Anda di halaman 1dari 72

Kata Pengantar dan Ucapan

Terima Kasih
Terima kasih kami haturkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, sebab karena rahmat yang Ia berikan kami
dapat menyelesaikan novelet berjudul “Bhavana Satya”
ini dengan tepat waktu. Terima kasih hendak kami
haturkan pula kepada Ibu Helena Wulandari selaku guru
mata pelajaran sekaligus guru pembimbing sehingga
novelet ini bisa kami tulis dengan apik dan baik.
Tidak lupa, kami juga berterima kasih kepada
teman-teman yang sudah memberi kami semangat dan
motivasi untuk menyelesaikan kisah mengenai kehidupan
putra mahkota Atharya Shankara.
Bhavana Satya ini terinspirasi dari epos terbesar
sepanjang masa: Mahabharata. Dengan dituliskannya
Bhavana Satya, kami berharap kisah ini dapat
memberikan sebuah pembelajaran yang berharga bagi
para pembaca sekalian.
Palembang, 25 Februari 2023

Jocelyn B. Ho., Kayla C. A., Valencia F. Z.

i
Daftar Isi

Kata Pengantar dan Ucapan Terima Kasih ...................... i

Prolog .............................................................................. 1

Bab Satu: Aishwarya dan Si Kembar.............................. 3

Bab Dua: Cinta, Kenakalan, Kedengkian ..................... 10

Bab Tiga: Bagaikan Bisikan Setan ............................... 17

Bab Empat: Petaka!....................................................... 23

Bab Lima: Penyelidikan dan Sandika ........................... 31

Bab Enam: Dia Pelakunya! Penjarakan! ....................... 35

Bab Tujuh: Bagian Dari Rencana ................................. 41

Bab Delapan: Fakta Baru yang Terkuak ....................... 47

Bab Sembilan: Perang ................................................... 54

Bab Sepuluh: Hukuman ................................................ 61

Epilog ............................................................................ 65

Biodata Penulis .............................................................. iii

ii
Prolog

G
enderang pertanda perang ditabuh, persenjataan
diangkut oleh kuda-kuda menuju medan tempur.
Rintihan-rintihan para ibu serta para istri
berpadu dengan teriakan-teriakan ribuan prajurit yang
sudah siap bertempur. Untuk pertama kali setelah sekian
tahun, Bhavana Satya kembali harus maju ke medan yang
nantinya akan dipenuhi oleh amis darah—darah
penghabisan! Di istana, maharaja Arkandra tampak gagah
dengan baju pelindung yang ditempa oleh pandai besi
terbaik, menenangkan sang istri yang tengah hamil.
Keduanya saling menghambur dalam pelukan,
menciptakan kehangatan yang entah akan dirasakan lagi
atau tidak. Aishwarya—sang permaisuri menyeka air
mata tatkala sang suami melepaskan genggaman. Dengan
berat hati, Aishwarya serta para istri lain melepas pergi
suami-suami mereka guna membela tanah yang mereka
pijak; tanah Bhavana Satya.
Derap pasukan berkuda terdengar begitu jelas,
menimbulkan gidik kengerian. Langkah kaki prajurit-
prajurit terdengar mantap, meski bisa saja keraguan
menyelip sedikit di dalam jiwa mereka. Aishwarya berdiri
diam di balkon istana, menatap pasukan yang semakin
mengecil—lama-kelamaan menyaingi ukuran semut-
semut yang tengah berbaris. Saat pasukan tidak lagi dapat

1
terlihat, Aishwarya beranjak dari balkon istana sambil
bergumam, “Semoga kemenangan berada di pihak kita.”
Perang terjadi berhari-hari. Selama itu pula,
pembawa pesan pulang-pergi untuk menyampaikan
kejadian-kejadian penting di pertempuran. Selama itu
pula, ketakutan memakan habis jiwa Aishwarya. Sampai
pada suatu malam, saat perang belum usai, Aishwarya
yang memang tengah hamil besar melahirkan sepasang
anak kembar: laki-laki dan perempuan. Tangis keduanya
menciptakan sukacita di istana.
Namun, pada saat itu Aishwarya tidak tahu.
Bahwa selain di istana, tangisan juga pecah di medan
perang.

2
Bab Satu: Aishwarya dan Si
Kembar

B
havana Satya, sebuah kerajaan yang dibatasi oleh
aliran-aliran sungai indah. Perdagangan
merupakan pilar utama kejayaan Bhavana Satya,
karena tak jarang kerajaan ini dijadikan sebagai tempat
singgah para pedagang dari berbagai penjuru dunia!
Pelabuhannya amatlah terkenal, bahkan sampai ke
pelosok-pelosok nama pelabuhannya kerap
dikumandangkan. Bagi para pedagang, pelabuhan
Bhavana Satya sudah menjadi primadona. Mereka rela
berhenti dan singgah, malah singgah di Bhavana Satya
merupakan sebuah kewajiban tidak tertulis di kaum
peniaga. Selain mereka, para pendeta dan pelancong dari
seluruh belahan dunia juga berduyun-duyun mendatangi
tanah yang katanya kental sekali dengan pendidikan dan
keagamaannya. Para pelancong pencari ilmu biasanya
menyempatkan diri untuk tinggal sejenak di kota
Nawasena—pusat pendidikan terkemuka, bahkan
mengalahkan pamor kota pendidikan negeri seberang.
Lalu, para pemuka agama biasanya tinggal sejenak di kota
Shraddha—pusat keagamaan kedua terbesar di dunia.
Tampaknya, sampai di sini semua pastilah berpikir bahwa
Bhavana Satya adalah surga dunia.

3
Begitu pula pikiran si kembar manis, yang setiap
hari mengisi istana dengan tawa merdu mereka.
Kebahagiaan tampak selalu menyertai, senyuman tidak
luntur-luntur dari wajah! Hampir semua pelayan dan
penjaga terkikik gemas melihat tingkah laku si kembar.
Mereka amat dicintai oleh seisi istana, nama mereka
seringkali diagung-agungkan juga! Pangeran Atharya dan
Putri Akshaya. Anak kembar dari mendiang Maharaja
Arkandra dari wangsa Shankara dan Permaisuri
Aishwarya. Pada awal kelahiran si kembar, semua orang
berbondong-bondong memberikan simpati. Sebab, tepat
saat keduanya hadir di dunia, sang ayah—mendiang
Maharaja Arkandra mengembuskan napas terakhirnya di
dunia.

Tiga tahun yang lalu.

Aishwarya tengah menatap putra-putrinya


dengan lembut. Ainnya dengan perlahan menyusuri tiap
jengkal detail rupa putra-putri yang belum lama hadir itu.
Mirip. Keduanya sangat mirip dengan sang pujaan hati—
Arkandra. Mulai dari mata, batang hidung yang tinggi,
serta bibir yang penuh. Tanpa disadari, Aishwarya
tersenyum. Namun, tidak lama setelahnya, senyuman
Aishwarya luntur. Seketika, dirinya bertanya-tanya.
Bagaimana keberlangsungan perang? Serta, bagaimana
kondisi Arkandra? Semakin dipikirkan, semakin tidak
tenang jiwanya. Aishwarya hendak keluar, mencari
informasi atau pesan yang dikirimkan dari medan

4
perperangan. Tapi, tubuhnya masih terlalu lemah. Untuk
duduk bersandar saja sulit, apalagi untuk bangkit dan
berjalan? Jadilah, Aishwarya tenggelam dalam
pertanyaan-pertanyaan serta ketakutan yang memeluk
erat sampai tanpa sadar dia tertidur pulas.

Istirahatnya terganggu tatkala dia mendengar


dengan samar-samar isak tangis dari luar kamar. Bukan
hanya isak tangis satu orang, melainkan beberapa orang,
bisa jadi puluhan jumlahnya. Seketika, cemas dan
ketakutan kembali menghampiri dan melahap jiwanya.
Dengan gusar, Aishwarya dengan payah bangkit dari
kasur—berusaha untuk tidak menimbulkan suara apapun
agar kedua buah hatinya tidak terbangun—lalu
melangkah menuju pintu yang jaraknya cukup jauh,
kurang lebih tiga puluh langkah. Di balik pintu kayu nan
menjulang itu, samar-samar Aishwarya dapat mendengar
sebuah percakapan yang membuat jantungnya berhenti
berdegup.

"Tidak—aku pasti salah mendengar," gumamnya,


berusaha menenangkan dirinya.

Aishwarya berusaha mengusir jauh-jauh pikiran


negatif, tapi gagal sebab percakapan yang sama kembali
samar-samar terdengar. Namun, masih dengan sekuat
tenaga ia berusaha tidak menghiraukan, menuduh
telinganya yang salah menangkap percakapan di luar
sana. Dengan jemari yang gemetar, perlahan-lahan pintu

5
kayu itu didorongnya, menimbulkan bunyi decitan yang
lekas membuat orang-orang menoleh. Membuat
perhatian para pelayan serta penjaga jatuh atas dirinya.
Dengan keanggunan dan kekuatan yang masih tersisa,
Aishwarya bertanya, "Ada apakah gerangan?"

Mereka diam. Tidak berani menjawab.

Sekali lagi, Aishwarya bertanya, "Mungkin kalian


tidak mendengarku. Satu kali lagi, aku bertanya. Ada
apakah, gerangan?"

Hening. Mereka menundukan kepala. Masih diam.

Aishwarya maju beberapa langkah, suara sepatu


yang bergesekan dengan lantai serta suara gelang kaki
bergema. Karena mulai tidak sabar, Aishwarya
meninggikan suara. Sekali lagi, dia bertanya, "Aku
bertanya untuk yang terakhir kalinya. Ada apa?"

Ketegasan tersirat dari intonasinya, membuat


suasana semakin mencekam dan gelap. Dilandasi rasa
takut atas kemarahan sang Permaisuri, salah seorang
pelayan membalas dengan lirih, "Maharaja Arkandra
telah tewas dalam pertempuran."

Lirih, lirih sekali suara pelayan itu. Tapi, indra


pendengaran Aishwarya masih cukup tajam untuk
menangkap dengan jelas apa yang belum lama dikatakan.
Jantungnya seperti berhenti berdetak. Gravitasi bumi

6
seakan-akan semakin menguat, sampai-sampai kedua
kakinya terasa begitu lemas. Matanya yang indah tampak
memerah, berusaha keras menahan air mata yang hendak
tumpah ruah. Dia mengepalkan kedua jemarinya sampai
buku-buku kuku memutih. Lidahnya kelu, tenggorokannya
tersekat. Aishwarya kini berdiri bagaikan sebuah patung.
Patung yang tidak bernyawa sebelum tubuh indahnya
ambruk seluruhnya ke atas lantai pualam.

Selepas kejadian itu, Aishwarya tidak


diperkenankan untuk beranjak dari kamar tanpa bantuan
dari pelayan istana. Tatapan Aishwarya kosong, meski
dia masih dengan telaten mengurus buah hatinya dengan
Arkandra. Hidupnya mau tak mau dipaksa untuk terus
berjalan tanpa kehadiran sang suami. Setelah upacara
penghormatan terakhir kepada Maharaja Arkandra serta
penobatan pangeran Birendra—adik dari Maharaja
Arkandra menjadi raja baru Bhavana Satya, Aishwarya
memutuskan untuk meninggalkan kamar permaisurinya
menuju kamar yang lebih kecil, diperuntukan untuk
bangsawan di istana. Birendra sudah berulang kali
membujuk Aishwarya, tetapi wanita itu menolak dengan
lembut sekaligus tegas. Orang-orang banyak yang
bersimpati dengannya, baik bangsawan maupun rakyat
jelata. Mereka berpikir bahwa dia begitu kuat. Padahal,
nyatanya dia harus tetap tegar, demi putra dan putrinya.

