Anda di halaman 1dari 3

Rentetan peristiwa perlawanan rakyat Palembang Darussalam terhadap Belanda , sejak peristiwa loji

Aur tahun 1811 , perlawanan terhadap Komisaris Muntinghe tahun 1819 ( istilah rakyat Palembang :
Perang Menteng ) dan terakhir ekspedisi Laksamana Laut Wolterbeek tidak satupun dimenangkan
oleh pihak Belanda . Kondisi - kondisi diatas itulah membuat Batavia maupun pusat kerajaan di
Belanda membuat suatu perhitungan tersendiri atas Palembang . Hampir dua tahun persiapan
perang dilakukan . Direncanakan sesempurna mungkin , baik strategi dan taktik , logistik , pasukan ,
persenjataan , persiapan pemerintahan serta yang terpenting senjata divide et impera .

A. Persiapan - Persiapan Menghadapi Peperangan

1. Persiapan Fihak Palembang

Setelah peperangan 1819 babak II berakhir dan merebut kemenangan yang gemilang , Palembang
bersiap diri kembali untuk menghadapi serangan balasan Belanda . Dari segi pemerintahan diadakan
perombakan - perombakan atas beberapa pimpinan Kesultanan . Putera Mahkota , Pangeran Ratu
diangkat dan dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Ahmad Najamuddin ( III ) pada bulan
Desember 1819 . Dari segi perekonomian , kehidupan Palembang mengalami kemakmuran . Harga
beras sangat murah , hanya harga garam sangat mahal , demikian tulisan naskah sejarah
Palembang . Hal ini dapat dimengerti , karena garam datangnya dari pulau Madura , Jalan
perdagangan ke Jawa , diblokade oleh Belanda di Selat Bangka . Hanya dengan keberanian pelaut
dari Lingga membawanya dari jalan - jalan lain masuk ke Palembang . Pelaut dan pedagang Sambas ,
Riau dan Melayu lainnya menggunakan jalur - jalur ini membawa barang dagangan dan senjata .
Mesiu dan peluru telah dapat diproduksi sendiri oleh Palembang . Tetapi untuk mempercepat dan
memperbanyak persediaan , juga diselundupkan dari kepulauan Riau . Keahlian membuat mesiu
diperoleh dari seorang Eropah yang pernah menjadi tawanan Muntinghe . Dia menyeberang ke
pihak Palembang dan memberi petunjuk pula tentang pembuatan meriam dan pelurunya .
Perombakan pimpinan pasukan diadakan , yaitu penggantian personalia dari perang 1819. Susunan
perobahan tersebut sebagai berikut :

1. Benteng Tambakbaya ( Plaju ) alih terima dari Pangeran Kramadiraja , karena sakit , kepada
Kramajaya ( menantu Susuhunan Mahmud Badaruddin II ) .

2. Benteng Pulau Kembaro , pimpinannya dialihkan dari Pangeran Suradilaga kepada Pangeran
Kramadilaga .

3. Benteng Manguntama ( benteng tambahan yang terletak kearah ilir yang terletak di Pulau
Kembaro , tetap dipimpin oleh Pangeran Wirasentika .

4. Benteng paling ujung Pulau Kembaro , terletak mengapung di sungai Musi , dipimpin oleh
Pangeran Ratu dari Jambi .

5. Benteng Manguntama , tetap sebagai Benteng komando , tempat kedudukan Sultan Ahmad
Najamuddin dan saudaranya

6. Benteng yang terbuat dari rakit , merupakan benteng terapung , yang terletak dibalik pagar /
cerucup ditempati oleh Cik Nauk , kepala suku Bugis dari Lingga .

7. Setiap benteng dibantu sepenuhnya oleh kepala - kepala dari pedalaman bersama rakyatnya . Juga
tidak ketinggalan keturunan Arab dan Cina penduduk kota Palembang .

Jumlah " pasukan " Palembang tidak ada catatan yang pasti , Karena apa yang disebut " pasukan "
Palembang pada saat itu adalah sukarelawan bukan militer secara reguler . Keadaan ini sesuai
dengan sistim Kesultanan yang secara tradisional hanya melaksanakan mobilisasi rakyatnya sewaktu
- waktu menghadapi serangan dari luar . - Radermacher , J.C.M. dalam tulisannya : Beshrijving van
het eiland Sumatra 1842 , menjelaskan " Raja tidak mempunyai tentara yang teratur ( yang
dinamakan Korps Grenadier juga termasuk disitu ) . Dalam keadaan darurat tiap orang menurut
kemampuannya harus menyerahkan sejumlah bawahannya untuk berperang . Demikian pula halnya
dalam armada laut , dimana para Pangeran dan pembesar masing masing harus melengkapi
beberapa perahu untuk itu " . Jumlah pasukan itu dapat diperkirakan dengan perhitungan dari
sistem pertahanan benteng , seperti yang ditulis oleh naskah tulisan tangan 1831 ( UBL - 9 ) . Yaitu
setiap Pangeran , Menteri , Tumenggung , Rangga , Ngabehi , Pasirah Perwatin Uluan dan seterusnya
untuk mengawasi satu meriam dan satu lela dibantu 40 orang pengikutnya . Dengan
memperbandingkan jumlah meriam dan lela sebanyak 383 pucuk , dapat diperkirakan jumlah
pasukan tersebut kurang lebih 7.500 sampai 8.000 orang . Hal ini sesuai pula dengan jumlah
penduduk oleh Palembang pada saat itu ( 1821 ) sejumlah kurang lebih 20.000 orang . Formasi
meriam ditempatkan sebagian besar di benteng antara pulau Kambaro dan Muara Plaju , sebanyak
kurang lebih 200 pucuk . Di Keraton Dalam sebanyak 110 pucuk dan sisanya bertebaran di benteng -
benteng kecil lainnya .

