Anda di halaman 1dari 132

GAYA HIDUP INFLUENCER DI KOTA MAKASSAR

INFLUENCER LIFESTYLE IN MAKASSAR CITY

SKRIPSI

ASTRI ALFI KHOIRI

E411 16 016

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021
GAYA HIDUP INFLUENCER DI KOTA MAKASSAR

SKRIPSI

ASTRI ALFI KHOIRI

E411 16 016

SKRIPSI DIAJUKAN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT GUNA

MEMPEROLEH DERAJAT KESARJANAAN PADA

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2021

ii
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL : GAYA HIDUP INFLUENCER DI KOTA MAKASSAR

NAMA : ASTRI ALFI KHOIRI

NIM : E411 16 016

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing I dan Pembimbing II


untuk diajukan pada panitia ujian skripsi
Departemen Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Andi Haris M.Sc, Ph.D Drs. Hasbi, M.Si, Ph.D


NIP. 196206021987021001 NIP. 195807291984031003

Mengetahui,
Ketua Departemen Sosiologi
FISIP UNHAS

Drs. Hasbi, M.Si,Ph.D


NIP. 195807291984031003

iii
HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI

Skripsi ini telah diuji dan dipertahankan di depan Tim Evaluasi Skripsi Pada
Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Oleh:

Judul Skripsi : Gaya Hidup Influencer Di Kota Makassar


Nama Mahasiswi : Astri Alfi Khoiri
Nim : E411 16 016

Pada:

Hari/Tanggal: Jumat, 21 Januari 2022


Tempat: Ruang Ujian Skripsi Departemen Sosiologi

TIM EVALUASI UJIAN SKRIPSI

Ketua : Dr. Hasbi, M.Si., Ph. D (………………………)

Sekretaris : Suryanto, S.Sos., M.Si (………………………)

Anggota : 1) Drs. A. Haris, M.Sc., Ph. D (………………………)

2) Musrayani Usman, S.Sos., M.Si (………………………)

iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Judul Skripsi : Gaya Hidup Influencer Di Kota Makassar


Nama Mahasiswi : Astri Alfi Khoiri
Nim : E411 16 016

Saya menyatakan dengan sejujurnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil
karya sendiri dan bukan merupakan pengambil-alihan tulisan atau pemikiran dari
orang lain. Apabila dikemudian hari, ini terbukti atau dapat dibuktikan bahwasanya
sebagian atau keseluruhan isi dari skripsi adalah hasil karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 11 Januari 2022
Yang Menyatakan,

(Astri Alfi Khoiri)

v
HALAMAN PERSEMBAHAN

Yang Utama Dari Segalanya...


Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih
sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membekaliku dengan ilmu serta
memperkenalkanku dengan cinta. Dari semua yang telah engkau tetapkan baik itu
rencana indah yang engkau siapkan untuk masa depanku sebagai harapan
kesuksesan.Atas karunia serta kemudahan yang Engkau berikan akhirnya skripsi
yang sederhana ini dapat terselesaikan. Sholawat dan salam selalu terlimpahkan
keharibaan Rasullah Muhammad SAW.
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat kukasihi
dan kusayangi Ibunda, ayahanda, Suami, dan Keluargaku Tercinta.
Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terima kasih yang tiada terhingga
kupersembahkan karya kecil ini kepada Ibu, ayah, Suami dan keluargaku yang
telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang tiada
terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas yang
bertuliskan kata cinta dan persembahan. Untuk Ibu, Ayah dan keluargaku yang
selalu membuatku termotivasi dan selalu menyirami kasih sayang, selalu
mendoakanku, selalu menasehatiku menjadi lebih baik, Terima Kasih untuk
kalian semua…….Terima Kasih Atas semuanya, dan Terima Kasih Ya Allah yang
telah mengirimkan insan terbaik dalam hidupku.!

Salam Hormat Penulis,

Astri Alfi Khoiri

vi
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan

Karunia-Nya, sehingga Penulis dapat merampungkan draft skripsi ini dengan baik.

Adapun judul penelitian skripsi adalah; “Gaya Hidup Influencer Di Kota Makassar.

Penelitian ini dimaksudkan guna memenuhi salah-satu syarat menyelesaikan studi

strata satu (S1) sarjana reguler pada Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Hasanuddin di tahun 2021.

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT,

yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya kepada

penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Rabb

yang senantiasa menyertai dalam setiap desah nafas. Rabb yang selalu mencurahkan

segenap kasih dan sayangnya serta mengukir rencana terindah untuk tiap insan yang

meniti jalan-Nya. Terima kasih yang teramat dalam penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Drs. Andi Haris M.Sc. Ph.D

selaku pembimbing I maupun dari bapak Drs. Hasbih, M.Si, Ph.D selaku

pembimbing II yang telah mendorong, membantu dan mengarahkan Penulis hingga

menyelesaikan skripsi ini. Kepada pihak yang telah mendukung, baik moral, material

maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan dengan baik

dan selesai sesuai yang Penulis harapkan, yaitu kepada:

vii
1) Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas

Hasanuddin,

2) Drs. Hasbi, M.Si., Ph.D, selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin,

3) Segenap dosen pengajar di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik yang telah memberikan berbagai bekal ilmu pengetahuan,

4) Seluruh staff akademik di Departemen Sosiologi, Perpustakaan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin.

Terkhusus buat Ibu Rosnaini, SE dan Pak Pasmudir, S.Hum yang selalu

memberikan sikap yang bersahabat dihadapan masalah administratif

pendidikan,

5) Kedua orang tuaku Papa Haris, S.E., M,m dan Mama Trikasnawanti serta

Mertuaku Bapak H. Rais dan Mama Hj. Rahmawati yang telah memberikan

dukungan tanpa henti dalam proses ini,

6) Suami ku yang tercinta, Muh. Ade Darmawan terima kasih menjadi suami

yang selalu mendukung dan menghormati setiap keputusan ku, beserta anak

tampanku Kenzie Kalingga Alhasan yang senyumannya telah mencerahkan

hatiku.

viii
7) Kepada teman–teman seperjuangan selama di kampus. Caca, Nabila, Nana,

Yunita, dan Nisa karena kalian saya jadi kuat dan semangat berkuliah. Terima

kasih untuk kebersamaannya,

8) Kepada saudara tak sedarah yang selalu setia mendampingi hingga akhir

penulisan skripsi ini, terima kasih banyak untuk segala bantuannya.

Orang-orang yang sangat berpengaruh selama kuliah di departemen Sosiologi.

9) Seluruh informan yang telah saya repotkan dalam penelitian skripsi ini, terima

kasih atas segala waktu dan informasi yang telah diberikan, dan

10) Kakanda Muhammad Ilham Dhani Asriawan yang telah membantu dan

memberikan saran selama pengerjaan skripsi.

Dengan selesainya penyusunan skripsi ini, semoga dapat berguna dan juga

bermanfaat terutama bagi Penulis maupun kepada para pembaca. Semoga Allah SWT

memberikan karunia-Nya kepada kita seluruh Bapak, Ibu serta saudara(i) atas segala

waktu, energi dan bantuannya selama ini. Amin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Makassar, 11 Januari 2022

Penulis

ix
ABSTRAK

Astri Alfi Khoiri, E41116016, “Gaya Hidup Influencer Di Kota Makassar”.


Dibimbing oleh Drs. Andi Haris M.Sc, Ph.D dan Drs. Hasbi, M.Si, Ph.D
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan makna influencer


sudut pandang influencer di Kota Makassar serta untuk mendeskripsikan cara
influencer mengkonstruksi gaya hidup mereka di Kota Makassar. Semakin masifnya
masyarakat Kota Makassar yang menjadikan influencer sebagai model pekerjaan baru
yang berkembang selaras dengan perkembangan teknologi informasi.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Dalam menentukan informan penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive
sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan data primer dan
data sekunder.
Influencer memiliki makna sosial yang berlapis-lapis. Influencer dapat
dimaknai sebagai suatu gaya ketika influencer hanya sampai pada praktik
mengkonstruksi identitas atau citra dirinya agar wacana yang dia sampaikan tidak
sama dengan influencer lain. Sedangkan influencer dimaknai sebagai mode fashion
ketika influencer membeli sesuatu barang atau produk untuk kebutuhan penyampaian
isu-isu yang akan dibawakan. Dan terakhir, influencer dimaknai sebagai budaya
ketika praktik influencer telah melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang kemudian
diikuti secara massal atau mengalami peniruan-peniruan ritus sosial. Gaya hidup yang
dipraktikkan oleh influencer di Kota Makassar merupakan manifestasi hasil dari
pengetahuan, kenyataan atau realita yang sehari-hari dijalani, dan kesadaran dari
influencer yang kemudian mengalami proses dialektika secara simultan dalam tiga
tahap: eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
Kata Kunci: Influencer, Gaya Hidup, Konsumerisme, Konstruksi Sosial

x
ABSTRACT

Astri Alfi Khoiri, E41116016, Influencer Lifestyle In Makassar City. Advice by


Drs. Andi Haris M.Sc, Ph.D dan Drs. Hasbi, M.Si, Ph.D. Faculty of Social and
Political Sciences, Hasanuddin University.

The purpose of this study is to describe the meaning of influencers from the
perspective of influencers in Makassar City and to describe how influencers construct
their lifestyle in Makassar City. The more massive the people of Makassar City are
making influencers a new job model that is developing in line with the development of
information technology.
In this study, the researcher used a qualitative research approach. In
determining the informants of this research, the researcher used purposive sampling
technique. The data collection technique used is primary data and secondary data.
Influencers have multiple social meanings. Influencer can be interpreted as a
style when the influencer only comes to the practice of constructing his identity or
image so that the discourse he conveys is not the same as other influencers.
Meanwhile, influencer is defined as a fashion mode when the influencer buys an item
or product for the purpose of conveying the issues that will be brought up. And lastly,
influencer is defined as a culture when the influencer's practice has given birth to
new habits which are then followed en masse or undergo imitation of social rites. The
lifestyle practiced by influencers in Makassar City is a manifestation of the results of
knowledge, reality or reality that is lived daily, and awareness of the influencer which
then undergoes a dialectical process simultaneously in three stages: externalization,
objectivation, and internalization.
Key Word: Influencers, Lifestyle, Consumerism, Social Construction

xi
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN i
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI v
HALAMAN PERSEMBAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
ABSTRAK x
ABSTRACT xi
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 12
1.3 Tujuan Penelitian 12
1.4 Manfaat Penelitian 12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL 13
2.1 Deskripsi Teori 13
2.1.1 Jean Pierre Baudrillard 13
2.1.1.1 Konsumerisme 13
2.1.2 Teori Konstruksi Sosial 21
2.1.3 Gaya Hidup 28

xii
2.3 Kerangka Pikir 32
2.4 Definisi Konseptual 34
BAB 3 METODE PENELITIAN 35
3.1 Pendekatan Penelitian 35
3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian 35
3.3 Tipe Penelitian 36
3.4 Teknik Penentuan Informan 36
3.5 Teknik Pengumpulan Data 38
3.6 Teknik Analisis Data 41
BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN 45
4.1 Gambaran Umum Kota Makassar 45
4.1.1 Letak Geografis dan Topografis 45
4.2 Keadaan Demografi Kota Makassar 47
4.3 Keadaan Ekonomi Kota Makassar 48
4.4 Potensi Nilai Budaya 48
4.5 Potensi Bahari 49
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 51
5.1 Karakteristik Informan 51
5.2 Hasil Penelitian 55
5.2.1 Makna Influencer 55
5.2.2 Proses Influencer Mengkonstruksi Gaya Hidup 58
Di Masyarakat Kota Makassar
5.3 Pembahasan 62
5.3.1 Influencer dan Pemaknaannya 62
5.3.2 Konstruksi Gaya Hidup Influence di Kota Makassar 65
5.3.3 Gaya Hidup Influencer di Kota Makassar 82
BAB VI PENUTUP 93

xiii
6.1 Kesimpulan 93
6.2 Saran 95
DAFTAR PUSTAKA 96
LAMPIRAN 99
CURRICULUM VITAE

xiii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Luas Wilayah menurut Kecamatan di Kota Makassar 46
5.1 Karakteristik Informan 54

xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kerangka Pikir Penelitian 33
3.1 Alur Analisis Data 43
4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Di Kota Makassar 2020 47
4.3 Persentase Penduduk menurut Golongan Pengeluaran Per Kapita 48
Sebulan di Kota Makassar, 2019 dan 2020

xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Transkrip Wawancara 100
Surat Izin Penelitian 111
Dokumentasi 112

xvi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.

Berbagai penemuan mutakhir dalam bidang komunikasi dan informasi tidak

pelak membuat dunia mengalami arus globalisasi yang semakin luas cakupannya,

dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya. Revolusi di bidang teknologi informasi

dan telekomunikasi menyebabkan distansiasi ruang-waktu sekaligus pemadatan

ruang-waktu yang kemudian merobohkan batas-batas ruang dan waktu konvensional.

Kemunculan internet, smartphone, hingga wifi telah merekturisasi cara hidup manusia

secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan.

Salah satu perubahan sosial yang menyertai kemajuan ekonomi di Indonesia

adalah berkembangnya teknologi informasi dan berkembangnya gaya hidup yang

kemudian berfungsi sebagai diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi.

Ada suatu relasi yang terjalin dari pesatnya perkembangan teknologi informasi

dengan berkembangnya gaya hidup konsumtif. Baudrillard menyebutkan relasi

tersebut dengan sebutan relasi hyperreality-consumerism, Bourdieu menyebutnya

dengan konsep distinction, Featherstone melukiskan dengan nama “konvertibilitas”

antara gaya dan komoditas.

Meneropong fenomena konsumerisme yang sedang menjangkiti masyarakat

Indonesia, dapat dicermati pernyataan Yasraf Amir Pilliang dalam buku Dunia Yang

Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Pilliang (2011:145)

menyebutkan bahwa konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam

1
rangka memenuhi fungsi utilitas atau kebutuhan dasar manusia tertentu, akan tetapi

berkaitan dengan unsur-unsur simbolik yang menandai kelas, status atau simbol sosial

tertentu. Pernyataan Pilliang tersebut dapat diartikan bahwa aktivitas konsumsi tidak

lagi sekedar untuk pemuasan rasa lapar/pemuasan kebutuhan, tetapi juga telah beralih

menjadi suatu cara atau bentuk ekspresi diri untuk menunjukkan status sosial yang

ada.

Kecenderungan umum ke arah pembentukan simbol sosial dan identitas kultural

melalui gaya pakaian, mobil, atau produk lainnya sebagai komunikasi simbolik, dan

makna-makna sosial telah mewadahi masyarakat Indonesia. Gaya hidup konsumtif

atau konsumerisme kemudian berkembang menjadi arena yang didalamnya

produk-produk konsumer merupakan suatu medium untuk pembentukan personalitas,

gaya, citra, gaya hidup dan cara diferensiasi status sosial yang berbeda-beda.

Barang-barang konsumer, pada akhirnya menjadi cermin tempat para konsumer

menemukan makna kehidupan. Budaya konsumen merupakan budaya baru dalam

parameter konsumsi yang banyak menyoroti fondasi dari pergeseran konsumsi.

Simbolisasi dalam konsumsi masyarakat modern saat ini mengkonstruksi

identitasnya, sehingga gaya hidup bisa mencitrakan keberadaan seseorang pada suatu

status sosial tertentu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Featherstone

mengenai budaya konsumen. Menurut Featherstone (2008:204)

“Konsumsi merepresentasikan budaya konsumen dimana penciptaan gaya hidup


terpusat pada konsumsi sebagai tanda estetis yang diasosiasikan dengan pergeseran
relatif signifikan dari produksi ke konsumsi.”

2
Relasi sosial sehari-hari tidak lagi berhenti sebagai relasi di antara sesama

manusia, melainkan sebagai fungsi dari pemilikan dan penggunaan benda-benda dan

gaya hidup. Di dalam kondisi yang demikian, energi kemajuan di dalam pasar bebas

lebih banyak digunakan untuk menciptakan kebutuhan semu bagi konsumer.

Kebutuhan ini diciptakan semata agar ekonomi dapat terus berputar, yang pada

gilirannya hanya menghasilkan kesejahteraan semu. kesejahteraan semu yang

dimaksud dalam wacana konsumerisme adalah hidup yang dikondisikan untuk selalu

berpindah dari satu hasrat ke hasrat berikutnya, tanpa ada titik kepuasan.

Influencer merupakan seseorang yang memiliki kekuatan untuk

mempengaruhi orang lain melakukan keputusan pembelian berdasarkan pengalaman

sebelumnya. Influencer digunakan oleh sebuah brand untuk menyampaikan tujuan

dari brand ke target konsumen tertentu. Mereka yang menjadi influencer bisa dari

kalangan artis atau bahkan selebgram yang menjadi idola dari followers mereka di

media sosial. Agen-agen influencer inilah yang kemudian menyampaikan tanda yang

ingin disampaikan pemilik usaha kepada konsumen-konsumennya.

Fenomena Influencer belakangan menjadi trendsetter di kalangan anak muda

masa kini. Influencer berasal dari berbagai latar belakang. Mereka bukan hanya

selebriti yang sudah top terlebih dulu di layar kaca. Influencer bisa seorang pecinta

fotografi, hobi travelling, pecinta kopi, penggila make-up,pencinta binatang, atau

sekadar penyuka humor. Influencer memiliki ribuan hingga jutaan followers.

popularitas tersebut diraih dari produksi konten media sosial yang menarik dan unik.

Semakin unik, semakin menarik, atau bahkan semakin kontroversial maka semakin

3
banyak followers yang mereka dapatkan. Dengan ratusan ribu dan jutaan pengikut

setia itu, perusahaan-perusahaan mulai dari skala kecil-menengah-hingga besar pun

mulai melirik influencer untuk mempromosikan produk mereka. Influencer kemudian

menjadi ladang bisnis yang menggiurkan.

Keberadaan influencer ini membawa angin segar bagi dunia usaha Indonesia

dikarenakan kemampuannya dalam mempengaruhi dan merekonstruksi pemikiran

konsumen. melalui influencer sebagai agen, sebuah ideologi berusaha ditawarkan dan

memasuki gaya hidup para konsumen. Berdasarkan data yang dirilis oleh The State

Of Influencer Marketing 2018 in Indonesia memperlihatkan bahwa pertimbangan

utama dalam memilih influencer adalah dikarenakan engagement yang tinggi dari

sang influencer (69,9%) dan gaya hidup yang ditampilkan oleh influencer dengan

persentase 53% (dikutip dari

https://www.slideshare.net/sociabuzz/the-state-of-influencer-marketing-2018-in-indon

esia-kupas-tuntas-tren-pemasaran-endorse pada tanggal 15 April 2021 pukul 21.00

WITA). Para influencer ini menampilkan sebuah tawaran gaya hidup yang mewah,

yang berbeda dari keseharian para konsumennya. Influencer secara tidak langsung

juga ingin menampilkan sebuah realitas yang ada di masyarakat, membentuk sebuah

identitas yang ideal bagi konsumennya.

Bahkan kemunculan influencer ini juga kemudian membuka lapangan

pekerjaan yang lain dengan semakin menjamurnya agency-agency yang menaungi

influencer tersebut. seperti Mamorae, BuzzHero, dan SociaBuzz. Pihak ketiga bisa

memastikan perjanjian berjalan sebagaimana mestinya. Pihak ketiga juga berperan

4
mengedukasi influencer terkait produk yang bakal dipasarkan ataupun mengelola

sosial medianya (dikutip dariKatadata.co.id dengan judul "2018 Jadi Musim Panen

Influencer Media Sosial",

https://katadata.co.id/pingitaria/digital/5e9a55e46a3a2/2018-jadi-musim-panen-influe

ncer-media-sosial pada tanggal 20 April 2021 pukul 23.36 WITA).

Tingginya minat masyarakat untuk menjadi influencer ini merupakan

implikasi dari era teknologi informasi sebagaimana yang dikatakan oleh Manuel

Castell dalam karyanya yang berjudul The Information Age: Economy, Society, and

Culture (1998 dalam Ritzer, 2018:380).

“Masyarakat informasi adalah masyarakat di mana fungsi dan proses dominan ditata
sekitar jaringan antara lain internet, intranet, jaringan kerjasama berbagai perusahaan,
organisasi, negara, hingga jaringan pergaulan. Logika jaringan menentukan dan
memodifikasi morfologi sosial, proses produksi, kekuasaan, budaya dan pengalaman
keseharian. Bangkitnya masyarakat informasi dipicu dan dipacu oleh revolusi
teknologi informasi yang diawali dengan teknologi rekayasa mikro: elektronika,
komputer dan telekomunikasi. Revolusi teknologi ini mempengaruhi masyarakat dan
pola-pola relasi di dalamnya.”
Influencer hadir dalam membentuk sebuah kebudayaan baru yang populer,

yaitu budaya konsumerisme. Realitas dibentuk oleh para influencer melalui

konstruksi sosial untuk menghasilkan sebuah identitas yang semu. identitas, gaya

hidup, dan budaya konsumerisme secara tidak langsung menjadi tujuan dari

keberadaan influencer. Ayun (Sukmono, 2014:3) menyebutkan para influencer,

seolah-olah ingin menjadikan gaya hidup mereka sebagai sebuah budaya yang

seharusnya dianut oleh para pengikutnya. Dari pernyataan Ayun dapat ditemukan

5
bahwa ada yang bermasalah dari kelahiran influencer. Secara sosiologis, influencer

adalah manifestasi hyper-reality, pop-culture, konsumerisme itu sendiri.

Salah satu influencer nasional yaitu dr. Tirta dengan akun instagram @dr.tirta

dan Maudy Ayunda dengan akun instagram @maudyayunda menjadi contoh nyata

dari bagaimana influencer kemudian mempengaruhi persepsi masyarakat dari

konten-konten yang ditampilkan yang kemudian merubah kondisi pengetahuan

masyarakat. Kepercayaan yang dibangun oleh influencer dengan para pengikutnya

tersebut menyebabkan banyak hal, salah satunya adalah konsumsi akan suatu brand

meningkat. Dari branding yang dilakukan oleh Social Media Influencer berdasarkan

penelitian sebelumnya, terdapat korelasi yang kuat antara promosi yang mereka

lakukan terhadap minat beli konsumen, dimana influencer meningkatkan minat

pembelian sebanyak 89,7% (Astuti, 2016). Karena tingginya pengaruh tersebut,

banyak perusahaan menggunakan influencer untuk meningkatkan engagement dari

produk yang dijual. Daya tarik yang dimunculkan oleh influencer berdasarkan

kredibilitas, kemampuan berkomunikasi, dan tingginya atensi publik terhadap

influencer tersebut yang diamati dari banyaknya jumlah pengikut di media sosial

mereka dapat meningkatkan pengenalan produk kepada masyarakat luas serta tingkat

pemasaran.

