Anda di halaman 1dari 73

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340087995

Kisah Kisruh di Tanah Gempa: Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi


Yogya-Jateng 27 Mei 2006

Book · August 2007

CITATIONS READS

2 691

2 authors, including:

Andreas Budi Widyanta


Universitas Gadjah Mada
50 PUBLICATIONS 51 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Kongres Kebudayaan Desa: Membaca Desa Mengeja Ulang I-N-D-O-N-E-S-I-A View project

Tantangan Membangun Demokrasi yang Menyejahterakan, JURNAL DIALOG KEBIJAKAN PUBLIK- KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA Rl View project

All content following this page was uploaded by Andreas Budi Widyanta on 22 March 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


. ,.+r'.'
r Ll G
-,*1 *r
F
-
G
rg
a
!a
=
o
E
.=
t
lrl
L
a *T
A6; rrp
#s{}
'' .-;;
-
. ;'1f... n- oo
; .. "f rq
6 aot"\
N
V lrt {th
Kisah Kisruh di Tanah Gempa
Catatan Penanganan Bencana
Gempa Bumi Yogya - Jateng 27 Mei 2006
Kisah Kisruh di Tanah Gempa
Catatan Penanganan Bencana
Gempa Bumi Yogya - Jateng 27 Mei 2006

Editor:
AB. Widyanta

Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas


Yogyakarta
2007
Diterbitkan Pertama Kali, Agustus 2007
Oleh Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas
Jl. Pangkur No.19 Ganjuran, Manukan Rt 02/Rw03, Condongcatur
Depok, Sleman, Yogyakarta 55281-INDONESIA
Ph.:+62 274-889611; Ph./Fax.: +62 274-889612
Email:ciregs@indosat.net.id
Copyright © 2007 Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas

Editor:
AB. Widyanta

Pracetak:
Retno Agustin
GS. Purwanto

Design Cover:
IB. Sakuntala

Tata Letak:
Suwasono

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Widyanta, AB.
Kisah Kisruh di Tanah Gempa: Catatan Penanganan Bencana
Gempa Bumi Yogya-Jateng 27 Mei 2006/ AB.Widyanta–
Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2007.

xxix + 573 hlm; 14,5 x 21 cm

ISBN 978-979-3087-31-3
1. Gempa Bumi 2. Manajemen Bencana I. Judul
303.485.

Dicetak oleh CPRC Yogyakarta 2006


Catatan Penerbit

D
alam beberapa tahun terakhir, berbagai bencana alam me­
nerpa Indonesia. Silih berganti, tsunami, gempa bumi,
banjir, angin puting beliung, dan gunung meletus menerjang
negeri ini secara acak. Belum tuntasnya penanganan bencana alam
di suatu wilayah, bencana alam lain tak sabar mengkoyak belahan
wilayah Indonesia lainnya. Perjalanan sejarah negeri ini pun kian di­
jejali dengan potret kelam penderitaan rakyat yang berlapis-lapis dan
berkepanjangan.
Meski diamuk bencana berulangkali, nampaknya bangsa kita
tetap tak bergeming untuk segera menata pola manajemen keben-
canaannya. Kedodoran demi kedodoran penanganan bencana selalu
berakhir dengan alasan pemakluman dan pembenaran. Lebih celaka
lagi, kisah sukses dan prestasilah yang justru diumbar di mimbar-


