Anda di halaman 1dari 21

E-Learning Bendahara

Pengeluaran/BPP

Modul 1. Sistem Penerimaan dan Pengeluaran Negara

1. KONSEPSI DASAR PENDAPATAN NEGARA DAN BELANJA NEGARA


a. Keuangan Negara berpedoman pada beberapa ketentuan yang menjadi landasan
hukum antara lain UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No.17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, dan ketentuan lainnya.
b. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
c. Pendapatan Negara terdiri dari penerimaan perpajakan, penerimaan Negara bukan
pajak (PNBP), dan penerimaan hibah.
d. Belanja Negara terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja
utang, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
e. Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan keuangan Negara
perlu diselenggarakan berdasarkan asas-asas umum pengelolaan keuangan Negara yaitu
asas kesatuan, asas universalitas, asas tahunan, dan asas spesialitas. Selain itu juga
terdapat asas-asas baru yaitu akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas,
proporsionalitas, keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara, dan pemeriksaan
keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
f. Untuk melaksanakan pengelolaan keuangan pada satuan kerja pada kementerian
Negara/Lembaga maka ditunjuk pejabat pengelolaan keuangan satker meliputi: KPA,
PPK, PPSPM, Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengeluaran, dan Pejabat lainnya.
2. DOKUMEN PELAKSANAAN ANGGARAN
a. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah Dokumen
Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan PA/KPA dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN. POK adalah dokumen yang memuat
uraian rencana kerja dan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, disusun
oleh KPA sebagai penjabaran lebih lanjut dari DIPA.
b. Anggaran diklasifikasi menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja (ekonomi).
c. Pokok-pokok materi dalam DIPA meliputi uraian-uraian terkait dengan identitas
organisasi, pernyataan syarat dan ketentuan (disclaimer), rumusan fungsi dan subfungsi,
informasi kinerja, pejabat perbendaharaan, rincian penggunaan anggaran, rencana
penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan pengisian catatan.
d. POK merupakan penjabaran dari DIPA yang formatnya seperti kertas kerja RKA-K/L.

3. SISTEM PENERIMAAN NEGARA


a. Pihak-pihak terkait dalam penerimaan negara antara lain adalah Wajib Pajak, Wajib
Bayar, Petugas/Juru Pungut, Bendahara Penerimaan/Pengeluaran, KPA, Bank/Pos
Persepsi, KPPN, KPP, KPBC, dan DJA.
b. Pihak-pihak yang terkait penatausahaan Penerimaan Negara wajib melakukan
pengelolaan dokumen-dokumen yang terkait dengan penyetoran Penerimaan Negara.
c. Beberapa cara penyetoran penerimaan Negara oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar:
i. Wajib Pajak – Bendahara Pengeluaran – Kas Negara
ii. Wajib Pajak – Kas Negara
iii. Wajib Bayar – Petugas Pungut – Bendahara Penerimaan – Kas Negara
iv. Wajib Bayar – Bendahara Penerimaan – Kas Negara
v. Wajib Bayar – Kas Negara
d. Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor melakukan penyetoran Penerimaan Negara ke
Bank/Pos Persepsi secara elektronik menggunakan kode billing. Dalam hal Wajib
Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor belum dapat melakukan penyetoran menggunakan kode
billing, penyetoran Penerimaan Negara menggunakan surat setoran sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 99/PMK.06/2006 tentang Modul Penerimaan
Negara beserta perubahannya.
e. Penerimaan negara yang disetor oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/Bendahara
Penerimaan diakui pada saat masuk ke Rekening Kas Negara dan mendapatkan NTPN
dan NTB/NTP/NPP.

4. SISTEM PENGELUARAN NEGARA


a. Pembayaran tagihan kepada Negara dilakukan dengan memilih dari dua metode yaitu
Pembayaran Langsung (LS) dan Mekanisme Uang Persediaan (UP).
b. Pengeluaran Negara harus didukung oleh dokumen-dokumen yang dapat mendukung
kelengkapan dan keabsahan pengeluaran.
c. Pengeluaran Negara melibatkan beberapa pihak di antaranya pegawai, penyedia
barang/jasa, PPK, PPSPM, bendahara Pengeluaran/BPP, KPA, KPPN, Bank Operasional,
dan Pos Pengeluaran.
d. Penerima hak mengajukan tagihan kepada negara atas komitmen berdasarkan bukti-
bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran. Atas dasar tagihan, PPK melakukan
pengujian. Pelaksanaan pembayaran tagihan, dilakukan dengan Pembayaran LS kepada
penyedia barang/jasa atau melalui Bendahara Pengeluaran.
e. Koreksi/ralat SPP, SPM, dan SP2D hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengakibatkan
perubahan jumlah uang pada SPP, SPM dan SP2D, sisa pagu anggaran pada DIPA/POK
menjadi minus, atau perubahan kode Bagian Anggaran, eselon I, dan Satker. 6.
Sehubungan dengan diterapkan Treasury Notional Pooling (TNP) maka pembukaan
rekening bendahara pengeluaran dilakukan pada bank umum yang terhubung dengan
sistem TNP. Penyelenggaraan rekening yang terintegrasi dalam sistem TNP ini akan
mendukung pengelolaan kas Negara yang efektif dan efisien.

