Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

“ PRIMARY SURVEY ”

Oleh :

Adinta Agustia N. M. (16.71.0198)

Nining Rahma Primahayu (16.71.0206)

Pembimbing :

dr. R.Christanto.,Sp.An.

dr. Bambang.,Sp.An

SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

RSUD NGANJUK
2017

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya. Pada akhirnya kami mampu menyelesaikan

referta dengan judul “PRIMARY SURVEY”. Referat ini disusun sebagai salah satu

persyaratan dalam menempuh stase ilmu bedah di RSUD Nganjuk. Dalam penulisan

referat ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat

membangun dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala

kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. R.Christanto ,Sp.An.

2. dr. Bambang Priyanto,Sp.An

Nganjuk .........................
BAB 1

PENDAHULUAN

1. A. Latar Belakang
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/perawatan
selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi kehidupan.
Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan untuk
memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita
dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan tenaga
medis yang mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan penanganan gawat
darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial
mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa
atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. (Maryuani, 2009).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian
primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang
mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan
pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan
nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola
pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai
kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental
control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).
Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam
nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi
dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari
10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan
oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena
masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang
lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat
darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8
menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan
kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan
secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).
World  Health  Organization  (WHO)  menyatakan  bahwa  dari  tahun  2005-2010
diperkirakan  terdapat  850  kematian  per  100.000  penduduk  yang  terjadi  setiap tahunnya.
(WHO, 2010). Di Inggris dan Wales pada tahun 2005 lebih kurang 73% dari total  kematian 
terjadi  di  fasilitas  pelayanan  kesehatan  rumah  sakit  (RS) . (Thygerson, 2011)
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kelompok kami tertarik untuk membahas
mengenai pengkajian gawat darurat pada dewasa.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. A . Primary Survey
Primary survey adalah tindakan yang menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary
survey antara lain (Fulde, 2009) :
1. Airway maintenance dengan cervical spine protection
2. Breathing dan oxygenation
3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
4. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
5. Exposure dengan kontrol lingkungan.
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap
langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan
jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat
melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan
peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari
mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons,
1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal
manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah,
kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang
melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
2.A. 1 Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas.
Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
(Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan
ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai
terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan
oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
a. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan
bebas?
b. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
1. Adanya snoring atau gurgling
2. Stridor atau suara napas tidak normal
3. Agitasi (hipoksia)
4. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
5. Sianosis

Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika
pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Smith, Davidson, Sue, 2007). Usaha
untuk membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat
dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara,
dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway
harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale
sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya
gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.
Teknik-teknik mempertahankan airway :
a. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali
pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan
posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing.
Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan
sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil
mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan
memberikan inflasi bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
b. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati
diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan
ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat.
Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Berguna pada korban
trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang leher
atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

Gambar 1 : Head Tilt – chin lift. (Alkatri, 2007).


c. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula, jari
kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah dan
telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan kiri
berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati molar
pada maxila (Wilkinson, 2000).

Gambar 2 : Jaw Trast. (Wilkinson, 2000).


d.Oropharingeal Airway (OPA)

Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada pasien
yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Krisanty, 2009).

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa
orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran
pipa oro- faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring
dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke
dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180
drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan
menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang
keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring.
Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro- faring dengan
cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien
(Wilkinson, 2000)

Gambar 3 : Oropharingeal Airway. (Wilkinson, 2000).

d.Nasopharingeal Airway

Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih
disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah. (ATLS, 2004)

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-
faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan jelly (gunakan
kasa yang sudah diberi jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang
pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut
(ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal
pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) (Wilkinson, 2000).
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan cara
(Krisanty, 2009) :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.

Gambar 4 : Nasopharingeal Airway. (Wilkinson, 2000).

2.A.1 (a). Trauma Pada servikal

Kejadian kerusakan syaraf akibat trauma ganda ternyata lebih sering daripada yang
diperkirakan. Kerusakaan yang sering terjadi adalah pada syaraf jari, plexus brachialis dan
sumsum tulang belakang (medula spinalis).
Prioritas pengelolaan Primary Survey serta urutan ABCDE :
1. A-Airway, membebaskan jalan nafas dengan melindungi tulang leher (cervical spine)
2. B-Breathing, bantuan pernafasan
3. C-Circulation, bantuan untuk sirkulasi dan pemantauan tekanan darah
4. D-Disability, pemantauan kesadaran dan kerusakan syaraf pusat
5. E-Exposure, melepas baju pasien untuk memeriksa secara lengkap semua kerusakan pada
tubuh dan ekstremitas.
Pemeriksaan korban trauma tulang belakang harus dilakukan dalam posisi netral (tanpa
melakukan fleksi, ekstensi dan rotasi pada tulang belakang).
a. Pasien hanya boleh dibalik atau dimiringkan dengan cara “log-rolling” Harus dilakukan
imobilisasi sebaik-baiknya dengan cara in-line immobilization, memasang stiff cervical collar
dan bantal pasir di kiri kanan kepala.
b. Transportasi korban dilakukan dalam posisi netral.
Bila terdapat trauma tulang belakang (yang mungkin disertai) kerusakan
sumsum tulang belakang, periksalah :
1. Apakah ada nyeri tekan.
2. Deformitas dan tanda “step-off” posterior
3. Pembengkakan.
Tanda klinis yang menyertai kerusakan akibat trauma tulang leher adalah :
1. Kesukaran bernafas (pola nafas diafragma, pola nafas paradoksal)
2. Kelumpuhan otot dan hilangnya refleks (periksa sfinkter ani)
3.Hipotensi dengan bradikardia.
2. B. Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension
pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson &
Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
- Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut :
cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu
pernafasan.
- Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
- Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan
kualitas pernafasan pasien.
d. Penilaian kembali status mental pasien.
e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan.
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-
face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh
dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin
kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask (Lombardo,
2005):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh,
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran),
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut),
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis
dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka,
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien,
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan,
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama),
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa), dan
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir
sekaligus pompa nafas bantu (squeeze-bag)
Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai
kebutuhan.

