Bhavana Satya
Bhavana Satya
Terima Kasih
Terima kasih kami haturkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, sebab karena rahmat yang Ia berikan kami
dapat menyelesaikan novelet berjudul “Bhavana Satya”
ini dengan tepat waktu. Terima kasih hendak kami
haturkan pula kepada Ibu Helena Wulandari selaku guru
mata pelajaran sekaligus guru pembimbing sehingga
novelet ini bisa kami tulis dengan apik dan baik.
Tidak lupa, kami juga berterima kasih kepada
teman-teman yang sudah memberi kami semangat dan
motivasi untuk menyelesaikan kisah mengenai kehidupan
putra mahkota Atharya Shankara.
Bhavana Satya ini terinspirasi dari epos terbesar
sepanjang masa: Mahabharata. Dengan dituliskannya
Bhavana Satya, kami berharap kisah ini dapat
memberikan sebuah pembelajaran yang berharga bagi
para pembaca sekalian.
Palembang, 25 Februari 2023
i
Daftar Isi
Prolog .............................................................................. 1
Epilog ............................................................................ 65
ii
Prolog
G
enderang pertanda perang ditabuh, persenjataan
diangkut oleh kuda-kuda menuju medan tempur.
Rintihan-rintihan para ibu serta para istri
berpadu dengan teriakan-teriakan ribuan prajurit yang
sudah siap bertempur. Untuk pertama kali setelah sekian
tahun, Bhavana Satya kembali harus maju ke medan yang
nantinya akan dipenuhi oleh amis darah—darah
penghabisan! Di istana, maharaja Arkandra tampak gagah
dengan baju pelindung yang ditempa oleh pandai besi
terbaik, menenangkan sang istri yang tengah hamil.
Keduanya saling menghambur dalam pelukan,
menciptakan kehangatan yang entah akan dirasakan lagi
atau tidak. Aishwarya—sang permaisuri menyeka air
mata tatkala sang suami melepaskan genggaman. Dengan
berat hati, Aishwarya serta para istri lain melepas pergi
suami-suami mereka guna membela tanah yang mereka
pijak; tanah Bhavana Satya.
Derap pasukan berkuda terdengar begitu jelas,
menimbulkan gidik kengerian. Langkah kaki prajurit-
prajurit terdengar mantap, meski bisa saja keraguan
menyelip sedikit di dalam jiwa mereka. Aishwarya berdiri
diam di balkon istana, menatap pasukan yang semakin
mengecil—lama-kelamaan menyaingi ukuran semut-
semut yang tengah berbaris. Saat pasukan tidak lagi dapat
1
terlihat, Aishwarya beranjak dari balkon istana sambil
bergumam, “Semoga kemenangan berada di pihak kita.”
Perang terjadi berhari-hari. Selama itu pula,
pembawa pesan pulang-pergi untuk menyampaikan
kejadian-kejadian penting di pertempuran. Selama itu
pula, ketakutan memakan habis jiwa Aishwarya. Sampai
pada suatu malam, saat perang belum usai, Aishwarya
yang memang tengah hamil besar melahirkan sepasang
anak kembar: laki-laki dan perempuan. Tangis keduanya
menciptakan sukacita di istana.
Namun, pada saat itu Aishwarya tidak tahu.
Bahwa selain di istana, tangisan juga pecah di medan
perang.
2
Bab Satu: Aishwarya dan Si
Kembar
B
havana Satya, sebuah kerajaan yang dibatasi oleh
aliran-aliran sungai indah. Perdagangan
merupakan pilar utama kejayaan Bhavana Satya,
karena tak jarang kerajaan ini dijadikan sebagai tempat
singgah para pedagang dari berbagai penjuru dunia!
Pelabuhannya amatlah terkenal, bahkan sampai ke
pelosok-pelosok nama pelabuhannya kerap
dikumandangkan. Bagi para pedagang, pelabuhan
Bhavana Satya sudah menjadi primadona. Mereka rela
berhenti dan singgah, malah singgah di Bhavana Satya
merupakan sebuah kewajiban tidak tertulis di kaum
peniaga. Selain mereka, para pendeta dan pelancong dari
seluruh belahan dunia juga berduyun-duyun mendatangi
tanah yang katanya kental sekali dengan pendidikan dan
keagamaannya. Para pelancong pencari ilmu biasanya
menyempatkan diri untuk tinggal sejenak di kota
Nawasena—pusat pendidikan terkemuka, bahkan
mengalahkan pamor kota pendidikan negeri seberang.
Lalu, para pemuka agama biasanya tinggal sejenak di kota
Shraddha—pusat keagamaan kedua terbesar di dunia.
Tampaknya, sampai di sini semua pastilah berpikir bahwa
Bhavana Satya adalah surga dunia.
3
Begitu pula pikiran si kembar manis, yang setiap
hari mengisi istana dengan tawa merdu mereka.
Kebahagiaan tampak selalu menyertai, senyuman tidak
luntur-luntur dari wajah! Hampir semua pelayan dan
penjaga terkikik gemas melihat tingkah laku si kembar.
Mereka amat dicintai oleh seisi istana, nama mereka
seringkali diagung-agungkan juga! Pangeran Atharya dan
Putri Akshaya. Anak kembar dari mendiang Maharaja
Arkandra dari wangsa Shankara dan Permaisuri
Aishwarya. Pada awal kelahiran si kembar, semua orang
berbondong-bondong memberikan simpati. Sebab, tepat
saat keduanya hadir di dunia, sang ayah—mendiang
Maharaja Arkandra mengembuskan napas terakhirnya di
dunia.
