Anda di halaman 1dari 22

SITUS DAN

TOKOH PEJUANG
MELAYU RIAU
MASA KOLONIAL
BAB 4 Pembelajaran Budaya Melayu
Riau Kelas 6
TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Menjelaskan Sejarah 2. Menyebutkan Situs dan 3. Menyajikan Situs dan


Melayu Era Kolonial di Riau tokoh-tokoh pejuang Melayu tokoh-tokoh Pejuang Melayu
Riau Riau Era Kolonial
A. MASA KOLONIAL
Kolonialisme atau Penjajahan adalah suatu system di mana
suatu negara menguasai rakyat dan sumber negara lain tetapi
masih tetap berhubungan dengan negara asal, istilah ini juga
menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan
untuk melegitimasikan atau mempromosikan system ini,
terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih
hebat ketimbang yang dikolonikan ini.
Masa Kolonial Menjadi masa yang kelam bagi Masyarakat Riau. Penindasan
dan kekejaman Belanda dan Jepang menyebabkan peperangan dan
penderitaan. Berbagai perjuangan dilakukan untuk mengusir penjajah di
Bumi Riau.
1. Perang Reteh
Tengku Sulung adalah salah satu pejuang kemerdekaan yang melawan Kolonial
Belanda di daerah Reteh. Pasukan Reteh yang sudah siap tempur pada saat itu
diperkirakan berjumlah 800 orang. Pada tanggal 13 Oktober 1858, pasukan Tengku
Sulung dikepung oleh pasukan Belanda dari berbagai jurusan. Maka pada 7
November 1858, terjadilah pertempuran Besar antara pasukan Belanda dan pasukan
Reteh
2. Perang Guntung
Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, Siak juga punya catatan Sejarah
melawan Belanda di Pulau Guntung, sebuah pulau
kecil di muara sungai Siak. Perang tesebut dikenal
dengan Perang Guntung dan dipimpin oleh Sultan
Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah atau lebih
dikenal dengan nama Tengku Buang Asmara.
Tragedi kelam dialami Masyarakat Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu,
Riau, 5 Januari 1949. Saat itu Provinsi Riau belum terbentuk dan Rengat
berada dibawah Provinsi Sumatera Tengah. Dalam masa Agresi Belanda
II itu, ribuan nyawa masyarakat Rengat melayang saat Rengat diserbu
Belanda.

Hari Rabu, 5 Januari 1949 pagi, dua pesawat Belanda jenis Mustang

3. Tragedi dengan cocor merah di depannya terbang rendah dilangit Kota Rengat
yang baru diguyur hujan malam harinya.
Dua pesawat itu melayang-layang diantara kerumunan masyarakat yang

Rengat
akan memulai aktivitas. Sebelumnya sudah tersiar kabar bahwa tentara
Belanda akan menyerang Kota Rengat sebagai upaya merebut kembali
kekuasannya. Pesawat itu menjatuhkan bom.

Aksi dua pesawat Mustang yang mengebom setiap penjuru Rengat baru
berakhir pukul 09.45 Wib. Begitu Pesawat Mustang menghilang dari
langit Rengat, muncul kembali tujuh pesawat Dakota yang menerjunkan
ratusan pasukan baret merah Belanda atau sering disebut Korp Spesialie
Tropen (KST), pasukan terlatih Belanda yang telah mengikuti pelatihan
di Batu Jajar, Bandung. Pasukan ini diterjunkan di daerah Sekip yang
berawa-rawa dan selama ini tidak begitu terjaga oleh tentara Indonesia.
B. SITUS DAN TOKOH
PEJUANG
Situs peninggalan masa kolonial dan juga para tokoh pejung
yang telah mempertahankan tanah Melayu dari penjajah.
1. SITUS PENINGGALAN
MASA KOONIAL
a) Benteng Tujuh Lapis
b) Jiel Belanda Bengkalis
c) Tangsi Belanda Siak
BENTENG
TUJUH
LAPIS
JIEL BELANDA
BENGKALIS
TANGSI
BELANDA
SIAK
Tokoh Pejung Masa
Kolonial
a) Muhammad Abdul Jalil Muzaffar Syah
(Tengku Buang Asmara)
b) Sultan Syarif Kasim II
c) Tuanku Tambusai
MUHAMMAD ABDUL JALIL
MUZAFFAR SYAH (TENGKU
BUANG ASMARA)

Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam


Syah merupakan sultan kelima dalam turutan
sultan-sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura.
Baginda memerintah dari tahun 1780 sehingga
1782, menggantikan ayahandanya
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah. Pada masa
pemerintahannya dan pemerintah ayahandanya
Kerajaan Siak berkedudukan di Senapelan atau
Pekanbaru sekarang ini. Beliau pula pendiri
Bandaraya Pekanbaru dan mangkat dalam tahun
1782 dengan gelar yang disandangnya
adalah Marhum Pekan.
Apabila sultan Siak ke 2, Tengku Buang Asmara naik takhta, ia menjadikan
kemenakannya Tengku Muhammad Ali sebagai panglima besar. Kemungkinan itu
untuk meringankan kepedihan hatinya akibat mundurnya ayahanda Muhammad Ali,
Tengku Alam ke Johor setelah perselisihan yang terjadi antara keduanya. Jawatan ini
terus dipegang oleh Muhammad Ali sampai saatnya sepupunya, Sultan Ismail naik
tahta tahun 1760 menggantikan ayahandanya.

Ketika armada Belanda menyerang Mempura tahun 1761, armada perang Siak yang gagah berani dipimpin oleh panglima besar
Muhammad Ali. Belanda telah membuat persiapan dengan kapal perang besar. Askar Siak ditolak ke tepi bandar Mempura. Di sinilah
berlaku pertempuran habis-habisan dari pahlawan-pahlawan Siak. Armada Siak hanya menggunakan rakit berapi-api dan kapal-kapal
berisi ubat bedil dalam menghadapi Belanda. Walau bagaimanapun, semangat "jihad fi sabilillah" tidak reda. Dengan senjata yang
terhad, mereka berjaya menenggelamkan beberapa kapal Belanda. Belanda kewalahan dan mengeluarkan senjata terakhir mereka,
Tengku Alamuddin yang menghantar surat kepada Sultan Ismail dan anak lelakinya, panglima besar Muhammad Ali. Maka, demi
mendengar bahawa Tengku Alam berada di pihak Belanda, pertempuran pun dihentikan dan Sultan Ismail menyerahkan takhta pada
pamandanya itu berdasarkan wasiat dari ayahandanya dahulu. Muhammad Ali tetap mendampingi ayahandanya sebagai panglima besar
ketika beliau naik tahta beberapa hari selepas kemunduran sepupunya, Sultan Ismail tersebut.
Ketika ayahandanya, Sultan Alamuddin berpindah ke Senapelan untuk mengelakkan
pengaruh Belanda, Muhammad Ali turut serta. Senapelan berkembang pesat di bawah
kawalan Sultan Alamuddin, malah berjaya menutup perniagaan Belanda di Mempura.
Sultan Alamuddin mangkat di Senapelan pada tahun 1766 dan Tengku Muhammad Ali
naik takhta dengan gelaran Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah. Ia
meneruskan usaha ayahnya membina bandar Senapelan yang kemudiannya dikenal
sebagai Pekanbaru.[3] Bandar ini menjadi pusat perdagangan di hulu sungai Siak,
bahkan para saudagar dari Petapahan mulai berniaga ke Senapelan.