vi KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

mimbar pidato para pejabat. Hal itu kian menegaskan bahwa bangsa
ini memang bukanlah bangsa pembelajar, melainkan bangsa yang ge-
mar melakukan kebohongan publik.
Tak ada catatan dan pelajaran yang berarti dari bencana. Segala
sesuatunya menguap menjadi masa lalu yang tak pantas untuk di-
petik hikmahnya. Lantaran momentum dibiarkan lenyap, wajar saja
jika kesadaran dan akal sehat kembali tertidur lelap. Ancaman ben-
cana dianggap enteng, bahkan diabaikan. Jujur harus diakui, sebagai
bangsa kita memang sangat lemah dalam hal yang detail. Rupanya
bangsa ini memang tak pernah belajar dan menjadi pemetik hikmah
yang baik dari berbagai bencana yang terjadi. Bukankah kita bisa
bertindak benar karena belajar dari kesalahan? Lantas mengapa kita
tak mau jujur untuk mengakui kesalahan, sehingga kita bisa meme-
tik hikmah dan pelajaran yang berharga darinya, agar bisa bertindak
benar di kemudian hari?
Dua gugatan itulah yang mendorong sejumlah aktivis muda
untuk menuliskan tiga buah buku yang mengulas tentang catatan
penanganan bencana gempa bumi Yogya-Jateng. Sejalan dengan
gugatan di atas, ada dua alasan mengapa mereka tergerak untuk
menulis ketiga buku tersebut: pertama, untuk mendokumentasikan
berbagai petikan pengalaman dan pelajaran berharga yang mereka
dapatkan dalam praksis penanganan bencana. Kedua, untuk menyu-
sun berbagai langkah konkrit yang mungkin ditempuh untuk per-
baikan dan pengembangan kualitas kerja-kerja bersama ke depan,
demi menegakkan keberpihakan kepada kaum lemah dan tertindas.
Kedua tujuan tersebut dituangkan ke dalam “Trilogi” buku gempa
berikut ini: Setelah Gempa 30 Juta SKalla Richter; Kisah Kisruh Di
Tanah Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-
Jateng 27 Mei 2006; dan Apa Kabar Yogya, Lama Tak Gempa.
Buku pertama yang berjudul Setelah Gempa 30 Juta SKalla
Richter, mengulas secara satir atas kronologi penanganan benca­na
gempa bumi Yogya-Jateng oleh pemerintah. Diawali dengan pa-
paran mengenai bencana alam gempa bumi berikut data korban
CATATAN PENERBIT vii

dan kerusakan, buku ini lebih jauh membongkar buruknya manaje-


men bencana pemerintah. Kiprah berbagai aktor yang juga turut
menyumbang keruwetan dalam penanganan bencana pun tak luput
dibeberkan. Bencana buatan manusia (baca: kebijakan pemerintah)
ternyata tak kalah dahsyat dibandingkan bencana gempa bumi.
Demikianlah realitas yang terjadi. Realitas itulah yang akhirnya
diangkat ke dalam judul yang terkesan ganjil dan berbau plesetan
tersebut.
Senada dengan buku tersebut di atas, Kisah Kisruh Di Tanah
Gempa, Catatan Penanganan Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng
27 Mei 2006, juga membongkar pola manajemen bencana yang am-
buradul. Kekisruhan terjadi di berbagai lapisan, mulai dari peme­
rintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kecamatan, hingga
peme­rintah desa. Tak jelasnya keberpihakan pemerintah terhadap
warga korban bencana, sangat tercermin dalam kebijakan yang
dibuatnya. Berbagai pelajaran dari bencana dipaparkan secara bera-
gam oleh 26 penulis yang kebetulan terlibat penuh dalam penangan­
an bencana bersama warga. Berangkat dari kacamata dan concernnya
masing-masing, mereka menyajikan tulisan dalam berbagai tema
yang berbeda, namun dengan ruh keberpihakan yang sama, yaitu me­
nyuarakan warga korban bencana terutama kaum perempuan, anak
dan difable.
Sedikit berbeda dengan kedua buku di atas, buku dengan judul
aneh, Apa Kabar Yogya, Lama Tak Gempa, menampilkan dua so-
sok yang sudah cukup familiar bagi warga korban bencana, yaitu
Kang Gempil dan Yu Nami. Dua sosok ini pernah menjadi ikon bu-
letin Suara Korban Bencana, yang terbit dan diedarkan kepada warga
kor­ban bencana di setiap minggu selama 6 bulan pasca bencana. Di
buku ini, berbagai kisah nyata di lapangan disajikan secara krono­
logis dan dipertajam dengan gambar karikatur yang syarat guyonan
kritis dan cerdas a la rakyat. Dari sudut pandang wong cilik, buku ini
ingin menyampaikan pesan bahwa menempatkan musibah sebagai
bagian dari penyelenggaraan Illahi adalah kebijaksanaan yang paling
viii KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

