Anda di halaman 1dari 45

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Kompetensi Guru Matematika

a. Pengertian Kompetensi Guru

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005

tentang guru dan dosen pasal 1 bahwa kompetensi merupakan seperangkat

pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan

dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan.

Crick (2008: 312) berpendapat bahwa kompetensi dideskripsikan sebagai

kombinasi yang kompleks antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap

seseorang untuk mewujudkan suatu keefektifan pada suatu konteks tertentu.

U.S Department of Education (2002: 1) juga berpendapat bahwa kompetensi

merupakan kombinasi keterampilan, kemampuan dan pengetahuan yang

diperlukan untuk melaksanakan tugas spesifik pada konteks tertentu. Hal

ini sejalan juga dengan pendapat Mission (2001:18) bahwa kompetensi

merupakan kombinasi pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap. Serta

pendapat Winterton dan Winterton (2002: 25) bahwa kompetensi yang

diadopsi oleh UK erat kaitannya dengan demonstrasi praktikal dari

keterampilan, pengetahuan dan pemahaman dalam suatu rencana pekerjaan

yang berhubungan dengan pencapaian tujuan pekerjaan. Berdasarkan

pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan kombinasi

pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

14
Kompetensi tersebut berasal dari pendidikan atau pelatihan,

pengalaman belajar informal tertentu yang telah didapat, sehingga tugas

seseorang tersebut dapat tercapai (Payong , 2011: 17). Hal ini sejalan

dengan Permendikbud nomor 16 tahun 2007 mengenai standar kualifikasi

akademik dan kompetensi guru yang mensyaratkan standar minimum

pendidikan guru yaitu diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), dan apabila

tidak dimungkinkan memiliki ijazah maka menggunakan uji kelayakan dan

kesetaraan. Hal ini mengharuskan bahwa seorang guru harus memenuhi

kualifikasi kompetensi tersebut.

Berdasarkan pendapat OECD (2005: 4) bahwa kompetensi lebih dari

hanya pengetahuan dan keterampilan, melibatkan kemampuan untuk

berhadapan dengan tuntutan yang kompleks, dengan menggambarkan dan

memobilisasi sumber psikososial (termasuk keterampilan dan sikap) pada

konteks tertentu. Finch dan Crunkilton (1999: 220) berpendapat bahwa

kompetensi merupakan tugas, keterampilan, sakap, nilai dan apresiasi yang

penting untuk sukses dalam hidup atau dalam pembelajaran. Sementara

Dobson (2003: 8) berpendapat bahwa kompetensi lebih dari hanya deskripsi

tentang tugas pekerjaan, meliputi pengukuran kompetensi dan membahas

pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan seseorang untuk

melaksanakan pekerjaan sesuai standar.

Menurut Roelofs dan Sanders (2007: 127) kompetensi mengajar

dijelaskan melalui sifat-sifat guru, pengetahuan guru, perilaku guru, cara

guru berpikir, mengambilan keputusan dalam suatu situasi, dan berakibat

15
pada kegiatan belajar. Menurut Brundrett dan Silcock (2002: 45)

kompetensi dalam pembelajaran suatu kurikulum dicapai dengan

manajemen perilaku, kecakapan teknis, regulasi budaya dan manipulasi

reflektif dari konteks kesadaran diri. Pengetahuan, keterampilan, sikap, dan

nilai-nilai adalah kompetensi guru yang diharapkan berdasarkan hasil

analisis PISA 2003 (Ljubetic, 2012: 2). Johnson (1979: 548) berpendapat

bahwa untuk meningkatkan pengajaran, guru memerlukan pengetahuan

tentang teknis dan aspek yang berhubungan dengan pekerjaanya,

bekerjasama dalam observasi praktik mengajar dari guru lain, membaca

tentang strategi mengajar, dan umpan balik tentang pembelajaran yang telah

dilakukan.

Darling-Hammond (2000: 3) berpendapat bahwa topik terkait

kompetensi guru terhadap hasil belajar siswa, variabel yang terkait

kemampuan akademik guru, lama pendidikan, lama pengalaman mengajar,

langkah-langkah menjelaskan materi, pengetahuan, status sertifikasi, dan

perilaku mengajar di dalam kelas. Fitzsimons (1997: 1) berpendapat bahwa

standar kompetensi guru dimunculkan lagi sebagai sebuah pemasalahan

pada bidang pendidikan, tujuannya untuk membantu pemerintahan tentang

pendidikan, legitimasi sitem, meningkatkan standar pendidikan guru, dan

mempromosikan mengajar sebagai sebuah profesi.

b. Ranah Kompetensi Guru

Baumert dan Kunter (2013: 29) membagi kompetensi guru

matematika menjadi gabungan dari believe, motivasi, self-regulation dan

16
pengetahuan yang mendukung keprofesionalan guru, yaitu meliputi ranah

content knowledge (pemahaman yang mendalam pada materi matematika),

pedagogical content knowledge (pengetahuan bagaimana siswa berfikir

matematika, pengetahuan dalam memberi tugas matematika), pedagogical

psycogical knowledge (pengetahuan dalam pembelajaran di kelas,

pengetahuan dalam penilaian siswa, pengetahuan dalam manajemen kelas),

pengetahuan dalam berorganisasi, dan pengetahuan dalam bimbingan

konseling terhadap siswanya. Menurut Blömeke dan Delaney (2012: 229)

kompetensi guru matematika terdiri dari gabungan kemampuan kognitif

yang memuat penguasaan materi matematika (Mathematics Content

Knowoledge / MCK), pengetahuan materi pedagogik (Pedagogical Content

Knowledge / PCK), dan pengetahuan pedagogik umum (General

Pedagogical Knowledge/GPK) serta karakter motivasi (believe, motivasi

dan prinsip).

Standar kompetensi guru di Singapura (Southeast Asian Ministers of

Education Organization, 2010: 67) mengelompokkan empat ranah

kompetensi guru yaitu pengetahuan (termasuk penguasaan materi,

keterampilan berpikir analitis, inisiatif, dan menggunakan praktek

pengajaran kreatif), mengajar dengan hati, memahami orang lain dan diri

sendiri, dan bekerja sama dengan orang lain. Sementara kompetensi guru di

Belanda menekankan pada tiga bidang utama profesi guru yaitu keahlian

materi pembelajaran, keahlian mengajar, dan keahlian pedagogik (European

Commission, 2013: 56). Departement for Education of UK (2011) membagi

17
standar yang harus dikuasai guru yaitu proses pembelajaran harus dapat

menginspirasi dan memotivasi murid, menginspirasi kemajuan siswanya,

mengajar pelajaran dengan baik sesuai dengan kurikulum, merencanakan

pelajaran dengan terstruktur, menanggapi kebutuhan semua murid,

memanfaatkan hasil penilaian dan mengajar dengan efektif serta

berkepribadian yang baik dalam artian memenuhi tanggung jawab

profesional yang lebih luas.

Di Australia (Australian Association of Mathematics Teacers, 2006:

1-5) kompetensi guru matematika dikelompokkan menjadi: 1) professional

knowledge dengan standar guru matematika yang baik yaitu memiliki dasar

pengetahuan yang kuat pada materi yang diampunya, dapat membuat

perencanaan, keputusan dan berinteraksi; 2) professional attributes dimana

guru matematika dituntut untuk memperluas pengetahuannya, baik

pengetahuan matematika maupun pengetahuan mengenai bagaimana siswa

belajar matematika, peduli terhadap siswanya dan menghormati orang lain

dan mewujudkan keberhasilan siswa; 3) professional practice dimana guru

dituntut untuk dapat mengembangnkan pengetahuan dan keterampilan

dalam bidang profesinya, mengembangkan praktik pembelajaran yang

efektif, dapat aktif terlibat dalam kegiatan bersama kolega dan

komunitasnya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Kompetensi guru yang diterapkan di Amerika meliputi lima proposisi

yang harus dimiliki guru (Exstrom, 2011: 4) yakni guru berkomitmen

terhadap siswa dan pembelajaannya, guru memahami bidang studi yang

18
diampu dan bagaimana mengajarkan materi bidang studi tersebut, guru

bertanggungjawab terhadap pengelolaan dan pemantauan belajar siswa,

guru berpikir secara sistematis dalam praktik dan belajar dari pengalaman,

dan guru adalah anggota dari komunitas pembelajar.