5. SISTEM PENGARSIPAN DOKUMEN KEUANGAN NEGARA


a. Pejabat perbendaharaan bertanggung jawab atas penyelenggaraan penatausahaan
dokumen transaksi keuangan Pemerintah yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b. Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai
dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima
oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan,
organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
c. Pejabat dan/atau pelaksana yang melanggar ketentuan penyelenggaraan kearsipan
dikenai sanksi administratif dan sanksi pidana.
d. Pejabat dan/atau pelaksana yang melanggar ketentuan penyelenggaraan kearsipan
dikenai sanksi administratif dan sanksi pidana.
Modul 2. Pengelolaan Uang Persediaan

1. PERHITUNGAN UANG PERSEDIAAN


a. Uang Persediaan dapat diartikan sebagai uang muka kerja yang diberikan oleh KPPN
selaku Kuasa BUN di daerah, kepada satuan kerja K/L melalui bendahara pengeluaran,
yang diperuntukkan untuk membiaya belanja satker dengan nilai sampai dengan Rp50
juta. UP ini diberikan setelah satker K/L tersebut menerima DIPA.
b. Besaran UP Normal yang diajukan oleh satuan kerja K/L untuk pertama kali setelah
menerima DIPA adalah:
o Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan
melalui UP sampaidengan Rp900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah).
o Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan
melalui UP di atas Rp900.000.000 (sembilan ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah).
o Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan
melalui UP di atas Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah).
o Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan
melalui UP di atas Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah).
c. Untuk mendapatkan pembayaran UP dari KPPN, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) satuan
kerja K/L harus menyiapkan Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP).
Akun yang digunakan untuk permintaan UP RM adalah 825111.

2. PENGGANTIAN UANG PERSEDIAAN


a. Penggantian (GUP) Isi, merupakan dana UP yang diisi kembali (revolving) dari KPPN
selaku Kuasa BUN, kepada rekening bendahara pengeluaran, secara otomatis dari
pertanggungjawaban yang diajukan. Jumlah total SPP atau SPM-GUP Isi merupakan
akumulasi dari jumlah bukti pembayaran/kuitansi yang dihasilkan dari UP Normal atau
Perubahan UP. Jumlah total SPP atau SPM-GUP Isi, minimal harus 50% dari UP Normal
atau Perubahan UP.
b. Penerbitan permintaan pembayaran penggantian Uang Persediaan (GUP) Nihil dilakukan
dalam hal:
- sisa dana pada DIPA yang dapat dibayarkan dengan UP minimal sama dengan
besaran UP yang diberikan;
- sebagai pertanggungjawaban UP yang dilakukan pada akhir tahun anggaran;
- UP tidak diperlukan lagi.
c. Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disebut
SPP-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang
berisi pertanggungjawaban dan permintaan kembali pembayaran Uang Persediaan.

3. TAMBAHAN UANG PERSEDIAAN (GUP)


a. Tambahan Uang Persediaan, merupakan uang muka kerja yang diberikan oleh KPPN
selaku Kuasa BUN kepada satuan kerja K/L, sebagai tambahan dari UP Normal yang suda
diterima oleh satker tersebut. Tambahan UP bersifat mendesak atau habis dalam waktu
satu bulan (30 hari) kalender, sejak tanggal SP2D TUP sampai dengan SPM-GUP diterima
oleh loket KPPN.
b. Tambahan UP dapat diajukan oleh satker K/L meskipun penggunaan UP Normal atau
PUP belum mencapai 50%. Tambahan UP ini diajukan dalam rangka satker yang
bersangkutan memerlukan pendanaan melebihi sisa dana UP yang tersedia pada
bendahara pengeluaran, untuk keperluan yang mendesak. Kuasa Pengguna Anggaran
(KPA) mengajukan permintaan TUP kepada Kepala KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum
Negara (BUN) disertai:
- Rincian rencana penggunaan TUP,
- Dokumen lain yang dipersyaratkan oleh Kuasa BUN (KPPN) dalam rangka
penggunaan TUP
c. Untuk perpanjangan pertanggungjawaban Tambahan UPmelampaui 1 (satu) bulan,
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala
KPPN. Kepala KPPN memberikan persetujuan perpanjangan pertanggungjawaban TUP
dengan pertimbangan:
- KPA harus mempertanggungjawabkan TUP yang telah dipergunakan;

- KPA menyampaikan pernyataan kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan sisa


TUP tidak lebih dari 1(satu) bulan berikutnya.

4. PENGELOLAAN UP SUMBER DANA PNBP


a. Permintaan pembayaran UP untuk DIPA yang bersumber dari dana PNBP, merupakan
SPP permintaan uang muka kerja, yang dapat diajukan pertama kali setelah satker
menerima DIPA. Seperti halnya DIPA yang bersumber dari Rupiah Murni, satker K/L juga
dapat memperoleh Tambahan UP dari DIPA yang bersumber PNBP. Akan tetapi,
tambahan UP ini dapat diberikan oleh KPPN setelah menghitung proporsi penarikan dari
PNBP yang sudah disetorkan ke kas negara oleh satker.
b. Uang Persediaan dapat diberikan kepada satker pengguna sebesar 20% dari pagu dana
PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah), dengan
melampirkan Daftar Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (PNBP) Tahun
Anggaran sebelumnya. Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar
kebutuhan riil satu bulan dengan memperhatikan Maksimum Pencairan (MP).
c. Seperti halnya DIPA yang bersumber dari Rupiah Murni (RM), penarikan dana UP pada
DIPA PNBP juga dapat dilakukan sesuai kebutuhan, baik UP Normal, Tambahan UP,
Perubahan UP, dan Dispensasi. Penarikan dana UP dan TUP tersebut dilakukan sesuai
kebutuhan dan menggunakan ketentuan yang berlaku

