Anda di halaman 1dari 27

PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN DI KECAMATAN NUSA PENIDA,


KABUPATEN KLUNGKUNG.

Oleh:
Wayan Sedana

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA

1
PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN
PERTANIAN BERKELAJUTAN DI KEC.NUSA PENIDA,KAB.
KLUNGKUNG.

Oleh : I Wayan Sedana

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perencanaan penggunaan lahan merupakan penilaian yang sistematik
terhadap lahan untuk mendapatkan alternatif penggunaan lahan dan memperoleh
opsi yang terbaik dalam memanfaatkan lahan agar terpenuhi kebutuhan manusia
dengan tetap menjaga agar lahan tetap dapat digunakan pada masa yang akan
datang. Sedangkan evaluasi lahan merupakan penilaian terhadap lahan untuk
penggunaan tertentu FAO (1985).
Penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutup lahan (land
cover). Penggunaan lahan biasanya meliputi segala jenis kenampakan dan sudah
dikaitkan dengan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan, sedangkan
penutup lahan mencakup segala jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi
yang ada pada lahan tertentu. Penggunaan lahan merupakan aspek penting karena
penggunaan lahan mencerminkan tingkat peradaban manusia yang menghuninya.
Indonesia Negara yang luas. Disana terdapat begitu banyak pulau yang
terbentang dengan berbagai macam lahan didalamnya.
Identifikasi, pemantauan, dan evaluasi penggunaan lahan perlu selalu
dilakukan pada setiap periode tertentu, karena ia dapat menjadi dasar untuk
penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan
lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian yang penting dalam
usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan
keruangan di suatu wilayah.
Dalam hubungannya dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan
penggunaan lahan diartikan sebagai serangkaian kegiatan tindakan yang sitematis
dan terorganisir dalam penyediaan lahan, serta tepat pada waktunya, untuk

2
peruntukan pemanfaatan dan tujuan lainnya sesuai dengan kepentingan
masyarakat (Suryantoro, 2002).
Bentuk lahan asal solusional, lahan asal marin, fluvial, denudasi, struktural
dll. Lahan asal solusional adalah sebagian lahan yang terdapat di
Indonesia.Banyak sekali kegunaan lahan ini dan berbagai unsur serta materi-
materi di dalamnya. Selain itu keberadaan kawasan bentuk lahan asal solusional di
Indonesia, dewasa ini dianggap memiliki nilai yang sangat strategis. Di seluruh
wilayah kepulauan Indonesia, luas kawasan bentuk lahan asal solusional mencapai
hampir 20 % dari total luas wilayah. Dari segi keilmuan kawasan bentuk lahan
asal solusional merupakan suatu kawasan yang tidak akan pernah kehabisan
obyek untuk penelitian. Fenomena bentang lahan permukaan bentuk lahan asal
solusional yang sangat unik, fenomena bawah permukaan berupa sistem pergoaan
dan sungai bawah tanah merupakan obyek yang sangat menarik untuk diteliti.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal didalamnya yang juga unik
karena mampu bertahan pada kondisi water table yang sangat dalam, dan hanya
dapat memperoleh air dari goa serta mata air juga menarik untuk selalu dikaji.
Sumber daya alam lain yang dapat dikaji adalah beragamnya flora dan fauna yang
khas seperti burung walet dan kelelawar.

1.2. Rumusan Masalah.


1) Apa saja Kendala pada lahan Bentuk lahan asal solusional?
2) Bagaimana pengelolaannya ?

1.3. Tujuan
1) mengetahui kendala apa saja yang terdapat pada bentuk lahan asal
solusional.
2) mengetahui bagaimana pengelolaan bentuk lahan asal solusional.

3
BAB. II TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan penggunaan lahan merupakan penilaian yang sistematik
terhadap lahan untuk mendapatkan alternatif penggunaan lahan dan memperoleh
opsi yang terbaik dalam memanfaatkan lahan agar terpenuhi kebutuhan manusia
dengan tetap menjaga agar lahan tetap dapat digunakan pada masa yang akan
datang. Sedangkan evaluasi lahan merupakan penilaian terhadap lahan untuk
penggunaan tertentu FAO (1985)
Menurut Drissen and Koninj (1992). Konsep lahan haruslah tidak
disamakan dengan tanah. Dalam pengertian lahan sudah termasuk tanah dengan
segala sifat-sifatnya serta keadaan lingkungan sekitarnya. Jika sifat-sifat tersebut
sama dalam segala aspek dikatakan unit lahan selanjutnya FAO (1976; 1983) Unit
lahan ini biasanya dipetakan dengan karakteristik yang spesifik dan merupakan
dasar untuk mengevaluasi lahan.
Tujuan utama mendefenisikan unit lahan adalah agar diperoleh hasil
maksimal dalam penilaian kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu dan
mendapatkan cara yang tepat dalam pengelolaannya (FAO, 1983). Untuk
mendeskripsikan unit lahan haruslah merujuk kepada karakteristik lahan seperti
kemiringan lahan, ketersediaan air dan sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Nasution,
1989).
Penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi,
benda alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa
memperhatikan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut Townshend dan Justice
(1981). Selanjutnya Barret dan Curtis, tahun 1982, mengatakan bahwa permukaan
bumi sebagian terdiri dari kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti
vegetasi, salju, dan lain sebagainya. Dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil
aktivitas manusia (penggunaan lahan). Suatu unit penggunaan lahan mewakili
tidak lebih dari suatu mental construct yang didesain untuk memudahkan
inventarisasi dan aktivitas pemetaan (Malingreau dan Rosalia, 1981).
Interpretasi penggunaan lahan dari foto udara ini dimaksudkan untuk
memudahkan deliniasi. Untuk dapat mempercepat hasil inventarisasi dengan hasil
yang cukup baik, digunakan pemanfaatan data penginderaan jauh, karena dari data
penginderaan jauh memungkinkan diperoleh informasi tentang penggunaan lahan

