Anda di halaman 1dari 23

Bencana dan Masalah Kesehatan Mental

Oleh :
Siti Fahriyah Hidayati

210141010207

Masa KKM : 27 Juni – 24 Juli 2022

Penguji :
dr. Ireine S. C. Roosdy, M.Kes, Sp.KJ

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

SMF PSIKIATRI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Refarat yang berjudul :

“Bencana dan Masalah Kesehatan Mental”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada 2022

Oleh :

Siti Fahriyah Hidayati

210141010207

Masa KKM : 27 Juni – 24 Juli 2022

Penguji :

dr. Ireine S. C. Roosdy, M.Kes, Sp.KJ

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................4
LATAR BELAKANG...............................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................6
Tinjauan Pustaka........................................................................................................6
A. Definisi..................................................................................................................6
B. Masalah Kesehatan Mental Pasca Bencana Global...............................................7
C. Masalah Kesehatan Mental Pasca Bencana di Indonesia....................................10
D. Respon Psikiatri terhadap Bencana.....................................................................11
E. Arah dan Pelayanan Konseling Pasca Bencana di Indonesia..............................14
F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penangan Masalah Kesehatan Akibat
Bencana....................................................................................................................16
BAB III........................................................................................................................19
PENUTUP................................................................................................................19
Daftar Pustaka..............................................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kesehatan mental
merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang di
dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan
yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta berperan
serta di komunitasnya.
Berdasarkan data 27 Provinsi dari 33 Provinsi di Indonesia memiliki
indeks rawan bencana pada katagori tinggi. Susilo Bambang Yudhoyono.1
menyebutkan bahwa 80 % persen Kabupaten di Indonesia Rawan Bencana.
Bencana tersebut seperti gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung
meletus, kemarau, angin ribut, angin topan, badai, puting beliung, penyakit
dan lain-lain. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir lebih dari 4.408 kali
bencana terjadi di Indonesia,2 diantaranya gempa bumi sebanyak 71, gempa
bumi yang mengakibatkan tsunami sebanyak 2, letusan gunung berapi
sebanyak 24, tanah langsor sebanyak 469, banjir sebanyak 1.916, banjir
disertai tanah longsor sebanyak 158, kekeringan sebanyak 1.083, angin tofan
sebanyak 580, gelombang pasang sebanyak 105.
Tingginya frekuensi bencana menimbulkan kecemasan, ketakutan,
kerusakan serta kerugian material maupun non-material yang luar biasa.
Bencana mengakibatkan korban merasa cemas, kehilangan kedudukan,
goncangan, depresi (depression), tekanan psikologi (stress) dan trauma.
Akibat lain dari bencana gempa dan tsunami telah pula menyebabkan
kegoncangan psikologis, depresi, stess dan trauma dan berpengaruh terhadap

4
keadaan psikososial, terutama pada anak-anak/siswa. Dari sumber lain
menyebutkan pasca bencana telah menimbulkan masalah kesehatan mental
pasca bencana di antaranya yaitu depresi (depression), kegelisahan (anxiety),
stres dan somatization. Bencana alam dan bencana sosial seperti kebakaran,
gempa bumi, dan kerusuhan meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental
(jiwa). Kondisi ini jika dibiarkan berlarut-larut dapat menimbulkan Post
Traumatic Stress Disorder – PTSD, yang bisa berlangsung sampai dengan
jangka 30 tahun, bahkan dapat berlangsung sepanjang hayat.
Permasalahan kesehatan mental pasca bencana ini, perlu diperhatikan
secara menyeluruh dan perlu pengendalian. Jika tidak hal ini akan
meninggalkan dampak yang serius terhadap seluruh aspek kesejahteraan
kehidupan masyarakat. Anggota masyarakat dapat kehilangan gairah hidup,
kehilangan semangat kerja, anak-anak akan kehilangan semangat hidup, putus
asa, dan pada akhirnya mereka akan menjadi generasi yang menjadi beban
masyarakat, kesehatan dan kesejahteraan hidup dapat meningkatkan tahap
kegembiraan, kepuasan dan semangat meneruskan kehidupan. Kondisi ini
perlu penyelesaian sehingga tidak menjadi wabah yang sukar ditangani. Hal
ini sejalan dengan laporan BPP menyebutkan akibat bencana yang terjadi
perlu adanya aktivitas pengendalian kesehatan mental sebelum maupun
sesudah bencana.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Potensi penyebab
bencana diwilayah negara kesatuan Indonesia dapat dikelompokan dalam 3
(tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana
sosial.3
1. Bencana Alam
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor.
2. Bencana non-Alam
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi,
gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
3. Bencana Sosial
Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi
konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.
Sehat (Health) secara umum dapat dipahami sebagai kesejahteraan
secara penuh (keadaan yang sempurna) baik secara fisik, mental, maupun
sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau keadaan lemah. Sedangkan
di Indonesia, UU Kesehatan No. 23/ 1992 menyatakan bahwa sehat adalah
suatu keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial dimana