5. PENGELOLAAN UP SUMBER DANA PHLN


Sebagaimana kita ketahui, beberapa satuan kerja selain memperoleh DIPA dari
sumber Rupiah Murni dan PNBP, juga dapat memperoleh dana dari Pinjaman atau Hibah
dari Luar Negeri. Bagi satker seperti ini, untuk membiayai kegiatan pelaksanaan tupoksi atau
kegiatan penunjang, bendahara pengeluaran dimungkinkan menarik dana UP dari sumber
dana PHLN tersebut.
Salah satu cara pembayaran yang dapat dilakukan oleh satker penerima PHLN
melalui reksus KPPN di BI tersebut, adalah dengan cara menarik Uang Persediaan (UP). Uang
Persediaan dana yang bersunber dari PHLN, dapat berupa UP Normal, Perubahan UP,
Tambahan UP, Dispensasi UP, dan Penggantian UP. Dana UP tersebut diajukan dan dikelola
oleh bendahara pengeluaran masing-masing satker. Tata cara penarikan dana PHLN dengan
rekening khusus ini paling sering digunakan karena banyak keuntungannya walau masih ada
juga kekurangannya.
Kelebihan dari cara pembayaran melalui rekening khusus antara lain tersedianya
dana setiap saat (dengan adanya initial deposit), menghindari pembiayaan pendahuluan
(prefinancing), dapat dilaksanakan oleh KPPN di daerah baik KPPN KBI maupun KPPN
nonKBI, serta lokasi pembayaran yang dekat dengan proyek, sehingga dapat diharapkan
penarikan dana oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Satker dapat lebih
cepat, sedangkan kekurangannya antara lain jika penyerapan dana oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Satker rendah, kita sudah terkena kewajiban
pembayaran bunga atas dana initial deposit yang telah disediakan lender, banyak
pengeluaran yang dinyatakan ineligible oleh lenderyang disebabkan karena pembebanan
porsi PHLN tidak sesuai dengan loan agreement, pengisian BAP yang tidak benar, salah
mencantumkan nomor rekening khusus, dan lain-lain.Oleh karena itu, pengelola
kegiatan/proyek (executing agency), harus memperhatikan hal-hal tersebut agar PHLN dapat
ditarik tepat waktu dan benar, sehingga dana pembiayaan kegiatan/proyek siap setiap saat
dan tidak memberatkan pemerintah Indonesia dalam membayar commitment fee.
Pelaksanaan penarikan dana PHLN dengan rekening khusus ini ada dua tahapan,
yaitu tahap pendahuluan yang terdiri pembukaan rekening khusus, pengajuan initial deposit,
dan penerbitan Peraturan Dirjen Perbendaharaan,sertatahap pelaksanaan penarikan yang
biasanya dilaksanakan dengan pembayaran langsung maupun mekanisme penyediaan uang
persediaan. Pengajuan replenishment dibuat oleh executing agency yang kemudian dikirim
ke Direktorat Pengelolaan Kas Negara untuk diverifikasi. Apabila telah memenuhi syarat
yang ditentukan aplikasi replenishment diajukan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara
kepada masing-masing lender.

Modul 3. Pengujian dan Pembayaran Tagihan

1. KONSEP PENGUJIAN TAGIHAN ATAS BEBAN APBN


a. Landasan Pelaksanaan Pengujian Tagihan Atas Beban APBN
Lingkup pengujian tagihan atas beban APBN tecantum dalam UU Keuangan Negara.
UU No.1 tahun 2004 merupakan landasan utama terkait dengan pengujian dan
pembayaran tagihan karena pada hakekatnya pelaksanaan pengujian dan pembayaran
tagihan atas beban APBN adalah ranah Perbendaharaan Negara. Dalam UU No. 1 Tahun
2004 aturan terkait pengujian dan pembayaran atas beban APBN termuat di dalam
Bagian Keempat tentang Pelaksanaan Anggaran Belanja dalam pasal 18, pasal 21.
Berdasarkan UU No. 1/2004 pelaksanaan pengujian dan pembayaran tagihan harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
o Pelaku pengujian dan pembayaran tagihan.
o Dokumen dasar pengujian.
o Materi atau obyek pengujian dan pembayaran tagihan.
o Sistem atau tata cara pengujian dan pembayaran tagihan.
b. Peran Bendahara Dalam Pengujian Dan Pembayaran Tagihan
Berdasarkan PP 45/2013 dan PMK. 190/PMK.05/2012 pejabat Perbendaharaan
memiliki kewenangan dan kewajiban untuk memastikan bahwa belanja yag bersumber
dari APBN telah dilaksanakan dengan benar baik secara substantif maupun administratif.
Berdasarkan PP 45 Tahun 2013 dan PMK 190/PMK.05/2012 Pelaksanaan tugas
kebendaharaan Bendahara Pengeluaran meliputi:
o menerima, menyimpan, menatausahakan, dan membukukan uang/surat berharga
dalam pengelolaannya;
o melakukan pengujian dan pembayaran berdasarkan perintah PPK;
o menolak perintah pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
o melakukan pemotongan/pemungutan penerimaan negara dari pembayaran yang
dilakukannya;
o menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban kepada negara ke kas negara;
o mengelola rekening tempat penyimpanan UP;
o menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) kepada Badan Pemeriksa Keuangan
dan KPPN selaku kuasa BUN. PELATIHAN BENDAHARA PENGELUARAN APBN
Pengujian yang dilaksanakan oleh Bendahara atas perintah pembayaran dari Pejabat
Pembuat Komitmen meliputi:
o meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
o pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi: - pihak yang ditunjuk untuk
menerima pembayaran - nilai tagihan yang harus dibayar; - jadwal waktu pembayaran;
o menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
o pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan
dalam penerimaan barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen
perjanjian /kontrak ;
o pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan kode mata anggaran pengeluaran
(akun 6 digit).
Pengujian tagihan pada prinsipnya bertujuan untuk memastikan tagihan yang
dibayarkan atas beban APBN adalah benar dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip
pengelolaan Keuangan negara baik secara substansif maupun formal. Secara substansif
pembayaran tagihan sesuai dan sejalan dengan paradigma dan prinsip pengelolaan
keuangan negara, secara formal pengujian sesuai dengan aturan formal yang berlaku.
Dengan penerapan prinsip-prinsip tersebut diharapkan pengelolaan APBN dapat
dilaksanakan secara baik untuk mendukung tercapainya good governance and clean
government.
Terhadap tagihan kepada Negara semua pihak terkait harus melakukan pengujian
terhadap tagihan kepada Negara. Secara umum pengujian tersebut meliputi tiga hal
pokok yaitu:
o Pengujian Terhadap Kesesuaian Tagihan dengan UU atau pengujian (Wetmatigheid);
o Pengujian Pengujian Terhadap Kesesuaian Tagihan dengan aturan pelaksanaan UU
atau pengujian (Rechmatigheid); dan
o Pengujian Terhadap Kesesuaian Tagihan dengan output/materi/hasil atau pengujian
(Doelmatigheid).

