AO
Struktur Komunitas Ikan
Struktur komunitas merupakan suatu konsep yang mengkaji tentang
komposisi atau susunan spesies dan kelimpahannya dalam komunitas tersebut
(Duwiri 2013), yang dapat dipelajari berdasarkan komposisi, ukuran, dan
keanekaragaman spesies (Masitho 2012). Komunitas merupakan populasi yang
hidup di suatu wilayah tertentu dan saling berinteraksi membentuk suatu tingkat
trofik. Interaksi dalam suatu komunitas membentuk komposisi yang menghasilkan
pola-pola atau struktur komunitas. Struktur komunitas di perairan dapat diamati dari
kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan (Utami 2014). Menurut Schowalter
(1996), terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan
struktur komunitas secara umum yaitu keanekaragaman spesies, interaksi spesies
dan interaksi fungsional
1513
Konsep komunitas berguna untuk menganalisis kondisi suatu wilayah
perairan. Karakteristik dan komposisi komunitas merupakan parameter yang sangat
baik untuk mengindikasikan kondisi lingkungan dan status ekologi komunitas ikan
yang berhubungan dengan kestabilan ekosistem (Krebs 1989 dalam Ungaro et al,
1998). Penggunaan kurva perbandingan kelimpahan dan biomassa (kurva abc) serta
indeks-indeks ekologi memiliki peranan yang penting dalam mengevaluasi dampak
perikanan dan tekanan lingkungan (Rice 2000). Jumlah suatu komunitas memiliki
hubungan yang erat dengan keanekaragaman kehidupan yang dapat diukur dari
keanekaragaman hayati (Kottelat et al. 1993 dalam Gonawi 2009)
Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara makhluk hidup
dari semua sumber yang mencakup daratan dan lautan (Undang-undang No. 5 tahun
1994). Keanekaragaman merupakan hubungan antara jumlah spesies dan jumlah
individu masing-masing spesies yang ada di dalam suatu komunitas (Kottelat et al.
1993). Keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal
yaitu pemangsaan dan persaingan antara spesies (Odum 1996). Suatu lingkungan
yang stabil dicirikan dengan kondisi yang seimbang dan mengandung kehidupan
yang beranekaragam tanpa ada suatu spesies yang dominan. Lingkungan perairan
yang seimbang dapat dievaluasi dengan menggunakan indeks keanekaragaman
2.4jenis (H'), keseragaman (E'), dan dominansi (C") berdasarkan kondisi biologi
(Odum 1996).
Indeks keanekaragaman (H) dapat diartikan scbagai suatu penggambaran
secara sistematis yang menggambarkan struktur komunitas dan dapat memudahkan
proses analisis informasi mengenai jenis dan jumlah organisme. Keanekaragaman
komunitas merupakan komunitas biologi yang berbeda serta asosiasinya dengan
lingkungan fisik (ekosistem) masing-masing (Indrawan et al. kons). Selain itu,
keanekaragaman dan keseragaman biota dalam suatu perairan sangat tergantung
pada banyaknya spesies dalam komunitasnya. Semakin banyak jenis yang
ditemukan maka keanekaragaman akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat
tergantung pada jumlah individu masing-masing jenis (Willhm and Doris 1986).
Nilai indeks keanekaragaman tergantung dari variasi jumlah individu tiap spesies
maka keanekaragaman suatu ekosistem akan semakin kecil, dan jika semakin besar
jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies, maka keanekaragaman
suatu ekosistem tersebut akan semakin besar (Sriwidodo 2013).
Menurut Krebs (1972) bahwa semakin banyak jumlah anggota individunya
dan merata maka indeks keanekaragaman juga akan semakin besar. Indeks
keanekaragaman ikan pada suatu sungai menggambarkan adanya kekayaan ikan di
awasan sungai tersebut, Indeks keanekaragaman jenis ikan merupakan nilai tunggal
yang mencerminkan karakteristik dari hubungan suatu kelimpahan individu di
antara spesies dalam komunitas sumber daya ikan (Ludwig and Reynold 1988
dalam Suprapto 2014). Indeks keanekaragaman jenis yang biasa banyak
dipergunakan adalah Indeks Shannon-Wiener (Odum 1996 dalam Suprapto 2014).
