net/publication/340087995
CITATIONS READS
2 691
2 authors, including:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Kongres Kebudayaan Desa: Membaca Desa Mengeja Ulang I-N-D-O-N-E-S-I-A View project
Tantangan Membangun Demokrasi yang Menyejahterakan, JURNAL DIALOG KEBIJAKAN PUBLIK- KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Rl View project
All content following this page was uploaded by Andreas Budi Widyanta on 22 March 2020.
Editor:
AB. Widyanta
Editor:
AB. Widyanta
Pracetak:
Retno Agustin
GS. Purwanto
Design Cover:
IB. Sakuntala
Tata Letak:
Suwasono
ISBN 978-979-3087-31-3
1. Gempa Bumi 2. Manajemen Bencana I. Judul
303.485.
D
alam beberapa tahun terakhir, berbagai bencana alam me
nerpa Indonesia. Silih berganti, tsunami, gempa bumi,
banjir, angin puting beliung, dan gunung meletus menerjang
negeri ini secara acak. Belum tuntasnya penanganan bencana alam
di suatu wilayah, bencana alam lain tak sabar mengkoyak belahan
wilayah Indonesia lainnya. Perjalanan sejarah negeri ini pun kian di
jejali dengan potret kelam penderitaan rakyat yang berlapis-lapis dan
berkepanjangan.
Meski diamuk bencana berulangkali, nampaknya bangsa kita
tetap tak bergeming untuk segera menata pola manajemen keben-
canaannya. Kedodoran demi kedodoran penanganan bencana selalu
berakhir dengan alasan pemakluman dan pembenaran. Lebih celaka
lagi, kisah sukses dan prestasilah yang justru diumbar di mimbar-
vi KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
mimbar pidato para pejabat. Hal itu kian menegaskan bahwa bangsa
ini memang bukanlah bangsa pembelajar, melainkan bangsa yang ge-
mar melakukan kebohongan publik.
Tak ada catatan dan pelajaran yang berarti dari bencana. Segala
sesuatunya menguap menjadi masa lalu yang tak pantas untuk di-
petik hikmahnya. Lantaran momentum dibiarkan lenyap, wajar saja
jika kesadaran dan akal sehat kembali tertidur lelap. Ancaman ben-
cana dianggap enteng, bahkan diabaikan. Jujur harus diakui, sebagai
bangsa kita memang sangat lemah dalam hal yang detail. Rupanya
bangsa ini memang tak pernah belajar dan menjadi pemetik hikmah
yang baik dari berbagai bencana yang terjadi. Bukankah kita bisa
bertindak benar karena belajar dari kesalahan? Lantas mengapa kita
tak mau jujur untuk mengakui kesalahan, sehingga kita bisa meme-
tik hikmah dan pelajaran yang berharga darinya, agar bisa bertindak
benar di kemudian hari?
Dua gugatan itulah yang mendorong sejumlah aktivis muda
untuk menuliskan tiga buah buku yang mengulas tentang catatan
penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Sejalan dengan
gugatan di atas, ada dua alasan mengapa mereka tergerak untuk
menulis ketiga buku tersebut: pertama, untuk mendokumentasikan
berbagai petikan pengalaman dan pelajaran berharga yang mereka
dapatkan dalam praksis penanganan bencana. Kedua, untuk menyu-
sun berbagai langkah konkrit yang mungkin ditempuh untuk per-
baikan dan pengembangan kualitas kerja-kerja bersama ke depan,
demi menegakkan keberpihakan kepada kaum lemah dan tertindas.
Kedua tujuan tersebut dituangkan ke dalam “Trilogi” buku gempa
berikut ini: Setelah Gempa 30 Juta SKalla Richter; Kisah Kisruh Di
Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-
Jateng 27 Mei 2006; dan Apa Kabar Yogya, Lama Tak Gempa.