Walaupun masih dapat diperdebatkan dan belum diakui validitasnya, sejarah

influencer di Kota Makassar dapat dikatakan dimulai di tahun 2015 yang ditandai

dengan mulai massifnya pengguna media sosial Instagram dan kemunculan Bolang

Makassar (Tumming dan Abu). Tetapi Bolang Makassar belum dapat dikatakan

6
sebagai influencer pada saat itu, dikarenakan fokus Bolang Makassar pada saat itu

masih fokus menjadi content creator yang menyajikan konten-konten hiburan. Tetapi

pasca kesuksesan Bolang Makassar menarik atensi masyarakat Kota Makassar,

kemudian mulai bermunculan individu-individu yang mengikuti jejak Bolang

Makassar sebagai content creator yang menyajikan konten hiburan seperti Zaka

Kribo, Dimas Sun, Cuke (Gazali). Kesuksesan para content creator dalam menarik

perhatian masyarakat Kota Makassar kemudian menjadi para content creator sebagai

selebgram yang tidak pelak terkadang melakukan kontroversi-kontroversi yang

berujung pada viralnya mereka dan meningkatkan pengunjung dan pengikut di sosial

medianya. Walaupun banyak yang bermula dari content creator tetapi ada juga yang

kemudian menjadi selebgram tidak melalui pijakan pertama sebagai content creator.

Ada beberapa yang menjadi selebgram dikarenakan postingan kesuksesan karirnya

dan gaya hidupnya seperti Anggu Batari.

Masifnya content creator dan selebgram di Kota Makassar, kemudian

memunculkan aliran atau penulis sebut saja genre baru dalam dunia hiburan

Instagram di masyarakat Kota Makassar. Genre baru ini bercirikan mengangkat

isu-isu kemanusiaan dan kesenjangan ekonomi yang menjadi gambaran dari kondisi

kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Makassar kedalam konten-konten

instagramnya. Di titik ini, genre baru ini kemudian dinamai sebagai influencer.

Influencer di Kota Makassar berasal dari kalangan content creator dan selebgram,

tetapi ada juga yang menjadi influencer tetapi tidak memiliki latar belakang sebagai

7
content creator dan selebgram, dimana latar belakangnya justru dari kalangan

akademisi, aktivis, atau pemerhati sosial.

Walaupun jumlah influencer di Kota Makassar masih belum sebanyak content

creator dan selebgram tetapi dapat dikatakan ada trend peningkatan individu-individu

yang menjadi influencer dilihat dari konsistensi postingan-postingannya yang

membahas isu-isu sosial dan kemudian juga terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial di

dunia nyata. Selayaknya Influencer di kota-kota lain, influencer di Kota Makassar

walaupun memiliki ketertarikan akan isu-isu sosial tetapi tetap menerima

permohonan kerjasama endorse produk.

Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ketika membahas mengenai influencer di

Kota Makassar, masih terdapat banyak kerumitannya. Kerumitan yang muncul antara

lain: Pertama, masih belum jelasnya definisi akan influencer dengan selebgram di

Kota Makassar. Dari data awal yang diperoleh di lapangan, tidak ada yang

mengetahui perbedaan antara selebgram dan influencer. Pendefinisian yang muncul

justru merupakan pendefinisian yang menyamakan antara selebgram dan influencer.

Padahal selebgram dan influencer merupakan dua objek atau dua konsep yang

berbeda. Penyamaan definisi ini muncul dikarenakan peranggapan bahwa kedua

objek ini memiliki arena yang sama yaitu dunia sosial media.

Upaya masih kaburnya definisi dari influencer ini sebenarnya bukan hanya

terjadi di Kota Makassar. Secara nasional, upaya mendefinisikan influencer ini

terkadang seringkali disalah-artikan menjadi dua hal yaitu buzzer dan selebgram.

Influencer terkadang dimaknai sama dengan buzzer dengan selebgram. Tobing (2020)

8
mendefinisikan influencer merupakan sebutan bagi seseorang yang memiliki banyak

pengikut atau followers di media sosial. Pemilihannya akan dilakukan berdasarkan

sejauh apa engagement atau keterikatan para influencer dengan para pengikutnya di

saluran sosial medianya. Sedangkan definisi buzzer secara bahasa inggris adalah

lonceng atau alarm. Menurut Centre for Innovation Policy and Governance

(Haryanto, 2021) buzzer adalah individu atau akun yang memiliki kemampuan

amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan, lalu

bergerak dengan motif tertentu. Ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang

atau akun tertentu menjadi buzzer. Pertama, motif komersial yang ditandai dengan

aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan

tertentu terhadap suatu produk dan jasa. Cara kerja buzzer berbeda dengan influencer.

Buzzer menyampaikan informasi secara berulang-ulang, bisa soal produk atau isu

politik, tapi tidak perlu sampai meyakinkan para pengikutnya. Seperti namanya, buzz,

ia hanya mendengung atau bersuara. Tujuannya, agar para follower-nya mengetahui,

paling tidak sadar, terhadap satu topik tertentu. Keberhasilannya dapat diukur jika isu

tersebut kemudian menjadi trending topic di sosial media.

Kedua, mengenai data jumlah influencer di Kota Makassar belumlah ada

dikarenakan organisasi resmi dan legal yang menaungi influencer di Kota Makassar

belum ada. Sehingga untuk melakukan pelacakan-pelacakan mengenai data masih

sangatlah susah. Walaupun begitu telah terbentuk komunitas influencer di Kota

Makassar yang dapat dilihat di sosial media instagram dengan nama akun

@influencermakassar, @makassar_influencer_community, dan @selebgram_mks.

9
Semakin masifnya masyarakat Kota Makassar yang menjadikan influencer

sebagai model pekerjaan baru yang berkembang selaras dengan perkembangan

teknologi informasi. Model pekerjaan yang bergerak di bidang advertising atau

periklanan ini kemudian menuntut syarat agar influencer memiliki modal kecakapan

komunikasi dan good-looking. Semakin banyaknya masyarakat yang menjadikan

influencer sebagai mata pencaharian tidak dapat dipungkiri dikarenakan adanya aspek

popularitas dan penghasilan tinggi dari pekerjaan influencer tersebut. Para influencer

kemudian berusaha membangun citra atau image. Influencer rela untuk mengeluarkan

biaya yang besar dan mahal untuk kepentingan citra tersebut. Atas nama

pembangunan citra, ada peralihan mode konsumsi dimana nilai guna kemudian

teralihkan menjadi nilai simbolik. Ada pengeluaran seperti perawatan tubuh dan

pengeluaran untuk bersosialisasi agar tidak keluar dari lingkungan tersebut. Hal ini

dapat dilihat dari postingan-postingan sosial media dari influencer yang kebanyakan

memang menginformasikan aktivitas sehari-hari yang bila ditelusuri untuk

melakukan aktivitas tersebut mengeluarkan biaya yang besar.

Mengutip ujaran Redana ( Ibrahim, 2004) bahwa.

“perubahan paling radikal dalam sebuah konstruksi sosial masyarakat


agaknya justru bisa berlangsung dengan cara paling damai, nyaman, diam-diam,
tanpa gejolak: tiba-tiba saja masyarakat tercerabut dari aras tertentu dan lalu tak
diperlukan lagi perubahan dalam arti real yang dicita-citakan”
Ujaran tersebut memberikan informasi apabila dikorelasikan dengan

fenomena influencer bahwa gaya hidup konsumerisme yang dianut influencer tidak

pelak memiliki potensi untuk mengubah pemahaman masyarakat Kota Makassar akan

10
pola hidup yang dianut. Perubahan tersebut akan terjadi tanpa adanya gejolak, yang

dititik akhirnya kemudian tersadar bahwa pola hidup telah berubah.

Ada petuah bugis-makassar yang berbunyi “ngowa na Kellae, sapu ripale

paggangkanna” yang memiliki makna bahwa hiduplah dengan rasa syukur walaupun

hanya sedikit yang dimiliki. Apa yang ditampilkan oleh influencer dengan gaya

hidupnya memiliki potensi untuk menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal yang

kemudian digantikan dengan ideologi dan nilai-nilai baru dalam nafas konsumerisme.

Masifnya kemunculan influencer di Kota Makassar juga tidak lepas dari

tatanan masyarakat yang mengalami perubahan di Kota Makassar. Di kota-kota besar

lain di Indonesia pun turut mengalami fenomena ini seperti di Jakarta, Bandung,

Surabaya, dan lain-lain. Tetapi di Kota Makassar, kota yang masih kuat dengan

nilai-nilai kearifan lokalnya, ada semacam penggabungan nilai lokal dengan nafas

konsumerisme dari gaya hidup konsumerisme influencer Kota Makassar.

Peneliti dalam penelitian ini berusaha untuk mengambil tema yang berbeda dari

dua penelitian diatas. Peneliti kemudian berusaha untuk melihat fenomena influencer

di Kota Makassar ini dalam paradigma sosiologi mikro. Masih kaburnya

pendefinisian akan influencer di Kota Makassar hingga bagaimana cara influencer

mengkonstruksi gaya hidup mereka ke khalayak masyarakat di Kota Makassar

menjadi suatu pokok permasalahan menarik untuk dikaji.

Atas dasar kenyataan diatas, peneliti berusaha menelisik lebih jauh sebuah makna

influencer dan konstruksi gaya hidup di Kota Makassar dengan judul Gaya Hidup

Influencer di Kota Makassar.

11
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian yang berjudul Gaya Hidup Influencer

di Kota Makassar adalah sebagai berikut :

1) Apa makna influencer dari sudut pandang influencer di Kota Makassar?

2) Bagaimana cara influencer mengkonstruksi gaya hidup di Kota Makassar?

1.3 Tujuan Penelitian.

Adapun tujuan penelitian yang berjudul Gaya Hidup Influencer di Kota Makassar

adalah sebagai berikut :

1) Untuk mendeskripsikan makna influencer sudut pandang influencer.

2) Untuk mendeskripsikan cara influencer mengkonstruksi gaya hidup di Kota

Makassar.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:

1) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan studi kajian

sosiologi, khususnya terkait gaya hidup di masyarakat.

2) Diharapkan dapat berkontribusi terhadap pembangunan sumber daya manusia

di Kota Makassar.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL

2.1. DESKRIPSI TEORI.

2.1.1 Jean Pierre Baudrillard

2.1.1.1 Konsumerisme.

Jean Pierre Baudrillard dilahirkan di kota Reims, Perancis pada 5 Januari 1929.

Baudrillard menawarkan sebuah pemikiran yang tidak memandang konsumerisme

sebagai sesuatu yang berdampak negatif walaupun salah satu karyanya La Societe de

Consommation: Ses Mythes, ses Structures (1970) kental dengan semangat Marxian

yang menitikberatkan pada ekonomi. Bagi Baudrillard, konsumerisme tidak dapat dan

tidak seharusnya dikenai sanksi secara moral, melainkan terlebih dahulu diakui di

dalam sebuah sistematika mode sebagai arena dimana kehidupan sosial di masa

sekarang terbentuk (Soedjatmiko, 2008:29).

Dalam konsumerisme, Baudrillard menjelaskan gaya hidup konsumsi sebagai

sebuah objek yang struktural layaknya bahasa. Hal ini tidak lepas dari besarnya

pengaruh pemikiran Ferdinand De Saussure dan Roland Barthes pada awal-awal

karirnya. Klaim Baudrillard adalah bahwa objek menjadi tanda (sign) dan nilainya

ditentukan oleh sebuah aturan kode (Ritzer, 2010:137). Dalam artian luas, ketika kita

mengkonsumsi suatu objek, maka kita mengonsumsi tanda (dengan syarat objek tadi

telah menjadi tanda), dan tanda ini kemudian kita gunakan untuk mendefinisikan diri

kita (identity) dan membedakan diri dari yang lain (The Other) berdasarkan objek

13
yang dikonsumsi. Inilah kode, kemudian yang mengontrol apa yang kita konsumsi

dan apa yang tidak kita konsumsi (Ritzer, 2010:138).

Dalam masyarakat konsumsi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi

tanda,citra, dan kode. Piliang (dalam Hidayat, 2012:74) mendefinisikan tanda, citra,

dan kode sebagai berikut.

“Tanda adalah segala sesuatu yang mengandung makna… Citra adalah segala

sesuatu yang nampak oleh indra, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi

substansial. Sementara kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati

secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang

kepada orang lain.”

Baudrillard menjelaskan bahwa dalam dunia yang dikontrol dengan kode,

persoalan-persoalan konsumsi memiliki sesuatu yang berkenaan dengan keputusan

atas apa yang dikenal sebagai “kebutuhan” (Ritzer, 2010:138). Kita sering mendengar

dalam kajian konsumerisme bahwa kita tidak membeli kebutuhan tapi kita membeli

apa yang kode sampaikan pada kita untuk dibeli. Menurut Baudrillard ide

“kebutuhan” berasal dari pembagian subjek-objek palsu (Ritzer, 2010:138). Yang

dapat diartikan seolah-olah ada pemisahan yang kemudian menghubungkan antara

subjek dan objek (subjek butuh objek, dan objek adalah apa yang dibutuhkan subjek).

Hubungan yang terjadi antara subjek-objek kemudian terjadi secara terus menerus

(tautology), tanpa henti dan tanpa keterputusan. Hubungan ini kemudian menciptakan

sebuah pola mode konsumsi. Baudrillard (Hidayat, 2012: 61) menyatakan bahwa

dibawah kejayaan era kapitalisme lanjut, mode of production kini telah digantikan

14
oleh mode of consumption. Hal ini berarti kebutuhan bukanlah jawaban dari konsumsi

tetapi jawabannya adalah pemenuhan atas relasi sosial dan hasrat.

Baudrillard (Haryatmoko, 2016: 72) juga melihat konsumsi dapat berfungsi

sebagai ideologi dan menjamin integrasi masyarakat seperti yang dahulu dilakukan

oleh agama dengan ritus-ritusnya. Sebagai ideologi, konsumsi menjadi pusat

pemaknaan relasi sosial.

Baudrillard juga menyelidiki masalah fashion berkaitan dengan konsepnya

tentang “dominasi kode”. Menurut Baudrillard, yang kita lihat pada dunia fashion

adalah “permainan penanda-penanda” yang pada akhirnya menghilangkan rujukan

pada dunia nyata, bahkan tidak menggiring kemanapun (Baudrillard, 1993 dalam

Lubis 2014:192).

Fashion hanya menciptakan kode-kode, artinya fashion diciptakan bukan

berdasarkan determinasinya sendiri, akan tetapi dari model itu sendiri. Karena itu ia

tidak “diciptakan”, akan tetapi selalu mereproduksi dirinya sendiri. Model menjadi

satu-satunya sistem rujukan. Fashion menurut Baudrillard adalah satu tahapan akhir

dari bentuk komoditas. Fashion juga sekarang tidak memiliki nilai dan moralitas.

Model adalah satu bentuk budaya yang cepat menyebar seperti virus kanker ganas

yang dengan cepat menyelinap ke seluruh tubuh. Fashion mengikuti cara yang

disebut oleh postmodern sebagai pastiche, yaitu menciptakan fashion baru dengan

memperluas dan mengkombinasikan dari fashion-fashion yang sudah ada sebelumnya

(Baudrillard, 1993 dalam Lubis 2014:192).

15
Pastiche adalah karya sastra, seni, atau arsitektur yang disusun dari

elemen-elemen yang dipinjam dari pelbagai sumber, pengarang, seniman, atau arsitek

dari masa lalu. Sebagai karya yang mengandung unsur-unsur pinjaman, pastiche

mempunyai konotasi negatif sebagai praktik penciptaan yang miskin orisinalitas.

Pastiche, mengutip Baudrillard, adalah titik balik sejarah. Pastiche adalah perang

menentang kemajuan dan sejarah, sebab sejarah tidak dapat diulangi namun sejarah

harus dibuat (Hidayat, 2012:130).

Bagi Baudrillard, pemikirannya yang sering menggunakan logika oposisi

biner sebagai salah satu bukti pemikirannya masih belum bisa melepaskan diri dari

modernisme. Modernitas adalah sebuah kode, dan fashion adalah lambangnya.

Fashion adalah bentuk “tanda-tanda yang ringan” sementara politik, moral, ekonomi,

sains, budaya, dan seksualitas adalah “tanda-tanda yang berat”. Fashion

menggambarkan dominasi kode, komoditas, simulasi yang merupakan ancaman bagi

sistem. Fashion adalah bidang yang dicirikan “permainan” daripada “kerja”, ia adalah

dunia ilusi. Fashion adalah wilayah yang bermain dengan: kebaikan, kejahatan,

rasionalitas, dan irasionalitas. Juga, sebagai bentuk perlawanan tanpa ideologi, dan

tanpa tujuan (Lubis, 2014:193).

Dalam modernitas, fashion menjadi faktor penting dalam menentukan

identitas seseorang, yang menentukan seseorang dikenal dan diterima (Kellner,

2010:361 dalam Lubis, 2014:193). Pada masyarakat modern, fashion dibatasi oleh

kode-kode gender, realitas ekonomi, dan kekuatan reformis sosial yang terus

mendikte apa yang boleh dan tidak boleh dipakai, apa yang mungkin dan apa yang

16
tidak mungkin. Pada era modern memang selalu ada perkembangan fashion, tetapi

kode-kode fashion relatif baku bagi beberapa kelas dan geografis tertentu.

Pelanggaran kode-kode gender dan fashion adalah cara terbaik untuk menandai

seseorang sebagai sampah masyarakat atau bahkan untuk memenjarakan atau

memasukkan seseorang yang berpakaian janggal (pornografi) ke dalam rumah sakit

jiwa (Lubis, 2014:193-194).

A. Gaya

Secara epistemologis kita dapat menelusuri awal mula kemunculan istilah

“gaya”. “Gaya” berasal dari bahasa Latin stilus, yang berarti alat menulis. Gaya

adalah ‘bentuk konstan-dan kadang-kadang elemen konstan, kualitas, dan

ekspresi-dalam seni individu atau kelompok (Piliang & Jejen Jaelani, 2018:182).

Fairclough dalam buku Analysing Discourse Textual Analysis for Social Research

(2003:159) menyebutkan.

“ Styles are the discoursal aspect of way of being, identities. Who you are is
partly a matter of how you speak, how you write, as well as matter of
embodiment-how you look, how you hold yourself, how you move, and so
forth.”
John A. Walker menyatakan bahwa secara umum ada dua teori tentang

“gaya”. Pertama, teori tentang tanda tangan yang memiliki anggapan “gaya adalah

orangnya”. Hal ini didasarkan pada ekspresi original yang beranggapan bahwa

seseorang tidak dapat menuntun tetapi menampilkan dirinya sendiri di dalam tulisan

atau tulisan tangan sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi identitas pengarang.

Kedua, teori retoris yang mempercayai bahwa didalam masyarakat yang kompleks,

17
gaya menulis, dan berbicara telah ada sehingga dapat dipelajari dan ditiru. Dalam

teori kedua ini, gaya merupakan sesuatu yang bermakna sangat artifisial; gaya

bersifat publik dan sosial, bukan sesuatu yang bersifat pribadi atau personal. Di dalam

teori ini, konotasi negatif selalu diasosiasikan dengan penggayaan: pemikirannya

sebagai sesuatu yang telah selesai, transformasi superfisial dari sebuah objek, sebagai

sesuatu yang diterapkan kepada permukaan sebuah objek hampir sebagai sebuah

pemikiran-setelah, sebagai semacam pengemasan (Piliang & Jejen Jaelani, 2018:182).

Gaya akhirnya akan berkaitan dengan pemosisian sosial. Pemosisian sosial,

bagaimanapun, hanya salah satu elemen di dalam konstruksi identitas. Dengan gaya,

orang akan melihat dirinya dan dunia, memilah, mengidentifikasi, menyamakan, dan

membedakan sekaligus. Setiap orang memiliki konsep tentang “diri”-nya yang harus

diwujudkan atau terwujud. Konsep diri ini diwujudkan dalam “dunia benda” Orang

akan mengejawantahkan konsep dirinya melalui benda-benda yang ia bawa, pakai,

beli, konsumsi, dan sebagainya (Piliang & Jejen Jaelani, 2018:184).

B. Budaya.

Diskursus budaya dalam lingkup postmodernisme, tidak dapat diceraikan dari

istilah cultural studies. Istilah ini muncul dalam disiplin keilmuan yang masih terus

berkembang. Kendati telah dibicarakan di Barat sejak tahun 1960-an, cultural studies

masih dianggap sebagai sebuah ide yang tengah berkembang. Dalam konteks

Indonesia, istilah cultural studies masih bermasalah ketika diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia. Hal ini karena terdapat beberapa keilmuan yang bersinggungan

(Piliang & Jejen Jaelani, 2018:11).

18
Cultural studies bukanlah sebuah objek atau benda yang dapat dikenali secara

langsung dengan pasti. Di dalam pandangan Stuart Hall yang cenderung Foucauldian,

cultural studies dapat dipegang sebagai sebuah formasi diskursus, sebuah kluster ide,

citra, dan praktik yang menyediakan cara-cara untuk berbicara tentang formasi

pengetahuan dan menghubungkan dengan topik tertentu, aktivitas sosial, atau

institusional di dalam masyarakat. Di dalam pandangan tersebut, dapat dimaknai

bahwa cultural studies adalah sebuah formasi pengetahuan yang kompleks. Ada

berbagai tujuan dan nilai yang melatarbelakangi hadirnya cultural studies (Piliang &

Jejen Jaelani, 2018:11).

Budaya selalu dilihat sebagai sebuah spesies yang mesti bereproduksi

sehingga dapat bertahan. Budaya akan terus berkembang sesuai dengan kondisi

zaman dan berbagai hal yang menopang kehidupan. Sebab itu kajian terhadap budaya

selalu memerlukan pendekatan yang relatif terus berkembang. Kondisi budaya

kontemporer selalu menyuguhkan kebaruan-kebaruan yang mesti ditangkap oleh

kacamata dan pisau kajian yang juga mutakhir. Cultural studies dengan, sifatnya yang

multidisiplin, dianggap hampir selalu memiliki relevansi dengan

perkembangan-perkembangan sosial budaya terbaru di masyarakat (Piliang & Jejen

Jaelani, 2018:12).

Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang

estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan

secara sempit, yaitu sebagai objek keadiluhungan yang estetis; juga bukan budaya

19
yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit, yaitu sebagai proses

perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual; melainkan budaya yang dipahami

sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari (Storey, 2006:2).

Cultural studies juga menegaskan bahwa penciptaan budaya pop bisa

menentang pemahaman dominan terhadap dunia serta menjadi pemberdayaan bagi

mereka yang subordinat. Namun bukan berarti bahwa selamanya budaya pop berada

pada lingkaran pemberdayaan dan resistensi. menyangkal pasivitas konsumsi bukan

berarti menampik bahwa kadangkala konsumsi itu pasif; mengingkari bahwa

konsumen budaya pop bukan korban penipuan budaya bukan berarti menyangkal

bahwa sekali waktu manusia dapat menjadi korban penipuan (Storey, 2006:7).

C. Mode.

Logika mode menembus kehidupan manusia sehari-hari dengan cara yang

sering tidak diketahui, dan juga merupakan pusat dinamika dalam sistem budaya

global. Fashion—yang pada awalnya dapat didefinisikan sebagai produksi, konsumsi,

dan pelembagaan kebaruan yang sistemik sosial—adalah fenomena budaya yang

mengintegrasikan budaya, individu, dan ekonomi. Fashion adalah ide sekaligus

realita. Meskipun pakaian adalah contoh mode yang paling terlihat dan tersebar luas

di tempat kerja, mode bukan hanya proses sosial yang berkaitan dengan pakaian dan

pakaian. Ini lebih merupakan sensibilitas ekspresif yang mendukung kebaruan dan

individualitas, yang memberi energi pada aspek produksi ekonomi dan konsumsi

pribadi.

20
Dalam studi mode, hubungan antara aktivitas budaya, estetika, dan ekonomi

ini paling jelas terlihat pada objek bermerek. Merek mungkin merupakan aspek yang

paling penting dari fashion, memiliki kapasitas untuk mengkomunikasikan makna

bagi konsumen melalui bentuk visual dan estetika yang sederhana seperti kata atau

warna. Dari perspektif konsumen, yang membedakan satu dengan yang lain jarang

lain adalah fitur teknis dari objek, tetapi harga serta aspek daya tarik branding yang

dikombinasikan dengan fitur estetika.

2.1.2 Teori Konstruksi Sosial.

Teori konstruksi sosial (social construction) Berger dan Luckmann merupakan

teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori

ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan

dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan

adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki

keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia;

sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real)

dan memiliki karakteristik yang spesifik.

Oleh karena konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan maka

implikasinya harus menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus

proses-proses yang membuat setiap perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai

kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap sebagai

pengetahuan dalam masyarakat. Sosiologi pengetahuan, yang dikembangkan Berger

21
dan Luckmann, mendasarkan pengetahuannya dalam dunia kehidupan sehari-hari

masyarakat sebagai kenyataan.

Dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu yang berasal dari pikiran dan

tindakan manusia, dan dipelihara sebagai yang nyata dalam pikiran dan tindakan.

Atas dasar itulah kemudian Berger dan Luckmann (1990: 29) menyatakan bahwa

dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari adalah objektivasi

(pengobjektivan) dari proses-proses (dan makna-makna) subjektif dengan mana dunia

akal-sehat intersubjektif dibentuk. Dalam proses pengobjektifan, Berger dan

Luckmann (1990: 30) menekankan adanya kesadaran, dan kesadaran itu selalu

intensional karena ia selalu terarah pada objek. Dasar kesadaran (esensi) memang

tidak pernah dapat disadari, karena manusia hanya memiliki kesadaran tentang

sesuatu (fenomena); baik menyangkut kenyataan fisik lahiriah maupun kenyataan

subjektif batiniah. Seperti halnya manusia, yang juga memiliki kesadaran tentang

dunia kehidupan sehari-harinya sebagaimana yang dipersepsikan. Bagi Berger dan

Luckmann (1990: 66), masyarakat merupakan kenyataan objektif, dan sekaligus

kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan objektif, individu berada di luar diri manusia

dan berhadap-hadapan dengannya; sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu

berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Individu adalah

pembentuk masyarakat; dan masyarakat adalah pembentuk individu. Maka itu,

kenyataan sosial bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif dan

sekaligus subjektif (Berger dan Luckmann, 1990: 28–65). Masyarakat sebagai

kenyataan objektif, menurut Berger dan Luckmann (1990: 66–67), terjadi melalui

22
pelembagaan dan legitimasi. Pelembagaan (institusionalisasi), terjadi dari aktivitas

yang dilakukan individu-individu manusia, dan dilakukan karena mereka tidak

memiliki dunia sendiri, serta harus membangun dunianya sendiri.

Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial,

dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat yang telah membangun

masyarakat, maka pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat.

Manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objektif melalui 3 (tiga) momen

dialektis yang simultan, yaitu:

a) Eksternalisasi.

Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus-menerus ke

dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Eksternalisasi

merupakan keharusan antropologis; keberadaan manusia tidak mungkin

berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan

tanpa-gerak. Keberadaannya harus terus-menerus mencurahkan kediriannya

dalam aktivitas. Kedirian manusia adalah melakukan eksternalitas yang terjadi

sejak awal, karena ia dilahirkan belum selesai, berbeda dengan binatang yang

dilahirkan dengan organisme yang lengkap. Untuk menjadi manusia, ia harus

mengalami perkembangan kepribadian dan perolehan budaya (Berger, 1994:

5–6). Keadaan manusia yang belum selesai pada saat dilahirkan, membuat

dirinya tidak terspesialisasi dari struktur instinktualnya, atau dunianya tidak

terprogram. Dunia manusia adalah dunia yang dibentuk (dikonstruksi) oleh

aktivitas manusia sendiri; ia harus membentuk dunianya sendiri dalam

23
hubungannya dengan dunia (Berger, 1994: 6–7). Dunia manusia yang

dibentuk itu adalah kebudayaan, yang tujuannya memberikan struktur-struktur

yang kokoh yang sebelumnya tidak dimilikinya secara biologis. Oleh karena

merupakan bentukan manusia, struktur-struktur itu bersifat tidak stabil dan

selalu memiliki kemungkinan berubah. Itulah sebabnya, kebudayaan selalu

dihasilkan dan dihasilkan kembali oleh manusia.

Adapun pembentukan kebudayaan nonmaterial selalu sejalan dengan aktivitas

manusia yang secara fisis mengubah lingkungannya. Akibatnya, masyarakat

merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan nonmaterial.

Masyarakat adalah aspek dari kebudayaan nonmaterial yang membentuk

hubungan kesinambungan antara manusia dengan sesamanya, sehingga ia

menghasilkan suatu dunia, yakni dunia sosial (Berger, 1994: 8–9).

b) Objektivasi.

Bagi Berger, masyarakat adalah produk manusia, berakar pada fenomena

eksternalisasi. Produk manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada

di luar dirinya, menghadapkan produk-produk sebagai faktisitas yang ada di

luar dirinya. Meskipun semua produk kebudayaan berasal dari (berakar

dalam) kesadaran manusia, namun produk bukan serta-merta dapat diserap

kembali begitu saja ke dalam kesadaran. Kebudayaan berada di luar

subjektivitas manusia, menjadi dunianya sendiri. Dunia yang diproduksi

manusia memperoleh sifat realitas objektif (Berger, 1994: 11–12). Semua

aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi, menurut Berger dan

24
Luckmann (1990: 75–76), dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi)

yang kemudian mengalami pelembagaan (institusionalisasi) (Berger dan

Luckmann, 1990: 75–76).

Pelembagaan, bagi Berger dan Luckmann (1990: 77–84), terjadi apabila ada

tipifikasi yang timbal balik dari tindakan-tindakan yang terbiasakan bagi

berbagai tipe pelaku. Tiap tipifikasi semacam itu merupakan suatu lembaga.

Tipifikasi tindakan tindakan yang sudah dijadikan kebiasaan, yang

membentuk lembaga-lembaga, merupakan milik bersama. Tipifikasi-tipifikasi

itu tersedia bagi semua anggota kelompok sosial tertentu, dan

lembaga-lembaga itu identifikasi pelaku-pelaku individual atau pun

tindakan-tindakannya. Tipifikasi-tipifikasi timbal-balik itu terjadi secara

diakronik dan bukan seketika. Lembaga-lembaga juga mengendalikan

perilaku manusia dengan menciptakan pola-pola perilaku. Pola-pola inilah

yang kemudian mengontrol yang melekat pada pelembagaan. Segmen

kegiatan manusia yang telah dilembagakan berarti telah ditempatkan di bawah

kendali sosial.

c) Internalisasi.

Internalisasi adalah suatu pemahaman atau penafsiran individu secara

langsung atas peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna. Berger dan

Luckmann (1990: 87) menyatakan, dalam internalisasi, individu

mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi

sosial di mana individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan

25
peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali

dari strukturstruktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran

subjektif.

Subjektivitas itu tersedia secara objektif bagi orang yang menginternalisasi

dan bermakna, tidak peduli apakah ada kesesuaian antara kedua makna

subjektifnya. Dalam konteks ini, internalisasi dipahami dalam arti umum,

yakni merupakan dasar: pertama, bagi pemahaman mengenai sesama, dan

kedua, bagi pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari

kenyataan sosial (Berger dan Luckmann, 1990: 186). Selanjutnya dikatakan

Berger dan Luckmann (1990: 187), baru setelah mencapai taraf internalisasi

inilah individu menjadi anggota masyarakat. Proses untuk mencapai taraf itu

dilakukan dengan sosialisasi. Ada dua macam sosialisasi, yakni: pertama,

sosialisasi primer, adalah sosialisasi pertama yang dialami individu dalam

masa kanak-kanak. Kedua, sosialisasi sekunder, adalah setiap proses

berikutnya ke dalam sektor-sektor baru dunia objektif masyarakatnya.

Sosialisasi primer merupakan yang paling penting bagi individu, sebab

struktur dasar dari semua sosialisasi sekunder harus mempunyai kemiripan

dengan struktur dasar sosialisasi primer. Setiap individu dilahirkan ke dalam

suatu struktur sosial yang objektif, dan disinilah ia menjumpai orang-orang

yang berpengaruh dan yang bertugas mensosialisasikannya. Ia dilahirkan tidak

hanya ke dalam suatu struktur sosial yang objektif, tetapi juga ke dalam dunia

sosial subjektif. Orang-orang yang berpengaruh itu mengantarai dunia dengan

26
diri, memodifikasi dunia atau menyeleksi aspek-aspek dari dunia yang

sekiranya sesuai dengan lokasi dan watak khas mereka yang berakar pada

biografi masing-masing.

Sosialisasi primer, bagi Berger dan Luckmann (1990: 197), akan berakhir

manakala konsep tentang orang lain pada umumnya (dan segala sesuatu yang

menyertainya) telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran individu. Ia

sudah merupakan anggota masyarakat dan secara subjektif telah memiliki

suatu diri dan sebuah dunia. Namun, internalisasi masyarakat, identitas, dan

kenyataan, tidak terjadi sekali jadi dan selesai tuntas. Sosialisasi tidak pernah

total dan tidak pernah selesai.

Sebagaimana dikemukakan Berger bahwa dalam sosialisasi primer memang

sudah terjadi pluralisasi. Namun, menurut Berger (1992: 65–66), pluralisasi

tingkat tinggi baru terjadi pada sosialisasi sekunder. Sosialisasi sekunder baru

terjadi setelah pembentukan diri pada tahap awal. Proses sosialisasi sekunder,

diwujudkan sejak lembaga anak menempuh pendidikan formal--dari taman

kanak-kanak sampai bekerja. Berger dan Luckmann (1990: 198–199)

menegaskan bahwa sosialisasi sekunder adalah sosialisasi sejumlah

“subdunia” kelembagaan, atau yang berlandaskan lembaga. Lingkup

jangkauan dan sifat sosialisasi ini, ditentukan oleh kompleksitas pembagian

kerja dan distribusi pengetahuan dalam masyarakat yang menyertainya.

Sosialisasi sekunder adalah proses memperoleh pengetahuan khusus sesuai

27
dengan peranannya (role specific knowledge), dan peranan ditentukan

berdasarkan pembagian kerja.

2.1.3 Gaya Hidup –David Chaney.

Gaya hidup merupakan pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang

dengan orang lain (Chaney, 2011:40). Menurut Chaney, gaya hidup berbeda dengan

budaya. Gaya hidup tergantung pada bentuk-bentuk kultural, seperti gaya, tata krama,

cara menggunakan barang-barang, tempat dan waktu yang merupakan karakteristik

suatu kelompok, tetapi bukanlah keseluruhan pengalaman sosial mereka. sedangkan

budaya (Chaney, 2011: 41 dalam Kephart, 1982:93) adalah keseluruhan gaya hidup

suatu masyarakat, mulai dari kebiasaan, sikap, dan nilai-nilai, serta pemahaman yang

sama yang menyatukan mereka sebagai suatu masyarakat.

Gaya hidup dalam arus kultur kontemporer ini kemudian memunculkan dua hal

yang sama yang sekaligus berbeda, yaitu alternatif dan diferensiasi (Audifax dalam

Alfathri Adlin, 2006:92). Kedua hal ini bisa jadi esensinya sama tapi berbeda

manifestasi eksistensinya. Alternatif lebih bermakna sebagai upaya resistensi atau

perlawanan terhadap arus budaya mainstream, sedangkan diferensiasi justru adalah

upaya mengikuti arus budaya mainstream dengan membangun identitas diri yang

berbeda dengan yang lain.

Selain itu, Chaney juga terinspirasi oleh pemikiran sosiolog asal Inggris lainnya

yaitu Anthony Giddens. Chaney kemudian meminjam dan menggunakan konsep

refleksif dari karya Giddens yang berjudul Modernity and Self Identity (1991) untuk

menjelaskan mengenai gaya hidup. Menurut Chaney (2011:148), gaya hidup

28
merupakan konsep reflektif, dalam pengertian bahwa perlu keterbukaan yang tak

terbatas terhadap makna-makna gaya hidup dalam konteks apapun.

Dalam budaya kapitalisme global, pandangan dunia dan cara berpikir

masyarakat dikonstruksi sedemikian rupa, yang didalamnya komoditi dijadikan

sebagai cara untuk membangun perbedaan dan identitas diri di dalam hubungan sosial

yang lebih luas. Menurut Chaney (2011) ada tiga cara atau bagian untuk mengungkap

praktik gaya hidup dalam konstruksi sosial kapitalisme global yaitu pertukaran

simbolik, modal simbolik, dan proses simbolik.

a. Pertukaran Simbolik

Pertukaran simbolik yang digagas oleh Chaney merupakan suatu konsep

gagasan yang dilatarbelakangi oleh tiga konsep yaitu konsumsi, bahasa, dan

pertukaran jaringan. Pertukaran simbolik selayaknya bahasa dalam kajian

strukturalisme yang memiliki penanda dan petanda. Pertukaran simbolik selayaknya

konsumsi yang dicetuskan oleh Baudrillard bahwa konsumsi di masyarakat

kontemporer telah kehilangan esensial (nilai guna) menyisakan nilai citra (simbolik).

Keterkaitan gagasan pertukaran simbolik dari Chaney dengan gagasan

masyarakat konsumsi (consumer society) dari Baudrillard terletak pada gaya hidup

konsumsi sebagai sebuah objek yang struktural layaknya bahasa. Bagi Baudrillard

adalah bahwa objek menjadi tanda (sign) dan nilainya ditentukan oleh sebuah aturan

kode (Ritzer, 2010:137). Dalam artian luas, ketika manusia mengkonsumsi suatu

objek, maka kita mengonsumsi tanda (dengan syarat objek tadi telah menjadi tanda),

dan tanda ini kemudian kita gunakan untuk mendefinisikan diri kita (identity) dan

29
membedakan diri dari yang lain (The Other) berdasarkan objek yang dikonsumsi.

Inilah kode, kemudian yang mengontrol apa yang kita konsumsi dan apa yang tidak

kita konsumsi (Ritzer, 2010:138). Dalam masyarakat konsumsi seperti ini, segala

sesuatu ditentukan oleh relasi tanda,citra, dan kode.

b. Modal Simbolik.

Modal simbolik merupakan gagasan yang dikembangkan oleh Chaney yang

dilatarbelakangi oleh pemikiran Bourdieu. Karya Bourdieu sendiri yang secara rinci

membahas mengenai praktik budaya dalam hal gaya hidup dan selera konsumsi ada

pada Distinction. Kemunculan Distinction menjadi topik perdebatan hangat bagi

kalangan intelektual Paris pada saat itu. Riset empiris ini berkaitan dengan upayanya

mengkaji selera dan gaya hidup pelbagai kelas sosial dalam masyarakat Prancis.

Dalam pandangan Bourdieu (Haryatmoko, 2016: 48), selera tidaklah

berbentuk secara alamiah atau bakat alam. Selera lebih pada praktik yang membantu

memberikan pemahaman bagi seorang individu maupun orang lain mengenai posisi

mereka dalam ruang sosial. selera berkaitan erat dengan preferensi seseorang

terhadap objek budaya yang dipilihnya. Di balik pilihan itu tersimpan upaya

membedakan diri dari orang lain atau kelompok sosial. pembedaan diri yang tidak

semata-mata berbeda secara alami, melainkan merepresentasikan kelas sosial tertentu

dalam hierarki kekuasaan.

Dalam Distinction, Bourdieu memperlihatkan mekanisme dominasi dalam

praktik selera dan gaya hidup (Fashri, 2014:59). Dengan begitu, kita memiliki

gambaran bahwa representasi kelas sosial dalam hal selera dan gaya hidup tidaklah

30
selalu berada dalam posisi yang setara atau dalam tafsiran lain, praktik budaya kelas

yang didominasi lebih tertuju untuk meniru gaya hidup kelas dominan daripada

mendefinisikan praktik budaya mereka sendiri.. Selera pada akhirnya memproduksi

klasifikasi antara “kelas populer” atau “kelas dominan”, baik atau buruk.

Tujuan dari praktik selera adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Selera

kemudian menjadi tidak netral. Selera bergerak seolah-olah untuk pembebasan diri

dari nilai-nilai. Padahal selera tidak lepas dari prinsip-prinsip dasar konstruksi dan

evaluasi dunia sosial. dapat dikatakan bahwa selera beroperasi sebagai semacam

orientasi sosial, mengarahkan seseorang dalam posisi sosial tertentu sesuai dengan

kedudukannya. Orientasi ini membantu untuk mengantisipasi dalam memilih makna

dan nilai sosial.

c. Proses Simbolik.

Gagasan mengenai proses simbolik yang dicetuskan oleh Chaney ini

merupakan suatu konsep teori yang membahas mengenai dimensi-dimensi proses dan

dinamika dalam cara-cara penggunaan materi simbol praktik gaya hidup. Konsep

proses simbolik merupakan upaya Chaney dalam mengkaji dimensi proses dan cara

penggunaan materi simbol gaya hidup dengan menggunakan pemikiran dari Simmel

mengenai teorisasi modernitas dan pemikiran dari Giddens mengenai refleksi diri.

Dalam karyanya yang berjudul Modernity and Self-Identity Self and Society in

the Late Modern Age (1991), Giddens berpendapat Reflektifitas sebagai ciri

modernitas bermakna “praktik sosial yang terus menerus diuji dan diubah

berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis dan dengan demikian

31
mengubah ciri modernitas itu”. Dengan kata lain, dunia modern memiliki

kecenderungan untuk memahami seluruh aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh

pengalaman diri sendiri dan orang lain yang mempengaruhi sudut pandang dan

pemahaman terhadap dunia itu sendiri. Konsekuensinya, apa saja menjadi terbuka

untuk direfleksikan dan dipertanyakan, sehingga terjadi ketidakpastian dalam

kehidupan masyarakat modern.

2.2 KERANGKA PIKIR.

Untuk melihat gambaran skema penelitian yang akan dilakukan, silahkan perhatikan

gambar dibawah ini.

32
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

33
2.3 DEFINISI KONSEPTUAL.

Untuk memudahkan peneliti dalam menjalankan prosedur penelitian, maka

berikut akan dirumuskan beberapa definisi dari konsep-konsep yang digunakan dalam

penelitian ini. Berikut beberapa konsep-konsep tersebut:

a. Influencer

Menurut Hariyanti & Wirapraja, influencer adalah seseorang atau figur dalam

media sosial yang memiliki jumlah pengikut yang banyak atau signifikan, dan hal

yang mereka sampaikan dapat mempengaruhi perilaku dari pengikutnya (Hariyanti &

Wirapraja, 2018: 141).

b. Gaya Hidup

Definisi mengenai terminologi “gaya hidup”, secara komprehensif

dikemukakan oleh David Chaney dalam buku Lifestyles Sebuah Pengantar

Komprehensif (2011:92) yaitu

“cara-cara terpola dalam menginvestasikan aspek-aspek tertentu kehidupan


sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik; tapi ini juga berarti bahwa gaya
hidup adalah cara bermain dengan identitas”
Berangkat dari beberapa pandangan tokoh diatas, peneliti dapat

mendefinisikan gaya hidup adalah pola hidup kreatif seseorang yang dinyatakan

dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dan bertujuan untuk menunjukkan perbedaan

dengan yang lain.

34
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam sebuah penelitian ilmiah, hendaknya penelitian tersebut menggunakan

metodologi yang tersistematis dan memenuhi standar penelitian yang ilmiah. Maka,

selanjutnya penulis akan menjelaskan mengenai metodologi ilmiah yang akan

digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

3.1 Pendekatan Penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan

penelitian kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mengumpulkan dan

menganalisis data berupa kata-kata dan perbuatan manusia serta peneliti tidak

berusaha menghitung atau mengkuantifikasikan data kualitatif yang telah diperoleh

dan dengan demikian tidak menganalisis angka-angka (Afrizal, 2015:13).

Dalam menentukan strategi penelitiannya, peneliti menggunakan strategi

penelitian dari strategi metode kualitatif, yaitu strategi studi kasus. Menurut Creswell

(2010:23) strategi penelitian studi kasus adalah metode penelitian yang secara khusus

menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata,

yang dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum

jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data.

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian adalah tempat dimana proses studi yang digunakan untuk

memperoleh pemecahan masalah penelitian berlangsung. Penentuan lokasi penelitian

35
sangat penting karena berhubungan dengan data-data yang harus dicari sesuai dengan

fokus yang ditentukan, lokasi penelitian juga menentukan apakah data memenuhi

syarat baik volume maupun karakter data yang dibutuhkan dalam penelitian.

