Anda di halaman 1dari 13

SISTEM PENGELUARAN DAN PENERIMAAN NEGARA

 Pengelolaan Keuangan Negara berpedoman pada beberapa ketentuan yang menjadi landasan
hukum antara lain UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UU No.17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, dan ketentuan lainnya.
 Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
 Pendapatan Negara terdiri dari penerimaan perpajakan, penerimaan Negara bukan pajak
(PNBP), dan penerimaan hibah.
 Belanja Negara terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja utang,
belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
 Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan keuangan Negara perlu
diselenggarakan berdasarkan asas-asas umum pengelolaan keuangan Negara yaitu asas
kesatuan, asas universalitas, asas tahunan, dan asas spesialitas. Selain itu juga terdapat asas-
asas baru yaitu akuntabilitas berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas,
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara, dan pemeriksaan keuangan oleh badan
pemeriksa yang bebas dan mandiri
 Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan
Anggaran yang digunakan sebagai acuan PA/KPA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan
sebagai pelaksanaan APBN. POK adalah dokumen yang memuat uraian rencana kerja dan biaya
yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, disusun oleh KPA sebagai penjabaran lebih lanjut
dari DIPA.
 Anggaran diklasifikasi menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja (ekonomi).
 Pokok-pokok materi dalam DIPA meliputi uraian-uraian terkait dengan identitas organisasi,
pernyataan syarat dan ketentuan (disclaimer), rumusan fungsi dan subfungsi, informasi kinerja,
pejabat perbendaharaan, rincian penggunaan anggaran, rencana penarikan dana dan perkiraan
penerimaan, dan pengisian catatan.
 POK merupakan penjabaran dari DIPA yang formatnya seperti kertas kerja RKA-K/L
 Pihak-pihak terkait dalam penerimaan negara antara lain adalah Wajib Pajak, Wajib Bayar,
Petugas/Juru Pungut, Bendahara Penerimaan/Pengeluaran, KPA, Bank/Pos Persepsi, KPPN, KPP,
KPBC, dan DJA.
 Pihak-pihak yang terkait penatausahaan Penerimaan Negara wajib melakukan pengelolaan
dokumen-dokumen yang terkait dengan penyetoran Penerimaan Negara.
 Beberapa cara penyetoran penerimaan Negara oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar: a. Wajib Pajak –
Bendahara Pengeluaran – Kas Negara b. Wajib Pajak – Kas Negara c. Wajib Bayar – Petugas
Pungut – Bendahara Penerimaan – Kas Negara d. Wajib Bayar – Bendahara Penerimaan – Kas
Negara e. Wajib Bayar – Kas Negara
 Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor melakukan penyetoran Penerimaan Negara ke Bank/Pos
Persepsi secara elektronik menggunakan kode billing.
 Penerimaan negara yang disetor oleh Wajib Pajak/Wajib Bayar/Wajib Setor/Bendahara
Penerimaan diakui pada saat masuk ke Rekening Kas Negara dan mendapatkan NTPN dan
NTB/NTP/NPP
 Pembayaran tagihan kepada Negara dilakukan dengan memilih dari dua metode yaitu
Pembayaran Langsung (LS) dan Mekanisme Uang Persediaan (UP).
 Pengeluaran Negara harus didukung oleh dokumen-dokumen yang dapat mendukung
kelengkapan dan keabsahan pengeluaran.
 Pengeluaran Negara melibatkan beberapa pihak di antaranya pegawai, penyedia barang/jasa,
PPK, PPSPM, bendahara Pengeluaran/BPP, KPA, KPPN, Bank Operasional, dan Pos Pengeluaran.
 Penerima hak mengajukan tagihan kepada negara atas komitmen berdasarkan bukti-bukti yang
sah untuk memperoleh pembayaran. Atas dasar tagihan, PPK melakukan pengujian. Pelaksanaan
pembayaran tagihan, dilakukan dengan Pembayaran LS kepada penyedia barang/jasa atau
melalui Bendahara Pengeluaran.
 Koreksi/ralat SPP, SPM, dan SP2D hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengakibatkan
perubahan jumlah uang pada SPP, SPM dan SP2D, sisa pagu anggaran pada DIPA/POK menjadi
minus, atau perubahan kode Bagian Anggaran, eselon I, dan Satker.
 Sehubungan dengan diterapkan Treasury Notional Pooling (TNP) maka pembukaan rekening
bendahara pengeluaran dilakukan pada bank umum yang terhubung dengan sistem TNP.
