebagai sudut yang tajam.
Alinyemen
Horisontal
Alinyemen
Vertikal
6. Akan timbul kesan jalan yang terputus karena pandangan pengemudi akan terhalang
cembungan.
Alinyemen
Horisontal
Garis pandangan
Alinyemen
Vertikal
Perspektif
Modul 6 6-24
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
7. Lengkung yang sefase antara vertical dan horizontal akan memberikan hasil yang
memuaskan.
Alinyemen
Horisontal
Puncak
Alinyemen
Vertikal
8. Lengkung yang sefase antara vertical dan horizontal akan memberikan hasil yang
memuaskan.
Alinyemen
Horisontal
Alinyemen
Vertikal cekungan
9. Lengkung horizontal yang memiliki sudut pusat kecil akan memiliki penampilan yang
menyenangkan.
Lengkung minimum
untuk kecepatan rencana
Alinyemen
Horisontal
Lengkung yang dikehendaki bagi
penampilan
Modul 6 6-25
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
10. Puncak-puncak yang sefase antara alinyemen horizontal dan vertikal akan
memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Alinyemen
Horisontal
Alinyemen
Vertikal
11. Puncak-puncak yang sefase dengan loncatan fase fase tunggal akan memberikan hasil
yang cukup memuaskan.
Alinyemen
Horisontal
Alinyemen
Vertikal
12. Koordinasi yang lemah yang ditandai dengan bergesernya alinyemen vertikal sejauh
setengah fase, sehingga puncak berada tepat di titik balik. Pada kasus ini super elevasi
akan terjadi pada kelandaian.
Alinyemen
Horisontal
Alinyemen
Vertikal
Modul 6 6-26
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
13. Alinyemen horizontal yang lurus dan relative terlalu panjang terhadap lengkung
horizontal sebaiknya dihindari,
Terlalu panjang
Alinyemen
Horisontal
proporsional
Alinyemen
Horisontal
14. Koordinasi yang baik juga dapat ditentukan dari jumalah perubahan pandangan yang
terjadi.
Pandangan
Pandangan
Modul 6 6-27
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
MODUL 7
Modul 7 7-1
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
- lapisan permukaan (surface course)
- lapisan pondasi atas (base course)
- lapisan pondasi bawah (sub base course)
- lapisan tanah dasar (subgrade)
Modul 7 7-2
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Bermacam-macam bahan alam/bahan setempat (CBR ≥ 50%, PI ≤ 4%) dapat
digunakan sebagai bahan lapis pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah
dan stabilitas tanah dengan semen atau kapur.
Modul 7 7-3
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
o Lapisan Tanah Dasar (Sub Grade Course)
Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya
baik, tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan atau tanah yang
distabilisasi dengan kapur atau bahan lainnya.
2500
error
2000
Volume Lalu Lintas
1500 error
Real
500 Design
Forecasting
0
2000 2005 2010 2015 2020 2025 2030 2035 2040
Tahun
UmurRencana
Rencana
Modul 7 7-4
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
7.4. LALU LINTAS HARIAN RATA-RATA (LHR)
Volume lalu lintas harian rata-rata ini merupakan jumlah kendaraan untuk
masing-masing jenisnya. Secara umum jenis kendaraan yang berpengaruh terhadap
tebal perkerasan dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
Truk atau kendaraan barang
Bus atau angkutan penumpang umum.
Mobil atau kendaraan pribadi.
Khusus untuk jenis kendaraan truk, masih dibagi menjadi beberapa type
berdasarkan konfigurasi beban sumbunya (lihat juga Tabel 7.4).
Data jumlah kendaraan tersebut dapat diketahui melalui survey traffic counting (survey
perhitungan jumlah kendaraan dengan menggunakan alat counter yang biasanya
dilakukan selama 24 jam).
Berdasarkan hasil survey tersebut, jumlah kendaraan dipisah berdasarkan
masing-masing jenis dan tipe kendaraan seperti tersebut di atas.