unggul, mengakhiri pertentangan batin yang berkecamuk tentang


penyebab bencana alam. Dalam situasi itulah Kang Gempil dan Yu
Nami mengajari kepada kita tentang mupus kahanan, menghibur diri
sendiri dan orang lain.
Terbitnya 3 buku tentang penanganan gempa bumi Yogya-
Jateng ini pantas untuk kita maknai sebagai upaya mawas diri, me-
lalui self mockery (harafiah: menertawakan diri sendiri), untuk bela-
jar memetik hikmah dan menginisiasi perubahan yang lebih baik
menuju keadaban publik. Terkait dengan substansi kebencanaan,
semoga saja berbagai pengalaman dan buah pelajaran berharga yang
tertuang di ketiga buku tersebut bisa menyumbang gagasan bagi
ikhtiar semua kalangan masyarakat untuk menyemai kesadaran kri-
tis tentang bencana. Sehingga kesiapsiagaan bencana bisa diiniasi
sejak dini. Selamat membaca.

Yogyakarta, 27 Mei 2007


Penerbit CPRC
-abw-
Pendahuluan

Publish or Perish:
Pelajaran Berharga dari Bencana

AB.Widyanta

Pengantar
Publish dunk! Begitu bunyi sebuah SMS (short message service)
super pendek dari seorang kawan, pada suatu sore. Sesaat membaca
pesan pendek itu, sebuah SMS dari seorang kawan lainnya merang-
sek masuk. “Aku masih di lapangan, tapi siap bergabung di perte-
muan nanti malam, Kang!”, demikian bunyi SMS menyiratkan antu-
siasme pengirimnya. Selang sekian detik inbox messages ditutup, HP
tiba-tiba berbunyi. Begitu tut dial dipencet, dari seberang telepon
terdengar seorang kawan yang lainnya lagi. Di sela-sela tawanya yang
lepas, terselip apresiasi pendek, “Aku senang menerima SMS yang
lugas, tegas, dan menantang seperti ini. Dengan senang hati aku pas-
ti da­­tang, Lik! Sampai ketemu nanti malam”, tegas kawan tersebut
menutup pembicaraannya. Menit-menit menjelang petang terkirim