4
secara rinci.selain itu, adanya perrubahan pemanfaatan lahan kota yang cepat
dapat pula dimonitor dari data penginderaan jauh.
Menurut Malingreau (1979), penggunaan lahan merupakan campur tangan
manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan
keduanya. Penggunaan lahan merupakan unsur penting dalam perencanaan
wilayah. Bahkan menurut Campbell (1996), disamping sebagai faktor penting
dalam perencanaan, pada dasarnya perencanaan kota adalah perencanaan
penggunaan lahan.
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan
kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu.
Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik.
Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni
tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Kecenderungan
perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multiwaktu. Fenomena yang ada
dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan penggunaan lahan
dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena kenampakan luasan
lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap. Perubahan ini pada
umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah, baik penutup lahan
maupun lokasinya (Murcharke, 1990).
Penggunaan lahan mencerminkan sejauh mana usaha atau campur tangan
manusia dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungannya. Data
penggunaan/tutupan lahan ini dapat disadap dari foto udara secara relatif mudah,
dan perubahannya dapat diketahui dari foto udara multitemporal. Teknik
interpretasi foto udara termasuk di dalam sistem penginderaan jauh. Penginderaan
jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah
atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan
alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau gejala yang dikaji
(Lillesand dan Kiefer, 1997).
Penggunaan foto udara sebagai sumber informasi sudah meluas dalam
berbagai aplikasi. Hanya saja untuk dapat memanfaatkan foto udara tersebut
diperlukan kemampuan mengamati keseluruhan tanda yang berkaitan dengan

5
objek atau fenomena yang diamati. Tanda-tanda tersebut dinamakan kunci
pengenalan atau biasa disebut dengan unsur-unsur interpretasi. Unsur-unsur
tersebut meliputi : rona/warna, tekstur, bentuk, ukuran, pola, situs, asosisasi, dan
konvergensi bukti (Sutanto, 1997). Untuk dapat melakukan interpretasi
penggunaan lahan secara sederhana dan agar hasilnya mudah dipahami oleh orang
lain (pengguna), diperlukan panduan kerja berupa sistem klasifikasi penggunaan
lahan/tutupan lahan.
Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan dalam proses
interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan citra
penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi yang
sederhana dan mudah dipahami. Sedangkan para ahli berpendapat Penggunaan
lahan yaitu segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap maupun
berpindah – pindah terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi
kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kedua – duanya (Malingreau,
1978).
Pengelompokan objek-objek ke dalam kelas-kelas berdasarkan persamaan
dalam sifatnya, atau kaitan antara objek-objek tersebut disebut dengan klasifikasi.
Menurut Malingreau (1978), klasifikasi adalah penetapan objek-objek
kenampakan atau unit-unit menjadi kumpulan-kumpulan di dalam suatu sistem
pengelompokan yang dibedakan berdasarkan sifat-sifat yang khusus berdasarkan
kandungan isinya. Klasifikasi penggunaan lahan merupakan pedoman atau acuan
dalam proses interpretasi apabila data pemetaan penggunaan lahan menggunakan
citra penginderaan jauh. Tujuan klasifikasi supaya data yang dibuat informasi
yang sederhana dan mudah dipahami
Sistem klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan adalah sistem
klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreu. Dalam suatu kerangka kerja,
menurut Dent (1981) dalam membuat klasifikasi penggunaan lahan dibagi
menjadi tingkatan-tingkatan ynag terbagi menjadi kelompok-kelompok sebagai
berikut :

6
1. Land cover/land use Order (cover type);
2. Land cover/land use Cover Classes;
3. Land cover/land use Sub-Classes;
4. Land cover/land use Management Units (comparable to land utilization
types).
Dari klasifikasi tersebut oleh Malingreu diubah menjadi 6 kategori sebagai
berikut :
1. Land cover/land use Order e.g. vegetated area;
2. Land cover/land use Sub-Order e.g. cultivated area;
3. Land cover/land use Family e.g. permanently cultivated area;
4. Land cover/land use Class e.g. Wetland rice (sawah);
5. Land cover/land use Sub-Class e.g. irrigated sawah;
6. Land Utilization Type e.g. continous rice
Istilah bentuk lahan asal solusional yang dikenal di Indonesia sebenarnya
diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya adalah karst yang
merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara Yugoslavia dengan Italia
Utara, dekat kota Trieste. Moore and Sullivan (197 menyebutkan bahwa istilah
bentuk lahan asal solusional diperoleh dari bahasa Slovenia, terdiri darikar
(batuan) dan hrast (oak), dan digunakan pertama kali oleh pembuat peta-peta
Austria mulai tahun 1774 sebagai suatu nama untuk daerah berbatuan gamping
berhutan. oak di daerah yang bergoa di sebelah Barat laut Yugoslavia dan sebelah
Timur Laut Italia. Beberapa ahli menggunakan bentuk lahan asal solusional
sebagai istilah untuk medan dengan batuan gamping yang dicirikan oleh drainase
permukaan yang langka, solum tanah tipis dan hanya setempat-setempat,
terdapatnya cekungan-sekungan tertutup (dolin), dan terdapatnya sistem drainase
bawah tanah (Summerfield, 1991). Ford dan Wiliam (1996) mendefinisikan secara
lebih umum sebagai medan dengan karakteristik hidrologi dan bentuk lahan yang
diakibatkan oleh kombinasi dari batuan mudah larut dan mempunyai porositas
sekunder yang berkembang baik. Bentuk lahan asal solusional sebenarnya tidak
hanya terjadi di batuan karbonat, namun sebagian besar bentuk lahan asal
solusional berkembang di batu gamping. Maka dapat disimpulkan Bentuk lahan