Tawa riang Atharya serta Akshaya mengisi


lorong-lorong lengang istana. Keduanya saling melempar

7
ejekan, pula saling menertawakan satu dengan yang lain.
Tidak jarang, Atharya kerap menjahili Akshaya sampai-
sampai si putri kecil menangis. Tetapi, sehabis itu Atharya
langsung cepat-cepat meminta maaf, kemudian keduanya
berbaikan seperti semula. Terkadang, canda tawa mereka
mengundang perhatian anak lain di istana: Bimantara.
Bimantara merupakan putra dari Birendra, raja yang
tengah memegang tahta. Akshaya tidak jarang mengajak
Bimantara untuk bermain bersama, sampai perlahan-
lahan mereka menjadi akrab meskipun terpaut perbedaan
umur beberapa tahun. Ketiganya dengan kompak sering
membuat ulah, sampai-sampai seluruh istana kewalahan
dibuatnya.

"Tuan putri, pangeran, berhenti!" teriak beberapa


pelayan yang tampak mulai kewalahan mengejar ketiga
anak bangsawan itu. Seharusnya, ini jadwal mereka
bertiga untuk menempuh pembelajaran etika dan tata
krama. Akan tetapi, mereka malah dengan sengaja
bersembunyi lalu berlari saat posisi mereka diketahui.
Semakin dikejar, semakin cepat saja mereka berlari,
semakin senang mereka!

Akshaya berbalik badan sejenak, menjulurkan


lidahnya kepada para pelayan yang tengah mengejarnya.
Karena itulah, dia tidak menyadari bahwa sang ibu berada
tepat di depannya dan Akshaya menabrak ibunya sampai
terjatuh, terduduk di tanah.

8
"Aduh!" rintihnya.

Aishwarya bersedekap dada, menatap tegas


putrinya yang lekas menundukkan kepala, merasa
bersalah! Kemudian, Akshaya lekas memanggil
Bimantara serta Atharya, memberikan mereka kode
bahwa permainan mereka hari ini sudah selesai, mereka
ketahuan! Oleh sang ibu pula! Atharya hanya bisa
terdiam, membayangkan apa yang akan diberikan
kepadanya sebagai hukuman. Sedangkan Bimantara tidak
merasakan apa-apa. Toh, dia tidak mungkin dihukum. Dia
‘kan, tidak punya ibu. Jadi, dia tidak merasakan
kekhawatiran terkena hukuman dari sang ibu. Sebab,
ibunya saja sudah tidak ada lagi di dunia.

9
Bab Dua: Cinta, Kenakalan,
Kedengkian

H
anyalah sebatas mimpi indah belaka jika
Atharya serta Akshaya tidak dijatuhi hukuman
apa pun. Terlebih, setelah yang mereka lakukan
kemarin--berniat membolos dari pelajaran etika dan tata
krama! Oleh karena itu, sekarang mereka tengah
tertunduk. Keduanya tengah menanti hukuman yang akan
dijatuhkan, dalam hati berharap-harap cemas. Kesunyian
yang menyelimuti ruangan itu sama sekali tidak
membantu. Malah semakin memacu debar jantung—
semakin cepat, semakin gelisah, semakin khawatir.
Ditambah lagi perawakan Aishwarya yang tampak dingin
bagai sebongkah es raksasa. Atharya dan Akshaya
meneguk ludah dengan susah payah, pasti habislah
mereka.

"Anak-anak, mengapa kalian menghindari


pelajaran etika dan tata krama?" tanya Aishwarya dengan
dingin.

Sejenak, Atharya serta Akshaya melempar tatap.


Seolah-olah saling melempar tanggung jawab mengenai
siapa yang akan membalas sebelum si nona yang
melontarkan jawaban, "Ibu, kami tidak berniat

10
menghindari pelajaran, sungguh! Kami hanya bermain
sampai lupa waktu, hanya itu."

Atharya mengangguk, lalu menambahkan,


"Benar! Kami tidak bermaksud, Ibu. Maafkan kami...."

Lantas, keduanya memasang wajah murung


andalan. Jika saja yang berada di hadapan mereka
bukanlah Aishwarya, pasti akan luluh hatinya. Akan
tetapi, yang berdiri di hadapan mereka itu Aishwarya.
Semua kegemasan yang berusaha ditunjukan oleh si
kembar tidak akan mempengaruhinya sama sekali.
Aishwarya berkacak pinggang, masih dengan dingin
menatap kedua anaknya yang agaknya tampak menyesal.

"Tidak salah jika kalian ingin bermain, silahkan


saja. Tapi, bukankah kemarin para pelayan juga
mengingatkan kalian akan pelajaran yang harus kalian
ikuti? Jika sudah diingatkan, mengapa kalian masih
melanjutkan permainan? Padahal, kalian bisa berhenti
sejenak, kemudian melanjutkannya setelah pelajaran.
Kalian adalah keluarga bangsawan, pelajaran etika dan
tata krama ini penting bagi kehidupan kalian ke
depannya."

Aishwarya menarik napas sejenak, lalu


melanjutkan, "Aku akan meminta agar waktu pelajaran
etika dan tata krama kalian diperpanjang dua kali lipat
besok. Kalian harus mengejar materi yang kalian

11
lewatkan hari ini dan tetap mendapat materi yang
seharusnya diajarkan esok hari. Lalu, setelah pelajaran
usai barulah kalian diperbolehkan untuk bermain sesuka
hati. Setuju?"

Lagi-lagi, Atharya dan Akshaya kembali


melempar tatap antar satu dengan yang lain. Beberapa
detik mereka berpikir dan seperti bertelepati, lalu
mengangguk dan menjawab dengan agak lemas, "Baik,
Ibu. Kami setuju."

Sebuah senyum tipis tampak pada wajah cantik


Aishwarya sembari dia berkata dengan pelan, "Bagus.
Sekarang, beristirahatlah. Ibu sayang kalian."

Lengan putih milik Aishwarya merangkul tubuh


mungil kedua anaknya, membawa mereka masuk ke
dalam dekapan yang hangat sebelum melepaskan mereka
dengan memberi sebuah kecupan ringan di masing-
masing dahi putra-putrinya. Atharya dan Akshaya
membalas pelukan sang Ibunda, kemudian membalas
kecupan yang diberikan dengan memberi kecupan di pipi
kiri dan kanan Aishwarya. Setelah itu, si kembar mungil
itu berlari-lari kecil keluar ruangan, kembali menuju
kamar mereka.

Dari jarak beberapa belas kaki, Bimantara dengan


jelas melihat semua yang terjadi. Bila boleh jujur, sedikit
terselip rasa iri di hati. Kasih sayang yang diberikan

12
Aishwarya kepada kedua sepupunya; Atharya dan
Akshaya, tampak begitu hangat dan indah. Dekapan
keluarga kecil itu seakan-akan menghangatkan seisi
istana, begitu pula dengan hati Bimantara. Anak laki-laki
itu bertanya-tanya di dalam hatinya, bagaimana rasanya
jika memiliki seorang ibu? Akan sebahagia apakah
hidupnya bila dia juga turut merasakan apa yang
dirasakan oleh kedua sepupunya itu? Atharya dan
Akshaya tidak memiliki sosok ayah. Tetapi menurut
Bimantara, Aishwarya merupakan ibu sekaligus ayah
mereka. Dengan piawai mantan permaisuri itu melakukan
tugas dua sosok penting sekaligus; sebagai seorang ibu
dan ayah.

Hal itu jelas berbanding terbalik dengan hidup


Bimantara. Dia memiliki ayah, tetapi tidak memiliki ibu.
Namun, ayahnya tidak dapat berperan ganda layaknya
Aishwarya. Birendra, ayahnya, selalu sibuk dengan
urusan politik dan kerajaan. Bahkan untuk bertemu
dengannya saja butuh janji dan amat sulit, padahal
Bimantara bukanlah orang asing. Bimantara merupakan
putranya sendiri. Memikirkan realita menyedihkan itu,
rasa-rasanya semakin besar saja keirian yang timbul di
dalam dirinya. Bimantara terus berandai-andai, sampai
tanpa sadar hatinya mulai dipenuhi oleh kedengkian.

13
Waktu terus berjalan. Beberapa tahun dengan
begitu saja berlalu bersama memori indah maupun buruk.
Tawa anak kecil yang biasanya mengisi kehampaan istana
nan megah berubah jua seiring waktu. Ketiga anak yang
bahagia itu kini mulai bertumbuh. Akshaya menjadi putri
yang jelita nan anggun, sedangkan Atharya serta
Bimantara menjadi sosok yang kuat nan tangguh. Canda
tawa perlahan-lahan lenyap, digantikan oleh pembicaraan
dengan topik yang mulai berat. Mereka mulai fokus
dengan jalan masing-masing, tanpa saling bersinggungan
satu sama lain.

Namun, yang namanya kakak beradik akan tetap


menjadi kakak beradik. Atharya masih saja menjahili
Akshaya, kemudian bertingkah seolah-olah dia tidak tau.
Frekuensinya cukup jarang, tapi selalu berhasil membuat
Akshaya menjerit sebal dan mengejar Atharya sampai ke
sudut istana.

Langkah serta bunyi dari gelang kaki milik


Akshaya bergema di lorong-lorong kerajaan seiring
dengan teriakannya, "KAKAK! BERHENTI! Jangan lari
dariku! Astaga, KAU MENGHANCURKAN alat rias
kesayanganku!"

Kekehan Akshaya terdengar setelahnya, menjadi


jawaban dari yang lebih tua beberapa menit. Langkah kaki
Atharya lebih lebar, sehingga dia berada jauh di depan
Akhsaya yang bahkan harus bersusah payah mengangkat

14
gaunnya sambil belari jika tidak ingin jatuh dan
mempermalukan diri. Meski begitu, Akshaya begitu
gigih. Dia pantang berhenti, bahkan berusaha
mempercepat larinya guna menyusul Atharya yang begitu
menyebalkan hari ini. Usaha tidak mengkhianati hasil,
jemari lentik Akshaya berhasil meraih sedikit ujung
pakaian Atharya lalu menariknya ke belakang. Mau tidak
mau Atharya berhenti, bahkan kehilangan keseimbangan
dan jatuh ke atas lantai pualam.

"Nah, berhenti juga. Kau sudah merusak alat


riasku, tanggung jawab! Kau harus membelikan alat rias
yang baru untukku, tidak mau tahu. Harus kau sendiri
yang membelinya!"

Atharya bahkan belum selesai meringis, tapi dia


sudah terlebih dahulu dihujani oleh permintaan (atau lebih
tepatnya tuntutan) sang adik. Perlahan dia bangkit,
berusaha membela diri, katanya, "Hei, aku tidak sengaja.
Kau sendiri mengapa menaruh alat rias kesayanganmu itu
di ujung meja?"

Akshaya berdecak sebal, berkacak pinggang, lalu


membalas, "Ya terserah aku! Lagi pula, kenapa kau
masuk ke kamarku tanpa izin?"

"Aku hanya ingin meminjam sesuatu, itu saja."

15
"Apa? Apa yang ingin kau pinjam? Bahkan
terakhir kali saat kau meminjam sisirku, kau tanpa sengaja
mematahkannya!"

"Astaga. Apa perlu kau mengungkit kejadian yang


sudah berlalu?"

