Anda di halaman 1dari 16

E-Learning Bendahara

Pengeluaran/BPP

A. SISTEM PENERIMAAN DAN PENGELUARAN NEGARA


1. Pengertian Pendapatan Negara dan Belanja Negara
 Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara
 Pendapatan Negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih
 Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara
 Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai
pengurangan nilai kekayaan bersih
2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran
 Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA
adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan
PA dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan
APBN
 Terdapat dua jenis DIPA, yaitu DIPA Induk dan DIPA Petikan (Dasar
pelaksanaan kegiatan suatu kerja dan Dasar pencairan dana/pengesahan
bagi BUN/kuasa BUN)
 Petunjuk Operasional Kegiatan (POK) adalah dokumen yang memuat
uraian rencana kerja dan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan
kegiatan, disusun oleh KPA sebagai penjabaran lebih lanjut dari DIPA.
3. Sistem Penerimaan Negara
 Penyetoran Pajak: WP ke Bendahara Pengeluaran ke Kas Negara atau
WP ke Kas Negara
 Penyetoran PNBP: WB ke Petugas Pungut ke Bendahara Penerimaan ke
Kas Negara
 Pengesahan Penerimaan Negara akan mendapatkan kode NTPN atau
kode-kode lainnya.
4. Sistem Pengeluaran Negara
 Metode Pembayaran terdiri dari dua bentuk yaitu LS dan UP. LS adalah
pembayaran langsung ke penyedia barang dan jasa atau bendahara
pengeluaran. Sedangkan UP adalah Uang Persediaan yang digunakan
untuk pembayaran kegiatan operasional satker
5. Sistem Pengarsipan Dokumen Keuangan Negara
 Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA dan Menteri Keuangan selaku
BUN menyelenggarakan sistem penatausahaan APBN yang terintegrasi
untuk mewujudkan pelaksanaan APBN secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan
 Pejabat perbendaharaan bertanggung jawab atas penyelenggaraan
penatausahaan dokumen transaksi keuangan Pemerintah yang
dilakukannya
 Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan
media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah,
lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi
kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

B. PENGELOLAAN UANG PERSEDIAAN


1. Perhitungan Uang Persediaan
 Uang Persediaan dapat diartikan sebagai uang muka kerja yang diberikan
oleh KPPN selaku Kuasa BUN di daerah, kepada satuan kerja K/L melalui
bendahara pengeluaran, yang diperuntukkan untuk membiaya belanja
satker dengan nilai sampai dengan Rp50 juta. UP ini diberikan setelah
satker K/L tersebut menerima DIPA.
 Besaran UP Normal yang diajukan oleh satuan kerja K/L untuk pertama
kali setelah menerima DIPA adalah:
- Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang
bisa dibayarkan melalui UP sampaidengan Rp900.000.000 (sembilan
ratus juta rupiah)
- Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang
bisa dibayarkan melalui UP di atas Rp900.000.000 (sembilan ratus
juta rupiah) sampai dengan Rp2.400.000.000 (dua miliar empat ratus
juta rupiah)
- Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang
bisa dibayarkan melalui UP di atas Rp2.400.000.000 (dua miliar
empat ratus juta rupiah) sampai dengan Rp6.000.000.000 (enam
miliar rupiah)
- Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) untuk pagu jenis belanja yang
bisa dibayarkan melalui UP di atas Rp6.000.000.000 (enam miliar
rupiah).
 Untuk mendapatkan pembayaran UP dari KPPN, Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA) satuan kerja K/L harus menyiapkan Surat Permintaan
Pembayaran Uang Persediaan (SPP-UP). Akun yang digunakan untuk
permintaan UP RM adalah 825111
2. Pergantian Uang Persediaan
 Penggantian (GUP) Isi, merupakan dana UP yang diisi kembali
(revolving) dari KPPN selaku Kuasa BUN, kepada rekening bendahara
pengeluaran, secara otomatis dari pertanggungjawaban yang diajukan.