2.B.1. Penanganan breathing pada trauma thorak


Trauma toraks dibagi dalam dua katagori :
1. Truma terbuka : disebabkan oleh benda yang menembus dinding dada, seperti pisau atau
peluru, dan juga dapat disebabkan oleh patah tulang iga, dimana ujung tulang iga merobek
dinding dan kulit dada,

2. Trauma tertutup : dimana kulit dada tidak mengalami kerusakan, biasanya disebabkan
oleh trauma tumpul, seperti kena stir, atau kena benda tumpul.
2.B.1.(a). Tanda yang penting dari trauma toraks terbuka dan tertutup :

- Sakit pada daerah yang luka,


- Perubahan pola dan frekuensi nafas (Dyspnea : Kesukaran bernafas dan nafas pendek,
cepaat dan lambat ),
- Kegagalan satu sisi atau ke dua sisi dari dada untuk berkembang pada saat inspirasi,
- Hemoptisis
- Nadi cepat dan lemah dan Tekanan darah rendah

2.B.1.(b). Beberapa tahapan untuk penanganan pasien dengan trauma dada :


1. Pastikan jalan nafas bebas dan pelihara dengan melakukan manuver chin-lift atau jaw-
thrust dengan melindungi servical spine
2. Berikan oksigen dan lakukan tindakan support pernafasan dengan alat mekanik bila perlu
3. Kontrol seluruh daerah yang mengalami perdarahan luar
4. Tutup luka tembus dengan
5. Observasi, catat dan monitoring Vital Sign
6. Hati-hati monitor vital sign dan efek dari tindakan dan siapkan untuk dikirim
7. Kirim pasien ke Rumah Sakit

2.B.1.(c). Penilaian kualitas pernafasan dengan cara :

- Inspeksi : Ada luka, Perhatikan keseragaman gerak kedua sisi dada saat akhir inspirasi
atau ekspirasi ,
- Palpasi : Ada kripitasi, Nyeri tekan,
- Perkusi : Bunyi sonor, hipersonor, pekak, timpani , dan
- Auscultasi : bising nafas, bising abnormal
2.B.1.(d). Tanda gangguan pernafasan :

a. Pernafasan : < 12 atau > 20 kali/menit : berikan oksigen

b. Pernafasan : < 10 atau > 30 kali /menit : Bantu pernafasan bila perlu
2.B.2. JENIS TRAUMA THORAK YANG HARUS DIKETAHUI PADA SAAT
PRIMARY SURVEY menurut Mancini, 2011 :
2.B.2 (a). Tension Pneumothoraks

Tension Pneumothoraks merupakan suatu pneumothotax yang progresif dan cepat


sehingga membayakan jiwa pasien dalam waktu yang singkat. Udara yang keluar dari paru
atau melalui dinding dada masuk ke rongga pleura dan tidak dapat ke luar lagi (one-way-
valve), maka tekanan di intrapleura akan meninggi , paru-paru menjadi kolap ada beberapa
penyebab tension pneumothoraks, diantaranya:

a. Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik

b. Komplikasi dari penumotorak sederhana

c. Fraktur tulang berlakang toraks

Adapun beberapa tanda tension pneumothoraks yang harus anda ketahui adalah nyeri
dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hypotensi, defiassi trachea, hilangnya suara napas
di salah satu sisi, distensi vena leher, sianosis. Dengan adanya tanda seperti yang disebutkan
dapat dilakukan tindakan berikan oksiger 15 liter, lakukan dekimpresi dengan insersi jarum
( Needle Thoracocentesis).
Needle thoracocebtesis adalah tindakan merubah tension pneumothorax menjadi simple
pneumothorax dengan cara mengeluarkan udara dalam cavum pleura agar paru-paru dapat
mengembang kembali. Meskipun sederhana tetapi tindakan ini dapat menyelamatkan nyawa
pasien. Berikut adalah cara melakukan needle thoracocentesis:

1. tentukan lokasi di ICS 2 linea mid clavikula

2. melakukan desinfeksi dan memperkecil lapangan operasi dengan doek lobang

3. Gunakan jarum nomer besar (14) untuk menusuk tepi atas iga ketiga

4. Cabut jarum dari abbocath. Boleh difiksasi boleh tidak

5. siapkan rujukan
Gambar 5 : Needle thoracocentesis.( Mancini,2011).
2.B.2.(b). Flail Chest

Flail Chest adalah trauma hancur pada sternum atau truama multiple pada dua atau lebih
tulang iga dengan dua tau lebih garis fraktur, sehingga menyebabkan gangguan pergerakan
pada dinding dada, dimana segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan
keseluruhan dinding dada, mengakibatkan pertukaran gas respiratorik yang efektif sangat
terbatas mengakibatkan terjadi hipoksia yang serius.

