Anda di halaman 1dari 138

UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI


SALAH SATU BENTUK PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF
(RESTORATIVE JUSTICE)

SKRIPSI

RIANI ATIKA NANDA LUBIS


0706278651

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
DEPOK
JULI 2011

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


UNIVERSITAS INDONESIA

PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI


SALAH SATU BENTUK PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF
(RESTORATIVE JUSTICE)

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

RIANI ATIKA NANDA LUBIS


0706278651

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
DEPOK
JULI 2011

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


TIALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini arhlah hasil karya sayasendirio

dan semuesumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan bener.

Nama Riani Atika Nanda Lubis

I\[PM o7062?8651

TandaTangan

Tanggal 2 Juli 20I l

-tl
I

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


HALAMAN PEI\GESAHAN

Skripsiini diajukanoleh :
Nama Riani Atika Nanda Lubis
'0706278651
NPM
Program Studi Ilmu Hukum
Judul PengembalianAset Hasil Tindak PidanaKorupsi sebagaiSalahSatu
Bentuk PenerapanKeadilan Restoratif (RestorativeJustice)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(SH) pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

,4-/,
DEWAN PENGUJI

Pembimbing Dr. EvaAchjani Zulfa, S.H,M.H

Pembimbing TheodoraYuni ShahPutri, S.H, M.H

Penguji Dr. SurastiniFitriasih, S.H, M.H

Penguji Akhiar Salmi,S.H,M.H

F A'?/
(
n . , . "" ? f i ) ' "-
Penguji GandjarLaksmana,S.H, M.H A I lwuvl-
YY' '
)

Ditetapkandi : Depok
Tanggal :2Juli2011

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011 tlV


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan
berkah dan hidayah-Nya mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengembalian Aset Hasil
Tindak Pidana Korupsi Sebagai Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)”
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Dengan selesainya skripsi ini, Penulis berharap bahwa nilai-nilai dari
skripsi ini dapat memperkaya khasanah ilmu dan pembangunan hukum di Indonesia. Penulis
juga berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi Negara Indonesia dan Agama.
Terselesaikannya skripsi ini, tidak terlepas dari doa, bantuan dan semangat dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua Penulis yang tercinta, Syahrizal Lubis dan Maharani Nasution yang
senantiasa mendukung, mendoakan, dan luar biasa telah mendidik serta membesarkan
Penulis. Terimakasih banyak untuk Mama dan Ayah atas segala pengorbanannya,
Nothing I can pay for your love and sacrifice, but making you proud. Tidak lupa juga
terimakasih untuk abang dan kakak Penulis, Ichsan Halwan Lubis (beserta keluarga, kak
Astari dan keponakanku tersayang Arkasatya Fauzan Lubis) dan Ade Amalia Lubis yang
selalu mendukung dan membimbing Penulis.
2. Alm. Bapak Dr. Rudy Satrio S.H, M.H selaku Ketua PK 2, yang telah menjadi inspirasi
dan idola Penulis untuk menekuni Hukum Pidana, dan dengan luar biasa telah
memberikan ilmunya juga memberi dukungan penuh dalam penulisan skripsi ini. Bapak
yang dengan sukarela meminta saya menjadi mahasiswa bimbingannya, meskipun dalam
keadaan sakit keras. Saya tidak dapat membalas apapun kecuali memanfaatkan ilmu yang
saya dapat dari Bapak dan doa yang selalu saya panjatkan demi ketenangan Bapak di
akhirat. Saya yakin Allah SWT memberikan tempat terbaik untuk umatnya yang baik
pula.
3. Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa S.H, M.H selaku Pembimbing I dan Ibu Theodora Yuni Shah
Putri, S.H, M.H selaku Pembimbing II yang telah bersedia, yang telah dengan sabar dan
teliti membantu saya dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak mbak telah
benar-benar membimbing saya dan terimakasih banyak atas bantuannya dalam
mendapatkan materi dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat terkesan selama menjadi

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


mahasiswa bimbingan mbak-mbak karena benar-benar merasa diperhatikan dan
dibimbing. Semoga Mbak Eva dan Mbak Theo selalu diberkahi oleh Allah SWT atas
segala yang sedang dikerjakan.
4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar PK 2 yang telah memberikan ilmunya kepada Penulis
selama ini yaitu Ibu Koesriani, Bapak Akhiar Salmi, S.H, M.H, Bapak Gandjar
Laksmana, S.H, M.H, Bapak dr. Handoko, Sp.F, Bapak Fachri Bey, Dr. Surastini, S.H,
M.H, Ibu Nathalina, S.H, M.H, Dr. Topo Santoso, S.H, M.H, Bapak (Alm) Arif Gosita,
Dr. Ignatius Sriyanto, S.H, M.H, Ibu Mariam, Bapak Sontan, Juga penulis sampaikan
kepada Ibu Eha yang selalu membantu dalam penyampaian pesan kepada dosen-dosen.
5. Ibu Neng Djubaedah, selaku Pembimbing Akademis Penulis yang selama empat tahun
menjadi orang tua penulis di kampus. Terima kasih atas bimbingan Ibu selama ini.
Akhirnya saya bisa juga struggle di PK 2 dan lulus empat tahun, Bu.
6. Sahabat-sahabat terdekat dan “satu tongkrongan mizan” Penulis di Fakultas Hukum UI,
Ardyan Winansyah Pulungan, Bagus Satrio Lestanto, Bayu Aji Saputro, Candra Adiguna
Sinaga, Durma Jaya, Fajar Nurrahman Hartanto, Fernandez Libert Sillalahi, Hanifan
Ahda Tarmizi, Muhammad Gerry Adlan, Raissa Almira Pradipta, Ramadyani Prabawitri,
Randi Ikhlas Sardoni, Rizki Hendarmin, Syarifa Aya Savirra. Terimakasih atas segala
dukungan dan doanya, kita pernah susah bersama-sama kawan, semoga esok kita bisa
bersama-sama memetik hasilnya. Pokoknya arisan kita harus jalan lagi, dan amigos para
siempre!! Juga kepada sahabat-sahabat penulis Anindita Dea, Aderina, Adhiningtyas
Sahasrakirana, dan Maria Kresensia.
7. Terimakasih kepada badan-badan otonom dimana Penulis bernanung dan berkarya, yaitu
Asia Law Students’ Association (ALSA) Always Be One!! dan Badan Eksekutif
Mahasiswa (BEM). Special thanks to Dept. Pengembangan Karier BEM FHUI 2009,
Sasa, Rantie, Oji, Dea, Seto, Rantie, Fadhil, Deane, Reza, dkk yang kompak dan setia
kawan.
8. Terimakasih kepada Sahabat-sahabat Penulis semenjak duduk di SMAN 28 Jakarta,
kepada Putri Avicenna, S.E, Putri Rivani, S.Psi, Nandya Titania, S.Ked, Laras
Febriany,S.E, Rezaldi, Renaldy, S.T, Hakim Agung, S.T, Raden Umar, Omar Syarif, S.H,
Adhika “Bobop” Paramartha, S.H, Angela, S.E. Terimakasih atas dukungan dan doa nya
kawan-kawan, thanks for being a great companion in ups and downs, friends..

vi

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


9. Terimakasih kepada partners on crime, sahabat-sahabat PK 2, Muhammad Audrian,
Mutia Harwati, Tantyo Prabowo, Grace Angelia, Fitro Muniro dan Anugerah Rizki,
sesama warga binaan Mbak Eva yang tetap solid dan struggle menekuni hukum pidana.
Terimakasih atas segala sharing ilmunya, dukungan penuh dan doanya. Walaupun kita
hanya bertujuh di angkatan 2007 ini, semoga kita bisa menerapkan dan memanfaatkan
hukum pidana nantinya.
10. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang penulis dalam penyusunan skripsi
ini, yaitu Anindita Rarasati, Diptanala Dimitri, Arub Charisma, Sheila Ramadhani, Audy
“kiting” Miranti, Lulu Latifa, Yulianti, M. Megah, Heri Herdiansyah, Ridha Aditya, Puri
Paskatya, Agantaranansa, Bang Ega Windratno, Mbak Namira Ali Umar dan teman-
teman Fakultas Hukum lainnnya. Go Fight Win Yes!
11. Kepada abang dan mbak senior Fakultas Hukum UI yang selama ini telah membantu dan
membimbing Penulis menjalani masa kuliah, juga kepada adik-adik junior Fakultas
Hukum UI atas dukungannya.
12. Kepada Bapak Selam Birpen, yang selalu membantu dalam hal surat-menyurat dan
perizinan; Pak Kodir, dkk selaku petugas keamanan parkiran belakang yang senantiasa
memberi semangat setiap pagi dan doanya selalu; dan Ibu Sri, dkk selaku staf pegawai
perpustakaan yang sangat membantu Penulis dalam mengakses literatur; juga kepada
Pakde Barel yang setia membantu dalam masalah percetakan.
13. Serta semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari skripsi yang penulis buat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
selalu menerima segala kritik dan saran yang membangun bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Depok, 2 Juli 2011

Riani Atika Nanda Lubis

vii

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


HALAMAN PER}IYATAAN PERSETUJUANPUBLIKASI
TUGAS AKHIR TJNTUKKEPENTINGAN AKAI}EMIS

SebagaisivitasakademikUniversitasIndonesia,sayayangbertandatangandi
bawahini:

Nama : Riani Atika NandaLubis


NPM :0746278651
ProgramStudi : IImu Hukum
Fakultas :Hukum
JenisKarya : Skripsi

Demi pengembanganilmu pengetahuan,menyetujui untuk memberikankepada


UnivesitasIndonesiaHak BebasRoyalti Nonekslusif(Non-exclusiveRoyalty-Free
Right)ataskaryailmiah sayayangberjudul:
PengembalianAset Hasil Tindak Pidana Korupsi SebagaiSalah Satu Penerapan
Keadilan Restoratif (RestorufiveJustice\

DenganHak BebasRoyaltiNonekslusifini UniversitasIndonesiaberhakmenyimparq


mengalihmedia/format-kan,
mengeloladalam bentuk pangkalan data (dntabase),
merawat, dan memublikasikantugas akhir saya selamatetap mencantumkannama
sayasebagaipenulis/pencipta
dansebagaipemilik Hak Cipta.

Demikianpemyataanini sayabuatdengansebenarnya.
Dibuatdi :Depok
Padatanggal: 2 luli 201I

lx

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


ABSTRAK

Nama : Riani Atika Nanda Lubis


Program Studi : Ilmu Hukum
Judul : Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Sebagai Salah Satu
Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)

Skripsi ini membahas mengenai keterkaitan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dengan konsep keadilan restoratif. Untuk itu, dalam pembahasan skripsi ini
akan dijelaskan mengenai dasar pemikiran dan dasar hukum dari pengembalian aset
hasil tindak pidana di Indonesia, Britania Raya dan Thailand. Usaha Indonesia dalam
upaya pengembalian aset ini pun tidak hanya dengan instrumen nasional seperti
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi juga menggunakan instrumen-
instrumen internasional seperti United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dan
Bantuan Hukum Timbal Balik. Pendekatan keadilan restoratif sebagai salah satu
tujuan dari pemidanaan merupakan pemikiran yang tepat diterapkan dalam proses
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi karena dasar pemikiran dalam konsep
ini sejalan dan tujuan dari keadilan restoratif dan pengembalian aset pun sejalan dan
harmonis. Indonesia sebagai negara berkembang yang masih pelik dengan masalah
penindakan hukum atas tindak pidana korupsi memerlukan gagasan dan pemikiran
mengenai upaya pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi.

Kata Kunci:
Korupsi, Pengembalian Aset, Keadilan Restoratif

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


ABSTRACT

Name : Riani Atika Nanda Lubis


Study Program: Law
Title : Stolen Asset Recovery on Proceeds of Corruption Offense as One of
Application of Restorative Justice

This thesis discussed about the relation of stolen asset recovery on proceeds of
corruption offense with the concept of restorative justice. So that, the discussion
chapters of this thesis explained about the premises and legal basis of stolen asset
recovery on the proceeds of corruption offense in Indonesia, the United Kingdom and
Thailand. Indonesia’s effort in an endeavor to return these stolen assets was not only
mandated by national law instruments such as Law Number 31 Year 1999 jo. Law
Number 20 Year 2001 regarding Corruption Eradication, Law Number 15 Year 2002
regarding The Crime of Money Laundering, but also used of international law
instruments such as United Nations Convention Against Corruption 2003 which
ratified by Law Number 7 Year 2006 and Mutual Legal Assistance on Criminal
Matters (MLA). Restorative justice as one of the objectives of punishment is an
appropriate intellection to be applied as the underlying principle of stolen asset
recovery is reciprocally along with the concept of restorative justice as the
intellection of this concept. Indonesia as a developing country which still
complicatedly deal with the eradication of corruption offense matters, seriously needs
an idea and reasoning on endeavor of restoring state’s loss caused by corruption
offense.

Keywords :
Corruption, Stolen Asset Recovery, Restorative Justice

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii


LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................ ix
ABSTRAK ................................................................................................................x
ABSTRACT...............................................................................................................xi
DAFTAR ISI…………………………………….……………………………........ xii
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang ........................................................................................1
1. 2 Rumusan Masalah ..................................................................................11
1. 3 Tujuan Penelitian.....................................................................................11
1. 4 Metode Penulisan.....................................................................................12
1. 5 Definisi Operasional................................................................................13
1. 6 Sistematika Penulisan..............................................................................15

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS PENGEMBALIAN ASET (ASSET


RECOVERY) HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
2. 1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana........................................ 17
2.1.1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana Korupsi .......................19
2.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia....23
2.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam
UNCAC………………………………………………………….28
2. 2 Tahap Pengembalian Aset ..................................................................36
2. 3 Program Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
di Beberapa Negara.............................................................................49
2.3.1 Britania Raya ...............................................................................49
2.3.1.1 Pengembalian Aset Secara Perdata Sebagai Alternatif dari
Hukum Pidana .......................................................................52
2.3.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


secara Perdata.........................................................................53
2.3.1.3 Lembaga yang Bertanggungjawab atas Pengembalian Hasil
Tindak Pidana .......................................................................54
2.3.1.4 Lembaga Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana ..............55
2.3.1.5 Fungsi ARA ..........................................................................56
2.3.1.6 Aset yang Harus Dikembalikan dan Aset yang Terkait ........57
2.3.2 Thailand.........................................................................................59
2.3.2.1 Pengelolaan Aset-aset Hasil Perampasan...............................63
2.3.2.2 Sistem Pelacakan Aset Gabungan AMLO (AMCATS)........64

BAB 3 TINJAUAN TEORITIS KONSEP KEADILAN RESTORATIF


(RESTORATIVE JUSTICE)........................................................................66
3. 1 Tujuan Pemidanaan Sebagai Keadilan Restoratif ............................66
3.1.1 Akar Pemikiran Keadilan Restoratif ..............................................66
3.1.2 Pemikiran Keadilan Restoratif di Indonesia................................71
3.1.3 Pemikiran Keadilan Restoratif secara Internasional ......................74
3. 2 Definisi dan Prinsip-prinsip Keadilan Restoratif (Restorative
Justice)....................................................................................................75

BAB 4 ANALISIS
4. 1 Analisis Hubungan dan Keterkaitan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi dengan Keadilan Restoratif ........................85
4.1.1 Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi atas Kerugian
Negara...........................................................................................85
4.1.2 Negara Sebagai Korban dari Tindak Pidana Korupsi ..................91
4.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai
Tindakan Restoratif .....................................................................94
4. 2 Hal-hal yang harus Disiapkan oleh Pemerintah dan Aparat
Penegak Hukum agar Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi dapat Berjalan Efektif ..........................................................98
4.2.1 Keseriusan Penegak Hukum dan Political Will Indonesia…….....98
4.2.2 Pengesahan Segera RUU Perampasan Aset.................................102

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


4.2.3 Pengembalian Aset secara Non-Conviction Based sebagai
Alternatif......................................................................................103
4.2.4 Lembaga Kepailitan sebagai Alternatif Pengembalian Aset
Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi…………………………...105
4.2.5 Pengefektifan RUPBASAN Sebagai Badan Pengembalian Aset.109

BAB 5 PENUTUP
5. 1 Kesimpulan .........................................................................................111
5. 2 Saran ...................................................................................................113

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


BAB 1

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya intelektualitas dan majunya peradaban penduduk
dunia, masalah yang terjadi di kehidupan manusia pun semakin rumit. Salah satu
momok besar dalam kehidupan manusia di dunia adalah masalah kejahatan
korupsi. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena korban yang
diakibatkan oleh korupsi adalah sangat masif karena dengan korupsi, kerugian
yang diderita oleh suatu negara dapat menjadi begitu gradual. Sebagaimana
tertuang dalam konsideran Undang-Undang No. 39 tahun 1999 jo Undang-
Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dinyatakan bahwa korupsi yang terjadi secara sistematis dan meluas merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat luas,
sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan
sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime)1, sehingga upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan
cara-cara yang luar biasa. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga digolongkan
sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime karena pelakunya

1
Korupsi Kejahatan Luar Biasa, http://bataviase.co.id/detailberita-10387828.html. Diunduh
pada 21 Juni 2011. Marzuki Ali, Presiden Asia Parliamentary Assembly (APA), dalam sidang
APA yang memperingati Hari Antikorupsi Sedunia menyatakan, "Tindak pidana korupsi disebut
kejahatan luar Biasa atau Extra-Ordniary Crime karena korupsi terbukti telah menggerogoti sendi-
sendi pembangunan bangsa. Membuat bangsa bukan saja statis, tetapi mengalami suatu
kemunduran yang signifikan. Korupsi adalah kejahatan besar yang bersifat kompleks, sistemik,
dan pemberantasannya perlu dilakukan secara sistematis, komprehensif, dan melibatkan semua
pihak”.

1 Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
2

sebagian besar merupakan orang-orang berintelektual dan memiliki pengaruh


dalam kekuasaan.

Banyak kritik dari masyarakat, media dan golongan lain atas kinerja Presiden
Republik Indonesia dalam Kabinet Indonesia Bersatu II terhadap pemberantasan
tindak pidana korupsi. Presiden RI yang mengelu-elukan pemberantasan tindak
pidana korupsi sebagai program kerja utamanya dinilai tidak dapat melakukan
tugasnya sebagai badan eksekutif dalam penegakan hukum atas korupsi. Pasti ada
yang salah dalam pola pikir penegak hukum dan aplikasi hukum itu sendiri di
Indonesia. Akan tetapi rakyat Indonesia tidak dapat menunggu lebih lama lagi
untuk merasakan penderitaan akibat maraknya tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan ini.

Kerugian negara akibat tindak pidana korupsi masih belum tertutupi dan
keresahan masyarakat masih tinggi terhadap penegakan hukum atas tindak pidana
di Indonesia. Pemidanaan merupakan salah satu elemen hukum yang paling
penting dalam penegakan hukum pidana. Hukum pidana tanpa mengaitkannya
dengan pemidanaan bagaikan macan tanpa gigi. Penjatuhan hukuman pidana oleh
pengadilan merupakan suatu upaya yang sah, yang dilandasi oleh hukum untuk
mengenakan nestapa atau penderitaan terhadap seseorang yang terbukti bersalah
melakukan tindak pidana. Pidana sendiri merupakan suatu pranata sosial yang
dikaitkan dengan, dan selalu mencerminkan, nilai dan struktur masyarakat,
sehingga merupakan suatu reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati
nurani bersama” atau collective conscience2, meminjam terminologi Emile
Durkheim.3

2
http://en.wikipedia.org/wiki/Collective_consciousness , Collective Conscience: “Durkheim
argued that in traditional/primitive societies (those based around clan, family or tribal
relationships) totemic religion played an important role in uniting members through the creation
of a common consciousness (conscience collective in the original French). In societies of this type,
the contents of an individual's consciousness are largely shared in common with all other
members of their society, creating a mechanical solidarity through mutual likeness” (Durkheim
berpendapat bahwa dalam adat / masyarakat primitif (yang berbasis di sekitar klan, keluarga atau
hubungan suku) totem agama memainkan peran penting dalam menyatukan anggota melalui
penciptaan kesadaran umum (hati nurani kolektif dalam asli Perancis). Dalam masyarakat jenis ini,
isi kesadaran individu yang sebagian besar bersama-sama dengan semua anggota lain dari

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
3

Mengingat begitu hebatnya kerugian yang diderita akibat korupsi, hukum pidana
sebagai hukum yang bertujuan untuk memberi derita dan nestapa kepada siapapun
yang melanggar merupakan cara yang tepat untuk memberantas dan mencegah
praktik korupsi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Wirjono
Prodjodikoro yang merumuskan dengan sangat singkat yaitu: “Hukum Pidana
adalah Peraturan-Hukum mengenai Pidana”. Kemudian beliau mengatakan Kata
“Pidana” berarti hal yang di-“pidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa
dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan
juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.4 Indonesia sebagai negara
berkembang sangat rentan akan praktik ekonomi karena menurut Fred W. Riggs,
salah satu ciri-ciri dari negara berkembang adalah kentalnya korupsi, kolusi dan
nepotisme5.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa pelaku korupsi di Indonesia


masih didominasi jajaran birokrasi. Berdasarkan laporan pemantauan ICW atas
vonis kasus korupsi semester I 2010, terdapat 119 perkara korupsi yang diadili
dengan jumlah terdakwa 183 orang. Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch,
Donald Fariz, merinci bahwa dari 119 perkara korupsi, 103 perkara dengan 66
terdakwa diadili di Pengadilan Umum, sedangkan 16 kasus dengan 17 terdakwa
diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Berdasarkan tingkat vonis

masyarakat mereka, menciptakan solidaritas mekanis melalui rupa bersama). Diunduh pada 25
Februari 2011.
3
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Litigasi dan Pemidanaan di Indonesia, Disampaikan dalam Orasi Pada Upacara
Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana FHUI di Balai Sidang UI, Depok, 2003.
4
E.Y Kanter dan S. R Sianturi, Asas-asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002), hal 15. (Dalam Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum
Pidana di Indonesia, hal 1-10)
5
Tri Hayati, et. al, Administrasi Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum dan
Perencanaannya, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, hal. 19. Dalam buku ini dijelaskan
Fred W. Riggs yang merupakan pendiri Comparative Study Administration Group setelah
melakukan studi banding menyatakan bahwa cirri-ciri negara berkembang salah satunya adalah
pengangkatan, pemberhentian pegawai terjadi dengan birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi
dan nepotisme.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
4

untuk koruptor, hukuman terbanyak berada di kisaran 1-2 tahun, yaitu 38


terdakwa (22,89%).6

Menurut data dari Kepala Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW),
Agus Sunaryanto, sepanjang semester I tahun 2010 potensi kerugian negara akibat
korupsi mencapai Rp 2,1 triliun.7 Sayang sekali, Untuk periode 2010, Kejaksaaan
Agung melalui jajaran Pidana Khusus saja mengklaim telah menyelamatkan uang
negara sebesar Rp 133.637.262.558 (seratus tiga puluh tiga miliar, enam ratus tiga
puluh tujuh juta, dua ratus enam puluh dua ribu, lima ratus lima puluh delapan
rupiah). Sedangkan uang negara yang diselamatkan pada bidang perdata dan TUN
sebesar Rp 1.286.578.588.336 (satu triliun, dua ratus delapan puluh enam miliar,
lima ratus tujuh puluh delapan juta, lima ratus delapan puluh delapan ribu, tiga
ratus tiga puluh enam rupiah). “Jika ditotal dengan bidang pidana khusus, maka
ada sekitar Rp 1,4 triliun,” katanya.8

Tidak hanya itu, korupsi ditempatkan dalam program pertama dalam Program
Kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu periode 2 2009-20149. Untuk tingkat
internasional, beberapa perkiraan di negara-negara Eropa menyimpulkan bahwa
korupsi mengakibatkan penggelembungan total utang pemerintah sebesar 15%

6
Korupsi Didominasi Kalangan Birokrasi,
http://www.kaltengpos.web.id/?menu=detail_atas&idm=813, diunduh pada 1 April 2011.
7
Mahendra Bungalan, Nilai Kerugian Negara Akibat Korupsi Rp 3,6 Triliun,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/23/78626/Nilai-Kerugian-Negara-
Akibat-Korupsi-Rp-36-Triliun, diunduh pada 24 Februari 2011. Jumlah yang disebutkan telah
merosot pada semester II tahun 2010, ICW menemukan potensi kerugian negara mencapai 1,5
triliun. Menurut beliau, lima sektor korupsi yang menyebabkan kerugian negara terbesar dari
Pertambangan (1 kasus), Keuangan Daerah sebesar Rp 344 miliar (44 kasus), energi sebesar Rp
240 miliar dan Pertanahan/lahan Rp 143 miliar (18 kasus)
8
Kejagung Klaim Selamatkan 133 Miliar Duit Negara: Penanganan Korupsi Oktober 2009-
Oktober 2010, http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=9705, diunduh pada 1 April
2011.
9
Susilo Bambang Yudhoyono, Program Kerja 100 Hari KIB II,
http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2009/12/02/4928.html. Setelah terpilih lagi menjadi
Presiden RI bersama dengan wakilnya Bapak Boediono, Presiden SBY menempatkan penegakan
hukum atas tindak pidana korupsi dalam urutan pertama yaitu ” Penataan ulang tata laksana dan
hubungan kerja sama antar lembaga penegak hukum termasuk KPK, Kepolisian dan Kejaksaan /
Pemberantasan Mafia Hukum”.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
5

atau US$ 200 miliar10. Menurut perkiraan Transparansi Internasional (TI), jumlah
dana yang hilang akibat tindak pidana suap dalam pengadaan perbekalan
pemerintah sekurang-kurangnya mencapai US$ 400 miliar per tahun di seluruh
dunia.11 Melihat perbandingan antara jumlah kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi dengan jumlah yang dikembalikan melalui Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tata Usaha Negara, masih banyak sekali selisih dari angka-angka
tersebut merupakan hak negara yang harus dikembalikan. Bahkan, uang yang
telah dikembalikan kepada negara hanya dua per tiga dari kerugian negara akibat
tindak pidana korupsi semester I tahun 2010. Hal ini menandakan bahwa kegiatan
pengembalian kerugian negara masih belum berjalan secara optimal. Pemerintah
dan aparat penegak hukum Indonesia harus disadarkan bahwa inilah saatnya untuk
menyelenggarakan dengan serius perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
Sikap berani Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi dan
pengembalian kerugian negara harus konsisten dan realistis.

Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001


sebenarnya sudah berani dan “menggigit” mengatur mengenai pemberantasan
korupsi dan pemidanaan para pelaku tindak pidana korupsi, bahkan penjatuhan
dua pidana pokok sekaligus diperbolehkan12. Dengan keistimewaan dalam
penjatuhan pidana terhadap tindak pidana korupsi berarti pemidanaan diharapkan
menjadi hal yang berpengaruh sangat kuat dalam penegakan hukum dan
pemberantasan korupsi. Berangkat dari pasal 4 Undang-undang No. 31 tahun
1999 jo Undang-undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang mengamanatkan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara

10
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 3. (Dalam
Business Week hal 134-135).
11
Ibid, hal. 76. Data dikutip dari The TI Global Corruption Report 2004
12
Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal
13 UU No 22/2001 jo UU No 31/1999 dalam ancaman pidananya tertulis “dan/atau” antara kedua
pidana pokok yang diaturm sehingga terdakwa koruptor dapat di pidana dua pidana pokok
sekaligus. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dari UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi karena mengesampingkan asas hukum pidana yang hanya boleh menjatuhkan satu saja
dari lima pidana pokok yang diatur dalam pasal 10 KUHP.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
6

atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak


pidana” perampasan aset hasil korupsi sendiri sebenarnya telah diadopsi oleh
Indonesia, tetapi Indonesia lagi-lagi bukan negara yang dengan mudah dapat
menyesuaikan suatu perubahan sistem, apalagi yang berhubungan dengan bidang
penegakan hukum. Pengaruh kolonial masih sangat kental dalam sistem hukum
Indonesia karena walaupun Rancangan KUHP telah disusun sejak tahun 1994 dan
direvisi beberapa kali, hingga saat ini, tahun 2011, Rancangan KUHP tersebut
belum juga disahkan untuk menggantikan KUHP, warisan Belanda puluhan tahun
lalu, yang sampai saat ini masih kita gunakan.

Persoalan asset recovery untuk meminimalkan kerugian negara merupakan


merupakan faktor yang tak kalah penting dari upaya pemberantasan korupsi di
samping memvonis pelaku dengan hukuman yang seberat-beratnya. Langkah
untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping harus dilakukan sejak
awal penganan perkara dengan pembekuan dan penyitaan, juga mutlak dilakukan
melalui kerja sama dengan negara lain di mana hasil kejahatan (proceeds of
crime) berada. Untuk itu orientasi penegak hukum mengenai pengembalian aset
ini perlu dipertajam terutama dalam hubungan kerja sama dengan negara lain baik
melalui pertukaran informasi intelijen keuangan yang difasilitasi oleh PPATK,
kordinasi dengan Tim Pemburu Koruptor, maupun kerja sama bantuan hukum
timbal balik antara pemerintah kita dengan pemerintah negara lain.13

Mengingat tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan
sangat mungkin menjadi kejahatan transnasional, maka Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat telah mengadopsi United
Nations Convention Against Corruption 200314 pada tanggal 30 September 2003.
United Nations Convention Against Corruption dibuka untuk penandatanganan
dalam Konferensi Politik Tingkat Tinggi dengan Tujuan Penandatanganan United

13
Romli Atmasasmita, Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerja
Sama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008) hal. 9-10.
14
Dalam UN Press Release, diterbitkan pada saat adopsi UNCAC, 31 Oktober 2003.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
7

Nations Convention Against Corruption di Merida, Meksiko, tanggal 9-11


Desember 2003. United Nation Convention Against Corruption merupakan salah
satu hasil dari upaya masyarakat internasional dalam hal pemberantasan tindak
pidana korupsi.15 Pemerintah Indonesia ikut aktif sejak sidang pertama sampai
dengan sidang ketujuh (terakhir) yang berakhir pada tanggal 1 Oktober 2003.16
Negara Peserta United Nations Convention Against Corruption 2003 mencapai
sebanyak 127 negara, dari jumlah tersebut 99% telah menyatakan kesediaannya
untuk menandatangani konvensi tersebut.17 Dasar pertimbangan keikutsetaan
Indonesia dalam penandatanganan konvensi tersebut mengenai implikasi hukum
peratifikasian konvensi tersebut ke dalam sistem hukum nasional.

Salah satu pembahasan penting yang diatur dalam UNCAC 2003 ini adalah
mengenai hal pengembalian aset (Asset Recovery). Ruang gerak koruptor para
koruptor untuk bersembunyi dan melarikan hasil kejahatannya ke sejumlah negara
kian sempit. Dengan disahkannya Konvensi PBB ini korupsi diakui sebagai
kejahatan global dan akan ditangani dengan semangat kebersamaan. Sebenarnya
sudah lama korupsi dinobatkan sebagai extra-ordinary crime, bahkan sebelum
disahkannya UNCAC 2003. Indonesia termasuk negara yang ikut menandatangani
konvensi tersebut. Pada pasal 3 tentang Scope application, ayat (1) tentang
cooperation with law enforcement authorities, ditegaskan bahwa,

“Each state party shall take appropriate measure to encourage persons


who participate or who have participate in the commission of an offense
establish in accordance with this convention to supply information useful
to competent authorities for investigative and evidentiary purposes and to
provide factual, specific help to competent that may contribute to such
depriving offenders of the proceeds of crime and recovering such
proceeds.”