Jumlah total SPP atau SPM-GUP Isi merupakan akumulasi dari jumlah
bukti pembayaran/kuitansi yang dihasilkan dari UP Normal atau
Perubahan UP. Jumlah total SPP atau SPM-GUP Isi, minimal harus 50%
dari UP Normal atau Perubahan UP.
 Penerbitan permintaan pembayaran penggantian Uang Persediaan
(GUP) Nihil dilakukan dalam hal:
- sisa dana pada DIPA yang dapat dibayarkan dengan UP minimal
sama dengan besaran UP yang diberikan;
- sebagai pertanggungjawaban UP yang dilakukan pada akhir tahun
anggaran;
- UP tidak diperlukan lagi.
 Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang
selanjutnya disebut SPP-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang berisi pertanggungjawaban dan
permintaan kembali pembayaran Uang Persediaan
3. Tambahan Uang Persediaan
 Tambahan Uang Persediaan, merupakan uang muka kerja yang
diberikan oleh KPPN selaku Kuasa BUN kepada satuan kerja K/L,
sebagai tambahan dari UP Normal yang suda diterima oleh satker
tersebut. Tambahan UP bersifat mendesak atau habis dalam waktu satu
bulan (30 hari) kalender, sejak tanggal SP2D TUP sampai dengan SPM-
GUP diterima oleh loket KPPN.
 Tambahan UP dapat diajukan oleh satker K/L meskipun penggunaan UP
Normal atau PUP belum mencapai 50%. Tambahan UP ini diajukan
dalam rangka satker yang bersangkutan memerlukan pendanaan
melebihi sisa dana UP yang tersedia pada bendahara pengeluaran, untuk
keperluan yang mendesak. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
mengajukan permintaan TUP kepada Kepala KPPN selaku Kuasa
Bendahara Umum Negara (BUN) disertai:
- Rincian rencana penggunaan TUP;
- Dokumen lain yang dipersyaratkan oleh Kuasa BUN (KPPN) dalam
rangka penggunaan TUP.
 Untuk perpanjangan pertanggungjawaban Tambahan UPmelampaui 1
(satu) bulan, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) mengajukan
permohonan persetujuan kepada Kepala KPPN. Kepala KPPN
memberikan persetujuan perpanjangan pertanggungjawaban TUP
dengan pertimbangan:
- KPA harus mempertanggungjawabkan TUP yang telah dipergunakan;
- KPA menyampaikan pernyataan kesanggupan untuk
mempertanggungjawabkan sisa TUP tidak lebih dari 1(satu) bulan
berikutnya
4. Pengelolaan Uang Persediaan Sumber Dana PNBP
 Permintaan pembayaran UP untuk DIPA yang bersumber dari dana
PNBP, merupakan SPP permintaan uang muka kerja, yang dapat
diajukan pertama kali setelah satker menerima DIPA. Seperti halnya
DIPA yang bersumber dari Rupiah Murni, satker K/L juga dapat
memperoleh Tambahan UP dari DIPA yang bersumber PNBP. Akan
tetapi, tambahan UP ini dapat diberikan oleh KPPN setelah menghitung
proporsi penarikan dari PNBP yang sudah disetorkan ke kas negara oleh
satker
 Uang Persediaan dapat diberikan kepada satker pengguna sebesar 20%
dari pagu dana PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp500.000.000
(lima ratus juta rupiah), dengan melampirkan Daftar Realisasi
Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (PNBP) Tahun Anggaran
sebelumnya. Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan TUP
sebesar kebutuhan riil satu bulan dengan memperhatikan Maksimum
Pencairan (MP).
 Seperti halnya DIPA yang bersumber dari Rupiah Murni (RM), penarikan
dana UP pada DIPA PNBP juga dapat dilakukan sesuai kebutuhan, baik
UP Normal, Tambahan UP, Perubahan UP, dan Dispensasi. Penarikan
dana UP dan TUP tersebut dilakukan sesuai kebutuhan dan
menggunakan ketentuan yang berlaku
5. Pengelolaan Uang Persediaan Sumber Dana PHLN
 Sebagaimana kita ketahui, beberapa satuan kerja selain memperoleh
DIPA dari sumber Rupiah Murni dan PNBP, juga dapat memperoleh dana
dari Pinjaman atau Hibah dari Luar Negeri. Bagi satker seperti ini, untuk
membiayai kegiatan pelaksanaan tupoksi atau kegiatan penunjang,
bendahara pengeluaran dimungkinkan menarik dana UP dari sumber
dana PHLN tersebut.