6
memungkinkan setiap manusia untuk hidup produktif baik secara sosial
maupun ekonomis. World Health Organization, menyatakan bahwa
kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari
individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk
mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan
menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya.
Menurut Karl Menninger, individu yang sehat mentalnya adalah
mereka yang memiliki kemampuan untuk menahan diri, menunjukkan
kecerdasan, berperilaku dengan menenggang perasaan orang lain, serta
memiliki sikap hidup yang bahagia. Saat ini, individu yang sehat mental
dapat dapat didefinisikan dalam dua sisi, secara negatif dengan absennya
gangguan mental dan secara positif yaitu ketika hadirnya karakteristik
individu sehat mental. Adapun karakteristik individu sehat mental
mengacu pada kondisi atau sifat-sifat positif, seperti: kesejahteraan
psikologis (psychological well-being) yang positif, karakter yang kuat
serta sifat-sifat baik/ kebajikan (virtues).4
B. Masalah Kesehatan Mental Pasca Bencana di Global
Efek psikologis dari gempa bumi telah mendapat perhatian yang
meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Studi tentang pasca bencana
menunjukkan bahwa banyak korban cenderung menunjukkan respons gejala
yang signifikan secara klinis sebagai konsekuensi dari paparan peristiwa yang
membuat stres, tingkat kehilangan, disorganisasi sosial, dan kurangnya
dukungan masyarakat.
Di Jepang, gempa bumi Hanshin Awaji terjadi pada pertengahan
musim dingin tahun 1995, dengan kekuatan 7,2 skala Richter yang tercatat.
Ini mempengaruhi 3,5 juta orang dan lebih dari 20 kota besar dan kecil di
barat daya prefektur Hyogo dan daerah sekitarnya. Jumlah akhir kematian
akibat gempa naik menjadi sekitar 6.500. Setelah gempa Kato et al. menilai
frekuensi gejala pasca-trauma jangka pendek di antara sekelompok
pengungsi.5 Sebanyak 142 orang di bawah usia 60 tahun dan orang tua dari

7
tempat penampungan darurat yang telah tinggal di daerah dekat pusat gempa
dinilai menggunakan skala gejala pasca trauma. Ini dilakukan selama minggu
ketiga setelah gempa. Kelompok terlindung lain dari 123 subjek muda dan tua
dari komunitas yang sama dinilai pada minggu kedelapan. Hasil dari
kelompok pertama menemukan bahwa subyek dari kedua kelompok umur
mengalami gangguan tidur, depresi, hipersensitivitas dan lekas marah. Pada
kelompok kedua, persentase subjek yang lebih muda yang mengalami gejala
tidak menurun, sedangkan subjek yang lebih tua menunjukkan penurunan
yang signifikan pada sebagian besar gejala.
Psikiatri bencana di Asia tetap relatif tidak aktif sampai tahun 1980 -
an. Salah satu alasan untuk ini dapat ditemukan dalam stigma yang melekat
pada masalah kesehatan mental di negara -negara Asia. Kegiatan psikiatri atau
kesehatan mental menerima pengakuan rendah dan tidak mendapat dukungan
dari masyarakat umum. Masalah kesehatan mental sering disebut dengan
‘kesurupan’. Individu enggan mengungkapkan masalah emosional atau
psikologis mereka kepada orang lain terutama setelah mengalami trauma
mental. Perilaku ini menyebabkan korban dan keluarga mereka enggan
mencari perawatan kesehatan mental. namun, tren ini mulai berubah selama
dekade terakhir. Bencana kesehatan mental telah berkontribusi dalam berbagai
cara untuk mengurangi stigma yang melekat pada psikiatri di beberapa negara
Asia.6
Penelitian dari Glorisa dkk. secara umum, mengkonfirmasi studi
bencana lainnya yang telah melaporkan bahwa timbulnya depresi, kecemasan
umum, dan gangguan stres pasca-trauma secara signifikan lebih umum di
antara mereka yang terkena bencana daripada di antara yang tidak terpapar.
Peningkatan gangguan terkait stres ini pada orang yang terpapar menunjukkan
bahwa stres bencana meningkatkan morbiditas mental populasi ini, setidaknya
ketika dievaluasi secara retrospektif.7
Penelitian di Nepal mengukur kesehatan mental dan psikososial
masalah di antara sampel perwakilan populasi yang terkena dampak gempa