Namun pada tahun 1779 Sultan Ismail yang telah mengelana selama 18 tahun berjaya mengambil alih kedudukan
Yang Dipertuan Besar Siak daripada sepupunya Sultan Muhammad Ali, Muhammad Ali terpaksa berundur ke
Petapahan mencari perlindungan dari Syarif Bendahara, tetapi tidak dikabulkan. Akhirnya, dia kembali ke ibu kota
dan menyerah diri kepada sepupunya. Sultan Ismail lalu mengampuninya dan melantiknya menjadi Raja Muda.
Setelah tidak lagi menjadi sultan, Muhammad Ali lebih banyak berdiam di Senapelan dan memberi tumpuan kepada
pembangunan perdagangan di bandar tersebut [7]. Beliau kembali ke politik pada tahun 1781-1782 ketika dia dilantik
sebagai wali Sultan Yahya, kemenakannya yang memerintah sebelum dewasa menggantikan ayahnya Sultan Ismail.
Semasa ia menjabat sebagai sultan, Tengku Muhammad Ali melantik putera kepada saudarinya
Sayyid Ali sebagai panglima besar. Sayyid Ali merupakan putera Tengku Embung dan Sayyid
Usman, seorang keturunan Arab. Dia terus menemani pamannya dalam setiap keadaan, termasuk
ketika Muhammad Ali kehilangan kuasa atas takhta Siak dan menetap di Senapelan. Maka
apabila berlaku pertikaian antara Sayyid Ali dan Sultan Yahya, Muhammad Ali mengutamakan
keponakannya. Sayyid Ali yang lebih besar pengaruhnya sebagai panglima besar kerajaan berjaya
menyingkirkan Sultan Yahya yang dianggapnya kurang cakap dalam memimpin pemerintahan.

Sultan Yahya yang telah kehilangan kuasa akhirnya berundur ke Kampar,


kemudian Trengganu dan kemudian Dungun di Melaka. Ia wafat di Dungun
pada tahun 1784. Pada tahun itu juga, Sayyid Ali mendakwa takhta kerajaan
dengan gelaran Sultan Assayyidis Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin . Tengku
Muhammad Ali masih mendampingi sultan baru, khususnya dalam
mengawasi ekonomi kerajaan.
SULTAN SYARIF
KASIM II
•Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil
Saifuddin[3] atau Sultan Syarif Kasim II (1 Desember
1893 – 23 April 1968) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak.
Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun
menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Sultan Syarif
Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi dia
menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah
Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya
sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik (setara
dengan 151 juta gulden atau € 69 juta euro pada tahun
2011).[4] Bersama Sultan Serdang dia juga berusaha
membujuk raja-raja di Sumatra Timur lainnya untuk turut
memihak republik. Namanya kini diabadikan untuk
Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II dan
UIN SUSKA di Pekanbaru.
TUANKU
TAMBUSAI
Tuanku Tambusai lahir di Daludalu, sebuah
desa yang buberbatasan dengan Sumatera
Utara, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau.
yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak
sungai Rokan. Tuanku Tambusai memiliki
nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah
pulang haji, ia dikenal sebagai Tuanku Haji
Muhammad Saleh.
Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan Minangkabau, Tuanku Imam
Maulana Kali dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah (Rambah adalah
kecamatan yang berbatasan dengan bangun purba) dan merupakan seorang guru
agama Islam. Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan
kemudian menikah dengan perempuan setempat. Ibunya berasal dari nagari
Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan tradisi Minangkabau
yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.

Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya


ilmu bela diri, termasuk ketangkasan menunggang kuda, dan
tata cara bernegara.
Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke
Bonjol dan Rao di Sumatera Barat. Disana ia banyak belajar dengan
ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi, hingga dia mendapatkan gelar
fakih. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini
disebarkan pula di tanah kelahirannya. Disini ajarannya dengan cepat
diterima luas oleh masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut.
Semangatnya untuk menyebarkan dan melakukan pemurnian Islam.

Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di


Benteng Daludalu. Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal
pada tahun 1823. Tahun 1824, ia memimpin pasukan gabungan Daludalu,
Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing, dan Natal untuk melawan
Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.
Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga sering meminta bantuan pasukan dari
Batavia. Berkat kecerdikannya, Fort Amerongen sebuah benteng milik Belanda dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan
Belanda dapat direbut kembali walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga sekaligus
pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda ia digelari
“De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau
berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28
Desember 1838, benteng Daludalu jatuh ke tangan Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu-
sekutunya. Ia mengungsi dan wafat di Negeri Sembilan (sekarang Malaysia) pada tanggal 12 November 1882, Tuanku Tambusai pun
meneruskan hidup di kampung bernama Rasah, Seremban, Negeri Sembilan, (sekarang Malaysia) dan meninggal disana.

Karena jasa-jasanya yang pernah menentang kolonial Hindia Belanda,


pada tahun 1995 pemerintah mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.

Anda mungkin juga menyukai