 Salah satu cara pembayaran yang dapat dilakukan oleh satker penerima
PHLN melalui reksus KPPN di BI tersebut, adalah dengan cara menarik
Uang Persediaan (UP). Uang Persediaan dana yang bersunber dari
PHLN, dapat berupa UP Normal, Perubahan UP, Tambahan UP,
Dispensasi UP, dan Penggantian UP. Dana UP tersebut diajukan dan
dikelola oleh bendahara pengeluaran masing-masing satker. Tata cara
penarikan dana PHLN dengan rekening khusus ini paling sering
digunakan karena banyak keuntungannya walau masih ada juga
kekurangannya
 Kelebihan dari cara pembayaran melalui rekening khusus antara lain
tersedianya dana setiap saat (dengan adanya initial deposit), menghindari
pembiayaan pendahuluan (prefinancing), dapat dilaksanakan oleh KPPN
di daerah baik KPPN KBI maupun KPPN non-KBI, serta lokasi
pembayaran yang dekat dengan proyek, sehingga dapat diharapkan
penarikan dana oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran/Satker dapat lebih cepat, sedangkan kekurangannya antara
lain jika penyerapan dana oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran/Satker rendah, kita sudah terkena kewajiban pembayaran
bunga atas dana initial deposit yang telah disediakan lender, banyak
pengeluaran yang dinyatakan ineligible oleh lender yang disebabkan
karena pembebanan porsi PHLN tidak sesuai dengan loan agreement,
pengisian BAP yang tidak benar, salah mencantumkan nomor rekening
khusus, dan lain-lain. Oleh karena itu, pengelola kegiatan/proyek
(executing agency), harus memperhatikan halhal tersebut agar PHLN
dapat ditarik tepat waktu dan benar, sehingga dana pembiayaan
kegiatan/proyek siap setiap saat dan tidak memberatkan pemerintah
Indonesia dalam membayar commitment fee
 Pelaksanaan penarikan dana PHLN dengan rekening khusus ini ada dua
tahapan, yaitu tahap pendahuluan yang terdiri pembukaan rekening
khusus, pengajuan initial deposit, dan penerbitan Peraturan Dirjen
Perbendaharaan, serta tahap pelaksanaan penarikan yang biasanya
dilaksanakan dengan pembayaran langsung maupun mekanisme
penyediaan uang persediaan. Pengajuan replenishment dibuat oleh
executing agency yang kemudian dikirim ke Direktorat Pengelolaan Kas
Negara untuk diverifikasi. Apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan
aplikasi replenishment diajukan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara
kepada masing-masing lender.
C. PENGUJIAN DAN PEMBAYARAN TAGIHAN
1. Konsep Pengujian Tagihan atas Beban APBN
 Lingkup pengujian tagihan atas beban APBN tecantum dalam UU
Keuangan Negara. UU No.1 tahun 2004 merupakan landasan utama
terkait dengan pengujian dan pembayaran tagihan karena pada
hakekatnya pelaksanaan pengujian dan pembayaran tagihan atas beban
APBN adalah ranah Perbendaharaan Negara. Dalam UU No. 1 Tahun
2004 aturan terkait pengujian dan pembayaran atas beban APBN termuat
di dalam Bagian Keempat tentang Pelaksanaan Anggaran Belanja dalam
pasal 18, pasal 21
 Berdasarkan PP 45/2013 dan PMK. 190/PMK.05/2012 pejabat
Perbendaharaan memiliki kewenangan dan kewajiban untuk memastikan
bahwa belanja yag bersumber dari APBN telah dilaksanakan dengan
benar baik secara substantif maupun administratif.