Adapun tanda terjadinya Flail Chest adalah dengan melakukan palpasi akan membantu
menemukan diagnosa dengan ditemukannya kripitasi iga atau fraktur tulang rawan, di dukung
dengan pemeriksaan foto toraks akan lebih jelas adanya fractur yang multiple, pemeriksaan
analisa gas darah, dapt ditemukan adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, dan pada
perkusi adanya suara yang tertinggal.

Tindakan yang dilakukan jika terjadi Flail Chest dengan pemberian ventilasi yang
adekuat dengan oksigen 15 liter/menit yang dilembabkan Lakukan intubasi Bila diperlukan
untuk mencegah terjadinya hipoksia dengan memperhatikan frekuensi pernafasan dan
PaO2Resusitasi cairan, hati-hati kelebihan cairan Pemberian analgetik

2.B.2.(c). Hematothoraks

Hematothoraks adalah pengumpulan darah dalam ruang antara pleura viseral dan perietal
yang cepat dan banyak yang ditandai oleh respirasi distres, penurunan pernapasan dan
gerakan napas, adanya suara tertinggal pada perkusi, adanya tanda syok hipovolemik.
Dengan adanya tanda hematothoraks makan tindakan yang dilakukan adalah :

1. Berikan oksigen 15 liter/menit,

2. Pasang IV line dengan dua line dengan canule besar dan berikan caiarn untuk suport
sirkulasi,

3. Pasang chest drain untuk untuk menurunkan respirasi distres yang berkelalanjutan,

4. Segera kirim ke RS. Untuk tindakan lebih lanjut

2. C Circulation

Circulation digunakan untuk melihat apakah seseorang mengalami shock atau tidak. Shock
didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia
adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan
klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan
capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda
hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi
perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan
pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension
pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua
perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara
memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000).
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
1.Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
2.CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
3.Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara
langsung,
4. Palpasi nadi radial jika diperlukan: menentukan ada atau tidaknya nadi, menilai kualitas
secara umum (kuat/lemah), identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat), dan Regularity
5.Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
6. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

2.D Disability
Disability merupakan penilaian primary survey menjelang akhir dilakukan evaluasi
terhadap keadaan neurologis secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil. Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004).
Cara cepat dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU,
sedangkan GCS (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam
mengevaluasi status neurologis. Glasgow Coma Scale (GCS) dahulu dikembangkan untuk
menilai dan menentukan prognosis pasien dengan cedera kepala. GCS kini telah banyak
dipakai untuk mencatat derajat kesadaran pada kondisi non-traumatik. Skor GCS < 15
menunjukan adanya perubahan kesadaran. Istilah koma menunjukan pasien tidak
mempunyai respon pupil dan skor GCS ≤ 8. Karena pasien tidak mungkin mampu
memberikan keterangan jelas dalam anamnesis, maka anamnesis dengan saksi, keluarga,
pekerja ambulan menjadi penting. Khususnya, tanyakan hal tentang:

1. Bagaimana kondisi pasien saat ditemukan, misalnya paparan dalam suhu ekstrim atau
racun.

2. Onset, sifat dan kejadian yang menyertai. Misalnya munculnya mendadak, kejang yang
berulang fluktuatif, atau flu-like illnes yang baru saja dialami

3. Trauma, misalnya kecelakaan lalu lintas, jatuh tindak kejahatan.

4. Riwayat penggunaan obat (yang diresepkan dan terjual bebas), penggunaan alkohol dan
obat terlarang. (ATLS, 2004)

Gambar 6 : panilaian GCS. (ATLS, 2004)


Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS :

Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan atau membuka mata dengan sendirinya tanpa dirangsang.

(3) : dengan rangsang suara (dilakukan dengan menyuruh pasien untuk membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (memberikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari).

(1) : tidak ada respon meskipun sudah dirangsang.

Verbal (respon verbal atau ucapan) :

(5) : orientasi baik, bicaranya jelas.

(4) : bingung, berbicara mengacau (berulang-ulang), disorientasi tempat dan waktu.

(3) : mengucapkan kata-kata yang tidak jelas.

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon Motorik

(Gerakan) :

(6) : mengikuti perintah pemeriksa

(5) : melokalisir nyeri, menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri.

(4) : withdraws, menghindar atau menarik tubuh untuk menjauhi stimulus saat diberi
rangsang nyeri.

(3) : flexi abnormal, salah satu tangan atau keduanya menekuk saat diberi rangsang nyeri.

(2) : extensi abnormal, salah satu tangan atau keduanya bergerak lurus (ekstensi) di sisi tubuh
saat diberi rangsang nyeri.

