Anda di halaman 1dari 13

Dela Tan


Juni 21, 2021Mei 31, 2022

2HA – Buku 2 ; Bab 180

Shizun, Mengapa?

Untuk Chu Wanning, ini adalah pertama kalinya telapak


tangannya menempel pada telapak tangan Mo Ran, dengan
jari-jari mereka saling mengunci.

Dia merasa ini sudah cukup, terlalu banyak, tapi untungnya


Mo Ran tidak membuat gerakan lagi, kalau tidak, dia mungkin
benar-benar bisa melompat dari ketinggian seratus kaki untuk
melarikan diri.

Sungguh beruntung.

Adapun untuk Mo Ran, ini bukan pertama kalinya telapak


tangannya menempel pada telapak tangan Chu Wanning,
dengan jari-jari mereka saling mengunci.

Dia merasa ini tidak cukup, terlalu sedikit, tapi untungnya dia
tidak bergerak lagi, kalau tidak, dia ingin mencium setelah
berpegangan tangan, kemudian ingin meminta lebih banyak.

Sungguh buruk.

Meskipun begitu, Mo Ran masih bisa merasakan bahwa Chu


Wanning tampaknya ingin melarikan diri.
Turun dari pedang malam itu, Chu Wanning langsung berbalik
dan berlari tanpa mengatakan apa-apa. Setelah berlari dua
langkah, dia merasa langkahnya terlalu bergegas, dan segera
melambat.

Setelah melambat dan berjalan dua langkah, dia mendengar


langkah Mo Ran mengikutinya, merasa gelisah dan cemas,
kemudian mulai berlari lagi.

“…”

Mo Ran menatapnya yang melesat kencang seperti meteor,


hatinya gatal dan perih, panas dan lembut.

Melihat Chu Wanning menuju ke arah pohon besar, Mo Ran


segera berseru, “Hati-hati–!”

Duk!

Chu Wanning masih membentur pohon.

Mo Ran bergegas dan bertanya, “Apakah itu sakit? Coba aku


lihat.”

Chu Wanning memegang dahinya sambil membisu, dan


setelah beberapa saat, berjalan maju.

Mo Ran ingin mengikuti, tapi mendengarnya berkata, “Jangan


ikuti aku.”

“Aku… juga harus kembali untuk beristirahat.”

“Kau berdiri di sini dan mendinginkan diri sebentar, setelah


itu baru masuk.”

Mendinginkan diri?

Mo Ran tersenyum, bagaimana cara mendinginkan diri?


Aku menggenggam tanganmu, Wanning, hatiku panas.

Tetapi dia patuh dan tidak terus mengikuti. Berdiri di bawah


sinar bulan yang dingin, dia mengawasi Chu Wanning
berjalan pergi sampai menghilang di balik dinding, baru
kemudian Mo Ran berjalan ke pohon yang tanpa sengaja
ditabrak Chu Wanning. Menempelkan dahinya diam-diam di
pohon itu.

Batang pohon itu kasar, dia memejamkan mata.

Chu Wanning…

Menyukainya.

Bunga-bunga beterbangan, air mengalir, Pulau Feihua seperti


musim semi.

Bulan purnama bersinar terang di langit, mengusir awan.

Gelombang pasang dan air laut gelap.

Tidak peduli seberapa indah dunia ini, tidak lebih indah dari
Chu Wanning menyukainya.

Kosa kata Mo Ran kurang dan dia bodoh, tetapi saat ini
hatinya meluap, pikirannya dipenuhi puisi. Cinta dapat
mengubah kayu sederhana dan kaku seperti Mo Ran menjadi
penyair, Chu Wanning menyukainya, Chu Wanning… Chu
Wanning menyukainya!

Dia menekan dahinya di dahan pohon, ingin menenangkan


diri, ingin menahan diri, ingin ‘mendinginkan diri’, ingin…

Tidak, dia tidak bisa.


Dia tidak tahan lagi, tidak bisa tenang, dan tidak bisa
mendinginkan diri, matanya yang tertutup sedikit bergetar,
kelembutan dan ekstasi terselip di antara celah-celah bulu
matanya, sudut mulutnya melengkung, lesung pipitnya lebih
dalam. Madu yang mengalir semakin banyak.

Chu Wanning menyukainya.

Menyukainya.