 Pengujian tagihan pada prinsipnya bertujuan untuk memastikan tagihan
yang dibayarkan atas beban APBN adalah benar dan telah sesuai
dengan prinsip-prinsip pengelolaan Keuangan negara baik secara
substansif maupun formal. Secara substansif pembayaran tagihan sesuai
dan sejalan dengan paradigma dan prinsip pengelolaan keuangan
negara, secara formal pengujian sesuai dengan aturan formal yang
berlaku.
 Terhadap tagihan kepada Negara semua pihak terkait harus melakukan
pengujian terhadap tagihan kepada Negara. Secara umum pengujian
tersebut meliputi tiga hal pokok yaitu:
o Pengujian Terhadap Kesesuaian Tagihan dengan UU atau pengujian
(Wetmatigheid);
o Pengujian Pengujian Terhadap Kesesuaian Tagihan dengan aturan
pelaksanaan UU atau pengujian (Rechmatigheid); dan
o Pengujian Terhadap Kesesuaian Tagihan dengan output/materi/hasil
atau pengujian (Doelmatigheid)
2. Pengujian terhadap Ketepatan Klasifikasi Anggaran
 Klasifikasi belanja berdasarkan organisasi disusun berdasarkan susunan
kementerian negara/lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna Anggaran.
 Terdiri dari 11 fungsi utama yaitu: pelayanan umum, pertahanan,
ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan
fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan
perlindungan sosial.
 Subfungsi merupakan penjabaran lebih lanjut dari fungsi. Dari 11
(sebelas) fungsi utama dirinci ke dalam 79 (tujuh puluh sembilan) sub
fungsi.
 Program adalah penjabaran kebijakan kementerian negara/lembaga
dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa kegiatan dengan
menggunakan sumber daya yang disediakan untuk mencapai hasil yang
terukur sesuai dengan misi kementerian negara/lembaga.
 Kegiatan adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh satu atau
beberapa satuan kerja sebagai bagian dari pencapaian sasaran terukur
pada suatu program. Kegiatan terdiri dari sekumpulan tindakan
pengesahan sumber daya baik yang berupa sumber daya manusia,
barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana atau kombinasi
dari beberapa atau semua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan
(input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa
 Klasifikasi berdasarkan jenis belanja menurut Penjelasan Pasal 11 UU 17
tahun 2003 terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal,
Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial, Belanja lain-lain dan Belanja
Daerah.
3. Pengujian atas Tagihan
 Secara garis besar terdapat dua mekanisme pembayaran dalam rangka
pembayaran atas beban APBN yaitu Mekanisme UP dan mekanisme LS.
 Mekanisme UP dilakukan dengan cara pembayaran kepada
rekanan/pihak yang berhak dibayar dengan cara pembebanan dari
rekening kas Negara melalui rekenig Bendahara. Sedangkan dalam
mekanisme LS pembayaran kepada rekanan dibayarkan langsung dari
rekening kas Negara kepada rekening rekanan tanpa melalui rekening
bendahara.
 Diantara kedua mekanisme tersebut terdapat mekanisme pembayaran
yang bersifat diantara keduanya, mekanisme ini dikenal dengan istilah LS
Bendahara. UP dapat diberikan dalam batas-batas untuk pengeluaran-
pengeluaran: Belanja Barang (52), Belanja Modal (53), dan Belanja lain-
lain (58).
 Pembayaran dengan menggunakan mekanisme LS artinya pelaksanaan
pembayaran melalui transfer dari rekening kas Negara ke rekening bank
penerima (rekening rekanan yang berhak menerima pembayaran) setelah
memenuhi persyaratan yg diharuskan.