Penelitian ini dilakukan di kota Makassar, dikarenakan Kota Makassar memiliki

penduduk dengan karakteristik yang heterogen.

Waktu penelitian adalah waktu yang digunakan untuk memperoleh pemecahan

masalah penelitian. Penelitian ini akan dilaksanakan selama kurang lebih dua bulan,

yaitu bulan Juni 2021 sampai bulan Juli 2021.

.3.3 Tipe Penelitian.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif,

dimana penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran nyata, penjelasan

dengan dianalisis secara deskriptif, dan untuk menggali suatu tujuan yang masih baru.

Penelitian deskriptif diuraikan dengan kata-kata menurut pendapat responden, apa

adanya sesuai dengan pertanyaan penelitiannya, kemudian dianalisis pula dengan

kata-kata apa yang melatarbelakangi responden berperilaku (Usman dan Purnomo

Setiady Akbar: 2009:130).

3.4 Teknik Penentuan Informan.

Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 6 orang. Setelah informan

keenam data sudah jenuh, sehingga sampel sumber data sudah mencukupi, dan tidak

perlu menambah sampel yang baru. (Sugiyono, 2013: 221). Dalam menentukan

informan penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Menurut

Yusuf (2017:369) purposive sampling adalah mekanisme penentuan informan secara

36
sengaja. Sengaja yang dimaksud adalah sebelum melakukan penelitian, peneliti

menetapkan kriteria tertentu yang mesti dipenuhi oleh orang yang dijadikan sumber

informasi. Penggunaan teknik ini senantiasa berdasarkan pada pengetahuan tentang

ciri-ciri tertentu yang telah didapat dari populasi sebelumnya.

Menurut pendapat Spradley (dalam Moleong, 2004:165) informan harus memiliki

beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan yaitu:

1. Subjek yang telah lama dan intensif menyatu dengan suatu kegiatan atau

medan aktivitas yang menjadi sasaran atau perhatian penelitian dan ini

biasanya ditandai oleh kemampuan memberikan informasi di luar kepala

tentang sesuatu yang ditanyakan.

2. Subjek masih terikat secara penuh serta aktif pada lingkungan dan kegiatan

yang menjadi sasaran atau penelitian.

3. Subjek mempunyai cukup banyak waktu dan kesempatan untuk dimintai

informasi.

4. Subjek yang dalam memberikan informasi tidak cenderung diolah atau

dikemas terlebih dahulu dan mereka relatif masih lugu dalam memberikan

informasi.

Dalam hal ini peneliti mengambil informan berdasarkan pengamatan di

lapangan terhadap influencer di Kota Makassar. Informan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah influencer Kota Makassar yang memiliki karakteristik sebagai

berikut:

1. Berdomisili di Kota Makassar.

37
2. Memiliki follower minimal 1000 di sosial media.

3. Aktif dalam kegiatan sosial-ekonomi.

4. Aktif membagikan aktivitasnya di sosial media.

Setelah ditemukan informan yang menggunakan teknik purposive sampling.

Penggunaan teknik ini akan berhenti apabila data yang diperoleh telah jenuh dan

tidak berkembang lagi dan sama dengan data yang diperoleh sebelumnya.

Secara sederhana, dalam penelitian kualitatif dikenal dengan istilah data

jenuh. Data jenuh artinya kapan dan dimanapun ditanyakan pada informan

(triangulasi data), dan pada siapa pun pertanyaan sama diajukan, hasil jawaban yang

diberikan tetap konsisten sama. Pada saat itulah cukup bagi peneliti untuk

menghentikan proses pengumpulan data. (Yusuf, 2017 : 370).

Pada praktik saat penentuan informan, peneliti mencari akun-akun yang

memiliki followers minimal 1000 akun dan aktif mengkampanyekan isu-isu sosial

yang sedang terjadi di masyarakat. Setelah ditemukan beberapa akun-akun yang

memenuhi karakteristik informan, peneliti kemudian menghubungi akun-akun

tersebut untuk melakukan temu dalam rangka agenda wawancara. Hingga data

menjadi data jenuh ada total ada enam akun yang menjadi informan dalam penelitian

ini.

3.5 Teknik Pengumpulan Data.

Menggunakan metode penelitian kualitatif strategi studi kasus berarti melakukan

pengumpulan data dengan menggunakan teknik-teknik tertentu dan menganalisis data

38
yang telah dikumpulkan dengan cara tertentu. Pengumpulan data dengan teknik

kualitatif antara lain wawancara dan observasi. Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah dengan data primer dan data sekunder.

1) Teknik pengumpulan data primer.

Data primer adalah data yang belum tersedia dan diperoleh langsung dari

objek yang akan diteliti, adapun teknik yang akan dilakukan peneliti dalam

mengumpulkan data primer:

a) Wawancara mendalam (Indepth Interview).

Salah satu teknik pengumpulan data yang lazim dipergunakan oleh peneliti

dalam penelitian kualitatif untuk mengumpulkan data adalah wawancara mendalam.

Wawancara mendalam adalah suatu wawancara tanpa alternatif pilihan jawaban dan

dilakukan untuk mendalami informasi dari seorang informan (Afrizal, 2015:136).

Seorang peneliti tidak melakukan wawancara berdasarkan sejumlah

pertanyaan yang telah disusun dengan mendetail dengan alternatif jawaban yang telah

dibuat sebelum melakukan wawancara, melainkan berdasarkan pertanyaan yang

umum kemudian di detailkan dan dikembangkan ketika melakukan wawancara atau

setelah melakukan wawancara untuk melakukan wawancara berikutnya.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hasil wawancara

mendalam yang perlu dikontrol oleh peneliti. Para peneliti perlu melakukan

langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi gangguan faktor-faktor ini untuk

mendapatkan data yang valid. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.

39
a. Jenis kelamin pewawancara. Perbedaan jenis kelamin antara

pewawancara dengan orang yang diwawancarai dapat mempengaruhi

kualitas data, terutama untuk persoalan yang sensitif dari sudut

pandang para informan.

b. Perilaku pewawancara. Perilaku pewawancara ketika proses

wawancara mendalam berjalan dapat pula mempengaruhi kualitas

informasi yang diperoleh dari para informan.

c. Situasi wawancara. Situasi wawancara seperti apakah wawancara

dilakukan secara santai atau tegang, karena situasi wawancara yang

tepat akan menghasilkan data yang valid.

b) Observasi.

Peneliti untuk mengetahui sesuatu yang sedang terjadi atau yang sedang

dilakukan merasa perlu untuk melihat sendiri, mendengarkan sendiri atau merasakan

sendiri. Iskandar (2009:121) mengemukakan bahwa kegiatan observasi meliputi

melakukan pengamatan, pencatatan secara sistematik kejadian, perilaku, obyek-obyek

yang dilihat dan hal-hal lain yang sedang dilakukan. Pengamatan dimaksudkan untuk

menghimpun berbagai realitas yang berhubungan dengan aktifitas fans club baik

secara individual maupun secara kelompok di tengah-tengah masyarakat dimana

mereka tinggal. Dalam pengamatan ini, peneliti menggunakan catatan-catatan dan

kamera sebagai alat dokumentasi observasi.

Pengumpulan data dilakukan langsung oleh peneliti dengan pertimbangan; (1)

peneliti merupakan alat yang peka dan dapat bereaksi terhadap situasi dari lingkungan

40
yang diperkirakan bermakna bagi peneliti, dan (2) peneliti sebagai alat yang dapat

langsung menyesuaikan diri terhadap segala aspek yang diteliti dan dapat segera

menganalisis data yang diperoleh.

2) Teknik pengumpulan data sekunder.

a. Studi kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi melalui

literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel dan

makalah yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti serta analisis

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Studi dokumentasi yaitu dengan cara memperoleh data melalui pengkajian

dan penelaahan terhadap catatan penulis maupun dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti.

3.6 Teknik Analisis Data.

Teknik analisis data adalah cara yang digunakan untuk mengkategorikan data

untuk mendapatkan pola hubungan, tema dan menafsirkan apa yang bermakna dan

dimuat dalam laporan penelitian. Menurut Afrizal (2015:19) ada dua tahap analisis

data dalam penelitian kualitatif yaitu: pertama, pada tahap pengumpulan data dan

oleh sebab itu analisis data dilakukan di lapangan. Kedua, dilakukan ketika penulisan

laporan dilakukan.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data Miles dan Huberman. Secara

garis besar, Miles dan Huberman membagi analisis data dalam penelitian kualitatif ke

dalam tiga tahap, yaitu reduksi atau kodifikasi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan (Afrizal, 2015:178).

41
Menurut Miles dan Huberman, ketiga langkah tersebut dilakukan atau diulangi

terus setiap setelah melakukan pengumpulan data dengan teknik apapun (Afrizal,

2015: 180). Dengan demikian, ketiga tahap itu, harus dilakukan terus sampai

penelitian tersebut. kaitan antara analisis data dengan pengumpulan data disajikan

oleh Miles dan Huberman dalam diagram berikut.

42
Gambar 3.1

Sumber: Afrizal (2015:180).

Adapun alur analisis data yang digunakan, adalah sebagai berikut :

● Reduksi data.

Pada tahap ini dilakukan proses penyeleksian, pemfokusan, penyederhanaan

serta pengabstrakan data dari catatan lapangan. Proses ini berlangsung sepanjang

penelitian dilakukan dengan membuat singkatan, kategorisasi, memusatkan tema,

menentukan batas-batas permasalahan dan menulis memo. Proses reduksi ini

berlangsung terus sampai laporan akhir penelitian selesai. Reduksi data merupakan

bentuk analisis yang mempertegas, memperpendek, memfokuskan, dan membuang

hal yang tidak penting serta mengatur sedemikian rupa sehingga dapat ditarik

kesimpulan akhir yang akurat.

● Penyajian data.

Sajian data adalah suatu susunan informasi yang memungkinkan kesimpulan

penelitian dapat dilakukan. Dengan melihat sajian data, penulis dapat lebih

memahami berbagai hal yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu

43
pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pemahaman tersebut. Sajian data

yang baik dan jelas sistematikanya akan banyak membantu. Sajian data dapat berupa

deskripsi, matriks, gambar/skema, dan tabel. Kesemuanya itu dirancang guna merakit

informasi secara teratur supaya mudah dilihat dan dimengerti dalam bentuk yang

kompak.

● Penarikan kesimpulan.

Dari awal pengumpulan data, peneliti sudah harus memahami apa arti dari

berbagai hal yang ia temui dengan mulai melakukan pencatatan pola-pola,

pernyataan-pernyataan, konfigurasi-konfigurasi, alur sebab akibat dan berbagai

proposisi. Hal itu akan diverifikasi dengan temuan-temuan data selanjutnya dan

akhirnya sampai pada penarikan kesimpulan akhir. Ini adalah interpretasi peneliti atas

temuan dari suatu wawancara atau sebuah dokumen.

44
BAB IV

GAMBARAN UMUM PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Kota Makassar

4.1.1 Letak Geografis dan Topografi.

Kota Makassar merupakan ibu kota provinsi Sulawesi Selatan dan

mempunyai posisi strategis karena berada di persimpangan jalur lalu lintas dari

arah selatan dan utara dalam provinsi di Sulawesi, dari wilayah kawasan barat ke

wilayah kawasan timur Indonesia dan dari wilayah utara ke wilayah selatan

Indonesia. Kota Makassar merupakan daerah pantai datar dengan kemiringan 0-5

derajat ke arah barat, diapit dua muara sungai yakni sungai Tallo yang bermuara

di bagian utara kota dan sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas

wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77 KM² dataran

dan termasuk 11 pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang

lebih 100 KM². Secara geografis Kota Metropolitan Makassar terletak di pesisir

pantai barat Sulawesi Selatan pada koordinat 119° 24’17’38” Bujur Timur dan

koordinat 5°8’6’19 Lintang Selatan, dimana Kota Makassar terdiri atas 14

wilayah kecamatan, dengan 143 kelurahan. Sedangkan batas - batas wilayah

administratif dari letak Kota Makassar, antara lain :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros.

45
Tabel 4.1 Luas Wilayah menurut Kecamatan di Kota Makassar.

No Kecamatan Luas (km2) Persentase

1 Mariso 1,82 1,04

2 Mamajang. 2,25 1,28

3 Tamalate 20,21 11,50

4 Rappocini 9,23 5,25

5 Makassar 2,52 1,43

6 Ujung Pandang 2,63 1,50

7 Wajo 1,99 1,13

8 Bontoala 2,10 1,19

9 Ujung Tanah 5,94 3,38

10 Tallo 5,83 3,32

11 Panakkukang 17,05 9,70

12 Manggala 24,14 13,73

13 Biringkanaya 48,22 27,43

14 Tamalanrea 31,84 18,11

Kota Makassar 175,77 100,00

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar Tahun 2021 (Kota Makassar
Dalam Angka 2020).
Dari gambaran selintas mengenai lokasi dan kondisi geografis Kota

Makassar, memberi penjelasan bahwa secara geografis, Kota Makassar memang

sangat strategis dilihat dari sisi kepentingan ekonomi dan memiliki warna budaya

tersendiri. Dari sisi ekonomi, Kota Makassar menjadi simpul jasa distribusi yang

tentunya akan lebih efisien dibandingkan daerah lain. Perkembangan ekonomi di

46
Kota Makassar sedikit banyak telah merubah wajah kebudayaan dan interaksi

sosial masyarakat Kota Makassar. Dengan demikian, dilihat dari sisi letak dan

kondisi geografis-Makassar memiliki keunggulan komparatif dibanding wilayah

lain di kawasan timur Indonesia.

4.2 Keadaan Demografi Kota Makassar.

Penduduk Kota Makassar berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2020

sebanyak 1.423.877 jiwa. Kepadatan penduduk di Kota Makassar tahun 2020

mencapai 228.231 jiwa/km2. Kepadatan penduduk di 14 kecamatan cukup

beragam dengan kepadatan penduduk tertinggi terletak di Kecamatan Makassar

dengan kepadatan sebesar 32.566 jiwa/km2 dan terendah di Kecamatan

Tamalanrea sebesar 3.240 jiwa/km2.

Gambar.4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Di Kota Makassar 2020

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar Tahun 2021

47
4.3 Keadaan Ekonomi Kota Makassar.

Penduduk Kota Makassar memiliki tingkat pengeluaran dalam sebulan

terbesar pada range 1.500.000 dimana pada tahun 2019 pada kisaran 42,11% dan

pada tahun 2020 pada kisaran 43,95%. Gaji atau Upah Minimum Kota/Kabupaten

(UMK) Kota Makassar pada tahun 2020 berada pada angka Rp.3.294.467

sehingga dapat dikatakan sekitar 30-60% pendapatan penduduk Kota Makassar

digunakan untuk pengeluaran bulanan.

Gambar. 4.3. Persentase Penduduk menurut Golongan Pengeluaran Per


Kapita Sebulan di Kota Makassar, 2019 dan 2020

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Makassar Tahun 2021


4.4 Potensi Nilai Budaya.
Nilai budaya adalah ukuran yang dijadikan penuntun yang sah dalam

berbuat, menerima atau tidak menerima perbuatan orang lain. Nilai budaya

tersebut antara lain:

48
● A’bulo sibatabang a’bannang kebo A’cera sitongka-tongka (musyawarah

mufakat untuk menyatukan pendapat yang terbaik dan tidak bisa diingkari)

● Passamaturuka (sejalan antara perkataan dan perkaatan).

● Siri’ Na Pacce (kemauan keras, rasa tanggung jawab, percaya diri dan

menghormati).

● Sipakatau, Sipakalebbi (saling menghargai dan saling menghormati).

● Resopatemmangingi Namalomo naletei pammase ridewata sewai (dengan

kerja keras memudahkan untuk mendapatkan ridho Tuhan Yang Maha

Esa) .

● Unnallimelo (kerukunan, kedamaian, rela berkorban demi kebaikan

bersama).

● Mesa’ kada dipotuo pantang kada dipomate (tekad kebersamaan kerja

keras/gotong royong).

● Dipammeang pai dalle diteteanni pai andiang dalle na pole mettuala (kita

harus kerja keras untuk mendapatkan rezeki, tanpa kera keras tidak akan

ada rezeki).

● Takkalai disombalang dota leleruppu dadi nalele tuali dilolongan “sekali

layar terkembang pantang biduk surut kepantai (nilai kejuangan).

Makassar harus memiliki karakter yang tumbuh dari nilai budaya atau

kearifan lokal, nilai atau etika masyarakat Makassar yg mengagumkan sebaiknya

menjadi spirit dalam pengelolaan birokrasi Pemerintahan.

49
4.5 POTENSI BAHARI

Kota Makassar memiliki pantai yang cukup luas sehingga pengalokasian

kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Pulau-pulau kecil yang memiliki hamparan

terumbu karang dan lamun, panorama pantai dan laut yang indah, serta kaya akan

keragaman potensi sumberdaya dan didukung oleh kegiatan pemanfaatan jasa-jasa

Pariwisata seperti Pulau Kayangan, Pulau Samalona, Pulau Kodingareng Keke,

dan Pulau Lanyukang, dengan luas keseluruhan 178,5 hektare atau 1,1 persen dari

luas kawasan daratan. Selain itu, Kota Makassar telah mengembangkan kawasan

pesisir dan laut Kota Makassar secara langsung dan tidak langsung seperti wisata

Pantai Losari, Pantai Akkarena, Pantai Tanjung Bunga, dengan kegiatan wisata

seperti berperahu, berenang, sky air, wisata memancing, wisata “theme park dan

outbound” yang dikembangkan adalah di Trans Studio dan Pantai Akkarena,

Wisata sejarah dan budaya yaitu Benteng Rotterdam, Benteng Somba Opu, Taman

Miniatur Sulawesi Selatan, dan Pelabuhan Rakyat Paotere.

50
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjelaskan dan menggambarkan

fenomena influencer di masyarakat Kota Makassar. Penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif deskriptif (Descriptive Research), yakni sebuah penelitian

yang memberikan gambaran lebih mendalam tentang gejala-gejala sosial tertentu

atau aspek kehidupan tertentu pada masyarakat yang diteliti dalam konteks ini

gaya hidup influencer.

Dalam Bab ini, peneliti akan menguraikan hasil penelitian peneliti sebagai

upaya menjawab rumusan masalah yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

Selain itu, peneliti juga akan membahas mengenai karakteristik informan yang

dipilih secara Snowball Sampling dan Purposive Sampling.

5.1 Karakteristik Informan.

A. ACBG

ACBG adalah informan berjenis kelamin perempuan yang berusia 23

tahun. ACBG merupakan alumni mahasiswa Departemen Hubungan

Internasional FISIP Universitas Hasanuddin. Saat ini ACBG bekerja

sebagai customer engagement atau yang lebih dikenal dengan nama

marketing partnership di Gojek Indonesia. ACBG merupakan anak kedua

dari tiga bersaudara. Adapun keseharian dari ACBG selain bekerja di

Gojek Indonesia, juga aktif menulis di medium.com dan menjadi

pembicara dalam diskusi-diskusi kepemudaan dan kemahasiswaan. Selain

aktivitas tersebut, ACBG juga aktif mengemukakan ide-ide pemikirannya

51
yang berkaitan dengan isu-isu pendidikan dalam sosial media

instagramnya dan kerap kali menerima endorse iklan produk-produk

makanan.

B. MZIN

MZIN adalah informan berjenis kelamin laki-laki yang berusia 28 tahun.

MZIN merupakan alumni mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan Universitas Hasanuddin. MIN sendiri merupakan pemeran Anca

dalam film Uang Panai. Saat ini MZIN bekerja sebagai direktur utama Nur

Ala Nur Tours & Travel. MZIN merupakan anak kedua dari tiga

bersaudara. Adapun aktivitas MZIN selain bekerja adalah menciptakan

video-video pendek yang kemudian di upload di sosial media Instagram

dan Youtube. MIZN juga setiap minggunya melakukan diskusi live di

Instagram yang membahas tema-tema agama Islam.

C. NS

NS adalah informan berjenis kelamin perempuan yang berusia 23 tahun.

NS merupakan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Hasanuddin angkatan 2016. Selain sebagai mahasiswi, aktivitas

sehari-hari dari NS adalah aktif dalam organisasi kemahasiswaan tingkat

BEM FKM dan juga dalam komunitas pemuda yang bergerak dalam

isu-isu kekerasan seksual. NS juga aktif dalam bersosialisasi di sosial

media dalam bentuk konten instagram. NS merupakan anak pertama dari 3

bersaudara. Adapun tema konten yang disajikan NS dalam sosial

medianya berfokus pada isu keperempuanan dan kekerasan seksual. NS

52
juga sering menerima tawaran endorse produk makanan dan perawatan

tubuh.

D. RD

RD adalah informan berjenis kelamin laki-laki yang berusia 33 tahun. RD

merupakan alumni mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Hasanuddin. S1 dan S2nya ditempuh di Universitas Hasanuddin.

Pekerjaan RD saat ini adalah CEO dari BedaBaik, startup yang bergerak

pada pelatihan soft skill seperti public speaking. Aktivitas sehari-hari RD

selain pekerjaan tersebut juga diisi dengan menjadi content creator &

public speaker. Konten-konten yang disajikan oleh RD mengambil segmen

milenial dan entrepreneurship. Konten-konten ini kemudian ditampilkan di

media sosial Instagram, TikTok, dan Youtube. RD juga aktif dalam

kegiatan-kegiatan komunitas kepemudaan di Kota Makassar, seperti

komunitas Milenial Fest.

E. KWMA

KWMA adalah informan berjenis kelamin perempuan yang berusia 22

tahun. KWMA merupakan alumni mahasiswi Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar angkatan 2016.

KWMA saat ini sedang fokus mendapatkan beasiswa LPDP untuk

melanjutkan kuliahnya ke jenjang S2, sehingga aktivitas sehari-harinya

adalah mengikuti kursus bahasa Inggris. Selain itu, KWMA juga rutin

dalam membuat konten-konten di sosial media instagramnya dan juga

seringkali menerima permintaan endorse produk usaha dari pemilik usaha.

53
Konten-konten yang ditampikan oleh KWMA mengambil segmen milenial

dan perempuan.

F. DA

DA adalah informan berjenis kelamin perempuan yang berusia 22 tahun.

