Anda di halaman 1dari 8

SISTEM KEPERCAYAAN DAN HASIL BUDAYA

PERADABAN TIONGKOK KUNO

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:

KELAS: X IPS-1

KELOMPOK 5-B

PENYUSUN:
Maria Simamora (23)
Rafael Mindo Passamotan Gurning (29)

SMA RK BUDI MULIA PEMATANGSIANTAR


TP 2022/2023
BAB I
PEMBAHASAN

1. SISTEM KEPERCAYAAN DAN RELIGI

Bangsa Tiongkok kuno diketahui memiliki sistem religi yang di dalamnya tercakup sistem
kepercayaan, sistem nilai dan juga pandangan hidup bagi bangsa ini. Dalam hal kepercayaan,
bangsa Tiongkok kuno mempercayai bahwa alam semesta ini dikuasai oleh para Dewa Dewi
yang masing-masing memegang peranan yang berbeda dalam menjaga keseimbangan alam
semesta.
Di antara Dewa Dewi yang diimani bangsa Tiongkok kuno adalah Feng Pa atau Dewa angin,
Lei Shih atau dewa angin topan yang digambarkan sebagai naga besar, Ti Shan yaitu dewa
penguasa bukit suci, dan juga Ho Po atau Dewa penguasa sungai Huang Ho. Karena banyaknya
jumlah dewa yang diyakini serta dipuja tersebut, maka dapat di katakan bahwa bangsa Tiongkok
kuno dapat diklasifikasikan sebagai penganut paham politeisme, yaitu yang mempercayai banyak
Tuhan. 
Adapun manifestasi dari keimanan mereka terhadap dewa-dewa alam tersebut adalah dengan
dilakukannya berbagai ritual pemujaan, mulai dari ritual persembahan berupa sesajian hasil bumi,
hingga ritual ekstrem yang berupa sesaji yang mana manusia yang dikorbankan untuk
persembahan kepada dewa tertentu. Adapun falsafah atau pandangan hidup bangsa Tiongkok
kuno secara garis besar adalah berorientasi pada Tao (jalan), Te (keutamaan), Yen
(perikemanusiaan), i (keadilan), Tien (surga) serta dua prinsip induk bangsa Tiongkok yaitu Yin-
yang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mereka juga percaya akan adanya kehidupan di alam baka.
Hal ini dibuktikan dengan temuan makam perempuan yang bernama Fu Hao di situs Anyang. Fu
Hao diperkirakan berasal dari kalangan bangsawan yang hidup pada masa Dinasti Shang. Di
dalam makamnya ditemukan banyak sekali perhiasan, berlapis-lapis kain sutra, makanan yang
diawetkan, dan beberapa jenazah perempuan dan penjaga dan pelayan yang akan bertugas
menjaga dan melayani Fu Hao di alam baka.
Pada masa Dinasti Qin, manusia tidak lagi disertakan dalam makam kaisarnya, tetapi diganti
dengan patung manusia yang berpakaian prajurit, seperti yang ditemukan pada makam Shi Huang
Ti Xi’An. Kepercayaan yang dianut pada masa Tiongkok Kuno adalah kepercayaan pada
kekuatan alam yang disebut dengan yin dan yang. Yin adalah lambang kelemahan, sedangkan
Yang adalah lambang kekuatan; kedua kekuatan ini harus selalu dalam keadaan yang seimbang
dalam rangka mewujudkan keharmonisan dan kelestarian dunia.

Kepercayaan serta pandangan hidup bangsa Tiongkok kuno pada dasarnya memiliki
kesamaan dengan kepercayaan serta pandangan hidup bangsa Tiongkok masa kini. Hanya saja,
bangsa Tiongkok hari ini sudah mengolaborasikan nilai-nilai yang terkandung dalam
kepercayaan dan pandangan hidup nenek moyangnya dengan rasio, yang belakangan ini memang
menjadi hal yang dapat dibilang harus dan mesti untuk dilakukan. Mengingat fase ini adalah
zaman yang begitu mengedepankan rasionalitas umat manusia, hampir dalam segala hal, pun juga
dalam aspek religi atau kepercayaan manusia.