 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

SMS balasan dari beberapa kawan yang menegaskan kesanggupan-


nya untuk hadir pada pertemuan dadakan malam itu.
Awal cerita, pada pertengahan Februari 2007, sekumpulan
aktivis yang terlibat dalam penanganan bencana gempa bumi Yog­
ya-Jateng, 27 Mei 2006, sepakat untuk menuliskan pengalaman
lapangannya dalam format buku. Menurut rencana, buku itu akan
di­luncurkan persis pada saat peringatan satu tahun bencana gempa
bumi terjadi, 27 Mei 2007. Sejak tercapai kata sepakat, praktis hanya
tersedia waktu 3 bulan untuk proses penulisan. Dua bulan berjalan
mengindikasikan komitmen yang melemah. Meski setiap seminggu
sekali dijadwalkan untuk mempresentasikan draf tulisan masing-ma-
sing kawan, namun finalisasi tulisan tak kunjung terealisir juga. Se-
lama kurang lebih dua bulan, tak seorang kawan pun mengumpulkan
tulisannya untuk segera diedit, demi mengejar tenggat waktu yang
teramat mepet. Kesibukan dan keletihan melakukan pendampingan
masyarakat memang menjadi alasan yang cukup masuk akal untuk
tertundanya proses penulisan. Melihat gelagat kawan-kawan yang
kian “tersandera” oleh aktivitas lapangan, iseng-iseng penulis me-
nyebar sebuah SMS “kompor”: “Mengundang kawan-kawan pada
pertemuan nanti malam, pukul 20.00 WIB, untuk menindaklanjuti
rencana penerbitan buku penanganan bencana gempa bumi Yogya-
Jateng. Telah disiapkan hidangan dengan menu pilihan istimewa un-
tuk kita semua: Publish or Perish?”
Tak disangka-sangka, SMS iseng yang tersebar disambar begitu
saja oleh antusiasme kawan-kawan, seperti yang terekspresikan di
atas. Entah dari mana spirit dan energi itu berasal, hingga dalam
himpitan keletihan kawan-kawan pun masih meringankan kaki dan
hati demi menghadiri undangan dadakan tersebut. Malam itu, sepu-
luh orang kawan berkumpul untuk menyusun draf tulisan masing-
masing, dengan merelakan kawan lain mengkritisi dan memberikan
masukan. Demikian seterusnya, silih berganti mereka saling saji dan
bongkar draf tulisan. Pertemuan berakhir sekitar 03.00 WIB. Mas-
ing-masing kawan mengantongi draf tulisan yang relatif rinci dan
PENDAHULUAN 

komprehensif. Hari-hari berjalan, upaya saling sharing pengalaman,


mengasah ide, dan memperkaya gagasan terus berlangsung di setiap
Senin sore, pukul 17.00-21.00 WIB, di PSPK-UGM. Di tempat itu-
lah kawan-kawan aktivis lintas lembaga yang tergabung dalam Fo-
rum Senenan (FS) menginisiasi sekaligus membidani lahirnya buku
yang tengah Anda baca ini.
Berlakunya sistem jawilan (relasi kawan dekat) dan sistem ge­
thok tular (pemberitaan dari mulut ke mulut) dalam relasi antar par-
tisipan FS memberi peluang kepada banyak kawan untuk menyum-
bang tulisan. Mengejar optimalisasi tema, persoalan kekurangan
penulis pun segera bisa terpecahkan. Dari dua puluh enam tulisan
yang ada di buku ini, lima di antaranya ditulis oleh kawan-kawan
jaringan di luar FS. Hal itu terjadi karena beberapa kawan FS me-
narik kembali kesanggupannya untuk menulis. Para partisipan FS
sendiri meyakini bahwa penulisan buku ini adalah bagian yang tak
terpisahkan dari aktivitas berjejaring untuk advokasi warga korban
bencana. Dan ketika buku ini berhasil diterbitkan, kawan-kawan FS
pun memaknainya sebagai sebentuk kemenangan kecil. Upaya-upa-
ya untuk merancang dan mencapai berbagai bentuk kemenangan
kecil semacam ini bagaimanapun juga sangat penting. Karena hal
itu akan sangat berarti bagi peminimalisiran rasa bosan, lelah, dan
lembeknya energi dalam gerakan sosial. Selain sebagai sarana aktual­
isasi diri, aktivitas semacam itu juga bisa menjadi wahana peneguh­
an komitmen para aktivis dalam kancah gerakan sosial yang tengah
mereka geluti bersama. Selain itu, buku yang dihasilkan juga bisa
menjadi wujud penyuaraan dan pembelaan terhadap hak-hak dasar
korban yang hingga kini masih tercecer di sana-sini. Dengan cara
itulah elan vital kawan-kawan bisa terbaharui lagi, dan secara praktis
bisa meminimalisir terjadinya compassion fatigue1 yang lazim dialami
para pekerja kemanusiaan maupun pekerja sosial.