DA merupakan alumni mahasiswi Fakultas Kehutanan Universitas

Hasanuddin angkatan 2016. DA saat ini sehari-harinya berprofesi sebagai

Ibu Rumah Tangga. DA rutin membuat konten mengenai review alat-alat

kosmetik yang sedang viral dan mengenai makanan-makanan viral di

Makassar. Konten-konten tersebut kemudian diposting di dua sosial media

yaitu Instagram dan Tiktok

Tabel 5.1 Karakteristik Informan

No. Nama Jenis Umur Pekerjaan Nama Jumlah Segmen Tema Isu
Kelamin Sosial Follower Usia Konten
Media Follower

1 ACBG P 23 customer @chant 5.539 18-30 Pendidikan


engagement ikabatar tahun &
Gojek i Perempuan
Indonesia

2 MZIN L 28 Direktur @ikram 81.000 20-35 life-style &


noer tahun entrepreneu
Utama Nur rship

Ala Nur

Tours &

Travel

3 NS P 23 Mahasiswa @sasa.s 51.000 18-30 perempuan


aydza tahun &
kekerasan
seksual

54
4 RD L 33 CEO @rijals 75.000 20-35 milenial &
ystem tahun entrepreneu
BedaBaik rship

5 KWM P 22 Belum Ada @winia 6.815 18-30 milenial &


A kbar tahun perempuan

6 DA P 22 Belum Ada @deya 11.100 18-30 makanan &


maliah tahun kecantikan
Sumber: Data diolah

5.2. Hasil Penelitian.

5.2.1 Makna Influencer.

Tidak dapat dipungkiri pemaknaan akan satu konsep kata akan mengalami

perluasan atau penyempitan makna yang kemudian mengakibatkan berbagai

definisi muncul. Tidak terkecuali mengenai konsep influencer dan maknanya. Di

kalangan influencer Kota Makassar sendiri, konsep influencer ini kemudian

berkembang dan melahirkan banyak pengertian. Walaupun kemudian definisi

tersebut tidak melenceng dari pengertian awalnya.

Merujuk dari asal kata influencer yaitu influence yang berartikan pengaruh

atau wibawa. Yang kemudian dapat diartikan bahwa influencer merupakan orang

yang mempengaruhi orang lain. Tetapi seperti yang disebutkan diatas bahwa

konsep influencer ini kemudian mengalami perkembangan dan perluasan

maknanya. Perluasan makna ini kemudian dapat dilihat dari definisi influencer

yang diutarakan oleh para informan dalam penelitian ini.

Informan ACBG mendefinisikan influencer sebagai berikut.

“ influencer seringkali diartikan sama dengan content creator padahal dua


hal ini berbeda. Jadi menurut saya influencer ini adalah orang-orang yang
mendedikasikan dirinya dan kemudian menampilkan dirinya di internet

55
tapi mereka bukan artis yang sering muncul di tv tapi kemudian aktif
menampilkan dirinya di sosial medianya.”
(Wawancara Juni 2021)
Definisi yang disampaikan oleh informan ACBG mengenai influencer

berangkat pada titik bahwa influencer merupakan orang yang menampilkan

dirinya di sosial media dengan konten-konten yang disajikan, dan diharapkan dari

konten tersebut penggemar (follower, penonton, fans) nya kemudian terpengaruhi

untuk mengikuti apa yang disampaikan. Tetapi bagi ACBG sendiri, masyarakat di

Kota Makassar kemudian memberikan pelabelan influencer bukan karena

gagasannya tetapi karena tampilan tampan/cantiknya. Hal ini diutarakan informan

ACBG sebagai berikut.

“orang di makassar itu tidak peduli ji kau sepintar apa, kau seaktivis apa.
dia cuman peduli pada how the are you look.”
(Wawancara 30 Juni 2021)
Definisi berbeda dilontarkan oleh informan MZIN dan NS

“influencer itu bagi saya adalah orang yang bisa mempengaruhi orang lain,
entah itu dari gaya berpikir atau gaya hidup.”
(Wawancara 5 Juli 2021)
“influencer menurutku adalah orang-orang yang bisa pengaruhi orang lain
melalui idenya, gagasannya, atau attitude-nya. Influencer ini juga bisa
semua orang, tanpa melihat dia terkenal atau tidak, tidak melihat kerjanya
dimana, juga tidak melihat dia anaknya siapa”
(Wawancara 7 Juli 2021)
Pernyataan informan MZIN dan NS mengenai influencer menempatkan

influencer sebagai subjek yang dapat diisi oleh semua orang, tidak harus terkenal

atau menjadi selebritis, bahkan tidak harus dengan menampilkan dirinya di sosial

media. Bagi MZIN dan NS, syarat menjadi influencer cukup dengan memberi

pengaruh ke orang lain dan kemudian orang lain tersebut terpengaruh.

Sedangkan menurut informan RD.

“influencer itu kalau diartikan artinya orang yang mempengaruhi. tapi


dapat juga diartikan sebagai seni dalam mempengaruhi… tetapi sekarang

56
ini ada perubahan dalam melihat influencer. Influencer sekarang lebih ke
industri, dimana pasti nanti ujung-ujungnya untuk uang.”
(Wawancara 10 Juli 2021)
Selaras dengan pernyataan informan RD, informan KWMA

mendefinisikan influencer sebagai.

“influencer ini kak kalau di Makassar harus diperjelas pengertiannya


sebenarnya kak karena seringkali tertukar ini antara influencer, selebgram,
sama content creator. Kalau influencer kan ini orang-orang yang bisa
siapapun, dari golongan manapun yang mempengaruhi orang lain,
sedangkan kalo selebgram ini adalah orang-orang yang terkenal di sosial
media seperti instagram yang biasanya karena sudah bikin sensasi atau
bikin viral. Kalau content creator ini orang yang kerjanya bikin-bikin
konten yang kebanyakan kalau di Makassar diisi sama orang-orang yang
lucu atau humoris dan isi kontennya juga biasanya pesanan dari
perusahaan atau tempat usaha. Tapi kalau sekarang ini disamaratakan saja
penyebutannya menjadi influencer yang selalu first oriented nya itu uang
kak.”
(Wawancara 25 Juli 2021)

Definisi influencer menurut informan RD dan informan KWMA

menggambarkan adanya perubahan makna dari influencer di Kota Makassar.

Influencer kemudian dimaknai sebagai suatu sarana atau pekerjaan untuk

mendapatkan uang. Bagi RD dan KWMA, influencer di Kota Makassar telah

menjadi industri jasa tersendiri yang dari pekerjaan ini kemudian mendapatkan fee

baik itu berupa uang atau hadiah barang.

Terdapatnya perbedaan dalam mendefinisikan influencer merupakan

konsekuensi logis dari adanya perbedaan pengalaman dunia tiap informan.

Perbedaan pengalaman dunia ini terbentuk karena adanya perbedaan dua hal yaitu

demografi dan geografi. Tetapi dalam konteks penelitian ini, dimana demografi

dan geografi informan sama maka perbedaan pengalaman dunia justru terjadi

karena lingkungan sosialisasi dan basis ekonomi yang berbeda. Lingkungan

sosialisasi yang dimaksud adalah lingkungan menjalin interaksi atau bergaul

57
dengan orang lain. Lingkungan sosialisasi kemudian mengambil peranan penting

dalam pembentukan pengalaman dunia karena adanya penerimaan pemahaman

dari orang lain (The Other) ke-diri. Hal ini dapat diamati dari informan ABCG

yang memiliki lingkungan sosialisasi berbeda dengan NS. ABCG yang

sehari-harinya bekerja di Perusahaan skala Nasional maka lingkup pergaulannya

pasti orang-orang profesional yang memiliki orientasi ekonomi, sedangkan NS

yang sehari-harinya ruang sosialisasinya berada pada komunitas kepemudaan dan

organisasi kemahasiswaan yang notabenenya memiliki orientasi pandangan dunia

hal-hal yang ideal (idealisme).

Fakta-fakta yang ditemukan di lapangan dan juga data sekunder tersebut

kemudian mengarahkan peneliti pada tiga makna akan influencer, yaitu: Pertama,

influencer dimaknai sebagai orang-orang yang mempengaruhi orang lain melalui

ide dan gagasannya. Kedua, influencer dimaknai sebagai suatu pekerjaan yang

bergerak pada industri jasa yang memiliki orientasi uang. Ketiga, influencer

dimaknai sebagai jalan untuk menjadi terkenal di masyarakat dan memperluas

jaringan relasi sosial.

5.2.2 Proses Influencer Mengkonstruksi Gaya Hidup Di Masyarakat Kota


Makassar.
Ada sebuah istilah dalam chaos theory yang disebut butterfly effect. Butterfly

effect adalah peristilahan yang merujuk pada aksi kecil dapat memulai rangkaian

peristiwa yang menyebabkan efek lebih besar dan tidak terduga. Kemunculan

influencer saat ini merupakan suatu aksi kecil yang kemudian menyebabkan

memunculkan efek lebih besar berupa timbulnya fenomena baru dalam gaya

58
hidup masyarakat. Influencer dengan segala aktivitasnya tidak dapat dipungkiri

kemudian telah mengkonstruksi setiap pilihan-pilihan hidup para pengikutnya.

Proses-proses konstruksi gaya hidup influencer kemudian berlangsung

dalam dua arena yaitu arena virtual dan arena faktual. Yang dimaksud dengan

arena virtual adalah dunia maya (cyberspace) seperti sosial media Instagram,

Tiktok, dan Youtube. Sedangkan arena faktual adalah dunia nyata yang dapat

disentuh secara fisik. Diantara dua arena terjadinya proses konstruksi gaya hidup

ini, influencer kemudian lebih aktif dalam melakukan konstruksinya di arena

virtual. Arena faktual kemudian dijadikan sebagai pilihan kedua tempat

mengadakan proses konstruksi gaya hidup dari influencer. Hal ini sebagaimana

yang dikatakan oleh informan KWMA, MZIN, dan ACBG.

“saya lebih suka posting sosial media seperti instagram dan Tiktok ini
karena dua sosial media ini yang bisa cepat buat ngangkat yang saya
posting”
(Wawancara 25 Juli 2021)
“sebenarnya setiap sosial media ini kan punya karakteristik dan segmen
pengguna sendiri. Kalau saya sendiri kalau posting konten atau info-info
penting pasti saya pakai instagram. Walaupun saya punya facebook, tetapi
karena follower saya lebih banyak pake instagram dan Youtube pasti saya
postingnya di Instagram dan Youtube.”
(Wawancara 5 Juli 2021)
“saya lebih pilih posting di media sosial karena didalam media sosial
seperti instagram atau Tiktok saya dapat komunikasi langsung dengan
orang lain yang jaraknya jauh dari saya.
(Wawancara 30 Juni 2021)
Pemilihan arena virtual dalam hal ini sosial media Instagram, Tiktok, dan

Youtube dilandasi alasan lanskap atau daya jangkau untuk menyampaikan isu atau

memperlihatkan aktivitas keseharian sangat luas. Hal ini sebagaimana yang

disampaikan oleh informan RD dan DA.

“instagram ini semakin inovatif tapi lebih meniru Tiktok, apalagi dengan
ada fitur tambahannya yang Reels jadi follower saya nanti bisa lihat

59
postingan story saya yang sudah lama. Hal itu juga bisa bikin saya lebih
banyak mendapatkan follower.”
(Wawancara 10 Juli 2021)
“Instagram tidak memandang usia, dai anak-anak, remaja, hingga orang
tua semua main. jadi peluang untuk didemgar lebih besar kalau pakai
instagram.
(Wawancara 28 Juli 2021)
Besarnya cakupan daya jangkau orang yang melihat postingan di sosial

media ini yang membuat influencer-influencer di Kota Makassar lebih memilih

arena virtual dibandingkan memilih arena faktual sebagai arena penyampaian isu

atau informasi akan gaya hidup yang ditampilkan. Arena faktual menjadi pilihan

kedua, selain karena kecilnya area cakupannya juga karena arena faktual adalah

arena yang membutuhkan usaha lebih untuk menciptakannya. Usaha lebih yang

dimaksud contohnya mengadakan temu jumpa influencer dengan followernya,

yang dalam kegiatan temu jumpa itu mengeluarkan uang lebih untuk mengadakan

acara. Sehingga terkadang untuk arena faktual sendiri, para influencer kemudian

memilih untuk menerima undangan ataupun panggilan dari followernya. Bagi

influencer, dengan menerima undangan, influencernya tidak perlu lagi repot-repot

mengeluarkan uang dan energi untuk mengadakan acara karena semuanya telah

disediakan oleh followernya selaku penyelenggara kegiatan. Hal ini sebagaimana

yang dikatakan oleh informan RD dan MZIN.

“kalau untuk ketemu secara langsung, jarang sih. palingan itu kalau buat
sesi “Buka Praktek”. Nah di sesi itu saya pasti umumkan ke followerku di
story instagram buat ketemu ngopi-ngopi di warkop pas pagi.
Sembarangji’ yang didiskusikan kalau ketemu. Dari sharing mengenai
usaha sampai ada juga yang pernah curhat mengenai kehidupan
asmaranya”
(Wawancara 10 Juli 2021)
“tidak pernah ka saya pribadi buat kalau yang temu fans begitu kak.
Karena ribet pasti, belum lagi pasti harus keluar uang juga buat adakan
yang begitu. Tapi kalau ada yang undangkan buat review makanan atau

60
produk jualan di tempatnya, pasti saya infokan juga jadi kalau mau ketemu
langsung sekalian disitu mi saja”.
(Wawancara 5 Juli 2021)
Adapun cara influencer di Kota Makassar dalam melakukan proses

konstruksi gaya hidup adalah dengan rutin membuat konten-konten di sosial

media, dan postingan story dan feed instagram yang berisikan mengenai aktivitas

sehari-hari mereka. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh informan RD dan

NS.

“Salah satu strategi saya dalam ngebuat orang trust sama apa yang saya
sampaikan adalah saya selalu posting permasalahan masyarakat yang lagi
viral heheh. Nah dalam postingan itu saya bikin team memang yang urus
mengenai kalender postingan. Jadi team yang rencanakan untuk apa yang
akan diposting dan berapa jumlah postingan tiap hari”
(Wawancara 10 Juli 2021)
“kalau untuk sampai dijadwalkan buat feed instagram, tidak juga, tapi
kalau untuk story instagram pasti saya usahakan buat setiap hari. Jadi
hitung-hitung untuk menyapa orang-orang yang sudah follow.”
(Wawancara 18 Juli 2021)

Selain pembuatan konten dan postingan aktivitas sehari-hari, influencer

juga menggunakan cara kuis berhadiah (giveaway), sesi tanya jawab (Question &

Answer), dan live bersama followernya. Hal itu dilakukan untuk membentuk rasa

kedekatan dan keakraban sehingga followernya beranggapan bahwa antara

influencer dan dia adalah satu kesatuan utuh. Ini disampaikan oleh informan

KWMA dan RD.

“terkadang juga saya bikin giveaway tapi kalau ada sponsornya hahaha.
Sponsornya nanti yang tanggung hadiahnya. Jadi saya sisa bikin kontennya
apa, posting, dan tag yang sponsor juga… Karena biasa lebih tinggi
impressionnya, kalau ada dikasikan hadiah atau bikin ka Q&A”
(Wawancara 25 Juli 2021)
“Team sering buat semacam Q&A mengenai yang lagi viral. Saya lakukan
itu untuk mau lihat sudut pandangnya followerku mengenai masalah yang
viral ini. Terkadang juga saya posting giveaway begitu tapi hadiahnya
yang berkaitan dengan branding diriku… iya tidak boleh semua lepas tadi
semua postingan ta dari bagaimana kita ingin dilihat sama follower ta”

61
(Wawancara 10 Juli 2021)
Informan RD dalam pernyataan diatas memberikan gambaran bahwa

apapun dan bagaimanapun metode yang digunakan untuk meng-influence orang

lain agar mengikuti apa yang disampaikan, tidak boleh lepas dari personal

branding yang dibangun seorang influencer. Hal ini selaras dengan pernyataan

dari informan ACBG mengenai influencer dan citra yang ingin ditampilkan.

“Untuk menjadi influencer itu harus konsisten untuk memposting konten


di sosial media. Agar tidak merasa terbebani untuk tetap konsisten, maka
sebaiknya posting saja mengenai kesukaan atau keseharian kita. Karena
kesukaan dan keseharian kita nanti yang akan menjadi citra kita di mata
follower ta, dan itu pasti tidak palsu.
(Wawancara 30 Juni 2021)
Dari fakta-fakta tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa influencer dalam

proses konstruksi gaya hidupnya ke masyarakat berfokus pada konstruksi yang

terjadi di dunia maya dengan rutin memposting aktivitas kesehariannya,

mengadakan question & answer, live bareng dengan followernya. Sedangkan

dalam dunia nyata, influencer kemudian mengadakan temu jumpa dengan

followernya.

5.3 Pembahasan.

5.3.1 Influencer dan Pemaknaannya.

Kemunculan influencer di Kota Makassar dapat dikatakan masih relatif baru.

Fenomena ini erat kaitannya dengan kehadiran produk revolusi teknologi

informasi dalam hal ini sosial media seperti instagram, Tiktok, Youtube, Facebook

yang semakin masif penggunaannya kemudian mengubah persepsi manusia

mengenai fakta, realita, fenomena dan kebenaran. Salah satu dampak dari revolusi

teknologi informasi adalah kebenaran dan persepsi kemudian tidak lagi menjadi

milik satu pihak. Semua kemudian memiliki hak untuk mengutarakan pendapat

62
mengenai suatu objek. Semua kemudian dapat menafsirkan dan menyampaikan

suatu fenomena, terlepas dari persoalan sang penafsir memiliki legitimasi atau

tidak untuk menafsirkan suatu objek.

Pembahasan mengenai pemaknaan influencer dalam perspektif teori

konsumerisme Baudrillard yang memusatkan perhatiannya pada tiga konsep yaitu

gaya, budaya, dan mode fashion. Di tahap ini peneliti kemudian

mengelaborasikan konsep yang dicetuskan oleh Baudrillard untuk mengetahui

pemaknaan influencer itu sendiri.

Seperti yang telah dijelaskan dalam hasil penelitian bahwa ditemukan tiga

makna akan influencer, yaitu: Pertama, influencer dimaknai sebagai orang-orang

yang mempengaruhi orang lain melalui ide dan gagasannya. Kedua, influencer

dimaknai sebagai suatu pekerjaan yang bergerak pada industri jasa yang memiliki

orientasi uang. Ketiga, influencer dimaknai sebagai jalan untuk menjadi terkenal

di masyarakat dan memperluas jaringan relasi sosial.

Ketiga pemaknaan tersebut pertama-tama berada pada makna dimensi

gaya atau pemosisian sosial dalam upaya konstruksi identitas yang dilakukan oleh

influencer. Influencer membentuk citra-citra yang berbeda dengan influencer yang

lain (unifikasi) yang bertujuan agar tidak ada benturan atau turbulensi wacana atau

isu yang dibawakan setiap influencer. Gaya yang dipraktikan oleh influencer

tercermin dalam konsumsi fashion yang menjadi penanda sekaligus pastiche itu

sendiri. Disini terjadi peralihan proses pemaknaan dimensi gaya ke dimensi mode

fashion.

63
Konsumsi fashion ini sendiri mewujud pada saat influencer membeli

sesuatu barang atau produk untuk kebutuhan penyampaian isu-isu yang akan

dibawakan. Influencer membeli barang atau objek yang terkadang tidak memiliki

keterhubungan dengan isu yang akan dibawakan. Hal ini dilakukan semata-mata

untuk memperkuat image atau personal brand yang berusaha dibangun.

Konsumsi fashion yang kemudian menjadi pastiche ini kemudian yang

menjadi gambaran konsumerisme yang sedang dipraktikan oleh influencer.

Fashion yang dikonsumsikan dalam konsumerisme tidak lagi menjadi suatu

pelengkap tubuh tetapi menjadi suatu penanda akan status sosial yang sebenarnya

tersembunyi tetapi dapat muncul pada permukaan kesadaran dan realita.

Influencer dengan mode fashion yang ditampilkan kemudian

mempengaruhi alam kesadaran dan mengkonstruksi ritus keseharian masyarakat.

Dampak dari kondisi tersebut adalah terciptanya pola pikir dan

kebiasaan-kebiasaan baru yang menjadi cikal bakal terbentuknya budaya baru.

Pada tahap ini level pemaknaan kemudian bergeser dari dimensi mode ke dimensi

budaya.

Budaya baru yang muncul dapat dilihat dari adanya aktivitas peniruan

mode fashion yang dilakukan oleh penggemar. Di tahap ini mode fashion tersebut

kemudian telah melahirkan budaya massa yang kemudian diikuti oleh berbagai

macam orang yang menjadi penggemar dari influencer tersebut.

Dari penjelasan ini, influencer memiliki makna sosial yang berlapis-lapis.

Influencer dapat dimaknai sebagai suatu gaya ketika influencer hanya sampai

pada praktik mengkonstruksi identitas atau citra dirinya agar wacana yang dia

64
sampaikan tidak sama dengan influencer lain. Sedangkan influencer dimaknai

sebagai mode fashion ketika influencer membeli sesuatu barang atau produk

untuk kebutuhan penyampaian isu-isu yang akan dibawakan. Hal ini dilakukan

semata-mata untuk memperkuat image atau personal brand yang berusaha

dibangun. Dan terakhir, influencer dimaknai sebagai budaya ketika praktik

influencer telah melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang kemudian diikuti

secara massal atau mengalami peniruan-peniruan ritus sosial.

5.3.2 Konstruksi Gaya Hidup Influence di Kota Makassar.

Dalam konstruksi sosial, individu manusia dipandang sebagai entitas yang

terlepas dari pembentukan realitas sosial. Realitas sosial tidak bergantung pada

kehendak individu manusia untuk dapat meng-ADA. Satu-satunya yang menjadi

keterkaitan antara manusia dengan realitas sosial adalah pengakuan manusia akan

keberadaan realitas sosial itu sendiri. Pengakuan itu lahir dari pemahaman,

pengetahuan, dan kenyataan pada proses dialektika antara eksternalisasi,

objektivasi, dan internalisasi.

Begitu pula dengan konstruksi sosial yang dibangun oleh influencer

hingga menciptakan fenomena gaya hidupnya. Influencer dengan gaya hidupnya

menjadi suatu realitas sosial ketika ada pemahaman dan pengetahuan yang

kemudian menjadi suatu kenyataan. Untuk menemukan pola konstruksi sosial

gaya hidup yang dipraktikan oleh influencer. Pertama-tama, penulis akan

membahas mengenai realitas sosial. Penulis menemukan adanya suatu perubahan

atau transformasi dari realitas sosial. Realitas sosial yang dalam terminologi

Berger dan Luckmann dibedakan antara “kenyataan” dan “pengetahuan”. Berger

65
dan Luckmann mendefinisikan kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat

dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri

sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan

adalah kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki

karakteristik yang spesifik. Bagi Berger dan Luckman, apa yang nyata untuk

seseorang belum tentu nyata bagi orang lain. Begitupun dengan pengetahuan, apa

yang diketahui oleh seseorang belum tentu sama atau diketahui oleh orang lain.