2. PENGUJIAN TERHADAP KETEPATAN KLASIFIKASI ANGGARAN


Bendahara wajib memastikan UP yang dibayarkan untuk melakukan pembayaran
dengan batas-batas akun sebagai berikut:
1) Belanja Barang (Akun Belanja: 52).
2) Belanja Modal (Akun Belanja: 53);
3) Belanja Lain-lain (Akun Belanja: 58)
4) Diluar ketentuan pada butir diatas, dapat diberikan pengecualian untuk DIPA Pusat oleh
Direktur Jenderal Perbendaharaan dan untuk DIPA Pusat yang kegiatannya berlokasi di
daerah serta DIPA yang ditetapkan oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan oleh Kepala
Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat.
Klasifikasi Anggaran
Klasifikasi Berdasarkan Organisasi
Klasifikasi belanja berdasarkan organisasi disusun berdasarkan susunan kementerian
negara/lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
Klasifikasi Berdasarkan Fungsi
Terdiri dari 11 fungsi utama yaitu: pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan,
ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya,
agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Klasifikasi Berdasarkan Sub Fungsi
Subfungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari fungsi. Dari 11 (sebelas) fungsi utama
dirinci ke dalam 79 (tujuh puluh sembilan) sub fungsi.
Klasifikasi Berdasarkan Program
Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/lembaga dalam bentuk upaya
yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan menggunakan sumber daya yang disediakan
untuk mencapai hasil yang terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.
Klasifikasi Berdasarkan Kegiatan
Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa satuan
kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur pada suatu program. Kegiatan terdiri
dari sekumpulan tindakan pengesahan sumber daya baik yang berupa sumber daya manusia,
barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana atau kombinasi dari beberapa atau
semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran
(output) dalam bentuk barang/jasa. PELATIHAN BENDAHARA PENGELUARAN APBN 45
Klasifikasi Berdasarkan Jenis Belanja (Ekonomi)
Klasifikasi berdasarkan jenis belanja menurut Penjelasan Pasal 11 UU 17 tahun 2003 terdiri
dari Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial,
Belanja lain-lain dan Belanja Daerah.
Belanja Pemerintah Pusat
1) Belanja Pegawai
2) Belanja Barang
3) Belanja Modal
4) Pembayaran Bunga Utang
5) Subsidi
6) Hibah
7) Bantuan Sosial
8) Belanja Lain-lain
Belanja Barang (52)
Didalam pelaksanaan anggaran dikenal istilah belanja barang operasional dan belanja barang
non operasional.
1. Akun 5211: Belanja barang operasional akun belanja meliputi:
1) Keperluan sehari-hari perkantoran;
2) Pengadaan/penggantian inventaris kantor yang nilainya dibawah kapitalisasi;
3) Pengadaan bahan makanan;
4) Penambah daya tahan tubuh;
5) Belanja barang lainnya yang secara langsung menunjang operasional Kementerian
Negara/Lembaga;
6) Pengadaan pakaian seragam dinas;
7) Honorarium yang terkait dengan operasional satker.
2. Akun 5212 (Belanja Barang Non Operasional) Pengeluaran yang digunakan untuk
membiayai kegiatan non-operasional dalam rangka pelaksanaan suatu kegiatan satker.
Pengeluaran-pengeluaran yang termasuk dalam kriteria ini, antara lain:
1) Belanja Bahan;
2) Belanja Barang transito;
3) Vakasi,
4) Honor yang terkait dengan output;
5) Belanja barang lainnya yang secara langsung menunjang kegiatan non-
operasional.
6) Belanja Jasa
7) Belanja Pemeliharaan
8) Belanja Perjalanan Dinas
3. Belanja Jasa (5221)
4. Belanja Pemeliharaan (5231)
5. Belanja Perjalanan (5241)
Belanja Modal (53)
Pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset
tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta
melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan
pemerintah. Aset Tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu
satuan kerja bukan untuk dijual.
Belanja Modal terdiri dari kelompok:
Belanja Modal Tanah (5311)
Peralatan dan Mesin (5321)
Gedung dan Bangunan (5331)
Irigasi dan Jaringan (5341)
Perbedaan Belanja Barang Dan Belanja Modal
Dalam istilah akuntansi suatu belanja dikategorikan sebagai belanja modal apabila:
1) Untuk peralatan dan mesin
a. Nilai barang per unit Rp.300.000 atau lebih untuk peralatan dan mesin;
b. Berumur lebih satu tahun;
c. Memerlukan biaya perawatan
2) Untuk bangunan dan gedung Pengeluaran untuk perawatan/perbaikan bangunan dan
gedung dikelompokkan dalam belanja modal apabila:
a. Nilai pengeluaran Rp.10.000.000 atau lebih;
b. Menambah masa manfaat;
c. Menambah kapasitas, kualitas,peningkatan standar kinerja atau volume asset.
Apabila suatu belanja tidak memenuhi kriteria atau kategori belanja modal maka dapat
dipastikan belanja tersebut dapat dikategorikan sebagai belanja barang
3. PENGUJIAN ATAS TAGIHAN
a. Secara garis besar terdapat dua mekanisme pembayaran dalam rangka pembayaran atas
beban APBN yaitu Mekanisme UP dan mekanisme LS.
b. Mekanisme UP dilakukan dengan cara pembayaran kepada rekanan/pihak yang berhak
dibayar dengan cara pembebanan dari rekening kas Negara melalui rekenig Bendahara.
Sedangkan dalam mekanisme LS pembayaran kepada rekanan dibayarkan langsung dari
rekening kas Negara kepada rekening rekanan tanpa melalui rekening bendahara.
c. Diantara kedua mekanisme tersebut terdapat mekanisme pembayaran yang bersifat
diantara keduanya, mekanisme ini dikenal dengan istilah LS Bendahara. UP dapat
diberikan dalam batas-batas untuk pengeluaran-pengeluaran: Belanja Barang (52),
Belanja Modal (53), dan Belanja lain-lain (58).
d. Pembayaran dengan menggunakan mekanisme LS artinya pelaksanaan pembayaran
melalui transfer dari rekening kas Negara ke rekening bank penerima (rekening rekanan
yang berhak menerima pembayaran) setelah memenuhi persyaratan yg diharuskan.
e. Pembayaran dengan menggunakan mekanisme LS dilakukan untuk pembayaran yang
telah pasti jumlahnya, penerimanya, barang/jasa sudah diterima negara, pembebanan
pada mata anggaran. Pada prinsipnya semua pembayaran atas beban APBN dapat
dilakukan dengan mekanisme LS namun harus tetap memenuhi persyaratan
kelengkapan dokumen sesuai dengan peraturan yang berlaku.
f. Dalam melaksanakan Pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan Bendahara
harus memperhatikan dokumen dasar yang dipergunakan untuk melaksanakan
pembayaran antara lain: DIPA, POK, dan dokumen terkait pengadaan barang dan jasa,
serta dokumen penetapan keputusan.
g. Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dalam mekanisme Uang Persediaan berbeda
antara: Uang Persediaan (UP), Tambahan Uang Persediaan, Ganti Uang Persediaan
(GUP)