4
perperangan. Tapi, tubuhnya masih terlalu lemah. Untuk
duduk bersandar saja sulit, apalagi untuk bangkit dan
berjalan? Jadilah, Aishwarya tenggelam dalam
pertanyaan-pertanyaan serta ketakutan yang memeluk
erat sampai tanpa sadar dia tertidur pulas.
5
kayu itu didorongnya, menimbulkan bunyi decitan yang
lekas membuat orang-orang menoleh. Membuat
perhatian para pelayan serta penjaga jatuh atas dirinya.
Dengan keanggunan dan kekuatan yang masih tersisa,
Aishwarya bertanya, "Ada apakah gerangan?"
6
seakan-akan semakin menguat, sampai-sampai kedua
kakinya terasa begitu lemas. Matanya yang indah tampak
memerah, berusaha keras menahan air mata yang hendak
tumpah ruah. Dia mengepalkan kedua jemarinya sampai
buku-buku kuku memutih. Lidahnya kelu, tenggorokannya
tersekat. Aishwarya kini berdiri bagaikan sebuah patung.
Patung yang tidak bernyawa sebelum tubuh indahnya
ambruk seluruhnya ke atas lantai pualam.
7
ejekan, pula saling menertawakan satu dengan yang lain.
Tidak jarang, Atharya kerap menjahili Akshaya sampai-
sampai si putri kecil menangis. Tetapi, sehabis itu Atharya
langsung cepat-cepat meminta maaf, kemudian keduanya
berbaikan seperti semula. Terkadang, canda tawa mereka
mengundang perhatian anak lain di istana: Bimantara.
Bimantara merupakan putra dari Birendra, raja yang
tengah memegang tahta. Akshaya tidak jarang mengajak
Bimantara untuk bermain bersama, sampai perlahan-
lahan mereka menjadi akrab meskipun terpaut perbedaan
umur beberapa tahun. Ketiganya dengan kompak sering
membuat ulah, sampai-sampai seluruh istana kewalahan
dibuatnya.
8
"Aduh!" rintihnya.
9
Bab Dua: Cinta, Kenakalan,
Kedengkian
H
anyalah sebatas mimpi indah belaka jika
Atharya serta Akshaya tidak dijatuhi hukuman
apa pun. Terlebih, setelah yang mereka lakukan
kemarin--berniat membolos dari pelajaran etika dan tata
krama! Oleh karena itu, sekarang mereka tengah
tertunduk. Keduanya tengah menanti hukuman yang akan
dijatuhkan, dalam hati berharap-harap cemas. Kesunyian
yang menyelimuti ruangan itu sama sekali tidak
membantu. Malah semakin memacu debar jantung—
semakin cepat, semakin gelisah, semakin khawatir.
Ditambah lagi perawakan Aishwarya yang tampak dingin
bagai sebongkah es raksasa. Atharya dan Akshaya
meneguk ludah dengan susah payah, pasti habislah
mereka.
10
menghindari pelajaran, sungguh! Kami hanya bermain
sampai lupa waktu, hanya itu."
11
lewatkan hari ini dan tetap mendapat materi yang
seharusnya diajarkan esok hari. Lalu, setelah pelajaran
usai barulah kalian diperbolehkan untuk bermain sesuka
hati. Setuju?"
12
Aishwarya kepada kedua sepupunya; Atharya dan
Akshaya, tampak begitu hangat dan indah. Dekapan
keluarga kecil itu seakan-akan menghangatkan seisi
istana, begitu pula dengan hati Bimantara. Anak laki-laki
itu bertanya-tanya di dalam hatinya, bagaimana rasanya
jika memiliki seorang ibu? Akan sebahagia apakah
hidupnya bila dia juga turut merasakan apa yang
dirasakan oleh kedua sepupunya itu? Atharya dan
Akshaya tidak memiliki sosok ayah. Tetapi menurut
Bimantara, Aishwarya merupakan ibu sekaligus ayah
mereka. Dengan piawai mantan permaisuri itu melakukan
tugas dua sosok penting sekaligus; sebagai seorang ibu
dan ayah.
13
Waktu terus berjalan. Beberapa tahun dengan
begitu saja berlalu bersama memori indah maupun buruk.
Tawa anak kecil yang biasanya mengisi kehampaan istana
nan megah berubah jua seiring waktu. Ketiga anak yang
bahagia itu kini mulai bertumbuh. Akshaya menjadi putri
yang jelita nan anggun, sedangkan Atharya serta
Bimantara menjadi sosok yang kuat nan tangguh. Canda
tawa perlahan-lahan lenyap, digantikan oleh pembicaraan
dengan topik yang mulai berat. Mereka mulai fokus
dengan jalan masing-masing, tanpa saling bersinggungan
satu sama lain.
14
gaunnya sambil belari jika tidak ingin jatuh dan
mempermalukan diri. Meski begitu, Akshaya begitu
gigih. Dia pantang berhenti, bahkan berusaha
mempercepat larinya guna menyusul Atharya yang begitu
menyebalkan hari ini. Usaha tidak mengkhianati hasil,
jemari lentik Akshaya berhasil meraih sedikit ujung
pakaian Atharya lalu menariknya ke belakang. Mau tidak
mau Atharya berhenti, bahkan kehilangan keseimbangan
dan jatuh ke atas lantai pualam.
15
"Apa? Apa yang ingin kau pinjam? Bahkan
terakhir kali saat kau meminjam sisirku, kau tanpa sengaja
mematahkannya!"
16
Bab Tiga: Bagaikan Bisikan
Setan
K
ilat amarah tersirat dari mata Bimantara. Entah
mengapa, semakin hari semakin habis jiwanya
dilahap oleh pikiran-pikiran serta perasaan-
perasaan buruk kepada si sepupu, terlebih Atharya.