Adanya perbedaan itu kemudian melahirkan konsepsi mengenai kenyataan

obyektif dan kenyataan subjektif. Kenyataan objektif adalah kenyataan yang

berada diluar diri individu manusia, sedangkan kenyataan subjektif adalah

kenyataan yang berada di dalam diri manusia. Dalam kenyataan objektif, manusia

secara struktural dipengaruhi oleh lingkungan di mana manusia tinggal. Dengan

kata lain, arah perkembangan manusia ditentukan secara sosial, dari saat lahir

hingga tumbuh dewasa dan tua. Ada hubungan timbal-balik antara diri manusia

dengan konteks sosial yang membentuk identitasnya hingga terjadi habitualisasi

dalam diri manusia. Sementara itu, dalam kenyataan subjektif, manusia dipandang

sebagai organisme yang memiliki kecenderungan tertentu dalam masyarakat.

Dalam hal ini subjektivitas manusia bermain dalam lingkungan sosialnya.

Individu telah mengambil alih dunia sosial yang telah membentuknya sesuai

dengan kreativitas yang dimiliki oleh tiap individu. Di tahap “kenyataan” ini

transformasi tersebut kemudian muncul. Gaya hidup influencer di Kota Makassar

kemudian tidak hanya menjadi suatu kenyataan objektif dan subjektif yang ada

66
secara bersamaan (dualitas) tetapi juga kemudian menjadi suatu kenyataan trinitas

dengan munculnya kenyataan virtual.

Kenyataan virtual adalah kenyataan yang dibangun diluar diri manusia

tetapi tidak ada secara fisik sebagaimana model fisik dalam kenyataan objektif.

Kenyataan virtual adalah entitas yang keberadaannya diakui dan dibangun diatas

bit-bit data komputer. Kenyataan virtual akan dapat ditemukan dalam media

seperti internet, google, instagram, tiktok, facebook, youtube, dan lain-lain.

Kenyataan virtual muncul sebagai konsekuensi logis dari revolusi teknologi

informasi. Kenyataan virtual telah menjadi atau menampilkan diri sebagai

kenyataan par excellence sehingga menjadi kenyataan utama (paramount)

menggantikan kenyataan objektif dan kenyataan subjektif. Kenyataan virtual juga

menjadi rumah baru manusia dikarenakan segala aktivitasnya dicurahkan dalam

virtualitas. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh informan WKMA.

“Tidak bisa mki sekarang kalo tidak main instagram kak, karena disitu
semua sekarang kalau mau ki liat informasi atau cari-cari ide kak”
(wawancara pada 25 Juli 2021)

Munculnya kenyataan virtual ini kemudian memberikan perbendaharaan

yang lebih akan konsep realitas sosial yang dicetuskan oleh Berger dan

Luckmann. Kenyataan virtual dapat dikatakan meruntuhkan gagasan-gagasan

umum mengenai realitas. Seperti yang diketahui bahwa teori konstruksi sosial

lahir dari pertanyaan Berger mengenai konsepsi kenyataan atau realitas.

Kenyataan virtual ini dapat diwakili dari ucapan Baudrillard (Hidayat, 2012:71)

bahwa semua yang nyata kini menjadi simulasi. Bagi Baudrillard, realitas kini

tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan. Lebih

67
jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa, dan disimulasi. Kenyataan virtual ini

menempati sebuah ruang yang bernama simulakrum atau simulakra. Kenyataan

virtual bukanlah titik tengah, alternatif, atau jalan ketiga dari subjektivitas dan

objektivitas.

Kenyataan virtual yang telah menempatkan dirinya sebagai dunia

kehidupan sehari-hari yang ditafsirkan oleh manusia. Maka itu, apa yang menurut

manusia nyata ditemukan dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu

kenyataan seperti yang dialaminya. Bagi Berger dan Luckmann, dunia kehidupan

sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga bermakna.

Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya dianggap benar atau begitulah adanya

sebagaimana yang dipersepsi manusia. Hal ini berarti walaupun kenyataan virtual

telah menjadi suatu dunia yang utama atau dunia sehari-hari, tetapi tetap terdapat

subjektivitas dan objektivitas didalamnya.

Untuk melihat sifat subjektivitas, kenyataan hidup sehari-hari dalam

kenyataan virtual dipahami bersama-sama oleh orang yang hidup dalam

masyarakat sebagai kenyataan yang dialami. Kendatipun kenyataan hidup

sehari-hari merupakan dunia intersubjektif namun bukan berarti antara orang yang

satu dengan orang yang lain selalu memiliki kesamaan perspektif dalam

memandang dunia bersama. Setiap orang memiliki perspektif berbeda-beda dalam

memandang dunia bersama yang bersifat intersubjektif. Perspektif orang yang

satu dengan yang lain tidak hanya berbeda tetapi sangat mungkin juga

bertentangan. Begitu pula dalam memandang mengenai gaya hidup yang

ditampilkan oleh influencer di Kota Makassar. Ada berbagai pandangan yang

68
dilontarkan oleh influencer sendiri dengan gaya hidup yang ditampilkan oleh

influencer-influencer lain. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh informan

ACBG dan DA.

“jadi influencer ini berat karena citra yang kita bangun di masyarakat ini
positif. Jadi tidak bisa ki posting hal yang aneh-aneh karena pasti bakalan ada
nanti hujat ki”

(Wawancara 30 Juni 2021)

“Selama mulai mi banyak endorse yang masuk, enak ji ini menurutku dunia
influencer atau kalau mau ki jadi selebgram. Kerjanya bisa kita tentukan
jamnya, tarifnya juga bisa kita tentukan.”

(Wawancara 18 Juli 2021)

Namun, bagi Berger dan Luckmann (1990: 34), ada persesuaian yang

berlangsung terus-menerus antara makna-makna orang yang satu dengan yang

lain tadi. Ada kesadaran bersama mengenai kenyataan di dalamnya menuju sikap

alamiah atau sikap kesadaran akal sehat. Sikap ini kemudian mengacu kepada

suatu dunia yang sama-sama dialami banyak orang. Jika ini sudah terjadi maka

dapat disebut dengan pengetahuan akal sehat (common-sense knowledge), yakni

pengetahuan yang dimiliki semua orang dalam kegiatan rutin yang normal dan

sudah jelas dengan sendirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Berger dan Luckmann (1990) kenyataan hidup sehari-hari dialami

bersama oleh orang-orang. Pengalaman terpenting orang-orang berlangsung

dalam situasi tatap-muka, sebagai proses interaksi. Dalam interaksi tersebut

orang-orang terus-menerus saling bersentuhan, berinteraksi, dan berekspresi.

Dalam situasi itu pula terjadi interpretasi dan refleksi. Merujuk dari pandangan

Berger dan Luckmann tersebut, interaksi tatap-muka dalam kenyataan virtual

69
bertransformasi dalam bentuk interaksi tatap-muka secara virtual sehingga sangat

memungkinkan mengubah skema-skema tipifikasi orang yang berbeda dengan

tipikasi dalam kehidupan yang faktual. Pada gilirannya, interaksi itu kembali

melahirkan tipifikasi baru. Oleh karena itu, pandangan Berger dan Luckmann

(1990) dapat dimengerti bahwa kenyataan sosial kehidupan sehari-hari dipahami

dalam suatu rangkaian (continuum) berbagai tipifikasi, yang menjadi semakin

anonim dengan semakin jauhnya tipifikasi itu dari model awalnya. Pada satu sisi,

di dalam rangkaian itu terdapat orang-orang yang saling berinteraksi secara

intensif dalam situasi tatap muka virtual; dan di sisi lain, terdapat

abstraksi-abstraksi yang sangat anonim karena sifatnya yang tidak terlibat dalam

tatap muka virtual. Dalam konteks ini, struktur sosial didunia virtual merupakan

jumlah keseluruhan tipifikasi dan pola-pola interaksi yang terjadi berulang-ulang

melalui tipifikasi, dan ia merupakan satu unsur yang esensial dari kenyataan hidup

sehari-hari di dunia virtual.

Sedangkan untuk melihat sifat objektivitas, Berbagai skema tipifikasi, dengan

kemampuan ekspresi diri, manusia mampu mengadakan objektivasi

(objectivation). Manusia dapat memanifestasikan diri dalam produk-produk

kegiatannya yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang

lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi itu merupakan

isyarat-isyarat yang bersifat tahan-lama dari proses-proses subjektif para

produsennya, sehingga memungkinkan objektivasi dapat dipakai melampaui

situasi tatap-muka virtual. Kenyataan hidup, tentunya tidak hanya berisi

objektivasi-objektivasi; juga berisi signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh

70
manusia. Sebuah tanda (sign), dapat dibedakan dari objektivasi. Jika objektivasi

lebih berupa ekspresi diri dalam wujud produk, signifikasi berupa ekspresi diri

berupa bahasa. Namun, keduanya dapat digunakan sebagai tanda, dan terkadang

kabur penggunaannya.

Kenyataan virtual merupakan kenyataan baru yang muncul akibat dari

revolusi teknologi informasi memberikan implikasi adanya pengetahuan virtual

dan kesadaran virtual. Pengetahuan virtual sering juga disebut sebagai kecerdasan

buatan atau artificial intelligence. Dengan artificial intelligence manusia tidak

hanya mampu membuat kenyataan menjadi diungkapkan, tetapi juga dapat

menyusun dan menciptakan kenyataan itu sendiri.

Sedangkan kesadaran virtual atau yang dikenal dengan kesadaran kolektif

virtual (virtual collective consciousness) merupakan istilah yang dihidupkan ulang

oleh ilmuwan bernama Yousri Marzouki dan Olivier Oullier dalam artikel

Huffington Post 2012 berjudul: “Revolutionizing Revolutions: Virtual Collective

Consciousness and the Arab Spring. Kesadaran kolektif virtual didefinisikan

sebagai pengetahuan internal yang dikatalisasi oleh platform media sosial dan

dibagikan oleh sejumlah individu yang didorong oleh spontanitas, homogenitas,

dan sinkronisitas tindakan online mereka atau yang kemudian dikenal dengan

algoritma online.

Gaya hidup yang dipraktikkan oleh influencer di Kota Makassar

merupakan manifestasi hasil dari pengetahuan, kenyataan atau realita yang

sehari-hari dijalani, dan kesadaran dari influencer yang kemudian mengalami

71
proses dialektika secara simultan dalam tiga tahap: eksternalisasi, objektivasi, dan

internalisasi.

a. Eksternalisasi.

Eksternalisasi adalah suatu pencurahan kedirian manusia terus-menerus ke

dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya. Menurut Berger dan

Luckmann (1990) kedirian manusia tidak bisa dibayangkan menetap di dalam

dirinya, dalam suatu lingkup tertutup, dan kemudian bergerak keluar untuk

mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Dengan demikian, tahap

eksternalisasi ini berlangsung ketika produk sosial tercipta di dalam masyarakat,

kemudian individu mengeksternalisasikan (penyesuaian diri/beradaptasi) ke dalam

dunia sosio kulturnya sebagai bagian dari produk manusia. Oleh karena itu,

keberadaan manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan diri dalam

aktivitas. Manusia akan mengusahakan terjalinnya kestabilan hubungan dengan

lingkungan sosialnya.

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan tahap eksternalisasi ditemukan dari

aktivitas informan yang melakukan penyesuaian diri dengan kemajuan teknologi

informasi, pengetahuan mengenai periklanan, dan pekerjaan baru (new job).

Proses adaptasi di atas pada akhirnya akan menjadi sebuah pola tindakan dari

manusia berupa gaya hidup influencer. Gaya hidup influencer merupakan aktivitas

keseharian yang menekankan pada berbagi ide, gagasan, hingga menginisiasi

sebuah gerakan-gerakan yang dimulai di ruang-ruang virtual atau menggunakan

sosial media.

72
Proses adaptasi tersebut yang kemudian membentuk pengetahuan para

influencer di Kota Makassar mengenai cara untuk menjadi influencer, apa itu

influencer, dampak-dampak menjadi influencer. Proses adaptasi yang

menghantarkan pengetahuan mengenai seluk-beluk influencer secara tidak

langsung juga memberikan individu pengetahuan mengenai cara menggunakan

sosial media (produk teknologi informasi) bukan saja untuk hal-hal yang

konsumtif atau menyia-nyiakan waktu tetapi cara mengoperasionalkan sosial

media menjadi sesuatu yang produktif.

Adapun hasil pengetahuan dari proses adaptasi mengenai seluk-beluk

influencer antara lain: pemilihan tema isu yang akan disampaikan, personal

branding building, pembuatan sosial media, manajemen konten sosial media,

membangun komunitas-komunitas yang sesuai dengan tema isu, dan dampak

menjadi influencer. Di bagian dampak menjadi influencer ini, influencer di Kota

Makassar kemudian mengenal pengetahuan tambahan bahwa influencer dapat

dijadikan sebagai pekerjaan yang menghasilkan uang. Influencer ketika telah

memiliki pengikut yang banyak dan memiliki konten-konten yang menarik dalam

sosial medianya, maka akan menarik usaha-usaha mulai dari skala micro, mezzo,

hingga macro untuk menggunakan jasanya mengiklankan produk usaha tersebut.

Fakta ini sesuai dengan pernyataan informan WKMA.

“untuk bisa ki terima endorse-endorse, harus ki memang punya follower yang


banyak dulu. Selain punya ki follower yang banyak, ketertarikannya ini
follower ta untuk like sama komentari postingan ta atau ketertarikannya untuk
nonton live ta kalo di instagram”

(Wawancara 25 Juli 2021)

73
Dampak yang diterima influencer tersebut dapat dikategorikan dalam dua tipe

yaitu dampak materiil dan dampak non materiil. Dampak materiil adalah dampak

berupa uang dan produk-produk yang diberikan mitra kerjasama. Sedangkan

dampak non-materiil adalah dampak berupa apresiasi dari pendukung atau hinaan

dari pembenci (haters).

Setelah mendapatkan dampak tersebut, influencer kemudian mendapatkan

pengetahuan baru bahwa dampak materiil ini dapat digunakan untuk menjalin

relasi dengan orang lain, belanja barang-barang yang dapat mengukuhkan posisi

sebagai influencer sekaligus menaikkan tarif (price-list) jasa pengiklanan dan

tawaran event. Hal ini sebagaimana dengan pernyataan yang disampaikan oleh

informan RD.

“Kalo untuk bayarannya, biasanya dipakai untuk gaji tim karna kan saya
punya tim. Selain itu palingan untuk kebutuhan sehari-hari seperti belanja dan
nongkrong sama teman-teman.”

( Wawancara 10 Juli 2021)

74
b. Objektivasi

Proses pelembagaan manusia dimulai sejak awal manusia berinteraksi

dengan lingkungannya. Pengalaman sehari-hari akan menuntun setiap individu

untuk memiliki tipifikasi yang khas dan dapat diekspresikan melalui pola-pola

tingkah laku yang spesifik saat berinteraksi dengan individu lainnya. Ini

merupakan suatu rangkaian pembangunan latar belakang individu yang akan

menentukan pembagian kerja di antara individu-individu dalam kelompok sosial.

Objektivasi merupakan penyerapan atau pemaknaan hasil yang telah dicapai dari

proses eksternalisasi melalui interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang

kemudian dilembagakan dan dilegitimasikan. Objektivitas dunia kelembagaan

adalah objektivitas yang dibuat dan dibangun oleh manusia. Dengan demikian

masyarakat merupakan produk manusia atau dengan kata lain masyarakat adalah

produsen dan konsumen sosial.

Masyarakat sebagai produk manusia, berakar pada tahap eksternalisasi.

Produk manusia (termasuk dunianya sendiri), kemudian berada di luar dirinya,

menghadapkan produk-produk sebagai faktisitas yang ada di luar dirinya. Semua

aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi, menurut Berger dan

Luckmann (1990), dapat mengalami proses pembiasaan (habitualisasi) yang

kemudian mengalami pelembagaan (institusionalisasi) (Berger dan Luckmann,

1990). Dalam pelembagaan dan legitimasi tersebut, individu bertugas menarik

dunia subyektifitasnya menjadi dunia obyektif melalui interaksi sosial yang

dibangun secara bersama-sama dengan orang lain.

75
Dalam penelitian ini, proses objektivasi dari pengetahuan tentang influencer

ada pada bentuk pengalaman sehari-hari influencer dalam membuat konten,

memposting di sosial medianya yang kemudian membuat influencer mendapatkan

penghasilan berupa uang dan produk-produk dari periklanan (endorse). Aktivitas

yang berulang-ulang (ter-habitualisasi) itulah kemudian yang menjadi tipifikasi

khas yang masyarakat umum dan penggemarnya lihat yang kemudian membentuk

pemahaman di masyarakat mengenai influencer. Dititik ini dunia subjektifitas

influencer telah berubah menjadi dunia objektif yang dibangun bersama-sama

dengan penggemar dan masyarakat umum hasil dari interaksi di sosial media.

Adapun bentuk ekspresi dari aktivitas yang berulang-ulang tersebut ada dalam

bentuk belanja, perawatan diri, dan bersosialisasi dengan orang lain (nongkrong).

Proses habitualisasi tersebut kemudian mengalami pelembagaan.

Dikarenakan arena utama dari influencer adalah virtual, maka pelembagaan utama

terjadi di ranah virtualitas. Pelembagaan di ranah virtual ini bila ditinjau

berdasarkan tipenya tercipta dua tipe yaitu, Pertama, berdasarkan

perkembangannya menjadi tipe enacted institution. Dikarenakan pencipta sosial

media seperti instagram, Tiktok, atau Facebook membuat aturan-aturan yang

bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan pengendalian nilai agar pengguna

tidak melenceng atau menampilkan sesuatu yang melanggar aturan, baik aturan

negara, aturan agama, maupun nilai-norma universal. Kedua, berdasarkan

penerimaan masyarakat menjadi tipe social sanctioned institution yang berarti

media sosial telah menjadi lembaga yang telah diterima oleh khalayak

masyarakat. Setelah mengalami pelembagaan di ranah virtual, maka berikutnya

76
adalah pelembagaan yang terjadi di ranah faktual. Pelembagaan di ranah faktual

ini berangkat dari bentuk ekspresi proses habitualisasi influencer. Pelembagaan di

ranah faktual bertipe basic institution dikarenakan influencer tetap memperhatikan

nilai-norma yang berlaku di masyarakat.

Hal terpenting dalam objektifikasi adalah signifikansi. Sebuah tanda dapat

dibedakan dari objektivitasi-objektivitasi lainnya. Setiap tema penandaan dengan

demikian menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai

sebuah simbol, dan modus linguistik dengan apa transendensi seperti itu dicapai

(Berger dan Luckmann,1990). Penjelasan Berger dan Luckmann tersebut dapat

dimaknai bahwa ketika memasuki tahap objektivasi, maka dunia subjektif

individu akan berubah menjadi dunia objektif dalam bentuk bahasa atau simbol.

Pemikiran Berger dan Luckmann mengenai signifikansi ini sangat dipengaruhi

oleh pemikiran tokoh linguistik Ferdinand Saussure yang mencetuskan konsep

penanda-petanda, bahwa dalam setiap tanda, kode, atau simbol yang dibuat

manusia akan melahirkan penanda dan petanda. Penanda adalah citra maknawi,

sedangkan petanda adalah citra konsepsi. Influencer dan gaya hidupnya

merupakan signifikansi atau tanda yang hadir dalam tahap objektivasi/dunia

objektif, hasil dari pemaknaan tahap eksternalisasi.

Ketika dunia sosial yang objektif sudah tercipta atau dalam hal ini

influencer dan gaya hidupnya sudah hadir dalam dunia objektif, di situ telah

terjadi reifikasi. Reifikasi merupakan pemahaman adanya perubahan relasi dan

aktivitas manusia (produk sosial manusia) menjadi relasi dan aktivitas manusia

yang seolah-olah terlepas dan dikendalikan oleh kekuatan otonom (kekuatan

77
fetish ekonomi) di luar manusia. Objektivitas dunia sosial berarti ia dihadapi oleh

manusia sebagai sesuatu yang berada di luar dirinya, dalam artian influencer harus

menerima kenyataan bahwa pengetahuan mengenai “influencer” yang dimaknai

pada tahap eksternalisasi tidak lagi menjadi milik influencer yang bersangkutan

tetapi telah mengalami perubahan yang diakibatkan adanya kesepakatan bersama

dengan orang-orang lain (masyarakat dan penggemar). Para influencer ketika

telah menjadi “influencer” justru mendapati hilangnya kediriannya di beberapa

kondisi dikarenakan telah berubah menjadi objek. Kondisi-kondisinya antara lain:

Pertama, menerima permintaan dari penggemar untuk membuat sebuah konten

mengenai tema yang berbeda dengan tema isu yang ingin ditampilkan. Kedua,

kerjasama dengan usaha yang bertolak-belakang dengan ideologinya. Fakta ini

sebagaimana yang disampaikan oleh informan ACBG dan KWMA.

“Ada tawaran untuk review handbody tapi saya tolak karena sudah saya
coba baru tidak cocok dikulitku”
(Wawancara 30 Juni 2021)
“Pernah dulu bikin ka Q&A di story instagram kak, terus banyak yang
respon. Setelahnya itu makin banyak yang minta diadakan kembali Q&A
dengan tema yang na mau ini followersku hehe”
(Wawancara 25 Juli 2021)
​Dibagian ini, gagasan Berger dan Luckmann mengenai tahap objektivasi

kemunculan reifikasi sangat dipengaruhi oleh pemikiran Karl Marx mengenai

fetisisme komoditi yang terjadi pada masyarakat industri perkotaan. Bagi Marx

(Ritzer, 2017), fetisisme komoditi tampak dalam cara pertukaran nilai-guna

(sebagai eksistensi asli suatu benda pakai) dan nilai-tukar dalam sistem

kapitalisme. Di dalamnya terjadi substitusi antara sesuatu yang abstrak dengan

sesuatu yang konkret. Marx menyebut hal ini sebagai “mistifikasi komoditi”.

78
Mistifikasi komoditi muncul ketika suatu komoditi diputuskan dari barisan

pekerja yang memproduksinya dan dari fungsi pakai komoditi tersebut, sehingga

dalam suatu proses pertukaran komoditi “diisi” makna-makna tertentu yang lebih

dari sekedar nilai-guna. Nilai-tukar dianggap lebih istimewa dari nilai-guna.