7
solusioal adalah bentuk lahan yang terbentuk akibat proses pelaratan batuan yang
terjadi pada daerah berbatuan karbonat. Tetapi sebagian besar bentuk lahan asal
solusional berkembang di batu gamping. Tidak semua batuan karbonat terbentuk
topografi kars, walaupun faktor selain batuannya sama.
Fenomena kawasan bentuk lahan asal solusional merupakan fenomena unik
yang terdapat di permukaan bumi. Secara geomorfologis, kawasan bentuk lahan
asal solusional merupakan daerah yang dominan berbatuan karbonat. Kawasan
bentuk lahan asal solusional merupakan kawasan yang mudah rusak. Batuan
dasarnya mudah larut sehingga mudah sekali terbentuk gua-gua bawah tanah dari
celah dan retakan. Mulai banyaknya permukiman penduduk yang terdapat di
daerah ini akan berpengaruh terhadap tingginya tingkat pencemaran dan
kerusakan lingkungan. Istilah bentuk lahan asal solusional yang dikenal di
Indonesia sebenarnya diadopsi dari bahasa Yugoslavia/Slovenia. Istilah aslinya
adalah 'karst yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan antara
Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat kota Trieste, kosistem Bentuk lahan asal
solusional adalah areal-areal yang mempunyai lithologi dari bahan induk kapur
Ada juga yang menyimpulkan bahwa jika ada sebuah daerah yang
memiliki banyak sungai bawah tanah sering sekali dijuluki dengan Kawasan
bentuk lahan asal solusional. Salah satu kondisi wilayah bentuk lahan asal
solusional yang paling terlihat oleh mata adalah sebuah daerah yang kering dan
panas pada permukaan tanah namun di bawah tanah menyimpan volume air dalam
jumlah besar
Ekosistem bentuk lahan asal solusional memiliki sebuah keunikan sendiri,
baik secara fisik, maupun dalam aspek keanekaragaman hayati. Sifat yang rentan
dari biota gua, merupakan sebuah indikator penting terhadap perubahan
lingkungan. Belum banyak jenis biota gua Indonesia yang diungkapkan. Baru
beberapa jenis udang gua (Macrobrachium poetf), kalanjengking gua dari Maros
(Chaerilus sabinae), kepiting gua buta (Cancrocaeca xenomorphd), kepiting mata
kecil (Sesarmoides emdi), isopoda gua (Cirolana marosind), Anthura munae,
kumbang gua (Eustra saripaensis), Mateullius troglobiticus, Speonoterus
bedosae, ekorpegas gua (Pseudosinella maros), Stenasellus covillae, S. stocki, S.,

8
dan S. Monodidan S. javanicus dari Bentuk lahan asal solusional Cibinong. Yang
juga menjadi arti penting kawasan bentuk lahan asal solusional adalah
ketersediaan air tanah yang sangat dibutuhkan oleh kawasan yang berada di
bawahnya. Termasuk di dalamnya ketersediaan air tawar (dan bersih) bagi
kehidupan manusia, baik untuk keperluan harian maupun untuk pertanian dan
perkebunan. Proses pengrusakan yang lebih besar dilakukan oleh kepentingan
industri. Langkanya semen kemudian dijadikan dalih untuk melegalkan upaya
penambangan di kawasan ekosistem bentuk lahan asal solusional. Padahal, di
Indonesia kawasan ini tak lebih dari 15,4 juta hektar dan 192 juta hektar lahan
daratan negeri. Penggunaan bahan peledak untuk menghancurkan batuan pun,
menambah proses kehancuran sistem yang ada di kawasan bentuk lahan asal
solusional
Bentuk lahan solusional ini terbentuk akibat proses pelarutan batuan yang
terjadi pada daerah bcrbatuan karbonat tertentu. Tidak semua batuan karbonat
tersebut dapat membentuk topografi karst faktor lain yang dapat membentuk
topografi karst adalah:
• Batuan mudah larut
• Terletak pada daerah tropis basah dengan topografi tinggi
• Vegetasi penutup cukup rapat
Batuan karbonat yang banyak memiliki diaklas akan memudahkan air untuk
melarutkan batuan CaCo3. Oleh karena itu batuan karbonat yang memiliki sedikit
diaklas, walaupun terletak pada daerah dengan curah hujan cukup tinggi, tidak
terbentuk topografi karst. Vegetasi yang rapat akan menghasilkan humus, yang
menyebabkan air di daerah tersebut
memiliki PH yang rendah atau air menjadi asam. Pada kondisi asam, air
akan mudah untuk melarutkan batuan karbonat. Perpaduan antara batuan karbonat
dengan banyak diaklas, curah hujan dan suhu yang tinggi, serta vegetasai yang
lebat akan mendorong terjadinya topografi karst
Menurut proses terjadinya bentuk lahan asal proses solusional ini dibedakan
menjadi 3 macam, yaitu :

9
1. Bentuk sisa ( residual form)
Dari proses ini terdapat dua macam bentukan yang terjadi pada proses
residual form ini, yaitu kubah karst dan menara karst. Kubah karst merupakan
bentukan yang menyerupai dome. Bentuk ini dipisahkan oleh cockpit yang
satu sama lain berhubungan. Selain itu juga dipisahkan oleh dataran alluvial
karst. Kubah karst memiliki ketinggian yang seragam. Sedangkan menara
karst memiliki lereng yang curam sampai tegak atau vertikal yang terpisah
satu sama lain dan sebarannya lebih jarang.

