Anda di halaman 1dari 10

Pemanfaatan Limbah Kulit Kodok guna Mempercepat Penyembuhan Luka Biopsi

Mukosa Rongga Mulut Kajian in vivo pada Tikus Wistar


Bayu Anggoro Aji , Afina Alfasia1), Hans Kristian Wibowo1), Mega Denada Aldila1), Berilla Silsila
1)

Surbakti1), drg. Tetiana Haniastuti, M.Kes., Ph.D.2)


1)
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada
2)
Dosen Bagian Biologi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Kulit kodok mengandung berbagai senyawa bioaktif yang potensial antara lain saponin,
alkaloid, dan peptida antimikrobial yang dapat membantu proses penyembuhan dan penutupan luka.
Secara tradisional, kulit kodok telah digunakan sebagai obat penyembuhan luka pada kulit. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh gel limbah kulit kodok dalam mempercepat
proses penyembuhan luka biopsi pada mukosa rongga mulut.
Kulit kodok genus Rana diperoleh dari penjual swike yang diambil dari peternakan kodok.
Kulit kodok yang telah terkumpul, kemudian diekstrak dan ditambahkan dengan CMC-Na
(Carboxymethyl Cellulose Natrium) 2% untuk mendapatkan bentuk sediaan gel. Povidone Iodine
digunakan sebagai kontrol positif sedangkan akuades steril digunakan sebagai kontrol negatif. Tiga
puluh enam ekor tikus Wistar jantan berumur 3-4 bulan dengan berat badan 200-250 gram digunakan
sebagai subjek dan terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan, kontrol positif, dan
kontrol negatif. Masing-masing kelompok terdiri atas empat subkelompok yaitu hari-1, 3, 7, dan 14.
Dalam keadaan teranestesi, mukosa bukal kiri dekat sudut mulut diberi perlukaan dengan punch
biopsy. Gel ekstrak kulit kodok, sediaan kontrol positif, maupun sediaan kontrol negatif kemudian
dioleskan ke dalam luka pasca biopsi pada bagian bukal kiri tikus. Subjek dikorbankan pada hari ke-1,
3, 7, dan 14 masing-masing tiga subjek, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan preparat histologis
serta pengecatan Hematoksilin Eosin dan Mallory. Di bawah mikroskop, sel-sel inflamasi, ketebalan
kolagen, dan ketebalan epitel dilakukan perhitungan. Data hasil penghitungan dianalisis
homogenitasnya, kemudian dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyembuhan luka yang diaplikasikan gel ekstrak kulit
kodok cenderung lebih baik, dilihat dari pengamatan pada 1, 3, 7, dan 14 hari pasca biopsi. Pemberian
gel kulit kodok terbukti mampu menekan jumlah sel inflamasi, meningkatkan kepadatan serabut
kolagen, mempercepat epitelisasi serta meningkatkan ketebalan epitel pada proses penyembuhan luka
mukosa rongga mulut pasca biopsi.

Kata kunci : kulit kodok, luka pasca biopsi, penyembuhan luka

Pendahuluan

Penyakit rongga mulut termasuk dalam 10 jenis penyakit terbanyak yang diderita oleh

manusia. Berbagai penyakit rongga mulut yang menyerang manusia termasuk lesi-lesi yang

mengarah ke arah keganasan. Penyakit rongga mulut seperti oral lichen planus, oral fibrosis

submucosa, dan leukoplakia merupakan lesi-lesi mukosa praganas yang berpotensi menjadi

keganasan pada rongga mulut. Lesi praganas lebih banyak dinyatakan sebagai keadaan umum

berkaitan dengan resiko yang signifikan terjadinya kanker (Sari dkk., 2014). Untuk
menegakkan diagnosis lesi yang dicurigai sebagai keganasan dapat dilakukan biopsi. Biopsi

dilakukan dengan mengambil sebagian atau seluruh jaringan untuk dilakukan pemeriksaan

mikroskopis dengan mengamati perubahan yang terjadi pada sel. Biopsi lesi mulut terbukti

sebagai cara yang aman, mudah, dan dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosis pasti

(Sudiono, 2008). Biopsi pada mukosa dapat menimbulkan luka. Luka adalah rusaknya kulit

dan gangguan jaringan-jaringan yang berada di dalamnya, seperti pembuluh darah, saraf,

serta otot (Syarfati dkk., 2011). Saat terjadi perlukaan, dibutuhkan proses penggantian jaringan

yang rusak oleh jaringan yang baru melalui proses penyembuhan luka, agar jaringan tersebut dapat

berfungsi normal seperti semula (Nuryana, 2007). Proses fisiologis penyembuhan luka terbagi

menjadi empat fase utama yaitu fase hemostasis, fase inflamasi, fase proliferatif, dan fase maturasi.

