Anda di halaman 1dari 17

Topik 30

Aksi Nyata
Meningkatkan Kompetensi Literasi
di Satuan Pendidikan

- Aini Nur Lestari, S.S. -


SMP Negeri 1 Purwakarta
BAHAN AJAR TEKS CERPEN

A. Kompetensi Dasar
3.5 Mengidentifikasi unsur pembangun karya sastra dalam teks cerita pendek yang dibaca atau didengar.

B. Indikator
3.5.1 Mampu mendata unsur-unsur pembangun karya sastra dalam teks cerita pendek yang dibaca.
3.5.2 Mampu menjelaskan unsur-unsur pembangun karya sastra dalam teks cerita pendek yang dibaca.

C. Teks
Keadilan
Putu Wijaya

Ada suatu masa, ada saat banyak pedagang es pudeng dari Jawa berkeliaran di Bali. Mereka memakai
kostum yang menarik dengan topi-topi kerucut, gendongan es puter mereka desainnya cantik. Gelas-gelas kaca atau
plastik ala koktail bergelantungan dengan pudeng berwarna-warni. Kalau mereka lewat, anak-anak selalu
memburunya. Kadang-kadang tidak untuk membeli, tetapi untuk mengerumuninya. Pak Amat termasuk salah satu
di antara anak-anak itu. Tanpa merasa malu, ia ikut berebutan untuk membelies pudeng puter dan merasakan
suasana cerianya. Bu Amat sampai malu melihat kelakuan suaminya seperti itu.
Pada suatu hari yang terik, sementara anak-anak di alun-alun menaikkan layangannya, tukang es pudeng itu
lewat. Pak Sersan yang rumahnya di sudut alum-alun berteriak memanggil, anaknya merengek-rengek minta es
pudeng. Waktu tukang es pudeng itu menuju ke sana, hampir semua anak-anak yang sedang main layangan
menolehkan kepalanya. Yang punya duit langsung lari sambil menggulung tali layangannya, tak terkecuali Pak
Amat. Waktu itu, ia sedang memperhatikan seorang juragan ayam yang sedang memandikan ayam-ayam nya. Amat
meraba kantongnya, lalu merasakan ada uang di dalamnya, ia langsung ikut berlari ke rumah Pak Sersan.
“Jangan ribut!” teriak Pak Sersan membentak anak-anak yang berdatangan itu, “Ada orang sakit di dalam!”
“Sabar ...sabar....,” kata tukang es pudeng, “Satu per satu semuanya nanti dapat.”
“Aku dulu, aku dulu,” kata anak-anak sambil mengacungkan uangnya.
“Aku dulu,” teriak Pak Sersan marah, “pudengnya yang merah”.
Tukang pudeng agak panik, ia mengambil pudeng berwarna oren.
“Merah”, teriak Pak Sersan.
Tukang pudeng itu tambah gugup dan menyerahkan pudeng oren. Pak Sersan naik pitam, ia menolak
koktail berisi pudeng oren hingga jatuh. Anak-anak ketawa.
“Diam! Merah, kamu tahu enggak merah itu apa. Ini merah. Merah seperti matamu itu.” Anak-anak tertawa
lagi.
Tukang es meraih satu gelas koktail lagi, tetapi sekali lagi ia salah. Ternyata ia meraih pudeng yang warna
hijau. Pak Sersan berteriak sekali lagi, “Merah....” Lalu ia mengambil koktail warna merah. Tukang es tampak
ketakutan, ingin cepat-cepat menuangkan es ke atas koktail itu. Pak Sersam langsung menyambarnya dan masuk ke
dalam rumah.
Anak-anak kemudian menyerbu tukang es pudeng sambil mengacungkan uang minta diladeni terlebih