4. PENGUJIAN DOKUMEN PERSYARATAN ADMINISTRASI BELANJA NON PEGAWAI


a. Salah satu tugas Bendahara adalah melakukan pengujian terhadap belanja barang yang
dibayarkan melalui Uang Persediaan. Bendahara harus memastikan kebenaran jumlah,
kelngkapan dokumen, ketepatan Akun, kebenaran penerima, dll.
b. Belanja barang yang dapat dibayar dengan mekanisme UP maksimal Rp50.000.000,- per
transaksi per rekanan.
c. Jenis belanja barang antara lain: belanja barang operasional dan non operasional,
belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dalam negeri, belanja perjalanan
luar negeri, dan belanja barang BLU.
d. Bendahara juga bertugas untuk melakukan pengujian atas belanja modal yang dibayar
dengan mekanisme Uang Persediaan. Bendahara harus memastikan kebenaran jumlah,
kelengkapan dokumen, ketepatan Akun, kebenaran penerima dll.
e. Adapun jenis Belanja Modal adalah sebagai beriku:
o 5321 Belanja Modal Peralatan dan Mesin
o 5331 Belanja Modal Gedung dan Bangunan
o 5341 Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
o 5361 Belanja Penambahan Nilai Fisik Lainnya
f. Belanja modal yang dapat dibayarkan dengan mekanisme UP adalah Belanja Modal (53)
untuk jumlah maksimal 50 juta per transaksi per rekanan
g. Tanda bukti pembelian/pembayaran dan apa saja yang harus diuji dari dokumenberikut,
bukti pembelian, kuitansi, Surat Perintah Kerja (SPK), dan surat perjanjian.
h. SPBy sebagai bukti otorisasi PPK atas belanja adalah dokumen yang menjadi dasar bagi
Bendahara Pengeluaran untuk melakukan pembayaran dari Uang Persediaan.
i. SPBy disetujui dan ditandatangani oleh PPK atas nama KPA. SPBy dilampiri dengan bukti
pengeluaran:
o Kuitansi/bukti pembelian yang telah disahkan PPK beserta faktur pajak dan SSP
o Nota/bukti penerimaan barang/jasa atau dokumen pendukung lainnya yang
diperlukan yang telah disahkan PPK.
o Dalam hal penyedia barang/jasa tidak mempunyai kuitansi/bukti pembelian Bendahara
Pengeluaran/BPP membuat kuitansi.
o Berdasarkan SPBy BPP melakukan pengujian atas spby yang meliputi pengujian
sebagaimana kewenangan bendahara dan pemungutan/ pemotongan pajak/ bukan
pajak atas tagihan dalam spby yang diajukan dan menyetorkan ke kas negara.