Penyelenggaraan rekening yang terintegrasi dalam sistem TNP ini akan mendukung pengelolaan
kas Negara yang efektif dan efisien
 Pejabat perbendaharaan bertanggung jawab atas penyelenggaraan penatausahaan dokumen
transaksi keuangan Pemerintah yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga
negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi
kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
 Pejabat dan/atau pelaksana yang melanggar ketentuan penyelenggaraan kearsipan dikenai
sanksi administratif dan sanksi pidana.
 Pejabat dan/atau pelaksana yang melanggar ketentuan penyelenggaraan kearsipan dikenai
sanksi administratif dan sanksi pidana

PENGELOLAAN UANG PERSEDIAAN


 Uang Persediaan dapat diartikan sebagai uang muka kerja yang diberikan oleh KPPN selaku
Kuasa BUN di daerah, kepada satuan kerja K/L melalui bendahara pengeluaran, yang
diperuntukkan untuk membiaya belanja satker dengan nilai sampai dengan Rp50 juta. UP ini
diberikan setelah satker K/L tersebut menerima DIPA.
 Besaran UP Normal yang diajukan oleh satuan kerja K/L untuk pertama kali setelah menerima
DIPA adalah:
a. Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui
UP sampai dengan Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah)
b. Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan melalui
UP diatas Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus juta rupiah) sampai dengan
Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah)
c. Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang bisa dibayarkan
melalui UP diatas Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah).
 Untuk mendapatkan pembayaran UP dari KPPN, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) satuan kerja
K/L harus menyiapkan Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP). Akun yang
digunakan untuk permintaan UP RM adalah 825111
 Penggantian (GUP) Isi, merupakan dana UP yang diisi kembali (revolving) dari KPPN selaku Kuasa
BUN, kepada rekening bendahara pengeluaran, secara otomatis dari pertanggungjawaban yang
diajukan. Jumlah total SPP atau SPM-GUP Tunai merupakan akumulasi dari jumlah bukti
pembayaran/kuitansi yang dihasilkan dari UP Normal atau Perubahan UP. Jumlah total SPP atau
SPM-GUP Tunai, minimal harus 50% dari UP Normal atau Perubahan UP.
 Penerbitan permintaan pembayaran penggantian Uang Persediaan (GUP) Nihil dilakukan dalam
hal:
a. sisa dana pada DIPA yang dapat dibayarkan dengan UP minimal sama dengan besaran UP
yang diberikan;
b. sebagai pertanggungjawaban UP yang dilakukan pada akhir tahun anggaran;
c. UP tidak diperlukan lagi.
 Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disebut SPP-GUP
adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang berisi
pertanggungjawaban dan permintaan kembali pembayaran Uang Persediaan
 Tambahan Uang Persediaan, merupakan uang muka kerja yang diberikan oleh KPPN selaku
Kuasa BUN kepada satuan kerja K/L, sebagai tambahan dari UP Normal yang suda diterima oleh
satker tersebut. Tambahan UP bersifat mendesak atau habis dalam waktu satu bulan (30 hari)
kalender, sejak tanggal SP2D TUP sampai dengan SPM-GUP diterima oleh loket KPPN.
 Tambahan UP dapat diajukan oleh satker K/L meskipun penggunaan UP Normal atau PUP belum
mencapai 50%. Tambahan UP ini diajukan dalam rangka satker yang bersangkutan memerlukan
pendanaan melebihi sisa dana UP yang tersedia pada bendahara pengeluaran, untuk keperluan
yang mendesak. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mengajukan permintaan TUP kepada Kepala
KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) disertai:
a. Rincian rencana penggunaan TUP;
b. Dokumen lain yang dipersyaratkan oleh Kuasa BUN (KPPN) dalam rangka penggunaan TUP.
 perpanjangan pertanggungjawaban Tambahan UP melampaui 1 (satu) bulan, Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala KPPN. Kepala KPPN
memberikan persetujuan perpanjangan pertanggungjawaban TUP dengan pertimbangan:
a. KPA harus mempertanggungjawabkan TUP yang telah dipergunakan;
b. KPA menyampaikan pernyataan kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan sisa TUP
tidak lebih dari 1(satu) bulan berikutnya
 Permintaan pembayaran UP untuk DIPA yang bersumber dari dana PNBP, merupakan SPP
permintaan uang muka kerja, yang dapat diajukan pertama kali setelah satker menerima DIPA.
Seperti halnya DIPA yang bersumber dari Rupiah Murni, satker K/L juga dapat memperoleh
Tambahan UP dari DIPA yang bersumber PNBP. Akan tetapi, tambahan UP ini dapat diberikan
oleh KPPN setelah menghitung proporsi penarikan dari PNBP yang sudah disetorkan ke kas
negara oleh satker.