dahulu. Pak Amat pun tidak mau ketinggalan. Ia meraih salah satu koktail dan mendorongkannya ke tukang es
puter.
“Aku esnya dobel dong,” kata Pak Amat.
“Aku dulu, aku dulu,” teriak anak-anak menghalang-halangi Pak Amat. Tukang es puter kewalahan, ia
meraih belnya lalu membunyikannya keras-keras. Tapi, akibatnya jelek sekali. Pintu rumah terkuak lebar. Pak
Sersan muncul sambil mengacungkan pistolnya.
“Diam kalian. Aku sudah bilang ada orang sakit di dalam.”
“Bukan saya, Pak, anak ini...,” kata tukang es pudeng.
“Tapi kamu gara-garanya!” teriak Pak Sersan tidak mau dibantah.
“Bukan saya, Pak!”
Tiba-tiba, Pak Sersan meletuskan pistolnya. Semua mendadak terdiam. Anak-anak ketakutan, tukang es
pudeng pucat pasi. Pak Amat mencoba menetralisasi keadaan sebelum menjadi runyam. Lalu ia memberanikan diri
berbicara.
“Pak Sersan, maaf itu salah saya. Anak-anak itu protes karena saya minta didahulukan. Saya minta maaf,
saya yang salah....”
Pak Sersan menggeleng dan mendorongkan senjatanya ke tukang es itu.
“Tidak! Dia ini yang salah. Kalau dia tidak bawa es pudengnya keluar masuk kampung kita, anak-anak
tidak akan punya kebiasaan beli es sampai sakit-sakit seperti anakku, yang walaupun sudah sakit masih teriak-
teriak minta es kalau terdengar klenengannya lewat. Dan, dia tahu sekali itu. Minggat! Sebelum aku tembak kamu.
Akuy sudah banyak menyingkirkan Portugis di Timtim, nambah satu tidak apa! Minggat!”
Pak Sersan lalu menutup pintu dan menguncinya tanpa membayar es yang dibelinya. Tukang es itu pucat
pasi, mukanya tak berdarah. Pak Amat menunggu beberapa lama, kemudian berbisik, “Baiknya Bapak pergi
sebelum Pak Sersan keluar lagi.”
Tukang es itu terkejut seperti mendadak siuman. Ia memandangi Pak Amat lalu berkata, “Bapak yang beli
es kemarin yang deket lapangan?”
“Ya.”
“Mana gelasnya? Bapak belum kembalikan. Itu harganya 50 ribu satu gelas, itu gelas kristal.”
Pak Amat terkejut, bengong. Tukang es mendekat dan menadahkan tangannya.
“Ayo bayar.”
Pak Amat merasa itu tidak lucu lagi. Ia merasa telah menyelamatkan nyawa orang itu, tapi orang itu malah
menuntut. Pak Amat lalu melangkah, tapi orang itu tiba-tiba menyerang. Pak Amat masih sempat mengelak
meskipun tangannya tetrluka.
“Bayar!”
Pak Amat merasa sanggup menghajar orang itu meskipun usianya lebih tua. Semangat mati dalam
pertempuran melawan penjajah tiba-tiba bangkit lagi. Tapi, rasanya itu tidak sepadan dan tidak gaya untuk
berhadapan dengan tuntutan keadilan hanya gara-gara tukang es yang kacau itu. Tanpa merasa takut sedikit pun,
Pak Amat menaruh uang sepuluh ribu di atas salah satu gelas tukang es itu. Lalu, dengan perasaan hancur lebur, ia
berbalik dan pergi. Siap menghajar kalau tukang es itu mencoba menyerangnya, tetapi tidak.
Sambil menahan air mata, Pak Amat berjalan pulang. Belum sampai satu abad merdeka, citra anak bangsa
terhadap keadilan sudah sangat berbeda-beda.
“Apa yang sedang terjadi dengan bangsaku ini?” bisik Pak Amat.