Fase-fase penyembuhan tersebut berlangsung saling tumpang-tindih (Morison, 2004).

Fase hemostasis muncul sesaat setelah terjadinya luka berupa vasokonstriksi, bertujuan untuk

meminimalisir hilangnya darah, selanjutnya diikuti proses penggumpalan darah oleh platelet untuk

menghentikan perdarahan. Setelah fase hemostasis dilanjutkan fase inflamasi. Fase tersebut dimulai

sesaat setelah terjadinya luka hingga empat sampai enam hari. Pada fase ini leukosit dan makrofag

memasuki daerah perlukaan. Bakteri yang ada di daerah perlukaan dihancurkan oleh leukosit,

terutama polymorphonuclear leukocytes (Hess, 2005). Fase kedua adalah fase proliferasi mencakup

terjadinya proliferasi sel-sel osteoblas, angiogenesis, pembentukan jaringan granulasi serta epitelisasi.

Fase terakhir adalah fase maturasi yaitu ketika semua bentukan-bentukan baru akibat proses

penyembuhan akan diresorbsi kembali atau mengkerut menjadi matur (Bisono, 2003; Morison, 2003,

Bronner dkk., 2007).

Kodok banyak ditemukan di Indonesia. Pada saat ini Indonesia merupakan eksportir kodok

terbesar di dunia (Warkentin dkk., 2008). Daging kodok banyak dikonsumsi oleh masyarakat serta

dijual di restoran (Pujaningsih, 2007). Kulit kodok yang tidak digunakan biasanya diproses menjadi

kerupuk kulit kodok (Anonim, 2010). Selama ini kulit kodok hanya dimanfaatkan sebagai kerupuk

kulit kodok, sebagai ransum ternak, atau dibuang tanpa dimanfaatkan (Pujaningsih, 2007).
Di beberapa negara, kulit kodok biasa digunakan untuk pengobatan tradisional. Ahli

pengobatan di India, menggunakan kulit punggung kodok untuk menutupi luka pasiennya. Di

Vietnam, kulit hewan amfibi ini berhasil mengobati pasien yang mengalami kehilangan kulit yang

parah. Ketika diujikan pada luka di punggung tikus Wistar, luka yang ditutup dengan kulit kodok

lebih cepat sembuh dibanding dengan kapas (Govender dkk., 2012). Hasil penelitian Raghavan dkk.

(2010), diketahui bahwa lipid yang terkandung dalam kulit kodok dapat menstimulasi proses

penyembuhan luka pada kulit punggung tikus. Selain itu, kulit binatang amfibi tersebut mengandung

berbagai macam molekul bioaktif yaitu antimikrobial peptida, protein, steroid, alkaloid, opiod,

saponin, dan bradikinin (Kastin, 2006; Brash dan Cuthbert, 1970; Gomes dkk., 2007). Alkaloid

diketahui mempunyai efek analgetik, antimikrobial peptida menstimulasi angiogenesis, sedangkan

saponin dapat memacu pembentukan kolagen dan memiliki sifat antiinflamasi (Sabirin dkk., 2013;

Acton, 2013; Haryani dkk., 2012). Bradikinin merupakan peptida aktif yang mampu menginduksi

vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskular, menstimulasi rasa sakit, meregulasi filtrasi

glomerular, dan meregulasi eksresi sodium dari ginjal (Ishihara dkk., 2001; Heffelfinger, 2007).

Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui khasiat gel ekstrak kulit

kodok (Rana limnocharis) terhadap proses penyembuhan luka biopsi mukosa rongga mulut kajian in

vivo pada tikus wistar.

Alat, Bahan, dan Cara Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimental laboratoris murni dan sudah mendapatkan surat

Kelaikan Etik dari Komisi Etik Penelitian dan Advokasi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta. Subyek penelitian menggunakan tiga puluh enam ekor tikus wistar jantan berumur

3-4 bulan dengan berat badan 200-250 gram. Hewan coba dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan,

yang masing-masing berjumlah 3 ekor.