"Perlu! Perlu sekali! Aku tidak ingin berdebat lagi,


patuhi saja perkataanku tadi atau...," Akshaya
menggantungkan ucapannya.

Atharya menaikkan sebelah alis. "Atau apa?"

"Atau kau akan aku adukan kepada Ibu! Biar kau


dihukum lagi, sama seperti saat kau mematahkan sisirku
dan tidak mau mengaku waktu itu!"

"YANG BENAR SAJA?"

Sama seperti masa lalu, pertengkaran kedua


kakak-adik kembar itu disaksikan oleh Bimantara dari
jauh. Dengki dan iri yang dari dulu bersemayam di hati
tanpa disadari nyatanya semakin menjadi-jadi. Bimantara
tenggelam dalam pikirannya sendiri, sampai pundaknya
ditepuk oleh seseorang, menyadarkan dirinya. Tanpa
berbalik badan, dia tahu siapa pelakunya. Orang itu
berbicara kepadanya, kata-katanya seolah-olah merasuki
jiwa. Rasa iri yang ada jadi semakin membara.

16
Bab Tiga: Bagaikan Bisikan
Setan

K
ilat amarah tersirat dari mata Bimantara. Entah
mengapa, semakin hari semakin habis jiwanya
dilahap oleh pikiran-pikiran serta perasaan-
perasaan buruk kepada si sepupu, terlebih Atharya.
Pandangannya akan saudaranya itu perlahan-lahan
berubah, bergeser, bahkan bertolak belakang dengan
pandangan awal yang ia miliki terhadap Atharya.
Terlebih, setelah dia mendengar apa yang dikatakan oleh
sang ayah; Birendra beberapa waktu yang lalu. Kala itu,
Bimantara tengah menatap pertengkaran sepupu
kembarnya dari jauh. Lalu, tiba-tiba sebuah tepukan
mendarat pada bahunya, diiringi oleh suara Birendra yang
menyapa indranya.

"Lihat, betapa bahagia dan lucunya mereka.


Kakak beradik kembar, seolah-olah memiliki segala hal
yang baik di dunia. Betul?"

Bimantara diam, tapi mengangguk sebagai


balasan tanpa memutuskan pandangan terhadap Atharya
serta Akshaya.

"Sayang sekali, mereka kekurangan satu


kebahagiaan."

17
Sebelah alis Bimantara terangkat sambil bertanya,
"Apa yang kurang?"

"Tahta."

Terkesiap, lekas Bimantara menoleh ke belakang.


Menatap sang ayah dengan raut tidak percaya. "Bukankah
tahta itu miliknya?"

Wajah tegas khas Birendra sirna, dia tertawa.


Seolah-olah tengah menertawakan kebodohan Bimantara
yang ditampakkan lewat pertanyaannya. Telapak tangan
penguasa Bhavana Satya itu menepuk-nepuk pundak
putranya beberapa kali sembari berkata, "Tahta itu
milikmu. Hakmu. Bila kau ingin membantah dengan
mengacu pada peraturan silsilah itu, kau harus tahu bahwa
aturan itu dengan sengaja dibuat oleh Arkandra.
Mengapa? Karena dia hanya ingin keturunannya yang
menjadi penerus tahta. Bukan aku, bukan kau. Ketahuilah,
Nak. Tahta itu nyatanya milikmu, kaulah penerus tahta
dan bukan Atharya. Dia tahu itu, sangat jelas dia tahu.
Tapi, tampaknya dia sama sekali tidak peduli dengan
fakta itu, 'kan?"

Bimantara bergeming, berusaha memproses


segudang informasi yang disampaikan pada dirinya, entah
fakta atau bukan. Napasnya perlahan memburu seiring
Birendra kembali lagi membisikkan beberapa kalimat
berkonotasi negatif yang memiliki arti yang sama.

18
Bimantara kini seperti seekor tikus lugu yang termakan
perangkap pemilik rumah; terjebak--bahkan tanpa dia
sadari sama sekali. Bisikan-bisikan busuk itu merangkak
dari gendang telinga menuju batang otak, memicu detak
jantung yang semakin cepat serta amarah yang makin
menyala-nyala. Matanya perlahan memerah, tangannya
terkepal. Bimantara rasa-rasanya ingin berteriak dan
menghajar Atharya yang masih beradu mulut di depan
sana jika saja gerakannya tidak ditahan oleh tangan besar
sang ayah.

"Tahan, anakku. Kekerasan tidak serta merta


dapat menyelesaikan semua masalah yang kita miliki.
Malah, jika kau melakukan apa yang ada di pikiranmu
sekarang, Atharya akan lebih mudah untuk menarik
simpati rakyat dan keluarga bangsawan lainnya," desis
Birendra.

Tangan yang sebelumnya terkepal perlahan


mengendur. Saran yang baru saja tadi diucapkan oleh
sang ayah jika dipikir-pikir memang betul. Namun, bukan
berarti dia akan pasrah dan membiarkan tahta itu direbut;
bahkan di dalam mimpinya yang terburuk sekalipun!
Bimantara mengisi paru-parunya dengan oksigen sampai
penuh sebelum dia mengembuskannya dengan bisu.
Masih dengan dibalut oleh murka yang menggebu,
Bimantara bertanya, "Lantas, apa yang harus kita lakukan,
Ayah?"

19
Birendra tersenyum. Hanya dua kata yang
diberikan sebagai balasan atas pertanyaan itu, "Ikut aku."

Begitulah, dengan patuh Bimantara mengikuti


Birendra laiknya anak ayam yang tengah mengikuti
induknya. Tanpa melayangkan pertanyaan, tanpa
membuat suara. Awalnya, tidak ada yang mencurigakan
saat dengan hening mereka menyusuri koridor kerajaan
yang mewah dan lengang. Namun, Bimantara mulai
merasa aneh tatkala sang ayah memberikan sebuah jubah
kepadanya; jubah berwarna hitam yang menutupi kepala
sampai ujung kaki tanpa memberi celah barang sedikit.
Lagi-lagi, sama sekali Bimantara diam--tak bertanya
meski nyatanya jiwa mulai dilahap oleh rasa penasaran
perlahan-lahan. Setelah menutupi diri dengan jubah,
ayah-anak itu melanjutkan perjalanan menuju taman
belakang guna beranjak melalui sebuah pintu rahasia di
belakang istana. Rasa-rasanya, tidak pernah ada yang
menyebutkan mengenai eksistensi pintu itu. Bisa jadi,
hanya Birendra satu-satunya yang tahu.

Mereka terus berjalan, menyusuri pasar yang


ramai karena tukar-menukar barang serta jasa. Menyusuri
komplek hunian yang megah sampai komplek-komplek
kumuh yang terpinggirkan. Bahkan mereka juga
memasuki hutan lebat; kandang binatang buas tanpa
berhenti barang sejenak. Auman singa dan lolongan
serigala tidak menggentarkan, apalagi menghentikan
kedua tungkai mereka untuk melangkah. Peluh diseka,

20
lelah tidak dirasa--paling tidak oleh Birendra meski
Bimantara agak-agaknya mulai ingin menyerah.

Di tengah hutan, meski mereka masih berjalan


pada akhirnya Bimantara membuka suara jua dengan
bertanya, "Ayah, sebenarnya kita akan ke mana?"

"Suatu tempat," balas Birendra sekilas.

Langkah Birendra semakin cepat, memaksa


Bimantara harus menggerakan kedua kakinya lebih cepat
pula. Seolah-olah destinasi sudah di depan mata, Birendra
perlahan mulai memperlambat langkahnya kemudian
berhenti tepat di sebuah gerbang yang diapit oleh dua
pohon raksasa. Dari kejauhan, dapat dilihat asap-asap
tipis yang memiliki warna mengepul di udara. Bimantara
sempat terngaga sebentar saat dia menyapukan pandangan
ke sekitar desa yang bersembunyi di balik gerbang nan
besar itu--dikelilingi oleh pohon-pohon yang tinggi
menjulang dan nyanyian hewan-hewan hutan. Setelah itu,
barulah dia melangkah--menyusul sang ayah yang
beberapa waktu tadi sudah lebih dahulu memasuki desa.

Tidak seperti saat mereka menuju desa


tersembunyi ini, sekarang keduanya berjalan dengan
begitu pelan. Bimantara tidak yakin, tetapi sepertinya
Birendra tengah mencari sesuatu. Atau mungkin lebih
tepatnya seseorang. Desa itu jika disusuri lumayan luas,
penduduknya kompak mengenakan jubah hitam yang

21
sama persis seperti yang mereka kenakan. Desa itu
hening, hening sekali. Dia tidak mendengar penduduknya
berbicara, sama sekali. Begitu aneh dan tidak biasa. Pada
titik ini, firasat buruk mulai merasuki Bimantara tapi lagi-
lagi dia hanya bungkam, tidak berani untuk bertanya.

Kurang lebih lima belas menit mereka


mengelilingi desa, sampai akhirnya Birendra berhenti di
depan sebuah rumah yang berada di ujung desa--agak
terpencil. Rumah itu memancarkan aura kelam, tampak
depannya juga lusuh dan tidak terawat. Birendra
mengetuk pintu itu tiga kali, lalu pintu itu terbuka. Tidak
ada yang membuka. Pintunya terbuka dengan sendirinya.
Bimantara benar-benar merasa bahwa ada yang tidak
beres, baik dengan sang ayah, tempat ini, atau desa ini
secara keseluruhan. Semuanya aneh, tidak biasa, dan
menakutkan.

"Apa kehendakmu?"

Bimantara tersentak karena suara yang tiba-tiba


terdengar itu. Ditambah lagi, sesosok berjubah hitam tiba-
tiba muncul di hadapan mereka, entah darimana
datangnya dan bagaimana caranya. Ditilik dari suaranya,
sosok itu merupakan seorang perempuan. Bagus, firasat
Bimantara semakin memburuk.

22
Bab Empat: Petaka!

S
emua berlalu dengan begitu cepat, secepat kilat
yang dengan antusias menyapa tanah. Semua
kegilaan yang belum lama tadi dia dengar dan
saksikan bisa-bisa membuatnya gila. Tapi, apa daya?
Yang terjadi dan akan terjadi hanyalah demi kebaikannya
seorang—kebaikan Bhavana Satya juga. Sejak tadi, dia
telah melepaskan jubah hitam nan panjang yang dia
kenakan, menampakan lagi pakaian mewah ala
bangsawan kerajaan yang tadi dia sembunyikan. Langkah
tegap Bimantara menyusuri taman istana; terbalut oleh
rerumputan hijau serta bunga-bunga yang menawan
bukan hanya bagi manusia, melainkan juga bagi para
serangga pengisap madu yang seringkali berdatangan.

Dia tidak melakukan apa-apa, hanya berputar dan


mengamati seakan-akan semua keindahan akan segera
sirna dari dunia. Perasaannya yang buruk perlahan mulai
membaik, tapi tidak untuk waktu yang lama. Tatkala
Bimantara tengah menikmati waktu sendirinya, kehadiran
Atharya secara tiba-tiba berhasil mengeluarkannya dari
lamunan.

“Hai,” sapa Atharya, memulai pembicaraan


dengan sang sepupu yang sudah lama tidak bersua
meskipun mereka nyatanya tidak jarang juga saling

23
melempar tatap. Suasana begitu canggung sebab
Bimantara hanya membalas sapaannya dengan anggukan.

Namun, Atharya tampak tidak menyerah.


Beberapa waktu kemudian, dia kembali membuka suara,
“Apa kabar?”

“Baik,” balas Bimantara kemudian, singkat dan


dingin.