D. Langkah Kerja
a. KD 3.5.1
Jawablah pertanyaan berikut sesuai isi cerpen di atas.
1. Menurutmu, apa yang menjadi daya pikat cerpen tersebut?
2. Menurutmu, siapakah tokoh yang diperlakukan tidak adil dalam cerpen tersebut? Jelaskan alasanmu.
3. Jelaskan sifat yang sangat tidak terpuji pada tokoh penjual es!
4. Jelaskan sikap positif dan negatif Pak Amat dalam cerpen tersebut!
5. Jelaskan makna keadilan di mata Penjual Es, Pak Sersan, anak-anak, dan Pak Amat!

Rubrik Penilaian
No Aspek Yang Dinilai Skor
1. a. Menjelaskan daya pikat cerpen dengan tepat 10
b. Menjelaskan daya pikat cerpen kurang tepat 8
c. Menjelaskan daya pikat cerpen tidak tepat 6

2. a. Menjelaskan tokoh dengan tepat 10


b. Menjelaskan tokoh kurang tepat 8
c. Menjelaskan tokoh tidak tepat 6

3. a. Menjelaskan sifat tidak terpuji dengan tepat 10


b. Menjelaskan sifat tidak terpuji kurang tepat 8
c. Menjelaskan sifat tidak terpuji tidak tepat 6

4. a. Menjelaskan sikap positif dan negatif dengan tepat 10


b. Menjelaskan sikap positif dan negatif kurang tepat 8
c. Menjelaskan sikap positif dan negatif tidak tepat 6

5. a. Menjelaskan makna keadilan dengan tepat 10


b. Menjelaskan makna keadilan kurang tepat 8
c. Menjelaskan makna keadilan tidak tepat 6

Nilai : Skor perolehan x 2


A. Kompetensi Dasar
4.5 Menyimpulkan unsur-unsur pembangun karya sastra dengan bukti yang mendukung dari cerita pendek yang
dibaca atau didengar
B. Indikator
4.5.1 Mampu membuat simpulan unsur-unsur pembangun karya sastra dari teks cerpen yang dibaca
4.5.2 Mampu menunjukkan bukti unsur-unsur pembangun karya sastra pada teks cerpen yang dibaca
C. Langkah Kerja
b. KD 4.5.1
1. Bergabunglah bersama teman kelompokmu, kemudian kerjakan tugas berikut!
a) Setelah membaca cerita pendek “Keadilan”, simpulkanlah unsur cerita pendek dengan mengnisi
kotak yang disediakan.

Unsur Simpulan dan bukti


Latar tempat
Kutipan cerpen

Unsur Simpulan dan bukti


Latar waktu
Kutipan cerpen

Unsur Simpulan dan bukti


Latar suasana
Kutipan cerpen

Unsur Simpulan dan bukti


Penokohan
Kutipan cerpen

Unsur Simpulan dan bukti


Sudut pandang
penceritaan
Kutipan cerpen
Unsur Simpulan dan bukti
Alur/plot/struktur
Kutipan cerpen

Rubrik Penilaian
No. Aspek yang Dinilai Skor
1. a. Menyimpulkan latar tempat dengan bukti yang tepat 10
b. Menyimpulkan latar tempat dengan bukti yang kurang 8
tepat
c. Menyimpulkan latar tempat dengan bukti yang tidak tepat 6
2. a. Menyimpulkan latar waktu dengan bukti yang tepat 10
b. Menyimpulkan latar waktu dengan bukti yang kurang 8
tepat
c. Menyimpulkan latar waktu dengan bukti yang tidak tepat 6
3. a. Menyimpulkan latar suasana dengan bukti yang tepat 10
b. Menyimpulkan latar suasana dengan bukti yang kurang 8
tepat
c. Menyimpulkan latar suasana dengan bukti yang tidak 6
tepat
4. a. Menyimpulkan penokohan dengan bukti yang tepat 10
b. Menyimpulkan penokohan dengan bukti yang kurang 8
tepat
c. Menyimpulkan penokohan dengan bukti yang tidak tepat 6
5. a. Menyimpulkan sudut pandang cerita dengan bukti yang 10
tepat 8
b. Menyimpulkan sudut pandang cerita dengan bukti yang
kurang tepat 6
c. Menyimpulkan sudut pandang cerita dengan bukti yang
tidak tepat
6. a. Menyimpulkan alur cerita dengan bukti yang tepat 10
b. Menyimpulkan alur cerita dengan bukti yang kurang 8
tepat
c. Menyimpulkan alur cerita dengan bukti yang tidak tepat 6

𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑃𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 = 𝑋 100
6
A. Kompetensi Dasar
3.6 Menelaah struktur dan aspek kebahasaan cerita pendek yang dibaca atau didengar

B. Indikator
3.6.1 Mampu menentukan struktur teks narasi (cerpen).
3.6.2 Mampu menentukan ciri kebahasaan teks narasi: kata/ kalimat deskriptif, kata ekspresif, majas.

C. Teks

Gunung Kidul

Nugroho Notosusanto

Angin tajam sekali. Kelam menyelubungi teratak doyong itu. Dingin mengempa. Di tengah kemauan,
suasana itu ada hidup di dalam teratak yang ada cahayanya. Teratak itu hanya mempunyai satu ruangan. Tidak ada
sekat-sekatnya. Mejanya presis di tengah dengan sebuah kursi panjang bambu. Di sudut tenggara, lantai dari pada
tanah: becek di sekitar tempat sebuah gentong berdiri. Pada sudut itu, disisipkan tiga buah piring seng dan sebuah
sendok yang kekuning-kuningan. Pada sudut barat daya, sebuah peti ukuran 1 x ½ x ½ m kubik yang terbuka:
sebuah peti beras yang dalamnya putih, tapi kosong. Hanya ada kutu-kutu yang berkelilaran tak tentu tujuan. Di
dekatnya, ada sebuah perapian yang tidak ada apinya. Ada dua potong cabang yang ditusukkan ke dalam lubangnya.
Di atasnya, ada kendil hitam yang kosong. Agak jauh sedikit, ada sebuah pengki yang bambunya sudah busuk.
Isinya rumah bekicot yang pecah-pecah, dagingnya sudah hilang.
Lampu yang terbuat dari botol pomade dengan bambu dan minyak yang menerangi segenap sudut teratak.
Juga sudut barat-laut. Di sana, ada sebuah bale-bale juga doyong yang dihampari tikar yang lubang-lubangnya
sebesar kepala manusia. Di atas bale-bale itulah, Mbok Kromo mengeloni Atun, anaknya yang berumur 5 tahun.
“Mbok, maem. Mbok, maem,” kata anak kecil itu berulang-ulang dan tidak mau tidur. Ibunya mulai
menceritakan lagi dongeng “Joko Kendil” yang terlepas dari sengsara dan menjadi orang yang tampan, mujur, kaya,
dan bahagia. Akan tetapi, setiap kali ia berhenti bercerita, anaknya merengek-rengek lagi minta makan. Mbok
Kromo membayangkan kendilnya di sudut rumah yang kosong.
“Mbok, Bapak mana?” tanya anak itu mengalihkan pertanyaan. “O, Bapak mencari Joko Kendil. Nanti, ia
akan pulang membawa kendil yang berisi nasi.”
Dan, anak itu tersenyum puas mendengar kata nasi digabungkan dengan Joko Kendil, pahlawannya. Dengan
gembira, ia menggerak-gerakkan kakinya. Sebentar-sebentar, ia menguap, tetapi perutnya tak mengizinkan matanya
terkatup. Dan, apabila ia teringat lagi akan hal itu, ia mulai lagi merengek-rengek, “Mbok, maem!”
Kemudian, ibunya menceritakan dongeng Timun Mas, nak gadis seperti Atun yang melarikan diri dari
kejaran “buto ijo” dengan membawa tiga benda sakti, yang jika dilemparkan, berubah menjadi rintangan yang
menghambat dan akhirnya membinasakan raksasa galak itu. Akhir cerita itu adalah Timun Mas kawin dengan