2. HASIL-HASIL BUDAYA DAN PERADABAN TIONGKOK KUNO

2.1 FILSAFAT

Filsafat Tiongkok merepresentasikan alur tradisi intelektual dan budaya Cina yang telah
dimulai semenjak awal dicatatnya sejarah mereka hingga masa kini. Bahasan utama filsafat
Tiongkok sangat dipengaruhi atau didasari berbagai ide yang digagas banyak tokohnya seperti
Lao-Tzu, Confucius, Mencius, dan Mo Ti, yang semuanya hidup pada masa paruh kedua dari
Dinasti Zhou (abad ke-8 hingga ke-3 SM). Bisa dikatakan bahwa keseluruhan budaya Cina juga
turut terbentuk, atau dibentuk , berdasarkan pengaruh dari para pemimpin intelektual ini.

Aliran Filsafat Utama


Gompalnya tatanan sosial pada masa itu juga mendorong munculnya bermacam ragam
rangkaian ide atau pemikiran manakala para pemikir Tiongkok berusaha menjawab atau
menjelaskan tantangan sosial yang dialami masyarakatnya. Saking membludaknya rencahan
pemikiran tersebut, sampai-sampai beberapa cendekia lampau menyebut masa ini dengan julukan
“Seratus Aliran” filsafat. Sima Tan, sang Empu Astrologi pada masa pemerintahan Han yang
hidup sekitar 165-110 SM, menulis ringkasan yang menggolongkan aliran pemikiran utama di
Tiongkok kuno. Yang perlu diingat adalah daftarnya baru menyatakan sebagian dari aliran
pemikiran yang saat itu aktif di masa Tiongkok kuno.

Aliran Yin & Yang (Yin-Yang jia)


Juga sering disebut Aliran Naturalis, aliran Yin dan Yang mengambil nama dari prinsip
Yin-Yang yang menurut tradisi Cina diyakini sebagai dua prinsip dasar dalam kosmologi
mereka: Yin, menyatakan sifat betina, dan Yang, jantan. Bagi masyarakat Cina, kombinasi dan
interaksi dari dikotomi ini dipercaya melahirkan segenap fenomena semesta.
Bisa jadi aliran ini mungkin bersumber dari para pejabat pemerintahan yang
mempraktikkan seni okultisme. Beberapa bentuk praktik gaib ini termasuk astrologi, per nujuman
dan sihir. Semua rumah-tangga atau kediaman aristokrat bertumpu pada layanan pejabat yang
dilatih khusus menguasai beberapa bentuk seni tersebut, termasuk para penguasa yang sering
meminta konsultasi jasa mereka.

Konfusianisme (Ru jia)


Juga sering disebut dengan nama Aliran Cendekia atau Terpelajar (Literati),
Konfusianisme pada awalnya disusun sebagai seperangkat doktrin moral dan politis dengan
berlandaskan pada ajaran Konfusius (sebagian masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai
“Kong Hu Cu atau Konghucu” - penerjemah). Pada perkembangannya, ajaran filsuf Meng Zi
(Mencius) dan Xunzi (Xun zi) juga menjadi bagian dari aliran ini. Titik berat humanisme dalam
filsafat Tiongkok sebagian besar berhutang pada besarnya pengaruh Konfusianisme. Pada
sebagian besar masa sejarah Cina, Konfusianisme juga dianggap sebagai penjaga nilai-nilai
tradisi Cina dan karenanya, sebagai wali (Guardian) dari kebudayaan Cina itu sendiri.
Diyakini bahwa aliran ini berasal dari para pejabat pemerintahan yang berfokus pada
pengajaran (tradisi) klasik serta pelaksanaan upacara dan musik tradisional. Setelah susah payah
berkutat selama masa Dinasti Qin (221-206 SM), Konfusianisme muncul sebagai pemenang
mutlak dan permanen di sepanjang dinasti berikutnya, Han (206 SM – 220 M). Tersebab
dukungan dan lindungan dari penguasa Dinasti ini Konfusianisme bakal mendominasi pemikiran
Tiongkok selamanya.