1. Istilah Compassion Fatigue merujuk pada pengertian kelelahan psikologis yang


dihadapi oleh kaum pekerja yang bergerak dalam lingkup kerja-kerja pelayanan medis
maupun pelayanan sosial kemasyarakatan (karitatif dan non-karitatif). Pengertian itu
 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Kendati terbitnya buku ini mundur dua bulan dari rencana


awal, namun kawan-kawan tetap berbesar hati, lantaran jerih payah
mereka tersulihi oleh suatu kemenangan kecil. “Siapa bilang aktivis
lapangan tak bisa menulis”, celetuk seorang kawan. “Kita harus tun-
jukkan bahwa aktivis lapangan juga bisa menulis”, imbuh kawan lain
penuh percaya diri. Memang patut diakui bahwa dengan segenap
cacat dan celanya, kurang dan lebihnya, kemunculan buku ini meru-
pakan buah penyelarasan kerja tangan, otak, dan hati mereka. Me-
lalui buku ini, kawan-kawan berupaya menginisiasi jejaring advokasi
untuk warga korban bencana dengan “gerakan menulis”. Menurut
keyakinan mereka, sehebat apapun pengalaman lapangan seorang
aktivis tak akan banyak berandil bagi gerakan sosial yang lebih be-
sar, tanpa adanya diseminasi berbagai pengalaman dan hasil kerja
mereka di lapangan. Dengan keyakinan itu, selain mengakar pada
gerakan komunitas akar rumput, mereka bisa berjejaring di kancah
gerakan yang lebih luas. Dengan demikian, pengalaman lapangan
tak sekadar tertimbun di kantung-kantung sejarah personal, namun
bisa menjadi materi pembelajaran bersama bagi siapa saja yang ingin
mendialogkan berbagai prakarsa ke depan bagi perkembangan gerak­
an masyarakat sipil yang lebih besar lagi.
Jika kita pernah mengenal bahwa credo para intelektual akade-
mis adalah publish or perish2, maka bagi kaum aktivis, credo tersebut

juga sangat dekat dengan fenomena kelelahan psiko-sosial para pekerja kemanusiaan.
Awalnya, istilah ini muncul pada tahun 1992, dalam tulisan Joinson (di sebuah majalah
keperawatan) maupun dalam buku Jeffrey Kottler yang berjudul Compassionate Therapy.
Keduanya menengarai sebuah gejala dengan mengajukan sebuah pertanyaan berikut:
bagaimana dan mengapa para pekerja yang bergelut di bidang pelayanan kesehatan
dan sosial kehilangan rasa simpati yang mendalam (compassion) atas penderitaan
dan ketidakberuntungan orang-orang lain yang mereka layani. Indikator penting
dari Compassion Fatigue ini muncul ketika para pekerja itu tak lagi berkemauan kuat
(lembek, loyo, tidak lagi berpegang pada mandat dan komitmen) untuk meringankan
rasa sakit/penderitaan maupun menghilangkan akar penyebab dari penderitaan
tersebut. Untuk uraian lebih lanjut baca Charles R. Figley, Ph.D, Compassion Fatigue:
An Introduction dalam www.greencross.org
2. Berdasarkan hasil pelacakan Eugene Garfield, credo “publish or perish” yang sangat
terkenal ini, muncul pertama kali dalam tulisan Logan Wilson berjudul The Academic
PENDAHULUAN 