Lagi-lagi, keduanya diliputi oleh sunyi. Bergumul


dengan pikiran masing-masing, mencoba menjawab
pertanyaan yang tidak dapat dibalas hati. Sampai akhirnya
mereka menyerah pada sunyi, memutuskan untuk pergi
menuju jalan masing-masing. Canggung. Canggung
sekali. Atharya bahkan tidak habis pikir, mengapa semua
dapat berubah secepat dan sedrastis ini?

Walau begitu, masih banyak hal yang lebih


penting baginya selain permasalahan antar persepupuan.
Permasalahan mengenai kerajaan menunggu di depan
mata. Pamannya, Birendra, memang tidak
memberitahunya tetapi Atharya tahu bahwa rakyat
mengirimkan perkamen ke istana yang berisikan keluhan-
keluhan. Banyak keluhan, tapi Birendra abai. Sebab tahu,
sebentar lagi dia berhak mendapatkan kembali tahta,
Atharya berniat untuk melihat secara langsung realita
yang dihadapi oleh rakyat kerajaan.

24
Atharya mengenakan pakaian compang-camping,
berlagak sebagai pengemis dan menyusuri kota serta
pasar-pasar. Harga-harga kebutuhan pokok melambung
tinggi, prajurit-prajurit bersikap kasar dan semena-mena,
serta penarikan upeti yang tinggi dan mencekik. Ini bukan
lagi sebuah kerajaan, melainkan sebuah neraka, pikir
Atharya. Bukan hanya semena-mena, agaknya beberapa
prajurit juga bejat serta tak menghormati wanita.

Dalam penyamarannya, Atharya bersumpah


dalam hati untuk tidak berulah. Namun, dia sama sekali
tidak bisa diam tatkala seorang gadis diganggu di
hadapannya. Oleh karena itu, Atharya mendatangi dua
orang prajurit itu, menepuk pundak mereka pelan dari
belakang, lantas saat keduanya berbalik Atharya
menghajarnya kuat-kuat kemudian meraih tangan gadis
itu untuk pergi dari sana.

“Terima kasih.”

Sebuah senyum tampak pada wajah Atharya.


“Sama-sama. Tidak adakah yang peduli dan
membantumu? Apakah rasa kemanusiaan sudah mati?”

Gadis itu, yang mungkin umurnya kurang lebih


sama, menggelengkan kepalanya seolah-olah menyangkal
pernyataan Atharya. “Bukan, bukan begitu. Mereka hanya
takut. Jika mereka ikut campur, hidup mereka juga akan
hancur di tangan prajurit-prajurit itu.”

25
“Apakah tidak ada yang ingin melaporkan
prajurit-prajurit itu ke istana agar mereka
dibebastugaskan?”

“Sudah. Sering malah. Tapi tidak membuahkan


hasil, jadi buat apa melapor? Keluarga kerajaan
tampaknya tidak peduli. Yang mereka pedulikan hanyalah
kekuasaan dan tahta—sungguh memuakan! Entah sampai
kapan rezim ini akan terus berjalan,” ocehnya. Selang
beberapa detik, dia melanjutkan, “Ah iya, aku lupa, aku
ada pekerjaan. Sekali lagi terima kasih telah membantuku,
Tuan.”

Lekas cepat-cepat gadis itu pergi, membuat


Atharya harus berteriak guna menanyakan nama gadis
itu—tampaknya si putra mahkota tertarik. “Sandika.
Namaku, Sandika,” balas gadis yang tadi ia selamatkan,
tanpa dia menolehkan kepalanya sama sekali.

“Sandika, ya? Semoga bertemu lagi di lain


waktu.”

Sekembalinya Atharya ke istana, dia disambut


oleh hal yang tidak diinginkan. Dengan kepanikan yang
memakan habis jiwanya, dia bertanya kepada para dayang
serta prajurit yang ada di sana, “Bagaimana hal ini bisa
terjadi? Sejak kapan ini terjadi?”

26
Mereka semua tertunduk dalam, menggeleng.
Tangan Atharya mengepal sampai putih kuku-kukunya;
menahan amarah. Bagaimana tidak? Baru saja kakinya
berpijak di halaman depan istana, sebuah kabar tidak
mengenakan sampai ke telinganya: ibu dan adiknya
berbaring tidak berdaya dengan suhu badan yang tinggi.
Sebelum Atharya datang, para dayang menceritakan
bahwa adiknya bahkan memuntahkan darah sebelum
jatuh pingsan. Ini bukan hal yang wajar.

“Di mana tabib dan pendeta? Mengapa mereka


lama sekali datangnya? DI MANA MEREKA?” erang
Atharya, frustasi sekali dia sembari menatap kedua
keluarga yang dicintainya dengan nanar.

Bagai lama sekali waktu berjalan, kedua orang


yang dinanti-nanti itu tak kunjung datang. Malah yang
didapatkan adalah eksistensi dari sang Paman yang
memasang raut memilukan; tidak seperti biasanya tetapi
masih dipahami alasannya. Sedangkan, sepupunya yang
satu itu hilang entah ke mana, tidak menunjukan batang
hidungnya sama sekali di sana. Pikiran Atharya yang
sudah telanjur kalut sehingga dia tidak peduli akan
eksistensi dari sang sepupu yang terpaut beberapa tahun
lebih tua itu.

Derap kaki tergesa-gesa terdengar dari pintu yang


terbuka, menampakkan dua sosok yang ingin sekali
Atharya maki-maki. Keduanya tampak gusar pula

27
ketakutan. Lantas, mereka membungkukan badan dalam-
dalam seraya menyapa Birendra serta Atharya yang
berada dalam ruangan, kata mereka, "Baginda Raja,
Pangeran, kami sungguh mohon maaf atas keterlambatan
kami."

"Lakukan tugas kalian sekarang," balas Atharya


dengan dingin. Seratus persen mengabaikan permintaan
maaf mereka.

Tabib beserta pendeta itu tak melayangkan protes.


Malah, langsung mereka cepat-cepat menghampiri
Akshaya beserta Aishwarya yang terbaring tak berdaya di
atas ranjang dan memulai pengobatan. Tabib
mengeluarkan beberapa tumbuhan herbal, sedangkan
pendeta berusaha mencari bacaan doa yang kiranya dapat
menyembuhkan. Tenggorokan Atharya seperti tercekat,
rasa-rasanya waktu seperti membeku akan tetapi
jantungnya semakin cepat berpacu.

"Apa, APA YANG TERJADI PADA


MEREKA?" panik Atharya tatkala melihat tubuh sang
adik dan ibu mulai kejang-kejang. Keduanya tampak
semakin payah. Atharya yang tadinya duduk beberapa
kaki dari ranjang cepat-cepat berdiri dan mendekati
mereka.
Namun, langkahnya dihentikan oleh pendeta yang
berujar, "BERHENTI DI SANA, PANGERAN! Jangan

28
kau berusaha mendekat, atau kau juga akan menjadi
seperti mereka. Sabarlah, mereka akan baik-baik saja."

"Bagaimana? Bagaimana aku bisa diam melihat


mereka kesakitan?"

"Ini demi kebaikanmu sendiri, Pangeran.


Kumohon, tunggulah di sana dan jangan mendekat."

Emosi yang tersimpan meluap, menyebabkan


Atharya melampiaskan itu semua dengan memukul
dinding yang berada tak jauh darinya. Suasana menjadi
makin mencekam dan gelap. Rasa-rasanya, seperti ada
aura mistis dan hitam yang begitu kuat menyelimuti
ruangan. Atharya sesak. Dia takut. Dia panik. Sesak.
Sesak sekali. Napasnya semakin berat, semakin sulit dia
memasok oksigen saat kedua orang yang ia cintai seperti
tengah sakratul maut. Atharya takut akan kehilangan.

Semua aura negatif tiba-tiba menghilang saat


tubuh keduanya melemas. "Apa yang terjadi?" tanya
Atharya.

"Mereka selamat, tapi mereka masih lemah,"


jawab sang tabib.

29
"Pangeran, guna menangkal bala yang mungkin
akan menyerang Permaisuri serta Puteri, saya sarankan
untuk meletakkan tanaman Kecubung Wulung. Niscaya,
semua bala yang hendak datang dapat ditolak."

Atharya mengangguk mantap, "Baik."

Sepeninggalan tabib beserta pendeta, dia berbalik


menatap sang Paman yang mengejutkannya, berada di
sana bersamanya dari tadi. "Paman, aku memiliki satu
permintaan."

"Apa?"

"Berikanlah aku wewenang untuk menyelidiki


serta pelaku yang melakukan hal ini agar dapat dihukum
mati. Sebab, berdasarkan kitab-kitab hukum Bhavana
Satya, pelaku atau dalang dari penggunaan ilmu hitam
sudah seharusnya dihukum penggal di tengah kota."

Birendra menyengir. Cengiran penuh arti.


"Baiklah. Kau kuberi wewenang untuk menyelidiki
permasalahan ini.”

30
Bab Lima: Penyelidikan dan
Sandika

K
eesokan harinya, saat matahari saja belum
menampakkan batang hidungnya di cakrawala,
sudah berangkat cepat-cepat Atharya. Niatnya
hari ini hanyalah satu, yakni melakukan penyelidikan dan
memburu pelaku pengirim ilmu hitam. Suasana pagi di
luar istana tampak riuh rendah. Pagi-pagi sekali, rakyat
sudah mulai disibukkan oleh berbagai macam aktivitas.
Tawar menawar barang pokok, omelan orang tua kepada
anak, teriakan-teriakan pedagang yang menjajakan barang
dagangannya, serta pengemis yang meminta-minta
memenuhi area pasar dan sudut kota lainnya.

Atharya berlagak laiknya rakyat jelata. Dia


menggunakan penyamaran yang sebelumnya ia gunakan;
menjadi seorang pengemis jalanan. Matanya awas,
sebelas duabelas dengan seekor elang nang tengah
mencari mangsa. Amarah masih bersemayam di dalam
hatinya, pintu maaf tidak akan pernah dibukakan olehnya.

Tapi, entah mengapa, rasa-rasanya Yang Maha


Kuasa tidak menunjukan jalan atau pintu terbuka kepada
dirinya. Dia tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan secuil
kecurigaan pun tidak mengetuk jiwanya.

31
Atharya mengerang frustasi saat dia mencapai
salah satu sudut pasar yang tak dihuni, “Sialan! Mengapa
aku belum menemukan apa-apa? Bahkan, telik sandiku
juga belum mendapatkan apa-apa. Padahal, matahari
sekarang sudah berada di atas kepala.”

Semenjak fajar menyingsing sampai bayangan


sudah berada di bawah kaki, Atharya beserta telik sandi
(yang juga membantu menyelidiki) sama sekali belum
mendapatkan hasil. Atharya membuang napas kasar,
masih belum menyerah meski Lelah. Karena itu, dia
kembali melanjutkan pencarian dengan asa yang masih
ada.

Dalam usahanya, tanpa sengaja matanya kembali


menangkap eksistensi seseorang yang tampak familiar di
taman kota. Atharya menyipitkan mata beberapa saat,
sebelum dia yakin sosok yang dia lihat benar-benar adalah
Sandika.

“Nona Sandika!” panggilnya dari jarak beberapa


kaki.

Sandika yang tengah sibuk dengan bacaannya


menoleh ke sumber suara. Lantas tersenyum sesudahnya.
Atharya mendekati Sandika yang masih duduk di bangku
taman, kemudian mendaratkan dirinya di sebelah sang
juita.