 Pembayaran dengan menggunakan mekanisme LS dilakukan untuk
pembayaran yang telah pasti jumlahnya, penerimanya, barang/jasa sudah
diterima negara, pembebanan pada mata anggaran. Pada prinsipnya
semua pembayaran atas beban APBN dapat dilakukan dengan
mekanisme LS namun harus tetap memenuhi persyaratan kelengkapan
dokumen sesuai dengan peraturan yang berlaku
 Dalam melaksanakan Pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan
Bendahara harus memperhatikan dokumen dasar yang dipergunakan
untuk melaksanakan pembayaran antara lain: DIPA, POK, dan dokumen
terkait pengadaan barang dan jasa, serta dokumen penetapan keputusan.
 Dokumen-dokumen yang harus dilengkapi dalam mekanisme Uang
Persediaan berbeda antara: Uang Persediaan (UP), Tambahan Uang
Persediaan, Ganti Uang Persediaan (GUP)
4. Pengujian Dokumen Persyaratan Administrasi Belanja non Pegawai
 Salah satu tugas Bendahara adalah melakukan pengujian terhadap
belanja barang yang dibayarkan melalui Uang Persediaan. Bendahara
harus memastikan kebenaran jumlah, kelngkapan dokumen, ketepatan
Akun, kebenaran penerima, dll.
 Belanja barang yang dapat dibayar dengan mekanisme UP maksimal
Rp50.000.000,- per transaksi per rekanan.
 Jenis belanja barang antara lain: belanja barang operasional dan non
operasional, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan
dalam negeri, belanja perjalanan luar negeri, dan belanja barang BLU.
 Bendahara juga bertugas untuk melakukan pengujian atas belanja modal
yang dibayar dengan mekanisme Uang Persediaan. Bendahara harus
memastikan kebenaran jumlah, kelengkapan dokumen, ketepatan Akun,
kebenaran penerima dll
5. Pengujian Dokumen Persyaratan Administrasi Pembayaran Belanja PNBP
 Anggaran yang bersumber pada PNBP adalah anggaran yang dapat
dipakai/digunakan oleh sebuah satuan kerja karena pada satuan kerja
tersebut terdapat penerimaan PNBP fungsional. Ketentuan mengenai
Uang Muka untuk dana yang bersumber dari PNBP diatur sebagai
berikut: UP/TUP untk PNBP diajukan terpisah dari UP/TUP lainnya, UP
dapat diberikan kepada Satker pengguna sebesar 20% dari pagu dana
PNBP pada DIPA maksimal sebesar Rp 500 juta, dengan melampirkan
Daftar Realisasi Pendapatan dan Penggunaan Dana DIPA (PNBP) tahun
anggaran sebelumnya. Apabila UP tidak mencukupi dapat mengajukan
TUP sebesar kebutuhan riil satu bulan dengan memperhatikan
maksimum pencairan (MP).
 Dalam hal pembayaran tagihan terhadap APBN yang bersumber PNBP
harus diperhatikan sumber dana yang tersedia. Pada prinsipnya kegiatan
dapat dilaksanakan apabila PNBP telah masuk ke kas Negara (telah
disetor ke rekening kas Negara). Untuk itu setiap pembayaran yang
bersumber PNBP harus memperhatikan batas maksimal pencairan dana.
Sisa dana PNBP dari satker pengguna diluar butir I, yang disetorkan ke
rekening kas Negara pada akhir tahun anggaran merupakan bagian
realisasi penerimaan PNBP tahun anggaran berikutnya dan dapat
dipergunakan untuk membiayai kegiatankegiatan setelah diterimanya
DIPA.
 Sisa UP/TUP dana PNBP sampai akhir tahun anggaran yang tidak
disetorkan ke rekening kas Negara, akan diperhitungkan pada saat
pengajuan pencairan dana UP tahun anggaran berikutnya.
6. Pengujian Dokumen Persyaratan PHLN
 Penarikan PHLN dengan LC ada dua yaitu LC dengan pembayaran
langsung dan LC dengan pembebanan ke rekening khusus.