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E-V-
M dan selanjutnya nilai GCS tersebut dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi atau GCS
normal adalah 15 yaitu E4V5M6 , sedangkan yang terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.
Berikut beberapa penilaian GCS dan interpretasinya terhadap tingkat kesadaran :

- Nilai GCS (15-14) : Composmentis

- Nilai GCS (13-12) : Apatis

- Nilai GCS (11-10) : Delirium

- Nilai GCS (9-7) : Somnolen

- Nilai GCS (6-5) : Sopor

- Nilai GCS (4) : semi-coma

- Nilai GCS (3) : Coma

Berdasarkan buku Advanced Trauma Life Support, GCS berguna untuk menentukan
derajat trauma/cedera kepala (trauma capitis). Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:
GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13   = CKS  (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8     = CKB (cedera kepala berat)

Pada primary survey, disability dapat dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
1. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan,
2. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
3. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
4. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus
verbal.
2.D.1. Alurdiagnosadenganpenurunankesadaran.

Apakah Pasien Mengalami Gagal Napas, Syok atau Kadar Gula Darah < 54 mg/dL? 
Pastikan jalan napas terbuka dan terlindung tulang servikal bila Anda mencurigai adanya
trauma. Seiring dengan menurunnya skor GCS, penanganan jalan napas yang definitif
(misalnya intubasi trakea, bisa saja diperlukan, maka carilah bantuan dari ahli enestesi sedini
mungkin) Cari dan obati segera penyebab reversibel yang menyebabkan GCS↓ sambil
melakukan penilaian ABCDE:
- Nilai oksigenasi dan ventilasi dengan analisis AGD. Tangani hipoksia dan hiperkapnia
segera,
- Beri nalokson terapeutik/diagnosis bila PaCO2 ↑ atau terdapat tanda depresi napas,
- Cari tanda – tanda syok. Bila ada, nilai dan obati dengan tatalaksana sebagai syok,
- Periksa hasil pembacaan gula darah. Bila kadar gula < 54 mg/dL, kirim sampel darah untuk
pemeriksaan kadar gula resmi di laboratorium. Obati pasien segera dengan menyuntikan
dekstrosa atau glukagon IV/IM tanpa menunggu hasil.

1. Curigai infeksi sistem saraf pusat

Curigailah infeksi SSP pada setiap pasien dengan GCS ↓ dan disertai meningismus, rona
kemerahan maskulopapular atau purpura, atau demam. Bila ada kemungkinan malaria,
misalnya riwayat berpergian ke daerah endemis baru – baru ini, lakukan pemeriksaan apusan
darah tebal dan tipis dan segera cari saran tenggorok, berikan antibiotik / antivirus IV dan
persiapkan CT scan otak segera. Bila tidak ada kontraindikasi klinis ataupun radiologis,
lakukan LP dan analisis cairan serebrospinalis

2. Suhu Basal < 34 C? 

Ukuran suhu tubuh menggunakan termometer rektal yang dapat membaca suhu rendah
(low-reading rectal thermometer) pada setiap pasien yang pada pengukuran suhu dengan
termometer timpani menunjukan < 35 C atau kecurigaan klinis adanya hiportemia, misalnya
imobilisasi lama atau paparan dengan kondisi yang basah dan dingin. Namun bila tidak
memungkinkan, pengukuran suhu aksial masih dapat ditoleransi. 
Curigai peranan hipotermia terhadap perubahan kesadaran bila suhu inti tubuh < 34 C.
Hangatkan tubuh pasien kembali dan ukur suhu tubuh kembali sambil mencari penyebab
tambahan lainya. Periksa uji fungsi tiroid dan pertimbangkan pengobatan dengan tri-
iodotironin IV (yang didahuli dengan pemberian kortikosteroid IV) bila ada kecurigaan
terjadinya koma miksedema.
3. Apakah ada kecurigaan keracunan opioid? Injeksi Nalokson .

Berikan nalokson terapeutik/diagnostik bila pasien telah mendapatkan pengobatan opioid


apapun untuk pasien yang diketahui atau dicurigai sebagai penggunaan obat "terlarang"
(Intravenous Drug Users), mempunyai ukuran pupil kecil atau tidak ada penyebab lain yang
jelas untuk perubahan kesadaran yang dialaminya. Setiap perbaikan derajat kesadaran yang
cepat, meningkatnya frekuensi/kedalaman napas atau terjadinya dilatasi pupil setelah
pemberian nalokson menunjukan opioid berperan dalam kondisi klinis pasien tersebut,
setidaknya sebagian. Waktu paruh nalokson lebih pendek daripada sebagian besar opioid,
sehingga dosis lanjutan atau pemberian infus agaknya diperlukan.

4. Menyaksikan aktivitas kejang? 

Anamnesis yang jelas dan rinci dari seseorang saksi mata sangat penting. Meskipun GCS↓
umum dijumpai setelah kejang, ingat bahwa kejang dapat dicetuskan oleh spektrum yang luas
dari sejumlah kondisi meliputi hipoglikemia, cedera kepala ± hematoma intrakranial, gejala
putus alkohol (alcohol wihdrawal), overdosis obat, misalnya antidepresan trisiklik, infeksi,
dll. Pada status epileptikus, hipoksia/hiperkapnia yang turut terkait akan memperburuk cedera
otak dan tingkat kematian adalah 10%.