Aliran Mohis (Mo jia)


Tokoh utama dari aliran ini adalah Mo Ti (Mozi, Mo Tsu atau Mo Di) dan sekaligus
menjadi penentang (oposan) pertama dari Konfusius. Para pengikut aliran ini ditata dalam
organisasi yang memiliki ikatan erat dan menerapkan norma disiplin yang ketat. Kontras antara
Konfusius dan Mo Ti merupakan salah satu hal yang paling menarik dalam filsafat Tiongkok.
Konfusius dikenal menaruh rasa hormat yang tinggi pada wujud tradisi (seperti institusi, ritual,
musik dan sastra) dari jaman sebelum Dinasti Zhou serta mencoba merasionalkan dan
membenarkan tradisi tersebut dalam pemaknaan etika. Mo Ti, sebaliknya, justru
mempertanyakan keabsahan dan kegunaan tradisi tersebut, bahkan tidak segan menggagas nilai
tandingan yang lebih sederhana namun, menurut hematnya, jauh lebih berguna. Karenanya,
Konfusius sering dilihat sebagai penjaga, pemikul (yang merasionalkan) dan pembela tradisi
lama, sementara Mo Ti adalah kritikus tradisi tersebut.
Kalangan spesialis militer yang aktif bertugas pada masa pemerintahan feodal Dinasti
Zhou diyakini sebagai asal dari aliran ini. Disiplin ketat yang dipraktikkan para Mohis dan fakta
bahwa pemimpinnya sering memiliki kuasa atas nyawa anggota aliran ini, bisa jadi merupakan
peninggalan (relik) dari biang militer aliran ini. Seiring para tuan-tanah feodal kehilangan
lahan/wilayah, banyak tentara juga kehilangan pekerjaan dan menjadi serdadu-kelana. Karena
para serdadu ini biasanya direkrut dari kalangan jelata, tipikal nilai ajaran Konfusianisme (ritual
dan musik) menjadi kurang bermakna bagi mereka. Kondisi ini mungkin juga bisa membantu
menjelaskan perilaku negatif yang sering dilontarkan atau dirasakan golongan Mohis terhadap
nilai-nilai Konfusianisme.

Aliran Asma (Ming jia)


Terkadang diacu sebagai “para bijak (sophists)” atau “logika wan”, aliran ini memusatkan
perhatian pada relasi antara Ming (nama atau atribut) dan shi (aktualita), atau mirip dengan
hubungan subjek dan predikat. Para anggotanya dikenal sangat solak menuntun diskusi apa pun
menuju problematikkah paradoks. Mereka juga sangat tanggap berdebat-kusir dengan orang lain,
dan seringnya sengaja membenarkan apa yang disangkal orang lain atau menyangkal yang
dibenarkan orang lain.
Agak susah untuk mengenali asal usul aliran ini, pun cenderung sukar membedakannya
dengan aliran filsafat lain: jejak pemikiran aliran Asma kurang berpengaruh dalam sejarah Cina
dan opini dari berbagai anggotanya juga tidak menyatakan satu landas-pikir yang homogen.
Beberapa pakar meyakini bahwa aliran ini berasal dari para 'ahli debat' yaitu para pejabat
pemerintahan yang mumpuni dalam berseni wicara.

Aliran Legalis (Fa jia)


