Anda di halaman 1dari 13

Hari/Tanggal : Senin/ 9 November 2020

Nama : Siti Fahriyah Hidayati


NRI : 18011101086
Kelas/Ruang : C/17
Instruktur : Prof. dr. Linda Wilhelma Ancela Rotty, Sp.PD-KHOM

1). Resume Anatomi-Pemeriksaan Telinga

A. Teori

Secara anatomi, telinga terdiri atas 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.

1. Telinga luar
Telinga bagian luar ini
berfungsi seperti corong yang
berfungsi untuk mengumpulkan
gelombang suara dan
menyalurkannya hingga ke gendang
telinga. Telinga luar terdiri dari dua
bagian, yaitu daun telinga (pinna)
dan saluran telinga. Daun telinga
terdiri atas tulang rawan elastin dan
kulit. Bagian-bagian daun telinga
lobula, heliks, anti heliks, tragus, dan antitragus.
Liang telinga atau saluran telinga merupakan
saluran yang berbentuk seperti huruf S. Pada 1/3
proksimal memiliki kerangka tulang rawan dan
2/3 distal memiliki kerangka tulang sejati.
Saluran telinga mengandung rambut-rambut
halus dan kelenjar lilin.

2. Telinga tengah
Telinga bagian tengah berfungsi untuk
memindahkan getaran suara dari gendang
telinga menuju telinga bagian dalam. Ada tiga
tulang pendengaran yang menyusun telinga
tengah dan berfungsi untuk menghantarkan
getaran suara, yaitu maleus, incus, dan stapes.
Bagian depan ruang telinga dibatasi oleh
membran timpani, sedangkan bagian dalam
dibatasi oleh foramen ovale dan foramen
rotundum
 Membran timpani
Membran timpani berfungsi
sebagai penerima gelombang bunyi. Setiap ada gelombang bunyi yang memasuki lorong
telinga akan mengenai membran timpani, selanjutnya membran timpani akan
menggelembung ke arah dalam menuju ke telinga tengah dan akan menyentuh tulang-
tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes. Tulang-tulang pendengaran akan
meneruskan gelombang bunyi tersebut ke telinga bagian dalam.
 Tulang-tulang pendengaran
Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus (tulang
landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang tersebut membentuk rangkaian
tulang yang melintang pada telinga tengah dan menyatu dengan membran timpani.
 Tuba auditiva eustachius
Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran penghubung
antara ruang telinga tengah dengan rongga faring. Adanya saluran eustachius,
memungkinkan keseimbangan tekanan udara rongga telinga telinga tengah dengan udara
luar.
3. Telinga dalam
Telinga bagian dalam berfungsi untuk menyalurkan suara ke sistem saraf pusat (otak) dan
membantu keseimbangan. Telinga dalam atau labirin terdiri atas dua bagian yaitu labirin tulang
dan labirin selaput. Dalam labirin tulang
terdapat vestibulum, kanalis semisirkularis
dan koklea. Di dalam koklea yang berupa dua
setengah lingkaran terdapat organ Corti yang
berfungsi untuk mengubah getaran mekanik
gelombang bunyi menjadi impuls listrik yang
akan dihantarkan ke pusat pendengaran.
Koklea terbagi atas tiga bagian yaitu:
 Skala vestibuli terletak di bagian
dorsal
 Skala media terletak di bagian tengah
 Skala timpani terletak di bagian
ventral
Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfe, sedangkan skala media berisi
endolimfe. Ion dan garam yang terdapat di
perilimfe berbeda dengan endolimfe. Hal ini
penting untuk proses pendengaran. Antara
skala satu dengan skala yang lain dipisahkan oleh suatu membran. Ada tiga membran yaitu:
 Membran vestibuli, memisahkan skala vestibuli dan skala media.
 Membran tektoris, memisahkan skala media dan skala timpani.
 Membran basilaris, memisahkan skala timpani dan skala vestibuli.
Pada membran membran basalis ini terletak organ Corti dan pada membran basal melekat sel
rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk
organ Corti