5. GCS ≤8, cedera kepala, sakit kepala atau ada tanda kelainan intrakarnial? 

Segera setelah anda melakukan identifikasi dan mengobati gangguan fisiologis mayor,
infeksi yang mengancam jiwa dan penyebab ↓GCS yang dengan cepat bisa reversibel, maka
identifikasi penyebab intrakranial pada pasien dengan perubahan kesadaran menjadi sangat
penting. Secara umum, CT scan otak perlu dilakukan pada pasien dengan salah satu dari hal
berikut ini: GCS ≤8, riwayat adanya sakit kepala atau gejala neurologis fokal (tanda
lateralisasi neurologik, misalnya abnormalitas pupil unilateral, tidak adanya gerakan tangkai
atau respon plantar ekstensor atau tanda TIK↑), dan telah diketahui atau dicurgiai menderita
cedera kepala.
6. Gangguan metabolik berat? 

Penurunan GCS umum dijumpai pada kondisi hiponatremia dan hipernatremia, dan
cenderung menggambarkan laju perubahan kadar natrium absolut. Bila gangguan kadar
natrium tersebut terjadi akut, koreksilah segera dan nilai kembali! Atau, koreksilah dengan
hati-hati, dengan laju koreksi yang lambat disertai pengukuran ulang untuk menghindari
pergeseran cairan neuron berlebihan (neuronal fluid shifts) yang pada akhirnya dapat
menyebabkan edema otak atau mielinosis pons pusat (central pontine myelynosis). Dapat
ditemukan keterlambatan antara koreksi gangguan metabolik dan kembalinya derajat
kesadaran normal.  Penurunan GCS dapat merupakan sesuatu gambaran klinis dari
ketoasidosis diabetikum (KAD). Selalu pertimbangkan KAD bila pasien menderita diabetes
melitus tipe 1. Pastikan diagnostik dengan identifikasi adanya asidosis metabolik pada
pemeriksaan GDA atau ketonuria pada urinalisis.

Curigai terjadinya koma hiperosmolar non ketotik dan bukan KAD bila terdapat
hiperglikemia berat yakni > 50 mmol/L (900 mg/dL), dengan hiperosmolaritas, yakni > 320
mOsm/kg dan dehidrasi tanpa adanya ketosis yang bermakna (perubahan kesadaran sebagai
gambaran klinis utamanya).  Curigai keterlibatan uremia atau perubahan kalsium, magnesium
atau fosfat dalam perubahan kesadaran, hanya bila perubahan berat.

7. Curiga keracunan obat / alkohol? 

Bahkan pada pasien dengan anamnesis atau tanda adanya asupan alkohol akut atau
kronik, jangan pernah berasumsi bahwa perubahan kesadaran hanya disebabkan oleh alkohol.
Kolerasi antara kadar alkohol dalam napas atau darah dan derajat kesadaran buruk dan tidak
dapat memastikan kandungan alkohol. Kadar tersebut merupakan bantuan yang terbatas dan
dapat berpotensi salah arah. Sebagai langkah utama, carilah (dan tangani) hipoglikemia yang
berhubungan dengan alkohol, cedera kepala yang nyata, perdarahan intrakranial dan
penggunaan atau overdosis obat terlarang.

Periksalah tanda-tanda klinis khas untuk toksidroma (toxidromes) pada setiap pasien yang
dicurigai overdosis, tetapi ingatlah bahwa overdosis dari campuran berbagai obat (biasanya
katena alkohol) seringkali dijumpai dan depresi napas/kardiovaskular (hipotensi, aritmia, dll)
dapat menjadi tanda utama pada setiap jenis keracunan berat. Ukurlah kadar parasetsamol
dan salisilat (± latium dan besi, bila ada indikasi) dan bila ada kecurigaan kuat atau
penggunaan obat terlarang, lakukan pemeriksaan skrining toksikologi urin. Pertimbangkan
kemungkinan keracunan karbon monoksida (CO). Gambaran klinis keracunan CO tidak
spesifik; gambaran klasik seperti kulit/membran mukosa dan berwarna merah seperti buah
ceri sangat jarang dijumpai. Asidosis metabolik berat dan perubahan EKG berupa
iskemia/infark dengan aritma dan hipotensi dapar ditemukan. Beberapa oksimeter nadi (pulse
oximeters) dapat mengukur COHb. Pastikan dengan pengurkuran COHb di laboratorium
resmi menggunakan sampel darah COHb (4 jam jika bernapas diudara ruangan) akan
menurun secara bermakna bila pasien tidak bernapas dengan bantuan oksigen.

8. Pertimbangkan pemeriksaan lebih lanjut bila penyebab yang jelas tidak dapat
didefinisikan.

Bila penyebabnya belum jelas hingga tahap ini, persiapkan CT scan otak dan kirimkan
pasien untuk skrining toksikologi, bila pemeriksaan skrining toksikologi ini belum dilakukan.
Pertimbangkan ensefalopati hepatik bila pasien telah diketahui atau dicurigai menderita
penyakit hati atau ensefalopati hirpertensi bila TD menetap >180/120 mmHg yang disertai
dengan retinopati hipertensi atau tanda–tanda adanya keterlibatan ginjal. Atau, rujuklah ke
dokter spesialis saraf (Sp.S) dan/atau ahli perawatan kritis (intensivist) dan pertimbangkan
pemeriksaan MRI (patologi batang otak), EEG (status non-konvulsif, ensefalopati hepatik)
dan LP (infeksi SSP).

Tidak adanya respons akibat penyebab psikogenik/phsychogenik unresposiveness


merupakan diagnosis yang perlu disingkirkan, tetapi pertimbangkanlah diagnosis ini bila
pemeriksaan penunjang yang menyeluruh gagal mengungkapkan penyebab yang mendasari
dan bila terdapat tanda-tanda yang memungkinkan, misalnmya berespon saat digelitik,
tahanan untuk membuka mata secara pasif, dan tatapan mata berdeviasi menatap lantai pada
posisi apapun.