pangeran negerinya dan pestanya besar-besaran pakai perjamuan makan lezat dan minum yang segar seperti kelapa
muda.
Maka, Atun puaslah sejurus nalarnya mengenangkan makanan dan minuman yang enak-enak yang
dihidangkan pada pesta perkawinan Timun Mas. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, ia mulai lagi mengulangi
pertanyaan yang lama, “Mbok, Bapak mana, mbok?” Maka, jawab Mbok Kromo dengan sabar, “O, Bapak pergi ke
pesta Timun Mas. Nanti, ia pulang membawa berkatan nasi kuning denan daging-daging yang lezat. Dagingnya
gule kambing yang penuh lemak, bukan daging keong yang liat dan apak.” Atun sangat gembira mendengar janji
ibunya itu dan makin ribut ia menggerak-gerakkan kakinya. Akan tetapi, akhirnya, ia minta makan juga sambil
menguap-nguap mengantuk. Dengan sangat sabar, ibunya mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan
dongeng si kancil cerdik yang diterkam oleh harimau, tetapi dapat menyelamatkan dirinya karena mengaku sedang
menjaga kuih dodol Nabi Sulaiman, padahal yang ada di dekatnya itu tahi kerbau. Pada akhir cerita itu, Atun sudah
tak dapat mengatasi ngantuknya lagi dan tertidur sambil berpegangan pada ibunya dan mengular kedinginan.
Sebentar-sebentar kesunyian teratak itu diselingi bunyi perut yang menggiling dengan sia-sia.
Desa Padas termasuk daerah yang aman. Namun, sebagaimana adat di desa, senantiasa diadakan penjagaan
malam juga oleh penduduknya sendiri. Padsa jam 12 tengah malam, Simin dan Paidin berjaga di gardu di sudut desa
itu. Mereka sedang membicarakan selamatan yang terakhir diadakan empat bulan yang lalu di desa mereka. Empat
bulan sudah, mereka tidak diundang selamatan. Siapa pula yang masih kuat berselamatan pada musim paceklik ini?
Tiba-tiba, bulu mereka berdiri. Percakapan mereka tercekik oleh ketakutan. Burung kulik-kulik berbunyi
sebentar-sebentar dengan irama teratur.
“Kulik-kulik, kulik-kulik, kulik-kulik.”
Kesunyian sangat menekan ketika burung malam itu berhenti berbunyi. Simin menyentuh bahu Paidin,
“Mari, jalan-jalan sebentar,” ajaknya, “Kalau ada apa-apa, kita disalahkan nanti.”
“Bagaimana kalau betul ada maling?” tanya Paidin.
Simin berpikir sebentar, tangannya bergerak-gerak kosong seolah-olah mencari senjata.
“Kalau ada pencuri, kita berteriak, “Maling, maling ... sampai orang-orang semua keluar. “Kalau sudah, kita
kejar beramai-ramai”, katanya pada akhirnya.
Mereka pun berjalan dengan hati-hati sambil melemparkan pandangan jalang ke kanan dan ke kiri.
Demikian besar kepercayaan mereka kepada burung kulik-kulik sehingga mereka tidak heran ketika mendapati
seorang laki-laki sedang mencabuti ketela Pak Sardi. Dengan suara menggigil, mereka berteriak, “Maling! Maling!
Maling!” Dalam sekejap mata saja, desa yang tenteram dan damai itu penuh dengan laki-laki yang keluar membawa
