Anda di halaman 1dari 6

Nama : Candra Aldi Putra

Nim : 091910031
Fakultas : Peternakan
Kelas : Sore

REVIEW JURNAL GENETIKA TERNAK

Jurnal pertama dengan judul Komponen Peragam dan Ragam Genetik Paternal
pada Sifat Pertumbuhan Sapi Aceh

W.P.B. Putra, Sumadi, dan T. Hartatik


Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Jl. Fauna No. 3 Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
e-mail: banchet_putra18@yahoo.co.id
(Diterima : 28 November 2013 ; Disetujui : 18 Februari 2014)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peragam genetik paternal sifat pertumbuhan
pada sapi Aceh. Sifat pertumbuhan terdiri atas berat lahir (BL), berat sapih (BS), berat
setahunan/yearling (BY), berat akhir (BA), pertambahan berat badan harian (PBBH) dan
weight/age (W/A).

PENDAHULUAN
Sapi Aceh ditetapkan sebagai rumpun sapi asli Indonesia. Sapi Aceh memiliki
kemampuan cepat beradaptasi pada berbagai jenis pakan lokal antara lain dedaunan,
rumput dan leguminosa baik dalam keadaan segar maupun kering (Umartha, 2005).

METODE
Penelitian ini dilakukan di Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) ± Hijauan Pakan
Ternak (HPT). Materi dalam penelitian ini menggunakan data catatan ternak meliputi
berat lahir, berat sapih (205 hari), berat setahun (365 hari), berat akhir (550 hari), tanggal
lahir dan silsilah ternak dari tahun 2010 sampai 2012.
Data berat lahir dan berat sapih dikoreksi terhadap jenis kelamin dan umur induk. Berat
sapih, berat setahun dan berat akhir masing-masing dikoreksi terhadap umur 205 hari,
365 hari dan 550 hari. Tenggang waktu dihitung sesuai petunjuk Hardjosubroto (1994)
yaitu menghitung selisih waktu antara pada saat ternak ditimbang dengan waktu saat
penimbangan sebelumnya dan dihitung menggunakan kalender Julian date.

Analisis Data
Estimasi nilai heritabilitas diestimasi menggunakan metode korelasi saudara tiri sebapak
(paternal halfsib correlation). Pemisahan komponen ragam untuk menduga heritabilitas
dilakukan dengan analisis ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap pola searah
dengan model menurut Becker (1992) dan Hardjosubroto (1994)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Heritabilitas
Komponen ragam dan peragam dari hasil estimasi heritabilitas dan korelasi genetik
ditampilkan pada Tabel 1 (jurnal). Komponen ragam dan peragam yang diperoleh
selanjutnya digunakan untuk mengestimasi nilai heritabilitas dan korelasi genetik.
Estimasi nilai heritabilitas sifat pertumbuhan sapi Aceh dan beberapa sapi potong di
Indonesia dengan metode korelasi saudara tiri sebapak.
Nilai heritabilitas pada penelitian ini dihitung berdasarkan asumsi sapi-sapi yang
diestimasi tersebut mendapat pakan yang sama dan berada pada lingkungan yang sama,
sehingga mutu genetik ternak dapat diukur. Nilai heritabilitas BL sebesar 0,15
menunjukkan bahwa keragaman BL pada populasi 15 % dipengaruhi oleh faktor ragam
genetik dari tetuanya. Nilai heritabilitas BL yang diperoleh pada penelitian termasuk
handal dan termasuk kategori sedang.
Berdasarkan pada hasil penelitian terdahulu tersebut, terlihat bahwa sapi Madura
memiliki nilai heritabilitas BY dan PBBH pascasapih yang tidak handal sama seperti sapi
Aceh pada penelitian ini. Perbedaan nilai heritabilitas pada beberapa penelitian
sebelumnya disebabkan karena heritabilitas bukan merupakan konstanta dan bergantung
pada jumlah populasi, waktu estimasi dan bangsa ternak (Falconer dan Mackay, 1996).
Nilai heritabilitas sifat pertumbuhan pada penelitian ini sebagian besar termasuk kategori
tinggi walaupun kurang handal. Heritabilitas suatu sifat yang menunjukkan kategori yang
tinggi menunjukkan tingginya korelasi antaragenetik dan performans yang terukur dan
terlihat dari luar, sehingga seleksi individu efektif dilakukan (Warwick et al., 1990).
Berat lahir pada sapi Aceh memiliki nilai heritabilitas kategori sedang Seleksi secara
terus menerus pada suatu populasi menyebabkan keragaman genetik semakin kecil
sehingga nilai heritabilitas juga akan semakin kecil.

Korelasi Genetik
Sapi yang memiliki BL yang tinggi akan lebih cepat tumbuh dibandingkan sapi dengan
BL rendah Seleksi pada BL juga harus diikuti dengan seleksi induk, terutama pada
ukuran tubuh antara lain lebar pinggul dan tinggi pinggul untuk mengurangi resiko
terjadinya dystochia (Supiyono, 1998). Dengan melakukan seleksi pada BL secara tidak
langsung induk juga ikut terseleksi. Induk yang rata-rata keturunannya BL yang tinggi
berarti induk tersebut memiliki produktivitas yang baik (Kurnianto, 2009). Sifat
pertumbuhan prasapih yang tinggi dapat digunakan sebagai kriteria seleksi ternak untuk
memperoleh sifat pertumbuhan pascasapih yang tinggi. Nilai korelasi genetik PBBH
pascasapih dengan W/A juga memiliki nilai yang positif tinggi dan handal sama seperti
korelasi antara BAT dengan W/A. Tingginya nilai SE pada korelasi genetik juga
disebabkan karena jumlah data (pengamatan) dan jumlah pejantan yang digunakan untuk
estimasi sedikit sehingga akan mempengaruhi keragaman antar pejantan dan keragaman
antar individu.