Indeks keseragaman (E) merupakan pendugaan yang baik untuk
menentukan dominansi dalam suatu area. Indeks keseragaman adalah komposisi
tiap individu pada suatu spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Apabila satu
atau beberapa jenis melimpah dari jenis yang lain, maka indeks keseragaman akan
rendah (Leviton 1982 dalam Insafitri 2010). Jonathan (1979) menyatakan
bahwaiika nilai indeks kerseragaman lebih dari 0,7 mengindikasikan derajat
keseragaman komunitasnya inggi. Satu jenis atau kelompok jenis yang
mengendalikan suatu komunitas disebut kelompok dominan (Smith 1990).
Indekskemerataan yang rendah dapat disebabkan oleh adanya satu atau beberapa
jenis
yang mempunyai jumlah individu lebih banyak dibanding jumlah individu dari
jenis lainnya yang disebut dengan kelompok dominan. Dominansi jenis sering
terjadi karena beberapa hal seperti kompetisi makanan oleh jenis tertentu yang
disertai dengan perubahan kualitas lingkungan, tidak seimbangnya predator dan
mangsa sehingga terjadi kompetisi antar jenis (Nurudin 2013). Nilai indeks
dominansi mendekati satu apabila komunitas didominasi oleh jenis spesies tertentu
dan jika indeks dominasi mendekati nol maka tidak ada jenis atau spesies yang
mendominasi (Odum 1996 dalam Munadar 2016)
Habitat suatu perairan dapat menentukan keanekaragaman dan kelimpahan
ikan. Karakteristik habitat sungai sangat dipengaruhi oleh kecepatan aliran sungai.
Kelimpahan jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yaitu fluktuasi
air dan kondisi pH perairan (Towsnsend et al. 1983). Hal-hal yang dapat
mengganggu struktur komunitas dan merubah kualitas lingkungan perairan antara
lain pencemaran air dan tata guna lahan di sepanjang DAS (Michael 1994).
Berbagai aktivitas manusia dapat mengurangi keanekaragaman jenis dalam suatu
komunitas, Perubahan dalam jumlah signifikan jenis ikan merupakan bukti nyata
bah wa komunitas dapat digunakan sebagai indikator terhadap pencemaran perairan
(Kovacs 1992).
2
FAKTOR LINGKUNGAN
PC
2.5
Faktor Fisik-1 Kimiawi Perairan Sungai
moX mnalab
72
Distribusi populasi dan jenis ikan dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimiawi
suatu perairan. Faktor-faktor fisik dan kimiawi yang mempengaruhi kualitas
perairan sungai diantaranya, yaitu suhu, kecerahan air derajat keasaman (pH),
salinitas, oksigen terlarut, Chemical Oxygen Demand (COD), dan Total Disolved
Solid (TDS)
2.5.1 Suhu
TE
Suhu merupakan faktor utama lingkungan ekosistem akuatik yang menjadi
faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran hewan. (Michael 1994
dalam Siagian 2009) mutlak dilakukan. Pola suhu ekosistem akvatik dipengaruhi
oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
24/
12
dengan udara sckelilingn ya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi)
dari pepohonan yang tumbuh di tepian (Barus 2004). Peningkatan suhu air akan
memepengaruhi reaksi kimia dan berhubungan dengan penurunan kualitas air dan
status ekologi air tawar (Whitehead et al. 2009).
Variasi uhu yang cukup besar pada suatu perairan dapat memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap berbagai aktivitas metabolisme organisme
yang tinggal di dalamnya (Maniagasi 2013). Organisme akuatik memiliki kisaran
suhu tertentu yang berdampak bagi pertumbuhannya (Wijaya 2009). Secara umum
kenaikan uhu perairan akan mengakibatkan kenaikan aktivitas isiologis
organisme (Asdak 1995). Ikan sebagai hewan ektodermal (poikilotermaD), sangat
bergantung pada suhu. Setiap jenis ikan diketahui memiliki kisaran suhu optimal
yang berbeda-beda dimana pada suhu tertentu ikan umbuh secara maksimal.