15
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 134.
16
Ibid.
17
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
8

Walaupun perangkat hukum internasional yaitu UNCAC telah diratifikasi oleh


Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
UNCAC, pengembalian aset hasil korupsi belum juga diterapkan. Sehubungan
dengan masalah tersebut, Barda Nawawi Arif di dalam suatu seminar pernah
menyatakan:

“Bahwa tujuan dari kebijakan menerapkan suatu sanksi pidana tidak dapat
dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya yaitu
Perlindungan Masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.” (tujuan
demikian nampaknya disepaati oleh seluruh anggota UNAFEI (United
Nations Asia and Far East Institute) dimana Indonesia merupakan salah
satu anggotanya).18

Menurut Matthew H. Flemming19 dalam dunia internasional, tidak ada definisi


pengembalian aset yang disepakati bersama, Flemming sendiri tidak
mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset
adalah proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas, dihilangkan haknya dari
hasil tindak pidana dan/atau dari sari sarana tindak pidana. United Nations
Convention Against Corruption tidak secara tegas menyatakan apakah penyitaan
merupakan hukuman/penalty seperti didefinisikan dalam Konvensi tentang
Pencucian, Pelacakan, Perampasan dan Penyitaan atas Hasil-hasil Kejahatan dari
Dewan Eropa Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the
Proceeds from Crime (CLSCPC) dari Council of Europe20. Dalam CLSCPC,
penyitaan diartikan sebagai sebuah hukuman atau tindakan, yang diperintahkan
oleh pengadilan sebagai kelanjutan dari proses yang berhubungan dengan
pelanggaran pidana atau pelanggaran-pelanggaran pidana sebagai akibat dari
pencabutan yang permanen atas kekayaannya21. Pada hakikatnya, pengembalian

18
Tolib Setiady, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Penerbit Alfabeta,
2010), hal.49.
19
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 103.
(Dalam Matthew H. Fleming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic,
Taxonomy, Draft for Comments, version date, 27 January 2005, University College London, hal.
1).
20
Ibid., hal. 215.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
9

aset tidak hanya merupakan proses, tetapi juga merupakan penegakan hukum
melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu.

Menurut UNCAC sendiri, pengembalian aset hasil korupsi sendiri terbagi dalam
empat tahap, yaitu:
1. Tahap pelacakan aset
2. Tahap tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan
aset-aset melalui mekanisme pembekuan dan penyitaan
3. Tahap penyitaan
4. Tahap penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat
aset diperoleh secara tidak sah.22

Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok yang paling popular diantara
pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) memang efektif memberi pembalasan kepada para terpidana atas tindak
pidana korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi, pidana penjara tidak
selalu menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah seperti over
capacity, ketidakjeraan koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung terselesaikan.
Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki
berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama sekali tidak memberikan
keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat.23 Hal ini diperkuat lagi dengan
adanya perkembangan pemikiran masyarakat terhadap hukum pidana di berbagai
belahan dunia. Roeslan Saleh menyatakan bahwa Hukum Pidana merupakan kaca
yuridis yang paling peka terhadap perubahan budaya, keadaan sosial yang pada
umumnya dalam semua keadaan dimana ada manusia.24 Perkembangan pemikiran
tentang hak asasi manusia telah membawa perubahan besar terhadap masyarakat
dalam memandang suatu hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupannya. Tak
21
Council of Europe, Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the
Proceeds from Crime, Strasbourg, 8, XI, 1990. Pasal 1 huruf d .
22
Purwaning M. Yanuar, op. cit, hal 207
23
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia
24
Ibid. Mengutip dari Roeslan Saleh, Hukum Pidana sebagai Konfrontasi Manusia dan
Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal.23.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
10

terkecuali pandangan terhadap pidana dan pemidanaan. Pidana dan pemidanaan


yang pada dasarnya memberikan pembenaran atas penjatuhan satu derita kepada
seseorang akibat suatu tindak pidana yang dilakukannya sepintas lalu akan
bertolak belakang dengan konsep-konsep yang ada dalam hak asasi manusia yang
justru memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia.25

Salah satu gagasan yang patut dipertimbangkan dalam penegakan pengembalian


aset hasil tindak pidana korupsi adalah kegiatan ini sejalan dengan salah satu
tujuan dari pemidanaan yaitu keadilan restoratif (restorative justice). Menurut
Welgrave, teori keadilan retributif adalah setiap perbuatan yang berorientasi pada
penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tindak
pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluarganya dapat kembali
kepada keadaan semula seperti sebelum terjadi tindak pidana.26 Dalam hal ini,
negara sebagai korban dari tindak pidana korupsi dapat menderita kerugian yang
besar dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian pemulihan kerugian yang
diakibatkan tindak pidana korupsi dengan perampasan aset adalah sejalan dengan
teori tujuan pemidanaan yaitu untuk mewujudkan keadilan restoratif. Konsep
utama dari perwujudan keadilan restoratif adalah untuk memulihkan keadaan
akibat terjadinya tindak pidana seperti sebelum terjadinya tindak pidana, dan
apabila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi maka pengembalian aset
merupakan salah satu cara untuk memulihan kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi. Gagasan untuk meningkatkan efektifitas dari tindakan pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi yang disebutkan diatas hanya merupakan gagasan
secara umum. Untuk gagasan mengenai pengembalian aset di Indonesia
selanjutnya pun akan dibahas dalam penulisan ini, sebagaimana yang akan
dijelaskan lebih lanjut dalam Bab 4 mengenai analisis.

25
Ibid.
26
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90-91
(Seperti dikutip dalam L. Welgrave, “Met het Oog op Herstel: Bakens voor en Constructief
Jeugsantierecht”, Leuven, Universitaire Pers Leuven, hal. 34.)

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
11

Pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi memang seakan mustahil


dapat terganti karena jumlahnya yang sangat besar mulai dari kerugian materiil
dan immaterial. Selain itu hambatan lain adalah proses pelacakan dan investigasi
aset yang dikorupsi merupakan tantangan terbesar dalam penindakan hukum
tindak pidana korupsi. Apabila membahas mengenai hasil memang tidak akan ada
habisnya karena pada kejahatan akan selalu ada di dunia selama kehidupan masih
ada di dunia, tetapi alangkah baiknya kita nantinya dapat memahami dan
memperhitungkan assessment atas tindak pidana korupsi sehingga dapat
mengurangi kerugian yang disebabkan tindak pidana korupsi. Dengan demikian,
penulis merasa sangat perlu adanya penelitian mengenai perampasan aset hasil
korupsi yang diharapkan dapat mewujudkan keadilan restorasi (Restorative
Justice) sebagai tujuan pemidanaan.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusah masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai upaya
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang sejalan dengan pendekatan
keadilan restoratif. Adapun pertanyaan penelitian yang akan dibahas dalam tulisan
ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah perbandingan pengaturan dan pelaksanaan perampasan aset


hasil tindak pidana korupsi di Indonesia, Britania Raya, dan Thailand?
2) Apakah bentuk perampasan aset hasil tindak pidana korupsi sejalan
dengan program keadilan restoratif yang sedang berkembang saat ini?
3) Hal-hal apa sajakah yang harus disiapkan oleh pemerintah dan aparat
penegak hukum agar pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat
berjalan?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan Penulis dari penulisan laporan penelitian ini adalah menyadarkan
Bangsa agar lebih peka bahwa dalam tindak pidana korupsi menyebabkan
kerugian yang sangat besar dan sangat merugikan negara dan bangsa. Penulis juga
bertujuan dnegan adanya laporan penelitian ini, bangsa Indonesia menjadi lebih

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
12

kritis bahwa pemidanaan itu bukan hanya ditujukan untuk menghukum seberat-
beratnya terpidana agar mereka jera, tetapi harus diperhatikan aspek korban dan
kerugian dari tindak pidana yang dilakukannya. Keadilan restoratif sebagai salah
satu hasil perkembangan hukum pidana juga harus lebih sering dan vokal
disuarakan agar seimbang antara penerapan hukum pidana dengan penerapan hak
asasi manusia. Demikianlah tujuan Penulis secara umum dari penulisan laporan
hasil penelitian ini.

Tujuan khusus
Pembahasan mengenai Perampasan Aset Hasil Tindak Korupsi sebagai Bentuk
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bertujuan:
1. Memahami konsep perampasan aset hasil korupsi dan mengetahui
pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
2. Memahami konsep perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dalam
prakteknya di Britania Raya dan Thailand.
3. Memahami konsep keadilan restortif dalam tindak pidana korupsi
4. Menemukan bentuk-bentuk kebijakan pemerintah yang bagaimana
sebagai persiapan agar perampasan aset atas hasil tindak pidana korupsi
dapat berjalan.

1.4 Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode kepustakaan,
yang bersifat comparative method atau metode perbandingan, yang diartikan oleh
Hugo F. Reading, ” the comparison of matched societies and institutions for the
discovery of associations and correlations”27 (sebagai metode yang
membandingkan sesuai dengan masyarakat dan isntitusi untuk menemukan
hubungan dan kaitan) yang dengan penafsiran secara ekstensif, metodologi
penelitian in idapat digunakan dalam perbandingan konsep perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi di berbagai negara.

27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2008), hal. 5 (Dalam Hugo F. Reading: 1977)

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
13

Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif dan
jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia, peraturan
perundang-undangan negara lain dan konvensi-konvensi internasional.
b. Bahan hukum sekunder, yatu bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan
menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para
sarjana, buku, artikel internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan
makalah.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya
ensiklopedia, atau kamus.28

Alat pengumpul data memakai studi dokumen ditambah dengan wawancara


dengan narasumber untuk melengkapi data yang terkumpul. Metode pendekatan
analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif sehingga
menghasilkan sifat dan bentuk laporan secara deskriptif analitis.

1.5 Definisi Operasional


1. Tindak Pidana Korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara29,

28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal.
50 s.d. 51.
29
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.
20/2001 jo No. 31/1999, Pasal 2, TLN Republik Indonesia No: 3874

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
14

2. Kekayaan adalah setiap jenis aset, baik berbentuk inkorporeal, bergerak


atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan hukum dokumen
atau instrumen yang membuktikan hak atas atau kepentingan dalam aset
tersebut30
3. Aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai
ekonomis.31
4. Perampasan merupakan upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan
atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh
orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di
negara asing32
5. Non-Conviction Based Recovery merupakan pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi sangat mungkin dilaksanakan tanpa adanya putusan
pidana atas tindak pidana korupsinya tersebut terlebih dahulu. Tindakan
tersebut dilakukan dengan mengacu kepada asas non-conviction based
yang digunakan dalam pengembalian aset secara perdata (civil forfeiture),
dimana tuduhan secara pidana atau putusan pidana tidak diperlukan dan
yang menjadi fokus dalam pengembalian ini adalah terhadap bendanya (in
rem) atau aset yang dianggap sebagai hasil satu kejahatan.33
6. Keadilan Restoratif adalah teori keadilan yang megutamakan pemulihan
kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses
yang inklusif dan kooperatif.34

30
United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), Pasal 2 huruf (d)
31
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, pasal 1 ke-1.
32
Ibid, pasal 1 ke-7.
33
Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture),
(Washington DC: The World Bank, 2009), hal.13.
34
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hal 3. Dalam Johnstone dan Van Ness, The
Meaning of Restorative Justice, Makalah untuk Konferensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop
2, (Bangkok, Thailand, 2005), hal 2-3.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
15

7. Ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen,


khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antarnegara, dan
persetujuan hukum internasional35
8. Pidana Penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan
kemerdekaan, dan pidana penjara ini dapat dijatuhkan untuk seumur hidup
aau untuk sementara waktu.36
9. Pembekuan atau ”penyitaan” adalah berarti pelarangan sementara
transfer, konversi, pelepasan atau pemindahan kekayaan atau untuk
sementara menerima penjagaan atau pengawasan kekayaan berdasarkan
suatu perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan atau lainnya yang
memiliki kompetensi kewenangan atas itu37.

1.6 Sistematika Penulisan


Penulisan laporan penelitian ini terbagi dalam lima Bab yang dimana secara
keseluruhan akan membahas mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Berikut
merupakan sistematika penulisan dari laporan penelitian ini:

Bab Pertama merupakan pendahuluan yang akan terbagi ke dalam 6 (enam) sub
bab, yaitu latar belakang permasalahan mengenai tulisan ini; pokok-pokok
permasalahan yang akan dijawab melalui penulisan ini berdasarkan teori-teori,
pengertian, dan obyek penelitian yang akan ditinjau; tujuan dari penulisan;
metode-metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan; definisi
operasional yang akan menjelaskan secara umum beberapa istilah yang akan
digunakan dalam penulisan ini; lalu yang terakhir adalah sistematika penulisan
yang akan menjelaskan urutan penulisan.

35
Kamus Bahasa Indonesia, http://kamusbahasaindonesia.org/ratifikasi, diunduh pada 7
Maret 2011.
36
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010),
hal 92. (Hal ini disampaikan menurut Roeslan Saleh).
37
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, pasal 2 huruf (f).

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
16

Bab kedua berisi tentang konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan dalam UNCAC. Dalam bab
ini juga selain dijelaskan konsep pengembalian aset di Indonesia, Thailand dan
Britania Raya pun ikut dibahas sebagai pengayaan materi.

Bab ketiga dalam penulisan ini berisi tentang tinjauan teoritis mengenai konsep
keadilan restoratif. Pembahasan mengenai konsep ini dimulai dari pembahasan
tujuan pemidanaan yang terbagi atas dua yaitu teori konsekuensialis dan teori non-
konsekuensialis yang dimana konsep keadilan restoratif berakar dari pemikiran
tujuan pemidanaan yang berpaham konsekuensialis. Selain itu dalam bab ini juga
dijelaskan prinsip-prinsip keadilan restoratif serta perdebatan para akademisi dan
ahli mengenai aplikasi keadilan restoratif dalam hukum pidana.

Bab keempat merupakan analisis mengenai masalah yang diangkat dalam topik
besar penulisan ini, yakni seputar keterkaitan pendekatan restoratif yang sejalan
dan dapat menjadi dasar dari tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi di Indonesia. Selain itu dalam bab analisis ini juga akan disebut dan
diuraikan mengenai upaya-upaya apasajakah yang dapat dilakukan pemerintah
dan penegak hukum dalam optmalisasi pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi di Indonesia.

Bab kelima, bab yang terakhir dalam penulisan ini, adalah mengenai kesimpulan
dari rangakaian pembahasan dalam penulisan ini. Disamping itu, dalam bab ini
juga dicantumkan saran kepada pemerintah Indonesia dan penegak hukum, serta
rakyat Indonesia pada umumnya untuk mendukung upaya pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi yang bersifat restoratif dimana pemulihan kerugian negara
menjadi priotitas utama.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 2

TINJAUAN TEORITIS PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY)


HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

2.1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana


Pengembalian aset yang merupakan topik besar dalam pembahasan laporan
penelitian ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian ini. Sebagai pembuka, akan
dibahas terlebih dahulu mengenai pengembalian aset dalam tindak pidana secara
umum. Sesuai ketentuan perundang-undangan, penyitaan dan perampasan benda
dan barang milik seseorang harus didahului oleh suatu tindak pidana yang
berhubungan langsung dengan benda atau barang tersebut.38 Tanpa adanya tindak
pidana yang berhubungan dengan suatu benda maka penyitaan tidak dapat
dilakukan. Perlu dibedakan antara ”penyitaan” dengan ”perampasan”.

Penyitaan adalah bagian dari proses penegakan hukum berupaya upaya paksa
yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan atas benda milik
seseorang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.39 Sementara itu,
perampasan adalah pengambilalihan hak milik seseorang yang telah mendapatkan
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.40 Konsep hukum (legal
concept) perampasan menurut hukum pidana Indonesia adalah pengambilalihan

38
Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta:
The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP), 2010), hal 9.
39
Indonesia Undang-Undang No 8 tahun 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Pasal 1 ke-16, L.N Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76, TLN Republik Indonesia No.
3209

40
Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta:
Yhe Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)), hal 9.

17 Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
18

barang milik seseorang pelaku tindak pidana sebagai hukuman tambahan yang
dijatuhkan oleh hakim bersama-sama pidana pokok sebagaimana diatur dalam
Pasal 10, huruf (b) angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sejalan dengan amanat dari Pasal 39 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, untuk dapat merampas harta yang akan dikembalikan kepada negara,
penyidik harus menyita harta yang dicurigai hasil dari tindak pidana terlebih
dahulu. Itulah mengapa hakim yang memutus perkara pidana, mengamanatkan
bahwa harta yang telah disita sebelumnya dalam tahap penyidikan dirampas
menjadi milik negara.41

Pada dasarnya pengembalian aset hasil tindak pidana adalah tidak selalu tertuju
pada aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sendiri perampasan aset dilegalisasi oleh Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan
terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan, dapat dirampas. Sehingga, disimpulkan bahwa
pengembalian aset dengan perampasan dapat diterapkan dalam semua tindak
pidana dalam KUHP khususnya kejahatan terhadap benda42.

Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti


istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni menyangkut masalah penyuapan,
yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut
bidang kepentingan umum. Kesimpulan ini diambil dari definisi yang
dikemukakan antara lain berbunyi, financial manipulations and decision injurious
to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan keputusan mengenai
keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan
korupsi). Selanjutnya ia menyebutkan the term is often applied also to

41
Sebagaimana yang disampaikan oleh Chandra M. Hamzah dalam Diskusi Meja Bundar
tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel
Jakarta, 28 Mei 2011.
42
Yang termasuk dalam kejahatan terhadap benda dalam KUHP terdiri dari bab XXII
tentang Pencurian, Bab XXIII Tentang Pemerasan dan Pengancaman, Bab XXIV tentang
Penggelapan, Bab XXV tentang Perbuatan Curang, Bab XXVI tentang Perbutan Merugikan
Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak,

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
19

misjudgments by officials in the public economies (istilah ini sering juga


digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut bidang
perekonomian umum). Dikatakan pula,

“Disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to


relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and
welfare, with or without the implied payment of money, is usually
considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk pemberian
hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak
keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang
merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa
pembayaran uang, biasanya dianggap sebagai perbuatan korupsi).” 43

Dalam praktiknya, perampasan barang tertentu dimungkinkan sebagai pengganti


kerugian negara atau pidana tambahan disamping perampasan terhadap benda
sitaan tersebut, maka status benda tersebut menjadi barang rampasan negara.44
Pengaturan khusus terhadap barang rampasan berlaku terhadap beberapa tindak
pidana seperti tindak pidana kehutanan illegal logging, tindak pidana pencucian
uang, tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, tindak pidana
perikanan dan tindak pidana korupsi.45 Akan tetapi, dalam penulisan ini
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsilah yang akan dibahas lebih lanjut.

2. 1. 1 Pengembalian Aset dalam Tindak Pidana Korupsi


Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah menempati posisi penting
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Artinya, keberhasilan pemberantasan
tindak pidana korupsi tidak hanya diukur bedasarkan keberhasilan memidana
pelaku tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan

43
Ibid.
44
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,
Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 1 (Dalam Prof. Dr. Muladi, Hakikat Suap
dan Korupsi http://www.kompas.co.id )
45
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
20

mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi46. DR Purwaning M. Yanuar,


merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yaitu

”Sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban tindak


pidana korupsi untuk mencabut, merampas dan menghilangkan hak atas
aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui
rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana maupun perdata, aset
hasil tindak pidana korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri,
dilacak, dibekukan, dirampas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada
negara korban dari hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat
mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak
pidana korupsi dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi
menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana
untuk melakukan tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi
pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi.”47

Dari rumusan tersebut, terdapat unsur-unsur penting pengembalian aset hasil


tindak pidana korupsi, yaitu48:
1. Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum
2. Penegakan hukum tersebut dilakukan baik melalui jalur pidana
maupun jalur perdata
3. Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak,
dibekukan, dirampas, disita, diserahkan, dan dikembalikan kepada
negara
4. Pelacakan, pembekuan, perampasan, penyitaan, penyerahan, dan
pengembalian di dalam maupun diluar negeri
5. Sistem penegakan hukum dilakukan oleh negara yang dilaksanakan
oleh institusi penegak hukum
6. Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
a. Mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh pelaku
tindak pidana korupsi

46
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009), hal. 53.
47
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 104.
48
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
21

b. Mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai


alat atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk
melakukan tindak pidana lainnya
c. Memberikan efek jera bagi pihak lain yang beritikad melakukan
tindak pidana korupsi.

Gagasan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak semata-
mata untuk memiskinkan para koruptor sehingga mereka menderita, tetapi
perampasan aset hasil korupsi juga bertujuan sebagai tindakan preventif atau
pencegahan tindak pidana korupsi. Dampak preventif pertama, terjadi pada tidak
adanya aset-aset yang dikuasai para pelaku kejahatan sehingga para pelaku
kehilangan sumber daya untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Kedua,
dengan menyerang langsung ke motif kejahatan para pelaku korupsi, maka tidak
ada lagi peluang untuk menikmati hasil dari tindak pidana itu ditiadakan,
setidaknya diminimalisasi. Pengembalian aset itu menghilangkan tujuan yang
merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu dapat
menghilangkan motif yang mendorong orang melakukan kejahatan.

Dampak preventif dari tindakan pengembalian aset yang ketiga, yakni dengan
pengembalian aset ini pesan yang kuat dapat diberikan kepada masyarakat luas
bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini bagi para pelaku tindak pidana
untuk menyembunyikan hasil tindak pidananya, sekaligus memberikan pesan
yang kuat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset hasil tindak
pidana sebagaimana doktrin ”crime does not pay”49. Hal-hal ini memperlemah
keinginan warga masyarakat, khususnya para pelaku potensial, untuk melakukan
kejahatan.50

49
Doktrin crime does not pay ini berisi pandangan bahwa seseorang tidak boleh
mendapatkan keuntungan dari tindakan melanggar hukum umumnya, tindakan kejahatan
khususnya. Pandangan ini mengikuti tuntutan bahwa jika hukum itu mempengaruhi tingkah laki
orang, maka hukum itu memberikan pesan-pesan yang koheren.
50
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 42.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
22

Tindak pidana korupsi seringkali dijadikan predicate crime (tindak pidana yang
menempatkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan yang
menghasilkan atau merupakan sumber dana yang bisa dicuci).51 Apabila aset hasil
tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan tidak segera disita dan
dirampas maka aset tersebut akan mudah sekali untuk dialihkan dengan pencucian
uang. Dengan demikian, bila aset hasil tindak pidana korupsi dapat disita dan
dirampas secepatnya, tindak pidana turunan semacam tindak pidana pencucian
uang dapat diminimalisasi dan dihindari.

Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi52, yang juga dapat disebut dengan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, merupakan konsep yang
sebenarnya bukan merupakan produk baru karena sudah ada dalam perumusan
Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan
Korupsi. Menurut Fleming, dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi mengacu pada proses pelaku tindak pidana
korupsi dicabut, dirampas, dihilangkan haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan
dari tindak pidana dan/atau dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk
menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk
melakukan tindak pidana lain.53

51
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,
Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 1 (Dalam Prof. Dr. Muladi, Hakikat Suap
dan Korupsi http://www.kompas.co.id ).
52
Ibid., hal 8. Definisi aset termuat Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang
Standar Akuntasi Pemerintahan. Dalam Kerangka Konseptual Akuntasi Pemeirntahan paragraf
60(a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu bahwa: ”Aset adalah sumber daya
ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah seagai akibat dari peristiwa masa lal dan
dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam saham yang termasuk sumber daya non
keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya
yang dipelihara karena alasan sejaran dan budaya”.
Definisi barang milik negara yang dikategorikan sebagai aset dan.atau kekayaan negara
yaitu ”semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja
negara atau berasal dari perolehan lain yang sah”. Definisi tersebut di atur dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara.
53
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 103 (seperti

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
23

2.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi di Indonesia


Konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebenarnya bukan
merupakan konsep yang baru di Indonesia. Telah disinggung diatas bahwa secara
yuridis istilah korupsi telah muncul pada tahun 1957 pada saat diundangkannya
Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan
Korupsi. Setelah itu, lahirlah Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-
08/1957 tentang Pemilikan Terhadap Harta Benda. Peraturan ini lahir untuk
mengefektifkan peraturan sebelumnya. Dengan peraturan ini, Penguasa Militer
berwenang untuk mengadakan pemilikan terhadap harta benda setiap orang atau
badan di dalam daerahnya, yang kekayaannya yang diperoleh secara mendadak
dan mencurigakan. Dengan demikian, dalam pemilikan harta benda itu
memungkinkan adanya penyitaan. Selanjutnya status barang yang disita apabila
tidak memiliki syarat-syarat tertentu menjadi milik negara.54

Selanjutnya, dalam Peraturan Militer No. Prt./PM-011/1957 tertanggal 1 Juli


1957, dalam Pasal 2 dikatakan bahwa Penguasa Militer berwenang untuk menyita
dan merampas barang-barang (sebagaimana yang sebelumnya diatur dalam
Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM-08/1957 tentang penilikan terhadap
harta benda). Selanjutnya dalam Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No.
Prt/Perpu/013/1958 tertanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindakan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda dalam Pasal 12
ayat (1)55 dan ayat (3)56, Pasal 33 ayat (1)57, Pasal 40 ayat (2)58 dan ayat (3)59 yang

dikutip dalam Matthew H. Flemming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behaviour, An
Economic, Taxonomy, Draft for comments, version date, 27 January 2005, University College
London, hal 1 ).
54
Evi Hartanti, Tindakan Pidana Korupsi, cet. ke-2(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 24.
55
Di dalam ayat ini ditentukan bahwa Penilik Harta Benda dapat menyita harta benda
seseorang atau benda apabila ia setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan
keadaan tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu
termasuk salah satu rumusan termaksud dalam ayat (2).
56
Ketentuan ini menetapkan bahwaPenilik Harta Benda berhak juga menyita atau menuntut
penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan keterangan
tentang harta benda seseorang atau suatu badan.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
24

mengatur mengenai penyitaan harta seseorang yang diduga didapat dari perbuatan
yang tidak sah.

Tahun 1957 merupakan tahun yang cukup kritis dalam perjalanan sejarah
pengisian kemerdekaan. Tahun ini berada pada periode tahun 1950 sampai dengan
tahun 1959 yang didalam sejarah politik dan kenegaraan kita merupakan periode
waktu yang dinilai rawan bagi kelangsungan cita-cita kemerdekaan.60 Dalam
periode tahun 1950-1959 terjadi berbagai peristiwa di berbagai bidang kehidupan
yang menempatkan kehidupan negara dan pemerintahan dalam keadaan tidak
stabil61. Dalam suasana yang berhubungan dengan keadaan ketatanegaraan yang
tidak mantap terjadi suatu gejala sosial yang timbul dalam tubuh aparatur
pemerintahan yang sangat menarik perhatian rakyat waktu itu yang kemudian
menjadi terkenal yakni korupsi.62 Pada tanggal 17 April 1958 telah disahkan
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut nomor Prt/Z./I/7.
Maksud dan tujuan dari peraturan Penguasa Perang ini adalah agar dengan
peraturan Penguasa Perang tersebut di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
dapat diberantas perbuatan-perbuatan korupsi yang di waktu itu sangat merajalela

57
Ketentuan menetapkan bahwa jika seseorang dalam waktu 6 bulan setelah berlakunya
peraturan penguasa perang pusat ini dengan sukarela melaporkan kepada instansi yang berwajib.
Perbuatan korupsi yang telah dilakukan sebelum diadakan peraturan penguasa perang pusat
disertai keterangan-keterangan atau bukti-bukti lengkap, maka perbuatan itu tidak dituntut, asal
harta benda yang diperolehnya denan/karena perbuatan tersebut diserahkan kepada negara.
58
Ketentuan ini menetapakan bahwa segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu
dirampas.
59
Dalam ayat ini ditentukan bahwa si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang
penganti yang jumlahnya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi.
60
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di
Indonesia, (Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984), hal. 47.
61
Ketidakstabilan anatara lain diandai dengan diadakannya tindakan-tindakan seperti
dikeluarkannya Keppres RI nomor 40 tahun 1957 tertanggal 14 Maret 1957 tentang Republik
Indonesia dinyatakan dalam keadaan Darurat Perang, disusul dengan keputusan-keputusan yang
berhubungan. Dan pada gilirannya ditetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945
dan konstituante dibubarkan.
62
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di
Indonesia, (Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984), hal 48.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
25

sebagai akibat dari suasana bahwa seakan-akan pemerintah sudah tidak


berwibawa lagi.63

Dari perumusan diatas, terlihat bahwa korupsi dalam masa penguasa militer
mempunyai tafsiran yang luas, sehingga meliputi pula perbuatan korupsi lainnya
serta orang-orang yang secara tidak wajar mendadak menjadi kaya dan tidak
mampu membuktikan asal kekayaan tersebut. Peraturan-peraturan penguasa
militer ini merupakan suatu bentuk kehendak penguasa (political will) pada saat
itu untuk memberantas korupsi di Indonesia. Meskipun masih terdapat
ketidaksempurnaan dalam perumusan peraturan tersebut, tetapi paling tidak
Peraturan Penguasa Militer itu merupakan modal awal yang berharga untuk
disempurnakan dalam rangka mewujudkan suatu undang-undang tentang
pemberantasan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra
masyarakat Indonesia.64

Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pertama disahkan


yaitu Nomor 3 tahun 1971, yaitu tepatnya pada tanggal 29 Maret 1971 juga telah
mengatur mengenai konsep pengembalian aset hasil korupsi sebagaimana yang
terdapat dalam Pasal 34 yang mengatur bahwa :
a. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud dan yang tak
berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau
yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu,
begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu,
baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan siterhukum
ataupun bukan;
b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud dan tak
berwujud yang termaksud perusahaan siterhukum, di mana tindak pidana
korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang
menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan

63
Ibid., hal 55.
64
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, cet. ke-2(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 24.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
26

itu kepunyaan siterhukum ataupun bukan, akan tetapi tindak pidananya


bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan
tersebut sub a pasal ini.
c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.