Kulit kodok genus Rana diperoleh dari penjual swike dipasar yang diambil dari peternakan

kodok dan telah dilakukan identifikasi sebagai kodok spesies Rana limnocharis di Laboratorium

Taksonomi Hewan Fakultas Biologi UGM. Kulit kodok yang diperoleh selanjutnya dibuat ekstrak

dengan metode maserasi. Ekstrak kulit kodok 100% sebanyak 7 mg ditimbang dengan timbangan

gram kemudian dicampur dengan carboxymethyl cellulose natrium (CMC-Na) 2% sebanyak 3 mg


sehingga diperoleh gel ekstrak kulit kodok 10 mg dengan konsentrasi 70% (b/b). Povidone iodine

sebanyak 15 μl digunakan sebagai bahan sediaan kontrol positif dan akuades steril sebanyak 15 μl

digunakan sebagai bahan sediaan kontrol negatif.

Subjek dibagi 3 kelompok yaitu kelompok perlakuan (9 ekor), kelompok kontrol positif (9

ekor), dan kelompok kontrol negatif (9 ekor). Subjek dianestesi dengan injeksi ketamin dan xylazine

20 mg/kg BB (i.m.) pada paha bagian atas. Setelah subjek teranestesi, mukosa bukal kiri tikus diberi

perlukaan dengan punch biopsy dan kemudian jaringan yang terlepas diambil dengan pinset. Pada

kelompok perlakuan, ke dalam luka diaplikasikan 15 μl gel ekstrak kulit kodok 70% dengan

menggunakan cotton bud. Lima belas μl Povidone Iodine 2,5% diaplikasikan pada kelompok kontrol

positif dan 15 μl akuades steril diaplikasikan pada kelompok kontrol negatif.

Tiga ekor subjek dari setiap kelompok perlakuan maupun kontrol hari ke-1, 3, 7 dan 14,

setelah dieutanasi dilakukan pengorbanan secara bergiliran. Subyek selanjutnya dilakukan

pengambilan jaringan mukosa bukal kiri dekat sudut mulut. Spesimen dibersihkan menggunakan

NaCl, difiksasi di dalam larutan PBS formalin 10%, dan dilanjutkan dengan prosedur histologi rutin.

Spesimen histologis kemudian dilakukan pengecatan Hematoksilin Eosin untuk melihat sel inflamasi,

sel osteoblas, ketebalan epitel, dan pembuluh darah baru, serta pengecatan Mallory untuk melihat

keberadaan serabut kolagen. Klasifikasi kepadatan serabut kolagen yang berwarna biru dengan skor

0=tidak ditemukan adanya serabut kolagen pada daerah luka; skor 1=serabut kolagen pada daerah

luka rendah; skor 2 =serabut kolagen pada daerah luka sedang, skor 3=serabut kolagen pada daerah

luka padat; skor 4=serabut kolagen pada daerah luka sangat padat. Di bawah mikroskop, daerah luka

diamati ke dalam lima lapangan pandang. Ketebalan epitel diukur secara tegak lurus mulai dari

dasar lapisan basal sampai dengan lapisan korneum yang terluar dengan menggunakan

mikrometer pada citra layar komputer. Setiap preparat diukur pada 3 titik pengukuran pada area

luka mukosa bukal. Titik pertama diambil pada lapisan epitel di bagian kanan, titik kedua pada

bagian tengah, dan titik ketiga pada bagian kiri. Hasil pengukuran diperoleh dengan mengambil

rata-rata dari 3 titik pengukuran.


Hasil dan Pembahasan

Pada penelitian ini diamati keberadaan sel inflamasi, bentukan pembuluh darah baru

ketebalan epitel serta kepadatan serabut kolagen di daerah luka, sebagai sebagian indikator proses

penyembuhan luka pasca biopsi. Hari ke-1, 3, 7 dan 14 dalam proses penyembuhan merupakan

periode-periode penting secara seluler, histologis maupun fisiologis dalam proses penyembuhan luka.