Di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang

guru dan dosen, kompetensi guru meliputi kometensi pedagogik,

profesional, sosial dan kepribadian. Kompetensi tersebut disusun untuk

mewujudkan guru profesional dan mengembangkan potensi peserta didik

agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

1) Kompetensi Pedagogik

Pedagogik bermakna sebagai semua usaha yang dilakukan oleh

pendidik untuk membimbing seorang anak menjadi manusia dewasa

yang matang (Jumadi, Prasetyo, & Wilujeng, 2013: 9). Peran pendidik di

sekolah digantikan oleh guru sehingga terjadi pergeseran tuntutan

kemampuan pedagogik. Keadaan ini menjadikan tugas guru tidak cukup

sebagai pengajar yang berfokus pada transfer ilmu pengetahuan, namun

meluas pada ranah non akademis.

Kompetensi pedagogik sangat erat kaitannya dengan ilmu mengajar

dan metodologi mengajar yang harus dimiliki guru sehingga dapat

berperan sebagai pendidik dan pembimbing yang baik (Payong, 2011:

18). Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran

19
peseta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,

perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan

pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi

yang dimiliki (Mulyasa, 2013: 42). Kedua pernyataan tersebut

menggambarkan bahwa kompetensi pedagogik merupakan keterampilan

dalam mengajar yang baik, guru sebagai seorang yang profesional

diharapkan dapat menjembatani berbagai karakter siswa melalui

kompetensi pedagogik yang dimilikinya.

Kompetensi pedagogik menurut Shulman (1987: 7) dapat

direpresentasikan melalui tindakan dalam bentuk cara guru memahami

apa yang tidak diketahui oleh siswa, cara menjadikan siswa lebih

terampil, dan cara membentuk sikap siswa, cara berbicara dengan siswa,

cara mengarahkan, cara menyampaikan ide-ide sehingga siswa yang

tidak tahu menjadi tahu dan siswa yang tidak terampil menjadi mahir.

Madhavaram dan Laverie (2010: 5) menyebutkan komponen penting

dalam kompetensi pedagogik antara lain pengetahuan pada materi

pelajaran, pengetahuan dalam pendekatan pedagogik, kemampuan

menejemen pembelajaran, kemampuan menejemen kelas, dan

kemampuan menejemen siswa. Para ahli Asia Tenggara

merekomendasikan kompetensi pedagogik berupa (Southeast Asian

Ministers of Education Organization, 2010: 14):

a) Menyediakan latihan dipandu yang diperlukan dan ulasan pada

interval waktu yang tepat

20
b) Menggunakan pelajaran up-to-date

c) Tujuan pembelajaran cocok dengan situasi kehidupan nyata

d) Berurutan dan menarik dalam mengajarkan pelajaran dengan

memperhitungkan tingkat pengetahuan siswa

e) Memberikan siswa dengan kesempatan belajar di luar jam sekolah

f) Menggunakan media dengan instruksi yang sesuai

g) Mendorong siswa belajar mandiri

Madhavaram dan Laverie (2010: 5) menyebutkan bahwa

kompetensi pedagogik sebagai kemampuan individual untuk

mengkoordinasi, kombinasi sinergis dari sumber nyata (bahan instruksi

seperti buku, artikel, serta teknologi seperti software atau hardware) dan

sumber tidak nyata (seperti pengetahuan, keterampilan, pengalaman)

untuk mencapai efisiensi dan efektivitas pada pedagogi. Guerriero (2016:

2-5) menyatakan bahwa pengetahuan pedagogik adalah pengetahuan

khusus dalam menciptakan keefektifan mengajar dan mewujudkan

suasana kelas yang menyenangkan untuk siswanya. Pengetahuan

pedagogik guru memuat semua pengetahuan kognitif yang diperlukan

untuk menciptakan lingkungan belajar dan mengajar yang efektif,

pengetahuan pedagogik dapat dipelajari walaupun kompleks. Secara

lebih rinci, pengetahuan pedagogik dijabarkan sebagai berikut :

a) Pengetahuan tentang manajemen kelas dalam bentuk penanganan

konflik di kelas dengan tepat, mengajar dengan menejemen waktu

yang sesuai, mempunyai arah yang jelas dalam pelajaran

21
b) Pengetahuan dalam metode pengajaran dalam bentuk mengetahui

kapan dan bagaimana menerapkan setiap metode

c) Pengetahuan tentang penilaian kelas dalam bentuk cara dari penilaian

formatif dan sumatif

d) Pengetahuan dalam struktur penataan tujuan pembelajaran dan proses

pembelajaran, perencanaan dan evaluasi pelajaran

e) Adaptivitas dalam menangani kelompok belajar heterogen di kelas

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005

tentang Guru dan Dosen menyebutkan yang dimaksud dengan

kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran

peserta didik. Kompetensi pedagogik guru berdasarkan Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.16 tahun 2007 tentang

Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, standar kompetensi pedagogik

dijabarkan dalam kompetensi inti sebagai berikut:

a) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, kultural,

emosional, dan intelektual.

b) Menguasai teori-teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang

mendidik.

c) Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran atau

bidang pengembangan yang diampu.

d) Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.

e) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk

kepentingan pembelajaran.

22
f) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk

mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

g) Berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta

didik.

h) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.

i) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan

pembelajaran.

j) Melakukan tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada tahun 2008

merangkum 10 kompetensi inti pedagogik tersebut menjadi 7 kompetensi

inti untuk mempermudah dalam penilaian (Kemdikbud, 2010: 45)

sebagai berikut :

a) Menguasai karakteristik peserta didik

b) Menguasai teori-teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang

mendidik.

c) Pengembangan kurikulum

d) Kegiatan pembelajaran yang mendidik.

e) Pengembangan potensi peserta didik

f) Komunikasi dengan peserta didik

g) Penilaian dan evaluasi

Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2017 tentang Standar Pendidikan

23
Guru merumuskan kompetensi pedagogik sebagai seperangkat

pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang meliputi merencanakan

pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan menilai dan

mengevaluasi pembelajaran. Pada Pedoman OGN (Kemdikbud, 2019:

16), kompetensi pedagogik mencakup materi:

a) Pemahaman peserta didik secara mendalam.

b) Perancangan pembelajaran

c) Pelaksanaan pembelajaran

d) Perancangan dan pelaksanaan evaluasi pembelajaran

e) Pengembangan potensi peserta didik

Pada kisi-kisi soal ujian program Pendidikan Profesi Guru (PPG)

dalam jabatan tahun 2018 (Kemdikbud, 2018: 5-7) kompetensi

pedagogik terbagi menjadi tiga sub kompetensi yaitu merencanakn

pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan menilai dan

mengevaluasi pembelajaran. Berdasarkan uraian tersebut, penulis

menyimpulkan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru

yang berhubungan dengan memahami karakteristik siswa, memahami

prinsip pembelajaran, merencanakan pembelajaran yang tepat untuk

peserta didik, menyelenggarakan pembelajaran yang efektif, dan

melaksanakan penilaian dan evaluasi pembelajaran.

2) Kompetensi Profesional

Kompetensi profesional merupakan kemampuan pendidik dalam

penguasan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang

24
memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi

yang ditetapkan (Mulyasa, 2013: 42). Epstein dan Hundert (2002: 226)

menjelaskan kompetensi profesional tercermin dari kebiasaan dan

kebijaksanaan dalam berkomunikasi, menerapkan pengetahuan,

keterampilan, penalaran, emosi, praktik harian untuk kepentingan diri

sendiri maupun bersama.

Benner (Kane, 1992: 166) menjelaskan dalam mencapai

kompetensi profesional perlu penerapan dasar keprofesian yang

diharapkan, pengetahuan yang sesuai, pengetahuan prosedural,

keterampilan dan pertimbangan dalam mengkombinasikan berbagai

pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Sejalan dengan pernyataan

tersebut, Jumadi, Prasetyo, dan Wilujeng (2013: 11) menyebutkan

kompetensi profesional yang dapat diukur meliputi penguasaan materi,

konsep dan pola pikir keilmuan, menguasai standar kompetensi dan

kompetensi dasar mata pelajaran dan pengembangan materi pembelajaran

sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai.