Perubahan uhu akan mengakibatkan perubahan dalam metabolisme, proses
distribusi, masa berkembang biak dan lain-lain (Juliardi 2014). Kisaran suhu
optimal bagi kehidupan ikan di perairan tropis adalah antara 28 oC-32 oC (Kordi
dan Baso 2010). sun sudobnar usne iegalr dslo ldonogasqib amlitast tb qul
(
2.5.2 K ecerahan Air
◦ Tingkat kecerahan di perairan merupakan suatu kondisi yang menunjukkan
kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu.
Kecerahan dalam perairan merupakan ukuran transparansi yang dapat diukur
menggunakan Secchi disk (Effendi 2000). Tingkat kecerahan sangat dipengaruhi
oleh kekeruhan perairan tersebut, Semakin tinggi kekeruhan perairan tersebut,
maka penetrasi cahaya yang masuk ke kolom air akan semakin rendah, sehingga
tingkat kecerahannya rendah (Mujito et al, 1997). Bagian hulu sungai cenderung
aliran airya jernih karena berasal dari mata air. Bagian hilir sungai cenderung
keruh karena banyak materil yang tersuspensi larut dan terlarut dalam air tersebut
(Moyle dan Cech 1988).
5]
TEG
Kecerahan merupakan salah satu faktor pembatas dalam kehidupan ikan.
Produktivitas ikan pada sungai juga dipengaruhi oleh cahaya. Menurut Landau
(1992) jika intensitas cahaya menurun maka akan mempengaruhi prosesfotosintesis
dalam suatu perairan yang men yebabkan jumlah plankton mengalami
penurunan dan mengakibatkan keterbatasan nutrisi bagi ikan. Intensitas cahaya
matahari juga mempengaruhi produktivitas primer, dimana jika intensitas cahaya
matahari berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat schingga oksigen
dalam suatu perairan yang dibutuhkan organisme akuatik untuk metabolisme
berkurang (Barus 2004).
2.5.3 Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu perairan.
Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa tingkat keasaman atau kebasaan
suatu peraian. Perairan dengan nilai pH= 7 adalah netral, pH < 7 dikatakan kondisi
perairan bersifat asam, sedangkan pH> 7 dikatakan kondisi bersifat basa (Effendi
2003). Derajat keasaman pH merupakan salah satu parameter yang penting dalam
memantau kestabilan perairan. Perubahan nilai pH di suatu perairan akan
mempengaruhi kehidupan biota, karena tiap biota memiliki batasan tertentu
terhadap nilai pH yang bervariasi (Simanjuntak 2012). Ketahanan organisme yang
hidup di perairan dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya nilai pH di perairan
tersebut (Odum 1993).
Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya
sebesar 7 - 8,5. Kisaran derajat keasaman yang baik untuk kehidupan ikan adalah
5-9. Ikan tidak dapat hidup pada
neunlir nrlnqutorf nitinton mneleb naretsoo
air yang asam dengan derajat keasaman dibawah 4 (Jobling 1994).
on
eo
enin
2.5.4 Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen )
Dissolved Oxygen atau oksigen terlarut merupakan salah satu faktor yang
sangat penting dalam ekosistem akuatik terutama untuk proses respirasi bagi
sebagian besar organisme (Herlina 2008). Oksigen terlarut adalah salah satu unsur
pokok pada proses metabolisme suatu organisme akuatik, terutama dalam proses
respirasi. Nilai DO menyatakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan
dan dinyatakan dalam mgL-". Kelarutan oksigen diperairan dipengaruhi oleh suhu,
dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 0C, yaitu sebesar 14,16
mgL.1tksigeh . Dengah pehingkatah wohi akan menyebabkan konsentrasi oksigen
menuruh dat jika suhiu semakin rendah maka kelarutan oksigen akan meningkat
(Odum 1906)
fkah merupakan salah satu jenis biota air yang membutuhkan oksigen
terlarit dengnh jumlah yang cukup banyak. Menurut Effendi (2003), keadaan
herniran dengan kadat oksigen yang rendah berbahaya bagi organisme akuatik
Semakin rendah kadar oksigen terlarut, semakin tinggi toksisitas (daya racun)
temhaga. timbal, sianida, hidrogen sulfida dan amonia. Perairan yang baik untuk
organisme akuatik sebaiknya memiliki kadar oksigen tidak kurang dari 5 mgL'
Kadar oksigen terlarut kurang dari 4 mgl' dapat menyebabkan efek kurang
menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik, sedangkan kadar oksigen
kurang dari 2 mgL' menyebabkan kematian bagi ikan.