Gambar 1. Sel inflamasi (sel bulat dengan inti berwarna ungu) pada luka mukosa rongga
mulut pasca biopsi. Pewarnaan HE, perbesaran 40x.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada 1 hari setelah pengaplikasian gel ekstrak kulit

kodok 70% pada kelompok perlakuan, povidone iodine pada kelompok kontrol positif, serta akuades

steril pada kelompok kontrol negatif masih dipenuhi oleh jendalan darah dan sedikit infiltrasi sel

inflamasi. Hal ini sesuai dengan teori Hess (2005), bahwa pada fase hemostasis muncul sesaat setelah

terjadinya luka berupa vasokonstriksi, bertujuan untuk meminimalisir hilangnya darah, selanjutnya

diikuti proses penggumpalan darah oleh platelet untuk menghentikan perdarahan. Pada 3 dan 7 hari

pasca biopsi, sel-sel inflamasi pada kelompok perlakuan jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan

dengan kelompok kontrol positif dan kontrol negatif. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh efek

antiinflamasi dari saponin yang mampu memblokir jalur prostaglandin sebagai penghambat

aktifasinya. Keluarnya sel inflamasi dapat ditekan jika pelepasan prostaglandin dihambat (Meilawaty,

2013). Selain itu, saponin juga memiliki sifat antibakteri yang mencegah jejas berulang dengan cara
meningkatkan permeabilitas membran sel sehingga terjadi hemolisis sel bakteri (Meilawaty, 2013;

Sabirin dkk., 2013).

Gambar 2. Serabut kolagen terpulas warna biru, tidak bercabang, dan terorientasi secara acak
pada bekas luka mukosa rongga mulut pasca biopsi. Pewarnaan Mallory,
perbesaran 40x, K=Kolagen, E=Epitel.

Kepadatan kolagen digunakan sebagai salah satu indikator pada proses penyembuhan luka

karena kolagen berperan aktif dalam fase proliferasi yang menginisiasi fase maturasi (Rostiny dkk.,

2014). Pada 1 hari pasca pencabutan gigi, baik kelompok perlakuan, kontrol positif, maupun kontrol

negatif belum memperlihatkan deposisi kolagen. Pengamatan pada 3 hari pasca biopsi menunjukan

bahwa pada kelompok perlakuan deposisi kolagen lebih padat bila dibandingkan dengan kelompok

kontrol, tidak jauh berbeda pada 7 hari pasca pencabutan gigi menunjukkan bahwa pada kelompok

perlakuan deposisi kolagen lebih padat bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, akan tetapi masih

tersusun secara acak. Hal ini terjadi pula pada 14 hari pasca pencabutan gigi, namun pada kelompok

perlakuan deposisi kolagen terlihat lebih terorganisir bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Menurut Sabirin dkk. (2013), pada proses penyembuhan luka, kolagen dibentuk sejak hari ke-3,

kemudian akan tampak nyata kepadatannya pada hari ke-7 setelah luka, dan mulai stabil serta

terorganisir sekitar hari ke-14. Hasil pengamatan secara umum menunjukkan bahwa jumlah kepadatan

serabut kolagen lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Penyembuhan luka lebih cepat pada kelompok

perlakuan kemungkinan disebabkan adanya kandungan saponin dan alkaloid pada kulit kodok.

Saponin diketahui dapat mengaktivasi sel makrofag untuk memproduksi transforming growth factor-
beta. Faktor pertumbuhan ini mampu menstimulasi osteoblas untuk mensintesis matriks kolagen pada

proses penyembuhan luka soket gigi (Khalil dkk., 1989; Rahman, 2005) .

Gambar 2. Epitelium terpulas warna ungu pada luka mukosa rongga mulut pasca biopsi.
Pewarnaan Hematoksilin Eosin, perbesaran 10x.

Epitelisasi adalah proses pelapisan permukaan luka dengan epitel baru yang berasal

dari proses proliferasi, migrasi, dan diferensiasi keratinosit (Kiwanuka dkk., 2013). Luka

dinilai sudah sembuh secara sederhana apabila luka tersebut sudah tertutup epitel, (Hariani

dkk., 2012). Pada 1 hari pasca biopsi, baik kelompok perlakuan, kontrol positif, maupun

kontrol negatif belum memperlihatkan proses epitelisasi. Pengamatan pada 3 hari pasca

biopsi menunjukan bahwa pada kelompok perlakuan sudah terjadi proliferasi dan migrasi sel

epitel ke daerah tepi luka, namun pada kelompok kontrol positif dan negatif belum terjadi

epitelisasi. Pada pengamatan sediaan hari ke 7 epitelisasi sudah berhasil menutup daerah luka

pada kelompok perlakuan dan kontrol positif, sedangkan pada kelompok kontrol negatif baru

terajdi proses proliferasi dan migrasi sel epitel ke tepi luka. Pada 14 hari pasca biopsi pada

kelompok perlakuan dan kontrol positif, namun pada kelompok perlakuan jaringan epitel

lebih tebal dari pada kelompok kontrol positif, sedangkan pada kelompok kontrol negatif sel