Data tersebut merupakan data kendaraan saat ini, padahal pada saat perencanaan
diperlukan jumlah kendaraan sampai umur rencana (lihat juga perhitungan Lintas
Ekivalen Akhir sub bab 7.5 point d.). Untuk memperkirakan jumlah kendaraan tersebut
dipakai perumusan pertumbuhan sebagai berikut:
F = P(1+i)n
Dimana:
F : jumlah kendaraan pada saat umur rencana
P : jumlah kendaraan saat ini
i : faktor pertumbuhan
n : umur rencana
Untuk memperkirakan faktor pertumbuhan jumlah kendaraan dapat digunakan
pendekatan sebagai berikut:
a. Pertumbuhan truk atau angkutan barang dapat didekati dengan angka
pertumbuhan ekonomi daerah (Product Domestic Regional Bruto – PDRB)
b. Pertumbuhan bus atau angkutan umum penumpang dapat didekati dengan angka
pertumbuhan penduduk
c. Pertumbuhan mobil penumpang dapat didekati dengan angka pertumbuhan
perkapita income (PDRB per kapita).
Secara skematis dapat digambarkan seperti pada Gambar 7.4 berikut.
Modul 7 7-5
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
250
200
F=P(1+i)n
Mobil pribadi
LHR (kendaraan) 150
100 Bus
i=PDRB/kapita
Truk
50 i=Penduduk
i=PDRB
0
2005 2007 2009 2011 2013 2015
Umur
TahunRencana
Rencana
Setelah diketahui jumlah kendaraan pada saat umur rencana tersebut kemudian
dihitung besar lintas kendaraan yang disesuaikan dengan beban standar (lihat juga
perhitungan LEA).
Modul 7 7-6
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.5. Alat Ukur CBR di Laboratorium
Jika digunakan CBR lapangan maka pengambilan contoh tanah dasar dilakukan
dengan tabung (undisturb), kemudian direndam (hal ini dilakukan karena pada kondisi
terendam sebagai simulasi kondisi hujan, tanah tersebut mempunyai daya dukung yang
paling rendah) dan diperiksa harga CBRnya. Dapat juga mengukur langsung di
lapangan pada saat musim hujan.
CBR laboratorium biasanya dipakai untuk perencanaan pembangunan jalan
baru. Sementara ini dianjurkan untuk memperkirakan daya dukung tanah dasar
berdasarkan pengukuran nilai CBR. Harga yang mewakili dari sejumlah harga CBR yang
dilaporkan, ditentukan sebagai berikut :
1) Ditentukan harga CBR terendah.
2) Ditentukan berapa banyak harga CBR yang sama dan lebih besar dari masing-
masing nilai CBR.
3) Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100 %, sedangkan jumlah lainnya
merupakan prosentase dari 100%.
4) Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan prosentase jumlah tadi.
5) Harga CBR yang mewakili untuk pembuatan jalan ialah yang didapat dari angka
prosentase 90% atau dari angka prosentase 75%.
Modul 7 7-7
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Contoh:
Bila diketahui hasil pengukuran CBR lapangan untuk tanah dasar adalah sebagai
berikut: 4%, 2%, 3%, 4%, 4%, 6%, 8% dan 4%. Hitung dengan cara grafis nilai
CBRsegmen-nya.
Penyelesaian:
1. Diurutkan dari yang terkecil: 2%, 3%, 4%, 4%, 4%, 4%, 6 % dan 8%
2. Langkah no. 2) dan no. 3) dibuat Tabel 7.1 berikut:
Tabel 7.1. Penentuan Nilai CBR segmen
3. Langkah no. 4) dan no. 5) dibuat grafik seperti tampak pada Gambar 7.6.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10 CBR segmen 2.9
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Latihan:
Bila diketahui nilai CBR jalan adalah sebagai berikut:
2%, 2%, 2%, 1%, 3%, 5%, 3%, 4%, 4%, 2%, 3%, 3%, 3% 4%, 2%, 3%, 3%, 1%,
3%, 2%
Tentukan CBR segmen dengan cara grafis.
Modul 7 7-8
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
7.6. ANGKA EKIVALEN BEBAN SUMBU (EKIVALEN FAKTOR KERUSAKAN)
Angka ekivalen beban sumbu adalah: angka yang menunjukkan jumlah lintasan
dari sumbu tunggal seberat 8.16 ton (beban standar) yang akan menyebabkan
kerusakan yang sama atau penurunan indeks permukaan yang sama apabila kendaraan
lewat satu kali.
Beban standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.7 berikut.
8.16 t ==18000
P=8.16 ton 18000 ponpon
33 cm
11 cm
Gambar 7.7. Beban Standar 8.16 t
Besar Ekivalen Beban Sumbu Standar ini dapat dirumuskan seperti Tabel 7.2.