Bagian-bagian telinga ini saling terkait dan bekerja sama untuk memastikan proses
mendengar berlangsung dengan sempurna.
Bagian telinga luar yang dievaluasi pada pemeriksaan adalah :

1. Auriculum
2. Meatus acusticus eksternus
3. Membrane tympani bagian luar

Telinga juga terbagi juga 2 bagian :

1. Bagian Hantaran (konduksi)


 Daun telinga
 Liang telinga
 Gendang telinga & tulang-tulang pendengaran
2. Bagian Penerimaan (presepsi)
 Koklea (rumah siput)
 Saraf pendengaran

Proses Mendengar

Aurikula berfungsi untuk mengetahui arah dan lokasi suara dan membedakan tinggi rendah
suara. Aurikula bersama MAE dapat menaikkan tekanan akustik pada MT pada frekuensi 1,5 – 5
kHz yaitu daerah frekuensi yang penting untuk presepsi bicara, selanjutnya gelombang bunyi ini
diarahkan ke MAE menyebabkan naiknya tekanan akustik sebesar 10-15 dB pada MT.

MAE adalah tabung yang terbuka pada satu sisi tertutup pada sisi yang lain. MAE
meresonansi ¼ gelombang. Frekuensi resonansi ditentukan dari panjang tabung, lengkungan
tabung tidak berpengaruh. Tabung 2,5 cm, frekuensi resonansi kira-kira 3,5 kHz.

Gelombang suara kemudian diteruskan ke MT dimana pars tensa MT merupakan medium


yang ideal untuk transmisi gelombang suara ke rantai osikular. Hubungan MT dan sistem
osikuler menghantarkan suara sepanjang telinga telinga tengah ke koklea. Tangkai maleus terikat
erat pada pusat membran timpani, maleus berikatan dengan inkus, inkus berikatan dengan stapes
dan basis stapes berada pada foramen ovale. Sistem tersebut sebenarnya mengurangi jarak tetapi
meningkatkan tenaga pergerakan 1,3 kali, selain itu luas daerah permukaan MT 55 milimeter
persegi sedangkan daerah permukaan stapes rata-rata 3,2 milimeter persegi. Rasio perbedaan 17
kali lipat ini dibandingkan 1,3 kali dari dari sistem pengungkit , menyebabkan penekanan sekitar
22 kali pada cairan koklea. Hal ini diperlukan karena cairan memiliki inersia yang jauh lebih
besar dibandingkan udara, sehingga dibutuhkan tekanan besar untuk menggetarkan cairan, selain
itu didapatkan mekanisme reflek penguatan, yaitu sebuah reflek yang timbul apabila ada suara
yang keras yang ditransmisikan melalui sistem osikuler ke dalam sistem saraf pusat, reflek ini
menyebabkan konstraksi pada otot stapedius dan otot tensor timpani. Otot tensor timpani
menarik tangkai maleus ke arah dalam sedangkan otot stapedius menarik stapes ke arah luar.
Kondisi yang berlawanan ini mengurangi konduksi osikular dari suara berfrekuensi rendah
dibawah 1 000 Hz. Fungsi dari mekanisme ini adalah untuk melindungi koklea dari getaran
merusak disebabkan oleh suara yang sangat keras , menutupi suara berfrekuensi rendah pada
lingkungan suara keras dan menurunkan sensivitas pendengaran pada suara orang itu sendiri.

Koklea mempunyai dua fungsi yaitu menerjemahkan energi suara ke suatu bentuk yang
sesuai untuk merangsang ujung saraf auditorius yang dapat memberikan kode parameter akustik
sehingga otak dapat memproses informasi dalam stimulus suara.