Kelarutan oksigen optimum atau yang tidak dapat ditoleransi bergantung
pada jenis ikan, umumnya 4-12 ppm dapat diterima oleh ikan. Ikan biasa memijah
di air tergenang (stagnan) Atau berarus lambat. (Rahardjo et al. 2011 dalam
Simatupang 2015). Menurut Pradhan et al. (2005) menyatakan bahwa tingginya
nilai DO di sungai disebabkan oleh kecepatan arus sehingga proses aerasi
meningkat, dan penurunan oksigen disebabkan oleh masukan beban pencemar di
sckitar sungai. Oksigen terlarut < 1 mgL' mengakibatkan kematikan ikan bila
an
berlangsung lama, 1-5 mgL-! ikan bisa hidup namun pertumbuhan
reproduksinya terhambat bila berlangsung terus menerus dan oksigen terlarut >5
mgL-' pertumbuhan dan reproduksi normal (Boyd 1982).
2.5.5 Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical oxygen demand atau COD merupakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan untuk mengurai zat-zat organik yang terkandung dalam air (Boyd 1990
dalam Atima 2015). Jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi
terhadap total senyawa baik yang mudah terurai maupun yang sulit terurai secara
biologis dapat diukur dengan mengukur kadar COD-nya. Semakin tinggi kadar
COD akan menyebabkan turunnya kadar oksigen terlarut (DO). Perairan yang
memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan. Nilai COD
pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mgL.', sedangkan
padaperairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mgL.:' (UNESCO/WHO/UNEP 1992
dalam Effendi 2003).
Nilai COD yang tinggi di perairan disebabkan oleh banyaknya bahan-bahan
pencemar yang masuk ke perairan khususnya bahan pencemar organik dari limbah
rumah tangga, industri, persawahan dan budidaya perairan (Al-Shami et al.. 2011).
Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya memiliki nilai kurang dari
20 mgL', sedangkan pada perairan yang tercemar mencapai 200 mgL' (Effendi
2003). Indikator yang memiliki hubungan positif dengan kandungan COD dalam
air sungai adalah fosfat dan nitrat, artinya jika terdapat peningkatan kandungan
fosfat dan nitrat dalam air sungai, maka akan meningkatnya COD di sungai tersebut.
Keberadaan COD yang tinggi di lingkungan akan memberikan dampak pada
manusia dan lingkungan, diantaranya adalah banyaknya biota air yang mati karena
konsentrasi oksigen terlarut dalam air terlalu sedikit dan semakin sulitnya
mendapatkan air sungai yang memenuhi kriteria sebagai bahan baku air minum
(Kuraisih et al. 2013). Kandungan COD yang berlebihan akan berpengaruh
tcrhadap menurunnya kandungan oksigen terlarut (DO) dan pH, sehingga akan
berpengaruh terhadap menurunya kualitas perairan. Selain itu, akibat lebih lanjut
adalah produktifitas sumberdaya perairan tersebut ikut menurun.
2.5.6
Total Disolved Solid (TDS)
Total Disolved Solid atau TDS merupakan ukuran zat terlarut yang lebih
kecil daripada padatan tersuspensi baik itu zat organik maupun anorganik. Padatan
ini terdiri dari senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air, mineral dan
garam (Fardiaz 1992). TDS merupakan jumlah zat padat terlarut yang berukuran<
1 um, dimana semakin besar peningkatan nilai TDS di suatu perairan dapat
mengindikasikan bahwa bahan organik limbah belum terdegradasi sempurna
menjadi gas (Retnosari dan Shovitri 2013).