KESIMPULAN
Heritabilitas BL sapi Aceh pada penelitian ini memiliki tingkat keterandalan yang baik
karena memiliki nilai SE yang rendah. Berat lahir pada sapi Aceh juga memiliki nilai
korelasi genetik yang positif tinggi dan handal terhadap PBBH prasapih dan PBBH
pascasapih.
Jurnal kedua dengan judul Keragaman Genetik Sapi Bali Di Kabupaten Barru
Berdasarkan Karakteristik Fenotipe Dan Dna Penciri Mikrosatelit

1. Jurusan Produksi Ternak, Fak. Peternakan, Universitas Hasanuddin


2. Laboratorium Genetik dan Pemuliaan Ternak, Fak. Peternakan, Universitas
Hasanuddin
3. Laboratorium Produksi Ternak Potong, Fak. Peternakan, Universitas Hasanuddin

Jalan Perintis Kemerdekaan KM.10 Tamalanrea, Makassar, 90245

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik genetik sapi Bali di Kabupaten
Barru berdasarkan identifikasi karakteristik fenotipe sifat kuantitatif (bentuk tanduk dan
warna bulu) dan sifat kuantitatif (dimensi tubuh), serta keragaman DNA.

PENDAHULUAN
Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu sapi potong asli Indonesia hasil
domestikasi dari Banteng (Bos-bibos banteng). Program pelestarian sapi Bali perlu
didukung dengan metode identifikasi karakteristik genetik khas sapi Bali yang cepat,
mudah, dan akurat, agar pelestarian sapi Bali pada suatu wilayah tertentu dapat berhasil
dilakukan tanpa ada keraguan terhadap kemurniannya.

METODE

Identifikasi fenotipe
Identifikasi fenotipe sapi bali dilakukan dengan mengidentifikasi sifat kualitatif khas
yang dimiliki sapi bali.

Analisis data
Hasil pengamatan pola bulu tubuh sapi Bali dan pola warna yang menyimpang dihitung
frekuensinya dari sampel yang diambil, demikian pula untuk bentuk tanduk sehingga
dapat diperoleh frekuensi fenotipe kedua sifat tersebut. Keragaman alel mikrosatelit
ditentukan dari perbedaan migrasi alel pada gel dari masing-masing individu sampel.
Diferensiasi genetik diestimasi dengan menggunakan frekuensi alel yang diikuti dengan
test chi – square.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Fenotipe Sapi Bali


Sifat kualitatif merupakan sifat yang tampak dari luar dan tidak dapat dihitung. Yang
termasuk dalam sifat kualitatif, seperti bentuk tanduk, warna bulu, dan warna kaos kaki.
Terdapat 6 macam bentuk tanduk yaitu Silak Manggulgangsa, Congklok, Anoa, Cono,
Bajeg, dan Pendang.
Variasi bentuk tanduk sapi Bali betina lebih sedikit daripada sapi Bali jantan. Bradley
dan Cunningham (1999) mengemukakan bahwa perbedaan bentuk fenotipe ternak
domestikasi saat ini dengan leluhurnya adalah akibat proses domestikasi. Banteng jantan
memiliki bentuk tanduk yang sedikit berbeda dibandingkan sapi Bali jantan, National
Research Council (1983) mengemukakan bahwa bentuk tanduk Banteng jantan adalah
mengarah keluar dan kemudian keatas dengan ujung tanduk mengarah kedalam. Warna
bulu yang normal pada sapi jantan didominasi sekitar 97,14% sedangkan pada sapi Bali
betina 88,89%. Sedangkan warna kaos kaki yang normal pada sapi Bali jantan 91,43%
begitu pula dengan sapi Bali betina warna kaos kaki yang normal sekitar 66,67%.

Sifat Kuantitatif
performa sapi Bali betina lebih besar daripada jantan. Hal ini disebabkan karena umur
rata-rata sapi jantan 2,65 tahun dan rata-rata umur sapi betina 4,62 tahun, umur juga
mempengaruhi berat badan.

Amplifikasi Dan Genotip Mikrosatelit Lokus Hel9 Dan Inra035 Pada Sapi Bali
Pada penelitian ini, alel mikrosatelit HEL9 yang berhasil teramplifikasi (ditujukan
dengan adanya band dengan ukuran yang sesuai). Berdasarkan panjang fragmen hasil
PCR dapat ditentukan genotip masing-masing ternak.

Frekuensi Genotip, Alel Dan Keseimbangan Hardy-Weinberg


Poliformisme dapat ditunjukkan dengan adanya dua alel atau lebih dalam satu populasi.
Meskipun sapi bali merupakan hasil domestikasi dari Banteng, namun hasil pengamatan
menunjukkan bahwa alel genotip Banteng dan sapi Bali tidak identik.

Nilai Heterozigositas
Nilai heterozigositas pengamatan dan heterozigositas harapan digunakan untuk menduga
keragaman genetik.
KESIMPULAN
Bentuk tanduk yang paling umum pada sapi Bali di Kabupaten Barru pada jantan adalah
Silak Bajeg (54,28%) dan betina adalah silak manggulgangsa (75,56%). Warna bulu
menyimpang 2,28% pada jantan dan pada betina 11,11%. Warna kaos kaki yang
menyimpang pada jantan 8,57% dan betina 33,33%. Proporsi alel mikrosatelit lokus
HEL9 adalah 50% untuk masing-masing alel A dan B. persentase genotipe AB pada sapi
bali di kabupaten Barru ada;ah 100%. Sedangkan pada lokus INRA035 frekuensi
genotipe AB sebanyak 96,25% dan BC sebanyak 3.75%

Anda mungkin juga menyukai