Menurut Epstein, Hundert, Kane, Weinert (Kunter, et al,2013: 807)

istilah kompetensi profesional merupakan aplikasi dari konsep untuk

kehidupan kerja, sangat kompleks dan berhubungan dengan profesi, di

mana sangat tergantung pada interaksi pengetahuan, keterampilan, sikap,

dan motivasi. Sementara itu Southeast Asian Ministers of Education

Organization (2013: 21) menjabarkan keterampilan profesional yang

yang diperlukan antara lain:

25
a) Mengidentifikasi kebutuhan peningkatan profesional diri sendiri dan

rencana dalam pengembangan profesional

b) Aktif berorganisasi selain tugas mengajar

c) Mengevaluasi pengetahuan keprofesiannya dan cara mengajar yang

efektif

d) Melaksanakan praktek keterampilan manajemen berbasis sekolah

e) Terlibat dalam kegiatan belajar mandiri untuk pengembangan

keprofesian

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005

tentang Guru dan Dosen menyatakan yang dimaksud dengan

kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran

secara luas dan mendalam. Menurut Permendiknas No.16 tahun 2007,

standar kompetensi profesional dijabarkan ke dalam lima kompetensi

inti, yaitu:

a) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang

mendukung mata pelajaran yang diampu.

b) Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran

atau bidang pengembangan yang diampu.

c) Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.

d) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan

melakukan tindakan reflektif.

e) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk

berkomunikasi dan mengembangkan diri.

26
Kompetensi inti profesional tersebut dirangkum oleh Badan

Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada tahun 2008 merangkum

menjadi dua kompetensi untuk mempermudah dalam penilaian

(Kemdikbud, 2010: 45) meliputi :

a) Penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang

mendukung mata pelajaran yang diampu.

b) Mengembangkan keprofesionalan melalui tindakan yang reflektif.

Kompetensi profesional menurut Peraturan Menteri Riset,

Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun

2017 tentang Standar Pendidikan Guru yaitu seperangkat pengetahuan,

sikap, dan keterampilan tentang struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan

yang harus dimiliki, dikuasai, dihayati, dan diaktualisasikan oleh guru.

Berdasarkan uraian tersebut, kompetensi professional adalah kemampuan

guru dalam menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan

yang mendukung mata pelajaran yang diampu, serta mengembangkan

keprofesionalan.

Permendiknas Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang

Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru menjabarkan materi

mata pelajaran Matematika yang harus dikuasai oleh guru SMP/MTs, dan

SMA/MA, SMK/MAK sebagai berikut:

a) Menggunakan bilangan, hubungan di antara bilangan, berbagai sistem

bilangan dan teori bilangan.

b) Menggunakan pengukuran dan penaksiran.

27
c) Menggunakan logika matematika.

d) Menggunakan konsep-konsep geometri.

e) Menggunakan konsep-konsep statistika dan peluang.

f) Menggunakan pola dan fungsi.

g) Menggunakan konsep-konsep aljabar.

h) Menggunakan konsep-konsep kalkulus dan geometri analitik.

i) Menggunakan konsep dan proses matematika diskrit.

j) Menggunakan trigonometri.

k) Menggunakan vektor dan matriks.

l) Menjelaskan sejarah dan filsafat matematika.

Kompetensi guru mata pelajaran tersebut sama dengan yang

terdapat pada kisi-kisi soal seleksi PPG SM3T 2015 (Kemdikbud, 2015c:

1-2), namun kompetensi menjelaskan sejarah dan filsafat matematika

ditiadakan. Pada Pedoman OGN (Kemdikbud, 2019: 20-21) kompetensi

profesional untuk mata pelajaran matematika meliputi materi logika,

aljabar, geometri, trigonometri, kalkulus, dan statistik. Sementara pada

kisi-kisi soal uji pengetahuan PPG pendidikan matematika (Kemdikbud,

2018: 1-4) menjabarkan materi yang harus dikuasai mencakup:

a) Logika Matematika

b) Fungsi Pembangkit dan Relasi Rekursif, Graf dan Aplikasinya, Teori

Bilangan, Matriks dan Sistem Persamaan Linear, Vektor di Bidang

dan Ruang, Program Linear dan Metode Penyelesaiannya, Konsep

Grup, Sistem Bilangan Real, Fungsi, Galat Mutlak dan Galat Relatif

28
c) Limit, Turunan, Integral, Persamaan Differensial

d) Geometri Datar, Geometri Ruang, Geometri Analitik, Geometri

Transformasi

e) Kaidah Pencacahan, Konsep Peluang, Statistika (Ukuran Pemusatan

dan Penyebaran Data, Asumsi Normalitas dan Homogenitas Data,

Regresi Dan Korelasi)

f) Memodelkan Secara Matematik dari Suatu Masalah dalam Berbagai

Bidang

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka peneliti menjabarkan

materi yang harus dikuasai guru matematika sebagai berikut:

a) Logika Matematika

b) Fungsi Pembangkit Biasa, Bilangan Kromatik dalam Pewarnaan Titik

Suatu Graf, Teori Bilangan (Sifat-Sifat Faktor Prima Dan

Kongruensi), Konsep Grup, Galat Mutlak Dan Galat Relatif, Matriks

(Perkalian Dan Invers) dan Sistem Persamaan Linear, Vektor di

Bidang dan Ruang, Program Linear, Pertidaksamaan Yang Melibatkan

Nilai Mutlak, Fungsi Kuadrat, Komposisi Fungsi, Trigonometri,

Logaritma.

c) Limit, Turunan, Integral, Persamaan Diferensial Variabel Terpisah

d) Geometri Datar (Kesebangunan dan Luas), Geometri Ruang (Jarak

dan Volume), Geometri Analitik (Parabola), Geometri Transformasi

e) Kaidah Pencacahan, Peluang, Ukuran Pemusatan atau Penyebaran

Data, Asumsi Normalitas

29
3) Kompetensi Sosial

Menurut Schoon (2009: 4) bahwa kompetensi sosial adalah

kemampuan individu untuk hidup bersama-sama di dunia yang

mencakup hubungan antar individu, antar budaya, dan kehidupan

bersosial. Kompetensi sosial dipengaruhi melalui interaksi dengan

anggota keluarga, teman sebaya di sekolah atau di lingkungan kerja, atau

lingkungan seseorang. Lang (2010: 13) berpendapat bahwa kompetensi

sosial adalah istilah yang digunakan bergantian dengan istilah sebagai

kompetensi interaksional, kompetensi komunikatif, kompetensi

interpersonal, kompetensi relasional, kompetensi emosional, kompetensi

komunikasi, dan keterampilan sosial.

Gedvilienė (2012: 30) menyatakan bahwa kompetensi sosial dari

seorang guru sangat penting, tidak hanya untuk pengembangan

profesional guru, tetapi juga dalam mengembangkan lingkungan belajar

yang ramah sosial yang ditandai dengan komunikasi yang ramah,

kerjasama, dan bekerja sama dengan guru lain untuk berkomunikasi

dengan para siswa. Gedvilien, Gerviene, Pasvenskiene, dan Ziziene

(2014: 43) menyatakan kompetensi sosial dalam bidang pendidikan

diperoleh melalui proses komunikasi dan kerjasama, kompetensi sosial

harus diberikan dari jenjang dasar sampai pada pendidikan tinggi untuk

kesuksesan masa depan dan mewujudkan pembangunan sosial dan

ekonomi yang cepat berubah dalam komunitas yang beragam.

30
Kompetensi sosial bagi seorang guru merupakan salah satu daya

atau kemampuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota

masyarakat yang baik serta kemampuan untuk mendidik, membimbing

masyarakat dalam menghadapi kehidupan yang akan datang (Mulyasa,

2013: 71). Jennings dan Greenberg (2009: 492) berpendapat bahwa

kompetensi sosial dan emosi guru dalam mengatur nada di kelas dalam

mendukung dan menciptakan hubungan dengan siswa mereka, sehingga

dapat memberi motivasi, membina siswa menangani konflik, mendorong

kerjasama antar siswa, dan bertindak sebagai panutan siswanya. Menurut

Jamaris (2012: 251-252) mengidentifikasi kemampuan sosial dapat

melalui kemampuan dalam memotivasi siswa, kemampuan dalam

berkomunikasi dengan orang tua, masyarakat dan teman seprofesi.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005

Tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa yang dimaksud

kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari

masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan

peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali

peserta didik dan masyarakat sekitar (Kemdikbud, 2005). Menurut

Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007, kemampuan sosial mencakup

empat kompetensi utama dalam bertindak, berkomunikasi, beradaptasi

dalam keragaman budaya, berkomunikasi dengan komunitas profesi

sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. BSNP

versi 6.0. 11/2008 tentang Kerangka Indikator untuk Pelaporan

31
Pencapaian Standar Nasional Pendidikan: Standar Kualifikasi Akademik

dan Kompetensi Guru merangkum aspek kompetensi sosial sebagai

berikut:

1) Bersikap inklusif, bertindak obyektif, serta tidak diskriminatif.