Modul 7 7-9
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Contoh:
Diketahui beban sumbu as kendaraan adalah 10 ton. Hitung ekivalen beban standarnya
bila diketahui :
a. As kendaraan merupakan sumbu tunggal
b. As kendaraan merupakan sumbu tandem
Penyelesaian:
a. Sumbu Tunggal
P = 10 ton
4 4
P 5
E= = = 2.25
8.16 8.16
Angka ini berarti kerusakan jalan yang terjadi akibat 1 kali beban sumbu
tunggal ini lewat sama dengan kerusakan jalan yang terjadi akibat 2.25 kali
beban sumbu standar lewat.
b. Sumbu Tandem
P = 10 ton
4
P
E =0.086.
8.16
4
5
= 0.086 = 0.19
8.16
Angka ini berarti kerusakan jalan yang terjadi akibat 1 kali beban sumbu
ganda ini lewat sama dengan kerusakan jalan yang terjadi akibat 0.19 kali beban
sumbu standar lewat atau dengan kata lain kerusakan jalan yang terjadi akibat
5.26 kali beban sumbu ganda ini lewat sama dengan kerusakan jalan yang
terjadi akibat 1 kali beban sumbu standar lewat.
Dari contoh soal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konfigurasi ban tunggal atau
ganda akan sangat mempengaruhi kerusakan jalan. Konfigurasi sumbu tunggal
mempunyai pengaruh yang sangat besar pada kerusakan jalan dibandingkan
dengan sumbu ganda.
Berikut akan diberikan nilai ekivalen faktor kerusakan (EDF) untuk beberapa besar
beban sumbu dan jenis kendaraan seperti tampak pada Tabel 7.3 dan Tabel 7.4.
Modul 7 7-10
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 7.3. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda
1.000 2.205 0,0002 -
2.000 4.409 0,0036 0,0003
3.000 6.614 0,0183 0,0016
4.000 8.818 0,0577 0,0050
5.000 11.023 0,1410 0,0121
6.000 13.228 0,2923 0,0251
7.000 15.432 0,5415 0,0466
8.000 17.637 0,9238 0,0794
8.160 18.000 1,0000 0,0860
9.000 19.841 1,4798 0,1273
10.000 22.046 2,2555 0,1940
11.000 24.251 3,3022 0,2840
12.000 26.455 4,6770 0,4022
13.000 28.660 6,4419 0,5540
14.000 30.864 8,6647 0,7452
15.000 33.069 11,4184 0,9820
16.000 35.276 14,7815 1,2712
Sumber : Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen Bina Marga
Tabel 7.4. Komposisi Roda dan Unit Ekivalen 8,16 ton Beban As Tunggal
Modul 7 7-11
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
7.7. PERHITUNGAN TEBAL PERKERASAN LENTUR DENGAN METODA
ANALISA KOMPONEN
Ada 2 macam metode yang digunakan untuk menentukan tebal perkerasan
jalan yaitu metode AASTHO dan metode Bina Marga. metode Bina Marga dipilih
karena metode ini telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
Perencanaan tebal perkerasan lentur menggunakan metode Bina Marga
berdasarkan “Petunjuk Perencanaan Lentur Jalan Raya dengan Metode Analisa
Komponen“. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, beberapa parameter yang
berpengaruh dalam penentuan tebal perkerasan metode Bina Marga adalah lalu
lintas harian rata-rata, angka ekivalen, lintas ekivalen permukaan, lintas
ekivalen akhir, lintas ekivalen tengah, lintas ekivalen rencana, daya dukung
tanah dasar, indeks permukaan, faktor regional, indeks tebal perkerasan dan
tebal perkerasan.
Dimana:
J = Jenis kendaraan
E = Angka Ekivalen tiap jenis kendaraan
C = Koefisien Distribusi Kendaraan (lihat Tabel 7.5)
Modul 7 7-12
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
b. Lintas Ekivalen Akhir
Lintas Ekivalen Akhir (LEA) adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata
dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton (18000 lb) pada jalur rencana yang
diduga terjadi pada akhir umur rencana. LEA dihitung dengan rumus :
n
LEA = LHR j (1+i)Umur rencana x Cj x Ej (7.2)
j 1
Modul 7 7-13
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.8. Korelasi DDT dan CBR
Sumber: Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen Bina Marga
Catatan : Hubungkan nilai CBR dengan garis mendatar ke sebelah kiri hingga diperoleh nilai DDT.
f. Indeks Permukaan
Indeks Permukaan (IP) ialah suatu angka yang digunakan untuk
menyatakan keratan/kehalusan serta kekokohan permukaan jalan bertalian
dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat.