Koklea di dalamnya terdapat proses transmisi hidrodinamik yaitu perpindahan energi bunyi
dari foramen ovale ke sel-sel bersilia dan proses transduksi yaitu pengubahan pola energi bunyi
pada OC menjadi potensial aksi dalam nervus auditorius. Mekanisme transmisi terjadi karena
stimuli bunyi menggetarkan perilim dalam skala vestibuli dan endolim dalam skala media
sehingga menggetarkan membrana basilaris. Membrana basilaris merupakan suatu kesatuan yang
berbentuk lempeng-lempeng getar sehinga bila mendapat stimuli bunyi akan bergetar seperti
gelombang disebut traveling wave. Proses transduksi terjadi karena perubahan bentuk membran
basilaris. Perubahan tersebut karena bergesernya membrana retikularis dan membrana tektorial
akibat stimulis bunyi. Amplitudo maksimum pergeseran tersebut akan mempengaruhi sel rambut
dalam dan sel rambut luar sehinga terjadi loncatan potensial listrik. Potensial listrik ini akan
diteruskan oleh serabut saraf aferen yang berhubungan dengan sel rambut sebagai impuls saraf
ke otak untuk disadari sebagai sensasi mendengar

B. Pemeriksaan
Alat :
- Lampu kepala
- Otoskop
- Otoskop dengan balon politzer
- Speculum telinga (berbagai ukuran)
- Alat penghisap
- Hak tajam
- Pemilin kapas
- Forsep telinga
- Semprit telinga (untuk irigasi telinga)
- Masker
- Sarung tangan

Cara Pemeriksaan :