2) Komunikasi dengan sesama guru, tenaga kependidikan, orang tua,

peserta didik, dan masyarakat.

Kompetensi sosial pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan

Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2017 tentang

Standar Pendidikan Guru yaitu seperangkat pengetahuan, sikap, dan

keterampilan untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan beradaptasi secara

efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali dan

masyarakat sekitar. Berdasarkan uraian diatas, kompetensi sosial

merupakan kemampuan guru yang mencangkup keterlibatan dalam

organisasi/komunitas guru, berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif

dengan sesama guru, peserta didik, dan orangtua.

4) Kompetensi Kepribadian

Moore (2004: 38) berpendapat bahwa guru yang baik adalah guru

yang disiplin, bertanggung jawab, dewasa dan dapat menjadi panutan

bagi siswanya. Guru juga mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik,

menghormati siswanya serta dapat meberikan penilaian yang tepat

kepada siswanya. Jamaris (2012: 247) menyatakan bahwa kepribadian

merupakan pola perilaku yang berkaitan dengan kecenderungan dalam

mengambil suatu tindakan dan dikaitkan dengan persepsi sosial terkait

32
dengan pekerjaannya. Stronge (2007: 116) berpendapat bahwa banyak

aspek pengajaran yang positif dapat dikembangkan, namun sulit untuk

melakukan perubahan dalam kepribadian seseorang. Kepribadian positif

antara lain bertanggung jawab, memberi teladan, memahami perasaan

siswanya, mengajar dengan menyenangkan, dapat menangani konflik

dengan baik dan tidak sungkan meminta maaf.

Kemdikbud (2010: 50-52) dan pada Standar Kualifikasi Akademik

dan Kompetensi Guru yang dipublikasikan oleh BSNP tahun 2008

menyatakan bahwa kompetensi kepribadian mencakup :

1) Guru bertindak sesuai dengan hukum di Indonesia. Semua kegiatan

yang dilaksanakan oleh guru mengindikasikan penghargaanya

terhadap berbagai keberagaman agama, keyakinan yang dianut, suku,

adat istiadat daerah asal, latar belakang sosial ekonomi, dan/atau

tampilan fisik.

2) Guru menampilkan diri sebagai teladan bagi peserta didik dan

masyarakat. Guru dihormati oleh peserta didiknya dan oleh anggota

masyarakat sekitarnya, termasuk orang tua siswa.

3) Guru berperilaku sesuai dengan kode etik profesi guru. Guru

melaksanakan tugasnya sesuai dengan harapan kepala

sekolah/madrasah dan komite sekolah/madrasah. Semua kegiatan guru

memperhatikan kebutuhan peserta didik, teman sekerja, dan tujuan

sekolah.

33
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005

tentang Guru dan Dosen yang dimaksud dengan kompetensi kepribadian

adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan

berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Pada Permendiknas

nomor 16 tahun 2007, kemampuan dalam standar kompetensi

kepribadian mencakup lima kompetensi utama, yaitu:

1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, dan sosial.

2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan

teladan bagi peserta didik, serta masyarakat.

3) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif,

dan berwibawa.

4) Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga

menjadi guru, dan rasa percayadiri.

5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

Peraturan Kemristekdikti Republik Indonesia Nomor 55 Tahun

2017 tentang Standar Pendidikan Guru merumuskan kompetensi

kepribadian sebagai seperangkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan

yang membentuk kepribadian guru yang mencerminkan perilaku ahklak

mulia, kearifan, dan kewibawaan sehingga menjadi teladan bagi peserta

didik. Berdasarkan uraian, kompetensi kepribadian guru meliputi

kemampuan dalam bertindak sesuai norma yang berlaku, berkepribadian

positif sehingga menjadi teladan bagi peserta didik, dan menunjukkan

etos kerja menjadi seorang guru.

34
c. Penilaian Kompetensi Guru

Shulman (1987: 18-19) berpendapat bahwa dalam menilai guru perlu

melihat tiga hal, pengetahuan materi (subject knowledge), pengetahuan

pedagogik (pedagogical knowledge) dan mengamati guru dalam

pembelajaran di kelas. Marzano dan Toth (2013: 14) berpendapat bahwa

perlu adanya evaluasi keterampilan dari sekolah, evalusi tersebut akan

membantu guru menjadi lebih baik dalam mengajar. Evaluasi guru harus

dapat menjamin keakuratan distribusi kemampuan dari guru, dari

penelitiannya diberbagai wilayah, hanya sebagian kecil atau 1% guru

diklasifikasikan tidak memuaskan.

Menurut Rebell (1986: 376-377) standar tes untuk guru harus dapat

menilai berbagai macam kemampuan yang diperlukan agar secara efektif

dapat ditunjukkan di kelas. Tes tersebut tidak hanya mengandung

pengetahuan minimum dari isi subjek, tetapi sesuai dengan standar yang ada

di perguruan tinggi. Menurut European Commision (2013: 36) kebijakan

untuk menilai kompetensi guru sangat penting karena dapat:

1) Meningkatkan kesadaran guru dalam mengembangkan diri dan

kompetensinya

2) Mendukung perbaikan kegiatan mengajar

3) Pengakuan terhadap kompetensi yang dimilikinya

4) Motivasi menjadi guru lebih unggul

5) Meningkatkan kepercayaan kepada tenaga kependidikan

6) Memfasilitasi waktu untuk memperbaiki kualitas pembelajaran.

35
Di Indonesia sebagai sarana dalam penilaian dan evaluasi, guru

diwajibkan mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG) dan Penilian Kinerja

Guru (PKG).

1) Uji Kompetensi Guru

Uji Kompetensi Guru bertujuan untuk memperoleh informasi tentang

gambaran kompetensi guru, khususnya kompetensi pedagogik dan

profesional sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pelaksanaan UKG,

menggunakan pendekatan tes untuk mengukur kompetensi dasar tentang

bidang studi (subject matter) dan pedagogik dalam ranah konten

(Kemdikbud, 2015b: 7). Dari capaian ketuntasan hasil UKG pada pokok

materi yang diujikan akan dilakukan pemetaan kompetensi guru yang akan

menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jenis pendidikan dan

pelatihan yang harus diikuti oleh guru dalam program pembinaan dan

pengembangan profesi guru yang mulai tahun 2016 dikemas melalui

program Guru Pembelajar.

Mata pelajaran yang diujikan dalam UKG disesuaikan dengan bidang

studi sertifikasi (bagi guru yang sudah bersertifikat pendidik) dan sesuai

dengan kualifikasi akademik guru (bagi guru yang belum bersertifikat

pendidik). Kompetensi pedagogik yang diujikan adalah integrasi konsep

pedagogik ke dalam proses pembelajaran bidang studi tersebut dalam kelas.

Pelaksanaan UKG perlu dilakukan mengingat berbagai landasan baik

filosofi, teoritik pedagogik dan landasan empiric sosial yang menekankan

pentingnya UKG untuk menjamin kualitas pendidikan bagi siswa, menjaga

36
martabat guru, dan sebagai dasar pengembangan kompetensi (Kemdikbud,

2015b: 5-6).

2) Penilaian Kinerja Guru

Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009, PKG adalah penilaian dari

tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karir,

kepangkatan, dan jabatannya. Sesuai dengan amanat Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi

Akademik dan Kompetensi Guru bahwa pelaksanaan tugas utama guru tidak

dapat dipisahkan dari kemampuan seorang guru dalam penguasaan

pengetahuan, penerapan pengetahuan dan keterampilan, sebagai kompetensi

yang dibutuhkan. Sistem penilaian pada PKG dirancang untuk

mengidentifikasi kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya melalui

pengukuran penguasaan kompetensi yang ditunjukkan dalam praktiknya di

kelas maupun dalam keseharian guru.

Secara umum, PKG memiliki fungsi sebagai berikut (Kemdikbud,

2010: 3):

1) Untuk menilai kemampuan guru dalam menerapkan semua kompetensi

dan keterampilan yang diperlukan pada proses pembelajaran,

pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang relevan dengan

fungsi sekolah/madrasah.

2) Untuk menghitung angka kredit yang diperoleh guru atas kinerja

pembelajaran, pembimbingan, atau pelaksanaan tugas tambahan yang

37
relevan dengan fungsi sekolah/madrasah yang dilakukannya pada tahun

tersebut.