bisa diubah dan dibunyikan menjadi praxist or perish maupun write


or perish. Menurut hemat penulis, tanpa berkeinginan untuk narsis,
buku ini sedikit banyak telah merepresentasikan pilihan yang ad-
ekuat atas ketiga credo di atas, yaitu: praxist, write, dan publish. Setelah
selama lebih dari 1 tahun bergulat bersama-sama warga korban ben-
cana, kawan-kawan secara riil telah berpraksis dalam pemulihan pas-
ca bencana. Dari praksis itu, mereka tentu mendapatkan berbagai
buah pelajaran yang sangat berharga, yang boleh jadi belum pernah
diperoleh sebelumnya. Bertitik tolak dari praksis itu, me­reka men-
transformasikan berbagai pengalaman dan pelajaran baru tersebut
ke dalam tulisan. Kendati berbagai pengalaman itu tak utuh dan
masih terfragmentasi dalam penulisannya, namun secara mendasar
kawan-kawan telah memilih hal terbaik yang bisa mereka lakukan.
Pada akhirnya berbagai tulisan yang terfragmentasi itu di­bingkai dan
diterbitkan bersama dalam bentuk buku ini. Dengan alur semacam
itu, disadari atau tidak, mereka telah melakukan proses dialektis,
aksi-refleksi-aksi. Melalui metode dialektis itu, pengalaman bencana
yang telah tertuang di buku ini bisa dijadikan sebagai acuan dalam
praksis-praksis penyadaran publik, terutama yang terkait dengan
manajemen risiko (risk management) dan kesiapsiagaan bencana (di-
saster preparedness).
Namun, terlepas dari sisi positifnya, kumpulan kisah dan
refleksi yang ditulis kawan-kawan FS di buku ini tetap menoreh-
kan cacat dan kelemahannya. Harus diakui, buku ini tidak bisa di-
katakan mewakili suara dan pengalaman pelaku utama yakni para
penyintas (survivors) gempa. Sebagian dari suara dan pengalaman
para penyintas hanya terselip di antara alur-alur pikir dan refleksi
para penulisnya (aktivis dan pekerja kemanusiaan) saja. Alih-alih
mewakili, tulisan para aktivis boleh jadi justru mereduksi pengala-
man para penyintas gempa. Dengan kata lain, reduksi makna adalah
sebuah keniscayaan dalam buku ini. Dari cacat inilah, semoga para
pembaca terpicu untuk menyempurnakan agenda yang tercecer itu
dalam buku yang lain, yang secara khusus mengangkat suara dan
 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

pengalaman para penyintas gempa. Dengan demikian, para penyin-


tas gempa tetap memiliki hak yang sama untuk menyuarakan dan
membeberkan apa yang mereka alami dan rasakan. Dalam hal ini,
mewakili kawan-kawan FS, penulis memohon maaf atas keserba-ter-
batasan yang tak bisa ditolak ini.
Namun, meski terjadi reduksi dalam berbagai tulisan di buku
ini, semoga saja tidak ditangkap dan diartikan sebagai upaya untuk
mengecilkan arti pentingnya hak-hak para penyintas gempa untuk
bersuara. Bagaimanapun juga, buku ini ditulis kawan-kawan FS un-
tuk memberikan penyadaran dan peneguhan komitmen keberpi-
hakan, paling tidak untuk diri kami sendiri, untuk tak kenal lelah
memperbaiki semangat dan kapasitas pelayanan bagi para penyin-
tas. Dengan demikian, kami menjadi terlecut untuk selalu belajar
dan berupaya menggenggam komitmen moral dalam menegakkan
dan memperjuangkan hak-hak warga korban bencana di masa-masa
mendatang.

Kiprah Forum Senenan (FS)


Tak pernah terbayang sebelumnya bahwa buku ini akan ter-
bit dan terlahir dari jejaring lintas person dari berbagai lembaga
yang sistem keanggotaannya teramat cair, seperti FS. Ditilik dari
namanya saja sudah terkesan bahwa forum itu hanya perkumpulan
biasa yang tak perlu diperhitungkan keberadaannya. Di forum ini
tak ada aturan maupun struktur formal yang mengikat para parti-
sipannya. Masing-masing partisipan yang datang dan terlibat di FS
adalah representasi pribadi dan bukan lembaga. Oleh karena itu,
siapapun—tanpa mempedulikan dari lembaga manapun—bisa ber-
gabung dan turut terlibat dalam diskusi yang diadakan setiap Senin
sore tersebut. Tema diskusi tentu saja terkait dengan berbagai per-
soalan aktual yang dihadapi warga korban bencana. Karena seba-
gian besar partisipan FS adalah community organizer, maka berbagai
temuan kasus di lapangan tak pernah habis untuk dijadikan bahan
kajian bersama. Dalam format ikatan yang serba luwes, longgar, dan
egaliter, forum ini bisa menciptakan ruang untuk saling berbagi
PENDAHULUAN 