1. Menanyakan identitas pasien


2. Menanyakan keluhan pasien
Digali keluhan utama, yaitu alasan datang ke RS/ dokter:
Telinga sakit (otalgia) : Sejak kapan, Didahului oleh apa (trauma, kemasukan benda
asing, pilek), Apakah disertai gejala-gejala yang lain,
Diagnosis banding otalgia : Otitis eksterna (difusa, furunkulosa), Otitis media akut,
Mastoiditis
Gangguan pendengaran (hearing loss) : Sejak kapan, Didahului oleh apa,
Penyebab gangguan pendengaran : Kongenital, Kelainan anatomi, Otitis eksterna dan
media baik akut maupun kronis, Trauma, Benda asing/cerumen, Ototoksis,
Degenerasi, Noise induce, Neoplasma
Telinga berdenging (tinitus) : Sejak kapan, Didahului oleh apa, Apakah menderita
penyakit lain seperti DM, hipertensi, hiperkolesterolemi
Diagnosis banding tinitus : Cerumen atau corpus alienum, Otitis eksterna, Otitis
media akut & kronis
Keluar cairan (otorrhea) : Sejak kapan, Didahului oleh apa (trauma, kemasukan
benda asing, pilek), Deskripsi cairan (jernih/ keruh, cair/ kental, warna kuning/
kehijauan/ kemerahan; berbau/ tidak), Apakah keluar cairan disertai dengan darah,
Disertai oleh gejala yang lain (demam, telinga sakit,pusing dll)
Diagnosis banding otorrhea : MT perforation, Granulasi, polip, liang telinga, Infeksi
pada otitis media
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan
Tujuan : memeriksa meatus akustikus (mae) dan membrane timpani (mt) dengan
meneranginya memakai cahaya lampu.
4. Cuci tangan menurut enam langkah WHO
5. Memakai masker dan sarung tangan (sarung tangan dipakai setelah memakai lampu
kepala)
6. Cara memakai lampu kepala
 Pasang lampu kepala sehingga tabung lampu berada di antara kedua mata
 Letakkan telapak tangan kanan pada jarak 30 cm di depan mata kanan
 Mata kiri/kanan ditutup, terkadang sudah tidak perlu ditutup selama
pandangan bisa difokuskan
 Proyeksi tabung harus tampak terletak medial dari proyeksi cahaya & saling
bersinggungan
7. Cara duduk
 Penderita duduk di depan pemeriksa
 Lutut kiri pemeriksa berdempetan dengan lutut kiri penderita
 Kepala dipegang dengan ujung jari
 Waktu pemeriksaan telinga yang kontra lateral, hanya posisi kepala penderita
yang diubah
 Kaki-lutut penderita & pemeriksa tetap pada keadaan semula
8. Cara memegang telinga
- Kanan
 Aurikulum dipegang dengan jari I dan II
 Jari III, IV, V pada planum mastoid
 Aurikulum ditarik ke arah posterosuperior untuk meluruskan mae
- Kiri
 Aurikulum dipegang dengan jari I dan II
 Jari III, IV, dan V di depan aurikulum
 Aurikulum ditarik ke arah posterosuperior
9. Cara memegang otoskop
 Pilih speculum telinga yang sesuai dengan besar lumen MAE
 Nyalakan lampu otoskop (pada penggunaan otoskop sudah tidak perlu lampu
kepala)
 Masukkan speculum telinga pada MAE
10. Cara memeriksa mobilitas membrane timpani
a. Dengan otoskop
 Pilih otoskop dengan balon politzer
 Untuk memeriksa telinga kiri, tangan kiri memegang gagang otoskop
sedangkan tangan kanan memegang balon politzer
 Lakukan prosedur memeriksa dengan otoskop
 Speculum telinga harus rapat dengan lumen MAE (air tight) agar tidak ada
kebocoran udara
 Pencet/tekan balon politzer secara lembut, amati mobilitas/gerakan
membrane timpani
b. Dengan tes valsava
 pilih otoskop biasa
 lakukan prosedur pemeriksaan dengan otoskop
 penderita diminta meniup secara kuat sambil memencet hidung dan
menutup mulut, amati mobilitas/gerakan membrane timpani
11. Cara tes fistula
a. Dengan otoskop
 Pilih otoskop dengan balon politzer
 Untuk memeriksa telinga kiri, tangan kiri memegang gagang otoskop
sedangkan tangan kanan memegang balon politzer
 Lakukan prosedur memeriksa dengan otoskop
 Speculum telinga harus rapat dengan lumen MAE (air tight) agar tidak ada
kebocoran udara
 Pencet/tekan balon politzer secara cepat, amati keluhan penderita, bila
penderita mengalami pusing/vertigo/dizziness berarti tes fistula positif
b. Tanpa otoskop
 Lakukan prosedur memegang telinga
 Arahkan tragus dengan telunjuk hingga menutup lumen MAE (air tight)
 Tekan tragus secara cepat, amati keluhan penderita, bila penderita
mengalami pusing/vertigo/dizziness berarti tes fistula positif.

2). Resume Pemeriksaan Keseimbangan Pada BPPV

A. Teori

Keseimbangan diasumsikan sebagai sekelompok refleks yang memicu pusat keseimbangan


yang terdapat pada visual, vestibuler dan sistem somatosensori. Sistem Visual atau sistem
penglihatan adalah sistem utama yang terlibat dalam perencanaan gerak dan menghindari
rintangan di sepanjang jalan. Sistem vestibuler dapat diumpamakan sebagai sebuah giroskop
yang merasakan atau berpengaruh terhadap percepatan linier dan anguler, sedangkan sistem
somatosensori adalah sistem yang terdiri dari banyak sensor yang merasakan posisi dan
kecepatan dari semua segmen tubuh, kontak mereka (dampak) dengan objek-objek eksternal
(termasuk tanah), dan orientasi gravitasi.

Vertigo dibagi menjadi dua yaitu vestibuler dan non-vestibuler. Vertigo vestibuler dibagi lagi
menjadi dua yaitu perifer dan sentral. Yang perifer terdiri dari yang BPPV dengan yang non-
BPPV.