Semua barang (objek) telah diabstraksikan sehingga tak lebih menjadi semacam

tanda yang tertera pada komoditi sebagai nilai-tukar komoditi tersebut (Piliang,

2011). Dalam kaitannya dengan influencer, influencer telah menjadi komoditi

yang nilai gunanya sebagai tindakan kreatif dalam menyampaikan isu dan

mempengaruhi orang lain kemudian ditukar menjadi produk yang menghasilkan

uang. Dalam proses pertukaran tersebut influencer kemudian diisi dengan

makna-makna gaya hidup glamour agar penggemar dan masyarakat umum yang

berperan sebagai konsumen menjadi tertarik. Di titik ini pula, Relasi sosial yang

terbangun antara influencer dan penggemarnya adalah relasi kekuatan fetish

komoditi.

c. Internalisasi.

Pada proses dialektis yang terakhir, Berger dan Luckmann (1990)

menunjukkan bahwa individu tidak dilahirkan sebagai anggota masyarakat, tetapi

ia dilahirkan dengan suatu paradis-posisi (kecenderungan) ke arah sosialitas, dan

ia selalu menjadi anggota masyarakat. Oleh karenanya, dalam kehidupan setiap

individu, memang ada suatu urutan waktu, dan selama itu individu diimbas ke

dalam partisipasi dalam dialektika masyarakat. Titik awal dari urutan waktu ini

adalah internalisasi: pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu

peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna. Artinya, terjadi interaksi

79
makna yang termanifestasi dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan

demikian menjadi bermakna subyektif bagi individu tersebut.

Internalisasi adalah individu-individu sebagai kenyataan subjektif

menafsirkan realitas objektif. Atau peresapan kembali realitas oleh manusia, dan

mentransformasikannya sekali lagi dari struktur-struktur dunia obyektif kedalam

struktur-struktur dunia subyektif. Pada momen ini, individu akan menyerap segala

hal yang bersifat obyektif dan kemudian akan direalisasikan secara subyektif.

Internalisasi ini berlangsung seumur hidup seorang individu dengan melakukan

sosialisasi.

Untuk mencapai internalisasi, individu akan terlebih dahulu mendapatkan

sosialisasi, yang dapat diidentifikasikan sebagai pengimbasan individu secara

komprehensif dan konsisten ke dalam dunia obyektif suatu masyarakat. Dalam

proses sosialisasi, terdapat adanya significant others dan juga generalized others.

Significant others begitu signifikan perannya dalam mentransformasi

pengetahuan dan kenyataan obyektif pada individu. Sosialisasi sendiri dibagi

menjadi dua: primer dan sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang

paling pertama dialami oleh individu, yaitu pada masa kanak-kanak, yang dengan

itu individu menjadi anggota masyarakat. Dalam sosialisasi primer, dunia objektif

individu terbentuk. Sosialisasi primer menciptakan kesadaran suatu abstraksi yang

semakin tinggi dari peranan-peranan dan sikap orang-orang lain tertentu ke

peranan-peranan dan sikap-sikap pada umumnya. Dalam sosialisasi primer juga,

identifikasi diri mulai diciptakan. Sosialisasi primer akan berakhir ketika konsep

tentang orang lain pada umumnya telah terbentuk dan tertanam dalam kesadaran

80
individu. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah proses-proses lanjutan yang

mengimbas individu yang sudah tersosialisasi itu ke dalam sektor-sektor baru

dunia obyektif masyarakatnya (Berger dan Luckmann, 1990). Sosialisasi sekunder

dipahami sebagai internalisasi sejumlah “subdunia” kelembagaan atau yang

berlandaskan lembaga. Oleh karena itu, lingkup jangkauan dan sifatnya

ditentukan oleh kompleksitas pembagian kerja dan distribusi pengetahuan dalam

lingkungan sosial yang ditempati atau yang dalam hal ini kita sebut sebagai

eksternalisasi.

Dalam konteks penelitian ini, peneliti menemukan proses sosialisasi

primer dan sosialisasi sekunder yang dialami oleh influencer tidak sebagaimana

konsep sosialisasi yang dijelaskan oleh Berger dan Luckmann yang bertitik awal

pada usia (masa kanak-kanak). Sosialisasi primer yang dialami oleh influencer di

Kota Makassar adalah ketika mulai mengenal dunia sosial media dan melihat

postingan-postingan konten dari influencer, selebgram, dan selebritis. Dengan

adanya sosial media dan postingan konten dari influencer, selebgram, dan

selebritis telah membuat influencer di Kota Makassar mengidentifikasi dirinya

dengan menempatkan influencer, selebgram, dan selebritis sebagai orang-orang

yang berpengaruh (significant others).

Adapun Sosialisasi sekunder yang dialami oleh influencer adalah yang

terjadi pada tahap eksternalisasi. Yang terjadi pada tahap eksternalisasi adalah

hasil pengetahuan dari proses adaptasi mengenai seluk-beluk influencer seperti

aturan-aturan dalam dunia sosial media, pemilihan tema isu yang akan

disampaikan, personal branding building, pembuatan sosial media, manajemen

81
konten sosial media, membangun komunitas-komunitas yang sesuai dengan tema

isu, dan dampak menjadi influencer (generalized others).

Setelah proses sosialisasi berhasil dialami, maka tahap Internalisasi akan

tercapai oleh influencer. Adapun manifestasi dari tahap internalisasi adalah ketika

menerapkan gaya hidup dalam kehidupan sehari-hari, kemudian timbul

pemahaman bahwa menjadi influencer selain dapat berguna bagi orang lain

dikarenakan dapat berbagi pengetahuan dan keresahan akan masalah-masalah

sosial dengan konten-konten yang ditampilkan ternyata menjadi influencer juga

dapat menghasilkan uang, memperluas jaringan sosial, dan meningkatkan taraf

hidup. Hal ini berdasarkan dari pernyataan informan DA.

“kalau mau ki tekuni ini dunia influencer atau mau ki jadi selebgram, bisa
ki dapat banyak uang kak, bisa ki juga ketemu dengan orang-orang
terkenal kayak pejabat atau artis nasional begitu”
(Wawancara 28 Juli 2021)
5.3.3 Gaya Hidup Influencer di Kota Makassar.

Pembahasan tentang gaya hidup tidak dapat dipisahkan dari pembahasan

mengenai identitas diri dan perbedaan, sebagai dua fondasi utama dari gaya hidup.

Gaya hidup dibangun sebagai cara untuk memperlihatkan identitas sekaligus

melepaskan hasrat untuk berbeda. Didalam praktik sosial, diperlukan mekanisme

dalam membangun perbedaan atau pembedaan sosial. Menurut Chaney (2011)

gaya hidup selanjutnya merupakan cara-cara terpola dalam menginvestasikan

aspek-aspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai-nilai sosial atau simbolik:

tapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas. Oleh

karena itu gaya hidup adalah salah satu mekanisme pembedaan sosial itu, yang

melaluinya masyarakat dibedakan atas kelompok-kelompok gaya hidup, yang

82
masing-masing membangun identitas kelompoknya, dalam rangka

membedakannya dengan identitas-identitas kelompok lainnya.

Pembicaraan mengenai gaya hidup influencer di Kota

Makassar-sebagaimana pembicaraan tentang gaya hidup pada umumnya-bukanlah

pembicaraan tentang kelompok masyarakat urban yang tunggal, homogen, dan

otonom, melainkan relasi kompleks di antara gaya hidup kelompok-kelompok

berbeda, di dalam ruang sosial urban yang juga berbeda-beda. Gaya hidup yang

dipraktikan oleh para influencer di Kota Makassar harus dibahas dalam bingkai

pluralitas. Sebuah kelompok gaya hidup hanya dapat eksis dalam relasinya

dengan kelompok-kelompok gaya hidup lainnya, di dalam relasi perbedaan,

persilangan, tumpang-tindih dan hibridisasi budaya yang kompleks.

Dalam budaya kapitalisme global, pandangan dunia dan cara berpikir

masyarakat dikonstruksi sedemikian rupa, yang didalamnya komoditi dijadikan

sebagai cara untuk membangun perbedaan dan identitas diri di dalam hubungan

sosial yang lebih luas. Menurut Chaney (2011) ada tiga cara atau bagian untuk

mengungkap praktik gaya hidup dalam konstruksi sosial kapitalisme global, yaitu:

Pertama, dengan menggunakan analisis pertukaran simbolik. Kedua, dengan

menggunakan analisis modal simbolik. Ketiga, dengan menggunakan analisis

proses simbolik.

1) Pertukaran simbolik.

Pertukaran simbolik yang digagas oleh Chaney merupakan suatu konsep

gagasan yang dilatarbelakangi oleh tiga konsep yaitu konsumsi, bahasa, dan

pertukaran jaringan. Pertukaran simbolik selayaknya bahasa dalam kajian

83
strukturalisme yang memiliki penanda dan petanda. Pertukaran simbolik

selayaknya konsumsi yang dicetuskan oleh Baudrillard bahwa konsumsi di

masyarakat kontemporer telah kehilangan esensial (nilai guna) menyisakan nilai

citra (simbolik). Pertukaran simbolik selayaknya teori jaringan yang dikemukakan

oleh Barry Wellman bahwa terdapat pola objektif ikatan yang menghubungkan

anggota masyarakat, baik itu individu maupun secara kolektif. Pertukaran

simbolik adalah suatu pertukaran makna-makna dari objek yang tidak hanya

berfungsi sebagai representasi diri tetapi juga sebagai jaringan hubungan.

Dalam gaya hidup influencer di Kota Makassar, peneliti kemudian

menemukan bahwa pertukaran simbolik terjadi sebagai hasil dari tahap

objektivasi dalam teori konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Berger dan

Luckmann. Sebagaimana yang diketahui influencer dan gaya hidupnya

merupakan signifikansi atau tanda yang hadir dalam tahap objektivasi/dunia

objektif, hasil dari pemaknaan tahap eksternalisasi. Sebagai suatu tanda maka

untuk melakukan suatu interaksi dalam struktur sosial, influencer kemudian

menukarkan dirinya sebagai influencer dan segala atribut simbolik yang dimiliki.

Pertukaran itulah yang kemudian membentuk pola ikatan yang menghubungkan

influencer dengan penggemarnya dan lingkungan sosialnya.

Pola ikatan yang menghubungkan dan dilakukan tanpa henti inilah yang

kemudian menciptakan sebuah pola gaya hidup konsumsi. Hal ini terlihat dari

influencer yang dengan dalih “kebutuhan diri” untuk memberikan penampilan

terbaik kepada pengikutnya (followers) kemudian melakukan aktivitas belanja dan

perawatan diri secara terus-menerus yang tujuan sebenarnya adalah pemenuhan

84
atas relasi sosial dan hasrat. Aktivitas belanja dan perawatan diri influencer

dengan tujuan memberikan penampilan maksimal kepada pengikutnya menjadi

titik balik dari motif pelayanan menjadi motif konsumsi citra. Dalih-dalih

kebutuhan dan kenikmatan kemudian hanya dijadikan sebagai sebuah alasan

rasional, dimana tujuan sebenarnya (citra, pengakuan sosial) berada ditempat

disembunyikan di tempat yang lain. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh

informan DA.

“kalau belanja ka pasti selain untuk kebutuhan konten-konten di instagram,


pasti juga untuk dipakai nongkrong atau ketemu sama klien. Misalnya beli
tas, kan tidak mungkin cuman satu kali pakai ji untuk konten jadi yah saya
pakai mi juga keluar (nongkrong) sama teman-teman”
(Wawancara 28 Juli 2021)
Influencer kemudian membangun ulang dirinya yang berbeda di ruang

faktual. Influencer dengan aktivitas belanja dan perawatan tubuhnya membangun

tatanan representasi diri yang baru. Diri yang baru ini kemudian digunakan untuk

mengeksiskan dirinya baik di ruang virtual dan di ruang faktual.

Selain itu, gaya hidup yang dipraktekkan oleh influencer tersebut juga

menjadi pembeda antara dirinya dengan influencer lain dan penggemarnya.

Influencer kemudian menciptakan identitas dirinya sebagai entitas yang berbeda

dengan influencer lain dan penggemarnya melalui aktivitas belanja dan perawatan

dirinya. Influencer yang fokus membangun citra diri sebagai influencer yang

peduli dengan isu-isu sosial maka aktivitas belanjanya berhubungan dengan

penyampaian isu-isu sosial. Influencer yang fokus membangun citra diri sebagai

influencer yang peduli dengan kuliner maka aktivitas belanjanya pun erat dengan

hal-hal kuliner. Fakta ini sebagaimana yang disampaikan oleh informan KWMA

dan NS.

85
“fee selama terima endorse biasanya saya pakai beli buku sama biasa saya
sisipkan untuk bikin konten ikoy-ikoy yang seperti Arif Muhammad itu.
Biar naik juga nilai konten”
(Wawancara 25 Juli 2021)
“Selama jalani ini lebih banyak memang habis di beli makanan sama beli
pakaian uang hasil endorsenya”
(Wawancara 18 Juli 2021)
Gaya hidup yang dianut dalam praktik keseharian influencer pun telah

menjadi seperangkat sistem klasifikasi status, prestise, bahkan standar tingkah

laku di masyarakat. Dititik inilah juga kemudian menjadi sebuah titik awal

influencer di Kota Makassar menjadi kaum atau kelas penikmat. Influencer

sebagai kelas penikmat ini menghabiskan setiap waktunya dengan melakukan

praktik konsumsi yang bertujuan untuk membangun jaringan sosialnya.

Sedangkan sebagai suatu bentuk pertukaran simbolik, influencer kemudian

menerima simbolik berupa apresiasi, pengakuan, dan jaringan sosial yang lebih

luas dari pengikutnya.

2) Modal Simbolik.

Modal simbolik merupakan gagasan yang dikembangkan oleh Chaney

yang dilatarbelakangi oleh pemikiran Bourdieu. Menurut Bourdieu (Fashri, 2014)

modal digunakan untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam

masyarakat. Modal kemudian dibagi Bourdieu dalam 4 macam yaitu modal sosial,

modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik. Modal simbolik ini yang

kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Chaney dalam menganalisis fenomena

gaya hidup.

Bourdieu (Fashri, 2014) menyebutkan bahwa segala bentuk prestise,

status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi disebut sebagai modal simbolik.

Bagi Chaney (2011), penguasaan modal simbolik selalu dimiliki secara istimewa

86
oleh kelompok-kelompok yang diistimewakan, sedangkan mereka yang di luar itu

terpaksa berkonsentrasi pada apa yang disebut penguasaan praktis. Menurut

Chaney, dari semua model atau bentuk modal yang disebutkan oleh Bourdieu,

modal simbolik yang memiliki daya besar untuk menentukan jenjang hierarkis

dalam masyarakat modern.

Gaya hidup yang dianut oleh influencer telah bertransformasi menjadi

seperangkat sistem klasifikasi status, prestise, dan kelas dalam masyarakat. Gaya

hidup ini kemudian dikonstruksikan secara sosial sebagai sistem pembedaan.

Adanya sistem pembedaan ini tidak terlepas dari modal yang dimiliki oleh

influencer, arena sebagai ranah atau tempat influencer dalam menjalankan praktik

gaya hidupnya, dan habitus dari influencer.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa influencer di Kota Makassar

mendapatkan penghasilan berupa uang dan produk (modal ekonomi) dari hasil

mengiklankan produk, Selain itu dengan pendidikan yang tinggi (modal budaya)

dan jaringan sosial luas yang dimiliki (modal sosial) inilah yang membentuk citra

dari influencer (baik sebagai personal atau sebagai pekerjaan) sebagai sesuatu

yang positif, yang kemudian terakumulasi hingga mendapatkan otoritas dan

legitimasi (modal simbolik) dari penggemarnya sebagai sesuatu yang wajib untuk

diteladani.

Modal simbolik yang dimiliki oleh influencer ini yang kemudian menjadi

alat bagi influencer itu sendiri dalam mengkonstruksi dunia dan kesadaran

individu lain. Modal simbolik yang dimiliki oleh influencer ini pula yang menjadi

mekanisme dominasi yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan atas

87
kelas-kelas yang terdominasi. Adanya kelas-kelas terdominasi (penggemar dan

masyarakat) dikarenakan, modal yang dimiliki tidak sebanyak dan selengkap

modal simbolik yang dimiliki oleh influencer. Dominasi simbolik sebagai

instrumen dominasi memberikan penyatuan bagi kelompok-kelompok sosial

dominan untuk menyebarkan kemapanan kode-kode pemahaman dan perilaku

kepada kelompok-kelompok yang didominasi. Akhirnya, mereka yang berada di

posisi subordinat tidak dipersenjatai dengan habitus yang memungkinkan mereka

menciptakan kode simbolik sendiri. Mereka yang didominasi menerima secara

sukarela pembedaan jenjang sosial yang diproduksi oleh kelompok dominan

(influencer).

Modal simbolik yang dimiliki oleh influencer dalam mempraktekkan gaya

hidupnya erat kaitannya dengan habitus dan ranah atau arena dari influencer itu

sendiri. Habitus dalam praktik gaya hidup influencer di Kota Makassar terdapat

dalam motif tindakannya dan konsep dialektika kesadaran dalam teori konstruksi

sosial. Kehadiran motif tersebut diperoleh dari pengalaman-pengalaman individu

dalam berinteraksi dengan individu lain maupun dengan lingkungannya.

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa untuk melakukan praktik gaya

hidup influencer, modal memiliki peran yang menentukan. Modal dapat

menentukan di ruang mana, individu mengaktualisasikan habitusnya. Modal inilah

yang kemudian menentukan zona kelas individu dalam melakukan relasi sosial.

semakin banyak modal yang diakumulasi maka peluang dalam melakukan

interaksi dan relasi sosial semakin besar pula. Secara teoritis, setiap zona kelas

memiliki ranahnya masing-masing. Ranah ini bersifat dinamis sekaligus tertutup.

88
Dinamis dalam hal, tidak menutup kemungkinan terjadinya perpindahan zona

kelas. Dan tertutup dalam hal, ranah di dalam zona kelas hanya dapat ditempat

oleh satu zona kelas saja. Di titik ini, Bourdieu (Chaney, 2011) menyebutkan

signifikansi diskriminasi budaya didasarkan atas kemunculan kelas keahlian baru,

dan tentang model hubungan antara kelas dan gaya hidup mempertimbangkan

kemungkinan perubahan formasi kelas dan perbedaan-perbedaan yang khusus di

antara fraksi-fraksi kelas. Atau dapat dikatakan, influencer dengan gaya hidupnya

merupakan manifestasi kelas dengan keahlian baru yang kemudian melakukan

dominasi dan diskriminasi budaya dengan modal simbolik yang dimiliki. Konsep

kelas yang berbeda dari konsep kelas yang ditawarkan oleh Bourdieu. Konsep

kelas yang lahir dari fase baru kapitalisme tak terorganisasi (disorganised

capitalism). Kelas keahlian baru ini kemudian di bahasakan oleh Chaney sebagai

kelas jasa baru. Kelas jasa baru ini adalah kelas yang apabila disesuaikan dengan

hirarki zona kelas Bourdieu berada pada zona kelas atas, dikarenakan akumulasi

modal simbolik yang dimiliki.

3) Proses Simbolik.

Gagasan mengenai proses simbolik yang dicetuskan oleh Chaney ini

merupakan suatu konsep teori yang membahas mengenai dimensi-dimensi proses

dan dinamika dalam cara-cara penggunaan materi simbol praktik gaya hidup.

Konsep proses simbolik merupakan upaya Chaney dalam mengkaji dimensi

proses dan cara penggunaan materi simbol gaya hidup dengan menggunakan

pemikiran dari Simmel mengenai teorisasi modernitas dan pemikiran dari Giddens

mengenai refleksi diri.

89
Simmel (Chaney, 2011) percaya bahwa pada prinsipnya adalah mungkin

dalam semua masyarakat untuk melakukan pembedaan antara karakter respon dan

bayangan individual yang senantiasa terpecah-pecah dengan bentuk pengalaman

konkret yang berasal dari interaksi dengan intervensi dalam dunia eksternal.

Menurut Chaney (2011) ada dua gagasan besar dalam proses simbolik yang lahir

dari pemikiran Simmel, yaitu: Pertama, bahwa makna-makna aktivitas tidaklah

tetap dan saling bertentangan. Kedua, implikasi dari tidak tetapnya makna maka

komunitas-komunitas interaksi yang ramah sama dengan di destabilisasi.

Sedangkan menurut Giddens (Dhaney, 2011), makna praktik gaya hidup

tidak sepenuhnya ditentukan oleh “kekuatan-kekuatan” dalam masyarakat yang

lebih luas. Gaya hidup lebih menunjukkan bahwa dalam negosiasi praktis dari

kehidupan tertentu, makna dari cara-cara menggunakan sumber daya simbolik

konsumsi massa diubah menjadi objek-objek atau praktik-praktik yang kasat mata

yang merupakan metafora bagi diri mereka sendiri; “refleksivitas” disini mengacu

pada penggunaan informasi tentang kondisi-kondisi aktivitas sebagai sarana yang

secara reguler menata dan mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan

aktivitas. Bagi Giddens (2011) selanjutnya, perkembangan gaya hidup dan

perubahan struktural modernitas saling terhubung melalui refletivitas

institusional: “karena ‘keterbukaan’ kehidupan sosial masa kini, pluralitas konteks

tindakan dan aneka ragam ‘otoritas’, pilihan gaya hidup semakin penting dalam

penyusunan identitas diri dan aktivitas keseharian“. Berangkat dari pemikiran

Giddens tersebut, Chaney (2011) menyebutkan bahwa gaya hidup merupakan

konsep reflektif, dalam pengertian bahwa perlu keterbukaan yang tak terbatas

90
terhadap makna-makna gaya hidup dalam konteks apa pun (dengan implikasi

lebih jauh bahwa keterbukaan yang mutlak menghalangi kemungkinan penjelasan

makna yang memadai dari determinan-determinan yang struktural).

Di titik ini reflektif diri pula, Chaney menemukan dua hal yaitu: Pertama,

suatu peralihan dari cara-cara partisipasi yang lebih publik, komunal, dan kolektif

dalam peristiwa-peristiwa budaya ke arah cara-cara partisipasi yang lebih privat

dan personal. Dalam konteks gaya hidup influencer di Kota Makassar, influencer

kemudian lebih memilih melakukan proses interaksi secara virtual dengan

pengikutnya yang dapat influencer lakukan seorang diri didalam kamar atau

studio daripada memilih proses interaksi secara langsung di ruang-ruang publik.