Pandangannya akan saudaranya itu perlahan-lahan
berubah, bergeser, bahkan bertolak belakang dengan
pandangan awal yang ia miliki terhadap Atharya.
Terlebih, setelah dia mendengar apa yang dikatakan oleh
sang ayah; Birendra beberapa waktu yang lalu. Kala itu,
Bimantara tengah menatap pertengkaran sepupu
kembarnya dari jauh. Lalu, tiba-tiba sebuah tepukan
mendarat pada bahunya, diiringi oleh suara Birendra yang
menyapa indranya.
17
Sebelah alis Bimantara terangkat sambil bertanya,
"Apa yang kurang?"
"Tahta."
18
Bimantara kini seperti seekor tikus lugu yang termakan
perangkap pemilik rumah; terjebak--bahkan tanpa dia
sadari sama sekali. Bisikan-bisikan busuk itu merangkak
dari gendang telinga menuju batang otak, memicu detak
jantung yang semakin cepat serta amarah yang makin
menyala-nyala. Matanya perlahan memerah, tangannya
terkepal. Bimantara rasa-rasanya ingin berteriak dan
menghajar Atharya yang masih beradu mulut di depan
sana jika saja gerakannya tidak ditahan oleh tangan besar
sang ayah.
19
Birendra tersenyum. Hanya dua kata yang
diberikan sebagai balasan atas pertanyaan itu, "Ikut aku."
20
lelah tidak dirasa--paling tidak oleh Birendra meski
Bimantara agak-agaknya mulai ingin menyerah.
21
sama persis seperti yang mereka kenakan. Desa itu
hening, hening sekali. Dia tidak mendengar penduduknya
berbicara, sama sekali. Begitu aneh dan tidak biasa. Pada
titik ini, firasat buruk mulai merasuki Bimantara tapi lagi-
lagi dia hanya bungkam, tidak berani untuk bertanya.
"Apa kehendakmu?"
22
Bab Empat: Petaka!
S
emua berlalu dengan begitu cepat, secepat kilat
yang dengan antusias menyapa tanah. Semua
kegilaan yang belum lama tadi dia dengar dan
saksikan bisa-bisa membuatnya gila. Tapi, apa daya?
Yang terjadi dan akan terjadi hanyalah demi kebaikannya
seorang—kebaikan Bhavana Satya juga. Sejak tadi, dia
telah melepaskan jubah hitam nan panjang yang dia
kenakan, menampakan lagi pakaian mewah ala
bangsawan kerajaan yang tadi dia sembunyikan. Langkah
tegap Bimantara menyusuri taman istana; terbalut oleh
rerumputan hijau serta bunga-bunga yang menawan
bukan hanya bagi manusia, melainkan juga bagi para
serangga pengisap madu yang seringkali berdatangan.
23
melempar tatap. Suasana begitu canggung sebab
Bimantara hanya membalas sapaannya dengan anggukan.
24
Atharya mengenakan pakaian compang-camping,
berlagak sebagai pengemis dan menyusuri kota serta
pasar-pasar. Harga-harga kebutuhan pokok melambung
tinggi, prajurit-prajurit bersikap kasar dan semena-mena,
serta penarikan upeti yang tinggi dan mencekik. Ini bukan
lagi sebuah kerajaan, melainkan sebuah neraka, pikir
Atharya. Bukan hanya semena-mena, agaknya beberapa
prajurit juga bejat serta tak menghormati wanita.
“Terima kasih.”
25
“Apakah tidak ada yang ingin melaporkan
prajurit-prajurit itu ke istana agar mereka
dibebastugaskan?”
26
Mereka semua tertunduk dalam, menggeleng.
Tangan Atharya mengepal sampai putih kuku-kukunya;
menahan amarah. Bagaimana tidak? Baru saja kakinya
berpijak di halaman depan istana, sebuah kabar tidak
mengenakan sampai ke telinganya: ibu dan adiknya
berbaring tidak berdaya dengan suhu badan yang tinggi.
Sebelum Atharya datang, para dayang menceritakan
bahwa adiknya bahkan memuntahkan darah sebelum
jatuh pingsan. Ini bukan hal yang wajar.
27
ketakutan. Lantas, mereka membungkukan badan dalam-
dalam seraya menyapa Birendra serta Atharya yang
berada dalam ruangan, kata mereka, "Baginda Raja,
Pangeran, kami sungguh mohon maaf atas keterlambatan
kami."
28
kau berusaha mendekat, atau kau juga akan menjadi
seperti mereka. Sabarlah, mereka akan baik-baik saja."
29
"Pangeran, guna menangkal bala yang mungkin
akan menyerang Permaisuri serta Puteri, saya sarankan
untuk meletakkan tanaman Kecubung Wulung. Niscaya,
semua bala yang hendak datang dapat ditolak."
"Apa?"
30
Bab Lima: Penyelidikan dan
Sandika
K
eesokan harinya, saat matahari saja belum
menampakkan batang hidungnya di cakrawala,
sudah berangkat cepat-cepat Atharya. Niatnya
hari ini hanyalah satu, yakni melakukan penyelidikan dan
memburu pelaku pengirim ilmu hitam. Suasana pagi di
luar istana tampak riuh rendah. Pagi-pagi sekali, rakyat
sudah mulai disibukkan oleh berbagai macam aktivitas.
Tawar menawar barang pokok, omelan orang tua kepada
anak, teriakan-teriakan pedagang yang menjajakan barang
dagangannya, serta pengemis yang meminta-minta
memenuhi area pasar dan sudut kota lainnya.