dan meng-update informasi, mengasah pisau analisis kritis, menggali


metode dan strategi pengorganisiran, dan lain sebagainya. Bertitik
tolak dari kasus-kasus riil di lapangan, mereka mewacanakan dan
mengkajinya lebih jauh dengan berbagai macam perspektif. Tak ja-
rang, berbagai persoalan mikro melesat jauh hingga terpautkan de­
ngan persoalan-persoalan di tingkat makro, baik nasional maupun
internasional. Bahkan dalam beberapa kesempatan, sejumlah nara
sumber yang kompeten (warga korban, akademisi, jurnalis, dll) pun
berhasil “diculik” dan dihadirkan untuk mempertajam analisis pada
suatu kajian tertentu.
Terkait dengan program-program yang dirancang FS, persoal­
an anggaran selalu dirembug dan dipecahkan bersama-sama. Budaya
bantingan (iuran uang berdasarkan pada asas kerelaan dan tanggung
renteng perorangan) yang berlangsung sejak awal berdirinya FS,
ternyata cukup efektif untuk mendanai keberlangsungan beberapa
agenda dan program yang dirancang bersama. Kemunculan buku ini
pun bisa menjadi salah satu bukti riil dari budaya bantingan tersebut.
Bantingan dana juga terjadi pada program pengkajian dan pengkri-
tisan atas Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Bencana.
Sekitar pertengahan bulan Februari 2007, seorang kawan, pakar
kemanusiaan yang kebetulan turut terlibat dalam penyusunan draf
UUPB, melontarkan gagasan—salah satunya kepada FS—untuk se-
cepatnya mengkritisi draf UUPB sebelum disyahkan oleh DPR pada
29 Maret 2007. Menimbang penginformasian yang mendadak dan
tenggat waktu yang teramat mepet (1 bulan) untuk urusan sepenting
itu, kawan-kawan FS berinisiatif menggelar pertemuan intensif guna
memelototi berbagai kelemahan dalam rancangan UUPB tersebut.
Berturut-turut, lima kali pertemuan diselenggarakan setiap hari,
pada pukul 16.00-23.00 WIB. Bak parlemen yang tengah bersidang,
mereka pun menghasilkan berlembar-lembar draf masukan, kritik,
berikut Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), tentu saja versi FS.
Malang tak dapat di tolak, kawan-kawan FS nampaknya harus mu-
lai belajar memahami bahwa tak selamanya niat, gagasan, cara, dan
mekanisme yang baik akan secara otomatis diterima baik pula oleh
 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

orang-orang yang tengah dirasuki kepentingan politik. Bertarung


timpang dalam kancah politik yang syarat kepentingan, FS akhirnya
memilih mundur dan menyimpan hasil jerih payah mereka sendiri.
Kendati toh merasa masgul, kawan-kawan FS tetap memetik pelajar­
an berharga dari kasus ini: tak ada kata sia-sia demi membela hak-
hak warga korban yang terabaikan. Kegagalan adalah pangkal ke-
berhasilan, demikian petuah bijak bertutur. Akan tiba juga saatnya
nanti, ikhtiar yang baik akan berbuah yang baik pula.
Kali kedua, FS menangkap lontaran gagasan dari kawan-kawan
UNDP tentang penyusunan Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk
Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Masih dengan semangat yang
menyala, kawan-kawan FS berproses bersama kawan-kawan lain
di jejaring aktor penanganan bencana yang ada di Yogyakarta. Di
tingkatan internal FS, kawan-kawan menyepakati untuk mengga-
rap serius tentang muatan kearifan lokal dalam RAD Pengurangan
Risiko Bencana ini. Sejak pukul 15.00 WIB, tanggal 21 April 2007,
dua puluh orang partisipan FS mulai mendiskusikan dan membedah
esensi Pengurangan Risiko Bencana dari sudut pandang kearifan
lokal. Berjibaku semalam suntuk, Draf Rancangan RAD itu akhir­
nya terselesaikan juga keesokan harinya, pada pukul 09.00 WIB,
22 April 2007. Selang satu jam kemudian, pukul 10.00 WIB, Draf
Rancangan RAD tersebut dipresentasikan oleh kawan-kawan FS di
Pusat Studi Penanggulangan Bencana (PSPB) UGM.3