2. Persiapan - persiapan Fihak Belanda

Bagi Belanda , Palembang sudah merupakan ajang to be or not to be , untuk itu dengan segala daya
dan kemampuan yang ada, Mahmud Badaruddin II harus dilenyapkan dari Palembang . Segalanya
dipertaruhkan Belanda untuk menghadapinya . Persiapan harus betul - betul sempurna dan matang ,
agar segala pengalaman pahit dalam peperangan terdahulu tidak terulang lagi . Kesempatan baik
buat Belanda waktu itu ( 1819-1821 ) , tidak adanya pergolakan yang berarti di Nusantara . Hingga
konsentrasi pikiran dan tenaga dapat dipusatkan pada masalah Palembang . Dari pengalaman
Laksamana J.C. Wolterbeek di Palembang , maka armada laut yang harus dipergunakan adalah kapal
perang kelas menengah dan kecil . Perahu - perahu meriam dan perahu - perahu pendarat sangat
dibutuhkan . Kapal khusus untuk pencabut tiang ( kiellichter ) , untuk menerobos pagar sungai Musi
dipesan dari Negeri Belanda . Pasukan bangsa Eropa yang terlatih baik dan masih segar , lebih
dipercaya daripada pasukan pribumi . Dapat dilihat dari komposisi Angkatan Darat yang terdiri dari
1.679 orang , hanya terdiri dari 112 orang pasukan pribumi . Pasukan bangsa Eropa ini , sebahagian
besar diambil dari Legiun Asing di Eropa . Mendapatkan orang - orang Eropa ini mempunyai
kesempatan yang memungkinkan .

Hal ini disebabkan krisis ekonomi , akibat setelah perang Napoleon . Orang - orang Prancis , Swiss ,
Jerman , Waal dan Vlaam mudah direkrut . Mereka berpengalaman perang dengan cara Napoleon ,
tetapi tidak didaerah tropis . Pusat pengerahan tenaga ini ada di Harderwijk ( Belanda ) dan juga
Marseille ( Prancis ) . Mereka dikontrak 6 tahun dengan gaji 200 gulden buat bangsa Eropa bukan
Belanda , 300 gulden buat bangsa Belanda . Dengan kekuatan sepuluh kali lipat dari perang 1819
babak 1 ( Perang Menteng ) sudah merupakan senjata pisik yang ampuh . Belanda masih tetap
mengandalkan senjata mental yang ampuh , yaitu pemecah belahan kesatuan dan persatuan
Palembang . Untuk itu perlu diambil langkah - langkah sebagai berikut : 1. Saudara kandung
Mahmud Badaruddin II , yaitu bekas Sultan Husin Diauddin dibujuk dan digarap . Belanda
menjanjikan kedudukan Sultan buat puteranya tertua ( Prabu Anom ) dengan gelar Sultan Ahmad
Najamuddin ( IV ) . Sedangkan Husin Diauddin menjadi Susuhunan . Demikianlah seluruh kerabat
yang lain , khusus yang ikut dari tempat pembuangan di Cianjur . 2. Pangeran Ratu Jambi yang gagah
berani dan gigih dalam perang 1819 melawan Wolterbeek , digarap dengan suapan sebesar 2.000
uang Spanyol . Pangeran Ratu Jambi menolak bujukan ini . Dia tetap berpihak dengan Mahmud
Badaruddin II . 3. Pangeran Syarif Muhammad , keturunan Arab , ditugaskan untuk menggarap orang
- orang Arab yaang dekat Mahmud Badaruddin II untuk meninggalkannya dan berpaling kepada
Belanda . Demikian pula dengan orang - orang keturunan Cina yang dijanjikan keuntungan -
keuntungan . 4. Beberapa Pangeran dan pryai Palembang diadakan kontak kontak rahasia guna
ekspedisi 1821. Diupayakan rahasia rahasia pertahanan dan kekuatan Palembang dapat dibocorkan .
5. Pulau Bangka adalah pusat timah , merupakan sumber dana baik bagi Belanda maupun
Palembang . Secara legal Belanda memegang kendali administrasi dan operasi , secara illegal
Mahmud Badaruddin memegang pemasarannya lewat penyelundupan - penyundupan . Oleh karena
itu Bangka memegang posisi penting dalam ajang pertarungan Perang Palembang , selain
merupakan sumber dana juga buat Palembang , Bangka merupakan front depan sebelum memasuki
sungai Musi . Untuk itu Belanda menempatkan lebih dari 1.000 orang pasukan dengan kapal
peronda . Bantuan dari Raja Akil , pangeran Siak , yang kemudian menjadi Sultan di Sukadana
( Kalimantan Barat ) serta pangeran Prang Wedono dari Jawa Tengah , sangat membantu Belanda
dalam penumpasan perjuangan di pulau Bangka.

Anda mungkin juga menyukai