31
Atharya mengerang frustasi saat dia mencapai
salah satu sudut pasar yang tak dihuni, “Sialan! Mengapa
aku belum menemukan apa-apa? Bahkan, telik sandiku
juga belum mendapatkan apa-apa. Padahal, matahari
sekarang sudah berada di atas kepala.”
32
Sandika menutup buku bacaannya. “Hei, kita
berjumpa lagi. Wajahmu tampak muram, ada apa
gerangan?” tanya sang juita sembari memegang jemari
Atharya dengan sentuhan lembutnya.
“Permintaan apa?”
33
“Datanglah ke kediamanku, bersamaku. Aku ingin
menjamumu sebagai tanda bahwa kita berteman,” ujar
Sandika yang tentu tidak ditolak oleh Atharya.
34
Bab Enam: Dia Pelakunya!
Penjarakan!
E
ntah mengapa, Bhavana Satya seperti tengah
diterpa badai masalah. Belum genap dua hari
semenjak Aishwarya dan Akhsaya disembuhkan
dari ilmu hitam, tersiar lagi kabar bahwa seseorang di
istana kembali menjadi korban. Hal itu disampaikan oleh
telik sandi Atharya sesaat setelah Atharya meninggalkan
kediaman Sandika. Jadi, Atharya cepat-cepat pulang
walau informasi mengenai pengirim ilmu hitam kemarin
belum didapatnya.
35
Aishwarya serta Akshaya yang belum pulih benar
memaksakan diri mereka untuk beranjak menuju kamar
Bimantara. Di sana, meski masih lemas Aishwarya
menenangkan dan menguatkan adik iparnya seraya
berdoa kepada Dewa bahwa semua akan baik-baik saja.
Sementara Akshaya berdiri tak jauh dari Bimantara yang
tengah diobati, matanya berkaca-kaca seperti tengah
menahan tangis. Atharya sendiri tidak berbuat banyak, dia
hanya bergelut dengan pikiran dan asumsi-asumsi; bisa
jadi sehabis ini, Atharya atau Birendra yang akan menjadi
korban.
36
terhuyung beberapa langkah ke belakang. Bingung. Dia
bingung. Apa gerangan kesalahan yang dia lakukan
sehingga sang Paman sampai semarah itu?
37
“San … dika?” cicit Atharya, nyaris tidak
terdengar.
38
“Kakak? Tidak mungkin! Kau pasti berbohong,
‘kan? Katakan yang sejujurnya, Sandika! Jangan kau
memfitnah kakakku! Dia tidak mungkin berbuat begitu!”
Atharya diam.
39
Bercinta di luar hubungan pernikahan? Sebegitu
rendahnya moral yang kau punya?”
40
Bab Tujuh: Bagian Dari
Rencana
D
inginnya jeruji besi harus dia hadapi. Atharya
tahu, bagian meniduri Sandika adalah
kesalahannya. Tapi, dia sama sekali tidak
menyuruh Sandika untuk mengirimkan ilmu hitam pada
keluarganya. Mengapa Sandika berbohong? Omong-
omong soal Sandika, setelah dia diseret ke penjara bawah
tanah ini, dirinya sama sekali tidak terlihat. Bukankah dia
seharusnya berada di salah satu sel penjara bawah tanah
ini? Akan tetapi, presensinya tidak ada sama sekali!
“Kau mencari dan merindukanku, hm?”
Suara seorang wanita membuyarkan lamunannya.
Atharya mendongak, mendapati Sandika tengah
tersenyum lebar di depan jerujinya. Pangeran itu
membelalak, merasa heran sebab Sandika tidak dikurung
di balik jeruji layaknya dirinya.
“Kenapa, hm? Kau terkejut, sayang?”
Atharya bangkit dari posisinya, berjalan menuju
jeruji lalu mendesis, “Kau….”
“Aku? Aku apa?” tanya Sandika yang lagi-lagi,
membelai lembut jemari Atharya yang tengah
menggenggam batang besi penjara.
41
Atharya langsung menarik tangannya, merasa
jijik.
“Ah, kau marah? Atau … kau penasaran mengapa
kau dipenjara sedangkan aku tidak? Jawabannya mudah,
kau tertipu,” kekeh Sandika. “Ssst, sebelum kau protes.
Sayang, mau aku jelaskan? Kau itu bodoh. Mudah sekali
tertipu dan dijebak. Padahal, dalang dari semuanya berada
di dekatmu. Sangat dekat dengan dirimu.”
“Kurang ajar, berani-beraninya kau! Kau pegang
perkataanku, aku akan membuktikan kalau aku tidak
bersalah dan keluar dari penjara ini.”
Sandika mengendikan bahu. “Coba saja, aku tidak
peduli.” Dia menjeda perkataannya sejenak, lalu
melanjutkan, “Ah, apa kau ingin kutemani malam ini?
Mengulang aktivitas yang tadi kita lakukan?”
“Tidak, terima kasih. Aku tidak sudi.”
42
“Atharya, telik sandimu telah memberitahukan
kepadaku segalanya. Aku cepat-cepat berangkat dari
Nawasena1 saat aku mendengar apa yang kau hadapi.”
“Guru, terima kasih karena kau telah datang. Aku
sangat membutuhkan bantuanmu. Biar aku jelaskan dari
awal, karena ini merupakan bagian dari rencanaku.”
Beberapa waktu lalu.
Atharya yang sedang bertengkar dengan Akshaya
sadar akan eksistensi Bimantara yang menatap keduanya
dari jauh. Tapi, dia tidak peduli. Tak lama dari itu, saat
keduanya masih bertengkar, Atharya melihat Birendra
sedang membicarakan sesuatu dengan Bimantara.