32
Sandika menutup buku bacaannya. “Hei, kita
berjumpa lagi. Wajahmu tampak muram, ada apa
gerangan?” tanya sang juita sembari memegang jemari
Atharya dengan sentuhan lembutnya.

Sebuah senyuman yang menjadi balasan. “Tidak


apa-apa,” balas Atharya.

Meski sudah diberikan jawaban, tampaknya


Sandika masih belum puas. Dia seolah-olah ingin tahu,
atau mungkin ingin menggali sesuatu? Sandika masih
berusaha dengan sekali lagi bertanya, “Apa kau yakin
tidak ada apa-apa? Kau bisa menceritakan apa saja
kepadaku.” Jemari kecil Sandika mendaratkan beberapa
belaian di atas telapak tangan serta wajah Atharya.
Membuat lelaki itu mulai agak mabuk kepayang.

Namun, tetap saja Atharya tidak membuka


mulutnya meski jantungnya berdebar-debar. Sandika
terus saja mencoba, seiring dia bertanya, belaian dia
berikan. Seolah-olah memaksa Atharya untuk jatuh cinta,
seolah-olah ingin menarik Atharya ke dunia fantasi yang
indah.

“Baiklah, jika kau tidak ingin bercerita. Tidak apa.


Tapi, jangan tolak satu permintaanku.”

“Permintaan apa?”

33
“Datanglah ke kediamanku, bersamaku. Aku ingin
menjamumu sebagai tanda bahwa kita berteman,” ujar
Sandika yang tentu tidak ditolak oleh Atharya.

“Baiklah. Tapi, aku tidak bisa berada di


kediamanmu terlalu lama. Sebab, tidak etis saja.”

Wajah Sandika begitu ceria. Lekas dia cepat-cepat


bangkit dan menarik tangan Atharya untuk mengikutinya.
Dalam perjalanan, keduanya berbincang-bincang ringan.
Tanpa sadar, tampaknya Atharya mulai jatuh hati.
Kediaman Sandika tidak jauh, berada di belakang taman.
Sesampainya di sana, Atharya benar-benar dijamu dengan
baik oleh Sandika.

Namun, tampaknya, jamuan ini tampaknya bukan


jamuan biasa.

Entah bagaimana, jamuan makan siang itu lekas


berubah. Suasana tiba-tiba menjadi lebih seduktif, semua
dimulai oleh Sandika. Hingga pada akhirnya, tentu kalian
tahu apa yang mereka berdua lakukan; nafsu mulai naik
dan membara! Sentuhan-sentuhan saling mereka berikan.
Perihal dosa dan akhirat sudah tak terlintas lagi dalam
benak, pun norma-norma masyarakat. Satu yang mereka
tahu: Mereka tengah bersenang-senang. Meski
kesenangan yang dirasa itu fana.

34
Bab Enam: Dia Pelakunya!
Penjarakan!

E
ntah mengapa, Bhavana Satya seperti tengah
diterpa badai masalah. Belum genap dua hari
semenjak Aishwarya dan Akhsaya disembuhkan
dari ilmu hitam, tersiar lagi kabar bahwa seseorang di
istana kembali menjadi korban. Hal itu disampaikan oleh
telik sandi Atharya sesaat setelah Atharya meninggalkan
kediaman Sandika. Jadi, Atharya cepat-cepat pulang
walau informasi mengenai pengirim ilmu hitam kemarin
belum didapatnya.

Setibanya dia di istana, raut cemas Birendra yang


pertama kali menyambutnya. Dengan simpati yang
dimiliki, bertanyalah Atharya, katanya, “Paman, kali ini
siapa korbannya?”

Dengan suara bergetar dan pelan, Birendra


menjawab, “Putraku…. Sepupumu…. Bimantaraku….”

Lagi-lagi, keluarga kerajaan. Atharya hanya bisa


diam; bergeming tak bersuara. Dia hanya bisa
menenangkan Pamannya dengan sebuah pelukan. Atharya
tidak pandai berkata-kata, apalagi menghibur dan
menguatkan orang. Dia berharap, presensinya di sana
dapat menenangkan Birendra meski tidak banyak.

35
Aishwarya serta Akshaya yang belum pulih benar
memaksakan diri mereka untuk beranjak menuju kamar
Bimantara. Di sana, meski masih lemas Aishwarya
menenangkan dan menguatkan adik iparnya seraya
berdoa kepada Dewa bahwa semua akan baik-baik saja.
Sementara Akshaya berdiri tak jauh dari Bimantara yang
tengah diobati, matanya berkaca-kaca seperti tengah
menahan tangis. Atharya sendiri tidak berbuat banyak, dia
hanya bergelut dengan pikiran dan asumsi-asumsi; bisa
jadi sehabis ini, Atharya atau Birendra yang akan menjadi
korban.

“Pelakunya harus segera ditangkap. Jika tidak,


maka kerajaan ini bisa terancam posisinya. Apalagi, kabar
mengenai kejadian-kejadian ini pasti sudah terdengar ke
kerajaan-kerajaan lain,” gumam Atharya.

Saat dia masih berkutat dengan apa yang terlintas


dalam benaknya, salah seorang telik sandi Birendra
memasuki ruangan lalu membisikkan sesuatu ke telinga
sang penguasa Bhavana Satya. Entah apa yang didengar,
cepat-cepat Birendra bangkit dari posisinya lalu menuju
Atharya.

Menyadari langkah Birendra tampak dibubuhi


amarah, bertanyalah Atharya, “Ada apa, Paman?”

Bukan kata-kata, melainkan tamparan keras di


pipi kanan yang ia dapatkan sebagai jawaban. Atharya

36
terhuyung beberapa langkah ke belakang. Bingung. Dia
bingung. Apa gerangan kesalahan yang dia lakukan
sehingga sang Paman sampai semarah itu?

Aishwarya yang melihat putranya ditampar tidak


terima, kemudian menyentak Birendra, “Apa yang kau
lakukan? Mengapa kau menampar putraku? Apa yang
sudah dia perbuat?”

Birendra berbalik dan berkata, “Kau ingin tahu


apa yang diperbuat oleh putramu? Baiklah. Akan aku beri
tahu. BAWA DIA MASUK!”

Dua orang prajurit menyeret paksa seorang wanita


ke dalam kamar Bimantara. Wajahnya lesu, kepalanya
tertunduk. Bersama prajurit dan wanita itu, salah seorang
telik sandi Birendra juga turut masuk. Birendra
memerintahkan prajuritnya untuk mengangkat kepala
wanita itu, memaksa dia untuk menampakkan wajahnya
ke seisi ruangan.

“Atharya, kau kenal siapa dia?” desis Birendra,


masih dipenuhi oleh amarah.

Atharya memicingkan mata, wajah itu tampak


tidak asing. Wajah mungil, berkulit putih bersih dengan
bibir tebal berwarna merah muda. Sandika! Wanita yang
diseret paksa itu adalah Sandika!

37
“San … dika?” cicit Atharya, nyaris tidak
terdengar.

Telik sandi Birendra berdeham, kemudian


menjelaskan, “Dia adalah Sandika. Pelaku yang
mengirimkan ilmu hitam pada Yang Dimuliakan
Aishwarya, Putri Akshaya, serta Pangeran Bimantara.
Kami menangkapnya di kediamannya yang berada di
dekat taman kota beberapa waktu lalu. Saat diinterogasi,
dia berkata bahwa dia hanya seorang suruhan. Awalnya
dia tidak ingin, tetapi Sandika dirayu dengan rayu-rayuan
seduktif sehingga pada akhirnya dia melakukan hal keji
itu. Ditambah lagi, Sandika mengaku bahwa orang yang
menyuruhnya belum lama pergi sehabis dia meniduri
Sandika.”

Tak ayal, seisi ruangan—termasuk pendeta dan


tabib yang tengah mengobati Bimantara tersentak.
Akshaya yang penasaran, lantas bertanya, “Siapa yang
menyuruhmu, Sandika? Apa dia berada di ruangan ini?”

Sandika mengangguk dan menjawab dengan satu


kata, “Atharya.”

Semua mata menuju pada Atharya. Seketika, dia


jadi pusat perhatian.

38
“Kakak? Tidak mungkin! Kau pasti berbohong,
‘kan? Katakan yang sejujurnya, Sandika! Jangan kau
memfitnah kakakku! Dia tidak mungkin berbuat begitu!”

“Tapi sayangnya kakakmu yang melakukan itu,


Putri,” sela Birendra. “Atharya, kau sudah tertangkap
basah. Apa kau memiliki sesuatu untuk dikatakan?”

Atharya diam.

“Tidak ada yang ingin kau katakan? Kau


mengakui bahwa kau pelakunya sekaligus melanggar
norma masyarakat?” tanya Birendra sekali lagi.

Dengan suara serak, Aishwarya angkat bicara.


Nadanya dingin pula tegas, ujarnya, “Jawab, Nak.”

“Aku … aku mengakui bahwa benar aku meniduri


Sandika. Tapi, dia yang memancing diriku! Dia yang
pertama kali merayuku dan mengajakku ke kediamannya!
Semua itu … semua itu terjadi begitu saja dan begitu
cepat! Aku tidak memulai apa-apa, aku tidak pernah
merayunya! Dan bukan aku yang memintanya untuk
mengirim ilmu hitam kepada Ibu, Akshaya, atau
Bimantara! Lagi pula, untuk apa aku menyakiti
keluargaku sendiri?”

Aishwarya mendekati Atharya, lalu mendaratkan


tamparan di pipi kirinya. “Apa ini yang Ibu ajarkan?

39
Bercinta di luar hubungan pernikahan? Sebegitu
rendahnya moral yang kau punya?”

“Ya, Aishwarya. Putramu itu rendahan. Pengecut!


Berani-beraninya dia melanggar norma masyarakat
sekaligus norma hukum yang diterapkan di Bhavana
Satya!” sela Birendra dengan nada yang meningkat di
setiap katanya. “Prajurit! Jebloskan dia ke penjara bawah
tanah bersama dukun itu! Biar esok hari hakim dapat
menjatuhkan hukuman yang pantas untuk keduanya,”
titah Birendra setelahnya.

Dua prajurit dari luar berderap masuk, memegang


dengan erat kedua lengan Atharya kemudian dengan
paksa menyeretnya keluar bersama dengan Sandika.
Akshaya yang masih membela sang kakak berteriak
histeris, berusaha menghentikan prajurit-prajurit itu. Tapi,
kekuatan dua prajurit itu jelas lebih kuat. Dengan mudah
mereka mendorong Akshaya untuk menyingkir sampai
sang putri terjatuh.

“HEI! Dia masih merupakan putri Bhavana Satya,


bersikaplah dengan sopan!” hardik Atharya, tapi dia sama
sekali tidak didengarkan.

Setelah ini, tidak akan ada yang mendengarkan


Atharya. Reputasinya sekarang hancur tak berbentuk.

40
Bab Tujuh: Bagian Dari
Rencana

D
inginnya jeruji besi harus dia hadapi. Atharya
tahu, bagian meniduri Sandika adalah
kesalahannya. Tapi, dia sama sekali tidak
menyuruh Sandika untuk mengirimkan ilmu hitam pada
keluarganya. Mengapa Sandika berbohong? Omong-
omong soal Sandika, setelah dia diseret ke penjara bawah
tanah ini, dirinya sama sekali tidak terlihat. Bukankah dia
seharusnya berada di salah satu sel penjara bawah tanah
ini? Akan tetapi, presensinya tidak ada sama sekali!
“Kau mencari dan merindukanku, hm?”
Suara seorang wanita membuyarkan lamunannya.
Atharya mendongak, mendapati Sandika tengah
tersenyum lebar di depan jerujinya. Pangeran itu
membelalak, merasa heran sebab Sandika tidak dikurung
di balik jeruji layaknya dirinya.
“Kenapa, hm? Kau terkejut, sayang?”
Atharya bangkit dari posisinya, berjalan menuju
jeruji lalu mendesis, “Kau….”
“Aku? Aku apa?” tanya Sandika yang lagi-lagi,
membelai lembut jemari Atharya yang tengah
menggenggam batang besi penjara.