Pasal ini merupakan perluasan dari pidana tambahan yang diatur dalam KUHP.
Pengaturannya dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari upaya
pengembalian kerugian uang negara yang hilang. Banyak yang mengatakan
bahwa proses pengusutan dan pemeriksaan atas tindak pidana korupsi sangat
berlebihan dan rawan atas pelanggaran hak asasi manusia. Menyangkut hal ini, J.
E Sahetapy mengemukakan bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sifatnya
eksepsional dan penyimpangan dalam acara pengusutan, penuntutan, dan
pemeriksaan dari hukum acara pidana yang berlaku tentu diharapkan dapat
menutup semua lubang bagi lolosnya para koruptor di Indonesia.65

Seiring perkembangan kebutuhan hukum dan aspirasi masyarakat, menghendaki


penegakan di bidang hukum semakin ditingkatkan sehingga tercapai pemerintahan
yang baik dan bersih. Pada masa sekarang, korupsi tidak hanya dianggap sebagai
masalah suatu negara, tetapi sudah menjadi masalah transnasional atau lintas batas
teritorial. Disamping itu, korupsi merupakan ”core crime”, yaitu kejahatan yang
merupakan tindak pidana pokok yang berkaitan dengan tindak pidana lain.66 Hal
ini lah yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong disusun dan
dikeluarkannya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang baru yaitu Undang-
Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan ini berusaha mempertahankan ide hendak menindak orang-orang yang
melakukan perbuatan yang tidak merupakan suatu tindak pidana tetapi dianggap

65
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-Undangan Pidana dalam Penanggulangan
Korupsi di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984) hal, 120 (hal tersebut dikutip dalam J.
E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hal 48).
66
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Dept.
Hukum dan Perundang-Undangan RI, 2000), hal 41.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
27

bertentangan dengan rasa kewajaran, ialah perbuatan tercela. Yang terakhir ini
disebut ”perbuatan korupsi lainnya”. Sanksi terhadap perbuatan ini tidak berupa
pidana melainkan perampasan harta benda hasil perbuatan tersebut oleh
Pengadilan Tinggi.67 Tindakan-tindakan penguasa yang demikian ini hanya dapat
dilaksanakan dalam keadaan darurat.

Pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No 31 Tahun


1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menggantikan Undang –
Undang No. 3 Tahun 1971. Tidak banyak hal mengenai pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi yang berubah setelah berlakunya UU No 31 Tahun 1999,
yang akhirnya pun disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi didalam Pasal 2 dan Pasal 3
ialah adanya kerugian keuangan Negara/perekonomian negara. Konseksuensinya,
pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana
penjara yang menjerakan (deterrence effect), tetapi harus juga dapat
mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi. Pengembalian kerugian
negara diharapkan mampu menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) sehingga dapat menutupi ketidakmampuan negara dalam
membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan.68 Hal ini menandakan bahwa
konsep perampasan aset hasil tindak pidana korupsi pun telah dikenal sejak tahun
1958 walaupun konsep perampasan aset ini belum merupakan suatu bentuk pidana
melainkan masih menggunakan hukum acara perdata.

Menurut kedua Undang-Undang korupsi tersebut, pengembalian kerugian


keuangan negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen
pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan
menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut

67
Dalam peraturan ini muncul kewenangan Pengadilan Tinggi yang dalam memeriksa
perkara harta-benda berpedoman kepada hukum acara perdata yang berlaku bagi Pengadilan
Negeri (pasal 12). Sebenarnya tindakan terhadap perbuatan tercela adalah benar-benar merupakan
tindakan yang luar biasa, yang hanya dapat dibearkan dalam keadaan yang luar biasa pula.
68
Soemarno, Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana
Korupsi dalam Peradilan Pidana. Jakarta. Tesis dalam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
28

agar dirampas oleh Hakim untuk negara. Selain terhadap barang sitaan, Undang-
undang Korupsi juga mengatur mengenai pidana tambahan salah satunya
pembayaran uang pengganti sebagai bagian dari pengembalian kerugian negara.

2.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam UNCAC


Upaya Indonesia dalam memerangi tindak pidana korupsi dan mengembalikan
kerugian yang diakibatkan olehnya tidak hanya melalui instrumen nasional.
Instrumen internasional juga telah Indonesia gunakan dalam rangkaian penegakan
hukum atas tindak pidana korupsi. Salah satu instrumen internasional yang sangat
menonjol dan merupakan terobosan dalam masalah pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi adalah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
2003 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006.
Ratifikasi tersebut secara politis telah menempatkan Indonesia sebaga salah satu
negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui
kerjasama Internasional. Hal ini penting karena korupsi di Indonesia terjadi secara
sistematik, sebagai salah satu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat
merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.69 Hal ini pula
membuat Indonesia sebagai salah satu harapan untuk dapat dijadikan sebagai
contoh bagi negara-negara lain di Asia, khususnya bagi negara yang kurang
kooperatif dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia,
disamping pula langkah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil
korupsi dari negara lain akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional
dalam upaya pemberantasan tindak pidana secara global.70

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 adalah instrumen


global pertama yang dirancang untuk memerangi tindak pidana korupsi dan untuk
memberikan pesan yang sangat kuat tentang adanya kesepakatan global dalam
memberantas korupsi. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
2003 merupakan kulminasi dan perkembangan alamiah dari sejumlah instrumen-

69
I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset
Negara, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal 3.
70
Ibid., hal 6

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
29

instrumen hukum anti korupsi dalam skala lebih kecil.71 Pada UNCAC 2003
pendekatan bersifat restoratif berupa pengembalian aset diatur dalam BAB V
Pasal 51 s.d. Pasal 59 tentang Pengembalian Aset (Asset Recovery) merupakan
prinsip mendasar yang diharapkan negara-negara peserta konvensi wajib saling
memberikan kerjasama dan bantuan seluas-luasnya mengenai hal ini. Terobosan
besar dari UNCAC 2003 mengenai Pengembalian Aset yang meliputi sistem
pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52 UNCAC 2003),
sistem pengembalian aset secara langsung dalam Pasal 53, sistem pengembalian
aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan
(Pasal 55 UNCAC 2003).72

Konvensi yang berada di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


ini telah diadopsi dalam sidang ketujuh Panitia ad hoc. Adopsi atas konvensi ini
merupakan babak baru dalam pemberantasan korupsi secara internasional, dan
juga merupakan perkembangan yang sangat signifikan dalam pengembangan studi
hukum mengenai korupsi dan saat ini korupsi sudah merupakan kejahatan
transnasional, bukan lagi semata masalah nasional masing-masing negara.73
Pengembalian aset sendiri diatur khusus dalam Bab V konvensi ini, sedangkan
prinsip-prinsip yang harus dilakukan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi dicantumkan pada Pasal 31 tentang Freezing, Seizing dan Confiscation.
Relevan dengan masalah tersebut ditegaskan tentang pentingnya kriminalisasi
pencucian uang seperti tercantum pada pasal 14, karena bagaimanapun dalam
rangka pengembalian aset harus melalui upaya penelusuran aset (tracing asset)
yang dalam hal ini berarti berbicara mengenai proses aliran dana hasil kejahatan

71
Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di
Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hal 15. (Dalam Catham House,
The UN Convention Against Corruption: A Summary of dscussion at the International Law
Programme, Discussion Group at Catham House, 27th September 2005).
72
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 30
73
Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di
Indonesia, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 2008). Dalam Romli
Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung:
Mandar Maju, 2004).

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
30

yang juga berarti terjadi pencucian uang. Dengan demikian jelas bahwa konsep
kriminalisasi pencucian uang dan Asset Recovery adalah suatu pesan yang sangat
penting dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi.74

Secara internasional, konsep pengembalian aset juga telah dikumandangkan dalam


”The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative” oleh United Nations Office on
Drugs and Crime (UNODC) dan World Bank Group (WBG). Konsep StAR
Initiative ini merupakan cara untuk mencapai tujuan dari strategi dari WBG yang
mengutamakan pemberian bantuan kepada negara berkembang dalam
pengembalian aset curian. Kerangka hukum internasional dari StAR ini telah
dituangkan dalam United Natitons Convention Against Corruption, kesepakatan
pertama mengenai gerakan antikorupsi secara global, yang mulai berlaku secara
sah pada Desember 2005.75 Tahun 2007, International Monetary Fund (IMF)-
World Bank Spring Meeting, pada pengenalan konsep StAR Initiative, para
perwakilan dari negara berkembang dan negara maju memberikan tanggapan dan
dukungan yang sangat kuat atas konsep pengembalian aset ini. Kesepakatan yang
didapat dari rapat tersebut adalah para peserta rapat setuju bahwa konsep
pengembalian aset harus dijadikan salah satu tahap penting dalam penegakan
hukum (khususnya dalam tindak pidana korupsi). Memang kerjasama
internasional dalam penegakan perampasan aset tindak pidana merupakan kunci
sukses dan ajang penyampaian maksud mengenai pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi. Dalam pengertian ini, StAR digambarkan sebagai benang merah
dalam upaya penegakan anti-korupsi yang efektif. Dengan mengecam dan
memperingati para pejabat negara yang korup bahwa aset yang mereka curi akan
dilacak keberadaannya, diambil, disita, dan dikembalikan kepada negara korban,
StAR akan menjadi suatu suatu ancaman dan akan membuat jera para koruptor.76

74
Yenti Garnasih, “Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil
Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 4 (Desember 2004), hal, 629-642
75
UNODC, World Bank Group, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges,
Opportunity, and Action Plan, (Washington: 2007), hal. 2.
76
Ibid., hal. 3.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
31

Melihat bahwa perampasan aset hasil tindak pidana korupsi merupakan salah satu
isu global dalam hal penegakan hukum, sangat penting apabila kita membahas
mengenai otoritas pemerintah dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi,
khususnya di Indonesia. Omar Swartz77 mengemukakan teori pengembalian aset
adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang
memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan
institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-
individu masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Dalam hal ini, Donald W.
Potter78 menyebut public goods yang dibicarakan Swartz dengan istilah political
goods dalam menjelaskan tanggung jawab negara. Menurut Potter, tanggung
jawab negara-negara adalah untuk memberikan political goods seperti keamanan,
kesehatan dan pendidikan, kesempatan ekonomi, pemerintah yang baik, hukum
dan pemerintah, dan keperluan-keperluan infrastruktur dasar (transport dan
komunikasi). Negara-negara dianggap gagal ketika tidak ada lagi kemauan atau
kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.79

Kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena para pelakunya


menggunakan peralatan yang canggih serta biasanya dilakukan oleh lebih dari
satu orang dalam keadaan yang terselubung dan terorganisasi. Oleh karena itu,
kejahatan ini disebut white collar crime80 atau kejahatan kerah putih.81 Tidak

77
Omar Swartz, On Social Justice and Political Struggle, essay, Human Nature Review,
Volume 4, 15 Agustus 2004, hal. 152.

78
Potter W. Donald, State Responsibility, Sovereignty, and Failed States, Referred paper
presented to the Australian Political Studies Association Conference University of Adelaide, 29
September-1 Oktober 2004, hal. 2.
79
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 30.
80
White collar crime atau dalam bahasa Indonesianya kejahatan kerah putih oleh Hazel
Croall dalam bukunya White Collar Crime (hal. 19) dirumuskan sebagai penyalahgunaan
wewenang oleh seseorang pegawai yang wewenangnya telah diberikan berdasarkan hukum.
Selanjutnya ditambahkan bahwa kejahatan kerah putih adalah seputar penipuan, penggelapan, dan
kejahatan lain yang biasa dilakukan pegawai atasan (high status employees).

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
32

sedikit tindak pidana korupsi melibatkan pejabat negara, bahkan Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
merumuskan pasal-pasal yang mengkhususkan pegawai negeri sebagai subjek
hukum yaitu dalam Pasal 12 huruf (a) sampai dengan huruf (i) UU No 31 tahun
1999 jo UU No 20 tahun 2001. Dalam Pasal 2 Civil Law Convention on
Corruption mendefinisikan

For the purpose of this Convention, "corruption" means requesting,


offering, giving or accepting, directly or indirectly, a bribe or any other
undue advantage or prospect thereof, which distorts the proper
performance of any duty or behaviour required of the recipient of the bribe,
the undue advantage or the prospect thereof.
(Korupsi berarti meminta, menawarkan, memberi atau menerima baik
langsung atau tidak langsung, suap atau keuntungan yang belum jatuh tempo
lainnya atau prospek lainnya, yang mendistorsi kinerja yang tepat dari semua
tugas atau tingkah laku yang semestinya dari penerima suap, keuntungan
yang tidak semestinya atau prospek daripadanya. )82

Pelakunya tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mempunyai jabatan seperti
pegawai negeri dan hakim, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja atau setiap
orang. Dengan syarat bahwa perbuatan yang dilakukan itu merugikan masyarakat,
merugikan keuangan negara serta menghambat pembangunan nasional. Oleh
sebab itu, perbuatan semacam korupsi, dirasakan tidak cukup jika hanya diatur
dalam KUHP saja. Sehingga korupsi dipandang sebagai tindak pidana khusus
karena akibat yang ditimbulkannya sangat besar. Selain itu juga mengakibatkan
persaingan yang tidak sehat antara seorang dengan orang lain. Dan bahaya yang
paling besarnya adalah kerugian terhadap kerugian negara akibat perbuatan
tersebut.

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali mengakibatkan


bencana bagi kehidupan ekonomi nasional dan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan

81
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2001), hal 36.
82
Civil Law Convention on Corruption, Pasal 2.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
33

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Dimitri


Vlasis mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang
maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan dan
kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi.83 Masyarakat dunia menjadi
pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi,
termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena
telah ditransfer ke dan ditempatkan ke luar negeri84 yang dilakukan melalui
pencucian uang85 yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk
menghilangkan jejak.86

Mengingat korupsi merupakan kejahatan transnasional dan kemudahan para


pelaku tindak pidana korupsi untuk menyembunyikan dan melarikan harta hasil
tindak pidana korupsi ke luar negeri, kerjasama internasional dalam pelaksanaan
program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan suatu
kebutuhan yang mendasar. Untuk dapat mengakses aset negara yang dilarikan ke
luar negeri diperlukan adanya yurisdiksi ekstra teritorial87 oleh pengadilan untuk
memperoleh aset tersebut. Pada umumnya, hukum tersebut membolehkan
pelaksanaan yurisdiksi ekstra teritorial apabila syarat tertentu telah terpenuhi,
misalnya tindakan yang menimbulkan perampasan timbul dalam yurisdiksi

83
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 40.
84
Ibid., Hal tersebut disampaikan dalam Dimitri Vlasis, The United Nations Convention
Against Corruption, Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66,
hal 118.
85
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunikan, atau menyamarkan asal
usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Dan menurut pasal
1 angka 1 huruf (a), aset hasil tindak pidana korupsi merupakan aset yang biasanya digunakan
dalam pencucian uang.
86
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 40.
87
Yurisdiksi ekstra teritorial adalah kemampuan pengadilan untuk memberlakukan
yurisdiksi terhadap individual atau harta benda yang berlokasi di luar batasan geografis yurisdiksi
dimana pengadilan tersebut berlokasi.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
34

teritorial pengadilan dan hubungan yang telah terbentuk antara yurisdiksi dan
asetnya.88 Ketentuan pengembalian aset UNCAC 2003, khususnya Pasal 54, Pasal
55, dan Pasal 57 menyatakan bahwa negara korban akan dapat memberlakukan
yurisdiksi atas aset yang berlokasi di luar yurisdiksi fisik atas dasar putusan akhir
di yurisdiksi yang meminta. Kemampuan negara korban untuk memperoleh
putusan perampasan terhadap harta benda di yurisdiksi lain, dan untuk yurisdiksi
dimana harta benda berlokasi untuk melaksanakan putusan, sangat membantu
pelaksanaan ketentuan pengembalian aset wajib yang melibatkan dana yang
digelapkan sebagaimana tercakup di Pasal 57 ayat (3) huruf (a). Dengan demikian,
untuk rezim pemulihan aset yang efektif, penting bagi lembaga pengadilan dari
negara korban untuk memiliki wewenang untuk menjatuhkan putusan yang
mempengaruhi hasil tindak pidana yang berlokasi di luar batas negara mereka.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan pengaturan mengenai pemberlakuan


yurisdiksi ekstra teritorial oleh pengadilan saja, program pengembalian aset tidak
dapat berjalan dengan mulus, karena dalam kenyataan dan implementasinya di
lapangan atau dalam kondisi nyata juka suatu negara tempat penyimpanan aset
dari pelaku tindak pidana korupsi tidak mau mengembalikan suatu aset hasil
tindak pidana, maka tidak akan menimbulkan akibat hukum apapun bagi negara
itu. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam upaya pengembalian aset sangat
bergantung pada kerja sama yang dibangun antara negara peminta (requesting

88
Lihat Undang-Undang Amerika Serikat 28, Bagian 1355 (b) (2) dan Undang-Undang
Amerika Serikat 21, Bagian 853 (j) (menetapkan yurisdiksi atas harta benda “tanpa
memperhatikan lokasi harta benda”). Lihat pula UU Anti Pencucian Uang 1999 (Tahiland), Bagian
6, yang melebarkan yurisdiksi di luar negeri seperti: “Siapapun yang melakukan pelanggaran
tindak pidana pencucian uang, bahkan ketika pelanggaran tersebut dilakukan di luar Kerajaan,
akan menerima hukuman di Kerajaan, sebagaimana dinyatakan dalam UU ini, jika:
1. Baik pelanggar merupakan warga negara Thailand atau bertempat tinggal di dalam
Kerajaan
2. Peanggar adalah orang asing dan telah melakukan tindak pidana dalam Kerajaan atau
bermaksud untuk menimbulkan konsekuensi tindak pidana tersebut di Kerajaan, atau
Pemerintah Kerajaan Thai adalah korban, atau
3. Pelanggar adalah orang asing yang tindak pidananya dianggap sebagai pelanggaran di
negara tempat ia melakukan tindak pidana tersebut berdasarkan yurisdiksinya, dan bila
individual tersebut muncul di Kerajaan dan tidak diekstradiksi berdasarkan UU
ekstradiksi, Bagian 10 dari Undang-Undang Penal juga akan berlaku mutatis mutandis.
(Sebagaimana disampaikan dalam Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery:
Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction
Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal 98).

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
35

state) yang jadi negara korban dengan negara yang diminta (requested state) yang
jadi negara penyimpan aset. Kerjasama itu dalam bentuk instrumen hukum,
diantaranya Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance.89

Mutual Legal Assistance merupakan suatu alat yang digunakan dan dibutuhkan
untuk mengurus masalah korupsi dalam tingkat internasional. Mutual Legal
Assistance atau yang biasa diistilahkan dengan Mutual Legal Assistance on
Criminal Matters (MLA) merupakan alat yang sangat penting dan perlu sekali
guna menghimpun para korban dan aset hasil korupsi yang dibawa keluar
negeri.90 Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ini dapat dilakukan bagi
negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi91. Sampai saat ini, Indonesia
baru memiliki empat perjanjian ekstradisi yaitu dengan Malaysia, Filipina,
Thailand, dan Australia.92

Dengan adanya bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini dimungkinkan
penyerahan pelaku kejahatan dari negara peminta dan negara yang menyerahkan.
Prinsip dari MLA ini ialah dengan asas resiprokal (asas timbal balik) yaitu
masing-masing negara memberikan bantuan kerja sama dalam penyerahan pelaku
kejahatan transnasional atas dasar permintaan.93 Bantuan timbal balik dalam
masalah pidana dibentuk karena dilatar belakangi adanya kerjasama antar negara
dalam masalah pidana, sampai saat ini belum ada landasan hukumnya, meskipun
sebelumnya sudah dikenal dengan lembaga ekstradisi. Sesuai dengan Undang-

89
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 46.
90
Marita van Thiel, Challenge in Mutual Legal Assistance, Asian Development Bank, Asset
Recovery and Mutual Legal Assistance: In Asia and Pacific,(Disampaikan pada Proceedings of the
6th Regional Seminar on Making International Anti-Corruption Standards Operational, 2008,) hal.
39.
91
Dalam konteks hubungan antar bangsa, maka ekstradisi dipandang sebagai alat atau
sarana sebagai suatu mekanisme kerjasama antar negara dalam rangka mencegah dan memberantas
kejahatan lintas anegara atau transnasional.
92
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana:
Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), hal.
150.
93
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
36

Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan undang-undang yang
mengatur tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, yang bertujuan
memberikan dasar hukum bagi pemerintah Indonesia dalam meminta dan/atau
memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan juga sebagai
pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana
dengan negara asing.94

Bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini merupakan permintaan bantuan
berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. Lingkup
bantuan ini, meliputi permintaan administrasi penyidikan, bantuan tindakan,
upaya paksa, pembekuan aset kekayaan, dan bantuan lainnya yang sesuai dengan
undang-undang ini. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini tidak
memberikan wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang,
melakukan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan orang, dengan
maksud untuk kepentingan ekstradisi atau penyerahan orang, serta pengalihan
narapidana atau pengalihan perkara. Sebagai prinsip dalam pemberian bantuan
timbal balik dalam masalah pidana ini, dilakukan berdasarkan suatu perjanjian,
sehingga apabila belum ada suatu perjanjian maka bantuan ini dapat dilakukan
atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas.95

2.2 Tahap Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi


Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi bukan merupakan tindakan yang
tidak legal, melainkan merupakan tindakan yang sah menurut hukum, berdasarkan
hukum dan dilakukan oleh pihak yang berwenang menurut hukum. Sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan terdapat beberapa pihak/intansi yang berperan
dalam penyitaan-penyimpanan-perampasan. Para pihak tersebut berperan dalam
setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sejak penyitaan hingga penyetoran

94
Ibid.
95
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
37

hasil pelelangan ke kas negara. Adapun para pihak yang berwenang adalah
sebagai berikut:96
1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan
2) Penuntut Umum adalah pihak yang bertanggungjawab dalam proses
pemeriksaan terhadap perkara beserta benda sitaan yang telah dilimpahkan
oleh penyidik. Penuntut Umum yang kemudian sesuai dengan tugas dan
kewenangan menuntut pidana atas perkara serta benda yang telah disita
terkait perkara.
3) Hakim adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pemeriksaan perkara
beserta benda sitaan di pengadilan yang diajukan oleh Penuntut Umum.
Hakim jug amerupakan pihak yang akan memutuskan suatu perkara
dipidana atau tidak dan memutuskan suatu benda yang telah disita
sebelumnya dirampas atau tidak.
4) Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), adalah tempat
benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan, yaitu
proses pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan.
5) Jasa Eksekutor, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap perkara dan
barang yang diputuskan dirampas, termasuk dalam tanggung jawab dan
kewenangannya untuk melakukan penjualan lelang dan menyetor hasilnya
ke kas negara.

Dalam Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset, Muhammad


Yusuf, Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) menyampaikan bahwa
Dalam proses penyidikan, proses penyitaan dan perampasan aset, pihak
yang berwenang untuk melakukannya harus berbeda. Penyidik hanya
berwenang melakukan penyidikan dengan mencari bukti-bukti tindak

96
Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pisana Tertentu, (Jakarta:
The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)), hal 17.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
38

pidana yang mendukung unsur-unsur pidana yang disangkakan kepada


tersangka. Penyidik tidak perlu ikut melakukan penyitaan, karena penyidik
sudah disibukkan dengan tahap penyidikan. Pihak yang berwenang untuk
melakukan penyitaan seharusnya adalah tim pelacak aset (asset tracing
team), yang dimana tim ini sebaiknya merupakan tim independen semacam
Satuan Tugas (Satgas). Masalah kewenangan semacam ini harus
dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.97

Pendapat beliau ini senada dengan apa yang diatur dalam Rancangan Undang-
Undang Perampasan Aset98 Pasal 5 yang menyebutkan bahwa dalam tahap
penelusuran aset hasil tindak pidana korupsi, dapat dibentuk satuan tugas
gabungan yang anggotanya terdiri dari instansi-instansi terkait.

Mengenai tindak pidana pencucian uang yang sangat dekat dengan tindak pidana
korupsi, Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang secara tegas mengamantkan pembentukan badan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan lembaga sentral untuk
mengoordinasikan pelaksanaan Undang-Undang TPPU. Lembaga yang berdiri
tanggal 17 Oktober 2003 ini, berdasarkan Undang-Undang TPPU dan Keppres
No. 82 tahun 2003 berwenang melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dan dapat melakukan kerja sama dengan pihak terkait ada
tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, PPATK telah menjalin
kerjasama yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) dengan Bank
Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, Direktoral Jenderal Bea dan Cukai,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bapepam, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kejaksaan Agung RI, Departemen Kehutanan dan CIFO (Center for
International Forestry Research) yang merupakan lembaga penelitian

97
Disampaikan pada “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang
diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011.
98
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset ini merupakan salah satu Program Legislasi
Nasional Tahun 2008 sebagai salah satu prioritas RUU yang akan dibahas. Sayangnya sampai
akhir tahun 2009 ini RUU tersebut belum masuk prioritas yang dibahas di DPR Periode 2004-
2009, dan hingga saat ini, tahun 2011, pemerintah juga masih terus membahas RUU tentang
Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dengan pertimbangan bahwa sistem dan
mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsiberikut instrumen yang
digunakan pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukumnya.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
39

internasional di bidang kehutanan. Kerjasama tersebut merupakan informasi,


pertukaran pegawai, capacity building, dan hal-hal yang terkit dengan rezim anti
pencucian uang di Indonesia99

Mengenai pengenaan perampasan, barang-barang yang dapat dirampas adalah


barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang
sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan. Dalam hal pemidanaan karena
kejahatan yang tidak dilakukan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang
ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah sebagai berikut:
1) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang
yang telah disita sebelumnya100
2) Jika seseorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai,
memasukkan atau mengangkut barang-barang dengan melanggar
aturan-aturan mengenai pengawasan pelayaran di bagian-bagian
Indonesia yang tertentu, aturan-aturan mengenai larangan
memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan
barang-barang, maka hakim dapat menjatuhkan pidana perampasan
atas barang-barang itu. 101
3) Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumnya, diganti
menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak
diserahkan atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim,
tidak dibayar.102
4) Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul
oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan
perampasan menjadi milik negara.103

99
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 70.
100
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 39.
101
Ibid., Pasal 40.
102
Ibid., Pasal 41.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
40

Substansi sistem hukum sistem hukum pengembalian aset melalui jalur hukum
pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian
aset melalui empat tahap yang terdiri dari: 104
1) Pelacakan aset untuk melacak aset;
2) Tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan
aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan;
3) Penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan
tersebut baru dapat dilaksanakan tahap
4) Yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban
tempat aset diperoleh secara tidak sah.

Tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya


meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi
merupakan upaya yang tidak kalah penting dibanding pemberantasan tindak
pidana korupsi dnegan memvonis pelaku dengan hukuman seberat-beratnya.
Langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping harus
dilakukan sejak awal penanganan perkara juga mutlak dilakukan melalui
kerjasama dengan berbagai lembaga negara juga harus difasilitasi dengan bantuan
intelejen keuangan.105

Tahap pertama dari rangakaian proses perampasan aset hasil tindak pidana
korupsi adalah tahap pelacakan aset. Tahap ini merupakan tahap dimana
dikumpulkannya informasi mengenai aset yang dikorupsi dan alat-alat bukti.
Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi fokus, menurut John
Conyngham, otoritas yang melakukan investigasi atau melacak aset-aset tersebut

103
Ibid., Pasal 42.
104
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 206.
105
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,
Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 9.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
41

bermitra dengan firma-firma hukum dan firma akuntansi.106 Untuk kepentingan


investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana akan menggunakan
dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk kepentingan pribadi dan
keluarganya.107

Tahap kedua adalah tahap pembekuan atau perampasan aset. Kesuksesan


investigasi dalam melacak aset-aset yang diperoleh secara tidak sah
memungkinkan pelaksanaan tahap pengembalian aset berikutnya, yaitu
pembekuan atau perampasan aset.108 Menurut United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003, pembekuan atau perampasan berarti larangan sentara
untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau
untuk sementara dianggap sebagai ditaruh dibawah perwalian atau dibawah
pengawasan berdasarkan perintah pengadilan atau badan yang berwenang
lainnya.109 Mengingat tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan
transnasional atau tidak jarang terjadi melibatkan atau antara negara lain karena
aset hasil korupsi disimpan di negara lain, maka kerjasama antar negara dalam
proses perampasan aset sangat perlu diperhatikan. Jika aset-aset yang dikorupsi
berada di luar yurisdiksi negara korban110, maka pelaksanaan perintah pembekuan
dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari
negara penerima111.

106
Ibid., (Dalam John Conyngham, Esq, Recovering Director’s Plunder, Testimony of John
Conyngham Esq., Global Director of Investigations, Control Risks Group Limited Before the
Committee on Financial Services Subcommittee on Financial Institutions and Consumer Credit US
House Representatives, 9 May 2002, hal. 2)
107
Ibid.
108
Ibid., hal 211.
109
Ibid., ( Sebagaimana tercantum dalam United Nation Convention Against Corruption
2003 Pasal 1 ayat 2 huruf (f)).
110
Negara korban merupakan negara dimana seorang koruptor melakukan tindak pidana
korupsi yang merugikan keuangan negara.
111
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 211.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
42

Ada dua kemungkinan cara melaksanakan perintah pembekuan atau perampasan


dari negara korban dalam yuridiksi hukum negara penerima112. Jika hukum
nasional negara penerima mengizinkan badan yang berwenang negara tersebut
melaksanakan perintah pembekuan dan perampasan yang dikeluarkan oleh badan
yang berwenang lain tempat asal aset diperoleh secara tidak sah, perintah dari
badan yang berwenang negara korban dapat langsung dilaksanakan. Salah satu
syarat penting untuk melakukan perampasan oleh badan yang berwenang di
negara penerima adalah bahwa aset-aset tersebut merupakan objek dari perintah
penyitaan. Dengan kata lain, pembekuan atau perampasan aset-aset tersebut
merupakan pengamanan sebelum dilakukan penyitaan untuk selanjutnya dapat
dilakukan penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban.113

Tahap ketiga adalah tahap penyitaan aset-aset. Penyitaan merupakan perintah


pengadilan atau badan yang berwenang untuk mencabut hak-hak pelaku tindak
pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Biasanya perintah
penyitaan dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari negara
penerima setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana pada pelaku
tindak pidana.114 Penyitaan dapat dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan
dalam hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang atau tidak ada
kemungkinan bagi jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan.115 Tahap
penyitaan dijustifikasi oleh prinsip yang berakar pada hukum yang menetapkan
bahwa orang dilarang mendapatkan keuntungan dari kegiatan yang tidak
berdasarkan hukum pada umumnya, dan tindak pidana, khususnya. Prinsip ini
mengikuti syarat bahwa jika hukum adalah untuk mempengaruhi tingkah laku
orang, hukum itu harus menyampaikan pesan-pesan yang koheren. Pesan-pesan
itu tidak lagi koheren ketika pada satu sisi berusaha untuk mencegah bentuk

112
Negara penerima merupakan negara dimana para koruptor di negara korban
mengamankan hasil dari tindak pidana korupsinya.
113
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 215.
114
Ibid.
115
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Pasal 54 (1)

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
43

khusus tingkah laku, tetapi pada sisi yang lain membiarkan seseorang yang
melakukan bentuk khusus tingkah laku yang berusaha dicegah tersebut,
mendapatkan keuntungan. 116 Dengan demikian tindakan penyitaan terhadap aset
hasil tindak pidana korupsi dibenarkan dengan landasan pemikiran bahwa hukum
pidana harus tetap komit untuk tidak memberikan keuntungan kepada pelaku
tindak pidana.

Setiap dugaan korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan harus disita terlebih
dahulu, hal ini merupakan tindakan pengamanan agar aset hasil korupsi tersebut
tidak dibawa pergi atau disembunyikan oleh pelaku. Aset hasil korupsi harus
disita terlebih dahulu agar kemudian setelah putusan bersalah oleh Hakim telah
berkekuatan hukum tetap, aset hasil tindak pidana korupsi yang disita dapat
dikembalikan kepada Negara.117 Tahap penyitaan merupakan tahap yang paling
penting dalam rangkaian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Tujuan
dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian di muka sidang pengadilan,
karena tanpa adanya barang bukti, perkara sulit diajukan ke hadapan sidang
pengadilan. Prof. Dr. Baharuddin Lopa S.H mengemukakan bahwa alangkah
baiknya bila penyidik sebelum melakukan penyidikannya, terlebih dahulu
melakukan pengamatan yang seksama atas semua kekayaan calon tersangka. Pada
saat disidik langsung secepatnya kekayaan disita untuk menghindari pengalihan
kekayaan kepada pihak ketiga. Jadi, yang terpenting ialah menyita kekayaan yang
ada, bukan hanya menghitung berapa jumlah yang dikorup dan nanti jumlah itu
diwajibkan baginya untuk membayar kembali kepada negara.118

Tahap keempat dari rangkaian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
adalah penyerahan aset-aset hasil tindak pidana korupsi kepada korban atau

116
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 218.
117
Chandra M. Hamzah. Disampaikan pada “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah
Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei
2011.

118
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, cet. 2 (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002), hal. 54.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
44

negara korban. Agar dapat melakukan pengembalian aset-aset, baik negara


penerima maupun negara korban perlu melakukan tindakan legislatif dan tindakan
lainnya menurut prinsip-prinsip hukum nasional masing-masing negara sehingga
badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian aset-aset tersebut.
Kebanyakan negara tidak mengatur secara khusus ketentuan pembagian aset-aset
yang dibekukan dan disita, sehingga pada umumnya masalah pembagian aset-aset
yang diatur dalam perjanjian bantuan hukum timbal balik antara negara korban
dengan negara penerima.119 Tahap penyitaan sebelum adanya pengembalian aset
tindak pidana korupsi adalah sangat penting adanya, karena tanpa adanya
penyitaan terlebih dahulu atas aset dugaan hasil korupsi, maka aset tersebut tidak
dapat diambil oleh negara sebagai. Hal ini didasarkan pada Pasal 39 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang mengamanatkan bahwa hanya harta yang
telah disita sebelumnya saja yang dapat dirampas oleh negara. Penting untuk
diperhatikan bahwa dalam setiap putusan pengadilan yang berkaitan dengan upaya
pengembalian aset dari terangka, terdakwa dan terpidana korupsi (dan juga
kejahatan lain) terutama jika asetnya berada di luar negeri maka seharusnya
putusan pengadilan memerintahkan untuk perampasan aset tersebut secara tegas
dan detail tentang benuk kebendaan dan lokasinya serta dalam penguasaan atau
pemilikan siapa.

Tugas dan tanggungjawab negara untuk mewujudkan keadilan sosial, dipandang


dari sudut teori keadilan sosial, memberikan justifikasi moral bagi negara untuk
melakukan upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Teori
keadilan sosial memberikan landasan moral bagi justifikasi pengembalian aset
oleh negara seperti yang dikemukakan oleh Michael Levi, yaitu: 120
a) Alasan pencegahan (prohylactic) yaitu untuk mencegah pelaku
tindak pidana memiliki kendali atas aset-aset yang diperoleh secara

119
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 233.
120
Ibid., hal 101 (Dalam Michael Levi, Tracing and recovering the Proceeds of Crime,
Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004, hal 17) Michael Levi adalah seorang
Professor Kriminologi dari Cardiff University, Wales, UK.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
45

tidak sah atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk
melakukan tindak pidana lain di masa yang akan datang;
b) Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana
tidak punya hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara
tidak sah tersebut;
c) Alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberi
prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara
tidak sah daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana;
d) Alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena aset tersebut
diperoleh secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan
selaku pemilik aset tersebut.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan isu yang sangat penting
dalam penegakan hukum. Hal ini dikarenakan pencurian aset negara di negara-
begara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah berkuasa di
negara bersangkutan merupakan masalah serius.121

Secara umum ada dua jenis pengembalian aset hasil tindak pidana yang diterapkan
secara internasional untuk memulihkan hasil dan instrumentalitas122 tindak
kejahatan: Perampasan Aset NCB (Non-Conviction Based)123 dan perampasan
kejahatan.124 Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni perampasan oleh
negara atas hasil dan instrumentalitas tindak kejahatan. Keduanya memiliki
rasional dua sisi yang sama. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan haram
jangan dibiarkan mengambil manfaat dari tindak kejahatannya. Hasilnya harus
disita dan digunakan untuk memberi kompensasi kepada korban, baik yang

121
I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset
Negara, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal 2.

122
“Instrumentalitas” merupakan aset yang digunakan untuk memudahkan tindakejahatan,
seperti mobil atau kapal yang digunakan untuk mengangkat narkoba.
123
Perampasan NCB merupakan perampasan tanpa pemidanaan sebagai alat pemulihan
aset.
124
Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture),
(Washington DC: The World Bank, 2009), hal.13.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
46

merupakan negara maupun yang individu. Kedua, kegiatan haram harus dicegah.
Meniadakan keuntungan ekonomis dari tindak kejahatan akan mengecilkan niat
untuk melakukan tindak kejahatan di tingkat pertama. Perampasan
instrumentalitas memastikan bahwa aset demikian tidak akan digunakan untuk
tujuan kejahatan selanjutnya; serta merupakan suatu pencegahan.125

Dalam pengembalian aset secara NCB, pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi sangat mungkin dilaksanakan tanpa adanya putusan pidana atas tindak
pidana korupsinya tersebut terlebih dahulu. Tindakan tersebut dilakukan dengan
mengacu kepada asas non-conviction based yang digunakan dalam pengembalian
aset secara perdata (civil forfeiture), dimana tuduhan secara pidana atau putusan
pidana tidak diperlukan dan yang menjadi fokus dalam pengembalian ini adalah
terhadap bendanya (in rem) atau aset yang dianggap sebagai hasil satu kejahatan.

Disamping itu, jenis lain dari pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
berupa perampasan kejahatan merupakan suatu perintah in personam, suatu
tindakan terhadap seseorang. Ini memerlukan pengadilan pidana dan
penghukumanm dan seringkali merupakan bagian dari proses penghukuman.
Beberapa yurisdiksi menerapkan standar bukti yang lebih rendah untuk proses
perampasan dibandingkan untuk proses bagian tindak kejahatannya. Meskipun
demikian, pada intinya putusan pidana bersalah harus dijatuhkan terlebih dahulu
baru aset dapat dikembalikan kepada negara. Sistem perampasan kejahatan dapat
berdasarkan objek, yang berarti bahwa pihak penuntut yang berwenang wajib
membuktikan bahwa aset-aset yang dipermaslahkan merupakan hasil dari atau
instrumentalitas (aset yang digunakan untuk memudahkan melakukan tindak
kejahatan) tindak kejahatan tersebut.

Berbicara mengenai perampasan kejahatan atau perampasan dalam konsep pidana,


secara ekstrim bahkan disebutkan bahwa sistem perampasan kejahatan dapat
berdasarkan objek, yang berarti bahwa pihak penuntut yang berwenang wajib
membuktikan bahwa aset-aset yang dipermasalahkan merupakan hasil dari atau

125
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
47

instrumentalitas tindak pidana tersebut. Sebagai alternatif, dapat juga merupakan


rezim yang berdasarkan nilai, yang mengizinkan perampasan senilai manfaat
pelaku pelanggaran dari tidak pidana tersebut, tanpa membuktikan hubungan
antara tindak kejahatan dan objek harta benda tersebut.126

Bila dikaitkan dengan jenis-jenis perampasan yang disebutkan oleh StAR


sebagaimana yang dijelaskan pada paragraf diatas, konsep perampasan yang akan
dipakai dalam tulisan ini adalah jenis perampasan kejahatan atau pengembalian
aset secara pidana. Perampasan kejahatan merupakan suatu perintah in personam,
suatu tindakan terhadap seseorang (sebagai contoh, Negara melawan John Smith).
Ini memerlukan pengadilan pidana dan penghukuman, dan seringkali merupakan
bagian dari proses penghukuman.127 Pada tindak pidana korupsi, selain pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), sebagai pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak
yang berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di
mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut.128

Dalam praktek pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Eropa, Mayoritas
negara-negaranya memiliki sistem yang memperbolehkan penyitaan untuk
kekayaan tertentu atau barang-barang senilai dengan hasil kejahatan; dengan
catatan bahwa untuk penyitaan hasil tindak pidana yang serius memerlukan
pemidanaan sebelum penyitaan (meskipun ada pengecualian di beberapa negara);
memerlukan standar pembuktian pidana (pengecualian termasuk Irlandia dan
Inggris di mana standar perdata yang diterapkan).129 Karena itu, menurut Kaisa

126
Ibid.
127
Ibid.
128
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999, LN No 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874, Pasal 18 ayat (1).
129
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 225 (Dalam

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
48

Hakkinen130, di Eropa, penyitaan terutama dilaksanakan dalam proses pidana.


Dalam hal itu, asas legalitas memberikan limitasi untuk kegunaan penyitaan.
Penyitaan hanya dimungkinkan dan hanya apabila dinyatakan dalam hukum.
Penyitaan di negara Eropa umumnya mengharuskan adanya hubungan antara
tindak pidana dengan kekayaan yang disita. Kaissa Hakkinen mengemukakan tiga
tujuan dari penyitaan, yaitu131:
1) Pelaku tindak pidana tidak boleh menikmati keuntungan atas tindak
pidana yang dilakukannya. Penyitaan dimaksudkan untuk menyingkirkan
keuntungan-keuntungan keuangan dari tindak pidana tersebut
2) Untuk mencegah diinventarisasikannya hasil yang diperoleh tidak sah ke
dalam tindak pidana-tindak pidana baru. Maksudnya untuk mencegah
hasil yang diperoleh secara tidak sah tersebut ditemukan kembali dalam
kegiatan-kegiatan yang tidak sah. Dengan menyita hasil yang diperoleh
secara tidak sah tersebut masyarakat yakin bahwa keuntungan-keuntungan
yang tidak sah dari kejahatan tidak akan ditemukan kembali dalam
kegiatan-kegiatan yang sah.
3) Mencegah sebuah firma mendapatkan keuntungan-keuntungan kompetitif
yang tidak berdasarkan hukum. Dengan menyita hasil yang diperoleh
secara tidak sah mungkin akan memindahkan keuntungan-keuntungan
yang tidak jujur yang telah diperoleh firma tersebut atas pesaing-
pesaingnya.

Sekarang ini bukan saatnya lagi penegakan hukum yang bersifat offenders-
oriented, melainkan penegakan hukum juga harus memperhatikan dan
memperjuangkan hak korban. Korupsi sebagai tindak pidana yang mengakibatkan

Council of Europe 2001: Confiscation of Proceeds from Crime in South-Eastern Europe. Project
PACO Proceeds.
http://www.coe.int/T/E/Legalaffairs/Legal_cooperation/Combating_economic_crime/programme_
PACO ))
130
Ibid., hal 225. (Dalam Kaisa Hakkinen, Law and Economic Analysis of Confiscating the
Proceeds of a Crime, A paper presented in the purpose to analyse economic effects and legal
aspects of confiscation of the benefit of a crime, University of Joensuu, Department of Business
and Economics, Routsalisenraitti 7 B, FIN-53850 Lappeeranta, Finland)
131
Ibid., hal 228

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
49

kerugian yang sangat besar dan korban yang masif harus memiliki penegakan
hukum dan strategi pemberantasan yang ampuh dan dapat mengembalikan
kerugian semaksimal mungkin kepada korbannya. Negara sebagai pihak yang
paling dirugikan oleh tindak pidana korupsi harus mengupayakan pengembalian
aset yang telah dikorupsi, terlebih aset yang dialihkan atau disimpan diluar negeri.
Negara harus menggalakan pola pikir profit-oriented terhadap penegakan hukum
tindak pidana korupsi, yakni pemberantasan tindak pidana yang berorientasi
kepada penyitaan hasil-hasil kejahatan yang diperoleh dan dikuasai para pelaku
tindak pidana. Tekanannya bukan lagi pada pelaku kejahatan, tetapi pada aset
hasil tindak pidana. Untuk mencapai tujuan tersebut, alangkah baiknya bila kita
membahas mengenai pemahaman konsep pengembalian aset itu sendiri. Karena
tindak pidana korupsi dan pengembalian aset tindak pidana korupsi sebagai salah
satu pemulihan kerugian negara adalah satu rangkaian yang jangan sampai
terpisahkan.

2.3 PROGRAM PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA DI


BEBERAPA NEGARA
Dalam pembahasan mengenai program pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi di Indonesia, ada baiknya bila pembahasan mengenai program
perampasan aset di negara lain juga dibahas sebagai pembanding dan
pembelajaran. Brtani Raya dan Thailand, dua negara yang akan dibahas dalam
tulisan ini mengenai program perampasan asetnya merupakan negara-negara yang
telah serius melakukan upaya perampasan aset. Keseriusan mereka telah
tergambar dengan telah dimilikinya undang-undang mengenai perampasan aset,
juga telah adanya badan khusus pengembalian aset hasil tindak pidana.
2. 3. 1 Britania Raya
Pada umumnya, peradilan pidana melibatkan negara dalam menentukan kondisi-
kondisi tertentu yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan hukuman kepada
seseorang pejabat negara yang melakukan suatu tindak pidana. Kondisi-kondisi
yang dimaksud ini meliputi empat karakteristik, yang diantaranya adalah pertama,
tindak pidana tersebut merupakan perbuatan-perbuatan pidana yang masih belum
dapat dibuktikan atau masih berupa dugaan dan bukan merupakan kejahatan-

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
50

kejahatan pada umumnya. Kedua yaitu pada saat ditemukan adanya bukti-bukti
yang ternyata tidak sah, berkenaan dengan standar bukti yang ada dalam
persyaratan penting dalam nilai-nilai sebagai prasyarat untuk dapat diterima.
Ketiga, adanya hak non-self incrimination132. Keadaan keempat, sebagai
puncaknya yaitu mengenakan sanksi publik sebagai tentangan atas pemberian
pemulihan pribadi terhadap pelaku.133

Pada saat merumuskan keempat poin tersebut, pemikiran bahwa ”seseorang yang
diputus tidak bersalah dapat didakwakan lagi atas tindak pidana yang sama” (yang
merupakan penyimpangan asas ne bis in idem) kemungkinan dapat dijadikan poin
kelima dari rangkaian pemikiran tersebut. Hal ini dimungkinkan karena dianggap
sebagai aksi keberatan atau justifikasi dari ketidaktelitian penyidik dalam
menemukan unsur tindak pidana dan penuntut umum dalam membuktikan bahwa
seseorang bersalah sehingga ia berhasil lolos dengan diputus bebas.134

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penyitaan secara pidana atau yang disebut
dengan ”criminal forfeiture”, maupun pengembalian aset curian secara perdata
atau yang dalam istilah di Inggris disebut dengan ”civil confiscation”, merupakan
tindakan untuk mematahkan prinsip dasar dari Sistem Peradilan yaitu prinsip
perlindungan terhadap hak tersangka. Dalam tahap penyitaan aset hasil tindak
pidana, hal pertama yang penting untuk diingat adalah kita dapat melaporkan
seseorang yang secara tidak lazim (hasil tindak pidana atau dimiliki secara
melawan hukum) memiliki aset yang cukup banyak , meskipun laporan itu hanya
berdasarkan dugaan awal dan belum ada bukti mendukung. Tim pelacak aset hasil

132
Luhut M. P Pangaribuan, Non-Self Incrimination,
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/06/07/KL/mbm.19990607.KL95204.id.html,
diunduh pada 8 Juli 2011. Prinsip non-self incrimination bermakna bahwa larangan seseorang
sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat
dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan
kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban
negara itu
133
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil
Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 21-22.
134
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
51

tindak pidana pun dapat menyita aset yang diduga hasil tindak pidana walaupun
belum ada dakwaan tertentu dari penuntut umum. Dalam civil confiscation, negara
hanya boleh menyatakan bahwa seseorang mendapatkan harta tersebut adalah
hasil dari perbuatan tidak sah atau perbuatan melawan hukum hanya kepada
seseorang yang memegang hak milik atas harta tersebut. Sedangkan dalam
criminal confiscation, tidak penting siapa pemilik dari aset tersebut, karena
”pelaku pidana” itu sendiri merupakan orang yang melakukan tindak pidana dan
hasil dari tindak pidana tersebut adalah tidak sah, sampai ia dapat membuktikan
sebaliknya.135

Hal kedua yaitu, keistimewaan dari penegakan hukum dalam pengembalian aset
hasil tindak pidana ini adalah semua pihak yang terkait dengan harta tersebut
diwajibkan (dan dengan paksaan) untuk memberikan informasi dan keterangan
dalam tahap penyidikan atau dalam tahap civil confiscation. Hal ini disebut
istimewa, mengingat dalam Sistem Peradilan biasa yaitu larangan secara mutlak
untuk hanya dapat bertumpu pada seorang saksi atas kesaksiannya yang secara
terpaksa, kecali dalam penuntutan untuk sumpah palsu atau sebagai bukti
bantahan dalam peradilan pidana. Ketiga, kebutuhan untuk menunjuk saksi-saksi
yang kuat dan meyakinkan untuk membuktikan persangkaan-persangkaan yang
telah dilemparkan sebelumnya, sebisa mungin harus dihadirkan. Penggunaan
hearsay evidence harus diusahakan semaksimal mungkin untuk tidak dihadirkan,
karena kekuatan pembuktian yang dihasilkan oleh hearsay evidence ini tidak kuat,
karena mereka tidak mengalami dan paham secara langsung mengenai tindak
pidana korupsi yang terjadi.

Hal keempat adalah, kebutuhan untuk pembuktian atas pernyataan persangkaan


secara baik dan tidak melanggar norma apapun merupakan tugas yang sangat
serius dan tidak mudah. Pembuktian ini harus benar-benar dilakukan sehingga
pembuktian sampai beyond a reasonable doubt tidak perlu dilakukan. Kelima,
tidak ada lagi ukuran yurisdiksi untuk memulai suatu penyitaan secara perdata dan
pemilihan proses peradilan pidana mana yang akan digunakan, atau, sebagai

135
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
52

alternatif, dengan memulai proses pengembalian aset setelah proses penuntutan


secara pidana tidak berhasil.

2.3.1.1 Pengembalian Aset Secara Perdata Sebagai Alternatif dari


Hukum Pidana
Setelah mempertimbangkan karakteristik-karakteristik diatas, pengembalian aset
telah merepresentasi suatu terobosan dari hukum pidana dan penegakan hukum
pidana itu sendiri dengan gigih. Berdasarkan lima prinsip yang telah disebutkan
diatas, konsep dari penyitaan aset menggambarkan bahwa sang pemilik aset tidak
berhak atas hak milik harta yang didapat dari hasil tindak pidana, sehingga
penguasaan atas harta tersebut tidak dalam pemilikan (eigendom) siapapun,
melainkan penguasaannya (bezit) berada pada tangan negara melalui badan
pengelola sampai adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atas harta
tersebut. Landasan pemikiran tersebut dikemukakan oleh Jaksa Agung, Lord
Goldsmith dalam Komite House of Lords.

Pusat perhatian yang paling utama dalam pengembalian aset hasil tindak pidana
secara perdata adalah darimana asal aset yang dicurigai merupakan hasil tindak
pidana. Prinsip ini harus ditekankan untuk mengakses aset yang terikat pada
tersangka pelaku kejahatan. dalam pengembalian aset hasil tindak perdata,
pemegang aset yang telah dinyatakan hasil tindak pidana korupsi, atau lebih
tepatnya pelaku tindak pidana, tidak dipertimbangkan melainkan pemegang hak
milik atas aset tersebutlah yang secara hukum menjadi subjeknya.

Pertanyaan mengenai dengan cara apakah pengadilan akan melakukan proses


pengembalian aset hasil tindak pidana, dengan cara perdata ataukah dengan cara
pidana adalah dibahas dengan rinci dalam Bab 7, paragraf 7 Proceeds of Crime
Act (POCA) 2002. Masalah pengembalian aset yang sedang dipertaruhkan disini
adalah tergantung sejauh mana perlindungan dan prosedur dari pengembalian aset
itu sendiri yang sebenarnya telah diatur dalam European Convemtion on Human
Right (ECHR), Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) yang akan mempengaruhi pengaturan
prosedur atau aturan umum dari praktek penyitaan secara perdata (civil forfeiture)

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
53

maupun penyitaan secara pidana (confiscation), yang keduanya, pada prinsipnya,


tidak mempengaruhi atau menjadi patokan dari tuntutan pidana di Pengadilan
Negeri, juga di Pengadilan Strasbourg. Dengan demikian, apapun konsekuensi
hukum dari ketentuan tersebut tindakan-tindakan pendahuluan tersebut
dikategorikan sebagai tindakan pencegahan utama. Mengenai hal itu, sepertinya
POCA 2002 tidak dapat dilakukan begitu saja dengan cara yang umum dalam
melakukan tuntutan pidana, walaupun pengecualian dari tiap kasus akan muncul.
Yang menjadi perdebatan adalah, bagaimana perlindungan yang akan diberikan
kepada tersangka dalam tahap pengembalian aset tersebut, terlepas dari rangkaian
tindakan tersebut akan berujung pada tuntutan pidana atau tidak karena
bagaimanapun perlindungan terhadap tersangka merupakan hak yang harus
diperhatikan.

2.3.1.2 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi secara


Perdata
Walaupun POCA 2002 ini mengatur mengenai hukum pidana di Britania Raya,
tetapi hukum perdata pun masih sedikit dibicarakan dalam peraturan ini. Proceed
of Crime Act (POCA) 2002 menyentuh ranah hukum perdata dalam hal
pengembalian aset hasil tindak pidana dan hal tersebut membuat POCA 2002
menjadi salah satu produk hukum yang paling signifikan dan inovatif sekaligus
juga kontroversial karena pada bagian 5 POCA 2002 terdapat hal baru yang diatur
tentang civil recovery dari suatu tindak pidana, negara melalui Directors of the
Assets Recovery Agency, dapat membawa permasalahan perdata ke pengadilan
untuk memperoleh benda yang didapat secara melawan hukum.136 Dalam
prakteknya penyelesaian secara perdata sering diterapkan sebagai pengganti,
bahkan sebagai tambahan dari suatu proses pidana. Sistem ini diciptakan untuk
mendukung tindakan-tindakan pengembalian secara hukum yang juga baru dan
didalamnya terdapat 2 (dua) aspek penting yaitu pengamanan proses penuntutan

136
Ibid., hal. 235.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
54

dan penunjukkan seseorang untuk menyelidiki keadaan kasus tersebut dan


melaporkan penemuannya kepada pengadilan.137

Negara-negara penganut sistem hukum Common Law telah mengenal mekanisme


pengembalian aset secara perdata (civil forfeiture). Sistem ini tidak lagi
memberikan pandangan terpisah antara sistem hukum pidana dengan perdata
dalam hal perampasan aset yang dihasilkan dari suatu tindak pidana. Perbuatan-
perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata telah bercampur
dengan tindak pidana, demikian pula sebaliknya tindak pidana sering juga
berpengaruh terhadap lingkup hukum perdata.

2.3.1.3 Lembaga yang Bertanggungjawab atas Pengembalian Hasil


Tindak Pidana
Lembaga pada Umumnya
Lembaga yang dibahas dalam bagian ini mewakili lembaga penuntut umum utama
yang bertanggungjawab atas penyidikan dan membawa aset hasil tindak pidana
untuk pemulihan kerugian akibat tindak pidana. Lembaga lain, seperti Otoritas
Jasa Keuangan (Financial Services Authority), juga memiliki peran yang sangat
penting dalam rangkaian pengembalian aset tindak pidana ini. Sebuah multi-
lembaga baru, Satuan Tugas (Enforcement Task Force) didirikan pada akhir tahun
2002 yang mengurus kasus-kasus dibawah Criminal Jusice Act (CJA 1988) dan
Drug Trafficking Act (DTA) 1994 terus beroperasi dalam kaitannya dengan kasus-
kasus dibawah rezim mereka. Satuan Tugas tersebut terdiri dari pengacara-
pengacara dan pekerja sosial dari Crown Prosecution Service’s Central
Confiscation Branch (CCB), Enfrorcement Section dan the Asset Forfeiture Unit
(AFU) dari HM Custom and Exercise (HMCE), juga oleh penyidik keuangan dari
kepolisian, the National Crime Squad dan HMCE. Akan tetapi, yang perlu
diperhatikan adalah Satuan Tugas ini tidak akan berurusan dengan praktek
(hukum acara) dari penegakan hukumnya, jadi hanya berurusan dengan
penelusuran aset hasil tindak pidana.138

137
Ibid., hal. 236

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
55

2.3.1.4 Lembaga Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana


Bagian 1 dari POCA 2002 mengatur mengenai Asset Recovery Agency (ARA)
atau Lembaga Pengembali Aset dari fungsi umum dan kewenangan dari Ketua
ARA secara garis besar. Aset Recovery Agency adalah suatu lembaga pemerintah
yang independen dan non-departemen. Ketua dari ARA ditunjuk oleh dan
bertanggungjawab kepada Sekretaris (Home Secretary). Seorang Wakil Ketua dari
ARA bertanggungjawab atas pelaksanaan kekuasaan Ketua ARA dalam
pengembalian aset di Irlandia Utara (Northern Ireland) dan ARA telah mulai
beroperasi sejak Februari 2003. Lembaga ini berkantor di London dan Belfast.

Tujuan dari ARA adalah tidak lain dari berperang melawan segala tindak pidana
yang mengambil aset negara. ARA memiliki empat tujuan strategis yang
diantaranya:
1. Membantu mengurangi kejahatan dan jaringan penjahat perusahaan
melalui perampasan aset, sehingga dengan tindakan itu dapa mengurangi
efek buruk atas tindak kejahatan di masyarakat
2. Untuk mengembalikan jumlah aset sebesar kerugian negara dengan
ketentuan yang telah diatur dalam aturan mengenai pengembalian aset,
baik langsung ataupun dengan bantuan dari lembaga penegak hukum.
3. Memajukan peran penyidik keuangan, baik didalam ataupun diluar
lembaga
4. sebagai alat untuk memerangi dan menindak kejahatan
5. Mempergunakan ARA untuk hal-hal
a. Membudayakan proses penempatan aset hasil tindak pidana dan
hasil sebagai fokus utama.
b. Menetapkan standar yang tinggi untuk profesionalisme dan
integritas kerja.
c. Mendukung para pekerja baik dalam tim maupun secara individual
dalam proses pengelolaan aset hasil tindak pidana.

138
The best identified by Task Force has been utilized to draw up the “National Best
Practice Guide to Confiscation Order Enforcement”, published in August 2003 and available on
the Home Office website (http://www.homeoffice.gov.uk).

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
56

d. Membangun asas kepercayaan dengan pihak terkait lainnya.


e. Memperjuangkan aset yang diambil secara tidak sah.

2.3.1.5 Fungsi ARA


Proceeds of Crime Act (POCA) 2002 mengatur mengenai fungsi dari ARA, yaitu:
ƒ Bagian 1 mengharuskan Ketua ARA untuk membentuk suatu sistem
penyidik keuangan yang terakreditasi, memantau kinerja para pekerjanya,
dan mencabut akreditasi tersebut dalam keadaan yang sepatutnya. Sebagai
tambahan, Ketua ARA harus memberikan masukan dan panduan kepada
Home Secretary saat diperlukan.
ƒ Bagian 2 (di Inggris dan Wales) dan Bagian 4 (Irlandia Utara) memberikan
kekuasaan pada Ketua untuk melakukan permohonan penyitaan secara
pidana, perintah pengendalian atau pengelolaan aset, naik banding, dan
melaksanakan permohonan penyitaan.
ƒ Bagian 5, bab 2 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk melakukan
tindakan perdata untuk mendapatkan aset secara perdata di Inggris, Wales,
dan Irlandia Utara. Ada kekuatan tambahan bagi Ketua untuk melakukan
tindakan demi memenuhi permohonan sementara
ƒ Bagian 6 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk menaikkan taksiran
pajak terhadap seseorang atau keuntungan dari perusahaan yang layak
untuk dicurigai telah menurunkan pendapatan, keuntungan atau laba dari
kejahatan dan kekuasaan tersebut untuk memperluas ke Skotlandia.
ƒ Bagian 8 memberikan kekuasaan kepada Ketua untuk mendapatkan
penyelidikan atas aset curian dan membuat surat perintah dalam
penyelidikan atas penyitaan secara pidana (confiscation) dan penyitaan
secara perdata (civil recovery investigations) dan untuk menerbitkan Surat
Permohonan (Letter of Request) untuk penyelidikan atas penyitaan.
ƒ Bagian 11 memberikan kuasa kepada Ketua untuk membantu yurisdiksi
lain dengan pengendalian permintaan pengembalian aset, menerima aset
yang disita secara sementara, serta mengembalikan aset dan menyusun
gugatan untuk penyelidikan eksternal. Permintaan perampasan aset di

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
57

Dewan, di bawah POCA 2002, pada awal 2004 harus sudah dilakukan
untuk memberikan bantuan kepada yurisdiksi lain.

2.3.1.6 Aset yang harus dikembalikan dan aset yang terkait


Sebelum munculnya pertanyaan mengenai pengelolaan aset, pengadilan harus
dipuaskan oleh fakta bahwa aset yang dipertanyakan selama ini adalah aset inti
yang harus dikembalikan ataukah aset yang terkait dengan aset hasil curian.139
Aset yang harus dikembalika, atau yang didalam POCA diistilahkan dengan
”recoverable properties” didefinisikan sangat sederhana, yaitu merupakan ”aset
yang didapat dari perbuatan yang tidak sah”140. ’Perbuatan yang tidak sah’
merupakan salah satu perbuatan yang dikategorikan ’tidak sah’ dalam hukum
pidana Britania Raya, dimana perbuatan itu dilakukan. Selain itu, apabila
perbuatan tersebut dilakukan di negara lain, dan dinyatakan tidak sah baik
Britania Raya maupun negara tersebut, maka POCA 2002 lah yang berlaku.141
Definisi ini menimbulkan pertanyaan lanjutan mengenai bagaimana bila aset yang
diperoleh secara ’tidak sah’ ini adalah untuk menentang perbuatan pidana. Selama
bertanggung jawab atas Bill in the House of Commons, Bob Ainsworth, Menteri
yang bertanggungjawab atas Bill tersebut mengatakan, dalam konteks istilah yang
dipakai dalam POCA 2002, poin 6, tentang Pendapatan Ketua ARA,

Bagian 2 mengacu pada hal-hal yang akan dihadapi dalam pengadilan pidana,
sehingga terminologi yang akan dipakai adalah seputar sistem peradilan pidana.
Sementara itu, Bagian 5 adalah mengatur hal-hal yang akan dihadapi dalam
pengadilan perdata, sehingga yang perlu diperhatian adalah penggunaan
terminologi juga harus disesuaikan dengan sistem peradilan perdata. Perlu diingat,
sebenarnya apakah ini akan menjadi lingkup pidana atau perdata, hal itu bukan hal

139
POCA 2002, s 246(4)-(5)
140
Ibid., s 304(1)
141
Ibid., s 241(2). Ekstra-teritorial dibahas lebih lanjut dalam, paragraf 5.78-80

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
58

yang penting untuk dibahas, melainkan pengembalian aset hasil tindak pidana
harus terwujud.142

Banyak sekali pembahasan mengenai masalah pengembalian aset dan pembahasan


ini berpotensi untuk melahirkan pendekatan yang membingungkan. Menurut
konstruksi hukum pada umumnya, pada saat Parlemen menggunakan istilah yang
berbeda didalam suatu peraturan maka itu dianggap hal yang berbeda. Bagian ini
akan selanjutnya akan menjelaskan tentang maksud dibalik terminologi yang
digunakan dalam POCA 2002 adalah untuk mengaitkan susunan kata dengan
yurisdiksi dari perbuatan tersebut dilakukan. Akan tetapi, sudah sangat mantap
bahwa karakterisasi dari proses pengembalian aset, baik secara pidana maupun
perdata yang tunduk pada pasal 6 dari European Convention on Human Right
tidak dapat begitu saja dilakukan tanpa melihat substansi dari situasi aslinya. Oleh
karena itu, bila POCA 2002 menciptakan aturan pidana secara substansif yang
dapat diaplikasikan dalam keadaan langsung dan kategorisasi perbuatan kejahatan
itu sendiri dalam Konvensi. Akan tetapi pemilihan istilah yang terkesan selektif
ini tidak menghalangi pelaksanaan pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) POCA 2002
dalam hal perlindungan hukum.

Dalam pengembalian aset curian secara pidana, bukan merupakan hal yang
penting bila tersangka merupakan pemilik sah dari aset tersebut. Hal ini
didasarkan pada pemikiran selama harta tersebut dihasilkan dari sebuah tindak
pidana, maka tahap pengembalian aset tersebut dapat ditelusuri mulai dari pemilik
baru yang notabene secara sah mendapatkan hak milik aset tersebut sampai
pemilik awal yaitu pelaku tindak pidana. Aset curian akan dapat ditelusuri selama
ada rantai atau kaitan yang jelas atas kepemiikan aset tersebut yang mengarah
kembali kepada pelaku predicate crime.143 Namun demikian apabila pemilik baru
mendapatkan harta tersebut dengan cara yang sah dan itikad baik serta tanpa
pemberitahuan bahwa barang tersebut merupakan hasil tindak pidana,

142
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil
Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 150-151
143
Proceeds of Crime Act (POCA) 2002, Pasal 304 (3)

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
59

kemungkinan besar barang tersebut tidak dapat diakses atau dieksekusi144. Hal
tersebut menegaskan bahwa penelusuran aset hasil tindak pidana pun memiliki
limitasi dalam penelusuran dan pengembalian aset, bahkan pengaturan ini berada
dalam Bab ’General Exception’ atau pengecualian dalam POCA 2002. Akan
tetapi, pada saat aset tidak dapat di eksekusi, itikad baik berupa partisipasi dari si
pemilik sah yang baru dari aset hasil tindak pidana merupakan modal utama
dalam proses penelusuran aset, selama ia mewakili aset tersebut145. Konsep ini
sangat mirip dengan konsep common law dimana pelapor dapat mengklaim harta
milik tersangka selama ia dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa harta
tersebut didapat dari perbuatan yang tidak sah atau dari kejahatan. Oleh karena
itu, kapanpun tersangka telah melepas haknya atas harta curian dan kemudian ia
mendapatkan harta lain yang belum tentu ia dapatkan dari kejahatan, maka harta
yang disebutkan terakhir ini dapat dieksekusi dan dikembalikan sebagai
146
perwakilan atau simbol dari aset hasil kejahatannya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengembalian aset dalam konsep ini tidak terlalu
mementingkan asas ’follow the money’, tetapi ’follow the transaction.

2.3.2 Thailand
Tidak berbeda dengan kondisi di Indonesia, pencucian uang pun merupakan
momok besar bagi Pemerintah Thailand selama berpuluh-puluh tahun. Oleh
karena kekhawatiran terhadap perkembangan kejahatan terorganisasi lintas negara
yang dapat mengancam stabilitas dan kemakmuran dari negara, maka Pemerintah
Thailand mengundangkan Undang-Undang Anti Pencucian Uang pada tahun 1999
(AMLA)147, kemudian membentuk Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) untuk

144
Ibid., Pasal 308 (1)

145
Ibid., Pasal 308 (10)
146
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil
Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 152. (Lihat Goff dan Jones The Law of
Restitution (6th edition, 2002) Sweet & Maxwell, para 2-02lff. A detailed consideration of the
principles of tracing at common law is outside the scope of this work and the reader is referred to
the practitioner texts on the subject. )
147
Dewan Perwakilan Rakyat meresmikan undang-undang tersebut pada 19 Maret BE 2542.
Kemudian menerbitkannya di Lembaran Kerajaan Volume 116, Bagian 29 Gor pada tanggal 21

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
60

melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap pencucian uang. Kantor Anti-


Pencucian Uang (AMLO) merupakan penegak hukum yang independen dan badan
yang bertugas sebagai pengatur dibawah pengawasan oleh Kementrian
Kehakiman serta bekerja dibawah pengarahan Dewan Anti-Pencucian Uang
(AMLB)148, yang dipimpin langsung oleh Perdana Menteri maupun
149
delegasinya.

Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) bertanggungjawab untuk menginvestigasi


kasus-kasus pencucian uang bagi perampasan aset Non-Conviction Based (NCB).
Dibawah ketentuan umum AMLA tahun 1999, sembilan predikat pelanggaran
pencucian uang yang terkena penegakan adalah yang berhubungan dengan
narkotika, perdagangan manusia, pembohongan publik, penggelapan oleh
institusi-institusi keuangan, pelanggaran karena jabatan di perkantoran, pemerasan
dan pemfitnahan, penghindaran pajak, pelanggaran hukum pemilihan umum,
terorisme, dan perjudian ilegal.150 Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO)
memiliki kekuasaan yang luas yaitu untuk mengidentifikasi, menelusuri,
menyelidiki, menahan, dan menyita pendapatan ilegal yang berhubungan dengan
pencucian uang. Dengan persetujuan pengadilan, AMLO diberi penguatan untuk
melakukan penyadapan elektronis guna mendapatkan bukti bagi pencucian uang.
Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) juga bertanggungjawab untuk menyimpan,
mengelola, dan menjual harta benda yang dirampas maupun yang disita.

Menurut bagian 48 dan bagian 49 dari AMLA 1999, tanpa perintah dari
pengadilan melainkan berdasarkan perintah dari Komite Transaksi AMLO,

Maret BE 2542. menjadi efektif pada 19 Agustus BE 2542 (B. E adalah Era Buddha. Kurangi 543
dari B.E akan mendapatkan tahun Setelah Masehi)
148
Bagian 24 dari AMLA 1999 diganti dengan bagian 10 dari AMLA (No. 2) 2008
149
Theodore S. Greenberg et.al, Stolen Asset Recovery: Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based / NCB Asset Forfeiture),
(Washington DC: The World Bank, 2009), hal 173.

150
Ibid., Dalam Bagian 3 dari AMLA 1999 dan Hukum Pidana di amandemen pada 5
Agustus 2003, untuk menghukum teroris dengan mengikuti Resolusi PBB 1373 dan mengakui
pelanggaran bagi teroris keuangan. Perjudian Ilegal baru-baru ini disahkan oleh Parlemen sehingga
menjadi pelanggaran dengan predikat kesembilan dibawah AMLA, sejak 2 Maret 2008.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
61

apabila terdapat sebab yang meyakinkan bahwa suatu aset terhubung dnegan suatu
predikat pelangaran atau pencucian uang, maka penyidik dapat merampas
sementara aset tersebut untuk periode yang tidak lebih dari 90 hari. Dalam periode
tersebut AMLO dapat terus mengumpulkan bukti-bukti perihal tersebut untuk
diserahkan kepada jaksa penuntut untuk menginisiasi agenda acara dari suatu
perampasan.

Mengenai konsep ”aset” yang dapat disita, Bagian 3 AMLA medefisikan :


1. Uang atau aset yang diperoleh dari tindakan pencucian uang sesuai satu
atau lebih predikat pelanggaran atau membantu dan terlibat tindakan
tersebut
2. Uang atau harta benda yang diperoleh dari distribusi dengan segala cara
uang atau ahrta benda seperti tersebut dalam butir (1)
3. Hasil dari butir (1) atau (2)
4. Uang atau aset yang digunakan untuk melakukan pelanggaran atau
memfasilitasi pelaksanaan suatu predicate crime

Ketika suatu aset telah disita oleh AMLO, maka aset tersebut akan menjadi
tanggungjawab Biro Pengelolaan Aset, AMLO untuk merawatnya,
memeliharanya hingga aset tersebut menjadi hasil perampasan, dan kemudian
untuk menjualnya. Biro Pengelolaan Aset adalah satu dari lima biro dan dua divisi
dalam AMLO. Pada Maret 2008, AMLA telah diamandemen untuk antara lain
mengembangkan peran AMLO dalam pengelolaan aset, untuk membentuk dana
perampasan, untuk menerapkan pengawasan yang ketat bagi aset-aset yang disita ,
untuk memastikan adanya transparansi dan untuk memastikan bahwa tidak
seorangpun yang memiliki otoritas terhadap seluruh aspek pengelolaan aset.
Sesuai dengan Peraturan Menteri tentang Struktur Organisasi AMLO, Desember
2007, maka Biro Pengelolaan Aset bertangggungjawab terhadap tugas-tugas
berikut:151
1. Untuk menuyusun sistem akuntansi bagi harta benda yang disita atau aset
bawaan, untuk menyimpan dan memelihara harta benda yang disita atau

151
Ibid., hal 175.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
62

aset bawaan, untuk meneruskan harta yang disita kepada Menteri


Keuangan, untuk mengembalikan harta benda hasil perampasan atau aset
bawaan untuk mengembalikan harta benda hasil pemilik harta benda, dan
untuk melakukan penilaian aset sesuai AMLA
2. Untuk menyusun sistem pengelolaan aset, untuk menyelesaikan masalah
sehbungan dengan pemakaian harta benda yang disita atau aset bawaan
oleh penuntut, penyewa harta benda, pengangkatan manajer, dan survei
harta benda, untuk keperluan pengelolaan aset sesuai dengan AMLA
3. Untuk menerapkan pekerjaan sesuai undang-undang dan peraturan-
peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan aset, termasuk
pelaksanaan dan penegakkan hukum terhadap siapapun juga yang
melanggar peraturan pengelolaan aset
4. Untuk melaksanakan pelelangan sesuai dengan AMLA aau sesuai dengan
perintah dari Kementrian Keuangan atau Pengadilan
5. Untuk bekerja sebagai sekretaris Komite Pelelangan, Komite Penilaian
terhadap Kerusakan atau Depresiasi, dan sebagai Komite Penilaian Harta
Benda
6. Untuk bekerjasama dengan atau mendukung kinerja departemen terkait
lainnya, atau melaksanakan tugas sesuai perintah.

Suksesnya suatu program pengembalian aset hasil tindak pidana tergantung dari
praktek-praktek pengelolaan aset yang baik. Untuk memastikan bahwa aset-aset
dipelihara sesuai kondisi pada saat perampasan sehingga aset dengan nilai
ekonomi tinggi dapat diselamatkan bagi kepentingan Pemerintah, dimana pada
akhir dari kasus diperlukan pertama-tama bahwa aset tersebut berada dibawah
pemeliharaan AMLO untuk meminimalkan kerusakan dan depresiasi. Segera
setelah disita, aset yang bersangkutan harus dinilai oleh pihak ketiga yang
berkualifikasi untuk menilai dan menentukan nilai pasarnya.152

152
Ibid., Dalam Peraturan Menteri No. 10 Bab 2: Penilaian Harta benda; Klausul 16:
“Setelah pengambilan atau perampasan suatu harta benda, maka petugas yang kompeten dan yang
telah ditunjuk agar segera menilai harta benda tersebut.)

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
63

2.3.2.1 Pengelolaan Aset-aset Hasil Perampasan


Sebelum para aparat penegak hukum yang ditunjuk sebagai pejabat-pejabat yang
kompeten dibawah AMLA mengeksekusi suatu operasi pencarian dan
perampasan, maka mereka 1) harus terlebih dahulu memiliki pengertian tentang
tujuan dan target dari operasi penegakan hukum; 2) seharusnya sudah hingga
batas yang memungkinkan menilai aset yang akan disita; dan 3) seharusnya sudah
melakukan persiapan untuk mengelola aset yang mungkin tidak mudah disita atau
harus dipindahkan dari lokasi semula. Aset-aset yang tidak memiliki nilai
ekonomis tidak akan disita. Hewan liar, hewan berbisa dan hewan besar tidak
akan disita kecuali ada kepentingan untuk melakukan demikian, apabila demikian
maka ahli-ahli yang kompeten akan membantu dalam perampasan. Selanjutnya,
Hukum Perdata melarang perampasan dari peralatan tertentu yang diperlukan ntuk
pekerjaan profesional, seperti peralatan untuk penyembuhan secara medis dan
peralatan mekanik.153

Pejabat yang menyita aset-aset akan mengantarkan harta benda tersebut,


bersamaan dengan dokumen-dokumen yang relevan, seperti Buku Registrasi
Kendaraan, Akte Pemilikan Tanah, dan dokumen serupa lainnya, kepada Biro
Pengelolaan Aset, yang akan memeriksa dan menghitung seluruh aset hasil
perampasan sebelum mengambil alih kendali terhadap aset-aset tersebut. Aset-aset
hasil perampasan tersebut akan diklasifikasikan sebagai aset bergerak atau aset
yang tidak bergerak. Kartu-kartu atau tanda-tanda akan diberikan pada masing-
masing aset tersebut untuk menerangkan rincian yang relevan terhadap harta
benda tersebut, sebagai contoh, nama, kategori, kuantitas, ukuran, berat, dan
kondisi dari harta benda, serta tanggal perampasan. Kemudian harta benda
bersangkutan akan diamankan ditempat-tempat yang sesuai.154

Apabila harta benda yang diamankan berupa uang, maka uang tersebut akan
disimpan di institusi keuangan tanpa penundaan sesuai dengan yang disarankan

153
Ibid., hal 176.
154
Ibid., hal 177

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
64

oleh Komite Transaksi. Apabila uang tersebut merupakan uang asing maka uang
tersebut akan ditukar ke mata uang Thailand dan disetorkan kepada institusi-
institusi keuangan. Apabila harta benda yang disita berupa batu permata, emas,
barang-barang perhiasan, atau logam-logam mulia, maka aset tersebut akn
disimpan didalam peti besi tempat penyimpanan barang-barang berharga milik
AMLO. Aset-aset berharga lainnya disimpan dalam gudang dengan penjagaan
ketat sepanjang 24 jam. Jika akan menyusahkan AMLO dalam memelihara suatu
harta benda, maka AMLO dapat menyewa suatu kontraktor untuk memelihara dan
menjaga harta benda tersebut. 155

Apabila aset yang disita ternyata sulit dan tidak pantas untuk disimpan, maka
pasal 57 dari AMLA mmeberikan otorisasi Sekretaris Jendral dari AMLO untuk
melakukan untuk melakukan hal-hal berikut156:
ƒ Mengizinkan pemilik dari aset yang disita untuk tetap memelihara dan
menggunakan aset tersebut sementara dengan persyaratan tertentu serta
jaminan atau tanggungan.
ƒ Mengeluarkan perintah untuk menjual dengan cara lelang dan menyimpan
dana yang diperoleh dalam simpanan escrow menunggu penyelesaian dari
agenda acara perampasan; atau
ƒ Mengeluarkan perintah untuk mengizinkan penegak hukum atau institusi
lainnya untuk menggunakan sementara aset serupa itu untuk keperluan
resmi.

2.3.2.2 Sistem Pelacakan Aset Gabungan AMLO (AMCATS)


Biro Pengelolaan Aset AMLO menggunakan dengan sepenuhnya sistem teknologi
informasinya untuk pengelolaan aset. Biro tersebut telah mengembangkan sistem
perangat lunak AMCATS yang memungkinkannya untuk bekerja secara
transparan dan akuntabel dengan cara mencatat dan melacak seluruh data yang
berhubungan dengan perampasan suatu aset. Sistem Pelacakan Aset Gabungan

155
Ibid.
156
Ibid.,

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
65

AMLO (AMCATS) mencatat rincian tentang suatu perampasan, nama aset, nilai
aset, nama kasus, perintah perampasan, perintah pengadilan, lokasi penyimpanan
aset, pendapatan yang dihasilkan oleh aset dan biaya yang dikeluarkan untuk
memeliharanya, rincian lelang (nama dari penawar lelang, harga yang disarankan,
dan harga penjualan), dan, sepanjang dapat diterapkan, informasi yang
berhubungan dengan penempatan aset yang resmi digunakan oleh Pemerintah.
Dengan mencatat dan melacak data tersebut, maka AMLO dapat lebih baik
melaksanakan fungsi pengelolaan asetnya, yaitu dapat lebih mudah menyusun
laporan-laporan, membuat statistik-statistik, mempertanggungjawabkan
inventarisnya, dan membuat ramalan dan pengawasan biaya pengelolaan aset. 157

157
Ibid., hal 178

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 3

TINJAUAN TEORITIS KONSEP KEADILAN RESTORATIF


(RESTORATIVE JUSTICE)

3. 1 Tujuan Pemidanaan Sebagai Keadilan Restoratif


3. 1. 1 Akar Pemikiran Keadilan Restoratif
Keadilan restoratif atau yang lazim dibicarakan dengan “restorative justice”
merupakan suatu model pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara
pidana yang mengemuka dalam kurun waktu 30 tahun ini. Berbeda dengan sistem
yang sekarang ada, pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi
langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara
pidana.158 Untuk memahami konsep keadilan restoratif lebih dalam, alangkah
baiknya bila kita sedikit membahas mengenai teori tujuan pemidanaan agar
pemahaman konsep keadilan restoratif tidak menjadi bias.

Dalam sejarah perkembangan hukum pidana, suatu tindakan atau perbuatan


pidana bila dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan
kepentingan orang lain. Untuk mengembalikan pada keadaan semula maka
diperlukan tindakan pembalasan terhadap orang/pelaku yang menyebabkan
kerusakan atau kerugian dalam masyarakat tersebut. Pembalasan itu pada
umumnya tidak hanya merupakan kewajiban terhadap seseorang yang dirugikan

158
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi tentang Kemungkinan
Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana, Disertasi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Depok: 2009), hal 1.

66 Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
67

atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban terhadap seluruh


keluarga dan bahkan kewajiban terhadap masyarakat.159

Hukuman pembalasan ini sepenuhnya ditentukan oleh orang atau pihak yang
dirugikan. Keadaan seperti ini terus berlangsung sehingga mengganggu keamanan
dan ketertiban serta hubungan-hubungan dalam masyarakat. penguasa pada saat
itu pada mulanya berusaha menghukum orang-orang yang mengancam
kepentingan masyarakat dan menghambat tindakan-tindakan pembalasan yang
dilakukan oleh orang yang dirugikan secara sendiri-sendiri. Demi keamanan dan
ketertiban di masyarakat maka timbullah kemudian “Stelsel komposisi”
(composite stelsel) yaitu kewajiban bagi pelaku tindak pidana (penjahat,
pembunuh dan sebagainya) untuk melakukan “penebusan kesalahan” dengan
memberikan ganti rugi atau denda kepada orang yang dirugikan. Disamping itu
juga diwajibkan membayar denda kepada masyarakat yang dirugikan (dalam hal
terjadi pembunuhan) untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat.
Semula, jumlah denda ditentukan tergantung pada keinginan pihak yang dirugikan
tetapi kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa. Dengan demikian
penghukuman sudah mulai dikembangkan kearah sifat hukum publik, yang
berdasarkan kepentingan masyarakat dan menjadi kewajiban atau kewenangan
penguasa.160

Hukum pidana sejatinya tidak dapat berdiri sendiri dalam mencapai tujuannya,
melainkan juga harus didukung oleh pemidanaan yang menyertai. Pemberlakuan
pemidanaan bagi pelaku pidana adalah tidak tanpa alasan. Adapun pokok
pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
a) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri
b) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan,
dan

159
Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,
September 2004, hal 19 s.d 28.
160
Ibid

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
68

c) Untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk


melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang
dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Berbagai tujuan pemidanaan dikelompokkan Anthony Duff dan David Garland ke


dalam dua golongan besar, yakni konsekuensialis dan non-konsekuensialis.
Menurut kelompok non-konsekuensialis, upaya pembenaran untuk penjatuhan
pidana sebagai suatu respons yang patut (appropriate response) terhadap
kejahatan merupakan hal yang penting. Mereka beranggapan bahwa salah
benarnya suatu tindakan harus berdasar pada karakter intrinsiknya, tanpa
memperhitungkan konsekuensinya.161 Pemikiran mengenai paham non-
konsekuensialis ini dianut oleh para retributivis. Mereka percaya bahwa hukuman
itu dijatuhkan sebagai akhir dari tindak pidana itu sendiri, sebagai jawaban dari
tindak pidana yang dilakukan dan sebagai seruan dari norma masyarakat dan
aturan moral.162

Disamping itu bagi kaum konsekuensialis, benar tidaknya sesuatu tergantung


semata-mata pada konsekuensi menyeluruh.163 Aliran konsekuensialis
menekankan bahwa pidana itu dijatuhkan tujuan utamanya adalah untuk
mengurangi tindak pidana. Kita dapat mengurangi tindak pidana dengan menahan
pelakunya untuk memberi contoh kepada orang lain mengenai konsekuensi dari
tindak pidana yang dilakukannya, atau bahkan membina jiwa dan dan keadaan
pelaku tindak pidana tersebut untuk meningkatkan nilai dirinya agar ia tidak
melakukan tindak pidana lagi (rehabilitasi).164 Pada intinya, jika konsekuensinya

161
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas
Indonesia, (Depok: 2003), hal 12.
162
Kenworthy Bilz dan John M. Darley, What’s Wrong With Harmless Theories of
Punishments, Darley Blitz Final Author Approved, vol. 79, 18 Mei 2004, hal 1215-1252.
163
Ibid., hal 11 (Seperti dikutip dalam Anthony Duff dan David Garland, A Reader on
Punishment, terjemahan WD Halls, (New York: The Free Press, 1984), hal 52)
164
Ibid., hal 1215-1252.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
69

baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsekuensinya buruk, maka
tindakan tersebut salah.

Hal yang menjadi pemikiran dari aliran konsekuensialis ini juga bahwa, untuk
mencari pembenaran dari penjatuhan pidana maka harus dibutkikan bahwa a)
pidana itu membawa kebaikan; b) pidana mencegah kejadian yang lebih buruk;
dan c) tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya.
Aliran konsekuensialis yang dianut oleh kaum Utilitarian ini mengamini bahwa,
pencegahan atau preventif merupakan tujuan utama pemidanaan. Dengan asumsi
bahwa kejahatan merupakan suatu perilaku (baik secara aktual maupun potensial)
yang mengakibatkan kerugian, maka layaklah apabila pelakunya dikarenakan
kerugian pula, yakni melalui penjatuhan pidana.165 Hal ini patut dilakukan agar
tidak terjadi atau timbul kerugian yang lebih besar di masa depan. Aliran ini
berkarakter instrumentalis dan berorientasi ke depan (forward-looking), dan
menitik beratkan pada asas kemanfaatan penjatuhan pidana; hal yang sangat
mengemuka di kalangan penganut utilitarian klasik yang menggarisbawahi the
greatest happiness for the greatest number.166 Dalam pemikiran konsekuensialis
ini, penaksiran mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana adalah sesuatu yang harus dilakukan. Disamping itu, jenis hukuman
apa yang dijatuhkan tersebut pun harus disesuaikan dengan kerugian apa yang
diakibatkan oleh tindak pidana ini.

Untuk pembahasan lebih lanjut mengenai paham konsekuensialis ini, sangat


penting bagi kita untuk memahami konsep kerugian itu sendiri. Dalam hukum
pidana, kerugian merupakan segala kehilangan yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana, sehingga kehilangan itu merupakan kerugian akibat tindak pidana.
Pertanyaan akan terus berlanjut dengan siapa sajakah yang dirugikan atas tindak
pidana ini? Apakah hanya korban langsung, atau termasuk masyarakat sekitar,

165
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas
Indonesia, (Depok: 2003), hal 12.
166
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
70

negara, bahkan perekonomian suatu negara pun dapat diperhitungkan menjadi


korban.167 Tindak pidana selalu menghasilkan korban dan kerugian, sedangkan
hukuman itu dijatuhkan dengan pertimbangan jumlah kerugian yang diakibatkan
oleh pelaku tindak pidana. Suatu sistem peradilan pidana harus menyesuaikan
penjatuhan hukuman berupa pengembalian sejumlah kerugian akibat tindak
pidana dengan tujuan dari negara untuk mengembalikan kerugian tersebut ke
keadaan seperti belum terjadi tindak pidana. Dalam pemikiran konsekuensialis ini,
apabila ada pertanyaan mengenai sebesar apa hukuman yang pantas dijatuhkan
kepada suatu pelaku tindak pidana, maka harus dijawab dengan sebesar kerugian
yang diakibatkannya. Pada intinya, suatu hukuman yang dijatuhkan itu harus
layak dan pas untuk jenis tindak pidananya.168

Kembali membicarakan mengenai tujuan pemidanaan, keadilan restoratif yang


berada didalam pemikiran konsekuensialis ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan
dengan pemikiran-pemikiran retributivisme atau rehabilitasi. Sejujurnya, apa yang
membuat konsep keadilan restoratif ini mengemuka adalah karena fokusnya
pemikiran ini pada kerugian akibat tindak pidana, yang dimana orang-orang yang
bukan penganut paham ini dapat yakin akan eksistensi konsep keadilan restoratif
ini meyakinkan. Para pemikir retributif contohnya, merupakan kaum yang paling
mementingkan kerugian yang diderita oleh para korban dari tindak pidana. Para
restitusionis mementingkan besarnya hukuman bagi para pelaku tindak pidana,
dan kaum penganut teori deterrence mementingkan besarnya baik kerugian
materil dari tindak pidana dan proses pemidanaan. Dan dengan senang hati,
pemikiran keadilan restoratif ini mempertimbangkan semua prioritas dalam
pemikiran tersebut.169 Dapat pula dikatakan bahwa pemikiran keadilan restoratif
ini merupakan metateori yang membawahi teori-teori tujuan pemidanaan. Hal ini
disampaikan oleh Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H, M. H, dan beliau menambahkan
bahwa pemikiran keadilan restoratif juga mengakomodasi tujuan-tujuan

167
Kenworthy Bilz dan John M. Darley, What’s Wrong With Harmless Theories of
Punishments, Darley Blitz Final Author Approved, vol. 79, 18 Mei 2004, hal 1215-1252.
168
Ibid.
169
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
71

pemidanaan lain seperti rehabilitasi, retributif, maupun preventif. Akan tetapi,


kelebihan dari pemikiran keadilan restoratif ini adalah turut sertanya baik korban,
pelaku dan masyarakat untuk mengembalikan keadaan seperti sebelum terjadi
tindak pidana.

3. 1. 2 Pemikiran Keadilan Restoratif di Indonesia


Disamping tujuan-tujuan pemidanaan yang sepadan dengan yang dikembangkan
di negara Barat, kitab hukum kuno mengenal pula tujuan yang tidak ada dalam
pustaka Barat. Sebagai contoh adalah tentang pengembalian keseimbangan dalam
masyarakat170 atau pemulihan keadaan. Konsep keseimbangan kosmis dalam
masyarakat umumnya lebih berkaitan dengan komunitas yang lebih menekankan
communitarian values daripada nilai individu. Dalam rangka memulihkan
keseimbangan yang dirusak oleh pelaku kejahatan inilah dikenal antara lain ganti
rugi, upacara adat, dan pembayaran uang adat.171 Berbekal hukum adat Indonesia
yang sebenarnya telah mengenal konsep keadilan restoratif dalam pengenaan
sanksi adat, konsep keadilan restoratif pun seharusnya sudah harus diintegrasikan
dalam sistem peradilan di Indonesia.

Di Indonesia, walaupun hukum adat bukan merupakan salah satu sistem hukum
positif, tetapi hukum adat merupakan hukum yang sangat berpengaruh pada
hukum positif di Indonesia karena rakyat Indonesia pun masih konsisten
menganut kebiasan-kebiasaan adatnya masing-masing. Bahkan, pakar hukum
adat, Prof. Supomo, telah menuliskan tujuan hukum pidana Indonesia sebagai
berikut:

”Agar semua kepentingan negara, masyarakat dan individu warga negara


dan atau penduduk Indonesia diayomi dalam keseimbangan yang serasi

170
Ibid., hal 15. (Dalam R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya
Paramita, hal. 109-115; Andi ZA Farid, Ibid.; John Ball (1982).
171
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas
Indonesia, (Depok: 2003), hal 16. (Seperti dikutip dalam R. Soepomo, Ibid. Hal 114-115. Dalam
piagam adat Lampung Siwo Mego, tindak pidana tertentu harus diselesaikan dengan upacara
pembersihan pepadun, atau yang bersangkutan dikucilkan masyarakat.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
72

berdasarkan Pancasila, dengan demikian tujuan hukum pidana Indonesia


adalah pengayoman semua kepentingan secara berimbang”172

Melihat definisi diatas, tujuan dari hukum pidana Indonesia sebenarnya telah
mengarah pada pengayoman kepentingan secara berimbang. Keseimbangan
tersebut dapat dicapai dengan cara melibarkan para pihak dalam proses
pemecahan masalah atau perkara pidana tadi. Dari pengalaman penyelesaian
perkara pidana secara adat, sebenarnya kita dapat melihat peran para pihak terkait
dalam menyelesaikan perkara atau pelanggaran yang ada dalam masyarakat. 173

Melihat pada hukum adat yang pernah digunakan dalam menyelesaikan berbagai
perkara (pidana) di Indonesia, penyelesaian perkara dengan pendekatan antara
pelaku, korban dan masyarakat serta tokoh masyarakat terbukti memberikan rasa
keadilan di masyarakat.174 Konsep semacam ini merupakan konsep yang sangat
tepat dalam pemulihan suatu kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang, karena dengan pendekatan antara korban dan pelaku maka disamping
pembalasan yang diberkan kepada pelaku, korban pun dapat mengakses keadilan
dengan mendapatkan kerugian yang dideritanya dengan, disamping sistem
peradilan pidana juga duduk bersama membahas bagaimana cara dan berapa
kerugian yang harus dikembalikan.

Apabila membahas keadilan restoratif, baik dalam masyarakat tradisional di


Indonesia maupun dalam masyarakat tradisional di Asia, Afrika, Amerika dan
Australia, milik individu hampir tak dikenal. Oleh karena itu, penyelenggaraan
peradilan pun adalah milik bersama. Kalau seorang anggota komunitas
menyerahkan perkaranya kepada Kepala Adat (suku), bukan sekadar untuk
kepentingan yang bersangkutan. Kepentingan komunitas adat secara keseluruhan
benar-benar dipertaruhkan. Kalau komunitas adat menginginkan kehidupan yang
selaras, keseimbangan hubungan antar manusia dengan kekuatan alam dan harta

172
Ibid., (Dalam Supomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, hal. 92)
173
Ibid.
174
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
73

benda harus dipertahankan. Dalam komunitas demikian, tindak pidana bukan


pelanggaran terhadap individu, melainkan pelanggaran terhadap keseimbangan
tadi. Karena itu setiap terjadi gangguan keseimbangan harus dipulihkan dengan
membayar sejumlah uang atau sebagian harta kepada pihak yang dirugikan. Akan
tetapi, karena kehidupan masyarakat tradisional masih sederhana, maka
pemulihan keseimbangan itu tidaklah terlalu mahal dan bahkan dapat diselesaikan
dengan segera. Mengenai hal itu, budaya malu di wilayah nusantara sangat kental,
sehingga melalui musyawarah perdamaian atau penghukuman, pelaku delik adat
memberikan ”penutup malu” dengan cara meminta maaf.175 Kalau tidak, ia harus
dipermalukan agar perkara menjadi selesai. Diungkapkan Andi Zainal Abidin, di
Sulawesi Selatan, misalnya, dikenal prosesi re ule bawi. Caranya, seperti seekor
babi, kedua tangan dan kakinya diikat pada sebatang bambu, pelaku lalu digotong
keliling kampung. Perlakuan demikian adalah memberi malu, karena sepanjang
perjalanan ia ditonton orang sekomunitasnya. 176

Disamping pembayaran ganti rugi dan hukuman dipermalukan, dikenal juga


pembuangan ke hutan dan hukuman nyawa di bayar nyawa, sebagai sanksi yang
lebih berat. Menurut Peter Burns, dalam praktik tradisional berlandasarkan
hukum adat di Indonesia dikenal adanya tradisi rekonsiliasi pasca terjadinya
pembunuhan.177 Adapun menyeimbangkan memulihkan keseimbangan yang
terganggum tidak lain merupakan upaya yang bersifat pemulihan (restorative).
Dari sini dapat ditarik juga asal usul istilah yang kemudian berkembang menjadi
keadilan restoratif.178

175
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009),hal. 40. Dalam RM Surachman, Mozaik
Hukum I, 30 Bahasan Terpilih (Jakarta: CV Sumber Ilmu Jaya, 1996), hal 228-229 yang merujuk
John Ball, Ter Haar, M.B Hooker, R. Soepomo, dan Muhammad Said Dirdjokusumo. Perihal jenis
sanksi delik adat, lihat Pandrecten van het Adatrecht, X)
176
Ibid., (seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Jakarta:
Ghalia, 1984), hal. 43).
177
Ibid., (Dalam Peter J. Burns, The Leiden Legacy, Concept of Law in Indonesia, (Jakarta:
PT Pradnya Paramita, 1999), hal 327-328)
178
Ibid.,

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
74

3. 1. 3 Pemikiran Keadilan Restoratif secara Internasional


Pada zaman dahulu, hukuman kepada siapapun yang melakukan kejahatan
biasanya lebih berat dari apa yang penjahat tersebut lakukan, contohnya
pemotongan lidah dan dimasukkan kedalam air mendidih. Sementara itu, setelah
zaman peradaban hal tersebut perlahan mulai dihilangkan dengan pertimbangan
hak asasi manusia. Akan tetapi pada zaman dimana manusia telah beradab ini,
tidak dapat dipungkiri bahwa penghukuman yang begitu kejam dan tidak
memperhitungkan hak asasi manusia masih saja dipraktikkan. Penghukuman
seperti seakan menjadi dilema, karena di satu sisi penghukuman tersebut legal,
tetapi di sisi lain sifat hukuman tersebut merupakan penyiksaan yang melanggar
hak asasi manusia. Pertanyaan yang muncul saat ini adalah hukuman apa yang
pantas dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana dan dengan hukuman tersebut
si pelaku menjadi jera dan keadaan menjadi kondusif kembali seperti sebelum
terjadi tindak pidana.

Keadilan restoratif oleh beberapa negara maju bahkan telah diintegrasikan dalam
sistem peradilan pidana. Dalam perkembangan selanjutnya, pertumbuhan dan
penyebaran keadilan restoratif mendapat dukungan dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Dalam Kongres Lima Tahunannya yang ke-5 (Jenewa, 1975), PBB mulai
menaruh perhatian terhadap ganti rugi bagi korban kejahatan, sebagai alternatif
bagi peradilan pidana retributif.179

Satu dekade berikutnya, PBB melangkah lebih jauh lagi dan secara kongkrit
melindungi dan menegakkan hak-hak para korban melalui beberapa melalui
beberapa instrumen internasional dan ketentuan implementasinya (misalnya

179
Ibid., hal 11. Keadilan restoratif di New Zealand misalnya, yang semula dipraktikkan
dalam sistem peradilan pidana anak, kemudian diintegrasikan ke dalam pengadilan orang dewasa.
Maka Selandia Baru pun menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif
dalam pengadilan umum (2002) bahkan mencakup kejaharan yang berat. Begitu pula di Belgia,
setelah dilembagakan ke dalam KUHAP (2005), keadilan restoratif terwujud dalam “mediation
penal”. Yang berkepentingan boleh memohon pengadilan anak-anak maupun pengadilan umum
untuk suatu mediasi perkara pidana dari yang teringan hingga yang berat. Adapun di Spanyol
korban kini memainkan peran yang penting dan lebih besar dan lebih besar dalam sistem peradilan
pidana yang berbau retoratif. Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti rugi sederhana, lingkupnya
kemudian diperluas.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
75

Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of


Power (General Assembly Resolution 30/40) dan Implementation of Declaration
of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power (ECOSOC
Resolution 1987/57). Puncaknya terjadi dalam Kongres PBB Lima Tahunan ke-11
(Bangkok, 2005) dimana secara eksplisit keadilan restoratif untuk pertama kalinya
disebut dalam salah satu topiknya :”Meningkatkan Reformasi Peradilan Pidana,
termasuk Keadilan Restoratif”. Ini menjadi pertanda bahwa PBB mengakui
kedudukan kedailan restoratif bukan lagi berada di pinggiran sistem (in the
margin of the system), melainkan sudah seimbang dan peranannya tidak lagi
sekadar berhadapan (vis a vis) tetapi sudah komplementer dan bergandengan
tangan (in juxtaposition) dengan proses pidana konvensional. Situasi demikian
lebih terkondisi lagi di tahun 2007 dengan diterbitkannya Handbook on
Restorative Justice Programmes, sebagai Buku Pegangan ini menjadi jaminan
bahwa perkembangan keadilan restoratif selama tiga dekade terakhir tidak akan
surut atau menjadi hilang ditelan zaman. Buku pegangan tersebut disusun
terutama untuk negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, yang
merupakan negara-negara berkembang, dimana konsep kedilan restoratif masih
relatif muda. Di Thailand misalnya yang pernah menjadi tuan rumah kongres PBB
Lima Tahunan ke-11, konsep restorative justice baru saja diadaptasi dengan
sebutan justice for social harmony.180

3. 2 Definisi dan Prinsip-prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice)


Konsep keadilan restoratif sebenarnya tidak hanya digunakan dalam sistem
peradilan pidana, tetapi juga digunakan dalam penyelesaian masalah non-hukum.
Berbagai definisi dari keadilan restoratif dapat diklasifikasikan ke dalam
kelompok yang sempit dan luas. Definisi-definisi yang sempit mengutamakan
makna pertemuan antar pihak berkepentingan dalam kejahatan dan periode
sesudahnya. Di sisi lain, difinis-definisi yang luas mengutamakan nilai-nilai
keadilan restoratif. Kemudian lahir definisi-definisi yang menggabungkan

180
Ibid, hal 13

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
76

keduanya, dan salah satunya dirumuskan oleh Van Ness dari Kanada sebagai
berikut:

”Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the


harm caused or revealed by criminal behavior. It is best accomplished
through inclusive and cooperative process.”
(Keadilan restoratif adalah teori keadilan yang megutamakan pemulihan
kerugian akibat perilaku jahat, dimana pemulihannya tuntas melalui proses
yang inklusif dan kooperatif).181

Keadilan Restoratif merupakan suatu konsep pembaharuan dalam hukum yang


dapat dikatakan mendobrak pemikiran hukum pemidanaan yang selalu
mendahulukan pembalasan untuk memberikan penderitaan kepada pelaku tindak
pidana. Keadilan restorasi sebagai tujuan pemidanaan merupakan konsep yang
mengambil banyak perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa perumus undang-
undang melihat keadilan restoratif sebagai salah satu jalan yang menjanjikan
untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam sistem peradilan pidana yang ada
dalam suatu negara. 182 Keadilan tidak harus dilihat ”hanya sebatas pembalasan”
(”merely as retribution”) dan kecenderungan untuk menyamakan keadilan dengan
retribusi harus ditantang, dan konsep keadilan restoratif harus dipertimbangkan
sebagai salah satu alternatif. Unsur penting dalam keadilan restoratif adalah bukan
hanya menghukum pelaku tindak pidana tetapi juga mengusahakan untuk
memulihkan kerugian dan keadaan seperti sebelum terjadi tindak pidana dengan
penyembuhan, harmonis, dan rekonsiliasi.183

Mirian Liebmann184 dalam bukunya Restorative Justice: How It Works


mendefinisikan keadilan restoratif sebagai berikut:185

181
Ibid., hal 3. Dalam Johnstone dan Van Ness, The Meaning of Restorative Justice,
Makalah untuk Konferensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop 2, (Bangkok, Thailand, 2005),
hal 2-3.
182
Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate
Publishing Limited, 2007), hal 10.
183
Ribert I Rotberg dan Dennis Thomson, ed., Truth v Justice, The Morality of Truth
Comissions, (Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000), hal 69.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
77

“Restorative justice has become the term generally used for an approach
to criminal justice (and other justice systems such as a school disciplinary
system) that emphasise restoring the victim and the community rather
than punishing the offender” (Keadilan restoratif telah menjadi suatu
istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan hukum
pemidanaan (sebagai sistem pemidanaan seperti sistem sekolah
kedisiplinan) yang menekankan kepada konsep menempatkan kembali
korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum
sang pelaku tindak pidana.)

Dalam bukunya, Mirian Liebman menyebutkan lima hal yang merupakan


pendekatan dalam keadilan restoratif, yaitu :
a. Prioritas utama merupakan dukungan dari korban dan pemulihan keadaan
seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Sistem peradilan pidana secara
umum merupakan rangakaian tindakan seperti mengidentifikasi pelaku,
menangkap pelaku, menahan pelaku, mengadili dan lalu menghukum
mereka. Padahal setelah Mirian melakukan riset kecil terhadap orang yang
yang pernah menjadi korban dari suatu tindak pidana, dan apa yang
mereka inginkan setelah terjadinya tindak pidana tersebut, dan hampir
semua dari mereka menginginkan apa yang telah diambil oleh para pelaku
tindak pidana dikembalikan kepada korban. Hal ini menandakan bahwa
hukuman yang dijatuhi kepada pelaku tindak pidana tidak serta merta
memulihkan perasaan para korban karena pada dasarnya yang diinginkan
para korban dari penegakan hukum adalah para korban mendapatkan
informasi dan pengertian apa yang sebenarnya terjadi, mendapatkan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan para korban, dan mendapatkan
barangnya kembali daripada penjatuhan hukuman kepada pelaku.
b. Pelaku tindak pidana bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.
Pelaku tindak pidana telah mendapatkan sanksi atas apa yang mereka telah

184
Miriam Liebmann telah bekerja dalam bidang pendidikan, art therapy, bidang bantuan
dan pemulihan korban, dan menjadi ketua dan penasehat proyek dari Mediation UK selama tujuh
tahun. Ia telah menulis dan menjadi editor dari sembilan buku dalam bidang art therapy, mediasi
dan penyelesaian sengketa. Belakangan ini ia membagi waktunya sebagai pekerja tidak tetap
dalam hal kegiatan mencapai keadilan restorative,, pelatihan mediasi dan konsultasi, art therapy
dan menulis
185
Miriam Liebmann, Restorative Justice: How It Works, (London: Jessica Kingsley
Pubishers, 2007), hal 27.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
78

perbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang menjadi tanggung
jawab atas perbuatan mereka. Sering terdengar bahwa para pelaku merasa
mereka telah selesai dengan hukuman mereka setelah mereka menjalani
hukumannya, padahal dalam kenyataannya mereka telah mengakibatkan
kerugian materil terhadap masyarakat atas perbuatan pidana yang
dilakukannya. Hal yang patut ditanamkan dalam konsep keadilan restoratif
adalah “Ya, saya telah melanggar hukum dan saya bertanggungjawab atas
kerugian akibat perbuatan saya”, itulah pandangan awal dari konsep
keadilan restoratif.
c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu
kesepahaman. Sejatinya, korban dari suatu tindak pidana selalu dikelilingi
oleh pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan kejahatan ini? Apa
tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? Apakah pelaku
akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitupun dengan pelaku tindak
pidananya pun dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Oleh karena itu
diperlukan suatu dialog khusus diluar pengadilan yang dapat menjadi
sarana penyelesaian pertanyaan-pertanyaan ini. Terkait dalam hal
pengembalian aset tindak pidana korupsi, jumlah dan penyembunyian aset
yang dikorupsi dapat dibahas dalam dialog ini. Cara pengembalian aset ini
pun dapat dilakukan dalam dialog ini
d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat
dilakukan untuk bertanggungjawab atas kejahatan adalah dengan
memulihkan kerugian yang diderita si korban.
e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak
melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas ada
dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya adalah
salah dan sangat merugikan orang lain sehingga ia akan
mempertimbangkan untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi.
Pengembalian aset tindak pidana kepada negara oleh koruptor akan
membuat koruptor tersebut kehilangan banyak harta, dipenjara dan
menderita. Keadilan restoratif perlu dukungan dari berbagai aspek untuk
mewujudkan cita-citanya, salah satunya dengan dukungan dari sistem

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
79

peradilan pidana dan penegakan hukum dari aparat penegak hukum.


Dengan demikian, rasa jera akan tumbuh dari pelaku tindak pidana.

Adapun prinsip-prinsip keadilan restoratif menurut Adrianus Meliala adalah


sebagai berikut:
a) Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki
kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya.
b) Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan
kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara
konstruktif
c) Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal penyelesaian
masalah
d) Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah
e) Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang
dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal

Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Kanada pada tahun 1998 memberikan
penjelasan kembali terhadap definisi keadilan restoratif yang dikemukakan oleh
Tony F. Marshal diatas. Susan Sharpe mengusulkan ada 5 prinsip kunci dari
keadilan restoratif, yaitu:
1. Restorative justice invites full participation and consensus (keadilan
restoratif mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban
dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga
membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingan
mereka telah terganggu atau terkena imbas (contoh tetangga yang secara
tidak langsung ikut serta pada dasarnya tidak aman atas kejahatan
tersebut). Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib
hanya sebatas sukarela, walaupun dimikian tentunya pelaku harus
diikutkan. Kalau tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional.
2. Restorative Justice seeks to heat what is broken (keadilan restoratif
berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya
tindakan kejahatan). Sebuh penyataan penting tentang restorative justice
adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
80

menguatkan kembali perasaan nyamannya? Korban harus diberikan


informasi yang sejelas-jelasnya mengenai proses yang akan dijalaninya,
mereka perlu mengutarakan dan mengungkapkan perasaan yang
dirasakannya kepada orang yang telah merugikannya atau pelaku kriminal
dan mereka mengungkapkan hal itu untuk menunjukkan bahwa mereka
butuh perbaikan. Pelaku juga butuh penyembuhan, mereka butuh untuk
dibebaskan
3. Restorative justice seeks full and direct accountability (keadilan restoratif
memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh).
Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah untuk dilakukan, karena
pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa dia atau
mereka melanggar hukum, dia juga harus menunjukkan kepada orang-
orang yang telah dirugikannya atau melihat bagaimana perbuatannya itu
merugikan orang banyak. Dia harus atau diharapkan menjelaskan
perilakunya sehingga korban dan masyarakat dapat menanggapinya. Dia
juga diharapkan untuk mengambil langkah nyata untuk memperbaiki
kerusakan dan kerugian tadi.
4. Restorative justice seeks to recinite what has been devide (keadilan
restoratif mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang
telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal). Tindakan kriminal
telah memisahkan atau memecah orang dengan masyarakatnya, hal ini
merupakan salah satu bahaya yang disebabkan. Proses keadilan restoratif
berusaha menyatukan kembali seseorang atau beberapa orang yang telah
terpecah dengan masyarakat ataupun orang yang telah mendapatkan
penyisihan atau stigmatisasi, dengan melakukan rekonsiliasi antara korban
dengan pelaku dan mengintegrasikan keduanya kembali ke dalam
masyarakat. Perspektif keadilan restoratif adalah julukan “korban” dan
“pelaku” tidak melekat selamanya. Masing-masing harus punya masa
depan dan dibebaskan dari masa lalunya. Mereka tidak dideklarasikan
sebagai peran utama dalam kerusakan, tapi mereka juga disebabkan atau
akibat yang menjadi objek penderita.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
81

Keadilan restoratif juga menyita perhatian para pemuka agama, para pelopor dari
konsep ini, yang tertarik dengan konsep keadilan resotratif ini secara kemanusiaan
dan moral merupakan jalan yang terbaik untuk menghadapi kejahatan dalam
hukum pidana.186 Secara singkat, hal ini diakui oleh sejumlah pemikir konsep
keadilan restoratif bahwa keadilan restoratif merupakan alternatif yang radikal187
dalam cara tradisional untuk memahami hukum dan keadilan dalam menangani
perilaku jahat.188 Ini merupakan pola berpikir yang baru atau sudut pandang baru
dalam menyikapi hukum dan keadilan.189

Salah satu hal yang dianggap berbahaya adalah dasar pemikiran keadilan restoratif
hanyalah berdasarkan asumsi yang salah dan belum akurat kebenarannya sehingga
dapat berdampak kerusakan yang mendasar. Beberapa tahun belakangan ini,
gagasan keadilan restoratif ini banyak mempengaruhi kebijakan hukum pidana,
hukum acara dan reformasi legislatif di seluruh dunia dan konsep keadilan
restoratif ini sudah menyentuh bidang hukum non-pidana (khususnya dalam
kepentingan akademis), memancing sejumlah perhatian diantara para kriminolog
dan akademisi dari disiplin-disiplin ilmu terkait, peneliti, praktisi hukum pidana,
pembuat undang-undang, dan menyumbang banyak kepada kepustakaan.190

Dengan banyaknya popularitas dan banyak dipakainya konsep keadilan restoratif,


tidak sedikit pula kritik yang berdatangan. Sejumlah kritik yang sedikit skeptik
telah dilemparkan kepada para pakar hukum yang mengadvokasi keadilan
restoratif mengenai beberapa kemungkinan yang membahayakan penegakan

186
Ibid, (Dalam Zehr 1990; Consedine 1999; Hadley 2001, 2006)
187
Makna kata Radikal disini adalah secara mendasar (sampai kpd hal yg prinsip):
perubahan yg --; (2) Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju
dl berpikir atau bertindak. http://kamusbahasaindonesia.org/radikal
188
Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate
Publishing Limited, 2007) , hal 11. Yang telah dialihbahasakan secara informal oleh penulis dari
kalimat. “In short, it is claimed by a number of restorative justice campaigners that restorative
justice is a radical alternative to the traditional way of understanding crime and justice and
dealing with criminal behaviour”
189
Ibid.
190
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
82

keadilan restoratif yang ideal.191 Banyak juga kritik yang menguji dan
mempertanyakan apakah perbedaan yang paling dasar dan tajam antara gagasan
retributif dan keadilan restoratif. Memang secara ekstrem dikatakan bahwa
walaupun keadilan restoratif yang ideal itu pada hakikatnya tidak ada kecacatan,
tetapi konsep ini sangat mungkin megantarkan pada kesesatan dan menghasilkan
sesuatu yang tidak hanya berbeda dengan apa yang menjadi tujuan melainkan
bahkan dapat mengantarkan kita pada keadaan yang lebih buruk daripada
penggantian kerugian192. Dikatakan pula keadilan restoratif tidak cocok dengan
peradilan pidana tradisional melainkan baru dapat berfungsi optimal bila
dilakukan dalam peradilan pidana modern.

Akan tetapi, perlu diperhatikan pula apa yang dikatakan oleh Sullivan dan Tifft
(2006) bahwa, “restorative justice must be put down, contained, co-opted, or
modified in some other way to meet the state’s ideological and administrative
requirements”.193 Terlepas dari berbagai kritik tajam mengenai konsep keadilan
restoratif, penerapak keadilan restoratif sebagai tujuan dari pemidanaan harus
disesuaikan sedemikian rupa agar dapat cocok dengan ideologi dari negara dan
persyaratan admnisitrasi dari negara yang memberlakukan konsep ini dengan
tanpa menghilangkan prinsip dasar dari konsep keadilan restoratif.194 Sanggahan
inipun juga disampaikan oleh John Braithwaite yaitu ia mengatakan bahwa:

“Dalam penjatuhan hukuman, beberapa pertanyaan yang hampir selalu


muncul adalah kapan kita hukum harus dijatuhkan? Apa hukuman yang
paling tepat untuk dijatuhkan? Pertanyaan yang terakhir inilah yang selalu
menjadi pembahasan hangat antar para akademisi maupun aparat penegak
hukum. John Braithwaite menyarankan bahwa teori keadilan restoratif ini
jangan selalu ditafsirkan sempit, karena teori ini sebenarnya telah tumbuh
dalam tradisi-tradisi masyarakat, hanya perlu digali lebih dalam lagi.”195

191
Ibid.
192
Ibid.
193
Ibid.
194
Ibid.
195
Andrew Von Hirsch, et. al., ed., Restorative Justice: Competing or Reconcilable
Paradigms?, (Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2003), hal. 7

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
83

Untuk mendukung sanggahan Braithwaite diatas, Perserikatan Bangsa-Bangsa


(PBB) berpendapat bahwa program keadilan restoratif adalah program apapun
yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang
diinginkan. Program keadilan restoratif juga bertujuan untuk memulihkan
kedamaian dan hubungan yang ruak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan
menguatkan nilai-nilai yang hidup didalam komunitas. Para korban diperhatikan
kebutuhannya dan para pelaku didorong untuk bertanggungjawab. Maka harus
dipahami makna proses restoratif (restorative process) dan makna hasil restoratif
(restorative outcome).196 Proses restoratif adlah proses apapun dimana korban
kejahatan dan pelaku kejahatan, dan bilamana anggota komunitas-komunitasnya
yang terkena dampak kejahatan secara aktif berpartisipasi bersama, guna
memutuskan masalah-masalah yang timbul akibat kejahatan tersebut, dan
biasanya dengan dibantu oleh seorang fasilitator.197 Sedangkan, hasil restoratif
adalah kesepakatan yang dicapai dari suatu proses restoratif termasuk misalnya,
pemilihan program seperti program pemulihan program pemberian ganti rugi, dan
program kerja sosial. Terhadap kejahatan berat, program-programnya dapat
digabungkan dengan tindakan-tindakan lain.198

Dalam berbagai literatur, istilah ”praktek keadilan restoratif” (restorative justice


practice) dan ”program keadilan restoratif” (restorative justice programmes)
sering dipertukarkan. Akan tetapi, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tetap
konsisten menggunakan istilah ”program keadilan restoratif ” dan PBB hanya
mengarahkan program-programnya hanya pada penyelesaian konflik
permasalahan pidana. Oleh sebab itu penyelesaian konflik diluar pidana, misalnya
konflik-konflik di sekolah dan di lingkungan kerja tidak dibicarakan dalam buku
pegangan tentang keadilan restoratif tersebut.199 Dalam Handbook on Restorative

196
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes (New York: United Nations,
2006)
197
Ibid., hal. 7.
198
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
84

Justice yang diterbitkan oleh UNODC tersebut dikatakan bahwa praktek keadilan
restoratif tidak bersifat kaku, melainkan dapat diadaptasikan dengan berbagai adat
istiadat maupun masyarakat dimana pemikiran keadilan restoratif diaplikasikan.
Dan sekali lagi, demi tujuan pemulihan keadaan akibat tindak pidana dan
memulihkan hubungan antar korban-pelaku tindak pidana tidak menyisakan
dendam, keadilan restoratif selalu dapat ditegakkan.

199
Ibid., hal. 5.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 4

ANALISIS

4. 1 Analisis Hubungan dan Keterkaitan Pengembalian Aset Hasil Tindak


Pidana Korupsi dengan Keadilan Restoratif

4. 1. 1 Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi atas


Kerugian Negara
Korupsi mengakibatkan kemiskinan yang oleh Mahatma Gandhi disebut sebagai
bentuk pelanggaran yang terburuk, karena aset negara yang seharusnya digunakan
rakyat dikorupsi untuk kepentingan pribadi para pelaku tindak pidana korupsi.
Bertitik tolak dari hal tersebut negara wajib dan bertanggungjawab untuk
melindungi masyarakat dari tindak pidana korupsi dengan segala akibat yang
ditimbulkannya. Perlindungan tersebut tidak hanya meliputi pengemalian aset
hasil tindak pidana korupsi untuk digunakan bagi kesejahteraan rakyat melalui
pembangunan berkelanjutan.200

Sesuai dengan ajaran kriminologi dalam teori hedonis201 yang menganggap bahwa
seseorang tidak akan melakukan suatu kejahatan bila tidak ada keuntungan yang

200
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 51.
201
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, aesuai dengan ajaran kriminologi dalam
teori hedonis yang menganggap bahwa seseorang tidak akan melakukan suatu kejahatan bila tidak
ada keuntungan yang akan dia dapat bila melakukan kejahatan tersebut, karena pada dasarnya
setiap orang melakukan suatu perbuatan atas perhitungan untung dan rugi. Begitupula dengan
koruptor yang selalu berpikiran bahwa dengan melakukan tindak pidana korupsi mereka dapat
menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi

85 Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
86

akan dia dapat bila melakukan kejahatan tersebut, karena pada dasarnya setiap
orang melakukan suatu perbuatan atas perhitungan untung dan rugi. Begitupula
dengan koruptor yang selalu berpikiran bahwa dengan melakukan tindak pidana
korupsi mereka dapat menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi. Analisis
ekonomi dalam hukum pidana, menurut J.C Oudijk, mendasarkan diri pada
asumsi bahwa pelaku atau calon pelaku tindak pidana selalu berupaya
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.202 Hal ini lah yang membuat
penderitaan rakyat semakin berat karena rakyatlah yang harus membayar apa yang
dinikmati para pelaku tindak pidana korupsi itu. Pelaku tindak pidana korupsi
mengambil kekayaan atau kesempatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk
memakmurkan kehidupan rakyat203. Tindakan pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi juga merupakan pengobatan atas pencorengan terhadap keadilan
sosial204. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi sangat
bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh bangsa Indonesia. Pelaku
tindak pidana korupsi harus bertanggungjawab untuk mengembalikan kerugian
negara yang diakibatkan oleh korupsi yang mereka lakukan, juga sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam Bab 2 bahwa tindakan pengembalian aset pun
memiliki unsur prevention of crime.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya bahwa tindak
pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dampaknya bersifat gradual, maka

202
Ibid, hal. 78 .
203
Arya Maheka, Mengenal dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi), hal 5
204
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti
Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 63. Definisi klasik
keadilan yang dikemukakan Louis Kelso dan Mortimer Adler bahwa keadilan, dalam formulasi
yang paling umum, menekankan kewajiban‐kewajibn moral atau perintah bagi manusia yang
ebrgabung dalam tujuan‐tujuan hidup yang umum, yaitu bertindak demi kesejahteraan umum
bagi semua, tidak hanya bagi kepentingan eksklusif pribadi manusia, tidak mencederai satu sama
lain, memberikan apa yang merupakan hak tiap manusia, dan bertindak adil terhadap sesame
dalam pertukaran barang dan distribusi kekayaan. Dengan demikian, tindakan pengembalian aset
yang bertujuan untuk mengembalikan aset yang dikorupsi kepada negara merupakan suatu
perbuatan yang baik rehabilitatif bagi luka masyarakat, retributif bagi si pelaku tindak pidana
korupsi, juga restoratif bagi kerugian materil bagi keuangan negara.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
87

penjatuhan pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana ini sebaiknya
tidak hanya penghukuman yang bersifat membuat jera pelaku saja, tetapi juga
harus disertai hukuman lain untuk mengobati luka dan kerugian dari para
korbannya. Dalam terjadinya tindak pidana korupsi, terkadang para penegak
hukum dan pemerintah perumus peraturan perundang-undangan lupa akan
keadaan korban yang harus sangat diperhatikan. Pemulihan kerugian yang dialami
korban tindak pidana tidak kalah penting daripada penjatuhan hukuman penjara
bagi para pelakunya. Dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi,
walaupun memang rakyat Indonesia yang menjadi korban dalam tindak pidana ini
tidak seluruhnya dan secara langsung menerima restitusi dari tindak pidana ini,
tetapi dengan adanya tindakan hukum secara konkrit berupa pengembalian aset
dan tentunya penjatuhan pidana pokok berupa pidana penjara dapat menjadi obat
bagi luka rakyat Indonesia akibat tindak pidana korupsi ini.

Metode pencegahan, penindakan dan penanggulangan atas tindak pidana korupsi


harus lebih progresif dan efektif. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
merupakan suatu tindakan yang tidak hanya merupakan penanggulan tindak
pidana melainkan juga merupakan suatu pencegahan terjadinya tindak pidana
karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, yaitu pengembalian aset
itu menghilangkan tujuan yang merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan
peluang mencapai tujuan itu dapat menghilangkan motif yang mendorong orang
melakukan kejahatan. Idealnya, kejahatan berkurang karena kesadaran
masyarakatnya sendiri, inilah yang disebut dengan Marginal Deterrence.
Marginal Deterrence didefinisikan oleh Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H. sebagai
suatu tahap dimana upaya-upaya pencegahan kejahatan sudah berada pada tahap
minim karena menurunnya tingkat kejahatan sebagai hasil pencegahannya yang
semakin efektif dan kesadaran masyarakat sendiri. Bedanya dengan prevention of
crime (pencegahan kejahatan), sebagai langkah konvensional, ialah bahwa
pencegahan kejahatan yang disebut terakhir ini menitik beratkan pendekatan
pemberatan hukuman. Antara kedua bentuk upaya tersebut, jelas marginal
deterrance adalah bentuk yang ideal, karena kejahatan berkurang bukan karena
diperberatnya hukuman dan langkah-langkah represif lainnya, tetapi yang

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
88

dilakukan ialah usaha-usaha pendekatan rasional, persuasif dan proses penyadaran


lainnya.205

Kondisi ini bisa terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan
masyarakat memadai. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan
salah satu sistem penanggulangan atas kerugian dari tindak pidana korupsi.
Keadilan restoratif yang merupakan salah satu tujuan pemidanaan yang
berorientasi pada pengembalian kerugian dan keadaan seperti sedia kala sebelum
terjadinya tindak pidana, merupakan pemikiran yang harus ditanamkan pada
penegak hukum khususnya tindak pidana korupsi.

Dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang maka akan
mengakibatkan kerugian. Walaupun telah dijatuhkan hukuman pidana, yang
biasanya dijatuhkan hukuman penjara, terhadap pelaku pidana seringkali korban
tetap tidak puas karena kerugian yang diderita korban tidak tergantikan.
Pemecahan masalah menggunakan penjatuhan pidana pokok biasa dirasakan
kurang memberikan keadilan. Keadilan yang dituju atau dicapai dengan cara
tersebut adalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang
kadang-kadang tidak sama dengan keadilan yang dirasakan masyarakat.206
Keadaan ini tidaklah mengherankan kalau kita melihat tujuan pemidanaan yang
selama ini dikembangkan dalam hukum positif kita, yang fokus perhatiannya
lebih banyak pada upaya bagimana agar pelaku ini jera, bagaimana agar pelaku ini
menjadi orang yang berguna di masyarakat dan sebagainya. Titik perhatian utama
dalam proses pemecahan kasus pidana ini, penguasa atau negara lebih banyak
memberikan perhatian kepada pelaku atau pelanggar, agar pelaku berubah
menjadi baik dan berguna dimasyarakat, sementara di pihak lain, korban dan
masyarakat yang merasa terganggu keharmonisannya akibat ulah pelanggar atau

205
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, cet. 2, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002), hal 18

206
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,
September 2004, hal 19 s.d 28.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
89

pelaku tadi kurang mendapatkan perhatian bahkan tidak dilibatkan dalam


memecahkan masalah yang terjadi dan menimpa dirinya tersebut.

Berbeda dengan pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan pidana


konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung dari
pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Terlepas dari kenyataan terebut bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara
teoritis, akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak
mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara. Hal ini juga
didukung dengan pernyataan dari Margarita Zemova dalam bukunya Restorative
Justice: Ideals and Realties yang menyatakan bahwa kunci dari tercapainya
keadilan restoratif adalah suatu tindak pidana tidak hanya dikendalikan oleh
aparat penegak hukum dan penasehat hukum saja, tetapi juga melibatkan para
pelaku tindak pidana dan juga korbannya.207

Pengembalian kerugian atau tindakan untuk mengembalikan keadaan semula


proses pemecahannya adalah dengan cara melibatkan semua orang yang terkait
dengan tindak pidana tersebut, termasuk bagaimana memperbaiki kerusakan
tersebut dan siapa yang bertanggungjawab untuk itu. Proses seperti ini akan jauh
lebih efektif dan lebih diterima oleh masyarakat karena pihak yang berhubungan
dengan tindak pidana tadi secara bersama-sama juga mencari alternatif
pemecahannya.208 Proses dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak
pidana tertentu bersama-sama memecahakan masalah dan bagaimana menangani
akibat dimasa yang akan datang atau implikasinya dimasa depan inilah yang
disebut dengan istilah Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (Tony Marshall
yang kemudian diadopsi oleh Kelompok Kerja Peradilan Anak, PBB). 209

207
Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate
Publishing Limited, 2007), hal 10.
208
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,
September 2004, hal 19 s.d 28.
209
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hal. 3. (Dalam Robert I Rutberg dan Dennis

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
90

Welgrave mengemukakan bahwa teori keadilan restoratif adalah setiap perbuatan


yang berorientasi pada penegakan keadilan dengan memperbaiki kerugian yang
diakibatkan dari tindak pidana.210 Selain itu, konsep keadilan restoratif ini juga
sangat kental dengan partisipasi dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan dari
pemidanaan, yaitu pemulihan keadaan dengan korban, pelaku tindak pidana dan
masyarakat yang bersama-sama sesuai peran masing-masing untuk memulihkan
keadaan. Bila dikaitkan dengan pengembalian aset dalam tindak pidana korupsi,
dalam rangkaian tindakan penelusuran, pembekuan, penyitaan dan akhirnya tahap
pengembalian aset negara yang dikorupsi adalah sejalan dengan konsep keadilan
restoratif yang megutamakan perbaikan dan pengembalian kerugian yang
diakibatkan oleh tindak pidana.

Telah dikatakan dalam bab 3, bahwa keadilan restoratif tidak dapat dikategorikan
sebagai teori, melainkan metateori yaitu dalam pemikiran keadilan restoratif
mengandung pula unsur-unsur dalam teori-teori pemidanaan yaitu teori retributif,
teori preventif, teori campuran, teori rehabilitatif, dan teori resosialisasi. Dalam
pelaksanaan program keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan, pada
dasarnya kita tidak bisa terlepas dengan tujuan pemidanaan lainnya seperti konsep
rehabilitasi, resosialisasi, retributif, juga konsep prevensi. Begitupun dalam
pengaplikasian keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan dalam
pengembalian aset hasil tindak pidana. Dalam pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi, perampasan aset dengan tujuan pengamanan aset agar tidak
dihilangkan jejaknya merupakan salah satu nestapa yang dijatuhkan kepada para
pelaku tindak pidana korupsi. Gaya hidup modern dan konsumtifitas dari pejabat
negra dewasa ini tidak dapat dielakkan dari godaan praktik korupsi. Bahkan
Gaspare Mutolo, seorang gembong mafia yang bekerjasama dengan komisi anti

Thomson, ed., Truth v Justice, The Moralty of Truth Comission (Princeton dan Oxford: Princeton
University Press, 2000).
210
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90. (Dalam
L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven:
Univeritaire Pers Leuven, 2000), hal. 249-280).

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
91

mafia Italia pada tahun 1992, mengungkapkan bahwa211 ”perasaan paling buruk
yang dialami para penjahat yang melakukan kejahatan dengan motif
mendapatkan keuntungan hasil kejahatan adalah jika aset-aset hasil
kejahatannya itu diambil”.

Sedikit mengkritisi Pasal 4 jo Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan bahwa pengembalian kerugian negara
atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana,
dimana pengembalian kerugian negara yang dimaksud adalah dengan pembayaran
denda yang jumlahnya limitatif ditentukan oleh undang-undang, dan maksimal
denda yang diancam adalah hanya 1 milyar rupiah. Melihat realitas di Indonesia
dewasa ini, jumlah uang yang dikorupsi sudah tidak main-main, puluhan milyar
bahkan sampai trilyun. Sebut saja kasus Bank Century yang sangat menyita
perhatian Indonesia pada tahun 2008 yang merugikan keuangan negara kurang
lebih sebesar 6,7 trilyun sangat tidak adil apabila aset yang dicuri tersebut hanya
dikembalikan 1 milyar rupiah (dengan asumsi dikenakan pidana denda maksimal).
Pengembalian aset yang dimaksud dalam undang-undang ini haruslah diperluas,
tidak hanya pidana denda tetapi semua aset yang telah dicuri harus dikembalikan,
beserta segala keuntungan yang didapat dari aset tersebut. Tanggung jawab pelaku
tindak pidana korupsi tidak hanya apa yang diatur dalam undang-undang, yaitu
dengan penjatuhan hukuman penjara atau hukuman mati dan penjatuhan denda,
melainkan juga bertanggungjawab atas segala kerugian negara yang disebabkan
olehnya dan memulihkan keadaan bangsa yang terpuruk atas tindak pidana
korupsi.

4. 1. 2 Negara Sebagai Korban dari Tindak Pidana Korupsi


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
dalam pasal 1 huruf 2 mendefinisikan korban sebaagai ”Seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana”. Kata subjek dalam definisi yang diberikan dalam

211
Purwaning Yanuar, Pentingnya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana, Disampaikan
dalam Lokakarya BPHN Departemen Hukum dan HAM pada 18 Agustus 2009, hal. 10.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
92

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut adalah ”seseorang”


yang menunjuk seorang manusia, tetapi definisi tersebut merupakan definisi
’korban’ secara sempit. Bila kita tafsirkan secara luas, yang dapat diklasifikasikan
sebagai korban adalah tidak hanya manusia, melainkan dalam beberapa konteks,
negara pun dapat dikategorikan sebagai korban, tentunya korban tindak pidana.

Dalam tindak pidana korupsi transnasional, dimana suatu negara yang asetnya
dikorupsi dan aset tersebut dilarikan keluar negeri, maka negara yang disebut
pertama ini disebut sebagai negara korban. Dalam topik ini, Negara sebagai
representasi dari rakyatnya yang dikorbankan akibat maraknya tindak pidana
korupsi. Sebagai contoh, rakyat Indonesia yang senantiasa menjadi warga yang
taat dalam membayar pajak, tapi dengan mudahnya pajak yang mereka bayarkan
diselewengkan dan dilarikan ke luar negeri. Negara atas nama Rakyat Indonesia
sudah sepantasnya bertanggung jawab dalam usaha pemulihan keadaan dengan
pengembalian aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi.212
Disamping itu, negara dapat merepresentasikan rakyatnya sebagai korban dari
tindak pidana dalam hal ada gap sosial antara korban dan pelaku tindak pidana
contohnya dalam tindak pidana korupsi yang merupakan white collar crime dan
korbannya merupakan rakyat Indonesia, khususnya kalangan menengah kebawah
yang membutuhkan bantuan keuangan dari pemerintah dalam untuk
213
menyelenggarakan kesejahteraannya.

Apabila mendengar istilah ’korban tindak pidana’ pasti kita otomatis


membayangkan penderitaan berupa luka fisik, atau kehilangan harta benda.
Predikat korban memang sangat dekat dengan penderitaan atasnya akibat tindak
pidana yang dilakukan oleh orang lain. Pada dasarnya, korban tindak pidana
adalah tidak hanya manusia tetapi Negara pun dapat menjadi korban dari tindak
pidana, yaitu salah satunya tindak pidana korupsi.214 Dengan demikian, Negara

Cesare Beccaria, Of Crimes and Punishments [Dei Delitti e Delle Pene]. Diterjemahkan
212

oleh Jane Grigson, (USA: Oxford University Press, 1964), hal 14.
213
Ibid., hal 97 s.d. 99.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
93

diharapkan melakukan upaya-upaya yang akan disarankan berikut mengenai


pemulihan keadaan negara akibat tindak pidana korupsi. Atas terjadinya tindak
pidana korupsi, negara sangat menderita tidak hanya dalam hal finansial tetapi
juga dalam bidang politik, hukum dan kemanusiaan. Salah satu penyebab adanya
tindak pidana korupsi adalah tidak adanya transparansi dan akuntabilitas
pemerintah dalam mengelola pemerintahan. Sedangkan akibat dari korupsi,
keuangan negara digerogoti oleh para pelaku tindak pidana korupsi, dana yang
seharusnya digunakan unutk pembangunan nasional dan kegiatan pemakmuran
rakyat dikorupsi begitu saja oleh mereka. Penderitaan rakyat, khususnya rakyat
kecil, semakin berat. Dengan demikian, jelaslah Negara, dengan ditafsirkan secara
luas, dapat dikategorikan sebagai korban dari tindak pidana korupsi.

Dengan diaturnya ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik atau Mutual
Legal Assistance (MLA) dalam Pasal 46 Bab VI UNCAC 2003 yang mengatur
tentang kerja sama internasional, Negara diharapkan dapat secara aktif melakukan
upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang efektif dan
efisien dapat terlaksana. Bagi aset negara yang dilarikan ke luar negeri oleh para
pelaku tindak pidana korupsi, MLA dapat dijadikan salah satu jawaban atas
pertanyaan yurisdiksi aset yang akan disita melampaui yurisdiksi Indonesia.

Menurut Tim Daniel, dalam TI’s Quarterly Newsletter, jenis-jenis bantuan khusus
yang dapat diminta dari negara lain adalah215:
1. Pelacakan oleh otoritas-otoritas pidana negara tersebut
2. Memberitahukan kepada negara korban tentang informasi yang diperoleh
dari pelacakan; pemberian informasi tunduk pada syarat bahwa informasi
hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan dalam
perkara pidana dan di negara korban;
214
Ibid. Dalam bukunya, Cesare Beccaria menggunakan teori kontrak sosial yang dimana
Negara sebagai representasi rakyatnya.

215
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90. (Dalam
L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven:
Univeritaire Pers Leuven, 2000), hal 236. (Seperti terdapat dalam Tim Daniel, Tracking Down
Stolen Assets: the Nigerian Experience, TI’s Quarterly Newsletter, March 2003, hal. 10).

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
94

3. Membekukan aset-aset yang berada di negara yang dimintai bantuannya

Membina hubungan dengan negara-negara lain, khususnya negara tujuan


pencucian uang hasil tindak pidana korupsi guna mempermudah pelacakan aset
merupakan kontribusi negara yang terbesar. Dalam pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi, khususnya dalam hal transnasional, penegak hukum dan tim
pelacak aset tidak dapat bekerja sendiri dalam pelacakan dan pembekuan aset
hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan. Akan tetapi, peran Negara korban
sangat besar dalam hal kontribusinya meminta negara tujuan untuk menyusun
suatu bantuan timbal balik. Keterangan tersangka tindak pidana korupsi tidak
dapat begitu saja dijadikan dasar pelacakan aset, karena pada dasarnya seorang
tersangka pidana dilindungi hak-hak tersangka dan berlaku asas non-self
incrimination. Dalam hal ini, pemikiran mengenai program keadilan restoratif
sangat tepat untuk diaplikasikan, dimana dalam penegakan hukum ada pelaku
tindak pidana, korban dan masyarakat terlibat untuk memulihkan keadaan seperti
sebelum terjadi tindak pidana.

4. 1. 3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai


Tindakan Restoratif

Program keadilan restoratif merupakan jalan untuk menegakkan hukum pidana


demi menyeimbangkan kebutuhan dari masyarakat, korban dan pelaku tindak
pidana. Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes yang diterbitkan
oleh UNODC disebutkan beberapa kriteria atau keistimewaan program keadilan
restoratif, yaitu :
1. Dapat secara fleksibel menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara
kejahatan, pelaku dan korban, yang memungkinkan setiap kasus harus
dipertimbangkan secara individual. Dalam kaitannya dengan proses
pengembalian aset hasil tindak korupsi, penegak hukum harus dapat
membuktikan aset yang diduga hasil tindak pidana dan pula harus berhasil
menjatuhkan pidana terhadap pelaku, sedangkan korban dan dalam topik
ini Negara lah yang menjadi korban dari tindak pidana korupsi berperan

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
95

dalam urusan political will yang harus kencang melakukan diplomasi


kepada negara tempat aset dilarikan untuk bekerjasama melakukan
penyitaan dan pengembalian aset.
2. Menghargai harga diri dan hak dari para pihak terkait dalam tindak pidana,
membangun kesepahaman antar pihak dan menggalakan keharmonisan
sosial melalui pemulihan kerugian yang diderita korban, pelaku tindak
pidana dan masyarakat. Penegakkan hukum atas tindak pidana korupsi
dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi juga merupakan
program pengembalian harga diri bangsa yang telah diremehkan oleh para
pelaku tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi terjadi karena tidak
terlaksananya sistem good governance dengan baik. Moralitas,
akuntabilitas dan transparansi dari pejabat negara yang melakukan tindak
pidana korupsi sudah begitu bobroknya dan mencoreng nama Indonesia.
Di sisi lain, harga diri pelaku tindak pidana korupsi pun sedikit lebih
dihargai walaupun tetap saja kebencian dari masyarakat masih saja ada,
tetapi dengan mengembalikan aset yang dikorupsinya, setidaknya ia telah
menebus kesalahannya secara materil, dan juga secara immateril, harus
menebus kesalahannya dengan penjatuhan pidana penjara sebagai pidana
pokok.
3. Alternatif yang tepat dimana dapat diintegrasikan dengan sistem peradilan
pidana tradisional dan sistem pemidanaan. Keadilan restoratif ini, selain
dapat diartikan sebagai suatu praktek tetapi bisa juga dijadikan sebagai
dasar pemikiran. Sehingga, dalam sistem peradilan pidana khususnya
dalam penegakkan hukum atas tindak pidana korupsi, keadilan restoratif
harus dijadikan dasar pemikiran. Begitu fleksibelnya pemikiran ini
membuat keadilan restoratif dapat diintegarasikan dalam sistem peradilan
pidana. Adat istiadat di Indonesia pun telah mengenai konsep yang bersifat
restoratif dalam sistem ganti rugi yang diterapkan pada kehidupan
tradisional sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya.
4. Pendekatan yang menggabungkan konsep pemecahan masalah dan
menunjukkan hal apa yang menjadi akar sebab dari tindak pidana. Terkait
dengan program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, lembaga

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
96

pemidanaan berupa pidana pokok sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dirasakan tidak cukup. Akar
masalah dari penegakan hukum atas tindak pidana korupsi ini bukan hanya
penjatuhan hukuman yang memberikan efek jera melainkan juga
pengembalian kerugian negara. Hal yang terakhir disebut inilah merupakan
masalah yang harus dipecahkan.
5. Suatu pendekatan yang peduli akan kerugian dan korban dari tindak pidana
itu sendiri. Sudah jelas, apabila kita kaitkan dengan masalah pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi, program ini mengusung tujuan keadilan
bagi korban tindak pidana korupsi dengan mengembalikan keseimbangan
yang sempat hilang.
6. Suatu pendekatan yang menyadarkan dan mendorong para pelaku tindak
pidana untuk memahami sebab dan akibat dari tindakannya serta
bertanggungjawab atas dasar kesadarannya sendiri. Dengan rangkaian
persidangan dan perampasan aset yang dilakukan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi dengan pengembalian aset, diharapkan para pelaku sadar
akan perbuatan yang mereka lakukan. Dengan perampasan ini pula mereka
harus pula merasa apa yang dirasakan penderitaan rakyat kecil yang
seharusnya mendapatkan hak untuk pembangunan dan penyejahteraan
tetapi dana yang digunakan habis dikorupsi oleh pelaku. Tujuan moral
yang terdapat dalam konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
sangat mulia, yaitu menyadarkan para pelaku akan kemiskinan yang akan
mereka hadapi sebagai konsekuensi perbuatan yang mereka lakukan. Lagi,
prinsip ”crime doesn’t pay” berlaku, yaitu pelaku tindak pidana tidak akan
menerima keuntungan dari perbuatan mereka.
7. Suatu pendekatan yang tidak kaku dan dapat disesuaikan untuk
diadaptasikan dalam berbagai keadaan, tradisi hukum, prinsip dan dasar
filosofi dari sistem hukum nasional masing-masing Negara. Terkait dengan
pengembalian aset, telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa dalam
hal aset yang akan disita berada di luar yurisdiksi Indonesia, maka
pemerintah Indonesia dapat mengajukan MLA kepada negara tujuan.
Disamping itu, UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh Indonesia pun

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
97

telah mengatur bahwa ketentuan dalam UNCAC 2003 berupa


pengembalian aset yang bersifat restoratif harus mengadopsi ketentuan
hukum pidana dalam UNCAC 2003 ke dalam hukum nasional.

Pemulihan keadaan dari korban, pelaku tindak pidana dan keadaan sekitar yang
kehilangan keseimbangan akibat terjadinya tindak pidana pun merupakan satu
unsur penting dari pendekatan keadilan restoratif. Dalam kaitannya dengan upaya
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, pemulihan keadaan dari korban
tindak pidana, yang direpresentasikan oleh negara, mendapatkan pemulihan
berupa aset hasil tindak pidana korupsi yang dirampas dari pelaku tindak pidana
dan selanjutnya akan dikembalikan kepada negara. Mengenai pemulihan keadaan
dari pelaku, dengan mengembalikan aset negara yang diambilnya secara melawan
hukum membuat pelaku tindak pidana, berdasarkan penjelasan dari Pasal 4
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, walaupun bukan merupakan dasar
penghapus pemidanaan tetapi dapat dijadikan dasar peringan. Oleh karena itu,
dengan mengembalikan aset yang telah ddikorupsinya, para pelaku akan
dipertimbangkan peringanan pidana atasnya.
Melihat konsep pemikiran dari keadilan restoratif, dapat dikatakan bahwa tujuan
pemidanaan ini merupakan konsep yang telah dewasa dalam menghadapi
permasalah di masyarakat khususnya masalah pidana. Pembalasan sekonyong-
konyong bukan satu-satunya tujuan dari suatu pemidanaan. Keadilan restoratif
menawarkan pemikiran yang matang mengenai usaha apa saja yang harus
ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan dari suatu masyarakat atau negara
akibat terjadinya tindak pidana. Dan terkait dengan pendekatan keadilan restoratif
dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, tujuan pemulihan keadaan
yang merupakan tujuan dari keadilan restoratif adalah sejalan dengan program
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
98

4. 2. Hal-hal yang harus Disiapkan oleh Pemerintah dan Aparat Penegak


Hukum agar Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dapat
Berjalan Efektif
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang menyita banyak perhatian
masyarakat Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Pertanyaan yang sering
muncul adalah sedemikian rupa penegakan hukum atas tindak pidana korupsi
diupayakan tetapi mengapa korupsi masih merajalela dan koruptor masih bebas
berkeliaran menikmati hasil korupsinya? Cara apa yang tepat untuk
mengembalikan kerugian negara akibat korupsi dan membasmi korupsi?

4.2.1 Keseriusan Penegak Hukum dan Political Will Indonesia


Korupsi sebagai tindak pidana yang bersifat gradual sangat membutuhkan
perhatian yang lebih dan keseriusan yang besar dalam penindakannya karena bila
tidak, stabilitas ekonomi negara pun terancam. Sebagai tindakan awal dari
keseriusan ini adalah dengan kesigapan penegak hukum dalam menanggapi
laporan atau indikasi adanya tindak pidana korupsi. Hal itu dapat dilakukan
dengan pembekuan aset yang dicurigai sebagai hasil tindak pidana sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 31 UNCAC 2003. Kepolisian Republik Indonesia dan
KPK lembaga yang berwenang menerima laporan dari masyarakat atas indikasi
terjadinya tindak pidana korupsi, diharapkan tidak menunda untuk melakukan
penyelidikan dan pelacakan aset terkait laporan tersebut.

Seiring dengan berkembangnya globalisasi, tindak pidana korupsi pun


berkembang semakin rumit karena batas antar negara semakin menipis dan
pencucian uang pun semakin mudah dilakukan. Untuk dapat mengakses aset hasil
tindak pidana korupsi yang berada di luar negeri menjadi perkara yang tidak
mudah. Seringkali aset-aset tersebut demikian besar jumlahnya, sehingga
pengembalian itu memerlukan prosedur yang tidak mudah. Untuk kepentingan
investigasi dan pelacakan aset-aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
UNCAC 2003 mengharuskan negara pihak melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan agar dapat mengidentifikasi dan melacak aset-aset tersebut dengan

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
99

tujuan penyitaan.216 Di sisi lain, negara-negara dimana aset hasil tindak pidana
korupsi disimpan harus dengan cepat merespon permintaan bantuan hukum.
Sekali lagi ditekankan bahwa dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, para pihak terkait harus benar terlibat dan saling bekerjasama memerangi
tindak pidana korupsi dan membantu negara korban dalam memulihkan
kerugiannya akibat tindak pidana korupsi. Mengenai hal ini, bahkan Saldi Isra
berpendapat bahwa Indonesia harus mendesak negara-negara maju melalui
lembaga-lembaga internasional untuk menciptakan kerjasama internasional yang
lebih pro dengan keterbatasan kemampuan negara-negara berkembang terhadap
tekhnologi, akses dan politik internasional dalam upaya pengembalian aset
curian.217

Keseriusan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat optimal bila
pola pikir masyarakat Indonesia hanya terpaku pada balas dendam semata pada
para koruptor. Masyarakat dan aparat penegak hukum harus menanamkan pola
pikir maju dengan tidak berhenti pada pembalasan atas tindak pidana, tetapi juga
bagaimana tindakan selanjutnya untuk mengamankan aset negara yang dikorupsi
serta memulihkan kerusakan dan kerugian akibat tindak pidana. Edukasi
mengenai pentingnya pengembalian aset negara harus ditanamkan kepada
masyarakat Indonesia, sehingga setiap golongan masyarakat Indonesia, khususnya
legislator sang perumus peraturan perundang-undangan dan penegak hukum
Indonesia, mengerti pentingnya penegakan hukum atas pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi.

Program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak dapat begitu saja
dirampas dan dikembalikan ke negara tanpa dilakukan proses yang pantas dan
tepat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2 laporan ini, terkait tahapan-
tahapan pengembalian aset, proses pengembalian aset harus dilakukan selain

216
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, Pasal 31 ayat 2.
217
Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi melalui Kerjasama,
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:asset-recovery-
tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah&Itemid=11, diunduh
pada 6 Maret 2011.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
100

dengan kapabilitas dari penegak hukum yang baik, juga harus disertai dengan ada
tim khusus yang fokus melakukan penelusuran aset hasil korupsi. William R.
Schoeder mengatakan bahwa keberhasilan pelacakan tindak pidana korupsi di
sektor publik sangat bergantung kepada kemampuan penyidik dalam mencari
jejak kepemilikan uang dan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah atau mencari
pelaku-pelakunya.218 Penelusuran aset hasil tindak pidana korupsi, baik di
Indonesia maupun di negara lain, merupakan poin inti dari dari rangkaian proses
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini. Korupsi sebagai kejahatan
kerah putih yang terkadang banyak memboncengi kepentingan para pejabat
pemerintah membuat proses penelusuran aset menjadi semakin sulit. Banyak
sekali kepentingan-kepentingan politik dan pribadi bersarang dalam proses ini.
Sebagai contoh, yang sedang marak sekarang ini adalah korupsi untuk pendanaan
dana kampanye, mark-up dana pengadaan barang dan suap dari pengusaha kepada
Pemerintah Daerah agar menang tender.

Berangkat dari ketentuan dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999


jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang mengatakan bahwa dapat dibentuknya tim gabungan bila ditemukan
tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Untuk dapat mengesampingkan
kepentingan-kepentingan tersebut dalam tahap pelacakan aset, maka diperlukan
adanya satu tim khusus219 atau yang dalam Rancangan Undang-Undang
Pengembalian Aset disebut dengan Satuan Tugas atau Task Force. Satuan Tugas
ini terdiri dari gabungan beberapa instansi terkait seperti Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Kejaksaan Agung Repulik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, akademisi,
juga advokat. Disamping itu, dalam program pengembalian aset hasil tindak

218
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 209
(Sebagaimana terdapat dalam Willian R. Schoeder, A Review Article: How To Do Financial Asset
Investigations: A Practical Guide for Practice Investigators, Collections Personnel, and Asset
Recovery Specialists, The FBI Law Enforcement Bulletin, Juli 2001).
219
Tim khusus diperlukan dalam hal pelacakan aset hasil tindak pidana korupsi yang
dilarikan oleh pelaku. Mengapa diperlukan tim khusus karena tim ini dibentuk khusus untuk
menjalankan fungsi ini dengan penuh konsentasi dan fokus pada penelusuran aset.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
101

pidana korupsi ini, tidak hanya elemen hukum dan penegak hukum saja yang
dilibatkan. Unsur keuangan sangat kuat disini, penggunaan instrumen hukum saja
tidak cukup, dalam penegakannya instrumen dan penyedia jasa keuangan pun
harus dilibatkan. Jasa perbankan pun harus terlibat secara aktif karena mulai dari
penelusuran dan penyitaan aset yang dilarikan oleh pelaku tindak pidana korupsi
pun tidak dapat lepas dari keahlian para penyedia jasa keuangan dan perbankan.

Terkait dengan legislasi, Indonesia sendiri telah memiliki instrumen hukum


mengenai Mutual Legal Assistance yaitu Undang-Undang 1 Tahun 2006, Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, meratifikasi UNCAC, juga telah memiliki
PPATK sebagai lembaga yang dipercaya untuk berwenang dalam hal pelacakan
aset hasil tindak pidana yang dicuci. Akan tetapi instrumen tersebut tidak
digunakan secara maksimal dan harmonis.220 Disamping itu, World Bank Group
(WBG) menyampaikan bahwa terkait dengan perbedaan sistem hukum antar
negara yang berurusan masalah pengembalian aset tidak perlu dirisaukan. Hal
yang menjadi pokok pikiran adanya negara korban yang mengajukan bantuan
dapat menjelaskan keterkaitan kepentingan negara korban atas asetnya yang
dilarikan ke negara tujuan. Sementara itu, yang dialami Indonesia bila melihat ke
kasus Bank Century adalah Swiss, negara tujuan, tidak merasakan adanya iktikad
baik sama sekali terhadap Indonesia sebagai negara pemohon bantuan karena
Indonesia tidak menunjukkan secara maksimal keinginannya untuk bekerjasama
dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Kembali lagi ditekankan
bahwa Indonesia harus memiliki keseriusan atas penegakan pengembalian aset ini
dengan meningkatkan political will dari Indonesia sendiri dan mengoptimalkan
penegakan hukum atas tindak pidana korupsi.

220
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Ibu Chairijah, Direktur Hukum
Internasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, menyampaikan bahwa tidak pernah
ada keputusan instrumen yang mana yang akan digunakan dalam “Diskusi Meja Bundar tentang
Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta,
28 Mei 2011”

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
102

4.2.2 Pengesahan Segera RUU Perampasan Aset


Tersedianya dasar hukum kerja sama internasional mengenai pengembalian aset
yang diperoleh secara tidak sah telah membuka peluang bagi upaya pencegahan
dan pemberantasan kejahatan, termasuk tindak pidana korupsi. Persoalannya
adalah, ketentuan mekanisme pengembalian yang diatur dalam UNCAC 2003
mengacu pada hukum nasional masing-masing negara pihak UNCAC 2003 yang
pada umumnya berbeda dan dapat mengakibatkan terjadinya kompetisi hukum
antara negara pihak yang satu dengan yang lainnya. Efektif berlakunya UNCAC
2003 tidak semata-mata bergantung kepada penandatanganan dan ratifikasi
UNCAC 2003 oleh negara-negara pihak, tetapi juga sangat bergantung kepada
sistem hukum nasional masing-masing negara yang dapat bersinergi dengan
ketentuan dalam UNCAC 2003.

Untuk melegalisasi setiap tahap dalam proses pengembalian aset hasil tindak
pidana, Indonesia sebaiknya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Perampasan Aset, sehingga Indonesia memiliki instrumen hukum yang
komprehensif mengenai sistem dan mekanisme mengenai proses pengembalian
aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Sebagai tambahan,
Undang-Undang Perampasan Aset yang nantinya akan disahkan harus harmonis
dengan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh
Indonesia sebelumnya. Dengan harmonisasi tersebut diharapkan ketentuan
mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar
negeri menjadi jelas dan dapat diaplikasikan segera.

Harmomisasi lain yang diperlukan dalam penegakan pengembalian aset hasil


tindak pidana korupsi ini adalah dalam hal peradilan pidana di Indonesia. seperti
yang telah dikemukakan dalam bab 2 bahwa pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi tidak selalu berkaitan dengan aspek hukum tetapi juga dengan
bidang lain, tetapi karena akibat dari tindak pidana korpsi mengakibatkan
kesengsaraan bagi rakyat Indonesia, maka proses pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi ini membutuhkan seperangkat aturan hukum. Harmonisasi

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
103

peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah agar tidak terjadi tumpang


tindih antara ketentuan undang-undang yang satu dengan yang lain.