3) Hasil PKG diharapkan dapat bermanfaat untuk menentukan berbagai

kebijakan yang terkait dengan peningkatan mutu dan kinerja guru sebagai

ujung tombak pelaksanaan proses pendidikan dalam menciptakan insan

yang cerdas, komprehensif, dan berdaya saing tinggi.

4) PKG merupakan acuan bagi sekolah/madrasah untuk menetapkan

pengembangan karir dan promosi guru.

5) PKG merupakan pedoman untuk mengetahui unsur‐unsur kinerja yang

dinilai dan merupakan sarana untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan

individu dalam rangka memperbaiki kualitas kinerjanya.

Penilaian kinerja meliputi kegiatan merencanakan dan melaksanakan

pembelajaran, mengevaluasi dan menilai, menganalisis hasil penilaian, dan

melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian dalam menerapkan 4 (empat)

domain kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar

Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Sebagai sarana evaluasi, hasil

PKG dapat dimanfaatkan untuk menyusun profil kinerja guru sebagai input

dalam penyusunan program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan

(PKB). Hasil PKG juga merupakan dasar penetapan perolehan angka kredit

guru dalam rangka pengembangan karir guru sebagaimana diamanatkan

dalam Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan

38
Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional

Guru dan Angka Kreditnya.

2. Kecemasan Matematika

Kecemasan secara serius menghambat pembelajaran atau prestasi, secara

khusus pada saat tes. Siswa berprestasi rendah biasanya akan merasa cemas di

sekolah, bahkan siswa yang mampu dan berprestasi juga merasa cemas, bahkan

mungkin merasa takut kurang sempurna pada tugas sekolah (Slavin, 2018:

259). Christie (2011: 1) berpendapat bahwa kecemasan matematika merupakan

emosi negatif yang mampu mengganggu dalam menyelesaikan masalah

matematika. Menurut Tobias (Christie, 2011: 1) kecemasan matematika

merupakan kepanikan, ketidakberdayaan, kelumpuhan, dan kekacauan mental

yang timbul di antara beberapa orang ketika mereka diwajibkan untuk

memecahkan masalah matematika. Whyte dan Anthony (2012: 7) berpendapat

bahwa kecemasan matematika sebagai perasaan takut atau fobia ketika

melakukan kegiatan yang berhubungan dengan matematika. Ashcraft (2002:

181) berpendapat bahwa kecemasan matematika merupakan perasaan tegang,

ketakutan, yang mengganggu kinerja matematika. Siswa yang mempunyai

kecemasan matematika berpendapat bahwa matematika tidak menyenangkan,

sehingga siswa tidak akan bisa menyelesaikan masalah matematika.

Kecemasan adalah satu dari masalah kesehatan mental yang

mempengaruhi siswa, jika tidak dilakukan tindakan, kecemasan dapat

menghambat personal/sosial siswa, akademik, dan perkembangan karir

(Thompson, Robertson, Curtis, & Frick, 2013: 222). Menurut Ramirez, Chang,

39
Maloney, Levine, dan Beilock (2016: 83) kecemasan dalam pembelajaran

matematika merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan karena memberi

dampak negatif pada pengetahuan siswa. Berman dan Grahman (2018: 120)

menyimpulkan bahwa kecemasan matematika merupakan faktor kunci yang

menghambat pemebelajaran.

Kecemasan matematika siswa adalah salah satu faktor psikologi yang

mempengaruhi prestasi matematika siswa (Zakaria, Zain, Ahmad, & Erlina,

2012: 1828). Kecemasan matematika adalah konstruk penting yang

dipertimbangkan untuk mengetahui sumber perbedaan individual pada prestasi

matematika siswa (Vukovic, Kieffer, Bailey, & Harari, 2013). Kecemasan

matematika terkait dengan nilai tes matematika yang rendah pada, namun tidak

semua individu yang cemas dalam matematika juga buruk pada prestasi

matematika (Lyons & Beilock, 2012). Hal ini berarti bahwa kecemasan

matematika dapat berpengaruh negatif maupun positif terhadap prestasi siswa.

Ada banyak hubungan yang signifikan antara prestasi matematika yang

rendah dan kecemasan. Contohnya, jika kecemasan matematika mencapai

sebuah level dimana siswa menarik diri dari pembelajaran yang akan datang,

sehingga siswa menunjukkan level prestasi matematika yang rendah. Faktor

yang berkontribusi untuk skenario ini dapat menjadi ketidakcocokkan antara

pembelajaran dan instruksi yang siswa terima (Chinn, 2017: 105). Wu

(Thijssee, 2002: 1) berpendapat bahwa kecemasan matematika dapat

disebabkan oleh proses pembelajaran. Ketidaktepatan metode dapat memicu

kecemasan matematika siswa. Smith (2013: 10) berpendapat bahwa kurangnya

40
keterlibatan siswa dalam mempelajari matematika, kesulitan memahami materi

matematika, dan ketergantungan pada memori jangka pendek ketika

mempelajari matematika merupakan penyebab kecemasan matematika. Orang

tua dan guru dapat juga secara tidak sengaja menyampaikan pesan yang

kontradiktif, dan ini dapat menjadi sumber kecemasan dan keraguan diri pada

siswa (Branco, 2018: 43).

Menurut Sousa (2014: 167-173) ada lima hal yang berkontribusi terhadap

kecemasan matematika :

1) Sikap guru; Studi penelitian mengkonfirmasi bahwa sikap guru sangat

mempengaruhi kecemasan matematika dan merupakan faktor yang paling

mendominasi dalam bentuk sikap siswa tentang matematika.

2) Kurikulum; Pada sekolah menengah, sifat abstrak dari isi kurikulum

menyebabkan siswa percaya bahwa keberhasilan dalam matematika karena

kemampuan bawaan dan hanya sedikit usaha.

3) Strategi pembelajaran; Berdasarkan penelitian bahwa prestasi dalam

matematika tergantung pada keahlian guru dalam matematika. Metode

mengajar dengan ―menjelaskan praktik-menghafal‖ merupakan sumber

kecemasan matematika karena berfokus pada hafalan bukan pada

pemahaman konsep dan penalaran yang melibatkan siswa.

41
4) Budaya kelas; Merupakan norma-norma dan perilaku yang secara teratur

diterapkan dalam interaksi kelas. Kelas yang kurang memberi kesempatan

kepada siswa untuk menyelesaikan masalah akan menimbulkan kecemasan.

Serta dengan memberikan penekanan kuat pada kecepatan tidak akan

mendorong siswa untuk merefleksikan proses berfikir atau menganalisis.

5) Penilaian; Tes sering mungurangi kepercayaan diri siswa karena tidak

memiliki fleksibilitas dalam proses pengujian dan sebagai hasilnya tes tidak

merangsang rasa ingin tahu atau daya cipta siswa.

Guru seharusnya berusaha untuk memahami kecemasan matematika dan

menerapkan strategi belajar dan pembelajaran sehingga siswa dapat mengatasi

kecemasan mereka (Zakaria, Zain, Ahmad, & Erlina, 2012: 1828). Guru dapat

mengaplikasikan beberapa strategi untuk mereduksi pengaruh negatif dari

kecemasan pada pembelajaran dan prestasi, dengan membuat iklim kelas yang

menerima, nyaman, dan bantuan nonkompetitif, menghindari tekanan waktu,

serta soal tes yang dimulai dengan masalah yang mudah (Slavin, 2018: 259).

Mayer (2008: 2-4) berpendapat bahwa kecemasan merupakan respon

normal terhadap situasi hidup. Kecemasan menjadi masalah ketika hal itu

menyebabkan rasa sakit dan penderitaan emosional dan mengganggu

kemampuan anak untuk berfungsi dengan baik di sekolah dan di kehidupan

sehari-hari. Gangguan kecemasan terjadi apabila kecemasan menjadi sangat

parah terjadi. Perkembangan siswa akan terbatas di setiap bidang karena

intensitas kecemasan yang parah. Reaksi pikiran-tubuh yang terjadi secara

instan, dan dampaknya sangat terasa secara fisiologis, perilaku, dan psikologis

42
semua berlangsung pada saat yang sama dinamakan kecemasan. Gejala

kecemasan dapat ditunjukkan dengan grogi saat menjawab pertanyaan di kelas,

hingga pikiran kosong atau serangan kepanikan ketika diminta menyelesaikan

masalah di papan tulis.