Namun, raut Bimantara tampak tidak senang. Dia tampak
marah sambil menatapnya. Atharya bingung, tapi dia
sudah lebih dahulu dibuat kewalahan oleh Akshaya
sehingga dia tidak terlalu peduli.
Setelah Atharya dan Akshaya menyelesaikan
pertengkaran mereka, Birendra serta Bimantara sudah
tidak ada lagi di tempat itu. Siangnya, dia melihat
Birendra dan Bimantara kembali entah dari mana,
melalui taman belakang istana dan mengenakan jubah
serba hitam. Atharya sedikit menaruh rasa curiga. Oleh
1
Di Bhavana Satya, Nawasena adalah nama kota yang merupakan
sebuah kota pendidikan (hlm 3).
43
karena itu, dia memutuskan untuk menghampiri
Bimantara di taman, tapi responnya tidak mengenakan.
Lalu, dia memutuskan untuk turun ke kota. Tanpa
sengaja bertemu Sandika, padahal niat awalnya hanyalah
memantau kondisi rakyat. Sekembalinya dia dari
penyamaran, kabar mengenai Ibu dan adiknya yang
terkena ilmu hitam membuatnya panik. Saat itu, dia tidak
berpikiran yang aneh atau curiga kepada siapa pun.
Atharya mulai menyelidiki semuanya kemarin.
Dan lagi-lagi dia bertemu dengan Sandika. Wanita itu
cantik, perlu diakui. Atharya bahkan sempat jatuh hati.
Tetapi, sejak pertemuan pertama mereka ada sesuatu
yang aneh tentang dirinya. Keanehan itu semakin
bertambah saat Sandika dengan sadar dan sengaja
mengelus jemari Atharya. Membuat dia semakin curiga.
Oleh karena itu, Atharya mengikuti semua
permainan Sandika sampai ke kediamannya dan
melakukan hal yang melanggar norma. Tujuannya bukan
untuk bersenang-senang, melainkan untuk mencari
jawaban. Pun, Atharya merekam perlakuan Sandika sejak
dia menjamu Atharya menggunakan alat perekam yang
memang sengaja dia bawa saat itu. Dia memiliki bukti
yang kuat bahwa bukan dia yang memulai.
Tujuan Atharya adalah mencari sebuah tanda.
Dukun yang belum lama mengirimkan ilmu hitam pada
seseorang akan memiliki sebuah tanda yang menyala di
44
belakang punggunggnya. Dan tanda itu dia temukan di
punggung Sandika.
“Tadi, belum lama Sandika datang ke sini dan
bodohnya dia malah memberiku sebuah petunjuk. Dia
mengatakan bahwa pelakunya berada sangat dekat
denganku. Guru, aku rasa Paman Birendra dan
Bimantaralah yang berada di balik semua ini.”
Acharya yang dengan baik menyimak penuturan
Atharya lantas bertanya, “Mengapa kau berpikir
demikian, Pangeran?”
“Karena sebelum aku menyamar ke kota hari ini,
tanpa sengaja aku mendengar percakapan Bimantara dan
Paman Birendra saat aku hendak mengambil pakaian
compang-campingku. Paman Birendra membicarakan
mengenai tahta Bimantara. Padahal, seperti yang
diketahui oleh semua orang, berdasarkan hukum akulah
yang berhak atas tahta Bhavana Satya.”
“Jadi, ini semua konspirasi Raja Birendra untuk
menyingkirkanmu sehingga tahta dapat sepenuhnya
menjadi hak Pangeran Bimantara?” tanya telik sandi
Atharya.
Atharya mengangguk.
“Baiklah. Aku dan telik sandiku untuk mencari
tahu. Jika aku mendapatkan bukti bahwa kau tidak
bersalah, akan langsung aku serahkan kepada hakim tanpa
45
perantara atau persetujuan Raja Birendra. Percayalah,
Nak, orang benar akan selalu diberi jalan dan keselamatan
oleh Dewa,” ujar Acharya sebelum dia bersama telik
sandi Atharya beranjak dari sana.
46
Bab Delapan: Fakta Baru yang
Terkuak
K
eesokan paginya, Atharya dan Sandika dibawa
ke ruang persidangan. Persidangan kedua
terdakwa itu dilakukan secara tertutup, hanya
keluarga kerajaan serta orang-orang penting Bhavana
Satya yang berkumpul di sana. Mereka memandang
rendah Atharya yang sebelumnya selalu mereka agung-
agungkan. Bisik-bisik memenuhi ruangan, kebanyakan
berisi hujatan yang ditujukan kepada si pangeran.
Kala persidangan dimulai, tuduhan demi tuduhan
dilayangkan oleh Birendra atas mereka—lebih
spesifiknya Atharya. Seakan belum cukup. Bimantara
(yang baru saja pulih) mengatakan bahwa selama ini
Atharya memperlakukannya dengan buruk. Kasak-kusuk
kembali memenuhi ruangan persidangan sampai-sampai
sang Hakim harus memerintahkan mereka untuk menutup
mulut.
“Pangeran Atharya, apakah kau memiliki bukti
untuk menyangkal semua tuduhan.”
Sekilas Atharya menyapukan pandangan ke
penjuru ruang sidang, akan tetapi dia tidak menemukan
sosok yang ia cari sama sekali. Helaan napas terdengar
berat, Atharya memutuskan untuk tetap diam. Mengulur
waktu tampaknya adalah keputusan yang tepat.
47
“Tidak ada?”
“Bukan tidak ada, belum Yang Mulia Hakim.
Bisakah kau memberikanku beberapa waktu?”