senjata pukul dan senjata tajam. Pencuri itu berlari sekuat-kuatnya dikejar oleh Simin dan Paidin pada jarak yang
cukup. Akan tetapi, akhirnya, seluruh warga desa berlari di belakang sambil menghamburkan kutukan-kutukan dan
makian-makian yang di dalam keadaan biasa akan membuat Tuhan murka. Pemburuan itu tak lama karena tepat
pada pekarangan Pak Kromo, pencuri itu terhuyung-huyung lalu rebah ke tanah. Bagai air anak sungai yang terjun
ke induknya, laki-laki yang banyak itu membanjir ke tempat pencuri itu jatuh dan mulai menghantamkan senjata-
senjata tumpulnya kepada tubuh yang terengah-engah lemah itu. Semua orang mau ikut ambil bagian di dalam
pemukulan itu. Mereka yang membawa golok menyisipkannya pada ikat pinggangnya lalu meminjam kayu yang
dibawa oleh temannya dan sambil mencetuskan bunyi “Hih” menjatuhkannya dengan bunyi kelapa jatuh kepada
badan yang sudah tak bergerak sama sekali itu. Lama kelamaan, setelah hampir seluruh warga desa mendapat
giliran memukul, mereka insaf bahwa orang itu tak bergerak lagi.
“Coba, kita lihat apa dia masih hidup,” kata Simin dengan khawatir.
“Ya, mari!” kata banyak orang menyambutnya.
“Mari, kita minta lampu kepada Mbok Kromo!”Ada seorang yang mengusulkan. Lalu, beberapa orang
menuju ke pintu Mbok Kromo dan mengatakan “Kulo Nuwun!”
Pintu Mbok Kromo dibukakan sedikit. “Pencurinya sudah tertangkap?” tanyanya dengan cemas.
“Sudah, itu dia terbaring di tanah kami pukuli. Ia mencuri ketela Pak Sardi. Sampai ia jatuh, ketela itu tak
dilepas-lepaskannya. Pak Kromo apa tidak ada di rumah? Kami mau pinjam lampu untuk melilhat siapa maling itu.”
“Bapak pergi tadi sore sampai sekarang belum kembali. Akan tetapi, lampunya boleh dibawa.” Ketika itu,
Atun merengek-rengek minta digendong. Ia terbangun oleh keributan yang terjadi di dekatnya itu. Dengan
menggendong Atun, Mbok Kromo mengikuti orang-orang yang membawa lampunya menuju ke tempat orang-
orang itu berkerumun.
Orang-orang menyingkir untuk memberi jalan kepada pemuda yang membawa lampu. Di dalam cahaya
lampu itu, tampak badan pencuri itu bengkak-bengkak, robek-robek, serta berlumuran darah, keringat, dan tanah.
Orang-orang yang berdekatan menelentangkannya. Nyala lampu itu menyinari wajahnya yang menyeringai
menakutkan. Semua orang yang melihat mundur selangkah.
“Ya Allah! Pak Kromo ini!” Kesunyian yang berat menyusul seruan yang menggemparkan itu. Kemudian,
“Ia sudah mati.”
Simin dan Paidin menjauh tak tahan. Namun, mereka mendengar juga ratap Mbok Kromo yang sedang
menangis dan mencabuti rambutnya yang terurai dikelilingi laki-laki yang dengan tiba-tiba wajahnya penuh belas
kasihan. Semua kayu telah dilemparkan jauh-jauh dan semua pisau dan golok disisipkan di belakang. Mengatasi
suara ibunya, Atun menangis, “Bapak, Bapak!”
Keesokan harinya, seluruh warga desa mengantarkan jenazah Pak Kromo ke kuburan.