 Uang Persediaan dapat diberikan kepada satker pengguna sebesar 20% dari pagu dana PNBP
pada DIPA maksimal sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah), dengan melampirkan
Daftar Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (PNBP) Tahun Anggaran sebelumnya.
Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil satu bulan dengan
memperhatikan Maksimum Pencairan (MP).
 Seperti halnya DIPA yang bersumber dari Rupiah Murni (RM), penarikan dana UP pada DIPA
PNBP juga dapat dilakukan sesuai kebutuhan, baik UP Normal, Tambahan UP, Perubahan UP,
dan Dispensasi. Penarikan dana UP dan TUP tersebut dilakukan sesuai kebutuhan dan
menggunakan ketentuan yang berlaku.
 Sebagaimana kita ketahui, beberapa satuan kerja selain memperoleh DIPA dari sumber Rupiah
Murni dan PNBP, juga dapat memperoleh dana dari Pinjaman atau Hibah dari Luar Negeri. Bagi
satker seperti ini, untuk membiayai kegiatan pelaksanaan tupoksi atau kegiatan penunjang,
bendahara pengeluaran dimungkinkan menarik dana UP dari sumber dana PHLN tersebut
 Salah satu cara pembayaran yang dapat dilakukan oleh satker penerima PHLN melalui reksus
KPPN di BI tersebut, adalah dengan cara menarik Uang Persediaan (UP). Uang Persediaan dana
yang bersunber dari PHLN, dapat berupa UP Normal, Perubahan UP, Tambahan UP, Dispensasi
UP, dan Penggantian UP. Dana UP tersebut diajukan dan dikelola oleh bendahara pengeluaran
masing-masing satker. Tata cara penarikan dana PHLN dengan rekening khusus ini paling sering
digunakan karena banyak keuntungannya walau masih ada juga kekurangannya.
 Kelebihan dari cara pembayaran melalui rekening khusus antara lain tersedianya dana setiap
saat (dengan adanya initial deposit), menghindari pembiayaan pendahuluan (prefinancing),
dapat dilaksanakan oleh KPPN di daerah baik KPPN KBI maupun KPPN non-KBI, serta lokasi
pembayaran yang dekat dengan proyek, sehingga dapat diharapkan penarikan dana oleh
Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran/Satker dapat lebih cepat, sedangkan
kekurangannya antara lain jika penyerapan dana oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran/Satker rendah, kita sudah terkena kewajiban pembayaran bunga atas dana initial
deposit yang telah disediakan lender, banyak pengeluaran yang dinyatakan ineligible oleh lender
yang disebabkan karena pembebanan porsi PHLN tidak sesuai dengan loan agreement,
pengisian BAP yang tidak benar, salah mencantumkan nomor rekening khusus, dan lain-lain.
Oleh karena itu, pengelola kegiatan/proyek (executing agency), harus memperhatikan halhal
tersebut agar PHLN dapat ditarik tepat waktu dan benar, sehingga dana pembiayaan
kegiatan/proyek siap setiap saat dan tidak memberatkan pemerintah Indonesia dalam
membayar commitment fee.PELATIHAN BENDAHARA PENGELUARAN 94
 Pelaksanaan penarikan dana PHLN dengan rekening khusus ini ada dua tahapan, yaitu tahap
pendahuluan yang terdiri pembukaan rekening khusus, pengajuan initial deposit, dan penerbitan
Peraturan Dirjen Perbendaharaan, serta tahap pelaksanaan penarikan yang biasanya
dilaksanakan dengan pembayaran langsung maupun mekanisme penyediaan uang persediaan.
Pengajuan replenishment dibuat oleh executing agency yang kemudian dikirim ke Direktorat
Pengelolaan Kas Negara untuk diverifikasi. Apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan
aplikasi replenishment diajukan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara kepada masing-masing
lender.
PENGUJIAN DAN PEMBAYARAN TAGIHAN
 Landasan Pelaksanaan Pengujian Tagihan Atas Beban APBN
a. Lingkup pengujian tagihan atas beban APBN tecantum dalam UU Keuangan Negara. UU No.1
tahun 2004 merupakan landasan utama terkait dengan pengujian dan pembayaran tagihan
karena pada hakekatnya pelaksanaan pengujian dan pembayaran tagihan atas beban APBN
adalah ranah Perbendaharaan Negara. Dalam UU No. 1 Tahun 2004 aturan terkait pengujian
dan pembayaran atas beban APBN termuat di dalam Bagian Keempat tentang Pelaksanaan
Anggaran Belanja dalam pasal 18, pasal 21.
b. Berdasarkan UU No. 1/2004 pelaksanaan pengujian dan pembayaran tagihan harus
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Pelaku pengujian dan pembayaran tagihan.