Kedua, fragmentasi pasar. Influencer di Kota Makassar dengan praktik

gaya hidupnya ditemukan fakta bahwa adanya pemaknaan yang tidak tetap,

bergerak dan berubah-ubah. Karena tidak stabilnya makna mengenai influencer

maka tercipta kemudian kondisi yang tidak stabil dalam komunitas influencer di

Kota Makassar. Kondisi tidak stabil yang dimaksud disini adalah suatu perayaan

representasi diri influencer yang berartikulasi dalam hal-hal simbolik. Artinya

setiap influencer kemudian bebas untuk membentuk citra dirinya melalui

konten-konten, belanja, dan perawatan diri yang berbeda-beda. Kondisi inilah

yang disebut Chaney dengan keterpecahan (fragmentasi) realitas sosial yang

membentuk realitas sosial baru (munculnya realitas virtual) yang membutuhkan

strategi dan interpretasi baru. Bagi Chaney, fragmentasi realitas sosial disebabkan

oleh fragmentasi pasar yang semakin kompleks dan terspesialisasi.

91
Tidak adanya citra diri yang utuh dari influencer tersebut kemudian

membuat proses reflektif diri influencer mengalami cetak ulang yang terlepas dari

identitas atau diri dari fondasi-fondasi sebelumnya (genus). Dalam artian, fondasi

awal citra diri influencer di dunia nyata telah berbeda ketika berada di dunia

virtual. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh informan MZIN.

“sering itu ada kita dapat influencer yang pas ki ketemu ternyata beda
sekali dengan di konten-kontennya. Banyak yang begitu. Beda di
instagram, beda juga kalau bergaul mi”
(wawancara 5 Juli 2021)
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Giddens bahwa reflektif diri berkaitan

erat dengan reflektivitas institusional, berarti dapat dikatakan bahwa reflektif diri

yang dilakukan influencer didukung oleh keterbukaan kehidupan,sistem, dan nilai

sosial di Kota Makassar dan juga otoritas-otoritas kebenaran tidak hanya berada

pada satu pranata tetapi kemudian muncul pranata-pranata sosial yang dapat

menjadi pelegitimasi kebenaran dari tindakan atau aktivitas influencer.

92
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat

diberikan kesimpulan dari hasil analisis secara keseluruhan yaitu sebagai berikut:

A. Makna Influencer.

Ada tiga makna yang ditemukan dari hasil penelitian ini mengenai influencer

yaitu: Pertama, influencer dimaknai sebagai orang-orang yang mempengaruhi

orang lain melalui ide dan gagasannya. Kedua, influencer dimaknai sebagai

suatu pekerjaan yang bergerak pada industri jasa yang memiliki orientasi

uang. Ketiga, influencer dimaknai sebagai jalan untuk menjadi terkenal di

masyarakat dan memperluas jaringan relasi sosial.

B. Proses Influencer Mengkonstruksi Gaya Hidup Di Masyarakat Kota

Makassar.

Influencer dalam proses konstruksi gaya hidupnya ke masyarakat berfokus

pada konstruksi yang terjadi di dunia maya dengan rutin memposting aktivitas

kesehariannya, mengadakan question & answer, live bareng dengan

followernya. Sedangkan dalam dunia nyata, influencer kemudian mengadakan

temu jumpa dengan followernya.

93
C. Makna Sosial Influencer..

Influencer memiliki makna sosial yang berlapis-lapis. Influencer dapat

dimaknai sebagai suatu gaya ketika influencer hanya sampai pada praktik

mengkonstruksi identitas atau citra dirinya agar wacana yang dia sampaikan

tidak sama dengan influencer lain. Sedangkan influencer dimaknai sebagai

mode fashion ketika influencer membeli sesuatu barang atau produk untuk

kebutuhan penyampaian isu-isu yang akan dibawakan. Hal ini dilakukan

semata-mata untuk memperkuat image atau personal brand yang berusaha

dibangun. Dan terakhir, influencer dimaknai sebagai budaya ketika praktik

influencer telah melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang kemudian diikuti

secara massal atau mengalami peniruan-peniruan ritus sosial.

D. Konstruksi Gaya Hidup Influence di Kota Makassar.

Konstruksi sosial yang dibangun oleh influencer hingga menciptakan

fenomena gaya hidupnya. Influencer dengan gaya hidupnya menjadi suatu

realitas sosial ketika ada pemahaman dan pengetahuan yang kemudian

menjadi suatu kenyataan. Gaya hidup yang dipraktikkan oleh influencer di

Kota Makassar merupakan manifestasi hasil dari pengetahuan, kenyataan atau

realita yang sehari-hari dijalani, dan kesadaran dari influencer yang kemudian

mengalami proses dialektika secara simultan dalam tiga tahap: eksternalisasi,

objektivasi, dan internalisasi.

94
6.2 Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan sehubungan dari hasil analisis dan

pembahasan serta kesimpulan yaitu sebagai berikut:

A. Pemerintah Kota Makassar.

a) Pemerintah Kota Makassar melakukan pendataan mengenai jumlah

influencer dan pendapatan influencer yang dapat menjadi pemasukan

pajak di Kota Makassar.

b) Pemerintah melakukan kolaborasi dan peningkatan skill berupa pelatihan

dengan influencer-influencer di Kota Makassar.

c) Pemerintah Kota Makassar dapat menjadikan influencer sebagai mitra

dalam sosialisasi program-program Pemerintah Kota Makassar kepada

masyarakat.

B. Komunitas Influencer di Kota Makassar.

a) Influencer di Kota Makassar harus membentuk organisasi formal yang

dapat menjadi payung hukum influencer dalam melakukan aktivitasnya.

b) Influencer di Kota Makassar wajib memberikan edukasi kepada

masyarakat mengenai gaya hidup yang mereka anut dan alasannya.

95
DAFTAR PUSTAKA

Afrizal (2015). Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan

Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. RajaGrafindo Persada:Jakarta.

Adlin, Alfathri. (2006). Resistensi Gaya Hidup Teori dan Realitas. Yogyakarta: Jalasutra

Brown Duncan & Hayes, Nick. 2008. Influencer Marketing, Who really influences your

customers. UK: Elsevier Ltd.

Back, Less, Andy Bennet, Laura Desfor Edles, Margaret Gibson, David Inglis, Ron Jacobs,

Ian Woodward (2012). Cultural Sociology An Introduction.Wiley-Blackwell: United States

Creswell, John W (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.

Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Chaney, David (2011). Lifestyles Sebuah Pengantar Komprehensif. Jalasutra: Yogyakarta.

Fairclough, Norman (2003) Analysing Discourse Textual Analysis for Social Research.

Routledge: London.

Haryatmoko (2016). Membongkar Rezim Kepastian Pemikiran Kritis Post Strukturalis. PT

Kanisius:Yogyakarta.

Hidayat, Medhy Aginta (2012). Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran

Postmodernisme Jean Baudrillard. Jalasutra: Yogyakarta.

Hanindharputri, Made Arini & I Komang Angga Maha Putra (2019). Peran Influencer dalam

Strategi Meningkatkan Promosi dari Suatu Brand. IKAM Putra Sandyakala: Bali

Haryanto ,Alexander (2021). Apa Itu Buzzer Politik? Arti, Strategi, Sejarah dan Pola

Rekrutmen. diakses pada tanggal 10 Maret 2021 pukul 15.25 WITA. dari

https://tirto.id/apa-itu-buzzer-politik-arti-strategi-sejarah-dan-pola-rekrutmen-gaaE

Iskandar. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Gaung Persada (GP Press):Jakarta.

96
Ibrahim, Idi Subandy (2014). Komunikasi dan Komodifikasi: Mengkaji Media dan Budaya

dalam Dinamika Globalisasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta.

Jamaluddin, Adon Nasrullah (2015). Sosiologi Perkotaan Memahami Masyarakat Kota dan

Problematikanya. CV. Pustaka Setia: Bandung.

JPNN.Com (2020). Jatah Influencer Lebih Besar dari Dana Riset Vaksin COVID-19,

Mulyanto Meradang. diakses pada tanggal 9 Maret 2021 pukul 23:38 WITA. dari

https://www.jpnn.com/news/jatah-influencer-lebih-besar-dari-dana-riset-vaksin-covid-19-mul

yanto-meradang

Latan, Henky (2014). Aplikasi Analisa Data Statistik Untuk Ilmu Sosial Sains dengan IBM

SPSS. Alfabeta: Bandung.

Lubis, Akhyar Yusuf (2014). Postmodernisme: Teori dan Metode. PT RajaGrafindo Persada:

Jakarta.

Novi T. Hariyanti & Alexander Wirapraja. (2018). Pengaruh Influencer Marketing sebagai

Strategi Pemasaran Digital Era Modern (Sebuah Studi Literatur). Jurnal Eksekutif. Volume

15. diakses pada jurnal.ibmt.ac.id pada tanggal 8 Maret 2021 pukul 09.32 WITA.

Ritzer, George (2010). Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana: Bantul.

Soedjatmiko, Heryanto (2008). Saya Berbelanja Maka Saya Ada Ketika Konsumsi dan

Desain Menjadi Gaya Hidup Konsumeris. Jalasutra: Yogyakarta

Scott, John (2011). Sosiologi The Key Concepts. Jakarta : Rajawali Pers

Storey, John (2006). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop: Pengantar Komprehensif

Teori dan Metode. Jalasutra:Yogyakarta.

97
Srinati, Dimitri (2016). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer.

Narasi:Yogyakarta.

Pilliang, Yasraf Amir (2011). Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas

Kebudayaan. Bandung: Matahari.

Pilliang, Yasraf Amir & Jejen Jaelani (2018). Teori Budaya Kontemporer: Penjelajahan

Tanda dan Makna. Aurora: Yogyakarta.

Tobing, Sorta (2020). Ada Dana Pariwisata untuk Influencer, Apa Bedanya dengan Buzzer?.

diakses pada tanggal 10 Maret 2021 pukul 19.30 WITA. dari

https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5e9a470eb10b6/ada-dana-pariwisata-untuk-influencer

-apa-bedanya-dengan-buzzer

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar (2009). Metode Penelitian Sosial. Bumi Aksara:

Jakarta. Cetakan Kedua.

98
LAMPIRAN

99
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : A. Chantika Batari

Pekerjaan :Marketing Partnership di Gojek Indonesia

1. Apa definisi influencer menurut anda?


Jawab:
influencer seringkali diartikan sama dengan content creator padahal dua hal
ini berbeda. Jadi menurut saya influencer ini adalah orang-orang yang
mendedikasikan dirinya dan kemudian menampilkan dirinya di internet tapi
mereka bukan artis yang sering muncul di tv tapi kemudian aktif menampilkan
dirinya di sosial medianya
2. siapa influencer nasional dan lokal yang anda ketahui?
Jawab:
kalau Nasional itu Arif Muhammad, kalau lokal itu mungkin kayak tumming
abu.
3. Kenapa tertarik untuk menjadi influencer?
Jawab:
terlepas dari persoalan ekonomi yang akan diterima sebagai efek, Karena
menjadi influencer kita dapat bersosialisasi dengan banyak orang yang tidak
dikenal.
4. Bagaimana cara menjadi influencer?
Jawab:
membuat story instagram pasti saya usahakan buat setiap hari. Jadi
hitung-hitung untuk menyapa orang-orang yang sudah follow. tidak
sembarang juga yang akan diposting, itu tergantung dari mana isu yang saya
mau.
5. Sosial media mana saja yang ditempati posting postingan?
Jawab:
Instagram dan Tiktok
6. Apakah ada targetan postingan per hari?
Jawab:
tidak ada targetan sih. tergantung kemauan saja.
7. kenapa harus sosial media?
Jawab:
karena sekarang sudah eranya sosial media, jadi semua serba digital. dan
dengan sosial media, pesannya lebih cepat tersampaikan.
8. Selain melalui sosial media, apakah ada cara lain dalam meng influence orang
lain?

100
Jawab:
ikut dalam setiap kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.
9. Segmen Usia follower ta kira-kira berapa?
Jawab:
18-30 tahun

101
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : Khalifah Wini Mujaddidah

Pekerjaan : Influencer

1. Apa definisi influencer menurut anda?


Jawab:
influencer ini kak kalau di Makassar harus diperjelas pengertiannya
sebenarnya kak karena seringkali tertukar ini antara influencer, selebgram,
sama content creator. Kalau influencer kan ini orang-orang yang bisa
siapapun, dari golongan manapun yang mempengaruhi orang lain, sedangkan
kalo selebgram ini adalah orang-orang yang terkenal di sosial media seperti
instagram yang biasanya karena sudah bikin sensasi atau bikin viral. Kalau
content creator ini orang yang kerjanya bikin-bikin konten yang kebanyakan
kalau di Makassar diisi sama orang-orang yang lucu atau humoris dan isi
kontennya juga biasanya pesanan dari perusahaan atau tempat usaha. Tapi
kalau sekarang ini disamaratakan saja penyebutannya menjadi influencer yang
selalu first oriented nya itu uang kak.”

2. siapa influencer nasional dan lokal yang anda ketahui?


Jawab:
Rachel Vennya dan Anggu Batari
3. Kenapa tertarik untuk menjadi influencer?
Jawab:
Karena influencer ini menjadi sesuatu yang bisa mempengaruhi manusia.
Semacam pembawa risalah di era modern.
4. Bagaimana cara menjadi influencer?
Jawab:
Simpel sebenarnya, temukan dulu segmen dan isu apa yang mau ditampilkan.
setelah itu konsisten mi untuk suarakan terus.
5. Sosial media mana saja yang ditempati posting postingan?
Jawab:
saya lebih suka posting sosial media seperti instagram dan Tiktok ini karena
dua sosial media ini yang bisa cepat buat ngangkat yang saya posting.
6. Apakah ada targetan postingan per hari?
Jawab:
Kalau targetan tidak, minimal sehari ada postingan 1 saja.

102
7. kenapa harus sosial media?
Jawab:
Instagram tidak memandang usia, dai anak-anak, remaja, hingga orang tua
semua main. jadi peluang untuk didemgar lebih besar kalau pakai instagram
8. Selain melalui sosial media, apakah ada cara lain dalam meng influence orang
lain?
Jawab:
kalau ada undangan sebagai pembicara di acara diskusi, biasanya saya hadiri.
9. Segmen Usia follower ta kira-kira berapa?
Jawab:
20-30 tahun

103
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : Muh. Zhoel Ikram

Pekerjaan : Direktur Utama Travel Umrah

1. Apa definisi influencer menurut anda?


Jawab:
influencer itu bagi saya adalah orang yang bisa mempengaruhi orang lain,
entah itu dari gaya berpikir atau gaya hidup
2. siapa influencer nasional dan lokal yang anda ketahui?
Jawab:
Deddy Corbuzier dan Rijal Djamal.
3. Kenapa tertarik untuk menjadi influencer?
Jawab:
Influencer menjadi ketertarikanku karena saya bisa bersosialisasi dengan
banyak orang yang tidak saya kenal, saya bisa sampaikan pendapatku, dan bisa saling
berbagi inspirasi.
4. Bagaimana cara menjadi influencer?
Jawab:
Salah satu strategi saya dalam ngebuat orang trust sama apa yang saya
sampaikan adalah saya selalu posting permasalahan masyarakat yang lagi viral heheh.
5. Sosial media mana saja yang ditempati posting postingan?
Jawab:
sebenarnya setiap sosial media ini kan punya karakteristik dan segmen
pengguna sendiri. Kalau saya sendiri kalau posting konten atau info-info
penting pasti saya pakai instagram. Walaupun saya punya facebook, tetapi
karena follower saya lebih banyak pake instagram dan Youtube pasti saya
postingnya di Instagram dan Youtube.
6. Apakah ada targetan postingan per hari?
Jawab:
Tidak ada.
7. kenapa harus sosial media?
Jawab:
instagram ini semakin inovatif tapi lebih meniru Tiktok, apalagi dengan ada
fitur tambahannya yang Reels jadi follower saya nanti bisa lihat postingan

104
story saya yang sudah lama. Hal itu juga bisa bikin saya lebih banyak
mendapatkan follower.
8. Selain melalui sosial media, apakah ada cara lain dalam meng influence orang
lain?
Jawab:
tidak ada, tidak pernah ka saya pribadi buat kalau yang temu fans begitu kak.
Karena ribet pasti, belum lagi pasti harus keluar uang juga buat adakan yang begitu.
Tapi kalau ada yang undangkan buat review makanan atau produk jualan di
tempatnya, pasti saya infokan juga jadi kalau mau ketemu langsung sekalian disitu mi
saja.
9. Segmen Usia follower ta kira-kira berapa?
Jawab:
Usia 20-30 tahun.

105
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : Nabila Syadza

Pekerjaan :Mahasiswi

1. Apa definisi influencer menurut anda?


Jawab:
Menurutku influencer itu orang-orang yang memiliki ketertarikan pada isu-isu
tertentu yang kemudian dia kemas isu tersebut dan dia sampaikan ke orang
lain.
2. siapa influencer nasional dan lokal yang anda ketahui?
Jawab:
kalau influencer nasional menurutku itu kayak Sherina Munaf Sedangkan
untuk lokal Makassar menurutku belum ada. .
3. Kenapa tertarik untuk menjadi influencer?
Jawab:
sebenarnya saya belum bisa juga dikatakan sebagai influencer cuman baru
mau belajar ke tahap itu. Tapi alasanku tertarik menjadi influencer karena
saya tertarik dengan gerakan-gerakan sosial yang bermula di sosial media,
makanya saya berusaha untuk menyampaikan apa yang saya perjuangkan juga
di sosial media.
4. Bagaimana cara menjadi influencer?
Jawab:
banyak membaca.
5. Sosial media mana saja yang ditempati posting postingan?
Jawab:
Instagram
6. Apakah ada targetan postingan per hari?
Jawab:
tidak ada
7. kenapa harus sosial media?
Jawab:
Hari ini era digitalisasi, semua kemudian bermula dari sosial media. makanya
media paling ampuh menyampaikan informasi sekarang ada di sosial media.
8. Selain melalui sosial media, apakah ada cara lain dalam meng influence orang
lain?
Jawab:
Ikut diskusi dan seminar-seminar.

106
9. Segmen Usia follower ta kira-kira berapa?
Jawab:
18-30 tahun

107
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : Rijal Djamal

Pekerjaan :CEO BedaBaik

1. Apa definisi influencer menurut anda?


Jawab:
influencer itu orang yang memiliki seni dalam mempengaruhi
keputusan-keputusan orang lain.
2. siapa influencer nasional dan lokal yang anda ketahui?
Jawab:
Kalau skala nasional kebanyakan diisi sama kalangan selebriti seperti Reza
Arap dan Jovial Da Lopez. Kalau skala Makassar ini kebanyakan diisi oleh
artis lokal seperti Tumming Abu
3. Kenapa tertarik untuk menjadi influencer?
Jawab:
Karena dengan menjadi influencer, akan ada banyak masyarakat yang
mendapatkan informasi
4. Bagaimana cara menjadi influencer?
Jawab:
menjadi influencer itu harus punya dua skill, pertama punya pengetahuan luas,
dan kedua adalah memiliki skill mengolah isu menjadi postingan yang layak
tampil.
5. Sosial media mana saja yang ditempati posting postingan?
Jawab:
Instagram dan Tiktok
6. Apakah ada targetan postingan per hari?
Jawab:
Ada. minimal saya repost postingan yang saya di tag sama orang lain.
7. kenapa harus sosial media?
Jawab:
karena akses bersosial media sekarang lebih luas.
8. Selain melalui sosial media, apakah ada cara lain dalam meng influence orang
lain?
Jawab:
Harus rajin-rajin bersosialisasi dengan masyarakat luas agar mendapatkan
kepercayaan dari mereka.
9. Segmen Usia follower ta kira-kira berapa?

108
Jawab:
18-30 tahun

109
TRANSKRIP WAWANCARA
Nama : Deya Amalia

Pekerjaan :IRT

1. Apa definisi influencer menurut anda?


Jawab:
influencer adalah orang-orang yang memiliki ketertarikan mempengaruhi
orang lain dengan cara membuat postingan-postingan di sosial media.
2. siapa influencer nasional dan lokal yang anda ketahui?
Jawab:
Arif Muhammad dan Anggu Batari
3. Kenapa tertarik untuk menjadi influencer?
Jawab:
Karena menjadi influencer selain bisa memiliki jaringan yang luas juga karena
dapat menerima endorse produk
4. Bagaimana cara menjadi influencer?
Jawab:
harus banyak belajar dan membaca.
5. Sosial media mana saja yang ditempati posting postingan?
Jawab:
Instagram
6. Apakah ada targetan postingan per hari?
Jawab:
tidak ada
7. kenapa harus sosial media?
Jawab:
Karena ada banyak pengguna media sosial sekarang dan juga untuk
menyampaikan informasi ke orang lain tidak lagi ribet cukup di sosial media
saja.
8. Selain melalui sosial media, apakah ada cara lain dalam meng influence orang
lain?
Jawab:
kalau saya sih kebanyakan di sosial media saja
9. Segmen Usia follower ta kira-kira berapa?
Jawab:
25-35 tahun

110
111
112
113
Curriculum Vitae

A. DATA PRIBADI
Nama Lengkap : Astri Alfi Khoiri
Tempat/Tanggal Lahir : gowa, 13 Maret 1998
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Warga Negara :Indonesia
Tinggi/Berat Badan : 155 cm / 46 kg
Alamat Sekarang : Jl. Urip sumoharjo no.59
No. Telepon : 081244151511
E-mail : alviastri9@gmail.com
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Jurusan/Semester :Sosiologi/X
Jumlah SKS :146 SKS
IPK Terakhir : 3.55

B. RIWAYAT PENDIDIKAN
2003-2004 : TK Qalbin Salim
2004-2010 : SD Panton Bayu
2010-2013 : SMP Negeri 1 Pallangga
2013-2016 :SMA Negeri 1 Sungguminasa
2016-2021 : Universitas Hasanuddin

C. RIWAYAT ORGANISASI

2017-2019 - Anggota Divisi Dana dan Usaha Pencak Silat Panca Suci Fisip
Unhas

Demikian demikian daftar riwayat hidup Curriculum Vitae dibuat sebenar-benarnya


tanpa adanya unsur paksaan dan tekanan dari pihak manapun. Yang bertanda tangan dibawah

114
ini merupakan penulis skripsi. Untuk hal-hal yang lain, dapat menghubungi langsung pihak
penulis. Sekian

Makassar, 11 Januari 2022


Hormat saya,

Astri Alfi Khoiri

115

Anda mungkin juga menyukai