5. PENGUJIAN DOKUMEN PERSYARATAN ADMINISTRASI PEMBAYARAN BELANJA PNBP


a. Anggaran yang bersumber pada PNBP adalah anggaran yang dapat dipakai/digunakan
oleh sebuah satuan kerja karena pada satuan kerja tersebut terdapat penerimaan PNBP
fungsional. Ketentuan mengenai Uang Muka untuk dana yang bersumber dari PNBP
diatur sebagai berikut: UP/TUP untk PNBP diajukan terpisah dari UP/TUP lainnya, UP
dapat diberikan kepada Satker pengguna sebesar 20% dari pagu dana PNBP pada DIPA
maksimal sebesar Rp 500 juta, dengan melampirkan Daftar Realisasi Pendapatan dan
Penggunaan Dana DIPA (PNBP) tahun anggaran sebelumnya. Apabila UP tidak
mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil satu bulan dengan
memperhatikan maksimum pencairan (MP).
b. Dalam hal pembayaran tagihan terhadap APBN yang bersumber PNBP harus
diperhatikan sumber dana yang tersedia. Pada prinsipnya kegiatan dapat dilaksanakan
apabila PNBP telah masuk ke kas Negara (telah disetor ke rekening kas Negara). Untuk
itu setiap pembayaran yang bersumber PNBP harus memperhatikan batas maksimal
pencairan dana. Sisa dana PNBP dari satker pengguna diluar butir I, yang disetorkan ke
rekening kas Negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian realisasi penerimaan
PNBP tahun anggaran berikutnya dan dapat dipergunakan untuk membiayai
kegiatankegiatan setelah diterimanya DIPA.
c. Sisa UP/TUP dana PNBP sampai akhir tahun anggaran yang tidak disetorkan ke rekening
kas Negara, akan diperhitungkan pada saat pengajuan pencairan dana UP tahun
anggaran berikutnya

6. PENGUJIAN DOKUMEN PERSYARATAN PHLN


a. Penarikan PHLN dengan LC ada dua yaitu LC dengan pembayaran langsung dan LC
dengan pembebanan ke rekening khusus.
b. Dalam pembayaran langsung, PA/KPA/PPK mengajukan SPP-SKP kepada KPPN Khusus
untuk diterbitkan SKP dan dikirim kepada BI sebagai dasar untuk pendebetan maupun
pengkreditan rekening BUN, atas realisasi LC, sedangkan untuk pembebanan ke rekening
khusus, PA/KPA /PPK mengajukan SPP-SKM RK LC kepada KPPN Khusus untuk
diterbitkan SKM dan dikirim ke BI sebagai dasar untuk melakukan pendebetan dan
pengkreditan ke dalam rekening khusus loan dimaksud atas realisasi LC.
c. Penarikan dana PHLN dengan tata cara pembayaran langsung (direct payment) kepada
rekanan dilaksanakan langsung oleh lender, atas dasar withdrawal application dari KPPN
Khusus atas permintaan pembayaran (request of payment) yang diajukan PA/KPA kantor
satuan kerja. Persyaratan yang harus dilengkapi dari masing-masing lender dalam
penarikan PHLN dengan pembayaran langsung ini berbeda-beda. Cara ini baik digunakan
untuk pekerjaan yang sifatnya kontraktual, namun tidak bisa digunakan dalam
pelaksanaan proyek dengan mekanisme uang persediaan.
d. Tata cara penarikan dana PHLN dengan reimbursement memerlukan dana pendahuluan
yang harus disediakan oleh peminjam (borrower) untuk membiayai proyek/kegiatan,
kemudian pengeluaran dimintakan penggantian kepada lender.
e. Prosedur pengajuan pembayaran tidak berbeda dengan Tata cara pembayaran langsung,
hanya dana yang ditransfer oleh lender ke rekening BUN atau rekening penerima
penerusan pinjaman. Tata cara penarikan PHLN dengan reimbursement kurang diminati
oleh peminjam, karena dalam pelaksanaannya peminjam harus menyediakan dana
terlebih dahulu untuk membiayai proyek/kegiatan bersangkutan, sedangkan peminjam
justru tidak memiliki dana.
f. Tata cara penarikan dana PHLN dengan rekening khusus dapat dilaksanakan oleh KPPN
KBI maupun KPPN Non KBI, karena lokasi pembayaran dekat dengan proyek/kegiatan
dan dengan adanya initial deposit maka dana tersedia setiap saat. Dalam pelaksanaan
penarikan ada tiga tahap yang harus dilakukan, yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan dan tahap pertanggungjawaban. Tahap persiapan terdiri dari tiga kegiatan
yaitu pembukaan nomor rekening khusus, pengajuan dana awal (initial deposit) dan
penerbitan peraturan Dirjen Perbendaharaan. Tahap pelaksanaan penarikan dana dapat
dilakukan dengan pembayaran langsung maupun dengan mekanisme uang persdiaan.
Tahap pertanggungjawaban dilaksanakan dengan pengajuan replenishment dan
penyusunan FISSA setiap tahun.

Modul 4. Perpajakan Bendahara Pengeluaran

1. PENGANTAR PERPAJAKAN BENDAHARA


a. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang
sangat diandalkan. Bendahara mempunyai peranan penting dalam
pemungut/memotong pajak dalam setiap transaksi yang berdasarkan ketentuan
perpajakan harus memungut/memotong pajak sebagai bentuk pengamanan penerimaan
negara.
b. Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan
diri pada kantor Ditjen pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan wajib pajak dan kepada wajib pajak diberikan NPWP. Nomor Pokok Wajib
Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Apabila terjadi
penggantian Bendahara tidak perlu dilakukan perubahan NPWP, tetapi bendahara
pengganti tersebut cukup melaporkan secara tertulis tentang penggantiannya dan tidak
perlu meminta NPWP baru
c. Bendahara dapat melakukan penyetoran pajak dengan sistem pembayaran pajak secara
elektronik. Transaksi penyetoran tersebut dilakukan melalui bank/pos persepsi dengan
menggunakan kode billing. Transaksi penyetoran dapat dilakukan melalui teller
bank/pos persepsi/ Anjungan Tunai mandiri (ATM), Internet Banking dan EDC. Atas
pembayaran tersebut wajib pajak akan menerima Bukti Penerimaan Negara (BPN)
d. Kewajiban akhir dari pemotong/pemungut pajak adalah membuat SPT sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang.