Hakim berdeham, mengangguk, “Kau aku beri
waktu sampai pukul sepuluh. Bila sampai pukul sepuluh
bukti yang kau maksud tidak bisa kau hadirkan di ruang
sidang, kau akan dijatuhkan hukuman yang setimpal.”
Pukul sepuluh.
Tepat sebelum hakim membuka mulut,
kedatangan seseorang mencuri atensi semua yang hadir di
situ. Perawakan gagah serta wibawanya memancar ke
seluruh penjuru, membuat kagum para hadirin di situ. Dia
adalah seorang yang terhormat, Guru Besar Acharya,
datang langsung dari Nawasena guna menghadiri sidang.
Birendra langsung bangkit dari kursinya, hendak
menyambut kedatangan sang Guru yang digdaya. “Guru,
selamat datang. Mengapa kau tidak menghubungiku
terlebih dahulu sebelum datang kemari?”
Acharya tersenyum tipis. “Aku tidak
mengumumkan kedatanganku karena aku membawa
sebuah kejutan. Terlebih untukmu, Birendra.”
Penasaran, lantas Birendra bertanya, “Kejutan
apa, Guru?”
48
Acharya tidak membalas pertanyaan Birendra
dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Jari
telunjuknya terangkat untuk memberi kode kepada salah
satu telik sandinya untuk masuk. Telik sandi Acharya
masuk bersama sebuah perkamen serta alat pemutar
rekaman. Dibukanya perkamen itu, lalu dibacakanlah
isinya agar semua orang dapat mengetahui apa yang
tertulis di perkamen itu.
“Surat perjanjian antara Raja Birendra dan
Sandika.”
Napas Birendra tercekat. Cepat-cepat dia berusaha
merebut perkamen itu tatkala mendengar kalimat pertama
yang dibacakan, akan tetapi Acharya terlebih dahulu
mengelak dan berjalan ke tengah ruangan.
“Dengan ditandatanganinya surat ini, Raja
Birendra menyatakan bahwa Sandika akan dilindungi dari
hukuman jika suatu saat diketahui bahwa Sandika adalah
pengirim ilmu hitam kepada Yang Dimuliakan Aishwarya
dan Putri Akshaya atas permintaan Raja Birendra dan
Pangeran Bimantara.
“Juga, dengan ditandatanganinya surat ini,
Sandika menyatakan bahwa Sandika tidak akan
memberitahukan kepada siapa pun mengenai pengiriman
ilmu hitam terhadap Yang Dimuliakan Aishwarya dan
Putri Akshaya yang merupakan perintah dari Raja
Birendra dan Pangeran Bimantara.
49
“Kedua pihak akan bekerjasama dengan baik.
Mengenai penambahan rencana dan/atau korban
pengiriman ilmu hitam diperbolehkan asal rencana
tambahan disetujui oleh kedua belah pihak. Ditulis dan
ditandatangani oleh Sandika dan Raja Birendra, penguasa
Bhavana Satya.”
Acharya menutup pembacaan isi perjanjian itu
dengan sebuah senyuman—berhasil membuat geram
Birendra serta malu Bimantara. Sang Guru Besar menatap
kepada hakim yang bertugas dan berkata, “Yang Mulia
Hakim, inilah bukti penyangkalan Atharya atas tuduhan
menggunakan dan/atau mengirim ilmu hitam kepada
orang lain. Saya juga memiliki bukti untuk menyangkal
tuduhan yang kedua, boleh saya tunjukkan?”
Sang hakim mengangguk.
Jemari Acharya lantas menekan tombol alat
pemutar rekaman saat permintaannya disetujui. Rekaman
itu berisi semua percakapan serta rayuan Sandika kepada
Atharya. Mendengar rekaman itu, Sandika tertunduk,
merasa geram. Saat rekaman suara sudah selesai, Acharya
memberi hormat pada hakim lalu melangkah mundur.
Putusan belum dijatuhkan, tetapi sebuah keributan
terpecik lalu membara. Birendra yang tidak terima
rencananya hancur berantakan lalu dengan buta hendak
menyerang Acharya. Serangan itu ditangkis oleh Atharya.
50
“Menjijikan, cuih!” Atharya meludah tepat di
depan wajah Birendra.
Birendra semakin naik pitam, wajahnya memerah.
Tapi, sebelum dia dapat membalas, kedua lengannya
ditahan oleh dua prajurit atas titah dari hakim yang
bertugas.
“Raja Birendra, apakah kau memiliki
penyangkalan atau pembelaan?” tanya sang hakim.
“Kau … kau berani bertanya kepada rajamu
sambil menatap matanya?” desis Birendra.
Sang hakim diam sejenak, kemudian menjawab,
“Ya. Karena menurut peraturan Bhavana Satya, di dalam
ruang persidangan yang memiliki kekuasaan tertinggi
adalah seorang hakim.”
“PERSETAN MENGENAI PERATURAN-
PERATURAN KONYOL ITU! Peraturan konyol itulah
yang membuat aku melakukan ini! Sangat tidak adil dan
aneh jika bukan putraku, Bimantara, yang menaikki tahta!
Melainkan putra adikku yang keparat itu! Aku melakukan
semua ini untuk menyingkirkan keponakanku yang
keparat itu, agar putraku dapat menjadi raja!
“Aku kira keponakanku yang satu itu sama
bodohnya dengan ayahnya. Tapi, ternyata tidak. Dia tidak
mudah diperdaya dan dibunuh. Berbeda dengan ayahnya
yang bodoh dan lugu itu!”
51
Bersama amarah yang meluap, sebuah fakta
termuntahkan. Fakta yang tersirat, tetapi Acharya,
Atharya, serta Aishwarya jelas mengerti artinya.