Ya… itu adalah lelaki yang dia cintai, lelaki terbaik di dunia,
lelaki yang dia inginkan berada di pelukannya selama sisa
hidupnya, itu Chu Wanning… Chu Wanning…

Kaisar abadi dunia manusia Taxian-Jun, Mo-zongshi di dunia


kultivasi, berdiri di tengah pasir putih yang terpencil dan tak
berpenghuni, di depan pohon bercabang dengan dedaunan,
dengan mata terpejam, bahunya bergetar, dan tertawa.

Karena Chu Wanning menyukainya, udara yang dia hirup


terasa manis, dan suara ombak terdengar merdu.

Chu Wanning menyukainya.

Dia tersenyum, tapi menangis.

Dia menyeringai seperti orang gila dan meneteskan air mata.


Itu manis, tapi hatinya sakit.

Chu Wanning…

Menyukainya.

Mulai dari Kota Kupu-Kupu, diam-diam dia menyimpan ikatan


rambut mereka.

Menyukainya…
Tiba-tiba dia bertanya-tanya, sejak kapan, Chu Wanning mulai
berdiri di belakangnya, menemaninya diam-diam, menunggu
diam-diam, menunggunya berbalik, menunggunya untuk
meraih, menunggunya untuk menoleh dan melihat.

Chu Wanning, telah berapa lama dia menunggu?

Kehidupan sekarang, kehidupan lalu.

Ditumpuk bersama, dua puluh tahun?

Lebih lama dari dua puluh tahun.

Dia adalah Mo Weiyu, yang melihat menembus debu,


mengetahui bahwa hal yang paling tak ternilai di dunia adalah
waktu.

Di bawah kekuasaan yang bisa membalik tangan di atas awan


untuk dijadikan hujan, segala macam harta karun dan kata-
kata semanis madu akan terus mengalir datang. Hanya waktu,
yang bisa membawa kematian lebih cepat, tidak bisa lagi
dikejar.

Satu orang, yang bersedia menukarmu dengan sepuluh ribu


emas, itu adalah nafsu.

Satu orang, yang bersedia menukarmu dengan masa depan


yang cerah, itu adalah cinta.

Dan satu orang yang bersedia menggunakan dua puluh tahun


hidupnya, tahun-tahun terbaik untuk mengubahmu, untuk
menunggumu.

Tidak mengucapkan apa-apa, tidak meminta balasan, dan


tidak ada hasil.

Itu bodoh.
Sangat, sangat bodoh.

Tenggorokan Mo Ran terasa pahit, kepahitan menyebar ke


pangkal lidahnya, dan melonjak menjadi ombak.

Chu Wanning, kau benar-benar… terlalu bodoh.

Bagaimana bisa? Bagaimana ini bisa terjadi?

Bagaimana aku, Mo Weiyu… bisa membuatmu seperti ini.

Kau adalah orang terbaik di dunia, dan aku?

Tangan berlumuran darah, kematiannya tidak disesali, puluhan


ribu orang mengutuknya agar tidak pernah dilahirkan kembali.

Aku menindasmu, membencimu, mengecewakanmu, aku


membunuhmu.

Kau tidak tahu apa yang telah aku lakukan…

Kau bahkan tidak tahu!!

Mo Ran memeluk pohon itu, dan tangisannya yang tercekat


terbawa angin ke laut yang menderu. Apa yang telah dia
lakukan…

Di depan mata Chu Wanning, dia mengejar orang lain.

Di depan mata Chu Wanning, dia menunggu orang lain untuk


menoleh ke belakang.

Dalam ilusi mimpi di Danau Jincheng, dia berkata kepada Chu


Wanning, ‘Shi Mei, aku menyukaimu’.

Dia memotong hati Chu Wanning dengan pisau!

Tapi Chu Wanning?


Diam seperti batu, aliran sungainya tidak bergerak, pisaunya
menusuk hatinya, dia bersikap seolah tidak ada yang terjadi,
merawatnya, memaafkannya, dan menemaninya.

Sampai mati.

…sampai mati.

Mo Ran tertawa, menangis dengan pedih. Dia adalah satu-


satunya orang di bawah sinar bulan, tidak ada orang yang
melihatnya, dan dia menjadi gila.

Chu Wanning, selama dua kehidupan, tidak membiarkan Mo


Ran tahu perasaannya sampai dia mati. Lelaki sombong itu
telah melakukan hal yang paling sederhana dalam hidupnya,
yaitu, menyukai seseorang.