8
bumi 2015. Ditemukan perkiraan yang lebih tinggi untuk depresi (34%),
kecemasan (34%), ide bunuh diri (11%) dan penggunaan alkohol yang
berbahaya (20%). Singkatnya, penelitian ini menunjukkan peningkatan tingkat
tekanan psikologis di antara sebagian besar populasi yang terkena dampak
gempa bumi Nepal 2015 dan sebagian kecil yang mengalami masalah
kesehatan mental dan psikososial yang lebih parah.8
Salah satu dampak kesehatan mental dari bencana adalah terjadinya
depresi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cenat dan Xusurvivors
gempa tertekan.9,10 Tanda-tanda yang menunjukkan depresi pada korban
gempa, antara lain; ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan dan
kehilangan minat dalam melakukan aktivitas sehari-hari.11 Beberapa faktor
yang mempengaruhi depresi pada korban gempa adalah jenis kelamin dan
usia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Xu et al. (2018) menunjukkan
bahwa tingkat depresi pada anak perempuan lebih tinggi daripada anak laki-
laki, dan anak usia 15 hingga 17 tahun memiliki risiko 1,87 hingga 2,12 kali
lebih besar untuk mengalami depresi dibandingkan anak usia 12 hingga 14
tahun.12 Selanjutnya, Donget al. dan Chen dkk. menyatakan salah satu
kelompok yang mudah tertekan setelah mengalami gempa adalah anak-anak
dan ibu hamil.13,14
Masyarakat yang menjadi korban bencana alam mengalami gangguan
stres pasca trauma (PTSD)8,4,5,9,3. Beberapa faktor penyebab PTSD pada
korban bencana alam seperti usia, jenis kelamin, lokasi tempat tinggal, strategi
koping yang digunakan, status pengangguran, tingkat pendidikan, dan
pengalaman berduka.15–18 Pengalaman anak yang merasa tidak bisa lepas dari
bencana dan mengalami kepanikan, ketakutan yang ekstrim, dan terjebak
dalam waktu yang lama menjadi faktor pendukung terjadinya PTSD. 19 Selain
itu, Baral dan Bhagawati meneliti 2019 dan menemukan bahwa strategi
maladaptive coping yang digunakan oleh korban gempa meningkatkan
kejadian PTSD pada korban bencana.20 Penelitian yang dilakukan oleh
Gissirardottri et al. dan Carolina dkk. menemukan bahwa masyarakat yang

9
tinggal di daerah yang terkena badai lebih mungkin mengalami PTSD
daripada orang yang tinggal jauh dari daerah yang terkena badai 21 Xiao et al.
juga menjelaskan bahwa remaja yang berduka yang memiliki aturan praktis
berisiko mengalami PTSD14.22
Cvetkovic juga melaporkan ketakutan merupakan dampak psikologis
tertinggi yang dialami oleh para korban di tiga wilayah yang diteliti,
kekeringan, gempa bumi, dan kejadian wabah penyakit merupakan bencana
alam yang paling ditakuti oleh korban bencana.13 Chadha dkk dalam
penelitiannya menemukan sebanyak 10% korban gempa memiliki keinginan
untuk bunuh diri9

C. Masalah Kesehatan Mental Pasca Bencana di Indonesia


Setelah terjadinya bencana, banyak masalah-masalah kesehatan mental
yang muncul. Tingkat masalah sangat beragam, tergantung bentuk dan jenis
bencana yang terjadi, berikut beberapa masalah kesehatan mental berdasarkan
hasil penelitian, diantaranya.
Hasanuddin pada tahun 2005 melaporkan data tentang kumpulan
terjadinya Gangguan Stress Pasca-trauma (GSPT) yaitu trauma khusus, akibat
bencana alam (3,7% laki-laki, 5,4% wanita), korban pembunuhan (1.8%
lakilaki, 21,8% wanita), peperangan (38% lakilaki, 18% wanita), rogol
(40,5% laki-laki, 65% wanita). Secara umum 10-20% dari orang yang terkena
trauma akan berkembang menjadi GSPT.23
Trauma Center 2005 melaporkan jumlah klien stres pasca-trauma yang
melanda Lhokseumawe. mencapai 473 orang, dengan jumlah klien tiap bulan
sebagai berikut: Januari sebanyak 63 orang, Februari 72 orang, Maret 55
orang, April 35 orang, Mei 25 orang, Juni 26 orang, Juli 47 orang, Agustus 28
orang, September 42 orang, Oktober 42 orang, November 18 orang dan
Desember sebanyak 20 orang, di mana klien yang tidak mengunjungi tahun
2005 sebanyak 175 orang (37%) (Laporan Trauma Center Lhokseumawe.,
2005).24