epitel mulai menutupi sebagian permukaan luka. Menurut Larjava (2012) dalam 24 jam

setelah perlukaan, sel epitel yang terletak di tepi luka melarutkan perlekatan
hemidesmosomalnya dan siap untuk bermigrasi. Mitosis sel epitel dimulai sejak 48-72 jam

setelah terjadi trauma, kemudian terus menyemaikan lebih banyak sel hingga luka tertutup

oleh sel epitel pada hari ke 7, proses tersebut berlanjut hingga epitelium terbentuk sempurna

pada hari ke 14 (Glat & Longaker, 1997; Harper dkk., 2011; Pastar dkk., 2012). Hasil

pengamatan secara umum menunjukkan bahwa penyembuhan luka lebih cepat terjadi pada

kelompok perlakuan dan kontrol positif namun jaringan epitel lebih tebal pada kelompok

perlakuan. Penyembuhan luka lebih cepat dan tebal pada kelompok perlakuan kemungkinan

disebabkan adanya kandungan peptida dan saponin pada kulit kodok. Kulit kodok genus

Rana mengandung peptida AH90 mampu menstimulasi migrasi sel keratinosit, sehingga

berperan dalam epitelisasi pada proses penyembuhan luka (Liu dkk., 2014). Kandungan

saponin yang terkandung dalam kulit kodok genus Rana merangsang pembentukan sel epitel

yang baru dan mendukung proses epitelisasi (Napanggala dkk., 2014).

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyembuhan luka yang diaplikasikan gel ekstrak kulit

kodok cenderung lebih baik, dilihat dari pengamatan pada 1, 3, 7, dan 14 hari pasca biopsi. Pemberian

gel kulit kodok terbukti mampu menekan jumlah sel inflamasi, meningkatkan kepadatan serabut

kolagen, meningkatkan ketebalan epitel, serta meningkatkan pembentukan jumlah pembuluh darah

baru pada proses penyembuhan luka soket pasca biopsi mukosa bukal rongga mulut tikus wistar.