Buku pertama yang berjudul Setelah Gempa 30 Juta SKalla
Richter, mengulas secara satir atas kronologi penanganan bencana
gempa bumi Yogya-Jateng oleh pemerintah. Diawali dengan pa-
paran mengenai bencana alam gempa bumi berikut data korban
CATATAN PENERBIT vii
Publish or Perish:
Pelajaran Berharga dari Bencana
AB.Widyanta
Pengantar
Publish dunk! Begitu bunyi sebuah SMS (short message service)
super pendek dari seorang kawan, pada suatu sore. Sesaat membaca
pesan pendek itu, sebuah SMS dari seorang kawan lainnya merang-
sek masuk. “Aku masih di lapangan, tapi siap bergabung di perte-
muan nanti malam, Kang!”, demikian bunyi SMS menyiratkan antu-
siasme pengirimnya. Selang sekian detik inbox messages ditutup, HP
tiba-tiba berbunyi. Begitu tut dial dipencet, dari seberang telepon
terdengar seorang kawan yang lainnya lagi. Di sela-sela tawanya yang
lepas, terselip apresiasi pendek, “Aku senang menerima SMS yang
lugas, tegas, dan menantang seperti ini. Dengan senang hati aku pas-
ti datang, Lik! Sampai ketemu nanti malam”, tegas kawan tersebut
menutup pembicaraannya. Menit-menit menjelang petang terkirim
KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
juga sangat dekat dengan fenomena kelelahan psiko-sosial para pekerja kemanusiaan.
Awalnya, istilah ini muncul pada tahun 1992, dalam tulisan Joinson (di sebuah majalah
keperawatan) maupun dalam buku Jeffrey Kottler yang berjudul Compassionate Therapy.
Keduanya menengarai sebuah gejala dengan mengajukan sebuah pertanyaan berikut:
bagaimana dan mengapa para pekerja yang bergelut di bidang pelayanan kesehatan
dan sosial kehilangan rasa simpati yang mendalam (compassion) atas penderitaan
dan ketidakberuntungan orang-orang lain yang mereka layani. Indikator penting
dari Compassion Fatigue ini muncul ketika para pekerja itu tak lagi berkemauan kuat
(lembek, loyo, tidak lagi berpegang pada mandat dan komitmen) untuk meringankan
rasa sakit/penderitaan maupun menghilangkan akar penyebab dari penderitaan
tersebut. Untuk uraian lebih lanjut baca Charles R. Figley, Ph.D, Compassion Fatigue:
An Introduction dalam www.greencross.org
2. Berdasarkan hasil pelacakan Eugene Garfield, credo “publish or perish” yang sangat
terkenal ini, muncul pertama kali dalam tulisan Logan Wilson berjudul The Academic
PENDAHULUAN
Man: A Study in Sociology of a Profession (New York: Oxford University Press, 1942).
Dalam bab berjudul Prestige and the Research Function, Wilson menyatakan bahwa: “The
prevailing pragmatism forced upon the academic group is that one must write something and
get it into print. Situational imperatives dictate a ‘publish or perish’ credo within the ranks”.
Namun Garfield meragukan bahwa frase “publish and perish” itu adalah istilah yang
orisinil dari Wilson sendiri. Setelah dilacak lebih lanjut, Garfield menduga bahwa
istilah itu muncul dari guru Wilson, seorang sosiolog di era sebelum Perang Dunia
II, Robert K. Merton. Garfield menegaskan: “Merton and others familiar with pre-war
academy believe that “publish or perish” was a term in fairly common usage at the time. Baca
lebih lanjut dalam Eugene Garfield, What Is The Primordial Reference For The Phrase
‘Publish Or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10, 1996.
3. Hasil Draf Rencana Aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana tersebut bisa
dibaca di Halaman Lampiran buku ini.
PENDAHULUAN
orang atau kelompok yang terkategorikan berada di tingkatan dan tataran inferior,
yang disebabkan oleh karena ras, kelas, gender, orientasi seks, etnis, agama dan lain
sebagainya. Dalam perkembangannya, istilah subaltern ini kadang diterapkan juga
pada cara pandang dan pendekatan yang lebih luas lagi. Kajian subaltern ini misalnya
lebih menekankan pada keutamaan untuk membeberkan sejarah dari bawah (akar
rumput), dan lebih memusatkan perhatian lebih pada apa yang terjadi dan dialami
oleh massa rakyat di tingkat akar rumput ketimbang kaum elitnya. Baca lebih jauh
dalam “http://en.wikipedia.org/wiki/Subaltern_Studies”
7. Notulensi pertemuan Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli
2006. Untuk mengetahui poin-poin penting dalam Rancangan Code of Conduct
12 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
Penanganan Pasca Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng, baca lebih jauh di halaman
lampiran buku ini.