Indeks Permukaan diperkenalkan oleh AASHTO yang diperoleh dari
pengamatan kondisi jalan, meliputi kerusakan-kerusakan seperti retak-retak,
alur-alur, lubang-lubang, lendutan pada lajur roda, kekasaran permukaan
dan lain sebagainya yang terjadi selama umur jalan tersebut.
Modul 7 7-14
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya ialah seperti yang tersebut
dibawah ini :
IP = 1,0 : menyatakan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga sangat
mengganggu lalu lintas kendaraan.
IP = 1,5 : tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan tidak
terputus).
IP = 2,0 : tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
Untuk menentukan nilai IP pada akhir umur rencana perlu dipertimbangkan
faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah Lalu Lintas Rencana
(LER) seperti dicantumkan pada Tabel 7.6.
Modul 7 7-15
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 7.7. Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IPo)
Jenis Lapis Perkerasan IPo Roughness (mm/km)
LASTON ≥4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,4 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATASBUM 2,9 – 2,5
BURAS 2,9 – 2,5
LATASIR 2,9 – 2,5
JALAN TANAH ≤ 2,4
JALAN KERIKIL ≤ 2,4
Sumber : Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen Bina Marga
Keterangan :
Laston (lapisan aspal beton) merupakan suatu lapisan pada konstruksi
jalan yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus, filler dan aspal
keras yang dicampur, dihampar dan dipadatkan dalam keadaan panas
pada suhu tertentu.
Lasbutag ( Lapisan Asbuton Campuran Dingin) adalah campuran yang
terdiri dari agregat kasar, agregat halus, asbuton, bahan peremaja
dan filler (bila diperlukan) yang dicampur dan dipadatkan secara
dingin.
HRA (Hot Rolled Asphalt) merupakan lapis penutup terdiri dari
campuran antara agregat bergradasi timpang, filler dan aspal keras
dengan perbandingan tertentu, yang dicampur dan dipadatkan dalam
keadaan panas pada suhu tertentu.
Burda (Laburan aspal dua lapis) merupakan lapis penutup yang
terdiri dari lapisan aspal ditaburi agregat yang dikerjakan dua kali
secara berurutan dengan tebal padat maksimum 3,5 cm.
Burtu (Lapisan aspal satu lapis) merupakan lapis penutup yang terdiri
dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat bergradasi
seragam, dengan tebal maksimum 2 cm.
Modul 7 7-16
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Lapen (Lapisan Penetrasi) merupakan suatu lapis perkerasan yang
terdiri dari agregat pokok dengan agregat pengunci bergradasi
terbuka dan seragam yang diikat oleh aspal keras dengan cara
disemprotkan di atasnya dan dipadatkan lapis demi lapis dan apabila
digunakan sebagai lapis permukaan perlu diberi laburan aspal dengan
batu penutup.
Latasbum (Lapis tipis asbuton murni) merupakan lapis penutup yang
terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan
perbandingan tertentu yang dicampur secara dingin dengan tebal
padat maksimum 1 cm.
Buras (Laburan aspal) merupakan lapis penutup terdiri dari lapisan
aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/8 inci.
g. Faktor Regional
Faktor Regional (FR) ialah faktor setempat, menyangkut keadaan
lapangan dan iklim, yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan,
daya dukung tanah dasar dan perkerasan. Nilai Faktor Regional (FR)
didapat berdasarkan klasifikasi tanah yang ada pada Tabel 7.8.
Tabel 7.8. Faktor Regional (FR)
Kelandaian I Kelandaian II Kelandaian III
(< 6%) (6-10%) (> 10%)
% Berat % Berat kendaraan % Berat
kendaraan Kendaraan
≤ 30% >30% <30% >30% ≤30 >30%
%
Iklim I
<900 0,5 1,0 - 1,5 1,0 1,5 - 2,0 1,5 2,0 - 2,5
mm/th
Iklim II
>900 1,5 2,0 - 2,5 2,0 2,5 - 3,0 2,5 3,0 –
mm/th 3,5
Sumber : Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen Bina Marga
Keterangan : Iklim I<900mm/th maksudnya curah hujan yang terjadi selama 1 tahun di bawah 900mm.