2. PAJAK PENGHASILAN
a. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subjek pajak dalam pajak penghasilan, terdiri dari
orang pribadi, badan dan Badan Usaha Tetap (BUT). Berdasarkan Pasal 4 ayat (1),
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, yang
menjadi objek pajak penghasilan adalah “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”. Cara menghitung
Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah penghasilan
neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tarif pajak yang diterapkan
atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan.
b. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri. Berdasarkan subjeknya Pajak
Penghasilan Pasal 21, dibedakan menjadi dua yakni untuk yang berprofesi sebagai
Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya, dan yang tidak berprofesi sebagai
Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya. Golongan tersebut, kemudian
diklasifikasikan berdasarkan sumber penghasilannya, yakni untuk golongan Pejabat
Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya, dibedakan atas penghasilan tetap dan
teratur dengan penghasilan yang tidak tetap dan tidak teratur, sedangkan untuk yang
tidak berprofesi sebagai Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya, dibedakan
atas penghasilan tetap dan teratur, penghasilan yang tidak tetap dan tidak teratur, dan
penghasilan dari jasa.
c. PPh Pasal 22 adalah hal-hal yang berkenaan dengan penyerahan barang yang dibeli dari
sumber dana APBN/APBD. Pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan pemungutan
terhadap PPh Pasal 22, antara lain Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat
Penerbit Surat Perintah Membayar (SPM) yang mendapat pendelegasian dari KPA,
Bendaharawan Pemerintah Pusat maupun Daerah, BHMN/BLU/BUMN/BUMD yang
melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dibiayai dari APBN/APBD, dan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
d. Bendahara pemerintah pusat/daerah bertindak sebagai pemotong Pajak Penghasilan
Pasal 23, atas pembayaran yang dilakukan yang sumber dananya berasal dari
APBN/APBD.
e. Bendahara berhak melakukan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak Luar
Negeri (WPLN) yang memperoleh pembayaran, yang mana pembayaran tersebut berasal
dari APBN/APBD. Pemotongan tersebut dilakukan oleh bendahara yang melakukan
pembayaran, baik itu bendahara pemerintah pusat maupun bendahara pemerintah
daerah. PPh Pasal 26 dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), baik itu orang
pribadi maupun badan, selain Badan Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari
Indonesia. Pembayaran yang sumber dananya dari APBN/APBD dikenakan pemotongan
pajak berdasarkan PPh Pasal 26, dengan tarif pajak sebesar 20% dari jumlah bruto yang
diterima oleh Wajib Pajak luar negeri.
f. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) terdiri dari pajak penghasilan atas penghasilan berupa
sewa tanah dan/atau bangunan, PPh final atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan, dan usaha jasa konstruksi. Pajak penghasilan atas
penghasilan berupa sewa tanah dan/atau bangunan dipotong oleh bendahara atas
pembayaran yang sumber dananya dari APBN/APBD, dilakukan terhadap semua nilai
pembayaran atau jumlah bruto nilai persewaan yaitu semua jumlah yang dibayarkan
atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apa pun juga yang
berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan,
biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan ”service charge” baik
yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. Besarnya PPh yang
dipotong adalah 10% baik atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak badan
maupun orang pribadi dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.
g. PPh final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dipotong
oleh bendahara dalam melaksanakan pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan
atau bangunan atas beban APBN/APBD dilakukan sesuai dengan nilai yang disepakati
atau jumlah bruto nilai penjualan atau pengalihan hak. Jumlah bruto nilai penjualan atau
pengalihan hak adalah nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak
termasuk bunga, pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi pembeli
dibandingkan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang
bersangkutan.
h. Dalam rangka menyederhanakan pengenaan Pajak Penghasilan dari usaha jasa
konstruksi dan memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi
Wajib Pajak, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
2022 tentang Perubahan PP No.51 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi,
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final.

3. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH
a. Undang-Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah undang-undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2021.
b. Objek pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang/jasa oleh bendahara adalah
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh
PKP Penyedia barang/jasa, pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP)
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. PPn BM hanya dipungut oleh
bendahara dalam hal PKP Penyedia Barang/Jasa adalah pabrikan dari BKP yang tergolong
mewah.
c. Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah BKP dan JKP, kecuali undang-undang
menetapkan sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Berdasarkan UU No 7 Tahun 2021 tarif PPN diatur sebagai
berikut i. sebesar 11% (sebelas persen) mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
ii. sebesar 12% (dua belas persen) mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari
2025

4. BEA METERAI
Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM) melakukan pengujian terhadap pengenaan
bea meterai atas dokumen yang ditulis di atas kertas. Pada dasarnya, bea meterai terutang
pada saat dokumen tersebut selesai dibuat atau pada saat dokumen tersebut selesai
digunakan. Pihak yang terutang bea meterai adalah pihak yang mendapat manfaat dari
dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Pelunasan
bea meterai terhadap dokumen yang terutang bea meterai dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain menggunakan benda meterai/meterai tempel, menggunakan kertas
meterai/kertas segel, dan menggunakan mesin tera bea meterai (taxograph).
Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan bea meterai yang dilakukan
oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea meterainya belum dilunasi
sebagaimana mestinya. Pelanggaran dalam pelunasan bea meterai terjadi sebagai akibat
dari pelanggaran formal dan pelanggaran material. Sanksi terkait dengan bea meterai ini
mencakup sanksi administrasi dan sanksi pidana. Kewajiban pemenuhan bea meterai dan
denda administrasi yang terutang mempunyai daluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahun
sejak tanggal dokumen dibuat, kecuali untuk kuitansi.