Bentuk erosional (solusional form)


Gambar di atas menunjukkan bagian dan penyusun topografi Bentuk lahan
asal solusional, yang terdiri dari berbagai macam bentuk lahan
Asal mula topografi bentuk lahan asal solusional adalah adanya
pengendapan gamping didasar laut, kemudian terangkat di atas muka air laut
dan selanjutnya oleh air hujan batu gamping tersebut terlarutkan menjadi
bentuk-bentuk kubah, dan cekungan.
Syarat-syarat perkembangan
• Batuan mudah larut (CaCO3 dan CaMgCO3) 1 Batuan tersebut tebal
• Banyak rekahan (diaklas)
• Vegetasi rapat Daerah tropik basah
Dimana terjadi proses pelarutan Kalsium Karbonat oleh air CaCO3 + H2O +
CO2 Ca(HCO3)2
Reaksi kimia dan keseimbangannya pada proses pelarutan batu gamping
H2O + C02 H2CO3
2H2C03 + CaCO3 Ca(HCO3)2 + H2

10
Bila batu gamping sudah terlarut biasanya akan menyisakan bagian-bagian
yang tidak dapat larut dalam air, terbentuk persenyawaan karbonat. Sisa-sisa
ini berkomposisi besi, berwarna merah atau merah coklat.

Ada beberapa proses pembentukan rupa bumi bentuk lahan asal


solusional, dan memiliki tahapan yang terjadi. Di kawasan bentuk lahan asal
solusional yang udah dianggap lazim di dunia yaitu di sebelah timur laut
Adriatic. Di kawasan ini batua-batunya mengalami patahan dan retakan yang
hebat. Tahap pertama hanya terjadi aliran batu kapur. Walaupun begitu, aliran
di permukaan tanah adalah hal yang sudah biasa. Kadang juga ditemukan
lekukan-lekukan yang mempunyai sisi yang curam yang berasak dari proses
gerak bumi. Dan di tengah-tengahnya ada retakan yang biasa disebut/?o//'e5.
Bentuk-bentuk ini adalah bentukan kawasan bentuk lahan asal solusional yang
sudah biasa ditemui di kawasan bentuk lahan asal solusional yang sudah
mengalami perubahan seperti yang ada di Kentucky. Aliran dikawasan ini
ditemukan bahwa mengikuti zona-zona patahn dan lipatan.
Proses yang kedua adalah bentuk-bentuk dolin ataupun tekukan yang
berbentuk corong, semakin bertambah banyak, sehingga hamper mencakup
hamper seluruh dari kawasan tersebut. Bentuk-bentuk aliran di permukaan
tanah mulai digantikan oleh aliran di bawah permukaan tanah. Beberapa dolin
menjadi bertambah besar, yang dikarenakan oleh pengikisan-pengikisan
bagian tepi dari dolin dan runtuhan dari goa-goa batu tadi. sehingga beberapa

11
dlon bertemu dan membentuk suatu lekukan yang panjang. Yang bebentuk
seperti lorong panjang yang disebut uvalas.
Pada proses berikutnya dimana keadaan rndah tinggi berada di banyak
bagian dan permukaan tanah hlang. Dari dolin-dolin yang tererosi tadi
tanahnya dialirkan ke daerah yang lebih rendah, sehingga lembah-lembah
menjelma menjadi shale yang di bawahnya terdapat aliran yang tidak tetap.
Aliran-aliran anak sungai yang tadinya mengalir jauh di afas permukaan tanah
mulai mengalir kedalam tanah karena batu kapur yang tekikis oleh
perkembangan foa dalam tanah. Permukan yang masih memiliki batu kapur
permukaannya tidak merata yang membentuk puncak-puncak serta rangkaian
lapies yang terjadi karena pelarutan yang terjadi di sepanjang retakan batu
yang terjadi bertahun-tahu. Bentuk ini berbentuk seperti kulit kerang yang di
dalamnya terdiri dari beberapa goa.
Proses terakhir dimana sistem biasa anak-anak sungai dipermukaan bumi
yang memenuhi permukaan tanah. Lapisan batuan itu yang menonjol di
hamper semua daerah. Diatasnya terdapat bukit kecil (hums) yang letaknya
tidak terlihat diantara bukit-bukit (hums) yang lain.

12
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Fisik dasar
3.1.1 Topografi
Kondisi topografi kawasan pariwisata Nusa Penida pada umumnya
berbukit/bergelombang. Pada bagian tertentu terdapat tebing-tebing curam yang
dibentuk oleh batuan karang. Pada lokasi lain terdapat daerah lembah yang relatif
subur sekaligus berfungsi sebagai saluran drainase alam.
Sedangkan lokasi-lokasi yang relatif datar dengan kemiringan berkisar 0-2
% dan 2-8 % terdapat di Nusa Lembongan dan sebagian kecil di Nusa Penida,
yaitu disekitar Pelabuhan Bunyuk-Mentigi, Pelabuhan Toyopakeh dan di daerah
Pura Penataran Ped.
Kondisi diatas memberi kesan eksotik dengan view dan panorama alam
yang excellent, khususnya pada kawasan Puncak Bukit Mundi, perbukitan dan
tebing di sekitar Pantai Atuh Pejukutan, Pasir Hug, Guyangan, Seganing, Salak,
Tembeling, dan Pelilit serta di sekitar bukit di desa Sakti yang berhadapan dengan
Ceningan. Kondisi ini sangat mendukung upaya pengembangan kawasan
Pariwisata Nusa Penida.
3.1.2 Kondisi Tanah
Kawasan Nusa Penida yang berbukit telah membentuk kondisi tanah
dengan tingkat kesuburan yang terbatas. Umumnya ketinggian tanah di Nusa
Penida adalah 50-100 meter diatas permukaan laut. Daerah tinggi umumnya
memiliki top soil yang tipis dengan tingkat kesuburan yang sangat rendah.
Kondisi ini menyebabkan masyarakat lokal bertani atau berkebun dengan
menerapkan pola terasering. Daerah lembah memiliki top soil yang lebih tebal
dengan tingkat kesuburan yang tinggi. Kondisi tanah diatas secara umum kurang
mendukung upaya pengembangan kegiatan budidaya pertanian. Pengembangan
lokasi penghijauan atau lansekap kawasan wisata cenderung memerlukan
treatment khusus yang perlu dikaji secara cermat.