Benign Paroxysmal Positional Vertigo

Salah satu penyebab paling umum dari vertigo adalah Benign paroxysmal positional vertigo
(BPPV). BPPV diketahui adalah gangguan yang paling umum terjadi dari system vestibular
telinga bagian dalam yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan. BPPV bersifat jinak,yang
berarti tidak mengancam jiwa penderita.
BPPV merupakan suatu kondisi terjadinya gangguan dari sistem perifer vestibular,ketika
pasien merasakan sensasi pusing berputar dan berpindah yang berhubungan dengan nistagmus
ketika posisi kepala berubah terhadap gaya gravitasi dan disertai gejala mual,muntah dan
keringat dingin.

Serangan biasa dipicu ketika pasien merubah posisi kepala ke sisi yang terkena kemudian
berguling ke sisi berlawanan ataupun duduk dengan cepat. Serangan dari BPPV biasanya tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik,tetapi dapat berhubungan dengan trauma kepala,posisi
terlentang terlalu lama atau gangguan dari dalam telinga. BPPV dapat berhubungan dengan
penyakit meniere dan migren vestibular,yang akhirnya menjadi osteopenia, osteoporosis, dan /
atau konsentrasi serum yang rendah vitamin D.5 BPPV sering digambarkan sebagai selflimiting
karena gejala dapat mereda atau dapat hilang dalam waktu enam bulan dari onset.

Penyebab pasti dari BPPV belum banyak diketahui. Kemungkinan penyebab lainnya antara
lain adalah trauma kepala atau perubahan hormonal.7BPPV dapat terjadi setelah otitis media
atau otitis media serosa dan setelah stapedektomi.

Patofisiologi dari BPPV berhubungan dengan perpindahan dari otocnia menuju kanalis
semisirkularis (anterior,posterior atau lateral),yang mungkin tetap mengambang di endolimfe
dari kanalis semisirkularis (ductolithiasis atau canalolithiasis) atau melekat pada cupula
(cupulithiasis), yang merubah respon kepala terhadap sudut kepala.

Ketika ada perubahan posisi kepala dengan gravitasi,puing-puing otolithic bergerak ke posisi
baru dalam setengah lingkaran kanal,yang mengarah ke rasa rotasi palsu,dimana BPPV biasanya
paling sering diakibatkanoleh kanalis semisirkular posterior sekitar 60-90% pada seluruh kasus.

Pada dasarnya terdapat dua subtipe dari BPPV yang dibedakan oleh kanalis semisirkularis
yang terlibat yaitu otocnia terpisah dan mengambang bebas dalam canal (canalithiasis) atau yang
melekat pada cupula (cupulolithiasis). 1 Pada cupulolithiasis,selama kepala berada pada posisi
yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi,maka vertigo akan terus menetap.

BPPV didiagnosa berdasarkan sejarah medis,pemeriksaan fisik,tes pendengaran dan


pemeriksaan laboratorium untuk menyingkirkan diagnosis lain. Serta tes vestibular lainnya
seperti tes Dix-Hallpike. Dalam tes Dix-Hallpike,kepala pasien diminta untuk berbalik 45 derajat
secara horizontal berhadapan dengan penguji dalam posisi duduk,lalu pasien mulai dengan cepat
berada dibawah dengan kepala menggantung ditepi meja sekitar 30 derajat horizontal kebawah.
Penguji diminta untuk mengamati apakah pasien memiliki vertigo dan mengamati nystagmus
kanalis posterior kanan. Apabila terdapat hasil yang positif yakni berupa keterlibatan nystagmus
kanalis posterior kanan,maka akan ada getaran dan torsi kearah kanan

B. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Keseimbangan pada BPPV
Dix – Hallpike
Tujuan : mendiagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior

1. Menanyakan identitas pasien


2. Menanyakan keluhan pasien
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan
4. Cuci tangan menurut enam langkah WHO
5. Memakai masker dan sarung tangan
6. Kepala pasien diminta untuk
berbalik 45 derajat secara
horizontal berhadapan dengan
penguji dalam posisi duduk,
dimiringkan ke sisi yang sakit.
Ini akan menghasilkan
kemungkinan bagi otolith
untuk bergerak, kalau ia
memang sedang berada di
kanalis semisirkularis
posterior.
7. pasien mulai dengan cepat
berada dibawah (direbahkan)
dengan kepala menggantung ditepi meja sekitar 30 derajat horizontal kebawah.
8. Penguji diminta untuk mengamati apakah pasien memiliki vertigo dan mengamati
nystagmus kanalis posterior kanan. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan
vertigo, posisi tersebut dipertahankan selama 10-15 detik.
9. Apabila terdapat hasil yang positif yakni berupa keterlibatan nystagmus kanalis
posterior kanan,maka akan ada getaran dan torsi kearah kanan

Tes Kalori

Tes kalori ini dianjurkan oleh Dix dan Hallpike. Pada cara ini dipakai 2 macam air,
dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 300C, sedangkan suhu air panas adalah 440C.
Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250 ml, dalam waktu 40
detik. Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul. Setelah telinga kiri
diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan air dingin juga. Kemudian
telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga dalam. Pada tiaptiap selesai pemeriksaan
(telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas) pasien diistirahatkan selama 5
menit (untuk menghilangkan pusingnya)

Tes Supine Roll


Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes Dix-
Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk memeriksa ada tidaknya
BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau disebut juga BPPV kanal horisontal adalah
BPPV terbanyak kedua. Pasien yang
memiliki riwayat yang sesuai dengan
BPPV, yakni adanya vertigo yang
diakibatkan perubahan posisi kepala,
tetapi tidak memenuhi kriteria
diagnosis BPPV kanal posterior harus
diperiksa ada tidaknya BPPV kanal
lateral.

Dokter harus
menginformasikan pada pasien bahwa
manuver ini bersifat provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing yang
berat selama beberapa saat.

Tujuan: mendiagnosis BPPV pada kanalis lateral/horizontal

1. Tes ini dilakukan dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi atau berbaring
terlentang dengan kepala pada posisi netral
2. Kemudian diikuti dengan rotasi kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan dokter
mengamati mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.
3. Setelah nistagmus mereda (atau jika tidak ada nistagmus), kepala kembali menghadap
ke atas dalam posisi supinasi.
4. Setelah nistagmus lain mereda, kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90 derajat ke
sisi yang berlawanan, dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa ada tidaknya
nistagmus.

Tatalaksana BPPV dengan Manuver Epley

Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
1. Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 45°,
2. Lalu pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit.
3. Lalu kepala ditolehkan 90° ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi
lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik.
4. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi
duduk secara perlahan

2. Pemeriksaan Keseimbangan
Gans SOP

Alat : Ball ex Foam

1. Menanyakan identitas pasien


2. Menanyakan keluhan pasien
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan
Tujuan : untuk mengetahui status keseimbangan badan
4. Cuci tangan menurut enam langkah WHO
5. Memakai masker dan sarung tangan
6. Langkah – langkah pemeriksaan

1. Tes Romberg (Mata terbuka)

Dalam 10 detik, pasien sudah berdiri dengan kaki dibuka selebar bahu. Dalam kondisi ini,
pasien harus berdiri di atas permukaan yang kokoh dan rata dengan mata terbuka.
Kondisi ini berfungsi sebagai ukuran dasar dari stabilitas subjek.

2. Tes Romberg (Mata tertutup)

Kondisi ini sama seperti langkah awal. Perbedaannya adalah pasien harus melakukannya
tutup mata mereka. Tidak ada masukan visual yang tersedia pada langkah ini.