Kata fa bermakna rumusan atau hukum. Aliran ini karenanya mengkhususkan diri
membahas apa yang harus dilakukan dan bagaimana masyarakat sepatutnya atau tidak sepatutnya
bertindak untuk menjamin kemakmuran negara. Karena aliran ini sama sekali mengabaikan
pertimbangan moral dan keberadaannya kadang dianggap sebagai tentangan atas pemikiran
Konfusius yang sangat peduli akan nilai-nilai moral. Dari sudut pandang aliran Legalis, institusi
moral bukan pedoman yang baik bagi masyarakat serta pemerintahan yang baik sudah sepatutnya
dan sepenuhnya berlandaskan kemutlakkan undang-undang beserta pelaksanaannya.
Sepanjang masa Dinasti Qin (221-206 SM), aliran ini ditetapkan sebagai dasar kebijakan
resmi kerajaan dan mencapai puncak ketenarannya. Nama baik aliran Legalis banyak tercemari
akibat seringnya sejarawan Cina pada masa sesudahnya menyandangkan reputasi buruk pada para
penguasa Qin, termasuk tuduhan beragam aksi kebrutalan yang dilakukan penguasa Dinasti ini.
Sebelum Dinasti Zhou beranjak luruh, masyarakat feodal memberlakukan dua jenis
undang-undang atau tata-laku pada saat itu: hukum kepatutan tak tertulis yang mengatur perilaku
kaum aristokrat dan aturan pidana yang mengatur kaum jelata. Aturan pidana atau hukuman ini
digunakan para penguasa untuk menjamin kepatuhan rakyatnya. Karenanya, aliran Legalis
banyak diyakini berasal dari para pejabat pemerintahan yang bertanggung jawab mengatur atau
mengelola hukum atau tata-laku tersebut.
TAOISME (juga Daoisme atau Dao jia)
Seiring runtuhnya Dinasti Zhou, muncul satu pihak yang berubah skeptis terhadap
kemampuan para penguasa dan masyarakat sendiri dalam mengatasi kekalutan yang makin
menjadi, terlebih lagi mengembalikan ketenteraman. Keraguan ini mendorong mereka
membanting haluan menjadi pertapa dan pemencil yang sengaja mundur dari masyarakat dan
menjalani hidup sederhana dalam kesendirian mereka. Beberapa pakar meyakini bahwa efek
samping dari perilaku pemencilan inilah yang menyumbang perkembangan Taoisme. Aliran
tersebut banyak menentang ide-ide Konfusius melalui gagasan yang berfokus pada kehidupan
individu berbanding kewajiban bermasyarakat serta kerohanian berbanding duniawi. Pada
kenyataannya, banyak teks Konfusianisme sendiri yang mencatatkan beragam episode manakala
para pemencil ini bakal mengejek Konfusius dan kesia-siaan upayanya (dari sudut pandang para
pertapa tersebut tentunya) untuk memperbaiki masyarakat. Jalan hidup aliran Tao berpedoman
pada kesederhanaan, spontanitas, serta non-aksi atau kenihilan tindakan (dalam arti, membiarkan
alam bekerja dengan sendirinya).
Filsafat Taoisme berpusat pada konsep yang susah didefinisikan yaitu Tao (Dao) atau
Jalan. Wing-tsit Chan menjelaskannya sebagai “sang Eka, yang alami, abadi, spontan, tak-
berasma dan tak-terperikan”.
Karya paling utama dari tradisi ini adalah Laozi (Lao Tzu) atau Daodejing (Tao Te
Ching) dan terkadang diterjemahkan sebagai Klasika Jalan dan Kemumpunian (Classic of the
Way and of Virtue). Tradisi Taois memberikan kredit penciptaan naskah ini kepada Lao Tzu,
figur seangkatan namun lebih tua dari Konfusius, akan tetapi banyak pakar pada masa kini yang
lebih meyakini bahwa karya tersebut merupakan kolaborasi dari banyak pengarang.