Ion yang paling umum adalah kalsium, fosfat, nitrat, natrium, kalium,
magnesium, bikarbonat, karbonat dan klorida. Bahan kimia dapat berupa kation,
anion, molekul atau aglomerasi dari ribuan molekul. Sumber utama untuk TDS
dalam perairan adalah limpahan dari pertanian, limbah rumah tangga dan industri,
Perubahan dalam konsentrasi 'TDS dapat berbahaya karena akan
menyebabkanperubahan salinitas, perubahan komposisi ion-ion dan toksisitas
masing-masing ion
(Rinawati et al. 2016). Menurut PP No. 82 tahun 2001, kandungan TDS maksimum
yang diperbolehkan untuk baku mutu air kelas It dan II1 untuk perikanan adalah
" ACHAS 1 dan 11 untuk perikanan
1000 mgL-!.
2.5.7 T otal Suspended Solid (TSS)
◦ Total Suspended Solid atau padatan tersuspensi adalah padatan yang tidak
larut, tidak mengendap langsung dan menyebabkan kekeruhan. Padatan tersuspensi
terdiri dari parikel-partikel yang ukurannya 0,001 sampai 1 um. Bahan-bahan
tersuspensi terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, terutama
disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Padatan
tersuspensi ini menyebabkan penestrasi cahaya masuk ke badan air menjadi
berkurang sehingga proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton dan
tumbuhan air lainnya menjadi terganggu. Banyaknya TSS yang berada dalam
perairan dapat menurunkan kesediaan oksigen erlarut. Jjika menurunnya
ketersediaan oksigen berlangsung lama akan menyebabkan perairan menjadi ana
erob, sehingga organisme aerob akan mati. Tingginya TSS juga dapat secara
langsung menganggu biota perairan seperti ikan (Rinawati et al 2016).
Nilai 'TSS dapat menjadi salah satu parameter biofisik perairan yang secara
dinamis mencerminkan perubahan yang terjadi di perairan. TSS sangat berguna
dalam analisis perairan dan buangan domestik yang tercemar serta dapat digunakan
untuk mengevaluasi mutu air, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan
(Rinawati et al, 2016). Menurut PP No. 82 tahun 2001, kandungan TSS maksimum
yang diperbolehkan untuk untuk perikanan menurut baku mutu air kelas II adalah
50 mgL.' dan kelas IIl adalah 400 mgL-
Amonia (NH3)
2.5.8
Amonia merupakan senyawa nitrogen amonia dalam bentuk NH yang
disebut dengan ammonium. Amonia merupakan derivat nitrogen yang bersifat
toksik dalam konsentrasi yang rendah, pada konsentrasi 0,2 mgL- dalam
perairanmaka akan bersifat toksik. Toksisitas amonia bahkan dapat menyebabkan
kematian
(Sihaloho 2009). Amonia diperairan berasal dari sisa metabolisme (eksresi) hewan
dan proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Sumber utama
amonia di perairan adalah gas nitrogen dari proses difusi udara yang teredukasi di
dalam perairan. Amonia dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air,
kelarutan amonia dalam air dipengaruhi oleh suhu, pada suhu tinggi kelarutan
amonia akan berkurang (Effendi 2003)
Amonia dalam air sungai berasal dari air seni, tinja dan hasil pengurairan
secara milkrobiologis terhadap zat organik yang berasal dari alam, air buangan hasil
limbah industri, dan limbah domestik (Widayat et al. 2010). Kadar amonia yang
baik bagi keberlangsungan hidup ikan air tawar yaitu kurang dari 1 ppm. Apabila
kadar amonia telah melebihi 1,5 ppm, maka perairan tersebut telah terjadi
pencemaran (Tatangindatu 2013). Menurut baku mutu kualitas air PP No. 82 Tahun
2001 (Kelas I) bahwa batas maksimum amonia untuk kegiatan perikanan bagi ikan
yang peka < 0,02 mgL-
ndarasr anAs oetal gauagastsd asgialo midibaoiA
meoe equb sguf <el sqnisgait- onn node donsn omainagto rgguido2 .d019
(010S Jo w. ituvrani 9) ae:li insqse niasimod sloid uggiognomt gnuagnel
moso2 tnee ntriinor liefofd wsloinmoq utee dielee ibeinom teqeb 22T anli