 Dalam pembayaran langsung, PA/KPA/PPK mengajukan SPP-SKP
kepada KPPN Khusus untuk diterbitkan SKP dan dikirim kepada BI
sebagai dasar untuk pendebetan maupun pengkreditan rekening BUN,
atas realisasi LC, sedangkan untuk pembebanan ke rekening khusus,
PA/KPA /PPK mengajukan SPP-SKM RK LC kepada KPPN Khusus untuk
diterbitkan SKM dan dikirim ke BI sebagai dasar untuk melakukan
pendebetan dan pengkreditan ke dalam rekening khusus loan dimaksud
atas realisasi LC.
 Penarikan dana PHLN dengan tata cara pembayaran langsung (direct
payment) kepada rekanan dilaksanakan langsung oleh lender, atas dasar
withdrawal application dari KPPN Khusus atas permintaan pembayaran
(request of payment) yang diajukan PA/KPA kantor satuan kerja.
Persyaratan yang harus dilengkapi dari masing-masing lender dalam
penarikan PHLN dengan pembayaran langsung ini berbeda-beda. Cara
ini baik digunakan untuk pekerjaan yang sifatnya kontraktual, namun tidak
bisa digunakan dalam pelaksanaan proyek dengan mekanisme uang
persediaan.
 Tata cara penarikan dana PHLN dengan reimbursement memerlukan
dana pendahuluan yang harus disediakan oleh peminjam (borrower)
untuk membiayai proyek/kegiatan, kemudian pengeluaran dimintakan
penggantian kepada lender.
 Prosedur pengajuan pembayaran tidak berbeda dengan Tata cara
pembayaran langsung, hanya dana yang ditransfer oleh lender ke
rekening BUN atau rekening penerima penerusan pinjaman. Tata cara
penarikan PHLN dengan reimbursement kurang diminati oleh peminjam,
karena dalam pelaksanaannya peminjam harus menyediakan dana
terlebih dahulu untuk membiayai proyek/kegiatan bersangkutan,
sedangkan peminjam justru tidak memiliki dana.
 Tata cara penarikan dana PHLN dengan rekening khusus dapat
dilaksanakan oleh KPPN KBI maupun KPPN Non KBI, karena lokasi
pembayaran dekat dengan proyek/kegiatan dan dengan adanya initial
deposit maka dana tersedia setiap saat. Dalam pelaksanaan penarikan
ada tiga tahap yang harus dilakukan, yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan dan tahap pertanggungjawaban. Tahap persiapan terdiri dari
tiga kegiatan yaitu pembukaan nomor rekening khusus, pengajuan dana
awal (initial deposit) dan penerbitan peraturan Dirjen Perbendaharaan.
Tahap pelaksanaan penarikan dana dapat dilakukan dengan pembayaran
langsung maupun dengan mekanisme uang persdiaan. Tahap
pertanggungjawaban dilaksanakan dengan pengajuan replenishment dan
penyusunan FISSA setiap tahun
D. PERPAJAKAN BENDAHARA PENGELUARAN
1. Pengantar Perpajakan
 Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat
diandalkan. Bendahara mempunyai peranan penting dalam
pemungut/memotong pajak dalam setiap transaksi yang berdasarkan
ketentuan perpajakan harus memungut/memotong pajak sebagai bentuk
pengamanan penerimaan negara
 Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
wajib mendaftarkan diri pada kantor Ditjen pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepada
wajib pajak diberikan NPWP. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor
yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Apabila terjadi penggantian Bendahara tidak perlu dilakukan perubahan
NPWP, tetapi bendahara pengganti tersebut cukup melaporkan secara
tertulis tentang penggantiannya dan tidak perlu meminta NPWP baru
 Bendahara dapat melakukan penyetoran pajak dengan sistem
pembayaran pajak secara elektronik. Transaksi penyetoran tersebut
dilakukan melalui bank/pos persepsi dengan menggunakan kode billing.
Transaksi penyetoran dapat dilakukan melalui teller bank/pos persepsi/
Anjungan Tunai mandiri (ATM), Internet Banking dan EDC. Atas
pembayaran tersebut wajib pajak akan menerima Bukti Penerimaan
Negara (BPN
 Kewajiban akhir dari pemotong/pemungut pajak adalah membuat SPT
sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang
2. Pajak Penghasilan
 Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan
yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Subjek pajak dalam
pajak penghasilan, terdiri dari orang pribadi, badan dan Badan Usaha
Tetap (BUT). Berdasarkan Pasal 4 ayat (1), Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, yang menjadi
objek pajak penghasilan adalah “setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”. Cara
menghitung Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri adalah penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP). Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah
berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan
 Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri.