8. Baca Batal 30 Juta, Tuntut Minta Maaf dalam Buletin Suara Korban Bencana, Edisi
Susulan ke 7, 1 Agustus 2006, hlm.4-5.
PENDAHULUAN 13
sipil, namun itu toh hanya berskala kecil, sporadis, dan tak terpadu.
Dalam situasi seperti itu, posisi tawar (bargaining position) mereka
tak cukup memadai untuk merubah keadaan. Merasakan kepriha-
tinannya meradang, beberapa kawan eks-RKMSY tetap berupaya
keras untuk menghidupi harapan yang telah ada. Dengan sisa-sisa
harapan itu, kawan-kawan secara rutin menggelar pertemuan setiap
Senin sore. Selepas mendampingi masyarakat di wilayah masing-ma-
sing, mereka selalu berkumpul di tempat lahirnya RKMSY, yaitu
di Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-UGM. Salah satu
proponen RKMSY, Mas Susetiawan, sosok intelektual gaek yang
bersemangat muda, merelakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk
menjadi sparing partner yang setia dalam diskusi kawan-kawan. Jika
meminjam petuah Ki Hajar Dewantara tentang laku seorang pendi-
dik yang musti selalu ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa,
tutwuri handayani, maka Mas Susetiawan inilah sosok riilnya. Lanta-
ran pertemuan selalu diadakan setiap hari Senin, maka sejak itulah
kelompok ini mendapat julukan Forum Senenan, sekadar identitas
pengenal saja.
9. Black campaign ini biasanya dilakukan karena ada kepentingan tersembunyi dari
pelakunya. Misalnya, rebutan akses resources/funding menggiring LSM ke persaingan
yang tidak sehat. Antar LSM berupaya mengunggulkan namanya dengan cara
menyebar gosip yang menjelek-jelekkan pihak lain. Dalam konteks ini, kiranya benar
pepatah jawa yang menuturkan dahwen ati open. Pepatah itu secara harafiah berarti
demikian: Perasaan iri karena tidak berhasil memiliki, membuat orang jadi dengki
dan suka omongkan kejelekan pihak lain yang jadi rivalnya. Terkait dengan urusan
“dapur” ini memang cukup menentukan pilihan pendekatan, program, strategi,
metode pengorganisiran di lapangan. Di sini, godaan pragmatisme sering dihadapi
LSM, yaitu bagaimana caranya untuk “menghemat” dana agar dapur tetap ngebul.
Dalam konteks seperti ini, warga korban bencana lagi-lagi terkorbankan haknya.
Warga korban menjadi prioritas kedua, terkalahkan oleh kepentingan LSM itu
sendiri.
16 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
10. Secara umum dan mendasar, LSM di Indonesia memang masih memiliki banyak
kelemahan dan keterbatasan seperti: kurangnya dana, tingginya keterantungan pada
donor, rendahnya tingkat efisiensi manajerial dan kredibilitas sosial, rendahnya
profesionalisme, tingginya bias yang terjadi di LSM, dan lain-lain. Beberapa catatan
tentang kelemahan dan keterbatasan LSM ini baca Suharko, Merajut Demokrasi,
Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-
2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.115-120. Bandingkan Binny Buchori, Peta
Permasalahan LSM dalam Kompas, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan,
Jakarta: Kompas, 2004, hlm.3-16.
11. Situasi ini memang menjadi dilema bagi banyak LSM lokal. Sebagian besar dari
mereka masih berpegang pada keyakinan dan komitmen bahwa untuk memfasilitasi,
menganimasi, dan gerak pemberdayaan masyarakat tak selalu butuh dana yang besar.
Celakanya, dalam situasi pasca bencana, warga korban bencana memiliki logika sendiri
PENDAHULUAN 17
yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan itu. Banyak kasus menunjukkan,
LSM lokal ditolak warga lantaran tidak membawa bantuan yang “riil”. LSM yang
tidak membawa bantuan diharap menyingkir. Harus diakui, derasnya kucuran dana
bantuan dari donor pasca bencana berpotensi menciptakan ketergantungan, baik
bagi LSM sendiri maupun warga masyarakat.
12. Ancaman dari ketergantungan pada bantuan ini telah diuraikan secara gamblang dan
detail oleh penulis Jerman, Erler. Ada anekdot satir tentang itu: Ambilah proyek ini!