3. Tes Romberg yang Dimodifikasi (Mata terbuka)

Pasien akan meletakkan kakinya pada posisi tumit sampai ujung kaki dengan satu kaki
tepat di depan dari lainnya. Tahan selama 10 detik

4. Tes Romberg yang Dimodifikasi (Mata tertutup)

Selama 10 detik, pasien harus menutup mata dan berdiri seperti pada langkah 3.

5. Berdiri di atas busa (Mata terbuka)

Pasien harus berdiri di atas busa Bal Ex selama 10 detik. Pada langkah ini, tidak ada
masukan somatosensori.
6. Berdiri di atas busa (Mata tertutup)

Langkah ini sama dengan langkah 5 kecuali pasien harus menutup mata selama 10 detik.

7. Tes Fukuda

Tangan pasien lurus kedepan kemudian pasien mengangkat kedua kaki bergantian
sehingga terlihat berjalan ditempat sambil menutup mata. Periksa posisi akhir pasien apa
berubah dari posisi awalnya.

Sumber :

1. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa: Staf
pengajar FKUIRSCM. 13rd ed. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997:105-9.
2. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Alih bahasa: Setiawan I,
Tengadi KA, Santoso A. 1 st ed. Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 1997: 827-34.
3. Palandeng, O. L. P. Anatomi- Pemeriksaan Telinga. [PowerPoint presentation].
Modul Keterampilan Klinis Dasar THT 2020. Fakultas Kedokteran Unsrat. [Updated
2020 Nov 9; Cited 2020 Nov 9].
4. Hain Timothy C. Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV). [internet].
Chicago,Illianos; the Vestibular Disorder Association;2015 [disitasi tanggal 4 April
2016]. Tersedia dari: http://www.vestibular.org
5. Edward Y, Roza Y. Diagnosis dan Tatalaksana Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV) Horizontal Berdasarkan Head Roll Test. Jurnal Kesehatan Andalas.
2014;3(1):77-82
6. Majeed MA,Haq AU,Shabbir SMA,Raza SN. Clinical Comparative Study of Efficacy
of Epley Manouvere and Semont Manouver in Benign Paroxysmal Positional
Vertigo. Pak Armed Forces Med J 2015;65(1):42-7
7. Baloh RW, Honrubia V, Jacobson K.Benign positional vertigo: clinical and
oculographicfeatures in 240 cases. The American Academy of
Neurology1987;37:371-8.
8. Jeong SH, Kim JS, Shin JW, Kim S, Lee H, Lee AY, Kim JM,etal.: Decreased serum
vitamin D inidiopathic benign paroxysmal positional vertigo. J Neurol 2013;
260:832–8.
9. O’Reilly RC, Elford B, Slater R: Effectiveness of the particle repositioning maneuver
in subtypes of benign paroxysmal positional vertigo. The Laryngoscope 2000; 110:
1385-8.
10. Silva C, Amorim AM,Paiva A. Benign Paroxysmal Positional Vertigo- A Review of
101 Cases. Acta Otorrinolaringol Esp.2015;66(4):205- 209.
11. Bhattacharyya N, Baugh RF, Orvidas L, Barrs D, Bronston LJ, Cass S,et al.: Clinical
practice guideline: benign paroxysmalpositional vertigo.Otolaryngol Head Neck
Surg. 2008:139 (5 suppl 4): S47-81.
12. Silva SN, Karyna MOB, Raysa V, Lidiane M, Ricardo OG. Vertiginous Symptoms
and Objective Measures of Postural Balance in Elderly People with Benign
13. Fife D.T. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. Semin Neurol Journal.
2009;29:500-508.
14. Parnes et al. Diagnosis and Management of Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV). CMAJ. 2003;169 (7): 681-93.
15. DETERMINATION OF NORMATIVE VALUE FOR GANS SOP TEST BY
USING BAL EX FOAM AMONG NORMAL ADULT: PRELIMINARY STUDY
http://eprints.usm.my/37750/1/Syarifah.pdf

Anda mungkin juga menyukai