13
3.1.3 Hidrologi
Kawasan Nusa Penida yang berbukit dan dibentuk batuan karang
umumnya tidak memiliki potensi air tanah dan air permukaan/sungai. Masyarakat
lokal saat ini memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih yang ditampung
dalam lubang bawah tanah (cubang).
Dari sisi lain, kawasan Nusa Penida memiliki beberapa sumber mata air
yang sangat potensial, diantaranya, adalah Mata Air Penida (150 l/dt), Mata Air
Seganing (200 l/dt), Mata Air Tembeling (175 l/dt), Mata Air Guyangan (225 l/dt)
dan Mata Air Pelilit (150 l/dt).
Sebagian sumber mata air telah terpasang pipa jaringan distribusi yang
terbatas sehingga belum mampu berfungsi dan memberikan pelayanan yang
optimal.
Upaya pengembangan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber mata air
diatas harus diprioritaskan agar dapat mendukung pelaksanaan pembangunan
kawasan wisata Nusa Penida kedepan.
3.1.4 Geologi
Struktur geologi Nusa Penida, secara teknis memiliki pori-pori yang dapat
menyerap air hujan dalam jumlah yang cukup besar. Air yang terserap tersebut
kemudian mengalir : pada celah-celah yang terdapat dalam batuan. Aliran air
selanjutnya muncul kembali di tebing-tebing Pulau Nusa Penida menjadi sumber
mata air. Kondisi geologi diatas memiliki implikasi, sebagai berikut:
• Kegiatan pembangunan fisik kawasan Nusa Penida kedepan diharapkan dapat
mengamankan fungsi pori-pori batuan sebagai penangkap air.
• Kawasan Nusa Penida tidak termasuk sebagai daerah rawan gempa dan
longsor serta kondisi batuan eksisting nampaknya dapat mendukung dan atau
memperkuat konstruksi bangunan gedung bertingkat walaupun membutuhkan
biaya pelaksanaan pembangunan fisik yang lebih besar.

14
3.1.5 Klimatologi
Kawasan Nusa Penida memiliki iklim tropis dengan curah hujan
diperkirakan mencapai 1 376 mm/tahun. Jumlah hari hujan rata-rata 55 han'/tahun.
Musim hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Oktober-Februari dan musim
kemarau umumnya berlangsung pada bulan Maret-Agustus.
Kondisi iklim diatas memiliki korelasi yang kuat terhadap besarnya arus
dan gelombang laut di perairan Nusa Penida. Kondisi arus dan gelombang laut
akan mempengaruhi kunjungan dan pola perjalanan wisatawan ke Nusa Penida.
3.1.6 Vegetasi
Jenis vegetasi khas Nusa Penida yang telah teridentifikasi, antara lain :
Pandan Bali, Bakau (Mangrove), jati, kapuk, jambu mete, manga dan tanaman
buah lainnya. Jenis vegetasi tersebut : diharapkan dapat mendukung upaya
pengembangan ruang penghijauan (lansekap) dan ruang konservasi kawasan
wisata Nusa Penida.
Pulau Nusa Penida merupakan sebuah pulau bagian dari pulau Bali bagian
utaranya oleh sebuah isthmus yang diperkirakan terjadi karena adanya sesar
melintang ke arah timur-barat sehingga memisahkan pulau Bali dengan Pulau
Nusa Penida. Sebagian besar lapisan tanah di kawasan Nusa Penida merupakan
tanah kapur (limestone). Berdasarkan data pengeboran yang dilakukan di
Kawasan Bukit (JICA, 2005), lapisan kapur masih dijumpai pada kedalaman 250
meter, tetapi belum diketahui batas bawahnya. Batu kapur tersebut mengandung
clay dengan kadar yang bervariasi, sangat permeabel, anisotropik. Pada gambar
peta geologi pulau Bali, terlihat bahwa di bagian Pulau Nusa Penida ditempat
lokasi kegiatan akan dibangun sebagian besar merupakan limestone.
Permukaan batuan kapur (karstic surface) telah mengalami pelapukan. Hal
ini menyebabkan terjadinya terra-rossa yang sangat subur untuk tanaman pada
ketebalan 2,0-6,0 meter. Pada bagian yang tinggi, lapisan terra-rossa ini banyak
yang terkelupas dan diendapkan kembali pada bagian yang lebih rendah, sehingga
kedalaman terra-rossa dapat mencapai 3-5 meter lebih. Lapisan ini berwarna
merah kekuningan, bercampur dengan butir-butir kapur sebagai lapisan penyela.