D. Langkah Kerja
a. KD 3.6.1
1. Bergabunglah bersama teman kelompokmu.
2. Kerjakan tugas berikut bersama teman kelompokmu.
Isilah struktur berikut sesuai dengan isi cerpen di atas!

Orientasi

Komplikasi

Evaluasi
Resolusi

Rubrik Penilaian
No Aspek yang Dinilai Skor
1 a. Simpulan orientasi tepat dan sesuai isi cerita 5
b. Simpulan orientasi kurang tepat dan kurang sesuai isi cerita 3
c. Simpulan orientasi tidak tepat dan ridak sesuai isi cerita 1

2 a. Simpulan komplikasi tepat dan sesuai isi cerita 5


b. Simpulan komplikasi kurang tepat dan kurang sesuai isi cerita 3
c. Simpulan komplikasi tidak tepat dan ridak sesuai isi cerita 1

3 a. Simpulan evaluasi tepat dan sesuai isi cerita 5


b. Simpulan evaluasi kurang tepat dan kurang sesuai isi cerita 3
c. Simpulan evaluasi tidak tepat dan ridak sesuai isi cerita 1

4 a. Simpulan resolusi tepat dan sesuai isi cerita 5


b. Simpulan resolusi kurang tepat dan kurang sesuai isi cerita 3
c. Simpulan resolusi tidak tepat dan ridak sesuai isi cerita 1

Nilai = Skor perolehan x 5

b. KD 3.6.2
1. Bergabunglah bersama teman kelompokmu.
2. Isilah tabel berikut sesuai dengan isi cerpen di atas!

Bukti/Data
No Unsur Kebahasaan
1. Penggunaan kalimat deskriptif

2. Penggunaan kata/kalimat ekspresif

3. Penggunaan majas

Rubrik Penilaian
No Aspek yang Dinilai Skor
1 a. Penentuan kalimat deskriptif sangat tepat disertai dengan bukti yang tepat 10
b. Penentuan kalimat deskriptif dengan buktinya kurang tepat 5
c. Penentuan kalimat deskriptif dan bukti tidak tepat 2

2 a. Penentuan kata/kalimat ekspresif sangat tepat disertai dengan bukti yang tepat 10
b. Penentuan kata/kalimat ekspresif dengan buktinya kurang tepat 5
c. Penentuan kata/kalimat ekspresif dan bukti tidak tepat 2

3 a. Penentuan majas sangat tepat disertai dengan bukti yang tepat 10


b. Penentuan majas dengan buktinya kurang tepat 5
c. Penentuan majas dan bukti tidak tepat 2
𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑃𝑒𝑟𝑜𝑙𝑒ℎ𝑎𝑛
Nilai = 𝑋 100
3

A. Kompetensi Dasar
4.6 Mengungkapkan pengalaman dan gagasan dalam bentuk cerita pendek dengan memperhatikan struktur dan
kebahasaan

B. Indikator
4.6.1 Mampu menyusun kerangka cerita pendek berdasarkan pengalaman atau gagasan
4.6.2 Menyusun teks cerita pendek berdasarkan kerangka dengan memperhatikan struktur teks dan
kebahasaan

C. Teks
1. Modifikasi Cerpen
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan
temanku sudah menunggu di luar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket. “Ayo kita bermain
basket ke lapangan,” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!”
jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.
Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin
ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya. Setelah sampai di lapangan ternyata sudah
ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai,” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak
pulang!” “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini,” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti
aku nyusul,” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari ke arah orang-orang yang sedang
bermain basket.
“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang
gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat.
“Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah
bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu.
Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?”
tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol
tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan.

2. Melanjutkan Cerpen

Berkat Sederhana

Aku bertemu dengan seorang teman lama. Kusebut teman lama, karena aku mengenalnya sudah lama, lebih dari lima
tahun yang lalu. Selama dua tahun aku dan dia kebetulan bergabung di sebuah instansi yang sama. Dalam kurun waktu
itu, yang kami lakukan tak lebih dari sesekali berbasa-basi, saling melempar senyum dan lebih sering larut dalam
kesibukan masing-masing. Aku dan dia hanya kenalan biasa, sama sekali tidak dekat.

Selama tiga tahun kemudian kami berpisah dan tak lagi saling mengingat. Sampai dua purnama lalu, alam
mempertemukan kami kembali dalam suatu kondisi yang sangat biasa. Di tempat yang sama sekali tidak berkesan, di
tengah carut marutnya kesibukan kota. Tak berbeda dengan sikap beberapa tahun yang lalu, kali ini pun kami hanya
saling berbasa-basi sejenak.

Karena bertemu di tempat keramaian, kami pun sepakat untuk duduk, sekedar bertanya kehidupan masing-masing
dalam rentang waktu tiga tahun tak bersua. Dia terlihat semakin cantik dari yang kuingat dahulu, lebih tampak dewasa
dan berkelas. Setelah hampir 15 menit saling bertukar cerita, aku menemukan sesuatu yang berbeda dalam dirinya.