2.2 TEKNOLOGI
Hasil budaya bangsa Tionghoa yang banyak membawa pengaruh besar bagi bangsa-bangsa
di dunia, antara lain sebagai berikut.
1. Penggunaan kertas, tinta, dan mesin cetak telah berkembang pada zaman pemerintahan
Kaisar Han Wu Di dari Dinasti Han. Hasil kesusastraan Tiongkok maju dengan pesat pada masa
ini, huruf-huruf tulisan Tiongkok yang berbentuk gambar (piktografi) telah menjadi dasar dari
tulisan yang digunakan di Jepang dan Korea. Pembuatan mesin cetak bahkan telah mendahului
temuan mesin yang sama oleh Johan Guttenberg pada tahun 1457.
2.Penggunaan pupuk dalam pertanian dan pengolahan industri tanaman kedelai (kecap, tahu,
taoge dan lain-lain), tebu menjadi gula dan cara penggilingannya banyak ditiru oleh bangsa-
bangsa lain.
3.Meramu obat-obatan untuk berbagai jenis penyakit dari bahan yang berasal dari tanaman
(herbal) masih dapat kita temukan sampai sekarang. Selain itu, cara pengobatan alternatif dengan
tusukan jarum, seperti akupunktur dan pijatan, juga masih dipraktikkan hingga kini.
4. Wilayah Tiongkok kaya akan barang tambang, seperti besi, emas, dan tembaga, sehingga
mereka memiliki kemampuan dalam mengolah hasil tambang dengan menerapkan teknologi
pengolahan logam. Hasil olahan ini kemudian dipasarkan oleh para pedagang Tionghoa jauh
dari tempat asalnya.
5.Dalam seni bangunan, bangsa Tionghoa juga sangat maju. Hal ini dibuktikan dengan
adanya bangunan Tembok Besar Tiongkok dan kuil-kuil. Salah satu kuil yang terkenal adalah
kuil dewa Beijing, yang bagian dalamnya terbuat dari batu pualam.
6.Pengetahuan astronomi juga berkembang pesat di Tiongkok karena ilmu ini menunjang
aktivitas kehidupan mereka sehari- hari. Masyarakat Tionghoa mengenali empat masa pergantian
musim sehingga pengetahuan tentang masa-masa pergantian musim melalui penanggalan menjadi
penting, terutama dalam kegiatan pertanian dan pelayaran. Astronomi kemudian berkembang
menjadi astrologi yang banyak digunakan untuk ramalan-ramalan yang terkait dengan kehidupan
manusia.
7.Bangsa Tionghoa juga mengembangkan gastronomi, yaitu ilmu memasak makanan.
Komposisi bumbunya yang sederhana dan rasanya yang enak membuat masakan Tiongkok
sangat terkenal di mana-mana hingga sekarang. Makanan Indonesia yang dipengaruhi oleh
kuliner Tiongkok antara lain siomai, kwetiau, dan mi ayam.
8. Peradaban Tiongkok memperkenalkan kita pada ilmu bela diri, seperti kung fu. Bela diri
berkembang saat dimulainya kegiatan perdagangan melalui Jalur Sutra. Selain penting bagi para
pedagang untuk melindungi diri dan barang dagangan mereka dari perampokan atau serangan
dari bangsa lain, seni bela diri juga dimaksudkan untuk melindungi pemerintahan yang sedang
berkuasa.
9. Komoditas terkenal dari Tiongkok adalah kain sutra, yang mulai dikenal pada masa
kekuasaan Shi Huang Ti dari Dinasti Qin.
10. Seni lukis dan keramik Tiongkok banyak digemari sampai sekarang. Seni lukisnya lebih
banyak bersifat dekoratif dan memiliki corak yang khusus dan menggunakan warna-warna yang
tajam. Seni keramik Tiongkok berkembang dengan pesat pada zaman Dinasti Ming, dengan
menggunakan teknik glasir yang halus dan hiasan warna-warna yang menarik. Keramik
Tiongkok banyak ditemukan di Indonesia, salah satunya di Desa Lobu Tua, Kota Barus,
Kabupaten Tapanuli Utara. Sumatra Utara. Hal tersebut menandakan dalam tersebut telah
berhubungan dagang dengan daerah di Tiongkok bagian selatan. Di daerah ini banyak ditemukan
tungku-tungku dari Yue (wilayah Zhejiang), keramik berbahan batuan, dan porselen dari
Guangdong dan Jiangxi. Keramik-keramik ini diperkirakan dari abad ke-9 hingga abad ke-11.
BAB II
KESIMPULAN
Bangsa Tiongkok kuno diketahui memiliki sistem religi yang di dalamnya tercakup
sistem kepercayaan, sistem nilai dan juga pandangan hidup bagi bangsa ini. Dalam hal
kepercayaan, bangsa Tiongkok kuno mempercayai bahwa alam semesta ini dikuasai oleh para
Dewa Dewi yang masing-masing memegang peranan yang berbeda dalam menjaga
keseimbangan alam semesta. 
Adapun manifestasi dari keimanan mereka terhadap dewa alam tersebut adalah dengan
dilakukannya berbagai ritual pemujaan, mulai dari ritual persembahan berupa sesajian hasil bumi,
hingga ritual ekstrem yang berupa sesaji yang mana manusia yang dikorbankan untuk
persembahan kepada dewa tertentu. Kepercayaan serta pandangan hidup bangsa Tiongkok kuno
pada dasarnya memiliki kesamaan dengan kepercayaan serta pandangan hidup bangsa Tiongkok
masa kini. Hanya saja, bangsa Tiongkok hari ini sudah mengolaborasikan nilai-nilai yang
terkandung dalam kepercayaan dan pandangan hidup nenek moyangnya dengan rasio, yang
belakangan ini memang menjadi hal yang dapat dibilang harus dan mesti untuk dilakukan.
Filsafat Tiongkok merepresentasikan alur tradisi intelektual dan budaya Cina yang telah
dimulai semenjak awal dicatatnya sejarah mereka hingga masa kini. Bahasan utama filsafat
Tiongkok sangat dipengaruhi atau didasari berbagai ide yang digagas banyak tokohnya seperti
Lao-Tzu, Confucius, Mencius, and Mo Ti, yang semuanya hidup pada masa paruh kedua dari
dinasti Zhou (abad ke-8 hingga ke-3 SM). Bisa dikatakan bahwa keseluruhan budaya Cina juga
turut terbentuk, atau dibentuk , berdasarkan pengaruh dari para pemimpin intelektual ini.
Sehingga peradaban Tiongkok Kuno merupakan peradaban yang sangat maju.

Anda mungkin juga menyukai