Siswa dengan kecemasan matematika yang tinggi akan berusaha

menghindari pelajaran matematika, berfikiran tentang kegagalan pada beberapa

tugas (Chinn & Ashcroft, 2017: 40). Arem (2010: 1) berpendapat bahwa gejala

kecemasan matematika yaitu emosi negatif, mental, atau reaksi fisik terhadap

proses berfikir matematika dan memecahkan masalah yang disebabkan

pengalaman hidup tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan dengan

matematika. Elliot dan Smith (2006: 9), menyatakan bahwa kecemasan

mempengaruhi bagaimana seseorang berfikir, bertindak, merasa dan

berhubungan dengan orang lain.

Kuisioner untuk mengukur kecemasan bagi siswa, menurut Chinn (2017:

110) adalah mengenai beberapa hal pada area kognitif dan afektif dari

matematika yang membuat siswa mengalami kecemasan. Pertanyaan pada

kuisioner mengindikasikan perasaan siswa ketika melakukan segala sesutau

yang berhubungan dengan matematika, baik bagian dari pelajaran di sekolah

atau di luar sekolah (Chinn, 2015: 186).

Menurut Zeidner dan Matthews (2011: 5-9) bahwa kondisi psikologis

saat seseorang merasakan gelisah dan khawatir yang dipicu oleh keadaan

ambigu dinamakan kecemasan. Perasaan dari kegelisahan dan kesusahan yang

tidak tentu, menyebar, tidak pasti, dan sering tanpa bentuk yang terbentuk dari

43
ancaman atau bahaya dinamakan kecemasan. Kecemasan sebagai rangkaian

aspek multidimensi yang kompleks yang berbentuk dimensi kognitif, afektif,

somatik, dan reaksi perilaku.

1) Kognitif (gangguan berfikir); ketika cemas, sering khawatir tentang

masalah, fokus perhatian di dalam batin. Perubahan dalam proses kognitif

meliputi meningkatkan kesadaran ancaman, dan fokus perhatian pada

kemungkinan adanya bahaya.

2) Afektif (emosi negatif); perasaan kecemasan sebagai emosi atau suasana

hati, misalnya merasa tegang, gugup, dan gelisah.

3) Somatik (reaksi tubuh); kecemasan disertai gejala fisik seperti jantung

berdebar, telapak tangan berkeringat, tubuh merespon ancaman dengan

bersiap untuk melawan atau menghindar.

4) Reaksi perilaku; kecemasan mendorong untuk merespon dengan cara yang

khas, seperti berusaha untuk melarikan diri dari bahaya, serta menunjukkan

perilaku kecemasan nonverbal, seperti gelisah.

Berdasarkan uraian di atas, maka kecemasan matematika merupakan

suatu respon negatif saat berhadapan dengan segala hal yang berhubungan

dengan matematika, seperti materi pelajaran, guru matematika, proses

pembelajaran, serta saat tes matematika. Hal ini ditunjukkan melalui aspek

kognitif (gangguan dalam berfikir), afektif (emosi atau perasaan negatif), dan

somatik (reaksi tubuh).

44
3. Sikap terhadap Matematika

Salah satu hal penting yang harus dimiliki oleh siswa pada abad 21 yaitu

sikap positiif dalam pembelajaran matematika (Joseph, 2016: 133). Hasil

penelitian oleh Benken, Ramirez, Li, dan Wetendorf (2015: 14) menganjurkan

untuk melakukan re-evaluasi terhadap perkembangan pembelajaran

matematika yang tidak hanya fokus terhadap konten dan keterampilan, tetapi

juga sikap terhadap matematika. Pada kurikulum matematika Singapura, salah

satu tujuan dari pendidikan matematika adalah memungkinkan siswa untuk

mengembangkan sikap positif terhadap matematika (Seto, 2016: 96). Hal ini

menandakan betapa pentingnya mengembangkan sikap positif terhadap

matematika.

Fishbein, dan Ajzen (1975: 131) berpendapat bahwa sikap muncul antara

konsep keyakinan, niat berprilaku, dan perilaku, dan melalui hubungan diantara

konsep tersebut. Alport (Gable, 1986: 4) berpendapat bahwa sikap merupakan

kesiapan mental dan saraf yang diorganisasi melalui pengalaman yang

mempengaruhi respon seseorang terhadap semua objek dan situasi yang saling

berhubungan. Menurut Nitko dan Brookhart (2007: 451) bahwa karakteristik

dari seseorang yang menggambarkan perasaan positif dan negatif mereka

terhadap objek, situasi, institusi, seseorang atau ide tertentu dinamakan sikap.

Sikap bisa memiliki dimensi emosi, namun sikap bukanlah emosi. Sikap

bisa sangat dipengaruhi oleh perilaku masa lalu dan bisa mengarah pada

perilaku di masa depan, sikap tidak sama dengan perilaku. Salah satu cara

untuk mengukur sikap adalah dengan mengamati aspek perilaku (Reid, 2015:

45
12). Kollosche (2017: 182) berpendapat bahwa siswa dengan sikap positif

terhadap matematika menunjukkan kenyamanan psikosomatik, mudah paham,

dan minat yang kuat. Siswa dengan sikap negatif menunjukkan

ketidaknyamanan psikosomatik, susah paham dan minat yang sedikit.

Sikap bermula dari perasaan (suka atau tidak suka) yang terkait dengan

kecenderungan seseorang merespon suatu objek, sikap dapat dibentuk sehingga

makna sikap meluas pada perilaku atau tindakan yang dipengaruhi oleh objek

tersebut (Majid, 2015: 163-173). Aiken (Gable, 1986: 5) menyatakan bahwa

sikap merupakan suatu proses konseptualisasi sebagai bentuk kecenderungan

dalam merespon secara positif atau negatif objek, situasi, konsep, atau orang

tertentu pada ranah kognitif, afektif, dan konatif. Krech et al (1962, 140)

membagi ranah sikap siswa yaitu :

1) Cognitif; Komponen sikap yang konsisten diperoleh melalui kepercayaan

atau keyakinan individu terhadap suatu hal.

2) Feeling; Emosional individu terhadap suatu hal.

3) Action tendency; Kecenderungan bertindak yang dipengaruhi sikap.

Sikap positif terhadap matematika menurut Robson (1996: 10) yaitu

menikmati pelajaran matematika dan memiliki kepercayaan diri atas

kemampuannya, namun tidak berarti akan muncul sepanjang waktu. Investigasi

yang dilakukan oleh Mahanta (2012: 162) menunjukkan bahwa sikap positif

siswa terhadap matematika menunjukkan keyakinan siswa bahwa matematika

adalah subjek yang penting yang dapat membantu mereka pada karir masa

depan mereka.

46
Popham (1995: 179-180) berpendapat bahwa sikap perlu ditingkatkan

karena sikap siswa akan menentukan semangat siswa untuk belajar

matematika. Sikap terhadap matematika secara signifikan merupakan salah

satu indikator dari prestasi matematika (Quaye, 2015: 60). Penemuan dari

TIMSS dan PISA mengindikasikan bahwa sikap terhadap matematika tampak

mempengaruhi hasil pembelajaran siswa (Leder, 2017: 202).

Goodykoonnz (Oundo & Kamoyo, 2013: 77) menyatakan bahwa sikap

terhadap matematika dipengaruhi oleh pembawaan diri sebagai guru yang

didukung kompetensi kepribadian guru, pembelajaran dan penilaian yang

didukung oleh kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional, ruang kelas

dan prestasi, dan sudut pandang dari siswa itu sendiri. Sikap terhadap

matematika dijelaskan oleh keyakinan pada pembelajaran matematika,

matematika sebagai domain utama, persepsi terhadap guru, sikap terhadap

keberhasilan dalam matematika, pengaruh motivasi dalam matematika,

kegunaan matematika, dan skala kecemasan matematika (Leder, 2017: 206-

207)

Menurut Nitko dan Brookhart (2007: 451) bahwa dalam menilai sikap

tidak bisa dilihat secara langsung namun bisa melalui tindakannya atau melalui

kuesioner tentang sikap. Sikap tidak dapat diukur secara langsung tetapi perlu

disimpulkan dari niat, persepsi, dan tingkah laku (Leder, 2017: 210). Majid

(2015: 169-173) menyatakan bahwa dalam menilai sikap dapat melalui

observasi perilaku, pertanyaan langsung dan laporan pribadi. Pertanyaan

47
langsung dapat dilakukan dengan penilaian diri yaitu dengan cara meminta

peserta didik untuk mengemukakan kelebihan dan kekurangan dirinya.