15
Secara geologis terbagi menjadi dua bagian, yakni di daerah yang
berdekatan dengan pantai dan lahan tegalan. Batuan kapur yang terkandung
meliputi batu kapur kristalin dengan kadar clay sangat rendah, kecuali pada
lapisan terra rossa atas; sebagian areal merupakan batu kapur yang tebal dan
merupakan akifer yang paling produktif dan di bawahnya terdapat lapisan kapur
dengan kadar clay yang sangat tinggi sebagai lapisan kedap air (semi permeable).
Keberadaan batu gamping di sini berbeda dengan batu gamping di
kawasan kelas 1, dikawasan kelas 2 batu gampingnya relatif lebih tipis karena
berada di daerah tinggian sehingga proses pelarutan pada daerah lembah tidak
seintensif pada kawasan kelas 1. 3. Kawasan bentuk lahan asal solusional kelas 3
Kawasan ini tidak memiliki kriteria seperti diatas, kawasan ini terletak di
daerah Wonosari yang dicirikan olah adanya bukit-bukit yang bentuknya
melengkung. Bentuk bukit yang demikian disebabkan karena daerah ini terdiri
dari perselingan batu gamping berlapis, batupasir gampingan dan napal. Yang
mempunyai tingkat pelarutan yang berbeda.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi topografi bentuk lahan asal
solusional sehingga kawasan bentuk lahan asal solusional yang satu dengan yang
lainnya bisa berbeda. Adapun perbedaan tersebut ditimbulkan oleh :
1. Perbedaan litologi atau susunan Batu Gamping. Ada yang tersusun 100 % dari
mineral Kalsit (CaCO3), adapula yang tercampur dengan mineral lain seperti
Dolomit (CaMGCO3), Gypsum (CaSO4.2H2O), Mangan, Aluminium atau
kwarsa dll.
2. Perbedaan Ketebalan lapisan Batu Gamping.
3. Perbedaan Compactness (Kemampatan).
4. Perbedaan system celah rekah yang ada sejak terbentuknya lapisan Batu
Gamping.
5. Pengaruh Intensitas curah hujan daerah sekitar.
6. Pengaruh Jenis Vegetasi yang berbeda.
7. Pengaruh Manusia yang membongkar Batu Gamping atau menanaminya
setelah membabat habis Vegetasi Primer.
8. Pengaruh titik elevasi kawasan atau ketinggian dari permukaan air laut.
9. Pengaruh ketebalan lapisan tanah penutup (Top Soil) pada kawasan tersebut.
10. Pengaruh Tektonisme terhadap bentuk fisik dan system celah rekah.

16
3.1.7 Penggunaan lahan
Bentuk-bentuk penggunaan lahan di Indonesia dari tempat satu ke tempat
lain beragam bentuknya, tergantung kondisi fisik/lingkungan setempat. Bentuk-
bentuk tersebut dapat didasarkan dari sistem klasifikasi penggunaan lahan yang
paling berpengaruh dalam pembuatan peta penggunaan lahan di Indonesia (dalam
Purwadhi dan Sanjoto, 2008 :125-127), yakni:
a) Klasifikasi penggunaan lahan menurut Darmoyuwono, 1964 menekankan
pada aspek penggunaan lahan berpedoman pada Commision on World Land
Use Survey. Klasifikasinya memiliki hirarki atau penjenjangan yang mantap.
Tetapi klasifikasi menurut Darmoyuwono ini kurang digunakan di Indonesia
karena kurang disosialisasikan.
b) Klasifikasi penggunaan lahan menurut I Made Sandy, 1977 mendasarkan pada
bentuk penggunaan lahan dan skala peta, membedakan daerah desa dan kota.
Klasifikasi ini digunakan secara formal di Indonesia oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
Kawasan ini mempunyai kritreria sebagai pengimbuh air bawah tanah,
mempunyai jaringan gua-gua yang tidak aktif. Kawasan ini terdapat di daerah
Purwosari dan Girisobo dari citra bahwa pola kelurusan lembah pendek dan
sempit yang menidentifikasikan bahwa daerah ini bukan merupakan daerah
penyimpan air. Keberadaan batu gamping di sini berbeda dengan batu gamping di
kawasan kelas 1, dikawasan kelas 2 batu gampingnya relatif lebih tipis karena
berada di daerah tinggian, sehingga proses pelarutan pada daerah lembah tidak
seintensif pada kawasan kelas 1. 3. Kawasan bentuk lahan asal solusional kelas 3
Kawasan ini tidak memiliki kriteria seperti diatas, kawasan ini terletak di
daerah Wonosari yang dicirikan olah adanya bukit-bukit yang bentuknya
melengkung. Bentuk bukit yang demikian disebabkan karena daerah ini terdiri
dari perselingan batu gamping berlapis, batupasir gampingan dan napal. Yang
mempunyai tingkat pelarutan yang berbeda.
Jenis tanah Mollisols tergolong tanah-tanah yang mempunyai
perkembangan profil dengan susunan horison ABC dengan lapisan atas horison
mollic, memperlihatkan struktur cukup kuat. Tanah berkembang dari bahan induk

17
batuan sedimen (batu gamping), menempati landform perbukitan Bentuk lahan
asal solusional volkan dengan penyebarannya sempit. Penampang tanah cukup
dalam, warna coklat kemerahan, tekstur agak halus sampai agak kasar, struktur
cukup kuat gumpal bersudut, konsistensi gembur sampai teguh dan reaksi tanah
netral (kejenuhan basa tinggi). Sebagian besar tanah ini digunakan untuk tegalan/
kebun, buah-buahan, kebun campuran, dan belukar hutan. Dan Mediteran merah-
Kuning Tanah mempunyai perkembangan profil, solum sedang hingga dangkal,
warna coklat hingga merah, mempunyai horizon B argilik, tekstur geluh hingga
lempung, struktur gumpal bersudut, konsistensi teguh dan lekat bila basah, pH
netral hingga agak basa, kejenuhan basa tinggi, daya absorpsi sedang,
permeabilitas sedang dan peka erosi, berasal dari batuan kapur keras (limestone)
dan tuf vulkanis bersifat basa. Penyebaran di daerah beriklim sub humid, bulan
kering nyata. Curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun, di daerah pegunungan
lipatan, topografi Bentuk lahan asal solusional dan lereng vulkan ketinggian di
bawah 400 m. Khusus tanah mediteran merah - kuning di daerah topografi Bentuk
lahan asal solusional disebut terra rossa.
3.1.8 Kendala
Bentuk lahan asal solusional Kerusakan Lahan Bentuk lahan asal
solusional Karena sifatnya, daerah bentuk lahan asal solusional dapat disebut
merupakan daerah yang sangat rentan, atau peka terhadap pencemaran. Hal ini
disebabkan banyaknya rekahan (joint) pada batuan gamping penyusun topografi
bentuk lahan asal solusional sehingga pori-pori yang besar, permeabilitas
sekunder yang tinggi, derajat pelaratan batuan yang tinggi, menyebabkan
terjadinya lorong-lorong conduit yang merupakan sungai bawah tanah, sehingga
masukan sekecil apapun akan diterima dan terperkolasi melaui pori-pori dan
memasuki lorong-lorong sungai bawah tanah dan tersebar dengan mudah.
Kawasan bentuk lahan asal solusional dapat dilihat sebagai suatu ekosistem, yang
didalamnya terdapat hubungan interaksi dan interdependensi antar lingkungan
fisik, non fisik, hayati dan non hayati, serta biogeokimia baik itu pada eksobentuk
lahan asal solusional, maupun endo bentuk lahan asal solusional yang seriantiasa
berhubungan. Hal ini menunjukkan bahwa sangat mudahnya lingkungan bentuk

