1000 kelahiran, namun lima tahun kemudian tepatnya 1995 terjadi penurunan hingga 66 for
every 1000 kelahiran. AKB mengalami penurunan tajam pada periode tahun 1997 yaitu menjadi
50 bayi per 1000 kelahiran dan penurunan yang signifikan tercapai pada tahun 2003 yaitu
menjadi 35 bayi per 1000 kelahiran. AKB pada periode 2003 - 2007 relatif stagnan di kisaran 34
for every 1000 kelahiran. AKB di Indonesia ini masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan
negara anggota ASEAN, yaitu 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia, 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina
dan 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand (Departemen Kesehatan RI 2008).
Angka kematian bayi (AKB) di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan yang sangat tajam.
AKB pada tahun 1971 dari 161 menjadi 55 for every 1000 kelahiran pada tahun 1996, lalu turun
lagi menjadi 52 pada tahun 1998, dan pada tahun 2003 menjadi 48. AKB 2005 sebesar 36 for
every 1.000 kelahiran hidup, dan pada 2007 menunjukkan angka 41 for each 1.000 kelahiran
hidup.
Fluktuasi ini dapat terjadi karena perbedaan besar sampel yang diteliti. AKB tahun 2007 ini
berbeda dengan information proyeksi yang dikeluarkan oleh Depkes RI bahwa AKB di Sulsel
pada tahun 2007 sebesar 27,52 for every kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan,
2009).
Penyebab kematian bayi digolongkan berdasarkan usia yaitu penyebab kematian bayi usia 0 - 7
hari dan kematian bayi usia 7 - 28 hari. Penyebab utama kematian bayi usia 0 - 7 hari adalah
gangguan pernapasan (35,9%) dan prematur (32,4%). Penyebab utama kematian bayi usia 7 -
28 yaitu sepsis neonatorum (20,5%) dan malformasi kongenital(18,1%) (Riset Kesehatan Dasar,
2007).
Kelahiran bayi prematur dan berat badan lahir rendah (BBLR) di Indonesia masih tergolong
tinggi. Kelahiran bayi prematur selalu diikuti dengan BBLR. Prevalensi bayi prematur di
Indonesia masih tergolong tinggi yaitu 7 - 14%, bahkan di beberapa kabupaten mencapai 16%.
Prevalensi ini lebih besar dari beberapa negara berkembang yaitu 5 - 9% dan 12 - 13% di USA.
Prevalensi nasional BBLR 11,5%. Sebanyak 16 propinsi mempunyai prevalensi BBLR di atas
prevalensi nasional yaitu Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jawa Barat, DI Yogyakarta,
Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan
Papua (Bowden, 1998; Hockenberry, 2007; Pilliteri, 2003; Riset Kesehatan Dasar, 2007).
Hasil studi komposisi baik pada manusia dan bukan manusia memperkirakan kebutuhan
protein janin sekitar 440 g dan kebutuhan protein plasenta sebesar 100 g selama
kehamilan.
Serta studi komposisi lain memperkirakan kebutuhan nitrogen pada janin berkisar 50
hingga 60 g selama jangka waktu kehamilan