Untuk orang yang disukainya itu, dia melakukan semua yang


dia bisa. Tetapi dia sudah menunggu lama, mengetahui bahwa
dia tidak akan pernah mendapat tempat di mata orang itu,
tahu bahwa orang itu tidak akan menyukainya, dia memilih
untuk tidak mengganggu, memilih untuk tidak diketahui, tidak
memberi orang itu sedikitpun kesulitan.

Dia memilih, meninggalkan harga dirinya yang terakhir.

Dalam kehidupan lalu, sampai mati, dia hanya mengatakan


satu hal, akulah yang menganiayamu dan tidak akan pernah
menyalahkanmu.

Dalam kehidupan ini, Mo Ran mengaku kepadanya, Chu


Wanning sangat baik, sangat sombong, tetapi berkata. “Aku
tidak baik. Aku tidak pernah disukai siapapun.”

Taxian-Jun… Mo Weiyu… Apa… yang telah kau lakukan…

Apa yang telah kau lakukan!!!


Apakah kau buta atau pingsan?

Mengapa kau tidak bisa melihat? Mengapa kau


mengecewakannya?

Chu Wanning sedang berbaring di tempat tidur, tirai telah


diturunkan. Dia memandang sinar lentera di luar jendela
melalui bayang-bayang kabut pegunungan.

Wajahnya sangat panas, jantungnya berdetak cepat, tetapi


otaknya beku, dan pikirannya mengalir  lambat.

Dibandingkan dengan orang di luar yang tidak bisa


merasakan kemanisan murni karena dosa-dosa jiwanya, Chu
Wanning tampak begitu sederhana dan bersih.

Dia mengulurkan lima jarinya tanpa sadar, merentangkan di


depan matanya, dan ketika pulih, dia menemukan bahwa dia
telah menutupi punggung tangannya dengan tangan yang lain,
telapak tangan dan punggung tangannya tumpang tindih,
sama seperti cara Mo Ran tadi menggenggamnya.

“…”

Menyadari apa yang sedang dilakukannya, Chu Wanning


tertegun, kemudian menjadi marah karena malu. Dia
membenci dirinya sendiri karena hatinya lemah, terobsesi
dengan kekuatan orang itu.

Tidak ada kesempatan!

Dia melepaskan tangannya dengan sengit dan menampar


tangan kanan dengan tangan kiri.

Tiba-tiba pintu didorong terbuka dengan suara berderit, dan


angin malam membuat tirai melambai.
Chu Wanning seketika berbalik dan menutup matanya
berpura-pura tidur. Dia mendengar lelaki itu masuk ke kamar
dan berjalan ke tempat tidur. Sosok tinggi menutupi cahaya
lilin yang redup. Bahkan di balik tirai, dia bisa merasakan
sinar lemah, bayangan Mo Ran di tempat tidur menindihnya,
membuatnya agak sesak napas.

“Shizun, apakah kau sudah tidur?”

Suara Mo Ran sangat lembut, dan entah mengapa, agak parau,


seolah terendam kepahitan air laut.

Chu Wanning tidak menjawab.

Mo Ran tetap berdiri di sana untuk sementara waktu,


kemudian dia tampaknya takut membangunkan Chu
Wanning, lalu tidur di tempatnya kemarin, dengan jujur
berbaring di lantai dan memadamkan lilin.

Rumah itu seketika jatuh ke dalam kegelapan, bahkan karena


tidak ada kupu-kupu dan begonia yang memenuhi ruangan,
menjadi lebih pekat dari tadi malam. Itu sangat mengganggu
dan meresahkan. Mereka takut apa yang akan terjadi, tetapi
juga menantikan apa yang akan terjadi. Apa yang bisa terjadi
di malam gelap gulita ini.

Tapi Mo Ran tidak melakukan apa-apa. Lelaki yang namanya


dikenal sering mengunjungi rumah pelacuran di masa lalu
tiba-tiba menjadi begitu alim, hati-hati, menyedihkan, dan
sopan.

Dia berbaring dengan pakaian lengkap.

Chu Wanning menghela napas lega, dan samar-samar agak


melankolis, tapi sebelum dia punya waktu untuk malu karena
perasaan melankolisnya, dia mendengar Mo Ran bangkit lagi,
kemudian bergerak dan menyingkapkan tirai tempat tidurnya.
Jantung Chu Wanning hampir melompat ke tenggorokan. Dia
tetap tidak bergerak, masih meringkuk tidur, masih berusaha
meredakan napas, berharap Mo Ran tidak memerhatikan ada
yang janggal.