2. Dokumen dasar pengujian.
3. Materi atau obyek pengujian dan pembayaran tagihan
4. Sistem atau tata cara pengujian dan pembayaran tagihan.
 Peran Bendahara Dalam Pengujian Dan Pembayaran Tagihan
a. Berdasarkan PP 45 Tahun 2013 dan PP 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan PMK 190/PMK.05/2012 sebagaimana telah diubah dengan PMK No.
178/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas PMK No. 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan APBN. Pelaksanaan tugas kebendaharaan
Bendahara Pengeluaran meliputi:
1. menerima, menyimpan, menatausahakan, dan membukukan uang/surat berharga
dalam pengelolaannya;
2. melakukan pengujian dan pembayaran berdasarkan perintah PPK;
3. menolak perintah pembayaran apabila tidak memenuhi persyaratan untuk
dibayarkan;PELATIHAN BENDAHARA PENGELUARAN 16
4. melakukan pemotongan/pemungutan penerimaan negara dari pembayaran yang
dilakukannya;
5. menyetorkan pemotongan/pemungutan kewajiban kepada negara ke kas negara;
6. mengelola rekening tempat penyimpanan UP;
7. menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) kepada Badan Pemeriksa Keuangan
dan KPPN selaku kuasa BUN.
b. Pengujian yang dilaksanakan oleh Bendahara atas perintah pembayaran dari Pejabat
Pembuat Komitmen meliputi:
1. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
2. pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:
a) pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran;
b) nilai tagihan yang harus dibayar;
c) jadwal waktu pembayaran.
3. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan
dalam penerimaan barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen
perjanjian/kontrak;
pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan kode mata anggaran pengeluaran
(akun 6 digit).
c. Pengujian tagihan pada prinsipnya bertujuan untuk memastikan tagihan yang dibayarkan
atas beban APBN adalah benar dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan
Keuangan negara baik secara substansif maupun formal. Secara substansif pembayaran
tagihan sesuai dan sejalan dengan paradigma dan prinsip pengelolaan keuangan negara,
secara formal pengujian sesuai dengan aturan formal yang berlaku.
d. Dengan penerapan prinsip-prinsip tersebut diharapkan pengelolaan APBN dapat
dilaksanakan secara baik untuk mendukung tercapainya good governance and clean
government
 Bendahara wajib memastikan UP yang dibayarkan untuk melakukan pembayaran dengan batas-
batas akun sebagai berikut.
a. Belanja Barang (Akun Belanja: 52
b. Belanja Modal (Akun Belanja: 53).
c. Belanja Lain-lain (Akun Belanja: 58).
d. Di luar ketentuan pada butir di atas, dapat diberikan pengecualian untuk DIPA Pusat oleh
Direktur Jenderal Perbendaharaan dan untuk DIPA Pusat yang kegiatannya berlokasi di
daerah serta DIPA yang ditetapkan oleh Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan oleh Kepala
Kanwil Ditjen Perbendaharaan setempat.
 Perbedaan Belanja Barang dan Belanja Modal Dalam istilah akuntansi suatu belanja
dikategorikan sebagai belanja modal apabila:
a. Untuk peralatan dan mesin
1. nilai barang per unit rp1.000.000 atau lebih untuk peralatan dan mesin;
2. berumur lebih satu tahun;
3. memerlukan biaya perawatan;
b. Untuk bangunan dan gedung. Pengeluaran untuk perawatan/perbaikan bangunan dan
gedung dikelompokkan dalam belanja modal apabila
1. nilai pengeluaran Rp25.000.000 atau lebih;
2. menambah masa manfaat;
3. menambah kapasitas, kualitas,peningkatan standar kinerja atau volume aset.
Apabila suatu belanja tidak memenuhi kriteria atau kategori belanja modal maka dapat
dipastikan belanja tersebut dapat dikategorikan sebagai belanja barang
 Secara garis besar terdapat dua mekanisme pembayaran dalam rangka pembayaran atas beban
APBN yaitu Mekanisme UP dan mekanisme LS.