Berdasarkan uraian diatas, sikap terhadap matematika merupakan

kecenderungan dalam bertindak terhadap pembelajaran matematika pada aspek

kognitif meliputi keyakinan terhadap pengetahuan, afektif meliputi emosi atau

perasaan yang timbul, dan konatif meliputi kecenderungan dalam bertindak.

4. Prestasi Belajar Matematika

Stiggins dan Chappuis (2008: 35) menyatakan bahwa prestasi belajar

sebagai bagian dari target belajar dapat didefinisikan dari keberhasilan siswa.

Johnson dan Jhonson (2002: 8) melihat perkembangan hubungan prestasi

belajar berhubungan dengan tingkah laku, prestasi berhubungan dengan hasil

dan prestasi berhubungan dengan sikap dan waktu.

Tes merupakan salah satu cara untuk mengukur prestasi belajar siswa

dari aspek pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajari peserta didik di

sekolah (Johnson & Johnson, 2002: 278; Reynolds, Livingston, & Wilson,

2009: 300; Djamarah, 2010: 96). Menurut Miller, Linn, dan Gronlund (2009:

28) bahwa tes merupakan jenis penilaian yang terdiri dari beberapa set

pertanyaan yang diberikan pada suatu periode waktu dan dalam kondisi yang

sudah dirancang. Soal tes terstandar yang digunakan di berbagai sekolah dapat

berfungsi sebagai pembanding prestasi belajar siswa antar siswa, sekolah,

wilayah atau negara, tes yang standar juga bisa digunakan sebagai evaluasi

suatu program, melihat dan untuk mengidentifikasi kesulitan siswa dalam

48
belajar (Johnson & Johnson, 2002:59; Reynolds, Livingston, & Wilson, 2009:

301).

Berdasarkan penelitian oleh Yaratan dan Kasapoglu (2012: 162) bahwa

44,8% variabel prestasi matematika siswa dapat dijelaskan oleh kecemasan

siswa (-.432), sikap (.216), gender (-.113), dan lokasi sekolah (-.291).

Sementara itu OECD (2005: 2) menyatakan bahwa guru adalah penentu

penting prestasi belajar siswa selain kemampuan awal siswa dan faktor

keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hattie (2003: 1-2)

mengenai prestasi belajar, diperoleh beberapa faktor yang mepengaruhi

prestasi belajar siswa sebagai berikut:

1) Siswa; Sekitar 50% dari prestasi belajar siswa, variabel ini mempunyai

prediksi yang lebih kuat daripada variabel lainnya.

2) Rumah; Sekitar 5-10% pada prestasi belajar siswa, efek rumah berhubungan

dengan motivasi yang melibatkan orang tua atau pengasuh dan cara

pengelolaan rumah tangga.

3) Sekolah; Sekitar 5-10% dari varians, komponen yang melekat pada suatu

sekolah menyangkut keuangan, ukuran sekolah, ukuran kelas, bangunan dan

fasilitas didalamnya.

4) Guru; Sekitar 30% dari varians, karena pengetahuan, tindakan dan

kepedulian guru memiliki efek dalam pembelajaran.

5) Teman sebaya; Sekitar 5-10% dari varians.

49
6) Kepala sekolah; Karena kepala sekolah berpengaruh pada iklim sekolah

dalam menciptakan kontrol birokrasi dan menciptakan iklim keamanan

untuk belaja secara psikologis.

B. Penelitian yang Relevan

1. Keterkaitan Kompetensi Guru dengan Prestasi Belajar Matematika

a. Penelitian oleh Muslikhah (2015: 91) mengenai prestasi belajar

matematika siswa SMP di Kabupaten Bantul tidak berbanding lurus

dengan kompetensi guru, sehingga disarankan perlunya penyelidikan

mendalam mengenai faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar

siswa.

b. Penelitian oleh Campbell, et al. (2014: 445) diperoleh peningkatan

penguasaan materi guru yang merupakan bagian dari kompetensi guru,

dapat mengestimasi kenaikan prestasi belajar siswa sebesar 7,1% pada

siswa SD kelas atas dan 16,6% pada siswa SMP.

c. Penelitian oleh Inayah (2013: 9), disimpulkan terdapat pengaruh positif

mengenai persepsi kompetensi guru terhadap prestasi belajar mata

pelajaran ekonomi pada siswa kelas XI IPS SMA Negeri 1 Lasem tahun

pelajaran 2011/2012 sebesar 0,409 dan significant.

d. Penelitian oleh Lero (2013: 127) disimpulkan bahwa kompetensi dan

perilaku guru berpengaruh signifikan sebesar 0,037 poin terhadap

prestasi belajar terhadap siswa SMA Negeri 1 Wewewa Timur dan SMK

Negeri 1 Wewewa Barat kabupaten Sumba Barat Daya.

50
2. Keterkaitan Kompetensi Guru dengan Sikap terhadap Matematika

a. Penelitian oleh Yilmaz, Altun, dan Ollkun (2010: 4504) disimpulkan

kepribadian guru memegang peranan penting dalam membentuk sikap

siswa terhadap matematika. Beberapa siswa menjawab bahwa empati

guru dan persahabatan guru akan membantu siswa suka terhadap

matematika.

b. Penelitian yang dilakukan Farooq dan Shah (2008: 79) mengenai hal

yang mempengaruhi sikap siswa terhadap matematika, pada siswa laki-

laki disimpulkan bahwa guru berpengaruh sebesar 39,59 dan pada siswa

perempuan berpengaruh 40,29. Tidak ada perbedaan signifikan diantara

keduanya. Dari kedua kelompok tersebut, dapat dilihat bahwa guru

mempunyai peranan dalam membentuk sikap siswa terhadap matematika

baik terhadap anak laki-laki maupun perempuan.

c. Penelitian oleh Mensah, Okyere, dan Kuranchie (2013:137)

menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap guru

dan sikap siswa terhadap matematika. Sikap positif guru membuat siswa

lebih percaya diri oleh karena itu membuat mereka mengembangkan

sikap positif terhadap pembelajaran matematika.

d. Dacadas dan Lay (2018) menyatakan bahwa dukungan secara afektif dari

guru dan cara mengajar di kelas secara signifikan lebih memprediksi

sikap terhadap matematika daripada pengaruh dari orangtua.

51
3. Keterkaitan Kompetensi Guru dengan Kecemasan Matematika Siswa

a. Yüksel-Şahin (2008: 179) menyebutkan bahwa faktor yang berpotensi

menjadi peyebab kecemasan matematika salah satunya adalah

karakteristik guru matematika.

b. Hellum-Alexander (2010: 4) menyatakan bahwa ada pengaruh cara guru

mengajar matematikadan pedagogi pada kecemasan matematika siswa.

c. Mutodi dan Ngirande (2014: 286) menyatakan bahwa beberapa guru

yang mempunyai sikap yang buruk tentang matematika dan kurangnya

kepercayaan diri memicu kecemasan pada siswanya. Serta, kurangnya

pertimbangan guru mengenai perbedaan gaya belajar diantara siswa

merupakan penyebab utama dari kecemasan matematika.

4. Keterkaitan Kecemasan Matematika dengan Prestasi Belajar


Matematika

a. Erden dan Akgul (2010: 3) menyimpulkan bahwa kecemasan matematika

berkorelasi negatif dengan prestasi matematika mahasiswa.

b. Reali, F., Jimenez-Leal, W., Maldonado-Carreno, C., Devine, A., Szucs,

D. (2016: 369) menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang

ditemukan antara prestasi matematika dan kecemasan siswa.

c. Devine, Fawcett, Szűcs, dan Dowker (2012: 39) mengungkapkan bahwa

ada korelasi negatif yang signifikan antara kecemasan matematika dan

prestasi matematika untuk siswa laki-laki dan perempuan,

mengindikasikan bahwa siswa dengan kecemasan matematika yang

tinggi mempunyai prestasi matematika yang rendah.

52
d. Sarfo dan Adusei (2016) menyatakan bahwa kecemasan matematika

mempunyai kemampuan untuk secara negatif mempengaruhi prestasi

matematika pada disiplin matematika pada level SMA.

e. Pada penelitian oleh Pourmoslemi, Erfani, dan Firoozfar (2013: 1)

menemukan bahwa ada korelasi antara level kecemasan yang tinggi dan

prestasi akademik matematika yang rendah diantara siswa sarjana dari

Payame Noor University di Hamedan, Iran.