Bukankah orang sulit membuktikan bahwa ia telah membawa dampak negatif. Baca
Brigitte Erler, Bantuan Mematikan, Catatan Lapangan tentang Bantuan Asing; Jakarta:
LP3ES, hlm. 28.
13. Terkait dengan relasi yang asimetris dan timpang ini, baca Suharko, Merajut Demokrasi,
Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-
2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.119-120.
14. Ada banyak kasus lain tentang pemaksaan oleh lembaga donor ini. Sejumlah
donor memaksakan kepada LSM lokal untuk menyalurkan bantuan karitatif pasca
emergensi, yang menurut kalangan LSM lokal itu sendiri sesungguhnya tidak
18 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
mendidik warga. Ada donor yang memaksakan untuk menyalurkan bantuan bukan
kepada warga miskin namun kepada industri-industri kelas menengah dengan alasan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (GDP). Ada juga donor yang
sengaja menuntut prasyarat yang cukup memberatkan warga. Semisal terkait dengan
pengucuran dana bantuan untuk industri kerajinan, lembaga donor menuntut bahwa
design handycraft warga tersebut harus diserahkan dan menjadi hak milik lembaga
donor. Contoh lainnya, sebuah lembaga donor dari Jerman (sekaligus implementator
di daerah Klaten) tetap memaksakan pendekatan yang tidak tepat dalam penyaluran
bantuan. Meski telah menimbulkan konflik horisontal di masyarakat, seorang
wakil dari lembaga donor itu dengan pongahnya mengatakan bahwa: “Kami sudah
berupaya membantu. Tidak ada yang salah dengan bantuan yang telah kami serahkan
kepada warga. Jika bantuan yang telah kami serahkan itu akhirnya bermasalah (tidak
merata/menimbulkan konflik), maka itu urusan warga dan bukan urusan kami.”
Jawaban semacam ini bisa dibaca sebagai fenomena ketidakpedulian lembaga donor
asing terhadap warga korban bencana. Terkait dengan bantuan yang menjerat
warga, baca Basilica D. Putranti dan Y. Tri Subagya, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi,
Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK UGM dan
Ford Foundation, 2005.
15. Dalam bingkai oto-kritik, di kalangan aktivis LSM sendiri muncul istilah “LSM
kurir” (delivery NGO) untuk melukiskan peran LSM lokal yang terkesan lalu lalang,
sekadar menjadi pengirim bantuan dari donor kepada warga. Fenomena ini banyak
dijumpai terutama pada masa emergensi.
16. Muncul banyak godaan bagi LSM untuk bias donor dan menjauh dari konstituen
(warga masyarakat). Tanpa sadar, LSM “tergoda” untuk lebih “mengabdi” lembaga
donor ketimbang warga. Dari sudut pandang semiotik, baca Zaim Zaidi, As’as
PENDAHULUAN 19
Nugroho, dan Hamid Abidin, Merebut Hati Lembaga Donor, Kiat Sukses Pengembangan
Program, Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis;
Jakarta:Piramedia, 2004.
17. Pepatah milik nggendong lali ini secara harafiah berarti barang siapa yang menyimpan
hasrat, niat dan maksud ingin memiliki, maka ia akan melupakan berbagai nilai
keutamaan dalam hidup. Tujuan hidup yang mulia bisa terkorbankan oleh karena
hasrat ingin memiliki tersebut. Dalam konteks penanganan bencana, nafsu besar
LSM untuk meraup keuntungan dari dana bantuan niscaya akan menghilangkan
komitmen dan keberpihakannya kepada warga korban bencana.
18. Menurut John Clark, masalah petangungjawaban keuangan ini telah ditengarai
sebagai salah satu kelemahan LSM. Baca John Clark, NGO dan Pembangunan
Demokrasi; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995, hlm.78-79. Bandingkan dengan persoalan
korupsi di LSM dalam Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana,
hlm.116.
20 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
itu semakin asimetris dan timpang. Baik warga maupun LSM sema-
kin tersubordinasi dan tergantung kepada donor. Hal itu tentu saja
menjadi kendala bagi tumbuhnya gerakan kemandirian masyarakat.