 Mekanisme UP dilakukan dengan cara pembayaran kepada rekanan/pihak yang berhak dibayar
dengan cara pembebanan dari rekening kas Negara melalui rekening Bendahara. Sedangkan
dalam mekanisme LS pembayaran kepada rekanan dibayarkan langsung dari rekening kas
Negara kepada rekening rekanan tanpa melalui rekening bendahara.
 Diantara kedua mekanisme tersebut terdapat mekanisme pembayaran yang bersifat diantara
keduanya, mekanisme ini dikenal dengan istilah LS Bendahara. UP dapat diberikan dalam batas-
batas untuk pengeluaranpengeluaran: Belanja Barang (52), Belanja Modal (53), dan Belanja lain-
lain (58).
 Pembayaran dengan menggunakan mekanisme LS artinya pelaksanaan pembayaran melalui
transfer dari rekening kas Negara ke rekening bank penerima (rekening rekanan yang berhak
menerima pembayaran) setelah memenuhi persyaratan yg diharuskan.
 Pembayaran dengan menggunakan mekanisme LS dilakukan untuk pembayaran yang telah pasti
jumlahnya, penerimanya, barang/jasa sudah diterima negara, pembebanan pada mata
anggaran. Pada prinsipnya semua pembayaran atas beban APBN dapat dilakukan dengan
mekanisme LS namun harus tetap memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
 Dalam melaksanakan Pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan Bendahara harus
memperhatikan dokumen dasar yang dipergunakan untuk melaksanakan pembayaran antara
lain: DIPA, POK, dan dokumen terkait pengadaan barang dan jasa, serta dokumen penetapan
keputusan.
 Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dalam mekanisme Uang Persediaan berbeda antara:
Uang Persediaan (UP), Tambahan Uang Persediaan, Ganti Uang Persediaan (GUP)
 Salah satu tugas Bendahara adalah melakukan pengujian terhadap belanja barang yang
dibayarkan melalui Uang Persediaan. Bendahara harus memastikan kebenaran jumlah,
kelengkapan dokumen, ketepatan Akun, kebenaran penerima, dll.
 Belanja barang yang dapat dibayar dengan mekanisme UP maksimal Rp50.000.000,- per
transaksi per rekanan
 Belanja modal yang dapat dibayarkan dengan mekanisme UP adalah Belanja Modal (53) untuk
jumlah maksimal 50 juta per transaksi per rekanan
 Tanda bukti pembelian/pembayaran dan apa saja yang harus diuji dari dokumen-berikut, bukti
pembelian, kuitansi, Surat Perintah Kerja (SPK), dan surat perjanjian.
 SPBy sebagai bukti otorisasi PPK atas belanja adalah dokumen yang menjadi dasar bagi
Bendahara Pengeluaran untuk melakukan pembayaran dari Uang Persediaan.
 Anggaran yang bersumber pada PNBP adalah anggaran yang dapat dipakai/digunakan oleh
sebuah satuan kerja karena pada satuan kerja tersebut terdapat penerimaan PNBP fungsional.
Ketentuan mengenai Uang Muka untuk dana yang bersumber dari PNBP diatur sebagai berikut:
UP/TUP untk PNBP diajukan terpisah dari UP/TUP lainnya, UP dapat diberikan kepada Satker
pengguna sebesar 20% dari pagu dana PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp500 juta, dengan
melampirkan Daftar Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (PNBP) tahun anggaran
sebelumnya. Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP sebesar kebutuhan riil satu
bulan dengan memperhatikan maksimum pencairan (MP)
 Penarikan PHLN dengan LC ada dua yaitu LC dengan pembayaran langsung dan LC dengan
pembebanan ke rekening khusus.
 Dalam pembayaran langsung, PA/KPA/PPK mengajukan SPP-SKP kepada KPPN Khusus untuk
diterbitkan SKP dan dikirim kepada BI sebagai dasar untuk pendebetan maupun pengkreditan
rekening BUN, atas realisasi LC, sedangkan untuk pembebanan ke rekening khusus, PA/KPA /PPK
mengajukan SPP-SKM RK LC kepada KPPN Khusus untuk diterbitkan SKM dan dikirim ke BI
sebagai dasar untuk melakukan pendebetan dan pengkreditan ke dalam rekening khusus loan
dimaksud atas realisasi LC.
 Penarikan dana PHLN dengan tata cara pembayaran langsung (direct payment) kepada rekanan
dilaksanakan langsung oleh lender, atas dasar withdrawal application dari KPPN Khusus atas
permintaan pembayaran (request of payment) yang diajukan PA/KPA kantor satuan kerja.