41
Atharya langsung menarik tangannya, merasa
jijik.
“Ah, kau marah? Atau … kau penasaran mengapa
kau dipenjara sedangkan aku tidak? Jawabannya mudah,
kau tertipu,” kekeh Sandika. “Ssst, sebelum kau protes.
Sayang, mau aku jelaskan? Kau itu bodoh. Mudah sekali
tertipu dan dijebak. Padahal, dalang dari semuanya berada
di dekatmu. Sangat dekat dengan dirimu.”
“Kurang ajar, berani-beraninya kau! Kau pegang
perkataanku, aku akan membuktikan kalau aku tidak
bersalah dan keluar dari penjara ini.”
Sandika mengendikan bahu. “Coba saja, aku tidak
peduli.” Dia menjeda perkataannya sejenak, lalu
melanjutkan, “Ah, apa kau ingin kutemani malam ini?
Mengulang aktivitas yang tadi kita lakukan?”
“Tidak, terima kasih. Aku tidak sudi.”

Tepat tengah malam, jeruji Atharya diketuk


seseorang, berhasil membangunkan laki-laki itu dari
tidurnya. Di depan jeruji, Atharya mendapati telik sandi
kepercayaannya di sana bersama seorang Guru; Acharya,
Guru keluarga kerajaan. Lekas Atharya bangkit, menyapa
sang guru dengan penuh hormat dan bakti.

42
“Atharya, telik sandimu telah memberitahukan
kepadaku segalanya. Aku cepat-cepat berangkat dari
Nawasena1 saat aku mendengar apa yang kau hadapi.”
“Guru, terima kasih karena kau telah datang. Aku
sangat membutuhkan bantuanmu. Biar aku jelaskan dari
awal, karena ini merupakan bagian dari rencanaku.”
Beberapa waktu lalu.
Atharya yang sedang bertengkar dengan Akshaya
sadar akan eksistensi Bimantara yang menatap keduanya
dari jauh. Tapi, dia tidak peduli. Tak lama dari itu, saat
keduanya masih bertengkar, Atharya melihat Birendra
sedang membicarakan sesuatu dengan Bimantara.
Namun, raut Bimantara tampak tidak senang. Dia tampak
marah sambil menatapnya. Atharya bingung, tapi dia
sudah lebih dahulu dibuat kewalahan oleh Akshaya
sehingga dia tidak terlalu peduli.
Setelah Atharya dan Akshaya menyelesaikan
pertengkaran mereka, Birendra serta Bimantara sudah
tidak ada lagi di tempat itu. Siangnya, dia melihat
Birendra dan Bimantara kembali entah dari mana,
melalui taman belakang istana dan mengenakan jubah
serba hitam. Atharya sedikit menaruh rasa curiga. Oleh

1
Di Bhavana Satya, Nawasena adalah nama kota yang merupakan
sebuah kota pendidikan (hlm 3).

43
karena itu, dia memutuskan untuk menghampiri
Bimantara di taman, tapi responnya tidak mengenakan.
Lalu, dia memutuskan untuk turun ke kota. Tanpa
sengaja bertemu Sandika, padahal niat awalnya hanyalah
memantau kondisi rakyat. Sekembalinya dia dari
penyamaran, kabar mengenai Ibu dan adiknya yang
terkena ilmu hitam membuatnya panik. Saat itu, dia tidak
berpikiran yang aneh atau curiga kepada siapa pun.
Atharya mulai menyelidiki semuanya kemarin.
Dan lagi-lagi dia bertemu dengan Sandika. Wanita itu
cantik, perlu diakui. Atharya bahkan sempat jatuh hati.
Tetapi, sejak pertemuan pertama mereka ada sesuatu
yang aneh tentang dirinya. Keanehan itu semakin
bertambah saat Sandika dengan sadar dan sengaja
mengelus jemari Atharya. Membuat dia semakin curiga.
Oleh karena itu, Atharya mengikuti semua
permainan Sandika sampai ke kediamannya dan
melakukan hal yang melanggar norma. Tujuannya bukan
untuk bersenang-senang, melainkan untuk mencari
jawaban. Pun, Atharya merekam perlakuan Sandika sejak
dia menjamu Atharya menggunakan alat perekam yang
memang sengaja dia bawa saat itu. Dia memiliki bukti
yang kuat bahwa bukan dia yang memulai.
Tujuan Atharya adalah mencari sebuah tanda.
Dukun yang belum lama mengirimkan ilmu hitam pada
seseorang akan memiliki sebuah tanda yang menyala di

44
belakang punggunggnya. Dan tanda itu dia temukan di
punggung Sandika.
“Tadi, belum lama Sandika datang ke sini dan
bodohnya dia malah memberiku sebuah petunjuk. Dia
mengatakan bahwa pelakunya berada sangat dekat
denganku. Guru, aku rasa Paman Birendra dan
Bimantaralah yang berada di balik semua ini.”
Acharya yang dengan baik menyimak penuturan
Atharya lantas bertanya, “Mengapa kau berpikir
demikian, Pangeran?”
“Karena sebelum aku menyamar ke kota hari ini,
tanpa sengaja aku mendengar percakapan Bimantara dan
Paman Birendra saat aku hendak mengambil pakaian
compang-campingku. Paman Birendra membicarakan
mengenai tahta Bimantara. Padahal, seperti yang
diketahui oleh semua orang, berdasarkan hukum akulah
yang berhak atas tahta Bhavana Satya.”
“Jadi, ini semua konspirasi Raja Birendra untuk
menyingkirkanmu sehingga tahta dapat sepenuhnya
menjadi hak Pangeran Bimantara?” tanya telik sandi
Atharya.
Atharya mengangguk.
“Baiklah. Aku dan telik sandiku untuk mencari
tahu. Jika aku mendapatkan bukti bahwa kau tidak
bersalah, akan langsung aku serahkan kepada hakim tanpa

45
perantara atau persetujuan Raja Birendra. Percayalah,
Nak, orang benar akan selalu diberi jalan dan keselamatan
oleh Dewa,” ujar Acharya sebelum dia bersama telik
sandi Atharya beranjak dari sana.

46
Bab Delapan: Fakta Baru yang
Terkuak

K
eesokan paginya, Atharya dan Sandika dibawa
ke ruang persidangan. Persidangan kedua
terdakwa itu dilakukan secara tertutup, hanya
keluarga kerajaan serta orang-orang penting Bhavana
Satya yang berkumpul di sana. Mereka memandang
rendah Atharya yang sebelumnya selalu mereka agung-
agungkan. Bisik-bisik memenuhi ruangan, kebanyakan
berisi hujatan yang ditujukan kepada si pangeran.
Kala persidangan dimulai, tuduhan demi tuduhan
dilayangkan oleh Birendra atas mereka—lebih
spesifiknya Atharya. Seakan belum cukup. Bimantara
(yang baru saja pulih) mengatakan bahwa selama ini
Atharya memperlakukannya dengan buruk. Kasak-kusuk
kembali memenuhi ruangan persidangan sampai-sampai
sang Hakim harus memerintahkan mereka untuk menutup
mulut.
“Pangeran Atharya, apakah kau memiliki bukti
untuk menyangkal semua tuduhan.”
Sekilas Atharya menyapukan pandangan ke
penjuru ruang sidang, akan tetapi dia tidak menemukan
sosok yang ia cari sama sekali. Helaan napas terdengar
berat, Atharya memutuskan untuk tetap diam. Mengulur
waktu tampaknya adalah keputusan yang tepat.

47
“Tidak ada?”
“Bukan tidak ada, belum Yang Mulia Hakim.
Bisakah kau memberikanku beberapa waktu?”
Hakim berdeham, mengangguk, “Kau aku beri
waktu sampai pukul sepuluh. Bila sampai pukul sepuluh
bukti yang kau maksud tidak bisa kau hadirkan di ruang
sidang, kau akan dijatuhkan hukuman yang setimpal.”

Pukul sepuluh.
Tepat sebelum hakim membuka mulut,
kedatangan seseorang mencuri atensi semua yang hadir di
situ. Perawakan gagah serta wibawanya memancar ke
seluruh penjuru, membuat kagum para hadirin di situ. Dia
adalah seorang yang terhormat, Guru Besar Acharya,
datang langsung dari Nawasena guna menghadiri sidang.
Birendra langsung bangkit dari kursinya, hendak
menyambut kedatangan sang Guru yang digdaya. “Guru,
selamat datang. Mengapa kau tidak menghubungiku
terlebih dahulu sebelum datang kemari?”
Acharya tersenyum tipis. “Aku tidak
mengumumkan kedatanganku karena aku membawa
sebuah kejutan. Terlebih untukmu, Birendra.”
Penasaran, lantas Birendra bertanya, “Kejutan
apa, Guru?”

48
Acharya tidak membalas pertanyaan Birendra
dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Jari
telunjuknya terangkat untuk memberi kode kepada salah
satu telik sandinya untuk masuk. Telik sandi Acharya
masuk bersama sebuah perkamen serta alat pemutar
rekaman. Dibukanya perkamen itu, lalu dibacakanlah
isinya agar semua orang dapat mengetahui apa yang
tertulis di perkamen itu.
“Surat perjanjian antara Raja Birendra dan
Sandika.”
Napas Birendra tercekat. Cepat-cepat dia berusaha
merebut perkamen itu tatkala mendengar kalimat pertama
yang dibacakan, akan tetapi Acharya terlebih dahulu
mengelak dan berjalan ke tengah ruangan.
“Dengan ditandatanganinya surat ini, Raja
Birendra menyatakan bahwa Sandika akan dilindungi dari
hukuman jika suatu saat diketahui bahwa Sandika adalah
pengirim ilmu hitam kepada Yang Dimuliakan Aishwarya
dan Putri Akshaya atas permintaan Raja Birendra dan
Pangeran Bimantara.
“Juga, dengan ditandatanganinya surat ini,
Sandika menyatakan bahwa Sandika tidak akan
memberitahukan kepada siapa pun mengenai pengiriman
ilmu hitam terhadap Yang Dimuliakan Aishwarya dan
Putri Akshaya yang merupakan perintah dari Raja
Birendra dan Pangeran Bimantara.

49
“Kedua pihak akan bekerjasama dengan baik.
Mengenai penambahan rencana dan/atau korban
pengiriman ilmu hitam diperbolehkan asal rencana
tambahan disetujui oleh kedua belah pihak. Ditulis dan
ditandatangani oleh Sandika dan Raja Birendra, penguasa
Bhavana Satya.”
Acharya menutup pembacaan isi perjanjian itu
dengan sebuah senyuman—berhasil membuat geram
Birendra serta malu Bimantara. Sang Guru Besar menatap
kepada hakim yang bertugas dan berkata, “Yang Mulia
Hakim, inilah bukti penyangkalan Atharya atas tuduhan
menggunakan dan/atau mengirim ilmu hitam kepada
orang lain. Saya juga memiliki bukti untuk menyangkal
tuduhan yang kedua, boleh saya tunjukkan?”
Sang hakim mengangguk.
Jemari Acharya lantas menekan tombol alat
pemutar rekaman saat permintaannya disetujui. Rekaman
itu berisi semua percakapan serta rayuan Sandika kepada
Atharya. Mendengar rekaman itu, Sandika tertunduk,
merasa geram. Saat rekaman suara sudah selesai, Acharya
memberi hormat pada hakim lalu melangkah mundur.
Putusan belum dijatuhkan, tetapi sebuah keributan
terpecik lalu membara. Birendra yang tidak terima
rencananya hancur berantakan lalu dengan buta hendak
menyerang Acharya. Serangan itu ditangkis oleh Atharya.