Modul 7 7-17
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
h. Indeks Tebal Perkerasan
Indeks Tebal Pekerasan (ITP) ialah suatu angka yang berhubungan
dengan penentuan tebal perkerasan jalan yang nilainya didapat dengan
nomogram pada Gambar 7.9 sampai dengan Gambar 7.17. Untuk
harga LER>10.000 nilai ITP diperoleh dengan persamaan :
ITP Gt 1
Log Wt18 = 9,36Log 1 -0,2 + + Log +
2,54 1094 FR
0,40 5,19
ITP
1
2,54
DDT
0,372 3 ........................................................... (7.5)
1,2
IPo IPt
Gt = Log .................................................. (7.7)
IPo 1,5
Dimana :
Wt 18 = Beban lalu lintas selama umur rencana atas dasar sumbu
tunggal 18000 pon yang telah diperhitungkan terhadap faktor
regional.
Gt = Fungsi logaritma dari perbandingan antara kehilangan tingkat
pelayanan dari IP= Ipo sampai IP=Ipt dengan kehilangan
tingkat pelayanan dari Ipo sampai Ipt=1,5.
ITP = Indeks Tebal Perkerasan
DDT = Daya Dukung Tanah
FR = Faktor Regional
Modul 7 7-18
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.9. Nomogram 1
Modul 7 7-19
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.10. Nomogram 2
Modul 7 7-20
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.11. Nomogram 3
Modul 7 7-21
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.12. Nomogram 4
Modul 7 7-22
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.13. Nomogram 5
Modul 7 7-23
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.14. Nomogram 6
Modul 7 7-24
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.15. Nomogram 7
Modul 7 7-25
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.16. Nomogram 8
Modul 7 7-26
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.17. Nomogram 9
Modul 7 7-27
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
i. Tebal Perkerasan
Dalam menentukan tebal perkerasan digunakan perumusan sebagai
berikut:
ITP = a1.D1 + a2.D2 + a3.D3 (7.10)
Dimana:
A1,2,3 = Koefisien kekuatan relatif permukaan, lapis pondasi
dan pondasi bawah.
D1,2,3 = Tebal tiap-tiap lapisan
Surface
Modul 7 7-28
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 7.9. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien Kekuatan Kekuatan Bahan Jenis Bahan
Relatif
A1 A2 A3 MS Kt CBR
(kg) (Kg/cm) (%)
0.40 - - 744 - - Laston
0.35 - - 590 - -
0.32 - - 454 - -
0.30 - - 340 - -
- 0.15 - - 22 -
- 0.13 - - 18 - Stab. Tanah dengan
- 0.14 - - - 100 kapur
- 0.13 - - - 80
- 0.12 - - - 60 Batu Pecah (kelas A)
- - 0.13 - - 70 Batu Pecah (kelas B)
- - 0.12 - - 50 Batu Pecah (kelas C)
- - 0.11 - - 30 Sirtu/ pitrum (kelas A)
Sirtu/ pitrum (kelas B)
- - 0.10 - - 20 Sirtu/ pitrum (keas C)
Tanah/ lempung
kepasiran
Sumber : Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen Bina Marga
Modul 7 7-29
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Batasan-batasan minimum Tebal Lapisan Perkerasan :
1. Lapis Permukaan; tebal minimum (lihat Tabel 7.8) dari lapis permukaan
jalan tergantung dari nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP).
Tabel 7.10. Minimum Lapis Permukaan
ITP Tebal Bahan
Minimum
(cm)
< 3,00 5 Lapis pelindung: (Buras, Burtu,Burda)
3,00 – 6,70 5 Lapen/ aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/ aspal Macadam, HRA, Lasbutag, Laston
7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, Laston
≥ 10 10 Laston
Sumber: Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Metode Analisa Komponen Bina Marga
2. Lapis Pondasi; tebal minimum (lihat Tabel 7.9) dari lapis pondasi jalan
tergantung dari nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP).
3. Lapis Pondasi Bawah; untuk setiap nilai Indeks Tebal Perkerasan (ITP) bila
digunakan untuk pondasi bawah, tebal minimum 10 cm.