Persyaratan yang harus dilengkapi dari masing-masing lender dalam penarikan PHLN dengan
pembayaran langsung ini berbeda-beda. Cara ini baik digunakan untuk pekerjaan yang sifatnya
kontraktual, namun tidak bisa digunakan dalam pelaksanaan proyek dengan mekanisme uang
persediaan.
 Tata cara penarikan dana PHLN dengan reimbursement memerlukan dana pendahuluan yang
harus disediakan oleh peminjam (borrower) untuk membiayai proyek/kegiatan, kemudian
pengeluaran dimintakan penggantian kepada lender
 Prosedur pengajuan pembayaran tidak berbeda dengan Tata cara pembayaran langsung, hanya
dana yang ditransfer oleh lender ke rekening BUN atau rekening penerima penerusan pinjaman.
Tata cara penarikan PHLN dengan reimbursement kurang diminati oleh peminjam, karena dalam
pelaksanaannya peminjam harus menyediakan dana terlebih dahulu untuk membiayai
proyek/kegiatan bersangkutan, sedangkan peminjam justru tidak memiliki dana

PERPAJAKAN BENDAHARAPENGELUARAN

 Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat diandalkan. Bendahara
mempunyai peranan penting dalam pemungut/memotong pajak dalam setiap transaksi yang
berdasarkan ketentuan perpajakan harus memungut/memotong pajak sebagai bentuk
pengamanan penerimaan negara.
 Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor
Ditjen pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak
dan kepada wajib pajak diberikan NPWP. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang
diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya. Apabila terjadi penggantian Bendahara tidak perlu dilakukan perubahan NPWP,
tetapi bendahara pengganti tersebut cukup melaporkan secara tertulis tentang penggantiannya
dan tidak perlu meminta NPWP baru
 Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subjek pajak dalam pajak penghasilan, terdiri dari orang
pribadi, badan dan Badan Usaha Tetap (BUT). Berdasarkan Pasal 4 ayat (1), Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak penghasilan adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Tarif pajak yang
diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
 Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam negeri. Berdasarkan subjeknya Pajak Penghasilan Pasal 21, dibedakan menjadi
dua yakni untuk yang berprofesi sebagai Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya,
dan yang tidak berprofesi sebagai Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya. Golongan
tersebut, kemudian diklasifikasikan berdasarkan sumber penghasilannya, yakni untuk golongan
Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya, dibedakan atas penghasilan tetap dan
teratur dengan penghasilan yang tidak tetap dan tidak teratur, sedangkan untuk yang tidak
berprofesi sebagai Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya, dibedakan atas
penghasilan tetap dan teratur, penghasilan yang tidak tetap dan tidak teratur, dan penghasilan
dari jasa.
 PPh Pasal 22 adalah hal-hal yang berkenaan dengan penyerahan barang yang dibeli dari sumber
dana APBN/APBD. Pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan pemungutan terhadap PPh
Pasal 22, antara lain Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Penerbit Surat Perintah
Membayar (SPM) yang mendapat pendelegasian dari KPA, Bendaharawan Pemerintah Pusat
maupun Daerah, BHMN/BLU/BUMN/BUMD yang melakukan pembayaran atas pembelian
barang yang dibiayai dari APBN/APBD, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
 Bendahara pemerintah pusat/daerah bertindak sebagai pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23,
atas pembayaran yang dilakukan yang sumber dananya berasal dari APBN/APBD.
 Bendahara berhak melakukan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak Luar Negeri
(WPLN) yang memperoleh pembayaran, yang mana pembayaran tersebut berasal dari
APBN/APBD. Pemotongan tersebut dilakukan oleh bendahara yang melakukan pembayaran,
baik itu bendahara pemerintah pusat maupun bendahara pemerintah daerah. PPh Pasal 26
dikenakan kepada Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), baik itu orang pribadi maupun badan, selain
Badan Usaha Tetap (BUT) yang menerima penghasilan dari Indonesia. Pembayaran yang sumber
dananya dari APBN/APBD dikenakan pemotongan pajak berdasarkan PPh Pasal 26, dengan tarif
pajak sebesar 20% dari jumlah bruto yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri.
 Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) terdiri dari pajak penghasilan atas penghasilan berupa sewa
tanah dan/atau bangunan, PPh final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan, dan usaha jasa konstruksi. Pajak penghasilan atas penghasilan berupa sewa tanah
dan/atau bangunan dipotong oleh bendahara atas pembayaran yang sumber dananya dari
APBN/APBD, dilakukan terhadap semua nilai pembayaran atau jumlah bruto nilai persewaan
yaitu semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam
bentuk apa pun juga yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa termasuk
biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan ”service
charge” baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. Besarnya PPh
yang dipotong adalah 10% baik atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak badan maupun
orang pribadi dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan.