10
Pada tahun yang sama, Dharmono dkk menjalankan penelitian tentang
Gangguan Stres pasca Trauma terdapat sekitar 10-20% yang mengalami
gangguan mental berarti seperti gangguan tekanan pascatrauma, gangguan
depresi, gangguan panik, dan berbagai gangguan anxietas terkait.25
Seterusnya Nandang Rusmana (2008) menjalankan kajian dan hasil
kajian yang dijalankan melalui instrumen kriteria diagnostik PTSD diperolehi
gambaran 77,1% pelajar MI masih dibayangi oleh peristiwa traumatik, 46,7%
berfikir negatif, 33,3% merasa tidak berdaya, 34,8 % mempunyai masalah
emosional dan 22,9%, mengasingkan diri, dan 16,7% lain merasa harapan
masa depan rendah. 22,4% pelajar MTs merasa masih dibayangi oleh
peristiwa traumatik, 18,1% berfikir negatif, 14,3% merasa tidak berdaya,
10,5% mempunyai masalah emosional, 9% mengasingkan diri, dan 8,6 % lain
merasa harapan masa depan rendah.
Seterunya Hidayat (2009), melaporkan dari hasil pemeriksaan
terhadap 50 pengungsi kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat sekitar
15% (30 orang) mengalami stress akut. Memang hasil pemeriksaan ini tidak
dapat mewakili kondisi mental korban secara keseluruhan, namun jumlah
tersebut dapat menunjukkan situasi mental yang buruk akibat gempa bumi.26
D. Respon Psikiatri terhadap Bencana
Reaksi masyarakat dan individu terhadap bencana biasanya mengikuti
fase yang dapat diprediksi,fase heroik, fase bulan madu, fase kekecewaan dan
fase pemulihan. Segera setelah bencana, para korban yang selamat di
masyarakat biasanya menunjukkan perilaku altruistik dalam bentuk
menyelamatkan, melindungi, memberi makan, dan mendukung sesama
manusia. Karenanya fase ini disebut fase heroik. Fase ini biasanya
berlangsung dari hari ke minggu tergantung pada tingkat keparahan, durasi
paparan dan ketersediaan sumber bantuan dari berbagai lembaga. Begitu
badan bantuan turun tangan, para korban dipindahkan ke tempat yang lebih
aman seperti kamp penampungan. Perhatian media, bantuan medis gratis,
makanan dan tempat tinggal gratis, kunjungan VIP ke kamp, simpati

11
administrasi, paket kompensasi, janji rehabilitasi memberikan rasa lega yang
luar biasa dan keyakinan pada para penyintas bahwa komunitas mereka akan
dipulihkan dalam waktu singkat dan kehilangan mereka akan segera pulih.
diperhitungkan melalui manfaat moneter. Karenanya fase ini disebut fase
bulan madu, yang biasanya berlangsung selama 2-4 minggu.27
Pada akhir 2-4 minggu, terhentinya bahan dan sumber bantuan. Tidak
ada lagi kunjungan VIP dan politisi. Liputan media berkurang. Keterlibatan
pemerintah, lembaga bantuan dan LSM mulai memudar. Ini membawa para
korban ke dunia kehidupan pasca bencana yang kejam. Realitas proses
pembangunan dan rehabilitasi yang kompleks tampak seperti mimpi yang jauh
karena kendala administrasi, tapisme merah birokrasi, diskriminasi,
ketidakadilan dan korupsi. Realitas pahit dari fase kekecewaan ini menjadi
potensi untuk berkembangnya morbiditas mental yang berlangsung selama 3-
36 bulan sebelum komunitas kembali ke harmoni. Peran petugas kesehatan
mental sangat besar selama fase ini.27
Potensi efek bencana pada kesehatan mental populasi yang terkena
sangat bervariasi, mulai dari dari tekanan psikologis minimal dan cepat hingga
parah atau gangguan yang dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah
peristiwa.28 Dalam menit dan jam setelah peristiwa yang berpotensi traumatis,
dapat terjadi reaksi akut dan tidak stabil dan biasanya melibatkan salah satu
atau semuanya yaitu kecemasan, depresi, agitasi, kemarahan, keputusasaan,
syok, penarikan diri, hiperaktif, konversi, dan disosiasi.29 Dalam beberapa hari
dan sehari hari setelah paparan, respons akut awal ini digantikan dengan
gejala yang mirip dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD) dan depresi,
hampir semua korban yang selamat menunjukkan beberapa gejala PTSD
secara khususnya.
Menurut World Health Organization (WHO), maladaptasi psikologis
terhadap stres akibat bencana meliputi gangguan mental dan tekanan
psikologis ringan, sedang, dan berat.15 WHO memperkirakan bahwa pada
populasi umum di seluruh dunia, prevalensi dasar gangguan mental ringan

12
sampai sedang dan berat masingmasing sekitar 10% dan 2% sampai 3%.
WHO memperkirakan bahwa setelah bencana tingkat prevalensi keseluruhan
umum untuk gangguan mental ringan sampai sedang dan berat dapat
meningkat menjadi 20% dan 3% sampai 4% dari populasi yang terkena
dampak, masing-masing. Sebagaimana dicatat di bawah, tingkat ini mungkin
lebih tinggi pada populasi yang terkena dampak tsunami Asia.
Sebagian besar bencana menghasilkan setidaknya kerusakan
psikologis sedang dari penduduk yang terkena dampak. Masalah terkait
remaja bervariasi dengan usia dan di antara anak-anak yang lebih muda
termasuk peningkatan ketergantungan, perilaku agresif, hiperaktif, dan
kecemasan perpisahan, sementara pada remaja mungkin ada peningkatan
perilaku yang biasanya terkait dengan kelompok usia ini serta perilaku
menyimpang dan nakal.
Masalah psikologis spesifik, yang diidentifikasi pada 74% sampel,
mewakili serangkaian hasil yang paling sesuai dengan gangguan mental
seperti yang didefinisikan oleh WHO. Termasuk gejala stres pasca trauma,
depresi, kecemasan, dan masalah kejiwaan lainnya, serta kondisi spesifik
PTSD, gangguan depresi mayor (MDD), gangguan kecemasan umum, dan
gangguan panik. Gangguan minimal atau sedang yang menunjukkan stres
berkepanjangan diamati pada 61% individu, dan gangguan parah atau sangat
parah, pada 29% individu. Secara umum, gangguan parah dan sangat parah
cenderung dikaitkan dengan bencana yang melibatkan kekerasan massal,
sedangkan sebagian besar bencana alam dikaitkan dengan gangguan sedang.
WHO memperkirakan korban tsunami Asia memiliki prevalensi tekanan
psikologis berada di urutan 50% hingga 90%, dengan sekitar 20% hingga 40%
diperkirakan menderita tekanan ringan dan 30% hingga 50 % diperkirakan
menderita distres sedang hingga berat.30
Orang dengan PTSD biasanya menunjukkan gejala seperti mengulang
peristiwa traumatis, perilaku menghindar, dan mimpi buruk. Kondisi
psikologis korban dengan perasaan berkabung dalam jangka panjang dapat