Berdasarkan subjeknya Pajak Penghasilan Pasal 21, dibedakan menjadi
dua yakni untuk yang berprofesi sebagai Pejabat Negara, PNS, TNI,
POLRI dan pensiunannya, dan yang tidak berprofesi sebagai Pejabat
Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya. Golongan tersebut,
kemudian diklasifikasikan berdasarkan sumber penghasilannya, yakni
untuk golongan Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya,
dibedakan atas penghasilan tetap dan teratur dengan penghasilan yang
tidak tetap dan tidak teratur, sedangkan untuk yang tidak berprofesi
sebagai Pejabat Negara, PNS, TNI, POLRI dan pensiunannya, dibedakan
atas penghasilan tetap dan teratur, penghasilan yang tidak tetap dan tidak
teratur, dan penghasilan dari jasa.
 PPh Pasal 22 adalah hal-hal yang berkenaan dengan penyerahan barang
yang dibeli dari sumber dana APBN/APBD. Pihak-pihak yang berwenang
untuk melakukan pemungutan terhadap PPh Pasal 22, antara lain Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Penerbit Surat Perintah
Membayar (SPM) yang mendapat pendelegasian dari KPA,
Bendaharawan Pemerintah Pusat maupun Daerah,
BHMN/BLU/BUMN/BUMD yang melakukan pembayaran atas pembelian
barang yang dibiayai dari APBN/APBD, dan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai.
 Bendahara pemerintah pusat/daerah bertindak sebagai pemotong Pajak
Penghasilan Pasal 23, atas pembayaran yang dilakukan yang sumber
dananya berasal dari APBN/APBD.
3. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah
 Undang-Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah
undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2021.
 Objek pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang/jasa oleh bendahara
adalah penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dilakukan oleh PKP Penyedia barang/jasa, pemanfaatan
Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. PPn BM hanya dipungut oleh
bendahara dalam hal PKP Penyedia Barang/Jasa adalah pabrikan dari
BKP yang tergolong mewah.
4. Bea Meterai
 Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM) melakukan pengujian terhadap
pengenaan bea meterai atas dokumen yang ditulis di atas kertas. Pada
dasarnya, bea meterai terutang pada saat dokumen tersebut selesai
dibuat atau pada saat dokumen tersebut selesai digunakan. Pihak yang
terutang bea meterai adalah pihak yang mendapat manfaat dari
dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan
lain. Pelunasan bea meterai terhadap dokumen yang terutang bea
meterai dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain menggunakan
benda meterai/meterai tempel, menggunakan kertas meterai/kertas segel,
dan menggunakan mesin tera bea meterai (taxograph)
 Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan bea meterai yang
dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang
bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya. Pelanggaran
dalam pelunasan bea meterai terjadi sebagai akibat dari pelanggaran
formal dan pelanggaran material. Sanksi terkait dengan bea meterai ini
mencakup sanksi administrasi dan sanksi pidana. Kewajiban pemenuhan
bea meterai dan denda administrasi yang terutang mempunyai daluwarsa
setelah melampaui waktu 5 tahun sejak tanggal dokumen dibuat, kecuali
untuk kuitansi
E. PEBUKUAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA PENGELUARAN
1. Gambaran Umum Pembukuan
 Pembukuan merupakan wujud upaya bendahara pengeluaran untuk
mengelola keuangan negara secara tertib dan dapat
dipertanggungjawabkan
 Pembukuan adalah pencatatan penerimaan dan pengeluaran satker yang
dilakukan di Buku Kas Umum, buku-buku pembantu, dan buku
pengawasan anggaran oleh bendahara pengeluaran.