Dengan suara bergetar, Aishwarya bertanya,
“Jadi, suamiku tidak mati di medan perperangan
melainkan kau bunuh, adik ipar?”
“YA! YA AKU MEMBUNUHNYA! Dia TIDAK
PANTAS untuk menjadi seorang raja. Dia tidak memiliki
kualitas seorang raja. Dia terlalu baik, lemah, dan bodoh!”
Mendengar apa yang dikatakan oleh Birendra,
Atharya benar-benar tidak bisa menahan dirinya dan serta
merta mendaratkan sebuah tinjuan di rahang kiri bawah
wajah Birendra. Suasana ruang persidangan lekas ricuh,
bahkan hakim tidak dapat lagi mengendalikan keadaan di
situ. Dengan cepat terbentuk dua kubu, satu pendukung
Atharya dan satu lagi pendukung Birendra. Mereka
beradu kekuatan, saling menunjukkan kekuatan ott serta
keahlian berpedang mereka.
Birendra terpojokkan oleh amarah Atharya
menyala-nyala. Pendukung Birendra juga tidak baik
nasibnya, mereka dipojokkan oleh pendukung Atharya
yang jauh lebih banyak jumlahnya. Melihat hal itu,
Sandika lantas menggunakan kekuatan sihirnya;
menciptakan sebuah kabut hitam yang membutakan
semua orang. Saat kabut itu menghilang, Sandika,
52
Birendra, Bimantara, serta pendukung mereka telah
hilang.
“SIALAN! Mereka berhasil melarikan diri,” racau
Atharya.
2
Tiga belas peraturan perang Kurukshetra (Perang Bharatayudha
versi India).
53
Bab Sembilan: Perang
B
erdasarkan pada pertemuan terakhir, perang akan
dilaksanakan dalam waktu satu minggu lagi.
Kedua pihak semakin gencar mencari sekutu,
mempersiapkan persenjataan serta perbekalan selama
perang. Strategi demi strategi juga telah disusun dengan
rapih dan apik. Bhavana Satya siap menjadi saksi
perseteruan dua sepupu yang awalnya saling mengasihi
malah berakhir saling membenci.
54
Setelah meminta berkat kepada sang ibu, Atharya
kemudian menuju sang adik: Akshaya, kemudian
memeluknya erat sambil berbisik, “Kakak akan kembali.
Nanti, sambut kakak dengan acara yang meriah, ya?”
55
Pasukan Birendra lebih sedikit jumlahnya
sehingga mudah sekali dipojokkan. Acharya berkali-kali
mengingatkan pasukannya untuk tidak jumawa, sebab
roda kehidupan dapat berputar dengan cepat. Dan benar
saja, tak lama kemudian datang pasukan dari berbagai
sisi; mengepung Atharya beserta pasukannya.
3
Formasi berbentuk lingkaran/cakram (Mahabharata)
4
Formasi ular (Mahabharata)
56
mengenai peraturan perang itu, SERANG!” titah
Birendra.
57
berlutut di hadaoan Birendra karena menghabisi
keponakannya.”
58
terkapar dianggap sudah menyerah juga. Pemimpin
pasukan itu hanya tersisa satu orang, Birendra. Atharya
memusatkan fokus mereka untuk mencari Birendra yang
bersembunyi di bawah ketiak prajurit-prajuritnya.
59
“Aku kalah, kau menang,” rintihnya.
60
Bab Sepuluh: Hukuman
S
emua pasukan—menang maupun kalah kembali ke
istana yang berada di Ibu Kota Bhavana Satya.
Sandika, Bimantara, dan Birendra dirantai saat
dibawah ke dalam kota sedangkan semua pasukan lawan
yang memutuskan untuk menyerah nantinya akan diminta
untuk menandatangani pernyataan bahwa mereka benar-
benar menyerah, kemudian akan dibebaskan. Jasad-jasad
prajurit yang gugur dalam perang akan dimakamkan.
Sekembalinya Atharya, dia lekas disambut oleh
ibu serta adiknya dan dielu-elukan oleh rakyatnya.
Namun, dia tidak dapat berinteraksi banyak karena luka
dalam yang dialaminya. Oleh karena itu, Atharya banyak
menghabiskan waktunya untuk beristirahat dan
memulihkan raganya yang terluka parah.
“Kakak…. Kau benar-benar menepati janjimu,”
ujar Akshaya di suatu waktu, saat si tuan putri memasuki
kamar Atharya guna menjenguk.
Atharya tersenyum. “Tentu. Kakakmu ‘kan tidak
pernah melanggar janjinya.”
Entah apa yang merasuki Akshaya, dia tiba-tiba
menangis dan merengek, “Kakak tahu tidak? Selama
kakak berperang aku sangat takut. Aku takut kehilangan
kakak. Aku takut kakak pergi meninggalkanku seperti
ayah. Walau perang yang terjadi hanya dua hari, tapi tetap
61
saja, dua hari itu sangat menyiksa. Aku seperti berada di
dalam neraka.”
Reflek, Atharya meraih Akhsaya ke dalam
pelukannya kemudian mengelus-elus lembut kepalanya.
Dengan pelan, Atharya menenangkan sang adik, “Sudah,
jangan menangis. Sekarang kakakmu ada di sini, ‘kan?”
Akshaya mengangguk kemudian teringat sesuatu.
“Ah iya, kakak. Saat aku datang kemari, ibu memintaku
untuk memberitahumu bahwa persidangan untuk paman,
kak Bimantara, serta Sandika akan dilaksanakan besok
pagi di alun-alun kota.”
“Baiklah. Terima kasih atas informasinya,
Akshaya.”