2. E. Exposure
Exposure merupakan tindakan terakhir yang dilakukan pada primary survey dengan
menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga
memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya
selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup
pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan
ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka
Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
- Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
- Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai
melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert.,
D’Souza., & Pletz, 2009).

2. F. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment) yang
penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :

Komponen Pertimbangan
Airway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway ,
maupun Endotracheal Tube (salah satu dari
peralatan airway) tetap efektif untuk
menjamin kelancaran jalan napas.
Pertimbangkan penggunaaan peralatan
dengan manfaat yang optimal dengan risiko
yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan


pasien :
 Pemeriksaan definitive rongga dada
dengan rontgen foto thoraks, untuk
meyakinkan ada tidaknya masalah
seperti Tension pneumothoraks,
hematotoraks atau trauma thoraks
yang lain yang bisa mengakibatkan
oksigenasi tidak adekuat
 Penggunaan ventilator mekanik
Circulation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap
terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta
menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat
penanganan resusitasicairan.
 Pemasangan cateter vena central
 Pemeriksaan analisa gas darah
 Balance cairan
 Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary


survey, perlu didukung dengan :
 Pemeriksaan spesifik neurologic yang
lain seperti reflex patologis, deficit
neurologi, pemeriksaan persepsi
sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
 CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan


 Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau fraktur
 USG abdomen atau pelvis
Tabel 1 : Reassesment pada primary survey. (ATLS, 2004)
BAB 3
PEMBAHASAN