Modul 7 7-30
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Contoh soal:
Modul 7 7-31
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Penyelesaian:
Modul 7 7-32
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
4.
1. Truk tiga sumbu 25 ton (1.22) sb. depan : 25 %, sb. belakang : 75 %.
E = E sb. tunggal + E sb. ganda
4 4
0,25 . 25 0,75 . 25
= x 0,086
8,160 8,160
= 2,7416
5.
2. Truk trailer 31,4 ton (1.2+2.2)
sb.Pertama :17%, sb.Kedua : 35%, sb.Ketiga : 34%, sb.Keempat : 34%.
E = E sb. tunggal + E sb. ganda
4 4 4 4
0,17 . 31,4 0,35 . 31,4 0,24 . 31,4 0,24 . 31,4
= +
8,160 8,160 8,160 8,160
= 4,9283
1 Spd. Motor, Sekuter,Spd. Kumbang 0.0000002 0.5 4302 5152 0.0005 0.0006
2 Sedan, Station Wagon, Jeep 0.0000018 0.5 1005 1205 0.0009 0.0011
4 Pick Up dan Mobil Hantaran 0.0000018 0.5 681 861 0.0006 0.0008 (LEP+LEA
LET x FP
13.5255 15.0284 )/2
5 Bus 0.3005677 0.5 90 100
6 Truck 2 Sumbu, Mobil Tangki 0.2174125 0.5 211 271 22.9370 29.4594
Gunakan Nomogram 4.
Modul 7 7-33
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
~ Tanah dasar (sub grade) dengan harga CBR 3,05 %, didapatkan daya
dukung tanah (DDT) = 3,80. Dengan LER = 80 dan FR = 1,5 diperoleh
= 8,5 (Nomogram 4)
ITP=3.1
ITP = 3.1
ITP=3.5
ITP = 3.5
ITP = 8.5
Lapis subbase
Lapis base
Lapis permukaan
Modul 7 7-34
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
~Tebal lapisan permukaan (surface course), D1 :
ITP = a1. D1
3.10 = 0.35 . D1
D1 = 3.20 / 0,35
= 8.85 cm > tebal minimum = 5 cm
Dipakai D1 sebesar 10 cm.
SURFACE D1=10cm
SUBGRADE
CBR 2.9%
Modul 7 7-35
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
LATIHAN:
Modul 7 7-36
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
7.8. DESAIN PERKERASAN JALAN DENGAN CARA AASHTO (1972)
Seperti Metode Analisa Komponen, maka metode AASHTO ini mempunyai
beberapa parameter yang berpengaruh dalam penentuan tebal perkerasan. Parameter
tersebut adalah daya dukung tanah dasar (soil support – Si), faktor regional (Fr),
persentase jumlah kendaraan di lajur kiri (C) indeks permukaan, koefisien lapis
perkerasan (ai), faktor regional, indeks tebal perkerasan dan tebal perkerasan.
Rumus umum untuk metode AASHTO ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
FLEXIBLE PAVEMENT
1
Gt 1
log Wt 9,36 log (SN 1) 0,20 log 0,372 (Si 3,0)
18 1094 R
0,40
(SN 1)5,19 2 3
ITP Gt
log Wt 9,36 log 1 0,20 1 DDT
18 1094 log 0,372 3,0
2,54 0,40 R 1,20
5,19
ITP
1
2,54
Dimana : G 4,2 Pt
t log
4,2 1,5
Yang harus diketahui dulu :
1 Wt18 = total Equivalent Axle Load (EAL) – total standard 18.000 lbs atau 8.16
ton beban gandar – selama umur rencana (design life) yang melewati
perkerasan di lajur rencana.
Modul 7 7-37
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
3 Si = harga Soil Support, harganya dapat dikorelasi langsung dengan harga
CBR dari tanah subgrade dan perkerasan.
(untuk Bina Marga istilahnya DDT = Daya Dukung Tanah)
4
Pt = final serviceability performance dari perkerasan pada akhir umur
rencana
yaitu : 2,5 untuk jalan raya utama (major highway)
2,0 untuk jalan raya secondary.
Saran : untuk Indonesia Pt = 2,0 untuk jalan utama
1,5 untuk jalan kollektor dan lokal.