 PPh final atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dipotong oleh
bendahara dalam melaksanakan pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan atas beban APBN/APBD dilakukan sesuai dengan nilai yang disepakati atau jumlah
bruto nilai penjualan atau pengalihan hak. Jumlah bruto nilai penjualan atau pengalihan hak
adalah nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak termasuk bunga, pungutan
dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi pembeli dibandingkan dengan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.
 Dalam rangka menyederhanakan pengenaan Pajak Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan
memberikan kemudahan serta mengurangi beban administrasi bagi Wajib Pajak, pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi,
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final
 Undang-Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPn BM) adalah undangundang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
 Objek pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang/jasa oleh bendahara adalah penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh PKP Penyedia
barang/jasa, pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean. PPn BM hanya dipungut oleh bendahara dalam hal PKP Penyedia Barang/Jasa
adalah pabrikan dari BKP yang tergolong mewah.
 Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah BKP dan JKP, kecuali undang-undang menetapkan
sebaliknya. Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh persen), sedangkan tarif PPN atas ekspor
BKP adalah 0% (nol persen). Tarif PPn BM yang berlaku sekarang ini paling rendah 10% dan
paling tinggi 200%.
 Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985. Objek
pemungutan bea meterai adalah dokumen. Dokumen yang menjadi objek pemungutan adalah
dokumen yang ditulis di atas kertas. Pada dasarnya, bea meterai terutang pada saat dokumen
tersebut selesai dibuat atau pada saat dokumen tersebut selesai digunakan. Pihak yang terutang
bea meterai adalah pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak
yang bersangkutan menentukan lain. Pelunasan bea meterai terhadap dokumen yang terutang
bea meterai dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain menggunakan benda
meterai/meterai tempel, menggunakan kertas meterai/kertas segel, dan menggunakan mesin
tera bea meterai (taxograph).
 Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan bea meterai yang dilakukan oleh Pejabat
Pos atas permintaan pemegang dokumen yang bea meterainya belum dilunasi sebagaimana
mestinya. Pelanggaran dalam pelunasan bea meterai terjadi sebagai akibat dari pelanggaran
formal dan pelanggaran material. Sanksi terkait dengan bea meterai ini mencakup sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang
terutang mempunyai daluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahun sejak tanggal dokumen
dibuat, kecuali untuk kuitansi
PEMBUKUAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN
BENDAHARA PENGELUARAN

 Pembukuan merupakan wujud upaya bendahara pengeluaran untuk mengelola keuangan


negara secara tertib dan dapat dipertanggungjawabkan.
 Pembukuan adalah pencatatan penerimaan dan pengeluaran satker yang dilakukan di Buku Kas
Umum, buku-buku pembantu, dan buku pengawasan anggaran oleh bendahara pengeluaran.
 Ruang lingkup pembukuan mengacu pada batasan tanggung jawab bendahara pengeluaran.
 Pemeriksaan kas dilakukan minimal sekali setiap bulan.
 Rekonsiliasi internal dilakukan antara bendahara pengeluaran dengan UAKPA setiap bulan
 Pembukuan Bendahara Pengeluaran menganut single entry dan basis kas.
 Input pembukuan bendahara adalah dokumen sumber yang sah.
 Proses pembukuan bendahara adalah pencatatan dokumen sumber dalam BKU, Buku
pembantu, dan buku pengawasan anggaran.
 Output pembukuan bendahara adalah BKU dan buku-buku pembantu yang telah direkonsiliasi
dengan UAKPA.
 Tata cara pembukuan mengacu pada prinsip pembukuan
 Pembukuan bendahara pengeluaran diawali dari BKU, buku pembantu, selanjutnya ke buku
pengawasan anggaran.
 SP2D UP dibukukan di BKU, Buku Pembantu Bank, dan Buku Pembantu UP.
 Berita acara pemeriksaan kas dan rekonsiliasi dibuat setiap bulan. Rekonsiliasi internal
membandingkan data UP menurut bendahara pengeluaran dengan UAKPA.
 Pemeriksaan kas meliputi pemeriksaan saldo pembukuan dan pemeriksaan saldo kas
 Uang muka adalah uang yang dibayarkan oleh bendahara sebelum barang/jasa diterima atau
sebelum kegiatan dilaksanakan.
 Secara prinsip penyaluran dana UP dari bendahara kepada BPP dapat dikategorikan sebagai
uang muka.