50
“Menjijikan, cuih!” Atharya meludah tepat di
depan wajah Birendra.
Birendra semakin naik pitam, wajahnya memerah.
Tapi, sebelum dia dapat membalas, kedua lengannya
ditahan oleh dua prajurit atas titah dari hakim yang
bertugas.
“Raja Birendra, apakah kau memiliki
penyangkalan atau pembelaan?” tanya sang hakim.
“Kau … kau berani bertanya kepada rajamu
sambil menatap matanya?” desis Birendra.
Sang hakim diam sejenak, kemudian menjawab,
“Ya. Karena menurut peraturan Bhavana Satya, di dalam
ruang persidangan yang memiliki kekuasaan tertinggi
adalah seorang hakim.”
“PERSETAN MENGENAI PERATURAN-
PERATURAN KONYOL ITU! Peraturan konyol itulah
yang membuat aku melakukan ini! Sangat tidak adil dan
aneh jika bukan putraku, Bimantara, yang menaikki tahta!
Melainkan putra adikku yang keparat itu! Aku melakukan
semua ini untuk menyingkirkan keponakanku yang
keparat itu, agar putraku dapat menjadi raja!
“Aku kira keponakanku yang satu itu sama
bodohnya dengan ayahnya. Tapi, ternyata tidak. Dia tidak
mudah diperdaya dan dibunuh. Berbeda dengan ayahnya
yang bodoh dan lugu itu!”

51
Bersama amarah yang meluap, sebuah fakta
termuntahkan. Fakta yang tersirat, tetapi Acharya,
Atharya, serta Aishwarya jelas mengerti artinya.
Dengan suara bergetar, Aishwarya bertanya,
“Jadi, suamiku tidak mati di medan perperangan
melainkan kau bunuh, adik ipar?”
“YA! YA AKU MEMBUNUHNYA! Dia TIDAK
PANTAS untuk menjadi seorang raja. Dia tidak memiliki
kualitas seorang raja. Dia terlalu baik, lemah, dan bodoh!”
Mendengar apa yang dikatakan oleh Birendra,
Atharya benar-benar tidak bisa menahan dirinya dan serta
merta mendaratkan sebuah tinjuan di rahang kiri bawah
wajah Birendra. Suasana ruang persidangan lekas ricuh,
bahkan hakim tidak dapat lagi mengendalikan keadaan di
situ. Dengan cepat terbentuk dua kubu, satu pendukung
Atharya dan satu lagi pendukung Birendra. Mereka
beradu kekuatan, saling menunjukkan kekuatan ott serta
keahlian berpedang mereka.
Birendra terpojokkan oleh amarah Atharya
menyala-nyala. Pendukung Birendra juga tidak baik
nasibnya, mereka dipojokkan oleh pendukung Atharya
yang jauh lebih banyak jumlahnya. Melihat hal itu,
Sandika lantas menggunakan kekuatan sihirnya;
menciptakan sebuah kabut hitam yang membutakan
semua orang. Saat kabut itu menghilang, Sandika,

52
Birendra, Bimantara, serta pendukung mereka telah
hilang.
“SIALAN! Mereka berhasil melarikan diri,” racau
Atharya.

Birendra, Bimantara, dan Sandika kini berstatus


sebagai penjahat kelas atas sedangkan Atharya diangkat
sebagai pengisi tahta sementara. Dengan tegas, Atharya
menyatakan perang atas Birendra dan sekutu melalui
pamflet-pamflet yang sengaja disebar di kota agar dilihat
oleh Birendra yang tengah bersembunyi. Keduanya sama-
sama menyusun strategi dan mencari aliansi guna
memenangkan perang yang menanti.
Sampai di suatu waktu, pihak Birendra
mengirimkan pesan ke istana bahwa dia siap bertempur di
medan tempur. Akhirnya, kedua pemimpin itu, Birendra
dan Atharya bertemu untuk membicarakan mengenai
penetapan Dharmayudha2 sebagai aturan perang
kemudian bersumpah untuk tidak melanggarnya.

2
Tiga belas peraturan perang Kurukshetra (Perang Bharatayudha
versi India).

53
Bab Sembilan: Perang

B
erdasarkan pada pertemuan terakhir, perang akan
dilaksanakan dalam waktu satu minggu lagi.
Kedua pihak semakin gencar mencari sekutu,
mempersiapkan persenjataan serta perbekalan selama
perang. Strategi demi strategi juga telah disusun dengan
rapih dan apik. Bhavana Satya siap menjadi saksi
perseteruan dua sepupu yang awalnya saling mengasihi
malah berakhir saling membenci.

Pasukan Atharya didominasi oleh prajurit-


prajurit; mengandalkan ketahanan serta kekuatan fisik
sedangkan pasukan Birendra didominasi oleh para
penyihir; mengandalkan energi serta kekuatan mistis.
Namun, untuk menangkal kekuatan itu, Atharya bersama
Acharya dan beberapa Guru yang ada di pihaknya
membuat sebuah baju pelindung serta perisai yang dapat
menangkal serangan energi gelap.

Satu minggu nyaris berlalu. Sekarang, saatnya


mereka untuk turun ke medan tempur. Atharya meminta
berkat dari ibunya: Aishwarya sebelum meninggalkan
kerajaan yang megah itu.

“Kembalilah dengan selamat dengan membawa


serta kemenangan bersamamu, Nak.”

54
Setelah meminta berkat kepada sang ibu, Atharya
kemudian menuju sang adik: Akshaya, kemudian
memeluknya erat sambil berbisik, “Kakak akan kembali.
Nanti, sambut kakak dengan acara yang meriah, ya?”

Akshaya mengangguk di dalam pelukan sambil


berusaha sekuat mungkin menahan air mata. Setelah
berpamitan, Atharya bersama para senopati serta prajurit
yang setia kepadanya berangkat menuju medan perang.
Perang ini tentu tidak akan mudah, tapi dia akan berusaha
untuk memenangkannya.

Kedua pasukan sudah berada di medan


perempuran yang sudah mereka sepakati bersama: di
bagian Utara Bhavana Satya yang tidak padat penduduk.
Semua orang yang bertempat tinggal di sekitar area itu
sudah diungsikan, semua kerusakan akibat perang juga
akan diganti oleh pemerintahan. Mereka sampai semalam
sebelumnya.

Esoknya, pagi-pagi sekali saat matahari sudah


terbit, ditiupkanlah sangkakal penanda dimulainya
perang. Tak ayal, kedua pihak langsung menjalankan
strategi mereka—entah membentuk formasi pertahanan
maupun penyerangan.

55
Pasukan Birendra lebih sedikit jumlahnya
sehingga mudah sekali dipojokkan. Acharya berkali-kali
mengingatkan pasukannya untuk tidak jumawa, sebab
roda kehidupan dapat berputar dengan cepat. Dan benar
saja, tak lama kemudian datang pasukan dari berbagai
sisi; mengepung Atharya beserta pasukannya.

“Mereka menggunakan formasi Cakrabyuha3!


Gunakan formasi Sarpabyuha4 untuk menyerang!” titah
Atharya setelah menyadari posisi mereka yang terjepit.

Prajurit-prajurit lantas berkumpul dan membentuk


badan seekor ular dengan Acharya, Atharya, dan dua
orang senopati berada di bagian kepala, satu senopati
memimpin di bagian ekor, serta empat senopati
memimpin di bagian badan. Dengan formasi ini, formasi
Cakrabyuha Birendra berhasil dipatahkan.

Tepat pada saat itu, matahari terbenam dan


sangkakala perang ditiupkan.

“Matahari sudah terbenam, perang akan


dilanjutkan besok pagi,” tegas Atharya. Namun,
sepertinya Birendra tidak peduli dan tidak ingin mematuhi
peraturan perang. Saat Atharya beserta pasukannya
hendak membubarkan diri, tiba-tiba Birendra memberi
perintah pada pasukannya untuk menyerang. “Persetan

3
Formasi berbentuk lingkaran/cakram (Mahabharata)
4
Formasi ular (Mahabharata)

56
mengenai peraturan perang itu, SERANG!” titah
Birendra.

Jadilah pasukan Birendra menyerang dari


belakang, berhasil menghabisi beberapa orang prajurit
dengan menikam punggung mereka. Acharya menyadari
apa yang terjadi dan berkata, “Raja Birendra tetap
melanjutkan perang, semuanya berjaga-jaga dan
melawanlah!”

Atharya mengumpat, marah dengan tindakan


menjijikan sang paman serta tombak yang berhasil
menyerempet bahunya dari belakang. “SIALAN!”

Bagai hewan liar yang terluka, Atharya menyabet


kepala beberapa prajurit lawan sekaligus menggunakan
pedang. Sejak dimulainya perang, dia tidak bertemu
dengan Sandika, Bimantara, atau Birendra. Oleh karena
itu, sekarang dia tengah membabi buta mencari
keberadaan tiga orang itu—tiga orang yang sangat ingin
dia habisi.

Dari jauh, maniknya mendapati kehadiran


Sandika. Lantas, cepat-cepat dia memacu kudanya ke situ
dan disambut oleh lemparan bola-bola energi yang
menghantam tubuh sehingga dia terjatuh..

“Sayang, sungguh, aku tidak ingin melawanmu


sama sekali. Tapi, apalah dayaku? Sehabis ini aku akan

57
berlutut di hadaoan Birendra karena menghabisi
keponakannya.”

Atharya menyengir, “Kau yakin kau dapat


membunuhku semudah ini?”

“Tentu! Kau tidak tahu jika bola-bola energi yang


menyerangmu sampai terjatuh sebentar lagi juga akan
menyerang bagian dalam tubuhmu?”

Atharya terbahak-bahak. “Kau cantik, tapi sayang,


kau itu bodoh.” Memanfaatkan Sandika yang
kebingungan, Atharya yang masih terkapar di tanah
menarik kedua kaki Sandika sampai wanita itu mencium
bumi. Lalu, Atharya bangkit dan menginjak punggung
Sandika.

“Aku dilindungi, begitu pula pasukanku. Karena


itu, energi mistis milikmu dan rekan penyihirmu tidak
memberi banyak pengaruh. Oh, tenang saja, aku tidak
akan membunuhmu di sini. Kau tidak akan mati di sini.”
Kemudian, Atharya menginjak kepala Sandika beberapa
detik sebelum beranjak dari situ dan memasuki medan
tempur lagi.

Suara denting pedang yang beradu, derap kaki


kuda dan gajah yang berpadu, serta bau anyir yang
menusuk menyelimuti malam itu. Bimantara menyerah di
tangan salah satu senopati, sedangkan Sandika yang tadi

58
terkapar dianggap sudah menyerah juga. Pemimpin
pasukan itu hanya tersisa satu orang, Birendra. Atharya
memusatkan fokus mereka untuk mencari Birendra yang
bersembunyi di bawah ketiak prajurit-prajuritnya.