Itulah tantangan bagi kiprah LSM dan berbagai elemen masyarakat
sipil ke depan. Waktunya bagi seluruh kalangan masyarakat untuk
memaknai bencana sebagai momentum perubahan menuju ke situ-
asi yang lebih baik.
19. Menurut Eldrige (1995:38), orientasi dasar LSM di antaranya adalah: (1). Memperkuat
kelompok masyarakat sebagai basis pembentukan masyarakat yang sehat, dan sebagai
kekuatan pengimbang terhadap kekuasaan pemerintah; (2). Mencari strategi baru
untuk menghadapi kebutuhan sosial yang terus berubah, dan untuk menghadapi
kemunculan kelompok lemah dan miskin; (3). Berkomitmen kuat pada cita-cita
partisipasi rakyat dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan program.
Uraian ini dikutip dari Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana,
hlm.115.
22 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
20.Terkait dengan Kode Etik Penanganan Bencana oleh kalangan ormas dan LSM
di Yogya, kita bisa merujuk dan membandingkan dengan gagasan Kode Etik bagi
LSM yang pernah muncul di Indonesia. Tujuan dari gagasan ini adalah mewujudkan
LSM Indonesia yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan etikal, sehingga
kepercayaan pihak luar (pemerintah, swasta, donor, serta publik yang lebih luas)
terhadap integritas komunitas LSM semakin meningkat. Baca Tim Fasilitasi LP3ES
untuk Kode Etik, Mengapa LSM Membutuhkan Kode Etik? dalam Hamid Abidin &
Mimin Rukmini (edt), Kritik & Otokritik LSM, Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan
Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: Piramedia; 2004, hlm 157-179.
PENDAHULUAN 25
akar rumput. Lebih jauh, jika menimbang kembali kultur LSM Yog
yakarta yang memang bertumbuh dari spirit gerakan dan pikiran
yang terbuka (open mind), maka penguatan koordinasi antar LSM
itu bisa terwujud dan bisa menginspirasi gerakan serupa di berbagai
wilayah lain di Indonesia. Bermodalkan pikiran yang terbuka itu,
mereka mudah menyadari atas kelemahan dan kekurangannya, hing-
ga mudah tergerak pula untuk segera berbenah dan belajar memper-
baiki kelemahan dan kesalahan itu secara bersama-sama.
Keempat, Munculnya kesadaran baru tentang penguatan jeja
ring (networks) masyarakat sipil di Yogyakarta. Terkait erat dengan
kepedulian kalangan LSM dalam koordinasi di atas, penguatan jeja
ring masyarakat sipil ini pada dasarnya merupakan agenda lanjutan
yang tak terpisahkan. Hanya saja lingkup dan cakupan jejaring ini
jauh lebih luas lagi. Cakupannya bukan hanya kalangan LSM saja,
melainkan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya (ormas, organ-
isasi berbasis komunitas, partai, pelaku bisnis, dan lain sebagainya).
Kelima, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya penguat
an kembali secara lebih intensif atas praksis-praksis pemberdayaan
masyarakat pasca bencana. Sangat disadari, bencana telah merubah
tatanan fisik, sosial, dan budaya masyarakat secara radikal dan mas-
sif. Jika perubahan itu tidak dikawal dan dimonitoring secara inten-
sif maka bisa dipastikan berbagai dampak negatif dari bantuan akan
segera menggumpal menjadi sistem dan tatanan sosial dan budaya
baru yang tidak sehat. Berbagai residu dan ekses sosial yang negatif
dari bantuan (terutama bantuan asing) harus ditangani dan dikorek
si segera melalui intervensi penyadaran publik. Penggalian kembali
atas keutamaan nilai-nilai tradisi, pengetahuan, dan kearifan lo-
kal pun perlu diprioritaskan dalam kerja-kerja praksis penyadaran
publik di komunitas akar rumput tersebut. Dengan menggunakan
pendekatan yang partisipatoris, kendali perubahan sosial dan bu-
daya pasca bencana bisa dipegang dan digerakkan bersama-sama
melalui sinergi kekuatan jejaring masyarakat sipil yang ada. Dengan
kata lain, perubahan radikal dan massif akibat bencana itu harus di-
26 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
22. Mengenai penisbian modal sosial ini, baca lebih lanjut AB. Widyanta, Modal Sosial:
Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam Governance Kebencanaan (Belajar
Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai, Governance
Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm 96-116.