 Selain kepada BPP, uang muka dapat dibayarkan kepada pelaksana perjalanan dinas dan
penerima uang muka kerja.
 Untuk membukukan uang muka, bendahara harus membuat buku pembantu BPP dan buku
pembantu uang muka.
 Pengakuan belanja uang muka terjadi pada saat pertanggungjawaban uang muka diterima oleh
bendahara
 LPJ Bendahara Pengeluaran merupakan laporan yang wajib dibuat oleh Bendahara Pengeluaran
atas uang yang dikelolanya sebagai pertanggungjawaban pengelolaan uang.
 Format dan tata cara penyusunan LPJ Bendahara Pengeluaran mengacu pada Peraturan Dirjen
Perbendaharaan Nomor 03 Tahun 2014.
 Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti
jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Jenis kerugian
menurut obyeknya dalah uang, surat berharga, dan barang milik negara. Kerugian negara
menurut subyek terdiri dari kerugian negara oleh bendahara dan kerugian negara oleh pegawai
negeri selain bendahara/pegawai lainnya.
 Kerugian negara karena perbuatan bendahara diketahui dari informasi dari pengawasan atasan
langsung, pemeriksaan oleh yang berwenang, dan perhitungan pejabat ex officio. Atas kerugian
negara tersebut maka akan ada tuntutan penggantian kerugian negara terhadap Bendahara
Pengeluaran.Dalam penyelesaian kerugian Negara karena tindakan Bendahara Pengeluaran,
terdapat beberapa pihak yang terlibat. Pihakpihak tersebut pada dasarnya dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu BPK dan selain BPK. Pihak-pihak selain BPK antara lain Bendahara
Pengeluaran, Tim Penyelesaian Kerugian negara (TPKN), instansi, pimpinan instansi, dan satuan
kerja
 Pembukuan bendahara pengeluaran BLU diatur dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor
47 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pembukuan, Penatausahaan, dan Pertanggungjawaban
Bendahara pada Badan Layanan Umum.
 Secara prinsip pembukuan bendahara pengeluaran BLU sama dengan pembukuan pada
bendahara pengeluaran satker non BLU.
 Berdasarkan transaksinya, pembukuan bendahara pengeluaran BLU dapat diklasifikasikan
menjadi:
- Transaksi atas UP dan LS
- Transaksi atas Uang Pihak Ketiga, Hibah, Dana Bergulir dan Uang Titipan
- Transaksi atas Dana dari Bendahara Penerimaan
- Transaksi Penyaluran Dana ke BPP
- Transaksi Uang Lainnya

APLIKASI BENDAHARA PENGELUARAN

 Sistem Aplikasi Satker (SAS) merupakan penggabungan dari beberapa aplikasi yang digunakan
secara terpisah pada tingkat satker untuk mempermudah pengelolaan keuangan.
 Aplikasi modul bendahara merupakan salah satu bagian modul dari aplikasi SAS.
 Proses instalasi aplikasi SAS terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a. instal aplikasi;
b. instal database aplikasi;
c. instal update aplikasi
 Pada sistem aplikasi satker (SAS) penggunaan modul-modul aplikasi sesuai dengan user masing-
masing pada saat login.
 Login aplikasi sebagai
 Login aplikasi sebagai Bendahara Pengeluaran berfungsi untuk melakukan perekaman dan
pencatatan serta pelaporan pembukuan Bendahara Pengeluaran Admin berfungsi untuk
penyiapan data referensi dan pagu serta pemeliharaan data..
 Laporan pertanggungjawaban bendahara (LPJ) dan berita acara pemeriksaan kas dapat dicetak
setelah proses pencatatan transaksi pembukuan telah dilakukan.
 Untuk memelihara data transaksi bendahara, menghindari adanya kerusakan dan kehilangan
data perlu dilakukan proses backup dan restore data bendahara
 Perekaman data simulasi transaksi pembukuan Bendahara Pengeluaran dilakukan setelah :
a. Perbaikan/update referensi
b. Perekaman referensi pejabat perbendaharaan
 Perekaman data transaksi Bendahara Pengeluaran dilakukan mulai dari:
a. perekaman saldo awal;
b. pencatatan nomor SP2D;
c. perekaman data kuitansi;
d. perekaman data pungutan dan setoran pajak;
e. perekaman data transaksi bendahara lainnya selain disebut di atas.
 Pencetakan laporan pembukuan dan laporan LPJ Bendahara dilakukan setelah proses
perekaman data dan transaksi Bendahara Pengeluaran

Anda mungkin juga menyukai