13
terjerumus pada kondisi depresi yang menyebabkan masyarakat merasa putus
asa dari segala jerih payah apapun yang tidak membawa perubahan dalam
hidupnya. Individu yang mengalami depresi akan tertarik pada hal-hal yang
disukainya sebelum mengalami peristiwa traumatis. Individu juga
mengembangkan perasaan yang sebenarnya, perasaan bersalah, menyalahkan
diri sendiri dan merasa bahwa peristiwa yang terjadi adalah kesalahannya. Hal
ini terjadi karena korban tidak dapat mengelola masalah yang terjadi;
Sehingga, beberapa korban bencana alam memiliki perasaan putus asa dan
tidak ingin melanjutkan hidupnya serta memiliki keinginan untuk bunuh diri
karena beban berat yang ditanggung. Masalah psikologis yang dialami oleh
korban bencana alam erat kaitannya dengan strategi coping. Gunakan strategi
koping adaptif yang dapat membantu mengurangi masalah psikologis dan
mengarahkan orang ke perilaku adaptif.31
E. Arah dan Pelayanan Konseling Pasca Bencana di Indonesia
Keterlibatan konselor pasca bencana di Indonesia kalau dirata-ratakan
dapat dikatagorikan masih rendah.32 Dengan besarnya jumlah bencana dan
luasnya daerah serta kurangnya konselor di Indonesia, menjadikan dasar
minimnya keterlibatan konselor, namun demikian berdasarkan laporan
penyelenggaraan konseling trauma tiap tahun semakin meningkat.33,34 Lebih
lanjut Sunardi menyebutkan bahwa kepedulian profesi konseling terhadap
individu yang mengalami trauma, sebenarnya bukan hal yang baru, walaupun
untuk kasus di Indonesia masih termasuk modus baru, seiring dengan
banyaknya korban yang mengalami trauma sebagai dampak terjadinya
bencana, konflik, dan aksi-aksi kekerasan lainnya.35
Keterlibatan konselor dan organisasi konseling dalam melakukan
pelayanan membantu korban pasca bencana, diawali dengan bencana tsunami
besar yang terjadi Aceh pada tahun 2004.33 Dalam laporan menyebutkan pasca
tsunami Aceh akhir tahun 2004 Prof. Dr. Prayitno dari UNP bersama timnya
pada minggu kedua mengunjungi daerah bencana di Banda Aceh dan
memberikan layanan - layanan konseling di tenda-tenda darurat.33 Beberapa

14
bulan kemudian tim LPTK Indonesia (antara lain UNP, UM, UNNES, UPI)
juga mengirim konselor ke daerah bencana tersebut untuk melakukan
penanganan permasalahan psikologis pasca bencana di sana.
UNP (2010), melaporkan selama kegiatan traumatik konseling telah
melibatkan para konselor, para dosen bk, mahasiswa Pendidikan Profesi
Konselor, mahasiswa BK, guru pembimbing, dosen PLS, dosen PGPaud,
dosen psikologi, mahasiswa psikologi dan yang lainnya. Lebih lanjut UNP
(2010) pasca gempa 30 September 2009, UNP telah mengirimkan konselor,
mahasiswa PPK dan Mahasiswa BK ke 50 lokasi korban bencana gempa di
kabupaten/kota yang tersebar di Sumatera Barat.34 Ifdil (2010) pasca bencana
gunung merapi meletus tahun 2010, para petinggi Ikatan Konselor Indonesia
(IKI) Jawa Tengah, bersama dengan calon konselor Mahasiswa PPK UNNES
bahu-membahu menyiapkan tim yang akan turun ke lokasi bencana untuk
melakukan Konseling Trauma Merapi. Konseling Trauma Merapi ini
dilakukan dalam upaya untuk mengatasi kondisi KES-T itu tidak boleh
berlarut-larut dan harus segera diatasi.32
Pelayanan konseling pasca bencana, dapat dilakukan dalam menangani
masalah kesehatan mental. Masalah kesehatan mental pasca bencana merujuk
kepada kemampuan berfikir yang baik yaitu pemikiran yang rasional serta
kemampuan untuk mengentaskan masalah. WHO menyebutkan bahwa mental
yang sehat meliputi keupayaan individu berfikir dan bertindak positif, bergaul
secara sehat dan mampu mengendali masalah dan tekanan kehidupan sehari-
hari secara sadar.
Prayitno (2010) menyebutkan secara umum tahapan pelayanan
konseling pasca bencana mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (1)
Mengidentifikasi variasi dan intensitas permasalahan yang (dapat)
mengakibatkan trauma dan menimbulkan gangguan terhadap KES (Effective
Daily Living) sehingga menjadikan KES-T (Kehidupan Efektif sehari-
hari ;Terganggu) yang dialami oleh peserta didik, pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua, dan warga masyarakat umumnya. (2) Memberikan