PENDAHULUAN 29
24. AB. Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam
Governance Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya-Jateng)
dalam Jurnal Renai, Governance Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm.114
32 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
Daftar Pustaka
Abidin, Hamid & Rukmini, Mimin (edt), 2004; Kritik & Otokritik
LSM, Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya
Masyarakat Indonesia, Jakarta: Piramedia;
Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Susulan ke 7, 1 Agustus 2006
Clark John, 1995, NGO dan Pembangunan Demokrasi; Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Draf Rencana Aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana
Erler, Brigitte, 1989, Bantuan Mematikan, Catatan Lapangan tentang Bantuan
Asing; Jakarta: LP3ES.
Eugene Garfield, 199, What Is The Primordial Reference For The Phrase ‘Publish
Or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10,
Figley, Charles R. Ph.D, Compassion Fatigue: An Introduction dalam www.
greencross.org
Fukuyama, Francis, 2005, Guncangan Besar (terjemahan bahasa Indonesia
oleh Masri Maris), Jakarta: Gramedia.
Jary, David & Jary, Julia, 1991, Collins Disctionary of Sociology, Great Britain:
Harper Collins.
Kompas, 2004, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan; Jakarta:
Kompas
Kuper, Adam & Kuper, Jessica, 2000, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta:
Rajawali Press
Notulensi Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli 2006
tentang Rancangan Code of Conduct Penanganan Pasca Bencana
Gempa Bumi Yogya-Jateng.
Putranti, Basilica D. & Subagya, Y. Tri, 2005, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi,
Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta:
PSKK UGM dan Ford Foundation.
Suharko, 2005, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta:
Tiara Wacana
Zaidi, Zaim; Nugroho, As’ad; Abidin, Hamid, 2004, Merebut Hati Lembaga
Donor, Kiat Sukses Pengembangan Program, Manual dan Panduan Menyusun
Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis; Jakarta:Piramedia.
Kisah Rumah di Tanah Gempa
Napak Tilas Tradisi Membangun
Rumah Tradisional Jawa1
AB. Widyanta2
1. Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan berjudul Rumah Punya Sejarah,
Napak Tilas Pembangunan Rumah Tradisional Jawa. Tulisan yang pernah dimuat
287
288 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
K
osa kata “tahan gempa” mendadak nge-pop di masyarakat
Yogya dan Jateng pasca gempa 27 Mei 2006. Simaklah
bagaimana masyarakat menggunakan kosa kata itu dalam
berbagai kesempatan. Mulai dari rasanan warga di angkringan, per
bincangan warga di gardu ronda, rapat RT, rembug desa, hingga
rapat kedinasan di kantor-kantor pemerintah, kata itu nyaris tak
pernah absen. Memasuki masa rekonstruksi, kosa kata itu kian
santer diperbincangkan. Sebutan rumah “tahan gempa”, bangunan
“tahan gempa”, konstruksi “tahan gempa”, dan semacamnya semakin
familiar di telinga khalayak. Berbagai media masa (cetak dan elek
tronik) pun tak luput memakai kosa kata itu dalam berragam
pemberitaannya. Iklan-iklan layanan masyarakat dan advertensi
komersial ternyata juga tak mau kalah untuk itu. Entah mengapa,
kosa kata rumah “tahan gempa” sangat populer di kawasan Yogya
dan Jateng. Hingga kelatahan pun tak terelakkan. Seakan tak afdol
tanpa menyebutnya.
Memang, propaganda rumah “tahan gempa” diam-diam te
ngah menjadi aktivitas yang acap tak disadari dampaknya oleh
3. Pemberitaaan satir mengenai Rumah Contoh Tahan Gempa ini pernah muncul
dalam Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke-20, 1 November 2006, hlm.2.
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 291
Tidaklah masuk di akal saja jika rumah yang baru kemarin sore
dibangun sudah disebut, bahkan lebih celaka lagi dipropagandakan,
sebagai rumah tahan gempa. Bukankah itu merupakan sebutan
yang nggege mongso, prematur, dan terlalu dini untuk dimunculkan
(lantaran kualitas belum teruji oleh gempa sungguhan)? Sebutan itu
sendiri sebenarnya masih berkadar “harapan”, dan bukan realitas
yang mengandung kualitas (tahan gempa) yang senyatanya.