5. Keterkaitan Sikap terhadap Matematika dengan Prestasi Belajar


Matematika

a. Sirmaci (2010: 645) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan

antara sikap terhadap matematika dalam bentuk hubungan antara manfaat

matematika (berkorelasi 0,369), kecemasan (berkorelasi 0,310), persepsi

kompetensi matematika (berkorelasi 0,484), dan minat program

matematika (berkorelasi 0,455) terhadap skor matematika siswa.

b. Bakar, et al (2010: 4906) menyimpulkan bahwa ada korelasi positif yang

signifikan antara sikap siswa terhadap matematika dan prestasi akademik

(r=0,16, p<0,001).

c. Moenikia dan Zahed-Babelan (2010: 1537) menyatakan bahwa sikap

matematika adalah salah satu diantara prediktor pada prestasi siswa pada

matematika. Ada indikasi bahwa ada korelasi positif dan signifikan

antara sikap matematika dengan prestasi matematika (r=0,455, p<0,01).

d. Penelitian yang dilaksanakan oleh Mohamed dan Waheed (2011: 277)

menyimpulkan bahwa sikap siswa terhadap matematika berada pada

level medium. Serta terdapat hubungan negatif antara prestasi dan sikap

53
terhadap matematika, dimana prestasi matematika siswa Maldieves yang

rendah, tetapi sikap dari responden pada penelitian ini cukup positif.

e. Mahanta dan Islam (2012: 715) menyimpulkan bahwa sikap terhadap

matematika dan prestasi secara positif berkorelasi. Siswa dengan skor

sikap yang tinggi, juga mendapatkan skor yang bagus pada ujian

matematika, dimana siswa yang mempunyai skor sikap yang rendah

mendapatkan nilai yang lebih rendah pada ujian.

f. Hattie dan Yates (2014: 39) menyatakan bahwa berdasarkan data BTES

mengindikasikan bahwa ketika siswa mencapai level yang tinggi pada

nilai matematika, sikap positif mereka terhadap matematika juga

meningkat.

6. Keterkaitan Kecemasan Matematika dengan Sikap terhadap


Matematika

a. Penelitian oleh Kargar, Tarmizi, dan Bayat (2010: 537) menunjukkan ada

hubungan negatif dan yang cukup siginifikan antara kecemasan

matematika siswa dan sikap terhadap matematika (r =-.509, p<0,05).

Siswa dengan kecemasan matematika yang tinggi cenderung mempunyai

skor yang rendah pada sikap matematika.

b. Penelitian oleh Vitasari, et al (2010: 492) menyebutkan bahwa siswa

yang mempunyai gangguan kecemasan menunjukkan sikap pasif pada

saat pembelajaran seperti kurangnya minat dalam pembelajaran, prestasi

yang rendah saat ujian, dan mengerjakan tugas dengan buruk.

54
c. Penelitian oleh Gresham (2009: 26) menyatakan bahwa calon guru yang

mempunyai sikap positif terhadap matematika lazimnya mempunyai

level yang rendah pada kecemasan matematika.

d. Yaratan dan Kasapoglu (2012) menyatakan bahwa siswa dengan sikap

terhadap matematika yang positif dan kecemasan matematika yang

rendah akan menunjukkan prestasi yang lebih tinggi.

e. Pada penelitian yang dilakukan oleh Akin dan Kurbanglu (2011)

menemukan bahwa sikap terhadap matematika ditemukan secara negatif

berasosiasi dengan kecemasan matematika.

C. Kerangka Pikir

Berdasarkan hasil kajian teori, faktor eksternal seperti kompetensi guru akan

berpengaruh terhadap pembelajaran di kelas yang berdampak pada kecemasan

matematika, sikap terhadap matematika, serta prestasi belajar matematika siswa.

Kompotensi guru pada penelitian ini mencakup kompetensi pedagogik,

kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian.

Faktor internal seperti kecemasan matematika dan sikap terhadap

matematika juga akan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Serta ada

hubungan antara kecemasan matematika dan sikap terhadap matematika.

Kecemasan matematika pada penelitian ini mencakup aspek kognitif, afektif, dan

somatik. Sikap terhadap matematika pada penelitian ini mencakup aspek kognitif,

afektif, dan konatif.

55
Kognitif Afektif Somatik

Kompetensi
pedagogik
Kecemasan
matematika
Kompetensi
profesional
Kompetensi Prestasi Nilai
Guru
Kompetensi
sosial
Sikap
matematika
Kompetensi
kepribadian

Kognitif Afektif Konatif

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

Tabel 6 menjelaskan makna dari notasi-notasi LISREL yang terdapat pada


gambar 1.

Tabel 6 Notasi LISREL


Notasi Keterangan
(ksi 1) Variabel laten eksogen 1 (kompenetnsi guru)
(eta 1) Variabel laten endogen 1 (kecemasan matematika)
(eta 2) Variabel laten endogen 2 (sikap terhadap matematika)
(eta 3) Variabel laten endogen 3 (prestasi belajar matematika)
(gamma) Hubungan antara variabel endogen 1 (kecemasan matematika) dengan
variabel eksogen 1 (kompenetnsi guru)
(gamma) Hubungan antara variabel endogen 2 (sikap terhadap matematika) dengan
variabel eksogen 1 (kompenetnsi guru)
(gamma) Hubungan antara variabel endogen 3 (prestasi belajar matematika)
dengan variabel eksogen 1 (kompenetnsi guru)
(beta) Hubungan langsung variabel endogen 2 (sikap terhadap matematika)
dengan variabel endogen 1 (kecemasan matematika)
(beta) Hubungan langsung variabel endogen 3 (prestasi belajar matematika)
dengan variabel endogen 1 (kecemasan matematika)
(beta) Hubungan langsung variabel endogen 3 (prestasi belajar matematika)
dengan variabel endogen 2 (sikap terhadap matematika)
(lamda) Hubungan antara indikator 1 (kompetensi pedagogik) dengan variabel
eksogen 1 (kompetensi guru)

56
Notasi Keterangan
(lamda) Hubungan antara indikator 2 (kompetensi profesional) dengan variabel
eksogen 1 (kompetensi guru)
(lamda) Hubungan antara indikator 3 (kompetensi sosial) dengan variabel eksogen
1 (kompetensi guru)
(lamda) Hubungan antara indikator 4 (kompetensi kepribadian) dengan variabel
eksogen 1 (kompetensi guru)
(lamda) Hubungan antara indikator 1 (nilai metematika) dengan variabel endogen
3 (prestasi belajar matematika)
(lamda) Hubungan antara indikator 2 (kognitif) dengan variabel endogen 2 (sikap
terhadap matematika)
(lamda) Hubungan antara indikator 3 (afektif) dengan variabel endogen 2 (sikap
terhadap matematika)
(lamda) Hubungan antara indikator 4 (konatif) dengan variabel endogen 2 (sikap
terhadap matematika)
(lamda) Hubungan antara indikator 5 (kognitif) dengan variabel endogen 1
(kecemasan matematika)
(lamda) Hubungan antara indikator 6 (afektif) dengan variabel endogen 1
(kecemasan matematika)
(lamda) Hubungan antara indikator 7 (somatik) dengan variabel endogen 1
(kecemasan matematika)
(delta) Measurement error dari indikator variabel eksogen
(epsilon) Mmeasurement error dari indikator variabel endogen
(zeta) Kesalahan dalam persamaan, yaitu antara variabel eksogen/endogen dan
variabel endogen

Persamaan matematis model tersebut adalah sebagai berikut.

Persamaan model struktural :

Persamaan model pengukuran variabel eksogen :

Persamaan model pengukuran variabel endogen :

57
D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir di atas maka pertanyaan

penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Terdapat kontribusi kompetensi guru matematika terhadap kecemasan

matematika siswa SMA/MA di Provinsi Bengkulu

2. Terdapat kontribusi kompetensi guru matematika dengan sikap terhadap

matematika siswa SMA/MA di Provinsi Bengkulu

3. Terdapat kontribusi kompetensi guru matematika terhadap prestasi belajar

matematika siswa SMA/MA di Provinsi Bengkulu

4. Terdapat pengaruh antara kecemasan matematika dengan prestasi belajar

matematika siswa SMA/MA di Provinsi Bengkulu

5. Terdapat pengaruh antara sikap terhadap matematika dengan prestasi belajar

matematika siswa SMA/MA di Provinsi Bengkulu

6. Terdapat pengaruh antara kecemasan matematika dengan sikap terhadap

matematika siswa SMA/MA di Provinsi Bengkulu

58

Anda mungkin juga menyukai