Pengkajian kegawatdaruratan pada orang dewasa akan berbeda dengan pengkajian


yang dilakukan pada anak-anak dan lanjut usia yang membutuhkan kekhususan dalam
pengkajian maupun penanganannya. Menurut Pedoman The National Institue for Health and
Clinical Excellence (2007) menyatakan orang dewasa berusia sekitar 16 tahun atau lebih.
Hasil survey tahun 2007 dan 2010 menunjukkan bahwa 20% orang dewasa (18-64 tahun) di
Amerika Serikat menggunakan unit gawat darurat (UGD) dan 12 bulan terakhir sekitar 66,0%
orang dewasa memiliki alasan mengunjungi UGD karena mengalami masalah medis yang
serius (Gindhi, Cohen, dan Kirzinger, 2012).
Unit gawat darurat harus selalu dalam keadaan siap siaga dan harus siap mengenali
adanya abnormalitas pada sistem dan berpartisipasi dalam penatalaksanaan pasien dengan
tepat. Berbagai kondisi bisa saja terjadi, sehingga tidak ada alasan untuk tidak dapat
mengkaji pasien dengan tepat. Mengikuti pendekatan pengkajian terorganisasi merupakan hal
yang sangat penting, tetapi yang paling penting adalah gagasan harus membuat dan
menggunakan secara konsisten pendekatan yang bermakna bagi setiap individu.
Area pengkajian pertama harus selalu pengkajian sistem kardiovaskuler dan respirasi.
Pengkajian tersebut merupakan pengkajian utama yang dimandatkan pada semua kasus gawat
darurat untuk dilakukan pada semua pasien. Tanda vital merupakan indikator yang signifikan
dari kondisi saat ini dan kondisi berikutnya. Tubuh memiliki mekanisme luar biasa, dan
tanda vital berperan sebagai indikator yang menunjukkan fungsi nmekanisme kompensasi
tersebut. Pengukuran tanda vital menjadi tren (diulang dari waktu ke waktu) dan sering
direkomendasikan di lingkungan gawat darurat sehingga dapat menggambarkan status pasien
secara akurat dan dapat memperkirakan hasil secara efektif (Mancini, 2011). Pada pasien
injury diperlukan penatalaksanaan yang agak berbeda dimana pengkajian, diagnose, dan
tindakan dilakukan secara bersamaan (Fulde, 2009). Pada pengkajian awal pada pasien
dengan trauma, apabila terdapat multiple injury maka dilakukan pemeriksaan head to toe
secara cepat, akan tetapi jika jika tidak multiple maka segera lakukan focused assesment,
Pemeriksaan umum dapat dilakukan secara bersamaan dengan pemeriksaan utama, seperti
tingkat kesadaran, kualitas bicara, organisasi pikiran, dan tampilan umum. Satu aspek yang
penting dari pengkajian adalah pembentukan hubungan terapeutik.
Prioritas pengkajian lainnya berkenaan dengan pasien trauma. Pemeriksaan utama ABCD
(airway, breathing, circulation, disability) harus dikaji dan didokumentasikan pada saat
kedatangan sebagai data dasar dan harus mencerminkan konsistensi di semua pengkajian
medis dan keperawatan. Pengkajian mekanisme cedera juga merupakan hal yang sangat
penting. Dalam hal ini petugas EMS juga sangat membantu. Informasi ini akan sangat
menghemat waktu dan menyelamatkan kehidupan dengan mengarahkan fokus klinis ke
struktur internal dan sistem tubuh yang paling rentan terhadap jenis cedera tertentu (Mancini,
2011). Pengkajian di UGD dirancang untuk mengenali kegawatdaruratan yang mengancam
kehidupan dan mengumpulkan cukup data untuk menentukan prioritas perawatan dalam
waktu yang sangat sempit. Setiap saat, dan untuk setiap pasien.
Penanganan gawat darurat memberikan perawatan pada seluruh populasi termasuk
orang dewasa yang memiliki beragam pengalaman episodic, tiba-tiba, potensial, mengancam
kesehatan jiwa atau kondisi psikososial (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009). Untuk itu
diperlukan pengetahuan yang dalam dan pengalaman klinik dalam memberikan perawatan
dalam seluruh rentang kehidupan dan mengelola situasi kegawatdaruratan walaupun dalam
situasi yang ramai dan memerlukan penggunaan teknologi yang kompleks (Curtis, Murphy,
Hoy, dan Lewis, 2009). Menurut Fulde (2009) memberikan gambaran mengenai
penatalaksanaan yang harus dilakukan pada pasien yang mengalami injuri, antara lain;
primary survey, resusitasi, history dan secondary survey. Pada secondary survey yang
membedakan antara trauma dan non trauma adalah isi atau content dari prtanyaan yang
ditanyakan atau dikaji, contohnya pada pemeriksaan thoraks jika non trauma maka kita
mengkaji adakah jejas?, adakah krepitasi sedangkan pada non trauma yang kita kaji adalah
adakah suara nafas tambahan, suara bising jantung, adakah penggunaan pace maker.
Sedangkan Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis (2009) yang menyampaikan bahwa diperlukan
pendekatan yang sistematis dalam melakukan pengkajian pada pasien di unit gawat darurat,
antara lain; pengkajian riwayat kesehatan (history), potensial “bendera merah” (potensi
kritis), pemeriksaan fisik, investigasi dan intervensi perawatan. Pada gambar 1 dapat dilihat
model pendekatan sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di UGD. Langkah-
langkah tersebut dapat dilakukan bersamaan dan evaluasi disertai pengkajian ulang sangat
penting dilakukan sebagai kunci dalam proses perawatan (Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis,
2009).
Gambar 7 . Pendekatan sistematik pada pengkajian pasien dan manajemen di UGD (Curtis,
Murphy, Hoy, dan Lewis, 2009)
Pendekatan sistematis yang digunakan Curtis, Murphy, Hoy, dan Lewis (2009) dalam
pengkajian pasien dewasa di UGD akan memberikan data yang tepat dan cepat. Langkah
pertama kali adalah pengkajian riwayat kesehatan akan meliputi; riwayat nyeri, gejala yang
berhubungan, riwayat medis terdahulu/riwayat pembedahan sebelumnya, pengobatan, alergi,
periode menstruasi terakhir, kejadian yang signifikan selama 24 jam sebelum sakit/
mekanisme dari cedera, tindakan saat ini untuk mengatasi masalah, dan riwayat sosial.
Langkah kedua adalah pengkajian kritis (potential red flag) yang bertujuan menentukan
keakutan dari penyakit pasien dan kebutuhan tindakan yang segera berdasarkan kombinasi
tanda klinis dan faktor riwayat. Langkah ketiga adalah pengkajian klinis yang mengikuti
mnemonic ABCD (Airway, Breathing, Circulation dan Disability/Neurological function).
Pada langkah ketika ini, intervensi dapat segera dilakukan jika ditemukan ancaman kematian
pada salah satu elemen pengkajian ini, misalnya; jika ditemukan ketidakadekuatan pernafasan
yang diperlukan ventilator maka akan difokuskan pada pengkajian pernafasan sebelum
dilanjutkan ke pengkajian sirkulasi. Selanjutnya tahap keempat adalah investigasi yang
merupakan suatu tindakan dalam pemeriksaan diagnostik dan tes laboratorium untuk
mengidentifikasi perawatan definitive yang tepatBerdasarkan dari berbagai format pengkajian
yang disampaikan diatas dan tinjaun teori.
BAB 4
PENUTUP

Kesimpulan
Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga sulit
memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada dan
melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Harus di pikirkan suatu bentuk
mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama perjalanan menuju
sarana kesehatan, bantuan fasilitas kesehatan sampai pasca kejadian cedera.

Penanganan gawat darurat ada filosofinya yaitu Time Saving it’s Live Saving. Artinya
seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-benar
efektif dan efisien. Hal ini mengingatkan pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan
nyawa hanya dalam hitungan menit saja. Berhenti nafas selama 2-3 menit pada manusia
dapat menyebabkan kematian yang fatal.

Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang dinilai
sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi
tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of
Emergency Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan
memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi pada
pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit lainnya.
Menurut Krisanty (2009) Penatalaksanaan awal diberikan untuk :
a. Mempertahankan hidup
b. Mencegah kondisi menjadi lebih buruk
c. Meningkatkan pemulihan
Primary Survey adalah mengatur pendekatan ke klien sehingga klien segera dapat
diidentifiksi dan tertanggulangi dengan efektif. Pemeriksaan primary survey berdasarkan
standar A-B-C dan D-E, dengan airway (A: jalan nafas), breathing (B: pernafasan),
circulation (C: sirkulasi), disability (D: ketidakmampuan), dan exposure (E: penerapan).
Ada beberapa tekhnik untuk mempertahankan airway diantaranya head tilt, jaw trust,
chin lift, Oropharingeal Airway (OPA), Nasopharingeal Airway dengan tekhnik yang
berbeda.