15
pelayanan konseling untuk mengatasi trauma dan kondisi KES-T tersebut
pada nomor (1), sesuai dengan kondisi permasalahan masing-masing pihak
terkait. (3) Mengkondisikan berlangsungnya kembali proses pembelajaran dan
kehidupan yang kondusif dengan melibatkan peserta didik, pendidik dan
tenaga kependidikan dengan dukungan orang tua tersebut pada nomor 1. dan
nomor 2, serta kelembagaan umum dan unit sosial kemasyarakatan terkait.36
Secara khusus masalah-masalah yang mengganggu keefektifan
kehidupan sehari-hari pasca bencana merupakan masalah-masalah kesehatan
mental diantaranya yaitu depresi (depression), kegelisahan (anxiety), Stres
(Stress) dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Arah penyelenggaraan pelayanan konseling pasca bencana mencakup
pengentasan masalah kesehatan mental pasca bencana yaitu depresi
(depression), kegelisahan (anxiety), Stres (Stress) dan Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD). Konseling yang dilakukan yaitu terentasnya permasalahan
kesehatan mental pasca bencana dengan berbagai pendekatan dapat dilakukan.
Sunardi (2007) menyebutkan beberapa metode dan pendekatan yang dapat
diselenggarakan dalam pelayanan secara umum dikenal diantaranya terapi
tingkah laku, art therapy, relaksasi, desentisisasi sistematis, cognitive therapy,
group support therapy, dan expressive therapy, play tehrapy, reality therapy,
defusing, dan debriefing, dan coping stress.35 Pemilihan pendekatan
konseling disesuaikan dengan jenis bencana dan masalahnya.

F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penanganan Masalah Kesehatan


Akibat Bencana
1. Kesadaran dan Pengakuan akan Kesehatan Mental
Salah satu alasannya dapat ditemukan pada stigma yang melekat pada
masalah kesehatan mental terutama di negara-negara Asia. Kegiatan
psikiatri atau kesehatan mental tidak begitu mendapat perhatian dan tidak
didukung oleh masyarakat umum. Masalah kesehatan mental dipandang
identik dengan bahaya dan kemalasan, dan kesurupan. Individu enggan

16
untuk mengungkapkan masalah emosional atau psikologis mereka kepada
orang lain terutama setelah mengalami trauma mental. Perilaku ini
menyebabkan korban dan anggota keluarganya enggan mencari perawatan
kesehatan jiwa.
Di Filipina profesional kesehatan mental mulai bergabung dengan tim
darurat dan intervensi jangka panjang setelah Gempa Bagio dan letusan
gunung berapi Pinatubo pada 1990-an. Di Jepang, gempa bumi Hanshin
Awaji menandai titik balik populernya PTSD dan kebutuhan akan
perawatan kesehatan mental bagi para korban. Di Cina dan Taiwan juga
ada kesadaran yang berkembang pesat akan kebutuhan untuk mendirikan
psikiatri bencana dan kegiatan kesehatan mental terkait.
2. Kelangkaan Penelitian Tentang Psikiatri Bencana
Jumlah penelitian yang diterbitkan tentang tekanan psikologis terkait
bencana di Asia terbatas. Ini mungkin karena fakta bahwa gagasan
psikiatri bencana atau psikiatri terkait stres tidak diakui dengan baik.
Baru-baru ini, bagaimanapun, peningkatan jumlah makalah yang berkaitan
dengan PTSD dan psikiatri bencana telah muncul di Jepang, Cina dan
Filipina.