Sampai akhirnya, mereka berdua secara resmi


bertemu di medan perang. Amarah Atharya yang
sebelumnya padam lantas tiba-tiba kembali membara.
“Kau … kau membunuh ayahku! Akan kubalaskan apa
yang kau perbuat pada ayahku!”

Tanpa menunggu respon Birendra, Atharya lantas


melompat dari kudanya dan menyabetkan pedangnya ke
lengan kanan Birendra. Birendra menghindar, kemudian
dari belakang memberi serangan di punggung Atharya.
Namun, hal itu tidak menghentikan Atharya sama sekali.
Dengan secepat angin, Atharya menendang tulang kering
Birendra sampai dia tengkurap di tanah lalu memotong
lengan kirinya. Birendra berteriak kesakitan, tapi mata
Atharya sama sekali tidak menyiratkan adanya
pengampunan.

Meski darah terus mengucur dan dia kehilangan


satu lengan, Birendra masih bangkit dan melanjutkan
pertarungan satu lawan satu itu. Lama sekali mereka
bertarung, menciptakan banyak luka dan lebam di sekujur
tubuh. Sampai pada akhirnya Birendra jatuh berlutut,
menjatuhkan pedangnya bertanda dia menyerah dan
mengaku kalah.

59
“Aku kalah, kau menang,” rintihnya.

Atharya menyarungkan kembali pedangnya,


menatap rendah Birendra lalu berbalik badan. Pada saat
itulah, Birendra bangkit dan menikam Atharya dari
belakang sambil mendesis, “Kau bodoh seperti ayahmu.”

Darah mengalir deras serta menyelimuti pedang


Birendra dengan sempurna. Tubuh Atharya rubuh ke
tanah, membangkitkan ego Birendra yang kembali
muncul setelah sekian lama dan mendeklarasikan dirinya
sebagai pemenang dan Atharya telah tewas.

Birendra terbahak, merasa bahagia, bahkan


melakukan selebrasi sebab sudah lebih dari satu menit
Atharya tidak bergerak. Pasti dia sudah binasa! Birendra
berbalik badan, tidak tahu pada saat yang sama dengan
tertatih-tatih Atharya bangkit. Dia meraih pedang
berdarah yang tadi dijatuhkan ke tanah oleh Birendra saat
selebrasi kemudian dengan susah payah menyabetkan
pedang itu ke salah satu kaki. Birendra terjatuh, berteriak
kesakitan untuk yang kedua kali.

Pengawas perang menyatakan bahwa pemenang


perang adalah Atharya. Cepat-cepat Acharya membawa
tubuh Atharya yang bersimbah darah ke perkemahan
untuk dirawat.

60
Bab Sepuluh: Hukuman

S
emua pasukan—menang maupun kalah kembali ke
istana yang berada di Ibu Kota Bhavana Satya.
Sandika, Bimantara, dan Birendra dirantai saat
dibawah ke dalam kota sedangkan semua pasukan lawan
yang memutuskan untuk menyerah nantinya akan diminta
untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka benar-
benar menyerah, kemudian akan dibebaskan. Jasad-jasad
prajurit yang gugur dalam perang akan dimakamkan.
Sekembalinya Atharya, dia lekas disambut oleh
ibu serta adiknya dan dielu-elukan oleh rakyatnya.
Namun, dia tidak dapat berinteraksi banyak karena luka
dalam yang dialaminya. Oleh karena itu, Atharya banyak
menghabiskan waktunya untuk beristirahat dan
memulihkan raganya yang terluka parah.
“Kakak…. Kau benar-benar menepati janjimu,”
ujar Akshaya di suatu waktu, saat si tuan putri memasuki
kamar Atharya guna menjenguk.
Atharya tersenyum. “Tentu. Kakakmu ‘kan tidak
pernah melanggar janjinya.”
Entah apa yang merasuki Akshaya, dia tiba-tiba
menangis dan merengek, “Kakak tahu tidak? Selama
kakak berperang aku sangat takut. Aku takut kehilangan
kakak. Aku takut kakak pergi meninggalkanku seperti
ayah. Walau perang yang terjadi hanya dua hari, tapi tetap

61
saja, dua hari itu sangat menyiksa. Aku seperti berada di
dalam neraka.”
Reflek, Atharya meraih Akhsaya ke dalam
pelukannya kemudian mengelus-elus lembut kepalanya.
Dengan pelan, Atharya menenangkan sang adik, “Sudah,
jangan menangis. Sekarang kakakmu ada di sini, ‘kan?”
Akshaya mengangguk kemudian teringat sesuatu.
“Ah iya, kakak. Saat aku datang kemari, ibu memintaku
untuk memberitahumu bahwa persidangan untuk paman,
kak Bimantara, serta Sandika akan dilaksanakan besok
pagi di alun-alun kota.”
“Baiklah. Terima kasih atas informasinya,
Akshaya.”
Ω
Esoknya, meski kondisi Atharya belum pulih
sepenuhnya dia tetap menghadiri dan melihat jalannya
persidangan. Sesuai aturan yang ditetapkan, Sandika akan
dijatuhi hukuman mati atas tuduhan penggunaan ilmu
hitam. Sandika tidak memiliki penyangkalan sebab
perbuatannya tidak dapat disangkal lagi.
Hukuman untuk Bimantara dan Birendralah yang
belum ditentukan sama sekali. Birendra juga masih
mengelak dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya,
membuat semua spektator menjadi geram. Bila ditanya,
jawaban yang diberikannya berbelit-belit. Birendra sama

62
sekali tidak ingin berkoordinasi meski dia sekarang tidak
memiliki satu lengan dan satu kaki lagi! Sampai pada
akhirnya, dia juga dijatuhi hukuman mati.
Tibalah giliran Bimantara untuk diadili. Sebab dia
hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Birendra,
sang ayah, dia tidak mendapatkan hukuman seberat
Birendra. Dia dijatuhi hukuman penjara bawah tanah
selama 25 tahun dan dicabut gelar bangsawannya.
Namun, tiba-tiba Bimantara berlutut di hadapan
semua orang. Memohon belas kasihan, apalagi kepada
Atharya dengan berkata, “Atharya, aku sungguh
menyesali semua perbuatanku dan ayah. Aku mohon,
jangan berikan hukuman mati kepada ayah. Aku tidak
masalah dengan hukumanku, tetapi tolong bicaralah
kepada hakim untuk tidak menghukum mati ayah.”
Para spektator lantas menyoraki Bimantara,
mengumpatinya dengan cemoohan dan kata-kata yang
tidak pantas. Atharya yang masih memiliki hati berbicara
dengan hakim, sehingga keputusan akhir diubah.
“Atas pertimbangan yang diajukan oleh pangeran
Atharya, pangeran Bimantara dan Raja Birendra dicabut
gelar bangsawannya dan harus mengasingkan diri ke
hutan sampai akhir hidup mereka. Tidak ada rakyat
Bhavana Satya yang boleh berbicara dan membantu
mereka mulai sekarang. Persidangan ditutup,” tegas
hakim.

63
Entah keputusan untuk tidak menghabisi
keduanya sudah benar atau tidak, Atharya tidak tahu.
Setelah persidangan selesai, tidak ada yang
langsung membubarkan diri mereka karena eksekusi
terhadap Sandika akan dimulai. Wanita itu dibawa
menuju Guillotine5 untuk dicabut nyawanya. Saat
dibiarkan untuk menyampaikan perkataan terakhirnya,
Sandika hanya tersenyum. Dianggap tidak memiliki apa-
apa untuk dibicarakan, kepala Sandika dipenggal di
hadapan semua orang.
Ω

5
Alat pencabut nyawa, alat pacung.

64
Epilog

A
tharya, Akshaya, serta Aishwarya mengunjungi
makam Arkandra setelah penobatan Atharya
sebagai Maharaja satu bulan setelah selesainya
perang saudara. Atharya berlutut di hadapan nisan sang
ayah, kemudian memeluknya sambil menangis dan
berkata, “Ayah, aku merindukanmu. Sangat
merindukanmu. Ayah, aku sudah membalaskan kematian
ayah.”
Saat Atharya berbicara demikian, angin berembus.
Seolah-olah Arkandra hadir di situ dan merasa senang
akan perkataan yang baru saja dikatakan oleh Atharya.
Mereka di sana berbincang-bincang, menceritakan
semua yang terjadi di hadapan nisan milik Arkandra
sampai matahari hampir tenggelam di Barat. Aishwarya
dan Akshaya yang terlebih dahulu beranjak dari makam,
lalu diikuti oleh Atharya kira-kira dua puluh menit
kemudian.
Di dekat makam Arkandra, saat Atharya hendak
pergi, dia melihat sesosok wanita. Dari belakang, figurnya
tampak familiar. Wanita itu seperti Sandika. Baru saja
hendak menghampiri, Akshaya sudah berteriak-teriak
memanggil Atharya yang menghabiskan waktu terlalu
lama.

65
Jadi, Atharya pergi tanpa tahu siapa wanita itu.
Mungkinkah dia Sandika? Atau sosok yang mirip
Sandika?
Ω

66
Biodata Penulis
JOCELYN BRILLIANT HO

Jocelyn Brilliant Ho,


Lahir di Palembang
pada tanggal 11
Agustus 2005, penulis
berkebangsaan
Indonesia dan akrab
dipanggil Jose.
Penulis bersekolah di
SMA Xaverius 1
Palembang, jurusan
IPS. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Baptis, SD
Baptis, SMP Negeri 3 Palembang, dan Setelah lulus nanti
penulis berencana untuk melanjutkan kuliah di jurusan
Ilmu Komunikasi Universitas Sriwijaya.
Penulis ini memiliki hobi yaitu bermain game, menonton
film dan membaca komik serta menggambar karakter
karakter anime. Penulis berkeinginan untuk pergi berlibur
berkeliling dunia dan menjadi seorang pengusaha hebat
yang bisa membuka lowongan pekerjaan bagi orang
banyak.

iii
KAYLA CHELSIE ANINDRA

Kayla Chelsie Anindra


lahir di Palembang, 07
Oktober 2005. Penulis
yang akrab disapa
sebagai Kayla ini
sedang menempuh
pendidikan menengah
atasnya di SMA
Xaverius 1 Palembang
jurusan IPS. Penulis
memiliki hobi memasak, bernyanyi dan menonton film.
Setelah lulus nanti penulis berencana untuk melanjutkan
kuliah di jurusan Sosiologi Universitas Sriwijaya.

iv
VALENCIA FEODORA ZIVA
Valencia Feodora Ziva
lahir di Palembang, 04
September 2005.
Penulis yang akrab
disapa sebagai Valen
atau Ziva ini
menempuh pendidikan
menengah atasnya di
SMA Xaverius 1
Palembang jurusan
IPS. Sejak kecil, penulis sudah suka membaca dan
menulis. Oleh karena itu, guna menyalurkan hobi, penulis
membuka akun Wattpad dengan nama akun @lenmythix
dan mempublikasikan sebuah cerita panjang serta sebuah
antologi puisi. Selain itu, penulis juga pernah dua kali
memenangkan lomba menulis cerpen nasional yang
diadakan oleh READERZEN dan kedua cerpen yang dia
tulis masing-masing terbit dalam antologi cerpen berjudul
“Evanthe” dan “Prospera”. Penulis dapat dihubungi
melalui Instagram: @vlenciafz.

v
Karya tulis ini merupakan persembahan dari
kami bertiga. Dari kiri ke kanan: Kayla,
Jocelyn, Valencia.
XII IPS 1. SMA Xaverius 1 Palembang.
Tahun ajaran 2022/2023.

vi

Anda mungkin juga menyukai