 Ruang lingkup pembukuan mengacu pada batasan tanggung jawab
bendahara pengeluaran
 Pemeriksaan kas dilakukan minimal sekali setiap bulan
 Rekonsiliasi internal dilakukan antara bendahara pengeluaran dengan
UAKPA setiap bulan
2. Sistem dan Tata Cara Pembukuan
 Pembukuan Bendahara Pengeluaran menganut single entry dan basis
kas.
 Input pembukuan bendahara adalah dokumen sumber yang sah
 Proses pembukuan bendahara adalah pencatatan dokumen sumber
dalam BKU, Buku pembantu, dan buku pengawasan anggaran
 Output pembukuan bendahara adalah BKU dan buku-buku pembantu
yang telah direkonsiliasi dengan UAKPA.
 Tata cara pembukuan mengacu pada prinsip pembukuan
3. Simulasi Pembukuan
 Pembukuan bendahara pengeluaran diawali dari BKU, buku pembantu,
selanjutnya ke buku pengawasan anggaran.
 SP2D UP dibukukan di BKU, Buku Pembantu Bank, dan Buku Pembantu
UP.
 Berita acara pemeriksaan kas dan rekonsiliasi dibuat setiap bulan.
Rekonsiliasi internal membandingkan data UP menurut bendahara
pengeluaran dengan UAKPA.
 Pemeriksaan kas meliputi pemeriksaan saldo pembukuan dan
pemeriksaan saldo kas.
4. Pembukuan Uang Muka
 Uang muka adalah uang yang dibayarkan oleh bendahara sebelum
barang/jasa diterima atau sebelum kegiatan dilaksanakan.
 Secara prinsip penyaluran dana UP dari bendahara kepada BPP dapat
dikategorikan sebagai uang muka
 Selain kepada BPP, uang muka dapat dibayarkan kepada pelaksana
perjalanan dinas dan penerima uang muka kerja.
 Untuk membukukan uang muka, bendahara harus membuat buku
pembantu BPP dan buku pembantu uang muka.
 Pengakuan belanja uang muka terjadi pada saat pertanggungjawaban
uang muka diterima oleh bendahara.
5. Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran
 LPJ Bendahara Pengeluaran merupakan laporan yang wajib dibuat oleh
Bendahara Pengeluaran atas uang yang dikelolanya sebagai
pertanggungjawaban pengelolaan uang.
 Format dan tata cara penyusunan LPJ Bendahara Pengeluaran mengacu
pada Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 03 Tahun 2014.
 Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang,
yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan
hukum baik sengaja maupun lalai. Jenis kerugian menurut obyeknya
dalah uang, surat berharga, dan barang milik negara. Kerugian negara
menurut subyek terdiri dari kerugian negara oleh bendahara dan kerugian
negara oleh pegawai negeri selain bendahara/pegawai lainnya.
 Kerugian negara karena perbuatan bendahara diketahui dari informasi
dari pengawasan atasan langsung, pemeriksaan oleh yang berwenang,
dan perhitungan pejabat ex officio. Atas kerugian negara tersebut maka
akan ada tuntutan penggantian kerugian negara terhadap Bendahara
Pengeluaran.Dalam penyelesaian kerugian Negara karena tindakan
Bendahara Pengeluaran, terdapat beberapa pihak yang terlibat.
Pihakpihak tersebut pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
yaitu BPK dan selain BPK. Pihak-pihak selain BPK antara lain Bendahara
Pengeluaran, Tim Penyelesaian Kerugian negara (TPKN), instansi,
pimpinan instansi, dan satuan kerja
6. Pembukuan dan Pertanggungjawaban Bendahara Pengeluaran Badan Layanan
Umum
 Pembukuan bendahara pengeluaran BLU diatur dalam Peraturan Dirjen
Perbendaharaan Nomor 47 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis
Pembukuan, Penatausahaan, dan Pertanggungjawaban Bendahara pada
Badan Layanan Umum
 Secara prinsip pembukuan bendahara pengeluaran BLU sama dengan
pembukuan pada bendahara pengeluaran satker non BLU

Anda mungkin juga menyukai