Daftar Pustaka

Acton, A.Q. (ed.), 2013, Issues in Dermatology and Cosmetic Medicine 2013 ed.,
ScholarlyEditionsTM, Atlanta, hal.97, 340.
Anonim, 2010, Budidaya Kodok, Dikutip dari
http://www.warintek.ristek.go.id/peternakan/budidaya/kodok.pdf, Diunduh tanggal 13
September 2014.
Bisono (2003), Petunjuk Praktis Operasi Kecil, EGC, Jakarta, hal. 15-16.
Brash, A.R. dan Cuthbert, A.W., 1970, The effect of saponins on the transporting epithelium of
isolated frog skin, Br. J. Pharmacol., 40(3):544.
Bronner, F., Farach-Carson, M., Mikos, A.G. (eds), 2007, Engineering of Functional Skeletal Tissues,
Springer-Verlag, London, hal. 111.
Glat P. M., Longaker, M. T., 1997, Wound Healing, In : Grabb and Smith’s Plastic Surgery
(eds:Aston S. J., Beasley R. W., Thorne C. H. M.), 5th ed., Philadelphia : Lippincott-Raven
Publisher, h. 5-7.
Gomes, A., Giri, B., Saha, A., Mishra, R., Dasgupta, S. C., Debnath, A., dan Gomes, A., 2007,
Bioactive Molecules From Amphibian Skin: Their Biological Activities With Reference to
Therapeutic Potentials for Possible Drug Development, Indian J. Exp. Biol., 45: 579-593.
Govender, T., Dawood, A., Esterhuyse, A. J., dan Katerere, D. R., 2012, Antimicrobial properties of
the skin secretions of frogs, S Afr J Sci, Vol.108(5/6):1-6.
Hariani, L., Pradanakusuma, D.S., Budi, A.S., 2012, Peranan Progenitor Keratinosit Sel Punca
Jaringan Lemak Pada Proses Epitelialisasi Luka Kulit Kelinci, Universitas Airlangga,
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Harper, D., Young, A., McNaught, C., 2014, The Physiology of Wound Healing, Elsevier Ltd,
32(9):445-450.
Haryani, A., Grandiosa, R., Buwono, I.D., Santika, A., 2012, Uji efektivitas daun pepaya (Carica
papaya) untuk pengobatan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan mas koki
(Carassius auratus), JPK, 3(3):213-220.
Heffelfinger, S. C., 2007, The Renin Angiotensin System in the Regulation of Angiogenesis, Curr.
Pham. Des., 13: 1215-1229.
Hess, C. T., 2005, Clinical Guide: Wound Care, 5th ed., Lippincott Williams & Wilkins, USA.
Ishihara, K., Hayashi, I., Yamashina, S., dan Majima, M., 2001, A Potential Role of Bradykinin in
Angiogenesis and Growth of S-180 Mouse Tumors, Jpn. J. Pharmacol, 87: 318-326.
Kastin, A. J. (eds.), 2006, Handbook of Biologically Active Peptides, Elsevier, USA.
Khalil, N., Bereznay, O, Sporn, M., dan Greenberg, A.H., 1989, Macrophage Production of
Transforming Growth Factor B and Fibroblast Collagen Synthesis in Chronic Pulmonary
Inflammation, The Journal of Experimental Medicine, 170:727-737.
Larjava, H., 2012, Oral Wound Healing Cell Biology and Clinical Management, Wiley-BlackWell,
h.1-50.
Liu, H., Mu, L., Tang, J., Shen, C., Gao, C., Rong, M., Zhang, Z., Liu, J., Wu, X., Yu, H., Lai, R.,
2014, A Potential Wound Healing-Promoting Peptide from Frog Skin, Int. J. Biochem.
Cell Biol., 49:32-41.
Meilawaty, Z., 2013, Efek ekstrak daun singkong (Manihot ulitissima) terhadap ekspresi COX-2 pada
monosit yang dipapar LPS E.coli, Dental Journal, 45(4):196-201.
Morison, M.J., 2003, Manajemen Luka (terj.), EGC, Jakarta, hal. 1.
Napanggala, A., Susianti, Apriliana, E., 2014, Effect of Jatropha’s (Jatropha curas L.) Sap Topically
in the Level of Cuts Recovery on White Rats Sprague dawley Strain, Journal of Unila,
2(6):26-35.
Nuryana, C. T., 2007, Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Umbi Teki (Cyperus rotundus) Secara
Topikal Terhadap Proses Penyembuhan Luka Eksisi Kulit Punggung Mencit Galur BALB/C,
Tesis, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pastar I., Stojadinovic, O., Yin, N. C., Ramirez, H., Nusbaum, A. G., Sawaya, A., Patel, S. B., Khalid,
L., Isseroff, R. R., Tomic-Canic, M., 2014, Epithelialization in Wound Healing A
Comprehensive Review, Wound Healing Society, 3(7):445-464.
Pujaningsih, R. I., 2007, Kodok Lembu, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, Hlm. 1-7.
Raghavan, V., Babu, M., Rajaram, R., dan Sai, K. P., 2010, Efficacy of frog skin lipids in wound
healing, Lipids in Health and Disease, Vol.9(74):1-7.
Rahman, A. (eds), 2005, Studies in Natural Products Chemistry, Elsevier, London.
Rostiny, Kuntjoro, M., Sitalaksmi, R.M., dan Salim, S., 2014, Sprirulina chitosan gel induction on
healing process of Cavia cobaya post extraction socket, Dental Journal, 47(1):19-24.
Sabirin, I.P.R., Maskoen, A.M., Hernowo, B.S., 2013, Peran Ekstrak Etanol Topikal Daun Mengkudu
(Morinda citrifolia L.) pada Penyembuhan Luka ditinjau dari Imunoekspresi CD34 dan
Kolagen pada Tikus Galur Wistar, MKB, 4(4): 227.
Sari, R.P., Carabelly, A.N., Ariasari, M.L., 2014, Prevalensi Praganas pada Mukosa Mulut
Wanita Lanjut Usia dengan Menginang di Kecamatan Lokpaikat Kabupaten Tapin
Periode Mei-Oktober 2013, JURNAL PDGI, Vol.63(1):30-35.
Sudiono, J., 2008, Pemeriksaan patologi untuk diagnosis neoplasma mulut, Jakarta: EGC,
Hlm. 57,61.
Syarfati, Eriani, K., Damhoeri, A., 2011, The Potential of Jarak Cina (Jatropha Multifida L.)
Secretion in Healing New-Wounded Mice, Jurnal Natural, Vol.11(1):17.
Warkentin, I.G., Bickford, D., Sodhi, N.S., dan Bradshaw, C.J.A., 2007, Eating Frogs to Extinction,
Conservation Biology, hal.1-4.

Anda mungkin juga menyukai