Modul 5. Pembukuan dan Pertanggungjawaban Bendahara

1. GAMBARAN UMUM PEMBUKUAN


a. Pembukuan merupakan wujud upaya bendahara pengeluaran untuk mengelola
keuangan negara secara tertib dan dapat dipertanggungjawabkan.
b. Pembukuan adalah pencatatan penerimaan dan pengeluaran satker yang dilakukan di
Buku Kas Umum, buku-buku pembantu, dan buku pengawasan anggaran oleh
bendahara pengeluaran.
c. Ruang lingkup pembukuan mengacu pada batasan tanggung jawab bendahara
pengeluaran.
d. Pemeriksaan kas dilakukan minimal sekali setiap bulan.
e. Rekonsiliasi internal dilakukan antara bendahara pengeluaran dengan UAKPA setiap
bulan.

2. SISTEM DAN TATA CARA PEMBUKUAN


a. Pembukuan Bendahara Pengeluaran menganut single entry dan basis kas.
b. Input pembukuan bendahara adalah dokumen sumber yang sah.
c. Proses pembukuan bendahara adalah pencatatan dokumen sumber dalam BKU, Buku
pembantu, dan buku pengawasan anggaran.
d. Output pembukuan bendahara adalah BKU dan buku-buku pembantu yang telah
direkonsiliasi dengan UAKPA.
e. Tata cara pembukuan mengacu pada prinsip pembukuan.

3. SIMULASI PEMBUKUAN
a. Pembukuan bendahara pengeluaran diawali dari BKU, buku pembantu, selanjutnya ke
buku pengawasan anggaran.
b. SP2D UP dibukukan di BKU, Buku Pembantu Bank, dan Buku Pembantu UP.
c. Berita acara pemeriksaan kas dan rekonsiliasi dibuat setiap bulan. Rekonsiliasi internal
membandingkan data UP menurut bendahara pengeluaran dengan UAKPA.
d. Pemeriksaan kas meliputi pemeriksaan saldo pembukuan dan pemeriksaan saldo kas.

4. PEMBUKUAN UANG MUKA


a. Uang muka adalah uang yang dibayarkan oleh bendahara sebelum barang/jasa diterima
atau sebelum kegiatan dilaksanakan.
b. Secara prinsip penyaluran dana UP dari bendahara kepada BPP dapat dikategorikan
sebagai uang muka.
c. Selain kepada BPP, uang muka dapat dibayarkan kepada pelaksana perjalanan dinas dan
penerima uang muka kerja.
d. Untuk membukukan uang muka, bendahara harus membuat buku pembantu BPP dan
buku pembantu uang muka.
e. Pengakuan belanja uang muka terjadi pada saat pertanggungjawaban uang muka
diterima oleh bendahara.

5. PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA PENGELUARAN


a. LPJ Bendahara Pengeluaran merupakan laporan yang wajib dibuat oleh Bendahara
Pengeluaran atas uang yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang.
b. Format dan tata cara penyusunan LPJ Bendahara Pengeluaran mengacu pada Peraturan
Dirjen Perbendaharaan Nomor 03 Tahun 2014.
c. Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan
pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Jenis kerugian menurut obyeknya dalah uang, surat berharga, dan barang milik negara.
Kerugian negara menurut subyek terdiri dari kerugian negara oleh bendahara dan
kerugian negara oleh pegawai negeri selain bendahara/pegawai lainnya.
d. Kerugian negara karena perbuatan bendahara diketahui dari informasi dari pengawasan
atasan langsung, pemeriksaan oleh yang berwenang, dan perhitungan pejabat ex officio.
Atas kerugian negara tersebut maka akan ada tuntutan penggantian kerugian negara
terhadap Bendahara Pengeluaran.Dalam penyelesaian kerugian Negara karena tindakan
Bendahara Pengeluaran, terdapat beberapa pihak yang terlibat. Pihakpihak tersebut
pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu BPK dan selain BPK. Pihak-pihak
selain BPK antara lain Bendahara Pengeluaran, Tim Penyelesaian Kerugian negara
(TPKN), instansi, pimpinan instansi, dan satuan kerja.

6. PEMBUKUAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA PENGELUARAN BADAN LAYANAN


UMUM
a. Pembukuan bendahara pengeluaran BLU diatur dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan
Nomor 47 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pembukuan, Penatausahaan, dan
Pertanggungjawaban Bendahara pada Badan Layanan Umum.
b. Secara prinsip pembukuan bendahara pengeluaran BLU sama dengan pembukuan pada
bendahara pengeluaran satker non BLU.
c. Berdasarkan transaksinya, pembukuan bendahara pengeluaran BLU dapat
diklasifikasikan menjadi:
- Transaksi atas UP dan LS
- Transaksi atas Uang Pihak Ketiga, Hibah, Dana Bergulir dan Uang Titipan
- Transaksi atas Dana dari Bendahara Penerimaan
- Transaksi Penyaluran Dana ke BPP - Transaksi Uang Lainnya

Anda mungkin juga menyukai