18
lahan asal solusional itu rusak, bila salah satu komponen penyusunnya rusak atau
tercemar. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa lingkungan bentuk lahan
asal solusional mempunyai daya dukung yang sangat rendah. Karena sifatnya itu,
daerah bentuk lahan asal solusional Nusa Penida memiliki kerentanan yang sangat
tinggi. Benturan kepentingan untuk melakukan konservasi serta tekanan penduduk
untuk memanfaatkan sumberdaya alam bentuk lahan asal solusional pada akhirnya
menimbulkan beberapa permasalahan degradasi lahan bentuk lahan asal
solusional yang terinventarisasi sebagai berikut:
1. Kegiatan Penambangan
Kegiatan penambangan di kawasan bentuk lahan asal solusional sudah
dapat dikatakan sangat intensif. Penambangan pada kawasan bentuk lahan asal
solusional sudah menjadi kegiatan industri, baik itu yang berskala kecil,
sedang, dan besar seperti pabrik semen. Umumnya, kegiatan penambangan
adalah penambangan terhadap batu gamping yang mengikis kubah-kubah
bentuk lahan asal solusional. Efek yang terjadi sebagai akibat kegiatan
penambangan diantaranya adalah Penunman indeks keanekaragaman hayati,
Erosi dan sedimentasi, Penurunan tingkat kesuburan tanah, Perubahan bentang
alam/ lahan, dan Pencemaran badan udara dan perairan
2. Penebangan vegetasi
Kegiatan penebangan di bentuk lahan asal solusional Nusa penida sudah
terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Hasilnya dapat dilihat bahwa sekarang
sebagian besar wilayah ini merupakan lahan kritis dan gundul. Beberapa hal
yang diakibatkan oleh penebangan vegetasi adalah :Penurunan penguapan
(evapotranspirasi), Peningkatan kadar C02 dalam tanah, Peningkatan
permeabilitas tanah permukaan (topsoil), dan menurunnya permeabilitas
subsoil. Beberapa akibat ini dapat menyebabkan akibat yang lebih destruktif
lagi, yaitu tingkat erosi permukaan yang sangat tinggi, yang pada akhirnya
hilangnya lapisan tanah. Pembusukan akar-akar pohon yang terjadi telah
mengakibatkan berkurangnya fungsi tanah sebagai pengikat untuk menjaga
kestabilan lereng.

19
3. Peternakan.
4. Pembangunan jalan raya.
Pembangunan jalan raya banyak menggunakan semen yang juga berbahan
dari gamping sedangkan pengambilan gamping tesebut banyak mengambil
dari kawasan bentuk lahan asal solusional secara ilegal, dan pengambilannya
tanpa memperhitungkan dampaknya sehingga merugikan dan merusak
kawasan bentuk lahan asal solusional itu sendiri.
5. Aktivitas domestik lain.
Beberapa hal diatas sebagian sudah merusak ekosistem bentuk lahan asal
solusional yang ada. Degradasi yang ada akan menurunkan tingkat
sumberdaya, baik sumberdaya air maupun sumberdaya lahannya. Berdasarkan
masalah yang ada, perlu adanya inventarisasi masalah, inventarisasi
sumberdaya lahan, sumberdaya air, untuk kemudian dikelompokkan sesuai
dengan tingkat dan intensitasnya.
3.1.9 Pengelolaan bentuk lahan asal solusional
Pengembangan potensi kawasan bentuk lahan asal solusional di Indonesia
saat ini masih belum mendapat perhatian memadai, baik dari pemerintah maupun
masyarakat, hal ini sangat berbeda sekali dengan kondisi di negara maju, dimana
pemerintah dan masyarakatnya sangat menghargai keberadaan kawasan bentuk
lahan asal solusional. Mereka sadar bahwa kawasan bentuk lahan asal solusional
memiliki nilai strategis sehingga perlakukannya sangatlah cermat, mulai dari
identifikasi aneka nilai yang terkandung di dalamnya, hingga pada konsep dan
implementasi eksplorasi, eksploitasi maupun konservasi kawasan bentuk lahan
asal solusional. Secara umum maksud pengembangan potensi kawasan bentuk
lahan asal solusional adalah untuk memanfaatkan sebaik-baiknya dan sebenar-
benarnya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat di kawasan
bentuk lahan asal solusional untuk kepentingan masyarakat. Biasanya Pemerintah
Daerah seringkali tergoda dalam mengelola kawasan bentuk lahan asal solusional
lebih diarahkan kepada kegaiatan ekonomi yang bersifat industrialisasi seperti
bahan baku semen dan sejenisnya. Kegiatan tersebut lebih menguntungkan pada
peningkatan pendapatan Pemerintah Daerah sesaat dan isu penyediaan lapangan