Dia tidak tahu mengapa Mo Ran tiba-tiba bangun, apa yang


ingin dia lakukan.

Dia tidak pernah memiliki pasangan kultivasi, juga tidak


pernah melanggar metode kultivasi hati murni, satu-satunya
pengetahuannya tentang seks berasal dari mimpi konyol itu.

Dia seperti orang yang belum pernah berada di air


sebelumnya, lebih takut pada gelombang yang bergolak
daripada bersemangat. Dia lebih suka mencari kolam kecil
dengan air setinggi pinggang. Jika diminta menghadapi
gelombang seketika itu juga, dia takut akan mati tenggelam
dalam pusaran air.

Karena itu, dia sebenarnya takut kalau Mo Ran akan membuat


lebih banyak gerakan.

Namun, entah karena Mo Ran merasakan tubuhnya yang


gemetar halus, atau mendengar detak jantungnya yang
mengecewakan, dia hanya berdiri diam beberapa lama, lalu
membungkuk—

Dia membungkuk sedikit, dan Chu Wanning hampir bisa


merasakan napasnya yang panas dan kuat, dan dadanya yang
panas sepertinya hendak menekannya.

Tetapi Mo Ran hanya memandangnya dengan sangat rendah


beberapa saat, lalu menyibakkan segumpal rambut dari
pelipisnya dan menyelipkan ke belakang telinganya. Lalu dia
berdiri, dan menutupi tubuhnya dengan selimut hangat.
Chu Wanning menjadi yakin, merasa puas dan tidak puas. Tapi
dengan cara seperti ini, Mo Ran adalah manusia yang jujur…

Kata ‘manusia’ masih berputar-putar di benaknya, dan lelaki


jujur ​itu menundukkan kepalanya lagi. Chu Wanning hanya
punya waktu untuk merasakan sentuhan lembut dan hangat
di pipinya, dan kepalanya terhempas ke dalam ombak dan
meledak. Ribuan busa salju terciprat ke batu-batu besar di
pantai.

Napas Mo Ran melingkupinya, menghanguskannya, dan


menyiksanya.

Dia mencium pipinya!

Ada beberapa orang yang bisa menatap wajah orang yang


dicintainya tertidur, hanya memandang dengan tangan
terlipat, hanya menutupi dengan selimut, hanya mengucapkan
selamat malam.

Mo Weiyu menghabiskan seluruh kendali diri dan kesabaran,


dan rantai itu sangat tenggelam dalam daging keinginan,
mencekik segala yang lain, tetapi pada akhirnya dia mampu
hanya menempatkan ciuman lembut ini.

Darah bergejolak di dalam tubuh Yuheng Langit Malam yang


malang. Sepanjang hidupnya dia selalu tenang, ganas, heroik.
Tetapi di bawah napas Mo Ran yang panas, pipinya merona,
tangannya berkeringat.

Dia tidak bisa memikirkan apapun, tidak menyadari apa-apa,


napasnya tertahan, jantungnya berdetak sangat kencang
sehingga seolah bukan miliknya lagi. Dan tampaknya tidak
ada apa-apa lagi di dunia ini, seolah tidak ada apapun yang
tersisa, dan sepertinya tiba-tiba ada api yang menyulut
perutnya, dan cahaya menyilaukan melintas di depan
matanya. Di tengah kepalanya yang berkunang-kunang, dia
hampir tidak bisa menyadari satu hal.

Mo Ran menciumnya.

Meskipun hanya di pipi.

Adapun yang lain, seperti berapa lama Mo Ran menciumnya,


dia tidak punya waktu untuk memikirkannya. Jari-jarinya
terkepal di bawah tempat tidur, basah oleh keringat, kelopak
matanya bergetar, tubuhnya gemetar…

Untungnya, malam itu sangat gelap, dan getaran bulu matanya


yang tak tertahan tidak terlihat oleh Mo Ran.

Untungnya, wajah Chu Wanning terlalu panas, dan dia dalam


keadaan linglung, jadi tidak merasakan air mata hangat yang
jatuh dari pipi Mo Ran ketika menciumnya, dan menyelinap
turun ke lehernya.

Published by:

delatan

Menjalani hidup menurut jalannya. I live my life as it's meant


to be. Lihat semua pos milik delatan

 2HA bab 180, bab180, erha, Yu Wu Meninggalkan


komentar
Tema: Cyanotype oleh WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai