SKRIPSI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
DEPOK
JULI 2011
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
KEKHUSUSAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
DEPOK
JULI 2011
I\[PM o7062?8651
TandaTangan
-tl
I
Skripsiini diajukanoleh :
Nama Riani Atika Nanda Lubis
'0706278651
NPM
Program Studi Ilmu Hukum
Judul PengembalianAset Hasil Tindak PidanaKorupsi sebagaiSalahSatu
Bentuk PenerapanKeadilan Restoratif (RestorativeJustice)
,4-/,
DEWAN PENGUJI
F A'?/
(
n . , . "" ? f i ) ' "-
Penguji GandjarLaksmana,S.H, M.H A I lwuvl-
YY' '
)
Ditetapkandi : Depok
Tanggal :2Juli2011
Bismillahirrahmanirrahiim. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan
berkah dan hidayah-Nya mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengembalian Aset Hasil
Tindak Pidana Korupsi Sebagai Bentuk Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)”
sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Dengan selesainya skripsi ini, Penulis berharap bahwa nilai-nilai dari
skripsi ini dapat memperkaya khasanah ilmu dan pembangunan hukum di Indonesia. Penulis
juga berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi Negara Indonesia dan Agama.
Terselesaikannya skripsi ini, tidak terlepas dari doa, bantuan dan semangat dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua Penulis yang tercinta, Syahrizal Lubis dan Maharani Nasution yang
senantiasa mendukung, mendoakan, dan luar biasa telah mendidik serta membesarkan
Penulis. Terimakasih banyak untuk Mama dan Ayah atas segala pengorbanannya,
Nothing I can pay for your love and sacrifice, but making you proud. Tidak lupa juga
terimakasih untuk abang dan kakak Penulis, Ichsan Halwan Lubis (beserta keluarga, kak
Astari dan keponakanku tersayang Arkasatya Fauzan Lubis) dan Ade Amalia Lubis yang
selalu mendukung dan membimbing Penulis.
2. Alm. Bapak Dr. Rudy Satrio S.H, M.H selaku Ketua PK 2, yang telah menjadi inspirasi
dan idola Penulis untuk menekuni Hukum Pidana, dan dengan luar biasa telah
memberikan ilmunya juga memberi dukungan penuh dalam penulisan skripsi ini. Bapak
yang dengan sukarela meminta saya menjadi mahasiswa bimbingannya, meskipun dalam
keadaan sakit keras. Saya tidak dapat membalas apapun kecuali memanfaatkan ilmu yang
saya dapat dari Bapak dan doa yang selalu saya panjatkan demi ketenangan Bapak di
akhirat. Saya yakin Allah SWT memberikan tempat terbaik untuk umatnya yang baik
pula.
3. Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa S.H, M.H selaku Pembimbing I dan Ibu Theodora Yuni Shah
Putri, S.H, M.H selaku Pembimbing II yang telah bersedia, yang telah dengan sabar dan
teliti membantu saya dalam penyusunan skripsi ini. Terimakasih banyak mbak telah
benar-benar membimbing saya dan terimakasih banyak atas bantuannya dalam
mendapatkan materi dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat terkesan selama menjadi
vi
Penulis menyadari skripsi yang penulis buat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
selalu menerima segala kritik dan saran yang membangun bagi skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum di Indonesia.
vii
SebagaisivitasakademikUniversitasIndonesia,sayayangbertandatangandi
bawahini:
Demikianpemyataanini sayabuatdengansebenarnya.
Dibuatdi :Depok
Padatanggal: 2 luli 201I
lx
Skripsi ini membahas mengenai keterkaitan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi dengan konsep keadilan restoratif. Untuk itu, dalam pembahasan skripsi ini
akan dijelaskan mengenai dasar pemikiran dan dasar hukum dari pengembalian aset
hasil tindak pidana di Indonesia, Britania Raya dan Thailand. Usaha Indonesia dalam
upaya pengembalian aset ini pun tidak hanya dengan instrumen nasional seperti
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi juga menggunakan instrumen-
instrumen internasional seperti United Nations Convention Against Corruption
(UNCAC) 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 dan
Bantuan Hukum Timbal Balik. Pendekatan keadilan restoratif sebagai salah satu
tujuan dari pemidanaan merupakan pemikiran yang tepat diterapkan dalam proses
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi karena dasar pemikiran dalam konsep
ini sejalan dan tujuan dari keadilan restoratif dan pengembalian aset pun sejalan dan
harmonis. Indonesia sebagai negara berkembang yang masih pelik dengan masalah
penindakan hukum atas tindak pidana korupsi memerlukan gagasan dan pemikiran
mengenai upaya pengembalian kerugian akibat tindak pidana korupsi.
Kata Kunci:
Korupsi, Pengembalian Aset, Keadilan Restoratif
This thesis discussed about the relation of stolen asset recovery on proceeds of
corruption offense with the concept of restorative justice. So that, the discussion
chapters of this thesis explained about the premises and legal basis of stolen asset
recovery on the proceeds of corruption offense in Indonesia, the United Kingdom and
Thailand. Indonesia’s effort in an endeavor to return these stolen assets was not only
mandated by national law instruments such as Law Number 31 Year 1999 jo. Law
Number 20 Year 2001 regarding Corruption Eradication, Law Number 15 Year 2002
regarding The Crime of Money Laundering, but also used of international law
instruments such as United Nations Convention Against Corruption 2003 which
ratified by Law Number 7 Year 2006 and Mutual Legal Assistance on Criminal
Matters (MLA). Restorative justice as one of the objectives of punishment is an
appropriate intellection to be applied as the underlying principle of stolen asset
recovery is reciprocally along with the concept of restorative justice as the
intellection of this concept. Indonesia as a developing country which still
complicatedly deal with the eradication of corruption offense matters, seriously needs
an idea and reasoning on endeavor of restoring state’s loss caused by corruption
offense.
Keywords :
Corruption, Stolen Asset Recovery, Restorative Justice
BAB 4 ANALISIS
4. 1 Analisis Hubungan dan Keterkaitan Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi dengan Keadilan Restoratif ........................85
4.1.1 Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Korupsi atas Kerugian
Negara...........................................................................................85
4.1.2 Negara Sebagai Korban dari Tindak Pidana Korupsi ..................91
4.1.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi sebagai
Tindakan Restoratif .....................................................................94
4. 2 Hal-hal yang harus Disiapkan oleh Pemerintah dan Aparat
Penegak Hukum agar Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana
Korupsi dapat Berjalan Efektif ..........................................................98
4.2.1 Keseriusan Penegak Hukum dan Political Will Indonesia…….....98
4.2.2 Pengesahan Segera RUU Perampasan Aset.................................102
BAB 5 PENUTUP
5. 1 Kesimpulan .........................................................................................111
5. 2 Saran ...................................................................................................113
PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Seiring dengan meningkatnya intelektualitas dan majunya peradaban penduduk
dunia, masalah yang terjadi di kehidupan manusia pun semakin rumit. Salah satu
momok besar dalam kehidupan manusia di dunia adalah masalah kejahatan
korupsi. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena korban yang
diakibatkan oleh korupsi adalah sangat masif karena dengan korupsi, kerugian
yang diderita oleh suatu negara dapat menjadi begitu gradual. Sebagaimana
tertuang dalam konsideran Undang-Undang No. 39 tahun 1999 jo Undang-
Undang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dinyatakan bahwa korupsi yang terjadi secara sistematis dan meluas merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat luas,
sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan
sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime)1, sehingga upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan
cara-cara yang luar biasa. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga digolongkan
sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime karena pelakunya
1
Korupsi Kejahatan Luar Biasa, http://bataviase.co.id/detailberita-10387828.html. Diunduh
pada 21 Juni 2011. Marzuki Ali, Presiden Asia Parliamentary Assembly (APA), dalam sidang
APA yang memperingati Hari Antikorupsi Sedunia menyatakan, "Tindak pidana korupsi disebut
kejahatan luar Biasa atau Extra-Ordniary Crime karena korupsi terbukti telah menggerogoti sendi-
sendi pembangunan bangsa. Membuat bangsa bukan saja statis, tetapi mengalami suatu
kemunduran yang signifikan. Korupsi adalah kejahatan besar yang bersifat kompleks, sistemik,
dan pemberantasannya perlu dilakukan secara sistematis, komprehensif, dan melibatkan semua
pihak”.
1 Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
2
Banyak kritik dari masyarakat, media dan golongan lain atas kinerja Presiden
Republik Indonesia dalam Kabinet Indonesia Bersatu II terhadap pemberantasan
tindak pidana korupsi. Presiden RI yang mengelu-elukan pemberantasan tindak
pidana korupsi sebagai program kerja utamanya dinilai tidak dapat melakukan
tugasnya sebagai badan eksekutif dalam penegakan hukum atas korupsi. Pasti ada
yang salah dalam pola pikir penegak hukum dan aplikasi hukum itu sendiri di
Indonesia. Akan tetapi rakyat Indonesia tidak dapat menunggu lebih lama lagi
untuk merasakan penderitaan akibat maraknya tindak pidana korupsi yang sangat
merugikan ini.
Kerugian negara akibat tindak pidana korupsi masih belum tertutupi dan
keresahan masyarakat masih tinggi terhadap penegakan hukum atas tindak pidana
di Indonesia. Pemidanaan merupakan salah satu elemen hukum yang paling
penting dalam penegakan hukum pidana. Hukum pidana tanpa mengaitkannya
dengan pemidanaan bagaikan macan tanpa gigi. Penjatuhan hukuman pidana oleh
pengadilan merupakan suatu upaya yang sah, yang dilandasi oleh hukum untuk
mengenakan nestapa atau penderitaan terhadap seseorang yang terbukti bersalah
melakukan tindak pidana. Pidana sendiri merupakan suatu pranata sosial yang
dikaitkan dengan, dan selalu mencerminkan, nilai dan struktur masyarakat,
sehingga merupakan suatu reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati
nurani bersama” atau collective conscience2, meminjam terminologi Emile
Durkheim.3
2
http://en.wikipedia.org/wiki/Collective_consciousness , Collective Conscience: “Durkheim
argued that in traditional/primitive societies (those based around clan, family or tribal
relationships) totemic religion played an important role in uniting members through the creation
of a common consciousness (conscience collective in the original French). In societies of this type,
the contents of an individual's consciousness are largely shared in common with all other
members of their society, creating a mechanical solidarity through mutual likeness” (Durkheim
berpendapat bahwa dalam adat / masyarakat primitif (yang berbasis di sekitar klan, keluarga atau
hubungan suku) totem agama memainkan peran penting dalam menyatukan anggota melalui
penciptaan kesadaran umum (hati nurani kolektif dalam asli Perancis). Dalam masyarakat jenis ini,
isi kesadaran individu yang sebagian besar bersama-sama dengan semua anggota lain dari
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
3
Mengingat begitu hebatnya kerugian yang diderita akibat korupsi, hukum pidana
sebagai hukum yang bertujuan untuk memberi derita dan nestapa kepada siapapun
yang melanggar merupakan cara yang tepat untuk memberantas dan mencegah
praktik korupsi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Wirjono
Prodjodikoro yang merumuskan dengan sangat singkat yaitu: “Hukum Pidana
adalah Peraturan-Hukum mengenai Pidana”. Kemudian beliau mengatakan Kata
“Pidana” berarti hal yang di-“pidanakan”, yaitu oleh instansi yang berkuasa
dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan
juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.4 Indonesia sebagai negara
berkembang sangat rentan akan praktik ekonomi karena menurut Fred W. Riggs,
salah satu ciri-ciri dari negara berkembang adalah kentalnya korupsi, kolusi dan
nepotisme5.
masyarakat mereka, menciptakan solidaritas mekanis melalui rupa bersama). Diunduh pada 25
Februari 2011.
3
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Litigasi dan Pemidanaan di Indonesia, Disampaikan dalam Orasi Pada Upacara
Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana FHUI di Balai Sidang UI, Depok, 2003.
4
E.Y Kanter dan S. R Sianturi, Asas-asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2002), hal 15. (Dalam Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum
Pidana di Indonesia, hal 1-10)
5
Tri Hayati, et. al, Administrasi Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum dan
Perencanaannya, Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, hal. 19. Dalam buku ini dijelaskan
Fred W. Riggs yang merupakan pendiri Comparative Study Administration Group setelah
melakukan studi banding menyatakan bahwa cirri-ciri negara berkembang salah satunya adalah
pengangkatan, pemberhentian pegawai terjadi dengan birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi
dan nepotisme.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
4
Menurut data dari Kepala Divisi Investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW),
Agus Sunaryanto, sepanjang semester I tahun 2010 potensi kerugian negara akibat
korupsi mencapai Rp 2,1 triliun.7 Sayang sekali, Untuk periode 2010, Kejaksaaan
Agung melalui jajaran Pidana Khusus saja mengklaim telah menyelamatkan uang
negara sebesar Rp 133.637.262.558 (seratus tiga puluh tiga miliar, enam ratus tiga
puluh tujuh juta, dua ratus enam puluh dua ribu, lima ratus lima puluh delapan
rupiah). Sedangkan uang negara yang diselamatkan pada bidang perdata dan TUN
sebesar Rp 1.286.578.588.336 (satu triliun, dua ratus delapan puluh enam miliar,
lima ratus tujuh puluh delapan juta, lima ratus delapan puluh delapan ribu, tiga
ratus tiga puluh enam rupiah). “Jika ditotal dengan bidang pidana khusus, maka
ada sekitar Rp 1,4 triliun,” katanya.8
Tidak hanya itu, korupsi ditempatkan dalam program pertama dalam Program
Kerja 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu periode 2 2009-20149. Untuk tingkat
internasional, beberapa perkiraan di negara-negara Eropa menyimpulkan bahwa
korupsi mengakibatkan penggelembungan total utang pemerintah sebesar 15%
6
Korupsi Didominasi Kalangan Birokrasi,
http://www.kaltengpos.web.id/?menu=detail_atas&idm=813, diunduh pada 1 April 2011.
7
Mahendra Bungalan, Nilai Kerugian Negara Akibat Korupsi Rp 3,6 Triliun,
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/23/78626/Nilai-Kerugian-Negara-
Akibat-Korupsi-Rp-36-Triliun, diunduh pada 24 Februari 2011. Jumlah yang disebutkan telah
merosot pada semester II tahun 2010, ICW menemukan potensi kerugian negara mencapai 1,5
triliun. Menurut beliau, lima sektor korupsi yang menyebabkan kerugian negara terbesar dari
Pertambangan (1 kasus), Keuangan Daerah sebesar Rp 344 miliar (44 kasus), energi sebesar Rp
240 miliar dan Pertanahan/lahan Rp 143 miliar (18 kasus)
8
Kejagung Klaim Selamatkan 133 Miliar Duit Negara: Penanganan Korupsi Oktober 2009-
Oktober 2010, http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=9705, diunduh pada 1 April
2011.
9
Susilo Bambang Yudhoyono, Program Kerja 100 Hari KIB II,
http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2009/12/02/4928.html. Setelah terpilih lagi menjadi
Presiden RI bersama dengan wakilnya Bapak Boediono, Presiden SBY menempatkan penegakan
hukum atas tindak pidana korupsi dalam urutan pertama yaitu ” Penataan ulang tata laksana dan
hubungan kerja sama antar lembaga penegak hukum termasuk KPK, Kepolisian dan Kejaksaan /
Pemberantasan Mafia Hukum”.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
5
atau US$ 200 miliar10. Menurut perkiraan Transparansi Internasional (TI), jumlah
dana yang hilang akibat tindak pidana suap dalam pengadaan perbekalan
pemerintah sekurang-kurangnya mencapai US$ 400 miliar per tahun di seluruh
dunia.11 Melihat perbandingan antara jumlah kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi dengan jumlah yang dikembalikan melalui Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tata Usaha Negara, masih banyak sekali selisih dari angka-angka
tersebut merupakan hak negara yang harus dikembalikan. Bahkan, uang yang
telah dikembalikan kepada negara hanya dua per tiga dari kerugian negara akibat
tindak pidana korupsi semester I tahun 2010. Hal ini menandakan bahwa kegiatan
pengembalian kerugian negara masih belum berjalan secara optimal. Pemerintah
dan aparat penegak hukum Indonesia harus disadarkan bahwa inilah saatnya untuk
menyelenggarakan dengan serius perampasan aset hasil tindak pidana korupsi.
Sikap berani Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi dan
pengembalian kerugian negara harus konsisten dan realistis.
10
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 3. (Dalam
Business Week hal 134-135).
11
Ibid, hal. 76. Data dikutip dari The TI Global Corruption Report 2004
12
Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal
13 UU No 22/2001 jo UU No 31/1999 dalam ancaman pidananya tertulis “dan/atau” antara kedua
pidana pokok yang diaturm sehingga terdakwa koruptor dapat di pidana dua pidana pokok
sekaligus. Hal ini merupakan salah satu keistimewaan dari UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi karena mengesampingkan asas hukum pidana yang hanya boleh menjatuhkan satu saja
dari lima pidana pokok yang diatur dalam pasal 10 KUHP.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
6
Mengingat tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa dan
sangat mungkin menjadi kejahatan transnasional, maka Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat telah mengadopsi United
Nations Convention Against Corruption 200314 pada tanggal 30 September 2003.
United Nations Convention Against Corruption dibuka untuk penandatanganan
dalam Konferensi Politik Tingkat Tinggi dengan Tujuan Penandatanganan United
13
Romli Atmasasmita, Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset, Kerja
Sama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008) hal. 9-10.
14
Dalam UN Press Release, diterbitkan pada saat adopsi UNCAC, 31 Oktober 2003.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
7
Salah satu pembahasan penting yang diatur dalam UNCAC 2003 ini adalah
mengenai hal pengembalian aset (Asset Recovery). Ruang gerak koruptor para
koruptor untuk bersembunyi dan melarikan hasil kejahatannya ke sejumlah negara
kian sempit. Dengan disahkannya Konvensi PBB ini korupsi diakui sebagai
kejahatan global dan akan ditangani dengan semangat kebersamaan. Sebenarnya
sudah lama korupsi dinobatkan sebagai extra-ordinary crime, bahkan sebelum
disahkannya UNCAC 2003. Indonesia termasuk negara yang ikut menandatangani
konvensi tersebut. Pada pasal 3 tentang Scope application, ayat (1) tentang
cooperation with law enforcement authorities, ditegaskan bahwa,
15
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 134.
16
Ibid.
17
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
8
“Bahwa tujuan dari kebijakan menerapkan suatu sanksi pidana tidak dapat
dilepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya yaitu
Perlindungan Masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.” (tujuan
demikian nampaknya disepaati oleh seluruh anggota UNAFEI (United
Nations Asia and Far East Institute) dimana Indonesia merupakan salah
satu anggotanya).18
18
Tolib Setiady, Pokok-pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Penerbit Alfabeta,
2010), hal.49.
19
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 103.
(Dalam Matthew H. Fleming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic,
Taxonomy, Draft for Comments, version date, 27 January 2005, University College London, hal.
1).
20
Ibid., hal. 215.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
9
aset tidak hanya merupakan proses, tetapi juga merupakan penegakan hukum
melalui serangkaian mekanisme hukum tertentu.
Menurut UNCAC sendiri, pengembalian aset hasil korupsi sendiri terbagi dalam
empat tahap, yaitu:
1. Tahap pelacakan aset
2. Tahap tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan
aset-aset melalui mekanisme pembekuan dan penyitaan
3. Tahap penyitaan
4. Tahap penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat
aset diperoleh secara tidak sah.22
Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok yang paling popular diantara
pidana pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) memang efektif memberi pembalasan kepada para terpidana atas tindak
pidana korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi, pidana penjara tidak
selalu menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah seperti over
capacity, ketidakjeraan koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung terselesaikan.
Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki
berbagai kelemahan terutama karena dianggap sama sekali tidak memberikan
keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat.23 Hal ini diperkuat lagi dengan
adanya perkembangan pemikiran masyarakat terhadap hukum pidana di berbagai
belahan dunia. Roeslan Saleh menyatakan bahwa Hukum Pidana merupakan kaca
yuridis yang paling peka terhadap perubahan budaya, keadaan sosial yang pada
umumnya dalam semua keadaan dimana ada manusia.24 Perkembangan pemikiran
tentang hak asasi manusia telah membawa perubahan besar terhadap masyarakat
dalam memandang suatu hal yang berkaitan dengan hidup dan kehidupannya. Tak
21
Council of Europe, Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the
Proceeds from Crime, Strasbourg, 8, XI, 1990. Pasal 1 huruf d .
22
Purwaning M. Yanuar, op. cit, hal 207
23
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidanaan di Indonesia
24
Ibid. Mengutip dari Roeslan Saleh, Hukum Pidana sebagai Konfrontasi Manusia dan
Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal.23.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
10
25
Ibid.
26
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90-91
(Seperti dikutip dalam L. Welgrave, “Met het Oog op Herstel: Bakens voor en Constructief
Jeugsantierecht”, Leuven, Universitaire Pers Leuven, hal. 34.)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
11
Rumusah masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai upaya
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang sejalan dengan pendekatan
keadilan restoratif. Adapun pertanyaan penelitian yang akan dibahas dalam tulisan
ini adalah sebagai berikut:
Adapun tujuan Penulis dari penulisan laporan penelitian ini adalah menyadarkan
Bangsa agar lebih peka bahwa dalam tindak pidana korupsi menyebabkan
kerugian yang sangat besar dan sangat merugikan negara dan bangsa. Penulis juga
bertujuan dnegan adanya laporan penelitian ini, bangsa Indonesia menjadi lebih
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
12
kritis bahwa pemidanaan itu bukan hanya ditujukan untuk menghukum seberat-
beratnya terpidana agar mereka jera, tetapi harus diperhatikan aspek korban dan
kerugian dari tindak pidana yang dilakukannya. Keadilan restoratif sebagai salah
satu hasil perkembangan hukum pidana juga harus lebih sering dan vokal
disuarakan agar seimbang antara penerapan hukum pidana dengan penerapan hak
asasi manusia. Demikianlah tujuan Penulis secara umum dari penulisan laporan
hasil penelitian ini.
Tujuan khusus
Pembahasan mengenai Perampasan Aset Hasil Tindak Korupsi sebagai Bentuk
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) bertujuan:
1. Memahami konsep perampasan aset hasil korupsi dan mengetahui
pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
2. Memahami konsep perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dalam
prakteknya di Britania Raya dan Thailand.
3. Memahami konsep keadilan restortif dalam tindak pidana korupsi
4. Menemukan bentuk-bentuk kebijakan pemerintah yang bagaimana
sebagai persiapan agar perampasan aset atas hasil tindak pidana korupsi
dapat berjalan.
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2008), hal. 5 (Dalam Hugo F. Reading: 1977)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
13
Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif dan
jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri
dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia, peraturan
perundang-undangan negara lain dan konvensi-konvensi internasional.
b. Bahan hukum sekunder, yatu bahan hukum yang erat kaitannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan
menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah teori para
sarjana, buku, artikel internet, artikel ilmiah, jurnal, tesis, surat kabar, dan
makalah.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya
ensiklopedia, atau kamus.28
28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal.
50 s.d. 51.
29
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.
20/2001 jo No. 31/1999, Pasal 2, TLN Republik Indonesia No: 3874
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
14
30
United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), Pasal 2 huruf (d)
31
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, pasal 1 ke-1.
32
Ibid, pasal 1 ke-7.
33
Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture),
(Washington DC: The World Bank, 2009), hal.13.
34
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hal 3. Dalam Johnstone dan Van Ness, The
Meaning of Restorative Justice, Makalah untuk Konferensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop
2, (Bangkok, Thailand, 2005), hal 2-3.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
15
Bab Pertama merupakan pendahuluan yang akan terbagi ke dalam 6 (enam) sub
bab, yaitu latar belakang permasalahan mengenai tulisan ini; pokok-pokok
permasalahan yang akan dijawab melalui penulisan ini berdasarkan teori-teori,
pengertian, dan obyek penelitian yang akan ditinjau; tujuan dari penulisan;
metode-metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan; definisi
operasional yang akan menjelaskan secara umum beberapa istilah yang akan
digunakan dalam penulisan ini; lalu yang terakhir adalah sistematika penulisan
yang akan menjelaskan urutan penulisan.
35
Kamus Bahasa Indonesia, http://kamusbahasaindonesia.org/ratifikasi, diunduh pada 7
Maret 2011.
36
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Alfabeta, 2010),
hal 92. (Hal ini disampaikan menurut Roeslan Saleh).
37
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, pasal 2 huruf (f).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
16
Bab kedua berisi tentang konsep pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan dalam UNCAC. Dalam bab
ini juga selain dijelaskan konsep pengembalian aset di Indonesia, Thailand dan
Britania Raya pun ikut dibahas sebagai pengayaan materi.
Bab ketiga dalam penulisan ini berisi tentang tinjauan teoritis mengenai konsep
keadilan restoratif. Pembahasan mengenai konsep ini dimulai dari pembahasan
tujuan pemidanaan yang terbagi atas dua yaitu teori konsekuensialis dan teori non-
konsekuensialis yang dimana konsep keadilan restoratif berakar dari pemikiran
tujuan pemidanaan yang berpaham konsekuensialis. Selain itu dalam bab ini juga
dijelaskan prinsip-prinsip keadilan restoratif serta perdebatan para akademisi dan
ahli mengenai aplikasi keadilan restoratif dalam hukum pidana.
Bab keempat merupakan analisis mengenai masalah yang diangkat dalam topik
besar penulisan ini, yakni seputar keterkaitan pendekatan restoratif yang sejalan
dan dapat menjadi dasar dari tindakan pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi di Indonesia. Selain itu dalam bab analisis ini juga akan disebut dan
diuraikan mengenai upaya-upaya apasajakah yang dapat dilakukan pemerintah
dan penegak hukum dalam optmalisasi pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi di Indonesia.
Bab kelima, bab yang terakhir dalam penulisan ini, adalah mengenai kesimpulan
dari rangakaian pembahasan dalam penulisan ini. Disamping itu, dalam bab ini
juga dicantumkan saran kepada pemerintah Indonesia dan penegak hukum, serta
rakyat Indonesia pada umumnya untuk mendukung upaya pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi yang bersifat restoratif dimana pemulihan kerugian negara
menjadi priotitas utama.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 2
Penyitaan adalah bagian dari proses penegakan hukum berupaya upaya paksa
yang dilakukan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan atas benda milik
seseorang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana.39 Sementara itu,
perampasan adalah pengambilalihan hak milik seseorang yang telah mendapatkan
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.40 Konsep hukum (legal
concept) perampasan menurut hukum pidana Indonesia adalah pengambilalihan
38
Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta:
The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP), 2010), hal 9.
39
Indonesia Undang-Undang No 8 tahun 1981, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, Pasal 1 ke-16, L.N Republik Indonesia Tahun 1981 No. 76, TLN Republik Indonesia No.
3209
40
Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu, (Jakarta:
Yhe Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)), hal 9.
17 Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
18
barang milik seseorang pelaku tindak pidana sebagai hukuman tambahan yang
dijatuhkan oleh hakim bersama-sama pidana pokok sebagaimana diatur dalam
Pasal 10, huruf (b) angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Sejalan dengan amanat dari Pasal 39 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, untuk dapat merampas harta yang akan dikembalikan kepada negara,
penyidik harus menyita harta yang dicurigai hasil dari tindak pidana terlebih
dahulu. Itulah mengapa hakim yang memutus perkara pidana, mengamanatkan
bahwa harta yang telah disita sebelumnya dalam tahap penyidikan dirampas
menjadi milik negara.41
Pada dasarnya pengembalian aset hasil tindak pidana adalah tidak selalu tertuju
pada aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana sendiri perampasan aset dilegalisasi oleh Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan
terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk
melakukan kejahatan, dapat dirampas. Sehingga, disimpulkan bahwa
pengembalian aset dengan perampasan dapat diterapkan dalam semua tindak
pidana dalam KUHP khususnya kejahatan terhadap benda42.
41
Sebagaimana yang disampaikan oleh Chandra M. Hamzah dalam Diskusi Meja Bundar
tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel
Jakarta, 28 Mei 2011.
42
Yang termasuk dalam kejahatan terhadap benda dalam KUHP terdiri dari bab XXII
tentang Pencurian, Bab XXIII Tentang Pemerasan dan Pengancaman, Bab XXIV tentang
Penggelapan, Bab XXV tentang Perbuatan Curang, Bab XXVI tentang Perbutan Merugikan
Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak,
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
19
43
Ibid.
44
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,
Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 1 (Dalam Prof. Dr. Muladi, Hakikat Suap
dan Korupsi http://www.kompas.co.id )
45
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
20
46
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009), hal. 53.
47
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 104.
48
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
21
Gagasan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak semata-
mata untuk memiskinkan para koruptor sehingga mereka menderita, tetapi
perampasan aset hasil korupsi juga bertujuan sebagai tindakan preventif atau
pencegahan tindak pidana korupsi. Dampak preventif pertama, terjadi pada tidak
adanya aset-aset yang dikuasai para pelaku kejahatan sehingga para pelaku
kehilangan sumber daya untuk melakukan kejahatan-kejahatan lainnya. Kedua,
dengan menyerang langsung ke motif kejahatan para pelaku korupsi, maka tidak
ada lagi peluang untuk menikmati hasil dari tindak pidana itu ditiadakan,
setidaknya diminimalisasi. Pengembalian aset itu menghilangkan tujuan yang
merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu dapat
menghilangkan motif yang mendorong orang melakukan kejahatan.
Dampak preventif dari tindakan pengembalian aset yang ketiga, yakni dengan
pengembalian aset ini pesan yang kuat dapat diberikan kepada masyarakat luas
bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini bagi para pelaku tindak pidana
untuk menyembunyikan hasil tindak pidananya, sekaligus memberikan pesan
yang kuat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menikmati aset hasil tindak
pidana sebagaimana doktrin ”crime does not pay”49. Hal-hal ini memperlemah
keinginan warga masyarakat, khususnya para pelaku potensial, untuk melakukan
kejahatan.50
49
Doktrin crime does not pay ini berisi pandangan bahwa seseorang tidak boleh
mendapatkan keuntungan dari tindakan melanggar hukum umumnya, tindakan kejahatan
khususnya. Pandangan ini mengikuti tuntutan bahwa jika hukum itu mempengaruhi tingkah laki
orang, maka hukum itu memberikan pesan-pesan yang koheren.
50
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 42.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
22
Tindak pidana korupsi seringkali dijadikan predicate crime (tindak pidana yang
menempatkan tindak pidana korupsi sebagai salah satu kejahatan yang
menghasilkan atau merupakan sumber dana yang bisa dicuci).51 Apabila aset hasil
tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan tidak segera disita dan
dirampas maka aset tersebut akan mudah sekali untuk dialihkan dengan pencucian
uang. Dengan demikian, bila aset hasil tindak pidana korupsi dapat disita dan
dirampas secepatnya, tindak pidana turunan semacam tindak pidana pencucian
uang dapat diminimalisasi dan dihindari.
Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi52, yang juga dapat disebut dengan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, merupakan konsep yang
sebenarnya bukan merupakan produk baru karena sudah ada dalam perumusan
Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan
Korupsi. Menurut Fleming, dalam konteks tindak pidana korupsi, pengembalian
aset hasil tindak pidana korupsi mengacu pada proses pelaku tindak pidana
korupsi dicabut, dirampas, dihilangkan haknya atas hasil/keuntungan-keuntungan
dari tindak pidana dan/atau dicabut, dirampas, dihilangkan haknya untuk
menggunakan hasil/keuntungan-keuntungan tersebut sebagai alat/sarana untuk
melakukan tindak pidana lain.53
51
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,
Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 1 (Dalam Prof. Dr. Muladi, Hakikat Suap
dan Korupsi http://www.kompas.co.id ).
52
Ibid., hal 8. Definisi aset termuat Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang
Standar Akuntasi Pemerintahan. Dalam Kerangka Konseptual Akuntasi Pemeirntahan paragraf
60(a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi aset, yaitu bahwa: ”Aset adalah sumber daya
ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah seagai akibat dari peristiwa masa lal dan
dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh
pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam saham yang termasuk sumber daya non
keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya
yang dipelihara karena alasan sejaran dan budaya”.
Definisi barang milik negara yang dikategorikan sebagai aset dan.atau kekayaan negara
yaitu ”semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja
negara atau berasal dari perolehan lain yang sah”. Definisi tersebut di atur dalam Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006
sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara.
53
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 103 (seperti
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
23
dikutip dalam Matthew H. Flemming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behaviour, An
Economic, Taxonomy, Draft for comments, version date, 27 January 2005, University College
London, hal 1 ).
54
Evi Hartanti, Tindakan Pidana Korupsi, cet. ke-2(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 24.
55
Di dalam ayat ini ditentukan bahwa Penilik Harta Benda dapat menyita harta benda
seseorang atau benda apabila ia setelah mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan
keadaan tertentu dan bukti-bukti lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu
termasuk salah satu rumusan termaksud dalam ayat (2).
56
Ketentuan ini menetapkan bahwaPenilik Harta Benda berhak juga menyita atau menuntut
penyerahan untuk disita semua barang yang dapat dipergunakan untuk mendapatkan keterangan
tentang harta benda seseorang atau suatu badan.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
24
mengatur mengenai penyitaan harta seseorang yang diduga didapat dari perbuatan
yang tidak sah.
Tahun 1957 merupakan tahun yang cukup kritis dalam perjalanan sejarah
pengisian kemerdekaan. Tahun ini berada pada periode tahun 1950 sampai dengan
tahun 1959 yang didalam sejarah politik dan kenegaraan kita merupakan periode
waktu yang dinilai rawan bagi kelangsungan cita-cita kemerdekaan.60 Dalam
periode tahun 1950-1959 terjadi berbagai peristiwa di berbagai bidang kehidupan
yang menempatkan kehidupan negara dan pemerintahan dalam keadaan tidak
stabil61. Dalam suasana yang berhubungan dengan keadaan ketatanegaraan yang
tidak mantap terjadi suatu gejala sosial yang timbul dalam tubuh aparatur
pemerintahan yang sangat menarik perhatian rakyat waktu itu yang kemudian
menjadi terkenal yakni korupsi.62 Pada tanggal 17 April 1958 telah disahkan
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut nomor Prt/Z./I/7.
Maksud dan tujuan dari peraturan Penguasa Perang ini adalah agar dengan
peraturan Penguasa Perang tersebut di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
dapat diberantas perbuatan-perbuatan korupsi yang di waktu itu sangat merajalela
57
Ketentuan menetapkan bahwa jika seseorang dalam waktu 6 bulan setelah berlakunya
peraturan penguasa perang pusat ini dengan sukarela melaporkan kepada instansi yang berwajib.
Perbuatan korupsi yang telah dilakukan sebelum diadakan peraturan penguasa perang pusat
disertai keterangan-keterangan atau bukti-bukti lengkap, maka perbuatan itu tidak dituntut, asal
harta benda yang diperolehnya denan/karena perbuatan tersebut diserahkan kepada negara.
58
Ketentuan ini menetapakan bahwa segala harta benda yang diperoleh dari korupsi itu
dirampas.
59
Dalam ayat ini ditentukan bahwa si terhukum dapat juga diwajibkan membayar uang
penganti yang jumlahnya sama dengan harta yang diperoleh dari korupsi.
60
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di
Indonesia, (Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984), hal. 47.
61
Ketidakstabilan anatara lain diandai dengan diadakannya tindakan-tindakan seperti
dikeluarkannya Keppres RI nomor 40 tahun 1957 tertanggal 14 Maret 1957 tentang Republik
Indonesia dinyatakan dalam keadaan Darurat Perang, disusul dengan keputusan-keputusan yang
berhubungan. Dan pada gilirannya ditetapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945
dan konstituante dibubarkan.
62
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundangan Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di
Indonesia, (Bandung: Penerbit CV Sinar Bandung, 1984), hal 48.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
25
Dari perumusan diatas, terlihat bahwa korupsi dalam masa penguasa militer
mempunyai tafsiran yang luas, sehingga meliputi pula perbuatan korupsi lainnya
serta orang-orang yang secara tidak wajar mendadak menjadi kaya dan tidak
mampu membuktikan asal kekayaan tersebut. Peraturan-peraturan penguasa
militer ini merupakan suatu bentuk kehendak penguasa (political will) pada saat
itu untuk memberantas korupsi di Indonesia. Meskipun masih terdapat
ketidaksempurnaan dalam perumusan peraturan tersebut, tetapi paling tidak
Peraturan Penguasa Militer itu merupakan modal awal yang berharga untuk
disempurnakan dalam rangka mewujudkan suatu undang-undang tentang
pemberantasan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan citra
masyarakat Indonesia.64
63
Ibid., hal 55.
64
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, cet. ke-2(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal 24.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
26
Pasal ini merupakan perluasan dari pidana tambahan yang diatur dalam KUHP.
Pengaturannya dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang maksimal dari upaya
pengembalian kerugian uang negara yang hilang. Banyak yang mengatakan
bahwa proses pengusutan dan pemeriksaan atas tindak pidana korupsi sangat
berlebihan dan rawan atas pelanggaran hak asasi manusia. Menyangkut hal ini, J.
E Sahetapy mengemukakan bahwa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sifatnya
eksepsional dan penyimpangan dalam acara pengusutan, penuntutan, dan
pemeriksaan dari hukum acara pidana yang berlaku tentu diharapkan dapat
menutup semua lubang bagi lolosnya para koruptor di Indonesia.65
65
Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-Undangan Pidana dalam Penanggulangan
Korupsi di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984) hal, 120 (hal tersebut dikutip dalam J.
E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: Penerbit Alumni, 1979), hal 48).
66
Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Dept.
Hukum dan Perundang-Undangan RI, 2000), hal 41.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
27
bertentangan dengan rasa kewajaran, ialah perbuatan tercela. Yang terakhir ini
disebut ”perbuatan korupsi lainnya”. Sanksi terhadap perbuatan ini tidak berupa
pidana melainkan perampasan harta benda hasil perbuatan tersebut oleh
Pengadilan Tinggi.67 Tindakan-tindakan penguasa yang demikian ini hanya dapat
dilaksanakan dalam keadaan darurat.
67
Dalam peraturan ini muncul kewenangan Pengadilan Tinggi yang dalam memeriksa
perkara harta-benda berpedoman kepada hukum acara perdata yang berlaku bagi Pengadilan
Negeri (pasal 12). Sebenarnya tindakan terhadap perbuatan tercela adalah benar-benar merupakan
tindakan yang luar biasa, yang hanya dapat dibearkan dalam keadaan yang luar biasa pula.
68
Soemarno, Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana
Korupsi dalam Peradilan Pidana. Jakarta. Tesis dalam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
28
agar dirampas oleh Hakim untuk negara. Selain terhadap barang sitaan, Undang-
undang Korupsi juga mengatur mengenai pidana tambahan salah satunya
pembayaran uang pengganti sebagai bagian dari pengembalian kerugian negara.
69
I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Recovery, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset
Negara, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal 3.
70
Ibid., hal 6
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
29
instrumen hukum anti korupsi dalam skala lebih kecil.71 Pada UNCAC 2003
pendekatan bersifat restoratif berupa pengembalian aset diatur dalam BAB V
Pasal 51 s.d. Pasal 59 tentang Pengembalian Aset (Asset Recovery) merupakan
prinsip mendasar yang diharapkan negara-negara peserta konvensi wajib saling
memberikan kerjasama dan bantuan seluas-luasnya mengenai hal ini. Terobosan
besar dari UNCAC 2003 mengenai Pengembalian Aset yang meliputi sistem
pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52 UNCAC 2003),
sistem pengembalian aset secara langsung dalam Pasal 53, sistem pengembalian
aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan
(Pasal 55 UNCAC 2003).72
71
Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di
Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hal 15. (Dalam Catham House,
The UN Convention Against Corruption: A Summary of dscussion at the International Law
Programme, Discussion Group at Catham House, 27th September 2005).
72
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 30
73
Paku Utama, Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi: Implementasinya di
Indonesia, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta, 2008). Dalam Romli
Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung:
Mandar Maju, 2004).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
30
yang juga berarti terjadi pencucian uang. Dengan demikian jelas bahwa konsep
kriminalisasi pencucian uang dan Asset Recovery adalah suatu pesan yang sangat
penting dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi.74
74
Yenti Garnasih, “Asset Recovery Act sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil
Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 4 (Desember 2004), hal, 629-642
75
UNODC, World Bank Group, Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges,
Opportunity, and Action Plan, (Washington: 2007), hal. 2.
76
Ibid., hal. 3.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
31
Melihat bahwa perampasan aset hasil tindak pidana korupsi merupakan salah satu
isu global dalam hal penegakan hukum, sangat penting apabila kita membahas
mengenai otoritas pemerintah dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi,
khususnya di Indonesia. Omar Swartz77 mengemukakan teori pengembalian aset
adalah teori hukum yang menjelaskan sistem hukum pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial yang
memberikan kemampuan, tugas dan tanggung jawab kepada institusi negara dan
institusi hukum untuk memberikan perlindungan dan peluang kepada individu-
individu masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Dalam hal ini, Donald W.
Potter78 menyebut public goods yang dibicarakan Swartz dengan istilah political
goods dalam menjelaskan tanggung jawab negara. Menurut Potter, tanggung
jawab negara-negara adalah untuk memberikan political goods seperti keamanan,
kesehatan dan pendidikan, kesempatan ekonomi, pemerintah yang baik, hukum
dan pemerintah, dan keperluan-keperluan infrastruktur dasar (transport dan
komunikasi). Negara-negara dianggap gagal ketika tidak ada lagi kemauan atau
kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut.79
77
Omar Swartz, On Social Justice and Political Struggle, essay, Human Nature Review,
Volume 4, 15 Agustus 2004, hal. 152.
78
Potter W. Donald, State Responsibility, Sovereignty, and Failed States, Referred paper
presented to the Australian Political Studies Association Conference University of Adelaide, 29
September-1 Oktober 2004, hal. 2.
79
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 30.
80
White collar crime atau dalam bahasa Indonesianya kejahatan kerah putih oleh Hazel
Croall dalam bukunya White Collar Crime (hal. 19) dirumuskan sebagai penyalahgunaan
wewenang oleh seseorang pegawai yang wewenangnya telah diberikan berdasarkan hukum.
Selanjutnya ditambahkan bahwa kejahatan kerah putih adalah seputar penipuan, penggelapan, dan
kejahatan lain yang biasa dilakukan pegawai atasan (high status employees).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
32
Pelakunya tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mempunyai jabatan seperti
pegawai negeri dan hakim, tetapi dapat dilakukan oleh siapa saja atau setiap
orang. Dengan syarat bahwa perbuatan yang dilakukan itu merugikan masyarakat,
merugikan keuangan negara serta menghambat pembangunan nasional. Oleh
sebab itu, perbuatan semacam korupsi, dirasakan tidak cukup jika hanya diatur
dalam KUHP saja. Sehingga korupsi dipandang sebagai tindak pidana khusus
karena akibat yang ditimbulkannya sangat besar. Selain itu juga mengakibatkan
persaingan yang tidak sehat antara seorang dengan orang lain. Dan bahaya yang
paling besarnya adalah kerugian terhadap kerugian negara akibat perbuatan
tersebut.
81
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2001), hal 36.
82
Civil Law Convention on Corruption, Pasal 2.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
33
83
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 40.
84
Ibid., Hal tersebut disampaikan dalam Dimitri Vlasis, The United Nations Convention
Against Corruption, Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66,
hal 118.
85
Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga
merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunikan, atau menyamarkan asal
usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi Harta Kekayaan yang sah. Dan menurut pasal
1 angka 1 huruf (a), aset hasil tindak pidana korupsi merupakan aset yang biasanya digunakan
dalam pencucian uang.
86
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 40.
87
Yurisdiksi ekstra teritorial adalah kemampuan pengadilan untuk memberlakukan
yurisdiksi terhadap individual atau harta benda yang berlokasi di luar batasan geografis yurisdiksi
dimana pengadilan tersebut berlokasi.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
34
teritorial pengadilan dan hubungan yang telah terbentuk antara yurisdiksi dan
asetnya.88 Ketentuan pengembalian aset UNCAC 2003, khususnya Pasal 54, Pasal
55, dan Pasal 57 menyatakan bahwa negara korban akan dapat memberlakukan
yurisdiksi atas aset yang berlokasi di luar yurisdiksi fisik atas dasar putusan akhir
di yurisdiksi yang meminta. Kemampuan negara korban untuk memperoleh
putusan perampasan terhadap harta benda di yurisdiksi lain, dan untuk yurisdiksi
dimana harta benda berlokasi untuk melaksanakan putusan, sangat membantu
pelaksanaan ketentuan pengembalian aset wajib yang melibatkan dana yang
digelapkan sebagaimana tercakup di Pasal 57 ayat (3) huruf (a). Dengan demikian,
untuk rezim pemulihan aset yang efektif, penting bagi lembaga pengadilan dari
negara korban untuk memiliki wewenang untuk menjatuhkan putusan yang
mempengaruhi hasil tindak pidana yang berlokasi di luar batas negara mereka.
88
Lihat Undang-Undang Amerika Serikat 28, Bagian 1355 (b) (2) dan Undang-Undang
Amerika Serikat 21, Bagian 853 (j) (menetapkan yurisdiksi atas harta benda “tanpa
memperhatikan lokasi harta benda”). Lihat pula UU Anti Pencucian Uang 1999 (Tahiland), Bagian
6, yang melebarkan yurisdiksi di luar negeri seperti: “Siapapun yang melakukan pelanggaran
tindak pidana pencucian uang, bahkan ketika pelanggaran tersebut dilakukan di luar Kerajaan,
akan menerima hukuman di Kerajaan, sebagaimana dinyatakan dalam UU ini, jika:
1. Baik pelanggar merupakan warga negara Thailand atau bertempat tinggal di dalam
Kerajaan
2. Peanggar adalah orang asing dan telah melakukan tindak pidana dalam Kerajaan atau
bermaksud untuk menimbulkan konsekuensi tindak pidana tersebut di Kerajaan, atau
Pemerintah Kerajaan Thai adalah korban, atau
3. Pelanggar adalah orang asing yang tindak pidananya dianggap sebagai pelanggaran di
negara tempat ia melakukan tindak pidana tersebut berdasarkan yurisdiksinya, dan bila
individual tersebut muncul di Kerajaan dan tidak diekstradiksi berdasarkan UU
ekstradiksi, Bagian 10 dari Undang-Undang Penal juga akan berlaku mutatis mutandis.
(Sebagaimana disampaikan dalam Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery:
Good Practiice Guide Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction
Based/NCB Asset Forfeiture), (Washington DC: The World Bank, 2009), hal 98).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
35
state) yang jadi negara korban dengan negara yang diminta (requested state) yang
jadi negara penyimpan aset. Kerjasama itu dalam bentuk instrumen hukum,
diantaranya Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance.89
Mutual Legal Assistance merupakan suatu alat yang digunakan dan dibutuhkan
untuk mengurus masalah korupsi dalam tingkat internasional. Mutual Legal
Assistance atau yang biasa diistilahkan dengan Mutual Legal Assistance on
Criminal Matters (MLA) merupakan alat yang sangat penting dan perlu sekali
guna menghimpun para korban dan aset hasil korupsi yang dibawa keluar
negeri.90 Mutual Legal Assistance in Criminal Matters ini dapat dilakukan bagi
negara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi91. Sampai saat ini, Indonesia
baru memiliki empat perjanjian ekstradisi yaitu dengan Malaysia, Filipina,
Thailand, dan Australia.92
Dengan adanya bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini dimungkinkan
penyerahan pelaku kejahatan dari negara peminta dan negara yang menyerahkan.
Prinsip dari MLA ini ialah dengan asas resiprokal (asas timbal balik) yaitu
masing-masing negara memberikan bantuan kerja sama dalam penyerahan pelaku
kejahatan transnasional atas dasar permintaan.93 Bantuan timbal balik dalam
masalah pidana dibentuk karena dilatar belakangi adanya kerjasama antar negara
dalam masalah pidana, sampai saat ini belum ada landasan hukumnya, meskipun
sebelumnya sudah dikenal dengan lembaga ekstradisi. Sesuai dengan Undang-
89
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI,
Laporan Lokakarya tentang Pegembalian Aset Negara Hasil Tindak Pidana Korupsi, 2009, hal. 46.
90
Marita van Thiel, Challenge in Mutual Legal Assistance, Asian Development Bank, Asset
Recovery and Mutual Legal Assistance: In Asia and Pacific,(Disampaikan pada Proceedings of the
6th Regional Seminar on Making International Anti-Corruption Standards Operational, 2008,) hal.
39.
91
Dalam konteks hubungan antar bangsa, maka ekstradisi dipandang sebagai alat atau
sarana sebagai suatu mekanisme kerjasama antar negara dalam rangka mencegah dan memberantas
kejahatan lintas anegara atau transnasional.
92
Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana:
Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), hal.
150.
93
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
36
Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah
Pidana, pemerintah Republik Indonesia menerbitkan undang-undang yang
mengatur tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, yang bertujuan
memberikan dasar hukum bagi pemerintah Indonesia dalam meminta dan/atau
memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan juga sebagai
pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana
dengan negara asing.94
Bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini merupakan permintaan bantuan
berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. Lingkup
bantuan ini, meliputi permintaan administrasi penyidikan, bantuan tindakan,
upaya paksa, pembekuan aset kekayaan, dan bantuan lainnya yang sesuai dengan
undang-undang ini. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana ini tidak
memberikan wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang,
melakukan upaya paksa berupa penangkapan atau penahanan orang, dengan
maksud untuk kepentingan ekstradisi atau penyerahan orang, serta pengalihan
narapidana atau pengalihan perkara. Sebagai prinsip dalam pemberian bantuan
timbal balik dalam masalah pidana ini, dilakukan berdasarkan suatu perjanjian,
sehingga apabila belum ada suatu perjanjian maka bantuan ini dapat dilakukan
atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas.95
94
Ibid.
95
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
37
hasil pelelangan ke kas negara. Adapun para pihak yang berwenang adalah
sebagai berikut:96
1) Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan
2) Penuntut Umum adalah pihak yang bertanggungjawab dalam proses
pemeriksaan terhadap perkara beserta benda sitaan yang telah dilimpahkan
oleh penyidik. Penuntut Umum yang kemudian sesuai dengan tugas dan
kewenangan menuntut pidana atas perkara serta benda yang telah disita
terkait perkara.
3) Hakim adalah pihak yang bertanggung jawab dalam pemeriksaan perkara
beserta benda sitaan di pengadilan yang diajukan oleh Penuntut Umum.
Hakim jug amerupakan pihak yang akan memutuskan suatu perkara
dipidana atau tidak dan memutuskan suatu benda yang telah disita
sebelumnya dirampas atau tidak.
4) Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), adalah tempat
benda yang disita oleh Negara untuk keperluan proses peradilan, yaitu
proses pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan.
5) Jasa Eksekutor, adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai pelaksana putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap perkara dan
barang yang diputuskan dirampas, termasuk dalam tanggung jawab dan
kewenangannya untuk melakukan penjualan lelang dan menyetor hasilnya
ke kas negara.
96
Bima Priya Santosa, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pisana Tertentu, (Jakarta:
The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program (NLRP)), hal 17.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
38
Pendapat beliau ini senada dengan apa yang diatur dalam Rancangan Undang-
Undang Perampasan Aset98 Pasal 5 yang menyebutkan bahwa dalam tahap
penelusuran aset hasil tindak pidana korupsi, dapat dibentuk satuan tugas
gabungan yang anggotanya terdiri dari instansi-instansi terkait.
Mengenai tindak pidana pencucian uang yang sangat dekat dengan tindak pidana
korupsi, Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang secara tegas mengamantkan pembentukan badan Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang merupakan lembaga sentral untuk
mengoordinasikan pelaksanaan Undang-Undang TPPU. Lembaga yang berdiri
tanggal 17 Oktober 2003 ini, berdasarkan Undang-Undang TPPU dan Keppres
No. 82 tahun 2003 berwenang melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencucian uang dan dapat melakukan kerja sama dengan pihak terkait ada
tingkat nasional maupun internasional. Di tingkat nasional, PPATK telah menjalin
kerjasama yang dituangkan dalam Nota Kesepahaman (MoU) dengan Bank
Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, Direktoral Jenderal Bea dan Cukai,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Bapepam, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Kejaksaan Agung RI, Departemen Kehutanan dan CIFO (Center for
International Forestry Research) yang merupakan lembaga penelitian
97
Disampaikan pada “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah Pengembalian Aset”, yang
diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei 2011.
98
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset ini merupakan salah satu Program Legislasi
Nasional Tahun 2008 sebagai salah satu prioritas RUU yang akan dibahas. Sayangnya sampai
akhir tahun 2009 ini RUU tersebut belum masuk prioritas yang dibahas di DPR Periode 2004-
2009, dan hingga saat ini, tahun 2011, pemerintah juga masih terus membahas RUU tentang
Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dengan pertimbangan bahwa sistem dan
mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak pidana korupsiberikut instrumen yang
digunakan pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukumnya.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
39
99
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 70.
100
Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 39.
101
Ibid., Pasal 40.
102
Ibid., Pasal 41.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
40
Substansi sistem hukum sistem hukum pengembalian aset melalui jalur hukum
pidana umumnya terdiri dari ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian
aset melalui empat tahap yang terdiri dari: 104
1) Pelacakan aset untuk melacak aset;
2) Tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan
aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan;
3) Penyitaan. Hanya setelah melalui dan memenuhi tahapan-tahapan
tersebut baru dapat dilaksanakan tahap
4) Yaitu penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban
tempat aset diperoleh secara tidak sah.
Tahap pertama dari rangakaian proses perampasan aset hasil tindak pidana
korupsi adalah tahap pelacakan aset. Tahap ini merupakan tahap dimana
dikumpulkannya informasi mengenai aset yang dikorupsi dan alat-alat bukti.
Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi fokus, menurut John
Conyngham, otoritas yang melakukan investigasi atau melacak aset-aset tersebut
103
Ibid., Pasal 42.
104
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 206.
105
Suradji, Mugiyati, Sutriya, ed., Pengkajian tentang Kriminalisasi, Pengembalian Aset,
Kerjasama Internasional dalam Konvensi PBB, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2008), hal 9.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
41
106
Ibid., (Dalam John Conyngham, Esq, Recovering Director’s Plunder, Testimony of John
Conyngham Esq., Global Director of Investigations, Control Risks Group Limited Before the
Committee on Financial Services Subcommittee on Financial Institutions and Consumer Credit US
House Representatives, 9 May 2002, hal. 2)
107
Ibid.
108
Ibid., hal 211.
109
Ibid., ( Sebagaimana tercantum dalam United Nation Convention Against Corruption
2003 Pasal 1 ayat 2 huruf (f)).
110
Negara korban merupakan negara dimana seorang koruptor melakukan tindak pidana
korupsi yang merugikan keuangan negara.
111
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 211.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
42
112
Negara penerima merupakan negara dimana para koruptor di negara korban
mengamankan hasil dari tindak pidana korupsinya.
113
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 215.
114
Ibid.
115
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003. Pasal 54 (1)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
43
khusus tingkah laku, tetapi pada sisi yang lain membiarkan seseorang yang
melakukan bentuk khusus tingkah laku yang berusaha dicegah tersebut,
mendapatkan keuntungan. 116 Dengan demikian tindakan penyitaan terhadap aset
hasil tindak pidana korupsi dibenarkan dengan landasan pemikiran bahwa hukum
pidana harus tetap komit untuk tidak memberikan keuntungan kepada pelaku
tindak pidana.
Setiap dugaan korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan harus disita terlebih
dahulu, hal ini merupakan tindakan pengamanan agar aset hasil korupsi tersebut
tidak dibawa pergi atau disembunyikan oleh pelaku. Aset hasil korupsi harus
disita terlebih dahulu agar kemudian setelah putusan bersalah oleh Hakim telah
berkekuatan hukum tetap, aset hasil tindak pidana korupsi yang disita dapat
dikembalikan kepada Negara.117 Tahap penyitaan merupakan tahap yang paling
penting dalam rangkaian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Tujuan
dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian di muka sidang pengadilan,
karena tanpa adanya barang bukti, perkara sulit diajukan ke hadapan sidang
pengadilan. Prof. Dr. Baharuddin Lopa S.H mengemukakan bahwa alangkah
baiknya bila penyidik sebelum melakukan penyidikannya, terlebih dahulu
melakukan pengamatan yang seksama atas semua kekayaan calon tersangka. Pada
saat disidik langsung secepatnya kekayaan disita untuk menghindari pengalihan
kekayaan kepada pihak ketiga. Jadi, yang terpenting ialah menyita kekayaan yang
ada, bukan hanya menghitung berapa jumlah yang dikorup dan nanti jumlah itu
diwajibkan baginya untuk membayar kembali kepada negara.118
Tahap keempat dari rangkaian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
adalah penyerahan aset-aset hasil tindak pidana korupsi kepada korban atau
116
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 218.
117
Chandra M. Hamzah. Disampaikan pada “Diskusi Meja Bundar tentang Masalah
Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta, 28 Mei
2011.
118
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, cet. 2 (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002), hal. 54.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
44
119
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 233.
120
Ibid., hal 101 (Dalam Michael Levi, Tracing and recovering the Proceeds of Crime,
Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004, hal 17) Michael Levi adalah seorang
Professor Kriminologi dari Cardiff University, Wales, UK.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
45
tidak sah atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk
melakukan tindak pidana lain di masa yang akan datang;
b) Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana
tidak punya hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara
tidak sah tersebut;
c) Alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberi
prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara
tidak sah daripada hak yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana;
d) Alasan kepemilikan (proprietary) yaitu karena aset tersebut
diperoleh secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan
selaku pemilik aset tersebut.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan isu yang sangat penting
dalam penegakan hukum. Hal ini dikarenakan pencurian aset negara di negara-
begara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah berkuasa di
negara bersangkutan merupakan masalah serius.121
Secara umum ada dua jenis pengembalian aset hasil tindak pidana yang diterapkan
secara internasional untuk memulihkan hasil dan instrumentalitas122 tindak
kejahatan: Perampasan Aset NCB (Non-Conviction Based)123 dan perampasan
kejahatan.124 Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni perampasan oleh
negara atas hasil dan instrumentalitas tindak kejahatan. Keduanya memiliki
rasional dua sisi yang sama. Pertama, mereka yang melakukan kegiatan haram
jangan dibiarkan mengambil manfaat dari tindak kejahatannya. Hasilnya harus
disita dan digunakan untuk memberi kompensasi kepada korban, baik yang
121
I Gusti Ketut Ariawan, Stolen Asset Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset
Negara, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, Januari 2008, hal 2.
122
“Instrumentalitas” merupakan aset yang digunakan untuk memudahkan tindakejahatan,
seperti mobil atau kapal yang digunakan untuk mengangkat narkoba.
123
Perampasan NCB merupakan perampasan tanpa pemidanaan sebagai alat pemulihan
aset.
124
Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture),
(Washington DC: The World Bank, 2009), hal.13.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
46
merupakan negara maupun yang individu. Kedua, kegiatan haram harus dicegah.
Meniadakan keuntungan ekonomis dari tindak kejahatan akan mengecilkan niat
untuk melakukan tindak kejahatan di tingkat pertama. Perampasan
instrumentalitas memastikan bahwa aset demikian tidak akan digunakan untuk
tujuan kejahatan selanjutnya; serta merupakan suatu pencegahan.125
Dalam pengembalian aset secara NCB, pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi sangat mungkin dilaksanakan tanpa adanya putusan pidana atas tindak
pidana korupsinya tersebut terlebih dahulu. Tindakan tersebut dilakukan dengan
mengacu kepada asas non-conviction based yang digunakan dalam pengembalian
aset secara perdata (civil forfeiture), dimana tuduhan secara pidana atau putusan
pidana tidak diperlukan dan yang menjadi fokus dalam pengembalian ini adalah
terhadap bendanya (in rem) atau aset yang dianggap sebagai hasil satu kejahatan.
Disamping itu, jenis lain dari pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
berupa perampasan kejahatan merupakan suatu perintah in personam, suatu
tindakan terhadap seseorang. Ini memerlukan pengadilan pidana dan
penghukumanm dan seringkali merupakan bagian dari proses penghukuman.
Beberapa yurisdiksi menerapkan standar bukti yang lebih rendah untuk proses
perampasan dibandingkan untuk proses bagian tindak kejahatannya. Meskipun
demikian, pada intinya putusan pidana bersalah harus dijatuhkan terlebih dahulu
baru aset dapat dikembalikan kepada negara. Sistem perampasan kejahatan dapat
berdasarkan objek, yang berarti bahwa pihak penuntut yang berwenang wajib
membuktikan bahwa aset-aset yang dipermaslahkan merupakan hasil dari atau
instrumentalitas (aset yang digunakan untuk memudahkan melakukan tindak
kejahatan) tindak kejahatan tersebut.
125
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
47
Dalam praktek pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Eropa, Mayoritas
negara-negaranya memiliki sistem yang memperbolehkan penyitaan untuk
kekayaan tertentu atau barang-barang senilai dengan hasil kejahatan; dengan
catatan bahwa untuk penyitaan hasil tindak pidana yang serius memerlukan
pemidanaan sebelum penyitaan (meskipun ada pengecualian di beberapa negara);
memerlukan standar pembuktian pidana (pengecualian termasuk Irlandia dan
Inggris di mana standar perdata yang diterapkan).129 Karena itu, menurut Kaisa
126
Ibid.
127
Ibid.
128
Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31
Tahun 1999, LN No 140 Tahun 1999, TLN Nomor 3874, Pasal 18 ayat (1).
129
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 225 (Dalam
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
48
Sekarang ini bukan saatnya lagi penegakan hukum yang bersifat offenders-
oriented, melainkan penegakan hukum juga harus memperhatikan dan
memperjuangkan hak korban. Korupsi sebagai tindak pidana yang mengakibatkan
Council of Europe 2001: Confiscation of Proceeds from Crime in South-Eastern Europe. Project
PACO Proceeds.
http://www.coe.int/T/E/Legalaffairs/Legal_cooperation/Combating_economic_crime/programme_
PACO ))
130
Ibid., hal 225. (Dalam Kaisa Hakkinen, Law and Economic Analysis of Confiscating the
Proceeds of a Crime, A paper presented in the purpose to analyse economic effects and legal
aspects of confiscation of the benefit of a crime, University of Joensuu, Department of Business
and Economics, Routsalisenraitti 7 B, FIN-53850 Lappeeranta, Finland)
131
Ibid., hal 228
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
49
kerugian yang sangat besar dan korban yang masif harus memiliki penegakan
hukum dan strategi pemberantasan yang ampuh dan dapat mengembalikan
kerugian semaksimal mungkin kepada korbannya. Negara sebagai pihak yang
paling dirugikan oleh tindak pidana korupsi harus mengupayakan pengembalian
aset yang telah dikorupsi, terlebih aset yang dialihkan atau disimpan diluar negeri.
Negara harus menggalakan pola pikir profit-oriented terhadap penegakan hukum
tindak pidana korupsi, yakni pemberantasan tindak pidana yang berorientasi
kepada penyitaan hasil-hasil kejahatan yang diperoleh dan dikuasai para pelaku
tindak pidana. Tekanannya bukan lagi pada pelaku kejahatan, tetapi pada aset
hasil tindak pidana. Untuk mencapai tujuan tersebut, alangkah baiknya bila kita
membahas mengenai pemahaman konsep pengembalian aset itu sendiri. Karena
tindak pidana korupsi dan pengembalian aset tindak pidana korupsi sebagai salah
satu pemulihan kerugian negara adalah satu rangkaian yang jangan sampai
terpisahkan.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
50
kejahatan pada umumnya. Kedua yaitu pada saat ditemukan adanya bukti-bukti
yang ternyata tidak sah, berkenaan dengan standar bukti yang ada dalam
persyaratan penting dalam nilai-nilai sebagai prasyarat untuk dapat diterima.
Ketiga, adanya hak non-self incrimination132. Keadaan keempat, sebagai
puncaknya yaitu mengenakan sanksi publik sebagai tentangan atas pemberian
pemulihan pribadi terhadap pelaku.133
Pada saat merumuskan keempat poin tersebut, pemikiran bahwa ”seseorang yang
diputus tidak bersalah dapat didakwakan lagi atas tindak pidana yang sama” (yang
merupakan penyimpangan asas ne bis in idem) kemungkinan dapat dijadikan poin
kelima dari rangkaian pemikiran tersebut. Hal ini dimungkinkan karena dianggap
sebagai aksi keberatan atau justifikasi dari ketidaktelitian penyidik dalam
menemukan unsur tindak pidana dan penuntut umum dalam membuktikan bahwa
seseorang bersalah sehingga ia berhasil lolos dengan diputus bebas.134
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penyitaan secara pidana atau yang disebut
dengan ”criminal forfeiture”, maupun pengembalian aset curian secara perdata
atau yang dalam istilah di Inggris disebut dengan ”civil confiscation”, merupakan
tindakan untuk mematahkan prinsip dasar dari Sistem Peradilan yaitu prinsip
perlindungan terhadap hak tersangka. Dalam tahap penyitaan aset hasil tindak
pidana, hal pertama yang penting untuk diingat adalah kita dapat melaporkan
seseorang yang secara tidak lazim (hasil tindak pidana atau dimiliki secara
melawan hukum) memiliki aset yang cukup banyak , meskipun laporan itu hanya
berdasarkan dugaan awal dan belum ada bukti mendukung. Tim pelacak aset hasil
132
Luhut M. P Pangaribuan, Non-Self Incrimination,
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/06/07/KL/mbm.19990607.KL95204.id.html,
diunduh pada 8 Juli 2011. Prinsip non-self incrimination bermakna bahwa larangan seseorang
sehingga dengan tindakan atau pernyataan itu dirinya menjadi in a crime. Larangan ini berangkat
dari beban negara untuk menuduh dan membawa seseorang ke pengadilan, untuk membuktikan
kesalahannya itu. Seseorang yang menjadi tertuduh tidak dapat dipaksa membantu kewajiban
negara itu
133
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil
Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 21-22.
134
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
51
tindak pidana pun dapat menyita aset yang diduga hasil tindak pidana walaupun
belum ada dakwaan tertentu dari penuntut umum. Dalam civil confiscation, negara
hanya boleh menyatakan bahwa seseorang mendapatkan harta tersebut adalah
hasil dari perbuatan tidak sah atau perbuatan melawan hukum hanya kepada
seseorang yang memegang hak milik atas harta tersebut. Sedangkan dalam
criminal confiscation, tidak penting siapa pemilik dari aset tersebut, karena
”pelaku pidana” itu sendiri merupakan orang yang melakukan tindak pidana dan
hasil dari tindak pidana tersebut adalah tidak sah, sampai ia dapat membuktikan
sebaliknya.135
Hal kedua yaitu, keistimewaan dari penegakan hukum dalam pengembalian aset
hasil tindak pidana ini adalah semua pihak yang terkait dengan harta tersebut
diwajibkan (dan dengan paksaan) untuk memberikan informasi dan keterangan
dalam tahap penyidikan atau dalam tahap civil confiscation. Hal ini disebut
istimewa, mengingat dalam Sistem Peradilan biasa yaitu larangan secara mutlak
untuk hanya dapat bertumpu pada seorang saksi atas kesaksiannya yang secara
terpaksa, kecali dalam penuntutan untuk sumpah palsu atau sebagai bukti
bantahan dalam peradilan pidana. Ketiga, kebutuhan untuk menunjuk saksi-saksi
yang kuat dan meyakinkan untuk membuktikan persangkaan-persangkaan yang
telah dilemparkan sebelumnya, sebisa mungin harus dihadirkan. Penggunaan
hearsay evidence harus diusahakan semaksimal mungkin untuk tidak dihadirkan,
karena kekuatan pembuktian yang dihasilkan oleh hearsay evidence ini tidak kuat,
karena mereka tidak mengalami dan paham secara langsung mengenai tindak
pidana korupsi yang terjadi.
135
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
52
Pusat perhatian yang paling utama dalam pengembalian aset hasil tindak pidana
secara perdata adalah darimana asal aset yang dicurigai merupakan hasil tindak
pidana. Prinsip ini harus ditekankan untuk mengakses aset yang terikat pada
tersangka pelaku kejahatan. dalam pengembalian aset hasil tindak perdata,
pemegang aset yang telah dinyatakan hasil tindak pidana korupsi, atau lebih
tepatnya pelaku tindak pidana, tidak dipertimbangkan melainkan pemegang hak
milik atas aset tersebutlah yang secara hukum menjadi subjeknya.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
53
136
Ibid., hal. 235.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
54
137
Ibid., hal. 236
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
55
Tujuan dari ARA adalah tidak lain dari berperang melawan segala tindak pidana
yang mengambil aset negara. ARA memiliki empat tujuan strategis yang
diantaranya:
1. Membantu mengurangi kejahatan dan jaringan penjahat perusahaan
melalui perampasan aset, sehingga dengan tindakan itu dapa mengurangi
efek buruk atas tindak kejahatan di masyarakat
2. Untuk mengembalikan jumlah aset sebesar kerugian negara dengan
ketentuan yang telah diatur dalam aturan mengenai pengembalian aset,
baik langsung ataupun dengan bantuan dari lembaga penegak hukum.
3. Memajukan peran penyidik keuangan, baik didalam ataupun diluar
lembaga
4. sebagai alat untuk memerangi dan menindak kejahatan
5. Mempergunakan ARA untuk hal-hal
a. Membudayakan proses penempatan aset hasil tindak pidana dan
hasil sebagai fokus utama.
b. Menetapkan standar yang tinggi untuk profesionalisme dan
integritas kerja.
c. Mendukung para pekerja baik dalam tim maupun secara individual
dalam proses pengelolaan aset hasil tindak pidana.
138
The best identified by Task Force has been utilized to draw up the “National Best
Practice Guide to Confiscation Order Enforcement”, published in August 2003 and available on
the Home Office website (http://www.homeoffice.gov.uk).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
56
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
57
Dewan, di bawah POCA 2002, pada awal 2004 harus sudah dilakukan
untuk memberikan bantuan kepada yurisdiksi lain.
Bagian 2 mengacu pada hal-hal yang akan dihadapi dalam pengadilan pidana,
sehingga terminologi yang akan dipakai adalah seputar sistem peradilan pidana.
Sementara itu, Bagian 5 adalah mengatur hal-hal yang akan dihadapi dalam
pengadilan perdata, sehingga yang perlu diperhatian adalah penggunaan
terminologi juga harus disesuaikan dengan sistem peradilan perdata. Perlu diingat,
sebenarnya apakah ini akan menjadi lingkup pidana atau perdata, hal itu bukan hal
139
POCA 2002, s 246(4)-(5)
140
Ibid., s 304(1)
141
Ibid., s 241(2). Ekstra-teritorial dibahas lebih lanjut dalam, paragraf 5.78-80
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
58
yang penting untuk dibahas, melainkan pengembalian aset hasil tindak pidana
harus terwujud.142
Dalam pengembalian aset curian secara pidana, bukan merupakan hal yang
penting bila tersangka merupakan pemilik sah dari aset tersebut. Hal ini
didasarkan pada pemikiran selama harta tersebut dihasilkan dari sebuah tindak
pidana, maka tahap pengembalian aset tersebut dapat ditelusuri mulai dari pemilik
baru yang notabene secara sah mendapatkan hak milik aset tersebut sampai
pemilik awal yaitu pelaku tindak pidana. Aset curian akan dapat ditelusuri selama
ada rantai atau kaitan yang jelas atas kepemiikan aset tersebut yang mengarah
kembali kepada pelaku predicate crime.143 Namun demikian apabila pemilik baru
mendapatkan harta tersebut dengan cara yang sah dan itikad baik serta tanpa
pemberitahuan bahwa barang tersebut merupakan hasil tindak pidana,
142
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil
Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 150-151
143
Proceeds of Crime Act (POCA) 2002, Pasal 304 (3)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
59
kemungkinan besar barang tersebut tidak dapat diakses atau dieksekusi144. Hal
tersebut menegaskan bahwa penelusuran aset hasil tindak pidana pun memiliki
limitasi dalam penelusuran dan pengembalian aset, bahkan pengaturan ini berada
dalam Bab ’General Exception’ atau pengecualian dalam POCA 2002. Akan
tetapi, pada saat aset tidak dapat di eksekusi, itikad baik berupa partisipasi dari si
pemilik sah yang baru dari aset hasil tindak pidana merupakan modal utama
dalam proses penelusuran aset, selama ia mewakili aset tersebut145. Konsep ini
sangat mirip dengan konsep common law dimana pelapor dapat mengklaim harta
milik tersangka selama ia dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa harta
tersebut didapat dari perbuatan yang tidak sah atau dari kejahatan. Oleh karena
itu, kapanpun tersangka telah melepas haknya atas harta curian dan kemudian ia
mendapatkan harta lain yang belum tentu ia dapatkan dari kejahatan, maka harta
yang disebutkan terakhir ini dapat dieksekusi dan dikembalikan sebagai
146
perwakilan atau simbol dari aset hasil kejahatannya. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengembalian aset dalam konsep ini tidak terlalu
mementingkan asas ’follow the money’, tetapi ’follow the transaction.
2.3.2 Thailand
Tidak berbeda dengan kondisi di Indonesia, pencucian uang pun merupakan
momok besar bagi Pemerintah Thailand selama berpuluh-puluh tahun. Oleh
karena kekhawatiran terhadap perkembangan kejahatan terorganisasi lintas negara
yang dapat mengancam stabilitas dan kemakmuran dari negara, maka Pemerintah
Thailand mengundangkan Undang-Undang Anti Pencucian Uang pada tahun 1999
(AMLA)147, kemudian membentuk Kantor Anti-Pencucian Uang (AMLO) untuk
144
Ibid., Pasal 308 (1)
145
Ibid., Pasal 308 (10)
146
Ian Smith dan Tim Owen, ed., Asset Recovery: Criminal Confiscation and Civil
Recovery, (United Kingdom: Reed Elsevier, 2003), hal 152. (Lihat Goff dan Jones The Law of
Restitution (6th edition, 2002) Sweet & Maxwell, para 2-02lff. A detailed consideration of the
principles of tracing at common law is outside the scope of this work and the reader is referred to
the practitioner texts on the subject. )
147
Dewan Perwakilan Rakyat meresmikan undang-undang tersebut pada 19 Maret BE 2542.
Kemudian menerbitkannya di Lembaran Kerajaan Volume 116, Bagian 29 Gor pada tanggal 21
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
60
Menurut bagian 48 dan bagian 49 dari AMLA 1999, tanpa perintah dari
pengadilan melainkan berdasarkan perintah dari Komite Transaksi AMLO,
Maret BE 2542. menjadi efektif pada 19 Agustus BE 2542 (B. E adalah Era Buddha. Kurangi 543
dari B.E akan mendapatkan tahun Setelah Masehi)
148
Bagian 24 dari AMLA 1999 diganti dengan bagian 10 dari AMLA (No. 2) 2008
149
Theodore S. Greenberg et.al, Stolen Asset Recovery: Good Practice Guide untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based / NCB Asset Forfeiture),
(Washington DC: The World Bank, 2009), hal 173.
150
Ibid., Dalam Bagian 3 dari AMLA 1999 dan Hukum Pidana di amandemen pada 5
Agustus 2003, untuk menghukum teroris dengan mengikuti Resolusi PBB 1373 dan mengakui
pelanggaran bagi teroris keuangan. Perjudian Ilegal baru-baru ini disahkan oleh Parlemen sehingga
menjadi pelanggaran dengan predikat kesembilan dibawah AMLA, sejak 2 Maret 2008.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
61
apabila terdapat sebab yang meyakinkan bahwa suatu aset terhubung dnegan suatu
predikat pelangaran atau pencucian uang, maka penyidik dapat merampas
sementara aset tersebut untuk periode yang tidak lebih dari 90 hari. Dalam periode
tersebut AMLO dapat terus mengumpulkan bukti-bukti perihal tersebut untuk
diserahkan kepada jaksa penuntut untuk menginisiasi agenda acara dari suatu
perampasan.
Ketika suatu aset telah disita oleh AMLO, maka aset tersebut akan menjadi
tanggungjawab Biro Pengelolaan Aset, AMLO untuk merawatnya,
memeliharanya hingga aset tersebut menjadi hasil perampasan, dan kemudian
untuk menjualnya. Biro Pengelolaan Aset adalah satu dari lima biro dan dua divisi
dalam AMLO. Pada Maret 2008, AMLA telah diamandemen untuk antara lain
mengembangkan peran AMLO dalam pengelolaan aset, untuk membentuk dana
perampasan, untuk menerapkan pengawasan yang ketat bagi aset-aset yang disita ,
untuk memastikan adanya transparansi dan untuk memastikan bahwa tidak
seorangpun yang memiliki otoritas terhadap seluruh aspek pengelolaan aset.
Sesuai dengan Peraturan Menteri tentang Struktur Organisasi AMLO, Desember
2007, maka Biro Pengelolaan Aset bertangggungjawab terhadap tugas-tugas
berikut:151
1. Untuk menuyusun sistem akuntansi bagi harta benda yang disita atau aset
bawaan, untuk menyimpan dan memelihara harta benda yang disita atau
151
Ibid., hal 175.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
62
Suksesnya suatu program pengembalian aset hasil tindak pidana tergantung dari
praktek-praktek pengelolaan aset yang baik. Untuk memastikan bahwa aset-aset
dipelihara sesuai kondisi pada saat perampasan sehingga aset dengan nilai
ekonomi tinggi dapat diselamatkan bagi kepentingan Pemerintah, dimana pada
akhir dari kasus diperlukan pertama-tama bahwa aset tersebut berada dibawah
pemeliharaan AMLO untuk meminimalkan kerusakan dan depresiasi. Segera
setelah disita, aset yang bersangkutan harus dinilai oleh pihak ketiga yang
berkualifikasi untuk menilai dan menentukan nilai pasarnya.152
152
Ibid., Dalam Peraturan Menteri No. 10 Bab 2: Penilaian Harta benda; Klausul 16:
“Setelah pengambilan atau perampasan suatu harta benda, maka petugas yang kompeten dan yang
telah ditunjuk agar segera menilai harta benda tersebut.)
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
63
Apabila harta benda yang diamankan berupa uang, maka uang tersebut akan
disimpan di institusi keuangan tanpa penundaan sesuai dengan yang disarankan
153
Ibid., hal 176.
154
Ibid., hal 177
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
64
oleh Komite Transaksi. Apabila uang tersebut merupakan uang asing maka uang
tersebut akan ditukar ke mata uang Thailand dan disetorkan kepada institusi-
institusi keuangan. Apabila harta benda yang disita berupa batu permata, emas,
barang-barang perhiasan, atau logam-logam mulia, maka aset tersebut akn
disimpan didalam peti besi tempat penyimpanan barang-barang berharga milik
AMLO. Aset-aset berharga lainnya disimpan dalam gudang dengan penjagaan
ketat sepanjang 24 jam. Jika akan menyusahkan AMLO dalam memelihara suatu
harta benda, maka AMLO dapat menyewa suatu kontraktor untuk memelihara dan
menjaga harta benda tersebut. 155
Apabila aset yang disita ternyata sulit dan tidak pantas untuk disimpan, maka
pasal 57 dari AMLA mmeberikan otorisasi Sekretaris Jendral dari AMLO untuk
melakukan untuk melakukan hal-hal berikut156:
Mengizinkan pemilik dari aset yang disita untuk tetap memelihara dan
menggunakan aset tersebut sementara dengan persyaratan tertentu serta
jaminan atau tanggungan.
Mengeluarkan perintah untuk menjual dengan cara lelang dan menyimpan
dana yang diperoleh dalam simpanan escrow menunggu penyelesaian dari
agenda acara perampasan; atau
Mengeluarkan perintah untuk mengizinkan penegak hukum atau institusi
lainnya untuk menggunakan sementara aset serupa itu untuk keperluan
resmi.
155
Ibid.
156
Ibid.,
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
65
AMLO (AMCATS) mencatat rincian tentang suatu perampasan, nama aset, nilai
aset, nama kasus, perintah perampasan, perintah pengadilan, lokasi penyimpanan
aset, pendapatan yang dihasilkan oleh aset dan biaya yang dikeluarkan untuk
memeliharanya, rincian lelang (nama dari penawar lelang, harga yang disarankan,
dan harga penjualan), dan, sepanjang dapat diterapkan, informasi yang
berhubungan dengan penempatan aset yang resmi digunakan oleh Pemerintah.
Dengan mencatat dan melacak data tersebut, maka AMLO dapat lebih baik
melaksanakan fungsi pengelolaan asetnya, yaitu dapat lebih mudah menyusun
laporan-laporan, membuat statistik-statistik, mempertanggungjawabkan
inventarisnya, dan membuat ramalan dan pengawasan biaya pengelolaan aset. 157
157
Ibid., hal 178
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 3
158
Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia: Studi tentang Kemungkinan
Penerapan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana, Disertasi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Depok: 2009), hal 1.
66 Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
67
Hukuman pembalasan ini sepenuhnya ditentukan oleh orang atau pihak yang
dirugikan. Keadaan seperti ini terus berlangsung sehingga mengganggu keamanan
dan ketertiban serta hubungan-hubungan dalam masyarakat. penguasa pada saat
itu pada mulanya berusaha menghukum orang-orang yang mengancam
kepentingan masyarakat dan menghambat tindakan-tindakan pembalasan yang
dilakukan oleh orang yang dirugikan secara sendiri-sendiri. Demi keamanan dan
ketertiban di masyarakat maka timbullah kemudian “Stelsel komposisi”
(composite stelsel) yaitu kewajiban bagi pelaku tindak pidana (penjahat,
pembunuh dan sebagainya) untuk melakukan “penebusan kesalahan” dengan
memberikan ganti rugi atau denda kepada orang yang dirugikan. Disamping itu
juga diwajibkan membayar denda kepada masyarakat yang dirugikan (dalam hal
terjadi pembunuhan) untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat.
Semula, jumlah denda ditentukan tergantung pada keinginan pihak yang dirugikan
tetapi kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa. Dengan demikian
penghukuman sudah mulai dikembangkan kearah sifat hukum publik, yang
berdasarkan kepentingan masyarakat dan menjadi kewajiban atau kewenangan
penguasa.160
Hukum pidana sejatinya tidak dapat berdiri sendiri dalam mencapai tujuannya,
melainkan juga harus didukung oleh pemidanaan yang menyertai. Pemberlakuan
pemidanaan bagi pelaku pidana adalah tidak tanpa alasan. Adapun pokok
pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu:
a) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri
b) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan,
dan
159
Apong Herlina, “Restorative Justice”, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,
September 2004, hal 19 s.d 28.
160
Ibid
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
68
161
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas
Indonesia, (Depok: 2003), hal 12.
162
Kenworthy Bilz dan John M. Darley, What’s Wrong With Harmless Theories of
Punishments, Darley Blitz Final Author Approved, vol. 79, 18 Mei 2004, hal 1215-1252.
163
Ibid., hal 11 (Seperti dikutip dalam Anthony Duff dan David Garland, A Reader on
Punishment, terjemahan WD Halls, (New York: The Free Press, 1984), hal 52)
164
Ibid., hal 1215-1252.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
69
baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsekuensinya buruk, maka
tindakan tersebut salah.
Hal yang menjadi pemikiran dari aliran konsekuensialis ini juga bahwa, untuk
mencari pembenaran dari penjatuhan pidana maka harus dibutkikan bahwa a)
pidana itu membawa kebaikan; b) pidana mencegah kejadian yang lebih buruk;
dan c) tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya.
Aliran konsekuensialis yang dianut oleh kaum Utilitarian ini mengamini bahwa,
pencegahan atau preventif merupakan tujuan utama pemidanaan. Dengan asumsi
bahwa kejahatan merupakan suatu perilaku (baik secara aktual maupun potensial)
yang mengakibatkan kerugian, maka layaklah apabila pelakunya dikarenakan
kerugian pula, yakni melalui penjatuhan pidana.165 Hal ini patut dilakukan agar
tidak terjadi atau timbul kerugian yang lebih besar di masa depan. Aliran ini
berkarakter instrumentalis dan berorientasi ke depan (forward-looking), dan
menitik beratkan pada asas kemanfaatan penjatuhan pidana; hal yang sangat
mengemuka di kalangan penganut utilitarian klasik yang menggarisbawahi the
greatest happiness for the greatest number.166 Dalam pemikiran konsekuensialis
ini, penaksiran mengenai hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana adalah sesuatu yang harus dilakukan. Disamping itu, jenis hukuman
apa yang dijatuhkan tersebut pun harus disesuaikan dengan kerugian apa yang
diakibatkan oleh tindak pidana ini.
165
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas
Indonesia, (Depok: 2003), hal 12.
166
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
70
167
Kenworthy Bilz dan John M. Darley, What’s Wrong With Harmless Theories of
Punishments, Darley Blitz Final Author Approved, vol. 79, 18 Mei 2004, hal 1215-1252.
168
Ibid.
169
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
71
Di Indonesia, walaupun hukum adat bukan merupakan salah satu sistem hukum
positif, tetapi hukum adat merupakan hukum yang sangat berpengaruh pada
hukum positif di Indonesia karena rakyat Indonesia pun masih konsisten
menganut kebiasan-kebiasaan adatnya masing-masing. Bahkan, pakar hukum
adat, Prof. Supomo, telah menuliskan tujuan hukum pidana Indonesia sebagai
berikut:
170
Ibid., hal 15. (Dalam R. Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya
Paramita, hal. 109-115; Andi ZA Farid, Ibid.; John Ball (1982).
171
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai sidang Universitas
Indonesia, (Depok: 2003), hal 16. (Seperti dikutip dalam R. Soepomo, Ibid. Hal 114-115. Dalam
piagam adat Lampung Siwo Mego, tindak pidana tertentu harus diselesaikan dengan upacara
pembersihan pepadun, atau yang bersangkutan dikucilkan masyarakat.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
72
Melihat definisi diatas, tujuan dari hukum pidana Indonesia sebenarnya telah
mengarah pada pengayoman kepentingan secara berimbang. Keseimbangan
tersebut dapat dicapai dengan cara melibarkan para pihak dalam proses
pemecahan masalah atau perkara pidana tadi. Dari pengalaman penyelesaian
perkara pidana secara adat, sebenarnya kita dapat melihat peran para pihak terkait
dalam menyelesaikan perkara atau pelanggaran yang ada dalam masyarakat. 173
Melihat pada hukum adat yang pernah digunakan dalam menyelesaikan berbagai
perkara (pidana) di Indonesia, penyelesaian perkara dengan pendekatan antara
pelaku, korban dan masyarakat serta tokoh masyarakat terbukti memberikan rasa
keadilan di masyarakat.174 Konsep semacam ini merupakan konsep yang sangat
tepat dalam pemulihan suatu kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang, karena dengan pendekatan antara korban dan pelaku maka disamping
pembalasan yang diberkan kepada pelaku, korban pun dapat mengakses keadilan
dengan mendapatkan kerugian yang dideritanya dengan, disamping sistem
peradilan pidana juga duduk bersama membahas bagaimana cara dan berapa
kerugian yang harus dikembalikan.
172
Ibid., (Dalam Supomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, hal. 92)
173
Ibid.
174
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
73
175
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009),hal. 40. Dalam RM Surachman, Mozaik
Hukum I, 30 Bahasan Terpilih (Jakarta: CV Sumber Ilmu Jaya, 1996), hal 228-229 yang merujuk
John Ball, Ter Haar, M.B Hooker, R. Soepomo, dan Muhammad Said Dirdjokusumo. Perihal jenis
sanksi delik adat, lihat Pandrecten van het Adatrecht, X)
176
Ibid., (seperti dikutip oleh Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Jakarta:
Ghalia, 1984), hal. 43).
177
Ibid., (Dalam Peter J. Burns, The Leiden Legacy, Concept of Law in Indonesia, (Jakarta:
PT Pradnya Paramita, 1999), hal 327-328)
178
Ibid.,
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
74
Keadilan restoratif oleh beberapa negara maju bahkan telah diintegrasikan dalam
sistem peradilan pidana. Dalam perkembangan selanjutnya, pertumbuhan dan
penyebaran keadilan restoratif mendapat dukungan dari Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Dalam Kongres Lima Tahunannya yang ke-5 (Jenewa, 1975), PBB mulai
menaruh perhatian terhadap ganti rugi bagi korban kejahatan, sebagai alternatif
bagi peradilan pidana retributif.179
Satu dekade berikutnya, PBB melangkah lebih jauh lagi dan secara kongkrit
melindungi dan menegakkan hak-hak para korban melalui beberapa melalui
beberapa instrumen internasional dan ketentuan implementasinya (misalnya
179
Ibid., hal 11. Keadilan restoratif di New Zealand misalnya, yang semula dipraktikkan
dalam sistem peradilan pidana anak, kemudian diintegrasikan ke dalam pengadilan orang dewasa.
Maka Selandia Baru pun menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan proses restoratif
dalam pengadilan umum (2002) bahkan mencakup kejaharan yang berat. Begitu pula di Belgia,
setelah dilembagakan ke dalam KUHAP (2005), keadilan restoratif terwujud dalam “mediation
penal”. Yang berkepentingan boleh memohon pengadilan anak-anak maupun pengadilan umum
untuk suatu mediasi perkara pidana dari yang teringan hingga yang berat. Adapun di Spanyol
korban kini memainkan peran yang penting dan lebih besar dan lebih besar dalam sistem peradilan
pidana yang berbau retoratif. Mediasi yang tadinya terbatas pada ganti rugi sederhana, lingkupnya
kemudian diperluas.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
75
180
Ibid, hal 13
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
76
keduanya, dan salah satunya dirumuskan oleh Van Ness dari Kanada sebagai
berikut:
181
Ibid., hal 3. Dalam Johnstone dan Van Ness, The Meaning of Restorative Justice,
Makalah untuk Konferensi Lima Tahunan PBB ke-11, Workshop 2, (Bangkok, Thailand, 2005),
hal 2-3.
182
Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate
Publishing Limited, 2007), hal 10.
183
Ribert I Rotberg dan Dennis Thomson, ed., Truth v Justice, The Morality of Truth
Comissions, (Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000), hal 69.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
77
“Restorative justice has become the term generally used for an approach
to criminal justice (and other justice systems such as a school disciplinary
system) that emphasise restoring the victim and the community rather
than punishing the offender” (Keadilan restoratif telah menjadi suatu
istilah yang sudah umum digunakan dalam pendekatan hukum
pemidanaan (sebagai sistem pemidanaan seperti sistem sekolah
kedisiplinan) yang menekankan kepada konsep menempatkan kembali
korban dan lingkungan kepada keadaan semula dibanding menghukum
sang pelaku tindak pidana.)
184
Miriam Liebmann telah bekerja dalam bidang pendidikan, art therapy, bidang bantuan
dan pemulihan korban, dan menjadi ketua dan penasehat proyek dari Mediation UK selama tujuh
tahun. Ia telah menulis dan menjadi editor dari sembilan buku dalam bidang art therapy, mediasi
dan penyelesaian sengketa. Belakangan ini ia membagi waktunya sebagai pekerja tidak tetap
dalam hal kegiatan mencapai keadilan restorative,, pelatihan mediasi dan konsultasi, art therapy
dan menulis
185
Miriam Liebmann, Restorative Justice: How It Works, (London: Jessica Kingsley
Pubishers, 2007), hal 27.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
78
perbuat, tetapi sanksi ini tidak setara dengan apa yang menjadi tanggung
jawab atas perbuatan mereka. Sering terdengar bahwa para pelaku merasa
mereka telah selesai dengan hukuman mereka setelah mereka menjalani
hukumannya, padahal dalam kenyataannya mereka telah mengakibatkan
kerugian materil terhadap masyarakat atas perbuatan pidana yang
dilakukannya. Hal yang patut ditanamkan dalam konsep keadilan restoratif
adalah “Ya, saya telah melanggar hukum dan saya bertanggungjawab atas
kerugian akibat perbuatan saya”, itulah pandangan awal dari konsep
keadilan restoratif.
c. Adanya dialog antar pelaku dan korban untuk mencapai suatu
kesepahaman. Sejatinya, korban dari suatu tindak pidana selalu dikelilingi
oleh pertanyaan mengapa si pelaku tega melakukan kejahatan ini? Apa
tujuan dari pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut? Apakah pelaku
akan mengulangi perbuatannya lagi? Begitupun dengan pelaku tindak
pidananya pun dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Oleh karena itu
diperlukan suatu dialog khusus diluar pengadilan yang dapat menjadi
sarana penyelesaian pertanyaan-pertanyaan ini. Terkait dalam hal
pengembalian aset tindak pidana korupsi, jumlah dan penyembunyian aset
yang dikorupsi dapat dibahas dalam dialog ini. Cara pengembalian aset ini
pun dapat dilakukan dalam dialog ini
d. Ada upaya untuk menghilangkan kerugian. Cara yang paling tepat
dilakukan untuk bertanggungjawab atas kejahatan adalah dengan
memulihkan kerugian yang diderita si korban.
e. Pelaku dapat melihat kedepan bagaimana caranya agar kelak ia tidak
melakukan tindak pidana lagi. Unsur preventif dan perasaan jera jelas ada
dalam prinsip ini. Pelaku harus disadarkan bahwa perbuatannya adalah
salah dan sangat merugikan orang lain sehingga ia akan
mempertimbangkan untuk tidak melakukan kejahatan itu lagi.
Pengembalian aset tindak pidana kepada negara oleh koruptor akan
membuat koruptor tersebut kehilangan banyak harta, dipenjara dan
menderita. Keadilan restoratif perlu dukungan dari berbagai aspek untuk
mewujudkan cita-citanya, salah satunya dengan dukungan dari sistem
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
79
Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Kanada pada tahun 1998 memberikan
penjelasan kembali terhadap definisi keadilan restoratif yang dikemukakan oleh
Tony F. Marshal diatas. Susan Sharpe mengusulkan ada 5 prinsip kunci dari
keadilan restoratif, yaitu:
1. Restorative justice invites full participation and consensus (keadilan
restoratif mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban
dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif, selain itu juga
membuka ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingan
mereka telah terganggu atau terkena imbas (contoh tetangga yang secara
tidak langsung ikut serta pada dasarnya tidak aman atas kejahatan
tersebut). Undangan untuk ikut serta pada dasarnya tidak mengikat/wajib
hanya sebatas sukarela, walaupun dimikian tentunya pelaku harus
diikutkan. Kalau tidak maka akan berjalanlah proses peradilan tradisional.
2. Restorative Justice seeks to heat what is broken (keadilan restoratif
berusaha menyembuhkan kerusakan/kerugian yang ada akibat terjadinya
tindakan kejahatan). Sebuh penyataan penting tentang restorative justice
adalah apakah korban butuh untuk disembuhkan, untuk menutupi dan
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
80
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
81
Keadilan restoratif juga menyita perhatian para pemuka agama, para pelopor dari
konsep ini, yang tertarik dengan konsep keadilan resotratif ini secara kemanusiaan
dan moral merupakan jalan yang terbaik untuk menghadapi kejahatan dalam
hukum pidana.186 Secara singkat, hal ini diakui oleh sejumlah pemikir konsep
keadilan restoratif bahwa keadilan restoratif merupakan alternatif yang radikal187
dalam cara tradisional untuk memahami hukum dan keadilan dalam menangani
perilaku jahat.188 Ini merupakan pola berpikir yang baru atau sudut pandang baru
dalam menyikapi hukum dan keadilan.189
Salah satu hal yang dianggap berbahaya adalah dasar pemikiran keadilan restoratif
hanyalah berdasarkan asumsi yang salah dan belum akurat kebenarannya sehingga
dapat berdampak kerusakan yang mendasar. Beberapa tahun belakangan ini,
gagasan keadilan restoratif ini banyak mempengaruhi kebijakan hukum pidana,
hukum acara dan reformasi legislatif di seluruh dunia dan konsep keadilan
restoratif ini sudah menyentuh bidang hukum non-pidana (khususnya dalam
kepentingan akademis), memancing sejumlah perhatian diantara para kriminolog
dan akademisi dari disiplin-disiplin ilmu terkait, peneliti, praktisi hukum pidana,
pembuat undang-undang, dan menyumbang banyak kepada kepustakaan.190
186
Ibid, (Dalam Zehr 1990; Consedine 1999; Hadley 2001, 2006)
187
Makna kata Radikal disini adalah secara mendasar (sampai kpd hal yg prinsip):
perubahan yg --; (2) Pol amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); (3) maju
dl berpikir atau bertindak. http://kamusbahasaindonesia.org/radikal
188
Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate
Publishing Limited, 2007) , hal 11. Yang telah dialihbahasakan secara informal oleh penulis dari
kalimat. “In short, it is claimed by a number of restorative justice campaigners that restorative
justice is a radical alternative to the traditional way of understanding crime and justice and
dealing with criminal behaviour”
189
Ibid.
190
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
82
keadilan restoratif yang ideal.191 Banyak juga kritik yang menguji dan
mempertanyakan apakah perbedaan yang paling dasar dan tajam antara gagasan
retributif dan keadilan restoratif. Memang secara ekstrem dikatakan bahwa
walaupun keadilan restoratif yang ideal itu pada hakikatnya tidak ada kecacatan,
tetapi konsep ini sangat mungkin megantarkan pada kesesatan dan menghasilkan
sesuatu yang tidak hanya berbeda dengan apa yang menjadi tujuan melainkan
bahkan dapat mengantarkan kita pada keadaan yang lebih buruk daripada
penggantian kerugian192. Dikatakan pula keadilan restoratif tidak cocok dengan
peradilan pidana tradisional melainkan baru dapat berfungsi optimal bila
dilakukan dalam peradilan pidana modern.
Akan tetapi, perlu diperhatikan pula apa yang dikatakan oleh Sullivan dan Tifft
(2006) bahwa, “restorative justice must be put down, contained, co-opted, or
modified in some other way to meet the state’s ideological and administrative
requirements”.193 Terlepas dari berbagai kritik tajam mengenai konsep keadilan
restoratif, penerapak keadilan restoratif sebagai tujuan dari pemidanaan harus
disesuaikan sedemikian rupa agar dapat cocok dengan ideologi dari negara dan
persyaratan admnisitrasi dari negara yang memberlakukan konsep ini dengan
tanpa menghilangkan prinsip dasar dari konsep keadilan restoratif.194 Sanggahan
inipun juga disampaikan oleh John Braithwaite yaitu ia mengatakan bahwa:
191
Ibid.
192
Ibid.
193
Ibid.
194
Ibid.
195
Andrew Von Hirsch, et. al., ed., Restorative Justice: Competing or Reconcilable
Paradigms?, (Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2003), hal. 7
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
83
196
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes (New York: United Nations,
2006)
197
Ibid., hal. 7.
198
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
84
Justice yang diterbitkan oleh UNODC tersebut dikatakan bahwa praktek keadilan
restoratif tidak bersifat kaku, melainkan dapat diadaptasikan dengan berbagai adat
istiadat maupun masyarakat dimana pemikiran keadilan restoratif diaplikasikan.
Dan sekali lagi, demi tujuan pemulihan keadaan akibat tindak pidana dan
memulihkan hubungan antar korban-pelaku tindak pidana tidak menyisakan
dendam, keadilan restoratif selalu dapat ditegakkan.
199
Ibid., hal. 5.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 4
ANALISIS
Sesuai dengan ajaran kriminologi dalam teori hedonis201 yang menganggap bahwa
seseorang tidak akan melakukan suatu kejahatan bila tidak ada keuntungan yang
200
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 51.
201
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2, aesuai dengan ajaran kriminologi dalam
teori hedonis yang menganggap bahwa seseorang tidak akan melakukan suatu kejahatan bila tidak
ada keuntungan yang akan dia dapat bila melakukan kejahatan tersebut, karena pada dasarnya
setiap orang melakukan suatu perbuatan atas perhitungan untung dan rugi. Begitupula dengan
koruptor yang selalu berpikiran bahwa dengan melakukan tindak pidana korupsi mereka dapat
menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi
85 Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
86
akan dia dapat bila melakukan kejahatan tersebut, karena pada dasarnya setiap
orang melakukan suatu perbuatan atas perhitungan untung dan rugi. Begitupula
dengan koruptor yang selalu berpikiran bahwa dengan melakukan tindak pidana
korupsi mereka dapat menuai keuntungan dan manfaat dari korupsi. Analisis
ekonomi dalam hukum pidana, menurut J.C Oudijk, mendasarkan diri pada
asumsi bahwa pelaku atau calon pelaku tindak pidana selalu berupaya
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.202 Hal ini lah yang membuat
penderitaan rakyat semakin berat karena rakyatlah yang harus membayar apa yang
dinikmati para pelaku tindak pidana korupsi itu. Pelaku tindak pidana korupsi
mengambil kekayaan atau kesempatan yang seharusnya dapat dipergunakan untuk
memakmurkan kehidupan rakyat203. Tindakan pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi juga merupakan pengobatan atas pencorengan terhadap keadilan
sosial204. Dengan demikian, pelaku tindak pidana korupsi sangat
bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh bangsa Indonesia. Pelaku
tindak pidana korupsi harus bertanggungjawab untuk mengembalikan kerugian
negara yang diakibatkan oleh korupsi yang mereka lakukan, juga sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam Bab 2 bahwa tindakan pengembalian aset pun
memiliki unsur prevention of crime.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa bab sebelumnya bahwa tindak
pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dampaknya bersifat gradual, maka
202
Ibid, hal. 78 .
203
Arya Maheka, Mengenal dan Memberantas Korupsi, (Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi), hal 5
204
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti
Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal. 63. Definisi klasik
keadilan yang dikemukakan Louis Kelso dan Mortimer Adler bahwa keadilan, dalam formulasi
yang paling umum, menekankan kewajiban‐kewajibn moral atau perintah bagi manusia yang
ebrgabung dalam tujuan‐tujuan hidup yang umum, yaitu bertindak demi kesejahteraan umum
bagi semua, tidak hanya bagi kepentingan eksklusif pribadi manusia, tidak mencederai satu sama
lain, memberikan apa yang merupakan hak tiap manusia, dan bertindak adil terhadap sesame
dalam pertukaran barang dan distribusi kekayaan. Dengan demikian, tindakan pengembalian aset
yang bertujuan untuk mengembalikan aset yang dikorupsi kepada negara merupakan suatu
perbuatan yang baik rehabilitatif bagi luka masyarakat, retributif bagi si pelaku tindak pidana
korupsi, juga restoratif bagi kerugian materil bagi keuangan negara.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
87
penjatuhan pidana yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana ini sebaiknya
tidak hanya penghukuman yang bersifat membuat jera pelaku saja, tetapi juga
harus disertai hukuman lain untuk mengobati luka dan kerugian dari para
korbannya. Dalam terjadinya tindak pidana korupsi, terkadang para penegak
hukum dan pemerintah perumus peraturan perundang-undangan lupa akan
keadaan korban yang harus sangat diperhatikan. Pemulihan kerugian yang dialami
korban tindak pidana tidak kalah penting daripada penjatuhan hukuman penjara
bagi para pelakunya. Dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi,
walaupun memang rakyat Indonesia yang menjadi korban dalam tindak pidana ini
tidak seluruhnya dan secara langsung menerima restitusi dari tindak pidana ini,
tetapi dengan adanya tindakan hukum secara konkrit berupa pengembalian aset
dan tentunya penjatuhan pidana pokok berupa pidana penjara dapat menjadi obat
bagi luka rakyat Indonesia akibat tindak pidana korupsi ini.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
88
Kondisi ini bisa terwujud jika tingkat kesadaran hukum dan kesejahteraan
masyarakat memadai. Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi merupakan
salah satu sistem penanggulangan atas kerugian dari tindak pidana korupsi.
Keadilan restoratif yang merupakan salah satu tujuan pemidanaan yang
berorientasi pada pengembalian kerugian dan keadaan seperti sedia kala sebelum
terjadinya tindak pidana, merupakan pemikiran yang harus ditanamkan pada
penegak hukum khususnya tindak pidana korupsi.
Dalam suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang maka akan
mengakibatkan kerugian. Walaupun telah dijatuhkan hukuman pidana, yang
biasanya dijatuhkan hukuman penjara, terhadap pelaku pidana seringkali korban
tetap tidak puas karena kerugian yang diderita korban tidak tergantikan.
Pemecahan masalah menggunakan penjatuhan pidana pokok biasa dirasakan
kurang memberikan keadilan. Keadilan yang dituju atau dicapai dengan cara
tersebut adalah keadilan yang diciptakan dan menurut ukuran penguasa, yang
kadang-kadang tidak sama dengan keadilan yang dirasakan masyarakat.206
Keadaan ini tidaklah mengherankan kalau kita melihat tujuan pemidanaan yang
selama ini dikembangkan dalam hukum positif kita, yang fokus perhatiannya
lebih banyak pada upaya bagimana agar pelaku ini jera, bagaimana agar pelaku ini
menjadi orang yang berguna di masyarakat dan sebagainya. Titik perhatian utama
dalam proses pemecahan kasus pidana ini, penguasa atau negara lebih banyak
memberikan perhatian kepada pelaku atau pelanggar, agar pelaku berubah
menjadi baik dan berguna dimasyarakat, sementara di pihak lain, korban dan
masyarakat yang merasa terganggu keharmonisannya akibat ulah pelanggar atau
205
Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, cet. 2, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002), hal 18
206
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,
September 2004, hal 19 s.d 28.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
89
207
Margarita Zernova, Restorative Justice: Ideals and Realties, (England: Ashgate
Publishing Limited, 2007), hal 10.
208
Apong Herlina, Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol. 3 No. III,
September 2004, hal 19 s.d 28.
209
Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum
Pidana, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009), hal. 3. (Dalam Robert I Rutberg dan Dennis
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
90
Telah dikatakan dalam bab 3, bahwa keadilan restoratif tidak dapat dikategorikan
sebagai teori, melainkan metateori yaitu dalam pemikiran keadilan restoratif
mengandung pula unsur-unsur dalam teori-teori pemidanaan yaitu teori retributif,
teori preventif, teori campuran, teori rehabilitatif, dan teori resosialisasi. Dalam
pelaksanaan program keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan, pada
dasarnya kita tidak bisa terlepas dengan tujuan pemidanaan lainnya seperti konsep
rehabilitasi, resosialisasi, retributif, juga konsep prevensi. Begitupun dalam
pengaplikasian keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaan dalam
pengembalian aset hasil tindak pidana. Dalam pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi, perampasan aset dengan tujuan pengamanan aset agar tidak
dihilangkan jejaknya merupakan salah satu nestapa yang dijatuhkan kepada para
pelaku tindak pidana korupsi. Gaya hidup modern dan konsumtifitas dari pejabat
negra dewasa ini tidak dapat dielakkan dari godaan praktik korupsi. Bahkan
Gaspare Mutolo, seorang gembong mafia yang bekerjasama dengan komisi anti
Thomson, ed., Truth v Justice, The Moralty of Truth Comission (Princeton dan Oxford: Princeton
University Press, 2000).
210
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90. (Dalam
L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven:
Univeritaire Pers Leuven, 2000), hal. 249-280).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
91
mafia Italia pada tahun 1992, mengungkapkan bahwa211 ”perasaan paling buruk
yang dialami para penjahat yang melakukan kejahatan dengan motif
mendapatkan keuntungan hasil kejahatan adalah jika aset-aset hasil
kejahatannya itu diambil”.
211
Purwaning Yanuar, Pentingnya Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana, Disampaikan
dalam Lokakarya BPHN Departemen Hukum dan HAM pada 18 Agustus 2009, hal. 10.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
92
Dalam tindak pidana korupsi transnasional, dimana suatu negara yang asetnya
dikorupsi dan aset tersebut dilarikan keluar negeri, maka negara yang disebut
pertama ini disebut sebagai negara korban. Dalam topik ini, Negara sebagai
representasi dari rakyatnya yang dikorbankan akibat maraknya tindak pidana
korupsi. Sebagai contoh, rakyat Indonesia yang senantiasa menjadi warga yang
taat dalam membayar pajak, tapi dengan mudahnya pajak yang mereka bayarkan
diselewengkan dan dilarikan ke luar negeri. Negara atas nama Rakyat Indonesia
sudah sepantasnya bertanggung jawab dalam usaha pemulihan keadaan dengan
pengembalian aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi.212
Disamping itu, negara dapat merepresentasikan rakyatnya sebagai korban dari
tindak pidana dalam hal ada gap sosial antara korban dan pelaku tindak pidana
contohnya dalam tindak pidana korupsi yang merupakan white collar crime dan
korbannya merupakan rakyat Indonesia, khususnya kalangan menengah kebawah
yang membutuhkan bantuan keuangan dari pemerintah dalam untuk
213
menyelenggarakan kesejahteraannya.
Cesare Beccaria, Of Crimes and Punishments [Dei Delitti e Delle Pene]. Diterjemahkan
212
oleh Jane Grigson, (USA: Oxford University Press, 1964), hal 14.
213
Ibid., hal 97 s.d. 99.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
93
Dengan diaturnya ketentuan tentang bantuan hukum timbal balik atau Mutual
Legal Assistance (MLA) dalam Pasal 46 Bab VI UNCAC 2003 yang mengatur
tentang kerja sama internasional, Negara diharapkan dapat secara aktif melakukan
upaya-upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang efektif dan
efisien dapat terlaksana. Bagi aset negara yang dilarikan ke luar negeri oleh para
pelaku tindak pidana korupsi, MLA dapat dijadikan salah satu jawaban atas
pertanyaan yurisdiksi aset yang akan disita melampaui yurisdiksi Indonesia.
Menurut Tim Daniel, dalam TI’s Quarterly Newsletter, jenis-jenis bantuan khusus
yang dapat diminta dari negara lain adalah215:
1. Pelacakan oleh otoritas-otoritas pidana negara tersebut
2. Memberitahukan kepada negara korban tentang informasi yang diperoleh
dari pelacakan; pemberian informasi tunduk pada syarat bahwa informasi
hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan dalam
perkara pidana dan di negara korban;
214
Ibid. Dalam bukunya, Cesare Beccaria menggunakan teori kontrak sosial yang dimana
Negara sebagai representasi rakyatnya.
215
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 90. (Dalam
L. Welgrave, Met het Oog op Herstel: Bakens voor een Constructief Jeugsantierecht, (Leuven:
Univeritaire Pers Leuven, 2000), hal 236. (Seperti terdapat dalam Tim Daniel, Tracking Down
Stolen Assets: the Nigerian Experience, TI’s Quarterly Newsletter, March 2003, hal. 10).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
94
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
95
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
96
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
97
Pemulihan keadaan dari korban, pelaku tindak pidana dan keadaan sekitar yang
kehilangan keseimbangan akibat terjadinya tindak pidana pun merupakan satu
unsur penting dari pendekatan keadilan restoratif. Dalam kaitannya dengan upaya
perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, pemulihan keadaan dari korban
tindak pidana, yang direpresentasikan oleh negara, mendapatkan pemulihan
berupa aset hasil tindak pidana korupsi yang dirampas dari pelaku tindak pidana
dan selanjutnya akan dikembalikan kepada negara. Mengenai pemulihan keadaan
dari pelaku, dengan mengembalikan aset negara yang diambilnya secara melawan
hukum membuat pelaku tindak pidana, berdasarkan penjelasan dari Pasal 4
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, walaupun bukan merupakan dasar
penghapus pemidanaan tetapi dapat dijadikan dasar peringan. Oleh karena itu,
dengan mengembalikan aset yang telah ddikorupsinya, para pelaku akan
dipertimbangkan peringanan pidana atasnya.
Melihat konsep pemikiran dari keadilan restoratif, dapat dikatakan bahwa tujuan
pemidanaan ini merupakan konsep yang telah dewasa dalam menghadapi
permasalah di masyarakat khususnya masalah pidana. Pembalasan sekonyong-
konyong bukan satu-satunya tujuan dari suatu pemidanaan. Keadilan restoratif
menawarkan pemikiran yang matang mengenai usaha apa saja yang harus
ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan dari suatu masyarakat atau negara
akibat terjadinya tindak pidana. Dan terkait dengan pendekatan keadilan restoratif
dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, tujuan pemulihan keadaan
yang merupakan tujuan dari keadilan restoratif adalah sejalan dengan program
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
98
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
99
tujuan penyitaan.216 Di sisi lain, negara-negara dimana aset hasil tindak pidana
korupsi disimpan harus dengan cepat merespon permintaan bantuan hukum.
Sekali lagi ditekankan bahwa dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, para pihak terkait harus benar terlibat dan saling bekerjasama memerangi
tindak pidana korupsi dan membantu negara korban dalam memulihkan
kerugiannya akibat tindak pidana korupsi. Mengenai hal ini, bahkan Saldi Isra
berpendapat bahwa Indonesia harus mendesak negara-negara maju melalui
lembaga-lembaga internasional untuk menciptakan kerjasama internasional yang
lebih pro dengan keterbatasan kemampuan negara-negara berkembang terhadap
tekhnologi, akses dan politik internasional dalam upaya pengembalian aset
curian.217
Keseriusan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat optimal bila
pola pikir masyarakat Indonesia hanya terpaku pada balas dendam semata pada
para koruptor. Masyarakat dan aparat penegak hukum harus menanamkan pola
pikir maju dengan tidak berhenti pada pembalasan atas tindak pidana, tetapi juga
bagaimana tindakan selanjutnya untuk mengamankan aset negara yang dikorupsi
serta memulihkan kerusakan dan kerugian akibat tindak pidana. Edukasi
mengenai pentingnya pengembalian aset negara harus ditanamkan kepada
masyarakat Indonesia, sehingga setiap golongan masyarakat Indonesia, khususnya
legislator sang perumus peraturan perundang-undangan dan penegak hukum
Indonesia, mengerti pentingnya penegakan hukum atas pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi.
Program pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak dapat begitu saja
dirampas dan dikembalikan ke negara tanpa dilakukan proses yang pantas dan
tepat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab 2 laporan ini, terkait tahapan-
tahapan pengembalian aset, proses pengembalian aset harus dilakukan selain
216
United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, Pasal 31 ayat 2.
217
Saldi Isra, Asset Recovery Tindak Pidana Korupsi melalui Kerjasama,
http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=80:asset-recovery-
tindak-pidana-korupsi-melalui-kerjasama-internasional&catid=23:makalah&Itemid=11, diunduh
pada 6 Maret 2011.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
100
dengan kapabilitas dari penegak hukum yang baik, juga harus disertai dengan ada
tim khusus yang fokus melakukan penelusuran aset hasil korupsi. William R.
Schoeder mengatakan bahwa keberhasilan pelacakan tindak pidana korupsi di
sektor publik sangat bergantung kepada kemampuan penyidik dalam mencari
jejak kepemilikan uang dan aset-aset yang diperoleh secara tidak sah atau mencari
pelaku-pelakunya.218 Penelusuran aset hasil tindak pidana korupsi, baik di
Indonesia maupun di negara lain, merupakan poin inti dari dari rangkaian proses
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini. Korupsi sebagai kejahatan
kerah putih yang terkadang banyak memboncengi kepentingan para pejabat
pemerintah membuat proses penelusuran aset menjadi semakin sulit. Banyak
sekali kepentingan-kepentingan politik dan pribadi bersarang dalam proses ini.
Sebagai contoh, yang sedang marak sekarang ini adalah korupsi untuk pendanaan
dana kampanye, mark-up dana pengadaan barang dan suap dari pengusaha kepada
Pemerintah Daerah agar menang tender.
218
Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB
Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2007), hal 209
(Sebagaimana terdapat dalam Willian R. Schoeder, A Review Article: How To Do Financial Asset
Investigations: A Practical Guide for Practice Investigators, Collections Personnel, and Asset
Recovery Specialists, The FBI Law Enforcement Bulletin, Juli 2001).
219
Tim khusus diperlukan dalam hal pelacakan aset hasil tindak pidana korupsi yang
dilarikan oleh pelaku. Mengapa diperlukan tim khusus karena tim ini dibentuk khusus untuk
menjalankan fungsi ini dengan penuh konsentasi dan fokus pada penelusuran aset.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
101
pidana korupsi ini, tidak hanya elemen hukum dan penegak hukum saja yang
dilibatkan. Unsur keuangan sangat kuat disini, penggunaan instrumen hukum saja
tidak cukup, dalam penegakannya instrumen dan penyedia jasa keuangan pun
harus dilibatkan. Jasa perbankan pun harus terlibat secara aktif karena mulai dari
penelusuran dan penyitaan aset yang dilarikan oleh pelaku tindak pidana korupsi
pun tidak dapat lepas dari keahlian para penyedia jasa keuangan dan perbankan.
220
Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Ibu Chairijah, Direktur Hukum
Internasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, menyampaikan bahwa tidak pernah
ada keputusan instrumen yang mana yang akan digunakan dalam “Diskusi Meja Bundar tentang
Masalah Pengembalian Aset”, yang diselenggarakan oleh UNODC, Four Seasons Hotel Jakarta,
28 Mei 2011”
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
102
Untuk melegalisasi setiap tahap dalam proses pengembalian aset hasil tindak
pidana, Indonesia sebaiknya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Perampasan Aset, sehingga Indonesia memiliki instrumen hukum yang
komprehensif mengenai sistem dan mekanisme mengenai proses pengembalian
aset hasil tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi. Sebagai tambahan,
Undang-Undang Perampasan Aset yang nantinya akan disahkan harus harmonis
dengan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC 2003 yang telah diratifikasi oleh
Indonesia sebelumnya. Dengan harmonisasi tersebut diharapkan ketentuan
mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar
negeri menjadi jelas dan dapat diaplikasikan segera.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
103
221
Merupakan pengembalian aset tanpa adanya putusan pidana atas kasus tersebut terlebih
dahulu yang biasa juga disebut sebagai pengembalian aset secara perdata atau civil forfeiture atau
perampasan in rem.
222
Yenti Garnasih, “Asset Recovery Act Sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset Hasil
Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7, No. 4, Desember 2010, hal 629-644.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
104
Meskipun pengembalian aset secara NCB sekalipun tidak pernah boleh dijadikan
sebagai pengganti untuk penuntutan pidana, dalam banyak hal (terutama dalam
korupsi pejabat), Pengembalian Aset secara NCB mungkin merupakan satu-
satunya alat yang tersedia untuk memulihkan keadaan akibat tindak pidana
korupsi tersebut dan sekali lagi untuk memperoleh keadilan.223 Pengaruh para
pejabat yang korup dan realitas praktis lainnya dapat mencegah para penyelidik
kejahatan secara keseluruhan atau setelah pejabat yang berkaitan telah meninggal
dunia atau kabur. Seringkali terjadi dimana seorang pejabat korup yang telah
merampok negaranya berupaya untuk memperoleh imunitas dari penuntutan. Oleh
karena itu, rezim pengembalian aset secara NCB tidak berhantung pada sebuah
penghukuman pidana, maka dapat dilanjutkan tanpa memangdang adanya
kematian, pelarian atau setiap kekebalan yang mungkin dinikmati pejabat yang
korup tersebut. 224
Pengembalian aset secara NCB sebagai salah satu usulan untuk alternatif
penegakan hukum atas tindak pidana korupsi pada akhirnya pun bermuara pada
sistem peradilan pidana Indonesia sendiri. Indonesia sebaiknya melakukan
223
Theodore S. Greenberg, et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide Untuk
Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB Asset Forfeiture),
(Washington DC: The World Bank, 2009), hal 15.
224
Ibid.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
105
225
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Bertahan, Todung Mengaku Terkejut,
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/10/27/142578-indeks-persepsi-
korupsi-indonesia-bertahan-todung-mengaku-terkejut, diunduh pada 15 Juni 2011. Disampaikan
juga bahwa TII merilis IPK Indonesia pada tahun 2010 mencapai 2,8 atau tidak mengalami
peningkatan dibanding tahun sebelumnya. TII melakukan penelitian terhadap tingkat persepsi
korupsi pada beberapa negara berdasarkan data gabungan dari hasil survei sejumlah organisasi.
Indonesia berada pada posisi 110 dari 178 negara yang dilakukan survei terhadap indeks persepsi
korupsi. Singapura, Finlandia, Selandia Baru dan Denmark termasuk kategori negara yang bersih
terhadap praktik korupsi dengan poin tertinggi mencapai 9,3.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
106
cerdas dan kritis menghadapi dan melakukan penegakan hukum atas tindak pidana
korupsi, salah satunya dengan penggunaan instrumen hukum perdata berupa
kepailitan untuk mengembalikan aset kepada negara sebagai korban tindak
pidana. Untuk menarik korelasi antara hukum kepailitan dengan pengembalian
aset dalam tindak pidana korupsi, pelaku tindak pidana dikategorikan sebagai
debitur, sedangkan negara dikategorikan sebagai kreditur. Adapun definisi dari
kepailitan itu sendiri adalah
Lembaga kepailitan pada dasarnya memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu pertama
kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada kreditor bahwa debitur tidak
akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab terhadap semua utang-
utangnya. Kedua, kepailitan sebagai lembaga yang juga memberi perlindungan
kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi masal oleh para krediturnya.227
Dalam hukum kepailitan, syarat yang harus dipenuhi adalah “seorang Debitur
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih”, dan berikut adalah
penguraian unsurnya:
- Debitur, dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan, didefinisikan “orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di
muka pengadilan”. Dalam Pasal 1 ke 11 Undang-Undang Kepailitan
226
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 28.
(Sebagaimana dikutip dari D. Djohansyah, Pengadilan Niaga, dalam Rudy Lontoh (editor),
Penyelesaian Utang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Bandung:
Alumni, 2001), hal. 23).
227
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hal 10.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
107
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
108
Terkait dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang melibatkan
seluruh rakyat Indonesia sebagai korban, yang direpresentasikan oleh Negara,
maka kepentingan umum lah yang menjadi masalah disini. Untuk permohonan
kepailitan yang dimana utang oleh kreditur (yaitu aset yang dikorupsi oleh
pelaku), Kejaksaan dapat menjadi lembaga yang berwenang mengajukan
permohonan kepailitan. Hal tersebut diamanatkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Kepailitan yang menyatakan bahwa “permohonan kepailitan dapat
diajukan oleh Kejaksaan untuk kepentingan umum”. Disebutkan lebih lanjut
dalam penjelasan pasal ini mengenai unsur “kepentigan umum” yakni,
kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya
a.) Debitor melarikan diri; b.) Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c.) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan
usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat; d.) Debitor mempunyai utang
yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas; e.) Debitor tidak
beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang
yang telah jatuh waktu; atau f.) dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan
kepentingan umum.
Permohonan pailit yang diajukan oleh Kejaksaan pun tidak ada bedanya dengan
permohonan kepailitan oleh orang perorangan atau badan hukum, yaitu
berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Kepailitan, permohonan pernyataan pailit
diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dengan melengkapi persyaratan yang
diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Mempertimbangkan aset yang dikorupsi
228
Ibid., hal 32. Utang ini merupakan utang yang ditafsirkan dalam arti luas, yang dimana
setiap kewajiban seseorang atau badan hukum untuk membayar sejmlah uang, sekalipun
kewajiban tersebut tidak timbul dari pernjanjian utan-piutang dapat diklasifikasikan sebagai utang
menurut Undang-Undang.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
109
oleh para pelaku tindak pidana korupsi sanga besar besar dampak buruknya bagi
kesejahteraan rakyat dan pembangunan negri, permohonan kepailitan oleh
Kejaksaan atas dasar merugikan kepentingan umum adalah sah. Dengan demikian,
lembaga kepailitan hendaknya dapat diperhitungkan sebagai salah satu tindakan
untuk menjerat para pelaku tindak pidana korupsi untuk mengembalikan kerugian
negara yang mereka sebabkan.
Semua gagasan yang telah dikemukakan diatas merupakan poin-poin yang harus
diperhatikan oleh pemerintah dan penegak hukum dalam penegakan hukum
pengembalian aset hasil tindak pidana. Indonesia sebagai negara yang tingkat
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
110
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
113
5.2 Saran
Setelah melakukan penelitian dan penulisan laporan penelitian ini, maka saran
yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut
1. Mengintegrasikan pengaturan dalam UNCAC yang merupakan salah satu
hasil dari upaya masyarakat internasional dalam hal pemberantasan tindak
pidana korupsi, ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia.
2. Konsep keadilan restoratif hendaknya dijadikan salah satu dasar pemikiran
dari penyusunan aturan dalam RUU Perampasan Aset dan Pemerintah
Indonesia harus dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang
Perampasan Aset yang sampai saat ini masih dalam daftar tunggu DPR
untuk pengesahannya. Dengan harapan tindak pidana dapat berkurang
karena masyarakat menyaksikan langsung konsekuensi apa yang akan
mereka dapat bila melanggar suatu ketentuan hukum.
3. Indonesia harus meningkatkan political will dengan meningkatkan
hubungan baik dengan negara lain khususnya negara yang sering menjadi
tujuan pelarian aset hasil tindak pidana korupsi dan membangun hubungan
baik dengan negara-negara lain, khususnya negara tujuan pelarian aset
hasil tindak pidana korupsi. Disamping itu pemerintah harus membekali
para penegak hukum dengan edukasi komprehensif mengenai teknik
pengembalian aset.
4. Disamping proses persidangan atas pelaku tindak pidana korupsi berjalan,
proses penelusuran, pembekuan dan penyitaan aset harus tetap berjalan.
Penelusuran aset sebaiknya turut melibatkan firma-firma hukum dan
keuangan yang masing-masing ahli dalam bidangnya.
5. Selain pidana penjara, perampasan segala aset hasil tindak pidana terhadap
pelaku tindak pidana korupsi adalah harus dilakukan. Karena pada
dasarnya pelaku tindak pidana korupsi merupakan manusia yang
materialistis dan akan sangat menderita bila hartanya dirampas, dan hal
tersebut merupakan pidana yang tepat bagi mereka. Oleh karena itu,
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
114
perampasan aset hasil tindak pidana sebagai pidana tambahan harus pula
dijatuhkan kepada terpidana disamping pidana pokok.
6. Hukum pidana Indonesia harus berkembang, karena masyarakat Indonesia
pun telah berkembang. Hanya dengan penjatuhan pidana pokok yang
diatur dalam Pasal 10 KUHP saja kurang cukup karena hanya unsur
pembalasan yang menjadi tujuan pemidanaan. Dengan pemikiran
konsekuensialis dan pendekatan keadilan restoratif, diharapkan masyarakat
Indonesia mendapatkan edukasi atas konsekuensi yang akan mereka dapat
bila melakukan tindak pidana.
7. Rumah Penyimpanan Barang Sitaan dan Rampasan Negara
(RUPBASAN), lembaga yang berwenang sebagai Badan Pengembali Aset
harus segera diaktifkan secepatnya setelah pengesahan RUU Perampasan
Aset.
8. Pengembalian aset secara pidana, Pengembalian Aset NCB, dan Lembaga
Kepailitan dapat dijadikan cara untuk mengembalikan aset yang telah
dirampas oleh pelaku tindak pidana korupsi
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
DAFTAR REFERENSI
BUKU
Atmasasmita, Romli. Pengkajian Hukum, tentang Kriminalisasi, Pengembalian
Aset, Kerja Sama Internasional dalam Konvensi PBB. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
2008.
Greenberg. Theodore S. et. al, Stolen Asset Recovery: Good Practiice Guide
Untuk Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan (Non-Conviction Based/NCB
Asset Forfeiture). Washington DC. The World Bank, 2009.
Hayati, Tri, et. al. Administrasi Pembangunan : Suatu Pendekatan Hukum dan
Perencanaannya. Depok. Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, tahun 2005.
Hirsch, Andrew Von. et. al. ed. Restorative Justice: Competing or Reconcilable
Paradigms?. Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 2003.
Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 1984.
Rotberg, Ribert I dan Dennis Thomson, ed., Truth v Justice, The Morality of Truth
Comissions. Princeton dan Oxford: Princeton University Press, 2000 .
Santosa, Bima Priya, et. al, Lembaga Pengelola Aset Tindak Pidana Tertentu.
Jakarta: The Netherlands-Indonesia National Legal Reform Program
(NLRP), 2010.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
117
Sunarso, Siswanto. Ekstradisi dan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana:
Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasiona. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta, 2009.
United Nations Office of Drugs and Crime (UNODC). World Bank Group, Stolen
Asset Recovery (StAR) Initiative: Challenges, Opportunity, and Action
Plan. Washington: 2007.
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
118
INTERNET
Bungalan, Hendra. Nilai Kerugian Negara Akibat Korupsi Rp 3,6 Triliun.
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/23/78626/Nilai-
Kerugian-Negara-Akibat-Korupsi-Rp-36-Triliun. Diunduh pada 24
Februari 2011.
UNDANG-UNDANG
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
119
Civil Law Convention on Corruption. Strasbroug, 1999. Entry into force 2003.
JURNAL
Ariawan, I Gusti Ketut, ”Stolen Asset Recovery, Suatu Harapan Dalam
Pengembalian Aset Negara”, Kertha Patrika, Vol. 33 No. 1, (Januari 2008).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
120
Garnasih, Yenti, “Asset Recovery Act Sebagai Strategi dalam Pengembalian Aset
Hasil Korupsi”, Jurnal Legislasi Indonesia, (Vol. 7, No. 4, Desember
2010): hal 629-644.
Swartz, Omar, “On Social Justice and Political Struggle”, essay, Human Nature
Review. Volume 4, (15 Agustus 2004).
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
121
Universitas Indonesia
Pengembalian aset..., Riani Atika Nanda Lubis, FH UI, 2011
MINUTES OF MEETING
THE FIRST UNODC ROUND TABLE DISCUSSION ON ASSET RECOVERY
a. General Purpose
b. Specific Purpose
1. Asset recovery is difficult and complicated matter whereas the current initiatives on asset
recovery are still preliminary in nature which further actions are required.
2. Under Indonesian legal context, it is even difficult to establish the crime in which asset
recovery is required, i.e. corruption and money laundering, whereas, on the other hand,
there is also a problem with definition on asset recovery matters.
3. The difference of legal system amongst countries is not a decisive matter on asset
recovery as long as there are commitments and cooperation amongst law enforcement.
4. Some institutions still find a problem on asset recovery, i.e. in BNP Paribas and Bank
Century case, since there is still no single exact requirement on documentations and
Standard Operational Procedure (SOP) in seizing the stolen asset overseas, hence,
UNODC could provide guidance or best practice from other countries.
5. Previous experiences on asset recovery have shown on how Indonesian officials are too
dependent on foreign investigators. Regardless of the great result on tracing the asset, for
example in BPPN case, there is a need to rely more on local resources.
7. In order to promote asset tracing and asset recovery, there is a need to promote a reward
for whistleblower.
9. There is differentiation between domestic asset recovery and foreign asset recovery.
Nonetheless, both require court decision which states that there is a direct link between
the asset and the predicate crime.
10. It is also important to note that in order an asset can be frozen and recovered, there should
be a specific name of the asset to be confiscated in the court verdict.
11. Investigator cannot be further burdened by being assigned to conduct additional task on
asset recovery since they have already been preoccupied by investigation as crucial
matters related to the substance of the case.
12. On the other hand, it seems to be that we are lacking in political will. Not to mention,
there is also a problem on cooperation. There is also a possibility to use bankruptcy law
in Indonesia to recover asset both located in domestic and overseas.
13. In many cases, it is imperative as well for journalist to understand the law and legal
system, and also to cooperate with law enforcement by not publishing the ongoing
investigation in order to prevent any possibility that the suspect from escape or from
concealing their assets.
14. Whereas the current mechanism in handling corruption case focuses on capturing the
suspect, there should be a change to establish mindset to prioritize asset recovery.
15. The discussion also suggests several approaches on asset recovery namely, Non-
Conviction Based Asset Recovery and Bankruptcy. It is also important to note the draft
law on whistleblowing needs to be supported.
16. However, it should be taken into account that Indonesia does not have a mechanism on
trans-boundary insolvency.
17. Considering the fact that third party also enjoy the proceed of corruption, there is also a
need to adopt a law which criminalize and confiscate assets of third party.
18. One of the problems in asset recovery relies on the eagerness of public official to cope
with vast-capital owner.
1. There is a need to establish a task force within, in particular, Indonesian National Police
and Attorney General Office which mainly deal with asset-tracing and asset recovery
matters and can work with the investigators.
2. There is a need as well to improve capacity of the current investigator and proposed task
force on asset recovery.
3. It would be better if this Round Table Discussion does not establish a formal group on
asset recovery since it will create a bureaucratic problem. However an informal group of
stakeholders can be established.