Wajah cantiknya yang bersih tampak redup, bola matanya yang berwarna cokelat pekat terlihat tak bercahaya dan
bahunya agak membungkuk. Apabila diperhatikan dengan seksama, dia tampak seperti seorang wanita yang berbeban
berat. Seolah seluruh tubuhnya kehilangan tenaga karena harus memundak luka tak terperi.

Hatiku dihantam gelombang dan sekujur tubuhku bergetar. Entah kenapa, aku merasa bahwa dia sedang dirundung
duka dan rasa sakit. Ingin rasanya aku memeluk dan memberinya kekuatan. Berusaha mengurangi sedikit saja
kesedihannya. Apa daya, aku dan dia bukan sepasang teman dekat. Aku tak mungkin tiba-tiba menodongnya dengan
berkata : “Kupinjamkan bahuku. Silahkan ceritakan seluruh dukamu.” Bisa-bisa dia akan menganggapku pahlawan
kesiangan, maupun seseorang yang sok tahu.

Beberapa menit kemudian kami berpisah. Hingga punggungnya menghilang dari pandangan, aku masih bisa merasakan
lukanya ikut menancap di dasar hatiku. Ah TUHAN, aku ingin sekali membantunya, tapi apa yang harus kulakukan?

Selama beberapa pekan, aku selalu meluangkan waktu sejenak untuk mendoakannya. Berharap beban berat yang ada di
pundaknya segera diambil dan dibuang TUHAN ke lautan biru. Tak ada penantian yang sia-sia. Di suatu pagi, ponselku
menghantarkan sebuah pesan singkat. Dari dia! Masih sekedar berbasa-basi, tapi aku yakin inilah awalnya. Sehalus
mungkin kusiratkan kepedulianku melalui rangkaian kalimat yang kukirimkan.

Komunikasi kami semakin membaik, walaupun belum mendalam. Kuakui, aku sangat bingung bagaimana
menghadapinya. Kian hari kian tercium aroma luka dari dalam hatinya, tapi kutak kuasa membebatnya saat ini. Aku
khawatir dia akan menghindar karena menganggap aku mengasihaninya. Aku tak bisa memilih cara pendekatan yang
tepat, sebab aku belum mengenal kepribadiannya secara mendalam.

Hingga suatu hari dia meminta alamat emailku dan pekan lalu kutemukan sebuah pesan darinya. Cerita yang lumayan
panjang, berisi kisah kehidupannya. Ternyata feelingku terhadapnya tak salah. Dalam isi pesannya, dia menceritakan
bahwa selama 3 tahun ini menikah, dia merasa sangat menderita. Suaminya tak pernah memedulikannya, baik dari segi
lahir dan bathin. Hingga kemudian dia memutuskan untuk berpisah dengan suaminya. Dia memilih untuk tinggal
sendirian di sudut kota, tidak berani pulang ke rumah orangtuanya, karena dahulu sebelum menikah, dia menentang
orangtuanya demi menikah dengan pilihan hatinya tersebut.

Di akhir kisah, dia membubuhkan kalimat :

D. Langkah Kerja
a. KD 4.6.1
1) Ubahlah teknik penceritaan cerpen no 1 menjadi sudut pandang orang ketiga. Saat mengubah sudut
pandang orang ketiga boleh mengubah kalimat, namun tidak mengubah maknanya.
2) Lanjutkan cerpen “Berkat Sederhana” secara bebas.

b. KD 4.6.2
1) Buatlah kerangka untuk menyusun teks cerita pendek
2) Kembangkan kerangka teks cerpen yang dibuat menjadi sebuah cerpen!
3) Suntinglah cerpen yang sudah dibuat temanmu!

Rubrik Penilaian
UMENTASI KEGIAT
DOK AN
Umpan Balik
Umpan Balik
Umpan Balik
Umpan Balik
Umpan Balik
THANK YOU !

Anda mungkin juga menyukai