Pembacaan atas fenomena “Rumah Tahan Gempa” sebagai
sekadar harapan dan bukan realitas itu lebih jauh bisa dianalogikan
dengan kasus berikut. Tatkala ada orang tua menamai anak lelakinya
yang baru lahir dengan nama Joko Prakoso, itu berarti si orang tua
berkeinginan agar anaknya kelak bisa menjadi sosok yang sesuai
dengan makna yang terkandung dalam nama tersebut. Dalam bahasa
Jawa, joko berarti anak laki-laki. Sementara, prakoso berarti gagah,
kuat, dan perkasa. Dengan demikian, tatkala memilih dan memberi
nama kepada anaknya yang baru lahir itu, si orang tua pastilah tengah
menyemai harapan agar kelak di kemudian hari anak tersebut bisa
tumbuh dan dewasa sebagai seorang lelaki yang senantiasa sehat,
kuat, gagah, dan perkasa layaknya Bima.4 Tapi benarkah si anak itu
senyatanya akan menjadi lelaki yang gagah, kuat dan perkasa? Realitas
kadang tak seturut harapan. Acap kali harapan yang dititipkan dalam
sebutan nama tak senantiasa menunjuk pada kualitas makna atau sifat
baik dari realitas yang sesungguhnya. Contoh analogi ini kiranya bisa
menjelaskan argumen bahwa merebaknya fenomena “Rumah Tahan
Gempa” adalah fenomena tentang idealisasi harapan. Lantaran di
propagandakan dan didesakkan seolah-olah sebagai realitas, maka
sejak itulah muncul konsep yang lazim disebut sebagai jargon.
Jika sekadar jargon, maka berarti propaganda kepalsuan
tengah berlangsung. Label “Rumah Contoh Tahan Gempa” di atas
benar-benar kebenaran palsu. Memang, sudah teramat lazim dalam
4. Bima yang merupakan nama lain dari Wijaksena, alias Werkudoro, ayahanda
Gatotkaca, adalah salah seorang tokoh dalam pewayangan yang menggambarkan
seorang ksatria berperawakan besar, gagah, dan perkasa.
292 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
5. Di area tanah seluas 2,5 hektar, sebanyak 81 rumah dome didirikan dengan rincian 73
rumah tinggal, 2 masjid, 6 MCK. Menurut kalkulasi mereka, biaya pembangunan rumah
dome ini berbiaya di bawah 15 juta. Namun biaya paling besar dalam pembangunan
rumah dome ini adalah biaya pengadaan balon untuk mempola bangunan parabola
tersebut. Balon-balon tersebut didatangkan dari Amerika Serikat. Konon rumah
Dome ini oleh donatur pernah dibangun di beberapa negara seperti Kenya, India,
Thailand, dan Chili. Menurut seorang nara sumber, rencana awalnya rumah Dome
ini akan dibangun di wilayah Bantul. Lantaran Bupati Bantul tidak mengijinkan dan
bahkan menolak mentah-mentah, maka bermigrasilah rumah Dome ini ke wilayah
yang lebih mudah diajak “kompromi”, Sleman. Konon, “pembawa” rumah Dome ini
adalah seorang mantan menteri di era kabinet Abdurahman Wahid (Gus Dur).
6. Sebuah ungkapan ironis muncul dari Bupati Sleman. Secara khusus Sang Bupati
justru merasa beruntung lantaran Sleman memiliki rumah-rumah dome ini. Secara
panjang lebar ia mengungkapkan: “Dengan bentuknya yang unik bisa saja rumah dome
tersebut menjadi monumen peristiwa gempa 27 Mei, serta menjadi aset wisata yang
menarik untuk dikunjungi wisatawan. Kawasan itu juga bakal menjadi situs budaya
yang mengingatkan kita akan semangat hidup dan semangat gotong royong.” Dikutip
dari Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage 27 Mei 2007, hlm.3
294 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
7. Sub judul ini merupakan terjemahan dari pendapat Samijo (64 tahun) yang
mengatakan: “Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa”. Kutipan diambil dari
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke 23, 22 November 2006, hlm.2.
8. Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Lebaran 25 Oktober 2006, hlm. 2.
9. Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-22, 15 November 2006, hlm.2.