Yang dicari :
SN = a1 D1 + a2 D2 + a3 D3 + ………..
Modul 7 7-38
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
SOIL SUPPORT (Si)
Pada metode AASHTO, soil support (Si) ini mempunyai korelasi dengan CBR subgrade,
Nilai soil support ini dapat dilihat dari Gambar 7.7.
1 2 3 4 5 10 50 100 200
California Bearing Ratio (CBR)
Modul 7 7-39
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Tabel 7.12. Koefisien Kekuatan Lapis Perkerasan (ai)
(OLEH AASHTO COMMITTEE ON DESIGN, 1972)
Modul 7 7-40
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Gambar 7.8. Persentase Jumlah Kendaraan Berat (Commercial Vehicle)
Pada Lajur Rencana
Contoh: Bila diketahui LHR 1000 kendaraan maka persentase kendaraan berat
(commercial vehicle) yang berada di lajur rencana adalah 80%.
Modul 7 7-41
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Table 1
An Example of Traffic Data From a Loadometer Station
(Data from Table W-4)*
KONDISI IKLIM
REGIONAL FACTOR = 1,0 (= R)
This data is used in this design method.
Data dari “the Wisconsin Automatic Data 1976” untuk Interstate No. 90 (I-90),
near Newville, Wisconsin.
Data ini juga merupakan reprentative dari beban axle (gandar) untuk route
kendaraan disebuah tempat di luar kota di negara-negara bagian Mid-Western,
USA.
Modul 7 7-42
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
PERHITUNGAN EAL 18.000 lbs
(Pt = 2,5 dan SN = 3)
Modul 7 7-43
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
SURFACE a1, D1 D1
D2
(GRANULAR) CBR = CBRbase
D3
(GRANULAR SOIL) CBR = CBRsubbase
SUB GRADE
CBR = CBRsubgrade
Modul 7 7-44
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
STRUCTURAL LAYER COEFICIENTS (ai)
(OLEH AASHTO COMMITTEE ON DESIGN, 1972)
Hasil perhitungan :
a1 D1 = 2,47
a1 D1 + a2 D2 = 3,45 a2 D2 = 0,98
a1 D1 + a2 D2 + a3 D3 = 5,55 a3 D3 = 2,10
Modul 7 7-45
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
TAMBAHAN :
SN 1 SN 2 SN 3
A
SN 1 a1 D1 = 2,47
SURFACE (A.C)
B
SN 2 a1 D1 + a2 D2 = 3,45 a2 D2 = 0,98
BASE CBR = 100%
C SN 3 a1 D1 + a2 D2 + a3 D3 = 5,55
a3 D3 = 2,10
SUBBASE CBR = 30%
D
SUBGRADE CBR = 3%
AWAS :
CBR pada permukaan lapisan selalu merupakan CBR composit dari lapisan-lapisan
tanah dibawahnya.
Jadi misal CBR di elevasi C adalah CBR composit antara Subbase dan Subgrade.
Tetapi bila D3 ≥ 48,5 cm dapat dianggap bahwa CBRcomposit
di C = CBRsubbase = 30%.
Artinya ketebalan subbase sudah mencukupi untuk seolah-
olah subbase bereaksi sendiri.
Modul 7 7-46
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Akan tetapi :
30
Misal D3 = 30cm a3 D3 = 0,11x = 1,30
2,54
Pt = 2,5 ; R = 1,0
Dengan rumus yang sama dicari harga Si yang memenuhi persamaan AASHTO
sehingga dihasilkan SN2 = 4,25
Dari grafik AASHTO (di hal. 22, Figure III-1), atau juga kalau mau lebih tepat pakai
Persamaan (1)
di dapat Si = 5,3
Modul 7 7-47
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Atau sebaliknya :
Jadi a1 D1 + a2 D2 = 4,25
1,78
D2 = x 2,54 cm = 32,3 ≈ 35 cm
0,14
Jadi bisa saja D3 ditipiskan menjadi 30 cm tetapi D2 harus dipertebal menjadi 35 cm.
Analog
SN2 = 3,45 D2 = 15 cm
15x0,14
SN1 yang ada = 3,45 - = 2,62
2,54
Modul 7 7-48
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)
Untuk CBRbase = anu Si = sesuatu
Si ≈ 8,7
Modul 7 7-49
Rekayasa Jalan Raya (PS-1364)