3. Kebutuhan akan Kriteria Diagnostik Standar dan Alat Diagnostiknya


Gangguan stres pasca-trauma adalah bagian dari berbagai reaksi
psikologis terhadap bencana. Manifestasi kesehatan mental yang paling
umum termasuk kecemasan, insomnia dan depresi. Terdapat perbedaan
besar antara ICD-10 dan DSM-IV untuk kriteria diagnosis PTSD. Para
peneliti juga menemukan bahwa penggunaan kriteria DSM-III-R
menghasilkan frekuensi PTSD yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan DSM-IV. Kriteria seragam diagnosis DSM-IV untuk PTSD
direkomendasikan untuk penyelidikan lebih lanjut.
4. Peran Intervensi Dini dan Dukungan Untuk Mengurangi Efek Samping

17
Beberapa penelitian di Asia menunjukkan pentingnya dukungan pasca
bencana sebagai faktor kunci dalam pengurangan PTSD di antara korban
bencana. Prevalensi PTSD yang relatif rendah dibandingkan dengan di
negara lain (Meksiko, Azerbaijian, dll.) dapat dikaitkan dengan ikatan
keluarga dan komunitas yang kuat, ekspresi konten psikologis yang lebih
rendah, dan kecenderungan somatisasi distres.
5. Peran Diagnosa PTSD dalam Mengurangi Stigma Masalah Kesehatan
Mental
Gangguan stres pasca-trauma dianggap sebagai diagnosis langka
karena tidak memiliki stigma yang terkait dengan diagnosis psikiatri
lainnya. Penggunaan PTSD secara luas telah berkontribusi pada
penurunan stigma yang melekat pada penyakit mental pascabencana di
Jepang dan di Pinus Philip. Ini mungkin juga berlaku untuk negara-negara
Asia lainnya

18
BAB III

PENUTUP

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang
disadari individu, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk
mengelola stres kehidupan yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan
menghasilkan, serta berperan serta di komunitasnya.

Potensi efek bencana pada kesehatan mental populasi yang terkena sangat
bervariasi, mulai dari dari tekanan psikologis minimal dan cepat hingga parah atau
gangguan yang dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah peristiwa.5 Dalam
menit dan jam setelah peristiwa yang berpotensi traumatis, dapat terjadi reaksi akut
dan tidak stabil dan biasanya melibatkan salah satu atau semuanya yaitu kecemasan,
depresi, agitasi, kemarahan, keputusasaan, syok, penarikan diri, hiperaktif, konversi,
dan disosiasi. Pelayanan konseling pasca bencana, dapat dilakukan dalam menangani
masalah kesehatan mental. Masalah kesehatan mental pasca bencana merujuk kepada
kemampuan berfikir yang baik yaitu pemikiran yang rasional serta kemampuan untuk
mengentaskan masalah.

19
Daftar Pustaka

1. Susilo Bambang Yudhoyono. 80 Persen Kabupaten Di Indonesia Rawan


Bencana. 2012; Tersedia pada: ttp://setkab.go.id/berita-6133-80-
persen_kabupaten-di-indonesia-rawan-bencana. html

2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Statistik Bencana. 2010; Tersedia


pada: www.bnpb.go.id

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pengaggulangan Bencana.


2004.

4. Loewenthal K. Religion, Culture and Mental Health [Internet]. 1 ed. Cambridge


University Press; 2006 [dikutip 20 Juli 2022]. Tersedia pada:
https://www.cambridge.org/core/product/identifier/9780511490125/type/book

5. Kato H, Asukai N, Miyake Y, Minakawa K, Nishiyama A. Post-traumatic


symptoms among younger and elderly evacuees in the early stages following the
1995 Hanshin-Awaji earthquake in Japan. Acta Psychiatr Scand. Juni
1996;93(6):477–81.

6. KOKAI M, FUJII S, SHINFUKU N, EDWARDS G. Natural disaster and


mental health in Asia. 2004;

7. Canino G, Bravo M, Rubio-Stipec M, Woodbury M. The Impact of Disaster on


Mental Health: Prospective and Retrospective Analyses. International Journal of
Mental Health. Maret 1990;19(1):51–69.

8. Kane JC, Luitel NP, Jordans MJD, Kohrt BA, Weissbecker I, Tol WA. Mental
health and psychosocial problems in the aftermath of the Nepal earthquakes:
findings from a representative cluster sample survey. Epidemiol Psychiatr Sci.
Juni 2018;27(3):301–10.

9. Chadda RK, Malhotra A, Kaw N, Singh J, Sethi H. Mental Health Problems


following the 2005 Earthquake in Kashmir: Findings of Community-Run
Clinics. Prehosp Disaster med. Desember 2007;22(6):541–5.

10. Cénat JM, Derivois D. Assessment of prevalence and determinants of


posttraumatic stress disorder and depression symptoms in adults survivors of
earthquake in Haiti after 30 months. Journal of Affective Disorders. April
2014;159:111–7.

11. Cheng Y, Li X, Lou C, Sonenstein FL, Kalamar A, Jejeebhoy S, dkk. The


Association Between Social Support and Mental Health Among Vulnerable
Adolescents in Five Cities: Findings From the Study of the Well-Being of

20
Adolescents in Vulnerable Environments. Journal of Adolescent Health.
Desember 2014;55(6):S31–8.

12. Xu W, Yuan G, Liu Z, Zhou Y, An Y. Prevalence and predictors of PTSD and


depression among adolescent victims of the Summer 2016 tornado in Yancheng
City. Archives of Psychiatric Nursing. Oktober 2018;32(5):777–81.