20
kerja, tetapi disisi lain kegiatan tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan,
kemiskinan, dan penyakit.
Untuk menyikapi permasalahan tersebut perlu dilakukannya pengembangan
wilayah pada kawasan bentuk lahan asal solusional. Pengembangan wilayah pada
dasarnya adalah upaya pembangunan dalam suatu wilayah administratif atau
kawasan tertentu agar tercapai kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan
peluang-peluang dan sumber daya alam yang ada secara optimal, efisien, sinergi,
dan berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi,
penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan, dan penyediaan sarana dan
prasarana.
Dengan demikian pemanfaatan kawasan bentuk lahan asal solusional wajib
direncanakan sebaik-baiknya terlebih dahulu. Seluruh kegiatan wajib
dilaksanakan melalui proses dan prosedur sesuai dengan peraturan yang ada.
Pemanfaatan kawasan bentuk lahan asal solusional itu sendiri merupakan
rangkaian
kegiatan pelaksanaan pembangunan guna memanfaatkan bentuk lahan asal
solusional menurut jangka waktu yang ditetapkan di dalam rencana rencana tata
ruang Pemerintah Daerah. Di sisi lain. Di samping perencanaan juga perlu
dilakukan pengendalian pemanfaatan kawasan yang meliputi perizinan,
pengawasan, dan penertiban pemanfatan kawasan bentuk lahan asal solusional.
Dengan telah ditetapkannya tata ruang suatu daerah tentunya akan sangat
membantu penyusunan kebijakan perencanaan pengembangan wilayah. Dimana
semua aktivitas kegiatan ekonomi pada suatu daerah akan bertumpu pada
pemanfaatan sumber daya alam yang ada sehingga sebelumnya perlu
direncanakan konsep efisiensi sinergitas kegiatan untuk terciptanya keberlanjutan
dan penyediaan sarana dan prasarana yang dibangun akan lebih terarah pada
kegiatan yang direkomendasikan dalam penetapan tata ruang.Selain
pengembangan wilayah pada kawasan bentuk lahan asal solusional perlu Juga
dilakukan inventarisasi dan evaluasi lingkungan kawasan bentuk lahan asal
solusional. Hal ini diperlukan untuk mendapatkan informasi data fisik potensi
sumber daya yang terkandung dalam suatu kawasan bentuk lahan asal solusional

21
yakni melalui kajian data primer dan data sekunder. Kemudian tahapan kegiatan
yang harus dilakukan adalah melakukan evaluasi dalam jangka waktu tertentu
terhadap berbagai aspek karakteristik lingkungan fisik lahan agar penggunaan
potensi lahan dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Hal ini berkaitan erat
dengan sangat rentannya lingkungan bentuk lahan asal solusional terhadap segala
jenis perubahan karena kawasan tersebut mempunyai daya dukung lingkungan
yang sangat kecil. Berdasarkan identifikasi dan kajian tersebut diharapkan lebih
mudah dalam mengembangkan potensi kawasan bentuk lahan asal solusional atau
menghentikan operasional perusahaan besar ataupun kecil yang memanfaatkan
kawasan bentuk lahan asal solusional. Dan hal yang terakhir yang sangat penting
dilakukan adalah peningkatan peran serta masyarakat lokal dalam mengelola
sumber daya alam kawasan bentuk lahan asal solusional, mulai dari proses
perencanaan seperti penetapan skala prioritas sampai kepada tahap implementasi
program, sehingga dalam pengelolaan pengembangan kawasan bentuk lahan asal
solusional nantinya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Hal ini
diperlukan juga agar nantinya masyarakat ikut serta memelihara sumber daya
yang ada, kegiatan yang satu tidak mematikan kegiatan lainnya, dan kemampuan
daya dukung sumber daya yang ada dapat menjadi acuan semua pihak dalam
penyusunan perencanaan dan pengembangan kawasan bentuk lahan asal
solusional.

22
BAB. III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a. Bentuk lahan solusioal adalah bentuk lahan yang terbentuk akibat proses
pelarutan batuan yang terjadi pada daerah berbatuan karbonat. Tetapi
sebagian besar bentuk lahan asal solusional berkembang di batu
gamping.
b. Asal mula topografi bentuk lahan asal solusional adalah adanya
pengendapan gamping didasar laut, kemudian terangkat di atas muka air
laut dan selanjutnya oleh ak hujan batu gamping tersebut terlarutkan
menjadi bentuk-bentuk kubah, dan cekungan
c. bentuk lahan asal solusional dapat disebut merupakan daerah yang
sangat rentan, atau peka terhadap pencemaran. disebabkan banyaknya
rekahan Goint) pada batuan gamping penyusun topografi bentuk lahan
asal solusional sehingga pori-pori yang besar, permeabilitas sekunder
yang tinggi, derajat pelarutan batuan yang tiriggi, menyebabkan
terjadinya lorong-lorong conduit yang merupakan sungai bawah tanah,
sehingga masukan sekecil apapun akan diterima dan terperkolasi melaui
pori-pori dan memasuki lorong-lorong sungai bawah tanah dan tersebar
dengan mudah.
d. Untuk menyikapi permasalahan tersebut perlu dilakukannya
pengembangan wilayah pada kawasan bentuk lahan asal solusional.
Pengembangan wilayah pada dasarnya adalah upaya pembangunan
dalam suatu wilayah administratif atau kawasan tertentu agar tercapai
kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan peluang-peluang dan
sumber daya alam yang ada secara optimal, efisien, sinergi, dan
berkelanjutan dengan cara menggerakkan kegiatan-kegiatan ekonomi,
penciptaan iklim kondusif, perlindungan lingkungan, dan penyediaan
sarana dan prasarana.

23
DAFTAR PUSTAKA

http://donyasigupai.wordpress.com/2012/03/31/kawasan-bentuk lahan asal solusional-


dan-manfaat-secara-ekologi-dan-ekonomi/

http://derizkadewantoro.wordpress.com/2010/07/28/geomorfologi-solusional-bentuk
lahan asal solusional/ http://geochimpunk.blogspot.com/2012/04/geomorfologi-
daerah-bentuk lahan asal solusional-solusional.bantul
LAMPIRAN
Gambar 3.1 Peta Kontur

Anda mungkin juga menyukai