4.2.3 Pengembalian Aset secara Non-Conviction Based sebagai


Alternatif
Non-convicted based forfeiture221 atau perampasan in rem merupakan salah satu
alternatif dalam melegalisasikan tindakan penyitaan dan perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi. Lembaga in rem ini merupakan suatu legal action atau
upaya hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk menuntut atas kepemilikan
atas suatu benda, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak (an action
determining the title to property and the rights of the parties, not merely among
themselves, but also against all persons at anytime claiming an interest in that
property).222 Dalam pengembalian aset jenis ini, penyelamatan aset dengan
gugatan atas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi dapat diberikan kepada
pelaku tindak pidana korupsi yang telah diputus bebas oleh pengadilan atas
kejahatan korupsi yang dilakukannya, padahal atas perbuatannya menimbulkan
kerugian terhadap negara. Dikarenakan tuntutan pidana gugur apabila terdakwa
meninggal pada saat berjalannya persidangan, maka gugatan atas harta kekayaan
hasil tindak pidana korupsi juga dapat diberikan kepada terdakwa yang meninggal
dalam proses persidangan pidana atas perkara korupsinya, sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No.
20 Tahun 2001, yang mengatakan bahwa

“Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di


sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan
negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita
acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap
ahli warisnya”

221
Merupakan pengembalian aset tanpa adanya putusan pidana atas kasus tersebut terlebih
dahulu yang biasa juga disebut sebagai pengembalian aset secara perdata atau civil forfeiture atau
perampasan in rem.
222
Yenti Garnasih, “Asset Recovery Act Sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil
Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7, No. 4, Desember 2010, hal 629-644.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
104

Belajar dari penegakan hukum di negara berkembang, Britani Raya contohnya


yang telah mengaplikasikan NCB Recovery untuk mengambil kembali aset negara
yang dikorupsi dengan dipayungi oleh POCA 2002. Pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi bukan merupakan perkara mudah, banyak sekali rintangan
yang akan dihadapi oleh para penegak hukum. Akan tetapi, apapun caranya,
apapun instrumennya, kerugian negara harus tetap dikembalikan demi
mengembalikan keseimbangan dari negara. Pengembalian Aset secara NCB dapat
digunakan dalam hal pelaku tindak pidana telah diputus bebas dari pelanggaran
pidana pokok dikarenakan kurang adanya bukti yang dapat digunakan atau
kegagalan dalam memenuhi beban pembuktian.

Meskipun pengembalian aset secara NCB sekalipun tidak pernah boleh dijadikan
sebagai pengganti untuk penuntutan pidana, dalam banyak hal (terutama dalam
korupsi pejabat), Pengembalian Aset secara NCB mungkin merupakan satu-
satunya alat yang tersedia untuk memulihkan keadaan akibat tindak pidana
korupsi tersebut dan sekali lagi untuk memperoleh keadilan.223 Pengaruh para
pejabat yang korup dan realitas praktis lainnya dapat mencegah para penyelidik
kejahatan secara keseluruhan atau setelah pejabat yang berkaitan telah meninggal
dunia atau kabur. Seringkali terjadi dimana seorang pejabat korup yang telah
merampok negaranya berupaya untuk memperoleh imunitas dari penuntutan. Oleh
karena itu, rezim pengembalian aset secara NCB tidak berhantung pada sebuah
penghukuman pidana, maka dapat dilanjutkan tanpa memangdang adanya
kematian, pelarian atau setiap kekebalan yang mungkin dinikmati pejabat yang
korup tersebut. 224

Pengembalian aset secara NCB sebagai salah satu usulan untuk alternatif
penegakan hukum atas tindak pidana korupsi pada akhirnya pun bermuara pada
sistem peradilan pidana Indonesia sendiri. Indonesia sebaiknya melakukan

223
Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture),
(Washington DC: The World Bank, 2009), hal 15.
224
Ibid.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
105

reformasi peradilan pidana dengan menanamkan pemikiran Keadilan Restoratif


dalam tujuan pemidanaannya. Dalam setiap perumusan undang-undang
hendaknya tujuan dari pembuatan undang-undang dan penjatuhan hukuman yang
dikenakan adalah berdasarkan suatu cita-cita, bukan hanya untuk membuat jera
para pelaku tindak pidana, Kembali lagi dengan pemikiran aliran konsekuensialis
dimana konsekuensi yang didapat dari seorang tindak pidana harus setimpal
dengan apa yang ia lakukan dan hukuman yang dijatuhkan pun hendaknya
bijaksana dengan mempertimbangkan sisi deterrence, hak asasi manusia, keadilan
juga sisi preventif untuk kemudian hari. Disamping itu, program keadilan
restoratif yang dalam penegakan hukumnya tidak hanya dilakukan oleh penegak
hukum melainkan adanya partisipasi dari para pelaku tindak pidana, korban, dan
masyarakat yang memegang perannya masing-masing dalam penyelesaian
masalah akan membawa sistem peradilan Indonesia menjadi lebih bijaksana,
dewasa dan mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu keadilan dan kepastian
hukum.

4.2.4 Lembaga Kepailitan sebagai Alternatif Pengembalian Aset


Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi
Dalam pembahasan mengenai program perampasan aset hasil tindak pidana
korupsi berupa Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang
diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011, timbul
suatu rekomendasi yang diutarakan oleh Harry Ponto adalah dengan penggunaan
Hukum Kepailitan sebagai pendekatan upaya perampasan aset hasil tindak pidana.
Dengan rendahnya Indeks Perkiraan Korupsi Indonesia tahun 2010 yaitu 2,8 dari
skala 10,00225, pemerintah, penegak hukum, juga masyarakat Indonesia harus

225
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Bertahan, Todung Mengaku Terkejut,
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/10/27/142578-indeks-persepsi-
korupsi-indonesia-bertahan-todung-mengaku-terkejut, diunduh pada 15 Juni 2011. Disampaikan
juga bahwa TII merilis IPK Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2,8 atau tidak mengalami
peningkatan dibanding tahun sebelumnya. TII melakukan penelitian terhadap tingkat persepsi
korupsi pada beberapa negara berdasarkan data gabungan dari hasil survei sejumlah organisasi.
Indonesia berada pada posisi 110 dari 178 negara yang dilakukan survei terhadap indeks persepsi
korupsi. Singapura, Finlandia, Selandia Baru dan Denmark termasuk kategori negara yang bersih
terhadap praktik korupsi dengan poin tertinggi mencapai 9,3.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
106

cerdas dan kritis menghadapi dan melakukan penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi, salah satunya dengan penggunaan instrumen hukum perdata berupa
kepailitan untuk mengembalikan aset kepada negara sebagai korban tindak
pidana. Untuk menarik korelasi antara hukum kepailitan dengan pengembalian
aset dalam tindak pidana korupsi, pelaku tindak pidana dikategorikan sebagai
debitur, sedangkan negara dikategorikan sebagai kreditur. Adapun definisi dari
kepailitan itu sendiri adalah

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang


mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan
pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, karena debitur tidak
dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para
kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Lembaga kepailitan pada
dasarnya merupakan suatu lembaga yang memberikan solusi terhadap para
pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar/tidak mampu
membayar.226

Lembaga kepailitan pada dasarnya memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu pertama
kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitur tidak
akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-
utangnya. Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan
kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh para krediturnya.227

Dalam hukum kepailitan, syarat yang harus dipenuhi adalah “seorang Debitur
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih”, dan berikut adalah
penguraian unsurnya:
- Debitur, dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan, didefinisikan “orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di
muka pengadilan”. Dalam Pasal 1 ke 11 Undang-Undang Kepailitan

226
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 28.
(Sebagaimana dikutip dari D. Djohansyah, Pengadilan Niaga, dalam Rudy Lontoh (editor),
Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung:
Alumni, 2001), hal. 23).
227
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 10.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
107

disebutkan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan atau


korporasi termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum maupun
yang bukan badan hukum dalam likuidasi ini menafsirkan debitur
sebagai subjek hukum”. Dalam arti luas, debitur didefinisikan dengan
pihak yang memiliki kewajiban membayar sejumlah uang yang timbul
karena sebab apapun, baik karena perjanjian utang-piutang dan
perjanjian lainnya maupun yang timbul karena undang-undang. Dengan
keleluasaan subjek hukum ini membuat lembaga kepailitan pun dapat
digunakan dalam menjerat para pelaku tindak pidana korupsi untuk
mengembalikan aset kepada negara. Seorang tindak pelaku tindak
pidana (terpidana) yang telah dijatuhkan pidana oleh hakim dengan
diwajibkan mengembalikan sejumlah uang untuk mengembalikan
kerugian, dengan begitu uang tersebut menjadi kewajiban bagi pelaku
untuk mengembalikan. Apabila uang yang harus dikembalikan tersebut
belum dikembalikan, maka itu akan menjadi utang bagi terpidana
tersebut, sehingga terpidana dapat dikategorikan sebagai seorang
debitur.
- Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih. Hal yang paling penting dalam unsur ini pertama adalah
adanya utang. Dalam Pasal 1 ke 6 Undang-Undang Kepailitan
disebutkan bahwa “kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata
uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di
kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak
dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan Debitor”. Terkait dengan pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi, dengan putusan pengadilan yang inkracht yang
mengamanatkan adanya perampasan aset yang telah disita dalam tahap
sebelumnya maka aset tersebut diklasifikasikan sebagai utang yang lahir
dari undang-undang228. Putusan hakim yang mengamanatkan bahwa

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
108

terpidana korupsi harus mengembalikan semua aset yang telah


dikorupsi atau dengan pembayaran uang pengganti. Selanjutnya, perlu
dicari satu lagi debitur yang utangnya yang telah jatuh tempo dan belum
dibayar oleh si pelaku tindak pidana untuk dapat mengajukan
permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga.

Terkait dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang melibatkan
seluruh rakyat Indonesia sebagai korban, yang direpresentasikan oleh Negara,
maka kepentingan umum lah yang menjadi masalah disini. Untuk permohonan
kepailitan yang dimana utang oleh kreditur (yaitu aset yang dikorupsi oleh
pelaku), Kejaksaan dapat menjadi lembaga yang berwenang mengajukan
permohonan kepailitan. Hal tersebut diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Kepailitan yang menyatakan bahwa “permohonan kepailitan dapat
diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum”. Disebutkan lebih lanjut
dalam penjelasan pasal ini mengenai unsur “kepentigan umum” yakni,
kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya
a.) Debitor melarikan diri; b.) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c.) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan
usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; d.) Debitor mempunyai utang
yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e.) Debitor tidak
beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang
yang telah jatuh waktu; atau f.) dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan
kepentingan umum.

Permohonan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan pun tidak ada bedanya dengan
permohonan kepailitan oleh orang perorangan atau badan hukum, yaitu
berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit
diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dengan melengkapi persyaratan yang
diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Mempertimbangkan aset yang dikorupsi

228
Ibid., hal 32. Utang ini merupakan utang yang ditafsirkan dalam arti luas, yang dimana
setiap kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar sejmlah uang, sekalipun
kewajiban tersebut tidak timbul dari pernjanjian utan-piutang dapat diklasifikasikan sebagai utang
menurut Undang-Undang.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
109

oleh para pelaku tindak pidana korupsi sanga besar besar dampak buruknya bagi
kesejahteraan rakyat dan pembangunan negri, permohonan kepailitan oleh
Kejaksaan atas dasar merugikan kepentingan umum adalah sah. Dengan demikian,
lembaga kepailitan hendaknya dapat diperhitungkan sebagai salah satu tindakan
untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kerugian
negara yang mereka sebabkan.

4.2.5 Pengefektifan RUPBASAN Sebagai Badan Pengembalian Aset


Selain harmonisasi yang tersebut diatas, dalam Undang-Undang Perampasan Aset
yang akan disahkan, aturan dasar operasi (standard operating procedure)
mengenai permohonan MLA, pihak yang berwenang dalam setiap tahapan
pengembalian dan badan pengembalian aset harus diatur secara jelas dan
komprehensif. Aturan yang diatur dalam undang-undang diharapkan tidak
diboncengi oleh kepentingan manapun, melainkan kepentingan rakyat Indonesia.
Sekali lagi bila kita belajar dari negara Thailand yang memiliki Kantor Pencucian
Uang (AMLO) dan Britania Raya yang memiliki Asset Recovery Agent (ARA)
yang merupakan badan khusus yang independen mengurus aset hasil tindak
pidana yang harus dikembalikan kepada negara, maka Indonesia pun sebaiknya
memiliki badan seperti ini pula. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya bahwa kepentingan pengembalian aset tidak hanya diperlukan dalam
tindak pidana korupsi melainkan banyak tindak pidana lainnya. Badan yang
khusus memiliki peran dan fungsi untuk menjalankan fungsi tersebut merupakan
sesuatu kebutuhan yang dasar dalam pelaksanaan pengembalian aset. Rancangan
Undang-Undang Perampasan Aset sendiri sebenarnya telah mengatur mengenai
Badan Pengembalian Aset yang dimana Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan
Rampasan Negara (RUPBASAN) merupakan lembaga yang diberi wewenang
untuk menjalankan tugas dan fungsi itu.

Semua gagasan yang telah dikemukakan diatas merupakan poin-poin yang harus
diperhatikan oleh pemerintah dan penegak hukum dalam penegakan hukum
pengembalian aset hasil tindak pidana. Indonesia sebagai negara yang tingkat

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
110

korupsinya tinggi diharapkan memberikan komitmen penuh dan perhatian khusus


dalam hal ini, karena masa depan pembangunan bangsa sangat tergantung dengan
keuangan negara yang sebagian dihimpun dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat
Indonesia kepada negara. Tidak ada kata terlambat dalam penegakan hukum di
Indonesia. Indonesia saat ini boleh saja terpuruk dalam perilaku korupsi, dan
lemahnya penegakan hukum, tetapi cukup hal ini menjadi pelajaran yang cukup
berharga untuk Indonesia melangkah lebih maju, dimulai dengan penegakan
hukum atas tindak pidana korupsi.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang dalam bab-bab sebelumnya dalam penulisan


ini, pada intinya adalah konsep keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan
dapat digunakan sejalan dengan konsep pengembalian aset atas hasil tindak
pidana korupsi. Adapun kesimpulan secara menyeluruh adalah sebagai berikut
:
1. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia telah dikenal
sejak tahun 1957, yakni pada saat disahkannya Peraturan Penguasa Militer
Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Di Indonesia
sendiri, dewasa ini dasar hukum dari tindakan pengembalian aset diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang diratifikasi
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Indonesia sebenarnya telah
memiliki Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset yang telah
disusun sejak ahun 2008, tetapi sampai tahun 2011 ini undang-undang
tersebut belum juga disahkan. Rancangan Undang-Undang Perampasan
Aset di Indonesia juga mengamanatkan didirikannya Badan Pengembalian
Aset, yaitu RUPBASAN. Sedangkan di Britania Raya, tindakan
pengembalian aset hasil tindak pidana diatur dalam Proceeds of Crime Act
(POCA) 2002 yang dimana pengembalian aset hasil tindak pidana dapat
dilakukan dengan pengembalian secara pidana, juga pengembalian secara
perdata, bahkan mereka telah memiliki Asset Recovery Agent (ARA) yaitu

111 Universitas Indonesia


Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
112

badan independen khusus yang menangani masalah pengembalian aset


hasil tindak pidana. Di negara Thailand, pengembalian aset hasil tindak
pidana diatur dalam Undang-Undang Anti Pencucian Uang pada tahun
1999 (AMLA), kemudian membentuk Kantor Anti-Pencucian Uang
(AMLO) untuk melakukan langkah-langkah pencegahan terhadap
pencucian uang.
2. Untuk memaksimalkan upaya penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi berupa pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, maka
gagasan yang timbul adalah diantaranya harus adanya keseriusan dari
penegak hukum dan political will dari Indonesia, segera mengesahkan
RUU Perampasan Aset, penggunaan upaya pengembalian aset secara NCB
sebagai alternatif, menggunakan lembaga kepailitan sebagai alternative
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, dan pengefektifan
RUPBASAN sebagai badan pengembalian aset.
3. Keadilan Restoratif merupakan pemikiran dari tujuan pemidanaan yang
mengutamakan konsep pemulihan keadaan akibat terjadinya tindak pidana
sehingga keadaan kembali seperti semula dengan pendekatan yang
mengutamakan penyesalan oleh pelaku karena kesadarannya atas
konsekuensi dari perbuatannya, dimana dalam pelaksanaannya pelaku,
korban, penegak hukum dan masyarakat dengan perannya masing-masing
saling bekerjasama untuk memulihkan keadaan. Konsep keadilan restoratif
merupakan sebuah metatori yang secara bijaksana dan fleksibel dapat
diintegrasikan dan diaplikasikan dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
karena konsep keadilan restoratif tidak dapat ditafsirkan secara sempit
begitu saja. Konsep keadilan restoratif merupakan konsep yang sejalan
dengan penegakan hukum atas tindak pidana korupsi berupa upaya
pengembalian aset. Hal ini dikarenakan tindakan pengembalian aset
sendiri merupakan tindakan yang bersifat restoratif untuk mengembalian
keseimbangan yaitu mengembalikan kerugian akibat tindak pidana
korupsi. Dalam hal ini, negara dapat dikategorikan sebagai korban dari
tindak pidana korupsi, dan pengembalian aset hasil tindak pidana adalah
tindakan yang bersifat restoratif.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
113

5.2 Saran
Setelah melakukan penelitian dan penulisan laporan penelitian ini, maka saran
yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut
1. Mengintegrasikan pengaturan dalam UNCAC yang merupakan salah satu
hasil dari upaya masyarakat internasional dalam hal pemberantasan tindak
pidana korupsi, ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
2. Konsep keadilan restoratif hendaknya dijadikan salah satu dasar pemikiran
dari penyusunan aturan dalam RUU Perampasan Aset dan Pemerintah
Indonesia harus dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Perampasan Aset yang sampai saat ini masih dalam daftar tunggu DPR
untuk pengesahannya. Dengan harapan tindak pidana dapat berkurang
karena masyarakat menyaksikan langsung konsekuensi apa yang akan
mereka dapat bila melanggar suatu ketentuan hukum.
3. Indonesia harus meningkatkan political will dengan meningkatkan
hubungan baik dengan negara lain khususnya negara yang sering menjadi
tujuan pelarian aset hasil tindak pidana korupsi dan membangun hubungan
baik dengan negara-negara lain, khususnya negara tujuan pelarian aset
hasil tindak pidana korupsi. Disamping itu pemerintah harus membekali
para penegak hukum dengan edukasi komprehensif mengenai teknik
pengembalian aset.
4. Disamping proses persidangan atas pelaku tindak pidana korupsi berjalan,
proses penelusuran, pembekuan dan penyitaan aset harus tetap berjalan.
Penelusuran aset sebaiknya turut melibatkan firma-firma hukum dan
keuangan yang masing-masing ahli dalam bidangnya.
5. Selain pidana penjara, perampasan segala aset hasil tindak pidana terhadap
pelaku tindak pidana korupsi adalah harus dilakukan. Karena pada
dasarnya pelaku tindak pidana korupsi merupakan manusia yang
materialistis dan akan sangat menderita bila hartanya dirampas, dan hal
tersebut merupakan pidana yang tepat bagi mereka. Oleh karena itu,

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
114

perampasan aset hasil tindak pidana sebagai pidana tambahan harus pula
dijatuhkan kepada terpidana disamping pidana pokok.
6. Hukum pidana Indonesia harus berkembang, karena masyarakat Indonesia
pun telah berkembang. Hanya dengan penjatuhan pidana pokok yang
diatur dalam Pasal 10 KUHP saja kurang cukup karena hanya unsur
pembalasan yang menjadi tujuan pemidanaan. Dengan pemikiran
konsekuensialis dan pendekatan keadilan restoratif, diharapkan masyarakat
Indonesia mendapatkan edukasi atas konsekuensi yang akan mereka dapat
bila melakukan tindak pidana.
7. Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara
(RUPBASAN), lembaga yang berwenang sebagai Badan Pengembali Aset
harus segera diaktifkan secepatnya setelah pengesahan RUU Perampasan
Aset.
8. Pengembalian aset secara pidana, Pengembalian Aset NCB, dan Lembaga
Kepailitan dapat dijadikan cara untuk mengembalikan aset yang telah
dirampas oleh pelaku tindak pidana korupsi

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
DAFTAR REFERENSI

BUKU
Atmasasmita, Romli. Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian
Aset, Kerja Sama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
2008.

Beccaria, Cesare. Of Crimes and Punishments [Dei Delitti e Delle Pene].


Diterjemahkan oleh Jane Grigson. USA: Oxford University Press, 1964.

Dirdjosisworo, Soedjono. Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan


Korupsi di Indonesia. Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984.

Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Sejarah Pembentukan


Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta: Departemen Hukum dan Perundang-Undangan
RI, 2000.

Greenberg. Theodore S. et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide
Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB
Asset Forfeiture). Washington DC. The World Bank, 2009.

Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Semarang. Sinar Grafika, 2005.

. Tindak Pidana Korupsi, cet. ke-2. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Hayati, Tri, et. al. Administrasi Pembangunan : Suatu Pendekatan Hukum dan
Perencanaannya. Depok. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, tahun 2005.

115 Universitas Indonesia


Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
116

Hirsch, Andrew Von. et. al. ed. Restorative Justice: Competing or Reconcilable
Paradigms?. Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2003.

Kanter, E.Y dan S. R Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan


Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002

Liebmann, Miriam. Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley


Pubishers, 2007.

Lopa, Baharuddin. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta. PT


Kompas Media Nusantara, 2001.

Maheka, Arya. Mengenal dan Memberantas Korupsi. (Jakarta: Komisi


Pemberantasan Korupsi).

Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 1984.

Projodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. cet-3. Bandung.


Refika Aditama, 2003.

Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.

Rotberg, Ribert I dan Dennis Thomson, ed., Truth v Justice, The Morality of Truth
Comissions. Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000 .

Santosa, Bima Priya, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu.
Jakarta: The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program
(NLRP), 2010.

Samosir, Djisman. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Indonesia.


Bandung: Percetakan Binacipta, 1992.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
117

Setiady, Tolib. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta,


2010

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet III. Jakarta. UI-Press,


1986.

Sunarso, Siswanto. Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana:
Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasiona. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta, 2009.

Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian


Aset, Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
2008.

Sutedi, Adrian. Hukum Kepailitan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC). World Bank Group, Stolen
Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges, Opportunity, and Action
Plan. Washington: 2007.

Utama, Paku. Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi:


Implementasinya di Indonesia. Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2008.

Utrecht, Ernst. Hukum Pidana. Bandung: Universitas Press, 1965.

Wahid, Eriyantouw. Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam


Hukum Pidana. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
118

Yanuar, Purwaning. M. Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi


PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung. PT
Alumni, 2007

Zernova, Margarita. Restorative Justice: Ideals and Realties. England: Ashgate


Publishing Limited, 2007.

INTERNET
Bungalan, Hendra. Nilai Kerugian Negara Akibat Korupsi Rp 3,6 Triliun.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/23/78626/Nilai-
Kerugian-Negara-Akibat-Korupsi-Rp-36-Triliun. Diunduh pada 24
Februari 2011.

Isra, Saldi. ”Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi melalui Kerjasama”,


http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article
&id=80:asset-recovery-tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-
internasional&catid=23:makalah&Itemid=11. Diunduh pada 6 Maret 2011.

Kejagung Klaim Selamatkan 133 Miliar Duit Negara: Penanganan Korupsi.


http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=9705. Diunduh pada 1
April 2011.

Korupsi Didominasi Kalangan Birokrasi,


http://www.kaltengpos.web.id/?menu=detail_atas&idm=813. Diunduh
pada 1 April 2011.

Yudhoyono, Susilo Bambang. ”Program Kerja 100 Hari KIB II”.


http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2009/12/02/4928.html.
Diunduh pada 1 April 2011.

UNDANG-UNDANG

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
119

Anti Money Laundering Act. Thailand, 1999.

Civil Law Convention on Corruption. Strasbroug, 1999. Entry into force 2003.

Council of Europe. Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation


of the Proceeds from Crime. Strasbourg. 8. XI, 1990

Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No 8


tahun 1981, Pasal 1 ke-16, L.N Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76,
TLN Republik Indonesia No. 3209.

. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU


No. 31 Tahun 1999, LN No 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874.

. Undang-Undang Tentang Kepailitan, Undang-Undang No 37 Tahun


2004, LN Tahun 2004 Nomor 131, TLN Nomor 4443.

.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, [Wetboek van Strafrecht],


diterjemahkan oleh Moelyatno. Jakarta: Pradnya Paramita, 1976.

. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, 2008.

Proceed of Crime Act. United Kingdom, 2002.

United Nations. United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003.

JURNAL
Ariawan, I Gusti Ketut, ”Stolen Asset Recovery, Suatu Harapan Dalam
Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, (Januari 2008).

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
120

Garnasih, Yenti, “Asset Recovery Act Sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset
Hasil Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol. 7, No. 4, Desember
2010): hal 629-644.

Herlina, Apong. “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No.


III,.(September 2004): hal 19 s.d 28.

Swartz, Omar, “On Social Justice and Political Struggle”, essay, Human Nature
Review. Volume 4, (15 Agustus 2004).

Zulfa, Eva Achjani. Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia.

SEMINAR , LOKAKARYA DAN DISKUSI


Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
RI. Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak
Pidana Korupsi, 2009.

Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset, yang diselenggarakan


oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011.

Donald, Potter W. State Responsibility, Sovereignty, and Failed States. Makalah


disampaikan pada Australian Political Studies Association Conference
University of Adelaide, 29 September-1 Oktober 2004.
Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan
terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia”. Makalah
disampaikan pada Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai
sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003.

Thiel, Marita van, Challenge in Mutual Legal Assistance, Asian Development


Bank, Asset Recovery and Mutual Legal Assistance: In Asia and Pacific.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
121

Disampaikan pada Proceedings of the 6th Regional Seminar on Making


International Anti-Corruption Standards Operational, 2008.

TESIS & DISERTASI


Soemarno. Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Tindak
Pidana Korupsi dalam Peradilan Pidana. Jakarta. Tesis dalam Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.

Zulfa, Eva Achjani. “Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi Tentang


Kemungkinan Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek
Penegakan Hukum Pidana”, Disertasi Program Studi Ilmu Hukum
Kekhususan Sistem Peradilan Pidana. Depok, 2009.

Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
MINUTES OF MEETING
THE FIRST UNODC ROUND TABLE DISCUSSION ON ASSET RECOVERY

Day/ Date : Thursday/ April 28th, 2011


Place : Prada Meeting Room, Four Seasons Hotel, South Jakarta
Time : 09.30 am to 12.00 pm
Moderator : Febrian Ruddyard (Kementrian Luar Negeri)
Participants :

1. Febrian Ruddyard (Kementrian Luar Negeri)


2. Khasan Ashari (Kementrian Luar Negeri)
3. Oktorian S. Hakim (Kementrian Luar Negeri)
4. Dumas Radityo (Kementrian Luar Negeri)
5. Chandra Hamzah (KPK)
6. Arinta Luthri Handini (KPK)
7. Muhammad Yususf (PPATK)
8. Fithriadi Muslim (PPATK)
9. Chairijah (Kementrian Hukum dan HAM)
10. Pangihutan Siagian (Kementrian Keuangan)
11. Christian (Kementrian Keuangan)
12. Firstda Ayu Fian Nur Agusta (Kementrian Keuangan)
13. Shanti (Kementrian Keuangan)
14. Oktavia Maya Soraya (Kementrian Keuangan)
15. Ahmad Wiyagus (Bareskrim)
16. Trimulyono (Biro Hukum Kejaksaan Agung RI)
17. Ludfie Jatmiko (Biro Hukum Kejaksaan Agung RI)
18. Sudarmadji (Biro Hukum Bank Indonesia)
19. Hendra Jaya Sukmana (Biro Hukum Bank Indonesia)
20. Metta Dharmasaputra (Tempo)
21. Budi Setyarso (Tempo)
22. Desita Sari (Tim Pembaharuan MA)
23. Harry Ponto (Kailimang & Ponto)
24. Ahmad Fawaiq (Masyarakat Transparansi Indonesia)
25. Riani Atika Nanda Lubis (Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
26. Ibrahim Tjondronegoro (Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta)
27. Ajit Joy (UNODC)
28. Novriady Erman (UNODC)
29. Rizki Indrawansyah (UNODC)
30. Marsha Suryawinata (UNODC)
31. Lisma Marpaung (UNODC)
32. Seri Tarigan (UNODC)

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


I. PURPOSE OF MEETING

a. General Purpose

To discuss the problem on asset recovery faced by Indonesia.

b. Specific Purpose

1. To raise common understanding amongst law enforcement and related institutions on


asset recovery;
2. To find out the obstacles faced by institutions on asset recovery; and,
3. To find out how UNODC could further contribute on asset recovery matters in Indonesia

II. POINTS DISCUSSED

1. Asset recovery is difficult and complicated matter whereas the current initiatives on asset
recovery are still preliminary in nature which further actions are required.

2. Under Indonesian legal context, it is even difficult to establish the crime in which asset
recovery is required, i.e. corruption and money laundering, whereas, on the other hand,
there is also a problem with definition on asset recovery matters.

3. The difference of legal system amongst countries is not a decisive matter on asset
recovery as long as there are commitments and cooperation amongst law enforcement.

4. Some institutions still find a problem on asset recovery, i.e. in BNP Paribas and Bank
Century case, since there is still no single exact requirement on documentations and
Standard Operational Procedure (SOP) in seizing the stolen asset overseas, hence,
UNODC could provide guidance or best practice from other countries.

5. Previous experiences on asset recovery have shown on how Indonesian officials are too
dependent on foreign investigators. Regardless of the great result on tracing the asset, for
example in BPPN case, there is a need to rely more on local resources.

6. We still have a problem in conducting a detailed and comprehensive investigation due to


classical financial problem.

7. In order to promote asset tracing and asset recovery, there is a need to promote a reward
for whistleblower.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


8. From legal perspective, there is also still unclear cut between Article 10 of Indonesian
Criminal Law and Article 39 of Indonesian Procedural Criminal Law on confiscation of
asset.

9. There is differentiation between domestic asset recovery and foreign asset recovery.
Nonetheless, both require court decision which states that there is a direct link between
the asset and the predicate crime.

10. It is also important to note that in order an asset can be frozen and recovered, there should
be a specific name of the asset to be confiscated in the court verdict.

11. Investigator cannot be further burdened by being assigned to conduct additional task on
asset recovery since they have already been preoccupied by investigation as crucial
matters related to the substance of the case.

12. On the other hand, it seems to be that we are lacking in political will. Not to mention,
there is also a problem on cooperation. There is also a possibility to use bankruptcy law
in Indonesia to recover asset both located in domestic and overseas.

13. In many cases, it is imperative as well for journalist to understand the law and legal
system, and also to cooperate with law enforcement by not publishing the ongoing
investigation in order to prevent any possibility that the suspect from escape or from
concealing their assets.

14. Whereas the current mechanism in handling corruption case focuses on capturing the
suspect, there should be a change to establish mindset to prioritize asset recovery.

15. The discussion also suggests several approaches on asset recovery namely, Non-
Conviction Based Asset Recovery and Bankruptcy. It is also important to note the draft
law on whistleblowing needs to be supported.

16. However, it should be taken into account that Indonesia does not have a mechanism on
trans-boundary insolvency.

17. Considering the fact that third party also enjoy the proceed of corruption, there is also a
need to adopt a law which criminalize and confiscate assets of third party.

18. One of the problems in asset recovery relies on the eagerness of public official to cope
with vast-capital owner.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011


III. FOLLOW UP AND RECOMMENDATION

1. There is a need to establish a task force within, in particular, Indonesian National Police
and Attorney General Office which mainly deal with asset-tracing and asset recovery
matters and can work with the investigators.

2. There is a need as well to improve capacity of the current investigator and proposed task
force on asset recovery.

3. It would be better if this Round Table Discussion does not establish a formal group on
asset recovery since it will create a bureaucratic problem. However an informal group of
stakeholders can be established.

Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011

Anda mungkin juga menyukai