13. Cvetković VM, Öcal A, Ivanov A. Young adults’ fear of disasters: A case study
of residents from Turkey, Serbia and Macedonia. International Journal of
Disaster Risk Reduction. April 2019;35:101095.

14. Dong X, Qu Z, Liu F, Jiang X, Wang Y, Chui CHK, dkk. Depression and its risk
factors among pregnant women in 2008 Sichuan earthquake area and non-
earthquake struck area in China. Journal of Affective Disorders. November
2013;151(2):566–72.

15. Edwards B, Gray M, Hunter B. The Impact of Drought on Mental Health in


Rural and Regional Australia. Soc Indic Res. Maret 2015;121(1):177–94.

16. Gissurardóttir ÓS, Hlodversdóttir H, Thordardóttir EB, Pétursdóttir G,


Hauksdóttir A. Mental health effects following the eruption in Eyjafjallajökull
volcano in Iceland: A population-based study. Scand J Public Health. Maret
2019;47(2):251–9.

17. Hayashi K, Tomita N. Lessons Learned From the Great East Japan Earthquake:
Impact on Child and Adolescent Health. Asia Pac J Public Health. Juli
2012;24(4):681–8.

18. Lian Q, Zuo X, Mao Y, Zhang Y, Luo S, Zhang S, dkk. The impact of the
Wenchuan earthquake on early puberty: a natural experiment. PeerJ. 29 Juni
2018;6:e5085.

19. Lieber M. Assessing the Mental Health Impact of the 2011 Great Japan
Earthquake, Tsunami, and Radiation Disaster on Elementary and Middle School
Children in the Fukushima Prefecture of Japan. Seedat S, editor. PLoS ONE. 18
Januari 2017;12(1):e0170402.

20. Adhikari Baral I, K.C B. Post traumatic stress disorder and coping strategies
among adult survivors of earthquake, Nepal. BMC Psychiatry. Desember
2019;19(1):118.

21. Scaramutti C, Salas-Wright CP, Vos SR, Schwartz SJ. The Mental Health
Impact of Hurricane Maria on Puerto Ricans in Puerto Rico and Florida.
Disaster med public health prep. Februari 2019;13(1):24–7.

21
22. Xiao Y, Liu D, Liu K, Jiang X. Post-traumatic stress disorder and its risk factors
in bereaved Tibetan adolescents 3 years after the 2010 Yushu earthquake, a
cross-sectional study in China. Archives of Psychiatric Nursing. April
2019;33(2):149–54.

23. Hasanuddin A. Gangguan Jiwa setelah Bencana Tsunami,. Depkes RI. 2005;

24. Trauma Centre Lhokseumawe. Laporan Perkembangan Trauma Centre


Kabupaten Aceh Utara, Lhokseumawe. 2005;

25. Dharmono S, Agiananda F, Redayani P, Diatri H. Gangguan Stres pasca Trauma


(panduan Praktis bagi Tenaga Kesehatan),. Departemen Psikiatri FKUI- RSCM,
Jakarta. 2008;

26. Hidayati D, Permana H, et al. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam


Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. 2006;

27. Math SB, Nirmala MC, Moirangthem S, Kumar NC. Disaster Management:
Mental Health Perspective. Indian Journal of Psychological Medicine. Juli
2015;37(3):261–71.

28. Norris FH, Friedman MJ, Watson PJ, Byrne CM, Diaz E, Kaniasty K. 60,000
Disaster Victims Speak: Part I. An Empirical Review of the Empirical
Literature, 1981–2001. Psychiatry: Interpersonal and Biological Processes.
September 2002;65(3):207–39.

29. Shalev AY. Acute stress reactions in adults. Biological Psychiatry. April
2002;51(7):532–43.

30. World Health Organization. Mental Health Assistance to the Populations


Affected by the Tsunami in Asia [Internet]. Tersedia pada: http://www.who.int/
mental_health/resources/tsunami/en/print.html. Accessed July 6, 2005

31. Novia K, Hariyanti T, Yuliatun L. The Impact of Natural Disaster on Mental


Health of Victims Lives: Systematic Review. IJSOC. 12 Juli 2020;2(3):65–85.

32. Ifdil. PPK UNNES Bersama IKI Jawa Tengah Siapkan Diri untuk Konseling
Trauma Merapi. [Internet]. 2010. Tersedia pada: http://konselor.org/ index php?
option=com_content&task=vie w&id=61&Itemid=1

33. UNP. Laporan Pelaksanaan Konseling Trauma di Propinsi Nangroe Aceh


Darusalam. Padang : Jurusan BK FIP UNP. 2005;

34. UNP. Laporan Pelaksanaan Konseling Trauma di Propinsi Sumatera Barat.


Padang: Jurusan BK FIP UNP. 2010;

22
35. Sunardi. Gangguan Stres Pasca Trauma (Post Traumatic Stress Disorder) dalam
Perspektif Konseling. PLB FIP Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
2007;

36. Prayitno. Traumatic counseling For disaster victims. Paper, Internasional


Seminar. Parung: P4TK Penjas dan BK. 2010;

23

Anda mungkin juga menyukai