Ω
Esoknya, meski kondisi Atharya belum pulih
sepenuhnya dia tetap menghadiri dan melihat jalannya
persidangan. Sesuai aturan yang ditetapkan, Sandika akan
dijatuhi hukuman mati atas tuduhan penggunaan ilmu
hitam. Sandika tidak memiliki penyangkalan sebab
perbuatannya tidak dapat disangkal lagi.
Hukuman untuk Bimantara dan Birendralah yang
belum ditentukan sama sekali. Birendra juga masih
mengelak dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya,
membuat semua spektator menjadi geram. Bila ditanya,
jawaban yang diberikannya berbelit-belit. Birendra sama
62
sekali tidak ingin berkoordinasi meski dia sekarang tidak
memiliki satu lengan dan satu kaki lagi! Sampai pada
akhirnya, dia juga dijatuhi hukuman mati.
Tibalah giliran Bimantara untuk diadili. Sebab dia
hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh Birendra,
sang ayah, dia tidak mendapatkan hukuman seberat
Birendra. Dia dijatuhi hukuman penjara bawah tanah
selama 25 tahun dan dicabut gelar bangsawannya.
Namun, tiba-tiba Bimantara berlutut di hadapan
semua orang. Memohon belas kasihan, apalagi kepada
Atharya dengan berkata, “Atharya, aku sungguh
menyesali semua perbuatanku dan ayah. Aku mohon,
jangan berikan hukuman mati kepada ayah. Aku tidak
masalah dengan hukumanku, tetapi tolong bicaralah
kepada hakim untuk tidak menghukum mati ayah.”
Para spektator lantas menyoraki Bimantara,
mengumpatinya dengan cemoohan dan kata-kata yang
tidak pantas. Atharya yang masih memiliki hati berbicara
dengan hakim, sehingga keputusan akhir diubah.
“Atas pertimbangan yang diajukan oleh pangeran
Atharya, pangeran Bimantara dan Raja Birendra dicabut
gelar bangsawannya dan harus mengasingkan diri ke
hutan sampai akhir hidup mereka. Tidak ada rakyat
Bhavana Satya yang boleh berbicara dan membantu
mereka mulai sekarang. Persidangan ditutup,” tegas
hakim.
63
Entah keputusan untuk tidak menghabisi
keduanya sudah benar atau tidak, Atharya tidak tahu.
Setelah persidangan selesai, tidak ada yang
langsung membubarkan diri mereka karena eksekusi
terhadap Sandika akan dimulai. Wanita itu dibawa
menuju Guillotine5 untuk dicabut nyawanya. Saat
dibiarkan untuk menyampaikan perkataan terakhirnya,
Sandika hanya tersenyum. Dianggap tidak memiliki apa-
apa untuk dibicarakan, kepala Sandika dipenggal di
hadapan semua orang.
Ω
5
Alat pencabut nyawa, alat pacung.
64
Epilog
A
tharya, Akshaya, serta Aishwarya mengunjungi
makam Arkandra setelah penobatan Atharya
sebagai Maharaja satu bulan setelah selesainya
perang saudara. Atharya berlutut di hadapan nisan sang
ayah, kemudian memeluknya sambil menangis dan
berkata, “Ayah, aku merindukanmu. Sangat
merindukanmu. Ayah, aku sudah membalaskan kematian
ayah.”
Saat Atharya berbicara demikian, angin berembus.
Seolah-olah Arkandra hadir di situ dan merasa senang
akan perkataan yang baru saja dikatakan oleh Atharya.
Mereka di sana berbincang-bincang, menceritakan
semua yang terjadi di hadapan nisan milik Arkandra
sampai matahari hampir tenggelam di Barat. Aishwarya
dan Akshaya yang terlebih dahulu beranjak dari makam,
lalu diikuti oleh Atharya kira-kira dua puluh menit
kemudian.
Di dekat makam Arkandra, saat Atharya hendak
pergi, dia melihat sesosok wanita. Dari belakang, figurnya
tampak familiar. Wanita itu seperti Sandika. Baru saja
hendak menghampiri, Akshaya sudah berteriak-teriak
memanggil Atharya yang menghabiskan waktu terlalu
lama.
65
Jadi, Atharya pergi tanpa tahu siapa wanita itu.
Mungkinkah dia Sandika? Atau sosok yang mirip
Sandika?
Ω
66
Biodata Penulis
JOCELYN BRILLIANT HO
iii
KAYLA CHELSIE ANINDRA
iv
VALENCIA FEODORA ZIVA
Valencia Feodora Ziva
lahir di Palembang, 04
September 2005.
Penulis yang akrab
disapa sebagai Valen
atau Ziva ini
menempuh pendidikan
menengah atasnya di
SMA Xaverius 1
Palembang jurusan
IPS. Sejak kecil, penulis sudah suka membaca dan
menulis. Oleh karena itu, guna menyalurkan hobi, penulis
membuka akun Wattpad dengan nama akun @lenmythix
dan mempublikasikan sebuah cerita panjang serta sebuah
antologi puisi. Selain itu, penulis juga pernah dua kali
memenangkan lomba menulis cerpen nasional yang
diadakan oleh READERZEN dan kedua cerpen yang dia
tulis masing-masing terbit dalam antologi cerpen berjudul
“Evanthe” dan “Prospera”. Penulis dapat dihubungi
melalui Instagram: @vlenciafz.
v
Karya tulis ini merupakan persembahan dari
kami bertiga. Dari kiri ke kanan: Kayla,
Jocelyn, Valencia.
XII IPS 1. SMA Xaverius 1 Palembang.
Tahun ajaran 2022/2023.
vi