FORMAT PENGKAJIAN GAWAT DARURAT PADA ORANG DEWASA

No. Rekam Medis ... ... ... Diagnosa Medis ... ... ...
IDENTITAS

Nama : Jenis Kelamin : L/P Umur :


Agama : Status Perkawinan : Pendidikan :
Pekerjaan : Sumber informasi : Alamat :
TRIAGE P1 P2 P3 P4
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :

Mekanisme Cedera :

Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) :  Baik  Tidak Baik, ... ... ...
PRIMER SURVEY

AIRWAY
Jalan Nafas :  Paten  Tidak Paten Kriteria Hasil : … … …
Obstruksi :  Lidah  Cairan  Benda Asing 
N/A Intervensi :
Suara Nafas : Snoring Gurgling 1. Manajemen airway;headtilt-chin
Stridor  N/A lift/jaw thrust
Keluhan Lain: ... ... 2. Pengambilan benda asing dengan
forcep
3. ……
4. ……
BREATHING
Gerakan dada :  Simetris  Asimetris Kriteria Hasil : … … …
Irama Nafas :  Cepat  Dangkal  Normal
Pola Nafas :  Teratur  Tidak Teratur Intervensi :
Retraksi otot dada :  Ada  N/A 1. Pemberian terapi oksigen … …
Sesak Nafas :  Ada  N/A  RR : ... ... ltr/mnt, via… …
x/mnt 2. Bantuan dengan Bag Valve Mask
Keluhan Lain: … … 3. Persiapan ventilator mekanik
4. ……
5. ……

Diagnosa
1. Penurunan curah jantung b/d …
……
CIRCULATION
2. Inefektif perfusi jaringan b/d …
……

Nadi :  Teraba  Tidak teraba Kriteria Hasil : … … …


Sianosis :  Ya  Tidak
CRT :  < 2 detik  > 2 detik Intervensi :
Pendarahan :  Ya  Tidak ada 1. Lakukan CPR dan Defibrilasi
Keluhan Lain: ... ... 2. Kontrol perdarahan
3. ……
4. ……

DISABILITY Diagnosa
1. Inefektif perfusi serebral b/d … …

2. Intoleransi aktivias b/d … … …
PRIMER SURVEY

3. … … …

Respon : Alert  Verbal  Pain  Unrespon Kriteria Hasil : … … …


Kesadaran :  CM  Delirium  Somnolen 
... ... ... Intervensi :
GCS :  Eye ...  Verbal ...  1. Berikan posisi head up 30 derajat
Motorik ... 2. Periksa kesadaran dann GCS tiap 5
Pupil :  Isokor  Unisokor  Pinpoint  menit
Medriasis 3. ………
Refleks Cahaya:  Ada  Tidak Ada 4. ………
Keluhan Lain : … … 5. ………

Diagnosa
1. Kerusakan integritas jaringan b/d
………
EXPOSURE 2. Kerusakan mobilitas fisik b/d …
……
3. … … …

Deformitas :  Ya  Tidak Kriteria Hasil : … … …


Contusio :  Ya  Tidak
Abrasi :  Ya  Tidak Intervensi :
Penetrasi : Ya  Tidak 1. Perawatan luka
Laserasi : Ya  Tidak 2. Heacting
Edema : Ya  Tidak 3. ………
Keluhan Lain: 4. ………
……
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor
course manual book 1 - sixth edition. Chicago.

Alkatiri, J., Bakri Syakir. 2007. Resusitasi Jantung Paru. Dalam: Sudoyo, Aru S., dkk (editor).

Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency assessment process:
a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency Nursing
Journal, 12; 130-136

Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.


Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and
Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.

Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat
darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses
dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.
Emergency Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis
Missouri : Elsevier Mosby.

Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.

Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical
care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults
aged 18-64: early release of estimates from the national health interview survey,
January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-
june_2011.pdf

Holder, AR. (2002 ).Emergency room liability. JAMA.

Institute for Health Care Improvement. (2011). assessment form with medical emergency
team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuideline
s.aspx.

Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari
http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013

Krisanty P. Dkk, 2009, Asuhan kegawat Darurat, Jakarta: Trans Info Media.

Jakarta

Lombardo, D. (2005). Patient asessment.   In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s


manual of emergency care,  ed 6. Philadelphia: Mosby.  

Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal


Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28
April 2013.
Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.
Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info
Media Medis.
O’keefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998). Emergency
Care, eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon & Schuster Co.
Parhusip. (2004). Bronkoskopi. Diakses dari http://repository.usu.ac.id tanggal 28 april 2013.

Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for pre-
hospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN
978-0-9571028-2-8.
The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury: triage,
assessment, investigation and early management of head injury in infant, children and
adults. London: The National Institue for Health and Clinical Excellence

Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed. Rina
Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

Vanderbilt Medical Center. (2011). Viewing and printing adult ED nursing assessment
documentation. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari
http://www.mc.vanderbilt.edu/documents/sss2/files/View_Print_Adult_ED_Nurs_Asse
ss_Doc_2_10_11.doc

Widjaya, Cristina. (2002). Uji Diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer plasma pada diagnosis
stroke iskemik. FK. UNPAD. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id tanggal 28 april
2013.

Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition.
Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.

Anda mungkin juga menyukai