298 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
Saya dan seluruh keluarga sudah berada di luar sehingga bisa melihat
rumah ini berayun-ayun. Padahal pada waktu kejadian itu sepertinya
sudah mau roboh ke utara, tapi ya nggak jadi.
“Bangunan tahan gempa seperti ilalang. Sifat ilalang yang ringan dan
fleksibel menyebabkan tanaman ini tak akan tercerabut dari akarnya
walau diterpa angin kencang. Kunci untuk membuat struktur
bangunan yang fleksibel terhadap gaya gempa terletak pada sistem
sambungan ductile atau sambungan yang mampu berdeformasi besar
tanpa harus berkurang kekuatannya.”
13. Yuskar Lase, dalam National Geographic April 2006, hasil wawancara Evawani
Ellisa, Teknologi Gempa Bumi, hlm. 77)
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 301
Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa (segala sesuatu itu tak ada
yang tahan gempa). Hanya saja rumah yang terbuat dari kayu lebih
aman ketika terjadi gempa, karena penghuninya masih memiliki
cukup waktu untuk menyelamatkan diri. Kalau pun ada penghuni
yang terjebak, menyelamatkannya juga lebih mudah, karena kayu
kan ringan.”
14. Uraian ini dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22
November 2006, hlm.2.
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 303
15. Living with Risk: A Global View of Disaster Reduction Initiatives; Geneva: UN
International Strategy for Disaster Reduction, 2002.
304 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
Pondasi
Meski pondasi tidak dikenal oleh kultur rumah Jawa (dan ber
bagai suku (tribes) di Indonesia), namun pada suatu titik sejarah,
kultur pondasi ini juga mulai muncul dan diadopsi oleh orang
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 309
Dinding Tembok
Serupa dengan pondasi, tradisi rumah Jawa tidak mengenal
adanya dinding bebatuan kokoh semacam itu. Dinding bebatuan
yang juga dikenalkan oleh para saudagar dan kaum kolonial itu pada
awalnya terbuat dari pecahan-pecahan batu alam yang kemudian
ditata vertikal untuk menopang struktur kerangka atap yang berat.
Dalam perkembangannya, karena langkanya bebatuan, material
bebatuan itu bergeser ke material batu-batu yang dicetak dari ta
nah liat dan dibakar terlebih dulu. Kultur tembikar semacam ini
diperkenalkan oleh para saudagar Cina, yang mana di wilayah Cina
sendiri material semacam itu digunakan untuk membangun benteng
kokoh pertahanan di kompleks kerajaan. Karenanya dinding ini
menjadi elemen utama kedua setelah pondasi.
Atap Genting
Tak berbeda dengan kedua elemen di atas, atap genting me
rupakan elemen utama ketiga yang diperkenalkan kepada masya
310 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA
Jendela
Jendela tidak dikenal oleh kultur Jawa. Kita tidak punya kon
sep “melubangi” dinding. Bila ada bukaan pun itu terjadi karena
kita membiarkan bidang yang dibingkai rangka dinding itu terbuka.
Bangunan Jawa modern menggunakan konsep jendela karena
mengadopsi kultur dinding dari luar. Istilah “jendela” ini sendiri
berasal dari Bahasa Portugis.
Tak terelakkannya difusi kebudayaan baru dengan kultur
masyarakat Jawa itu tentu saja membawa berbagai implikasi yang
perlu diurai lebih jauh. Namun ada satu hal mendasar yang perlu
dicatat bahwa pada prinsipnya, semua kultur yang ada di dunia
ini muncul dari rasionalisasi seting kehidupan masyarakat yang
kontekstual. Kultur nenek moyang orang Jawa dilatarbelakangi
oleh kondisi alam yang tentu saja teramat berbeda dengan Cina dan
Eropa.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
UN International Strategy for Disaster Reduction, Living with Risk:
A Global View of Disaster Reduction Initiatives; Geneva: UN
International Strategy for Disaster Reduction, 2002.
Mangun Wijaya, Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan ; Jakarta:
Gramedia, 1981
Buletin
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke-20, 1 November
2006
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-22, 15 November
2006
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22 November
2006
Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Lebaran 25 Oktober 2006
Koran
Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage 27 Mei 2007
Majalah
National Geographic April 2006 (Teknologi Gempa Bumi)
Website
www.suarakorbanbencana.org