Man: A Study in Sociology of a Profession (New York: Oxford University Press, 1942).
Dalam bab berjudul Prestige and the Research Function, Wilson menyatakan bahwa: “The
prevailing pragmatism forced upon the academic group is that one must write something and
get it into print. Situational imperatives dictate a ‘publish or perish’ credo within the ranks”.
Namun Garfield meragukan bahwa frase “publish and perish” itu adalah istilah yang
orisinil dari Wilson sendiri. Setelah dilacak lebih lanjut, Garfield menduga bahwa
istilah itu muncul dari guru Wilson, seorang sosiolog di era sebelum Perang Dunia
II, Robert K. Merton. Garfield menegaskan: “Merton and others familiar with pre-war
academy believe that “publish or perish” was a term in fairly common usage at the time. Baca
lebih lanjut dalam Eugene Garfield, What Is The Primordial Reference For The Phrase
‘Publish Or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10, 1996.
3. Hasil Draf Rencana Aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana tersebut bisa
dibaca di Halaman Lampiran buku ini.
PENDAHULUAN 

Dari uraian di atas, kita bisa mencermati bahwa kiprah FS


terkesan relatif responsif, lentur, tak terkendala hierarki senioritas
dan kelembagaan, dan selalu longgar waktu pertemuannya. Topang­
an utama kerja-kerja maraton dan spartan FS sendiri terbatas pada
dasar ikatan komitmen moral dan kepedulian terhadap warga kor-
ban bencana. Tak lebih. Maka bisa dimaknai bahwa munculnya FS
ini, di satu sisi bisa dimaknai sebagai subculture,4 namun di sisi lain
bisa juga dimaknai sebagai counter-culture5 dari forum-forum for-
mal yang terbentuk pasca bencana. Warna dan karakter forum ini
pun berbeda dengan forum-forum formal tersebut, bahkan dalam
beberapa sistem relasi dan kerja-kerjanya berseberangan dengan je-
jaring forum yang formal. Kendati sistem dan kulturnya berbeda,
kehadiran FS tidak berarti menandingi atau menggantikan forum-
forum formal yang ada, namun melengkapinya. Dari perspektif so-
sial, kelompok semacam ini bisa dikategorikan sebagai kelompok
subaltern.6 Pengertian dari subaltern di sini merujuk pada kondisi di-
mana sekelompok orang lebih banyak menekankan kepeduliannya
pada warga korban bencana ketimbang para elit birokrasinya. Ken-
4. Pada dasarnya, subkultur (sub-culture) terbentuk dari proses “pemisahan sosial”
masyarakat yang berkecenderungan menghasilkan diferensiasi kultural. Karakteristik
struktur sosial, pola kepentingan, dan bentuk-bentuk perilaku tertentu menjadi basis
utama bagi pemisahan sosial dan formasi subkultur ini. Subkultur ini eksis di dalam
relasi dengan budaya dan sistem sosial yang lebih besar. Hubungan-hubungan yang
mungkin berbeda itu bisa dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja, bisa dipandang
sebagai hal yang positif, namun juga bisa dipandang sebagai hal yang negatif (karena
memang sudah dicap menyimpang). Tidak jarang diferensiasi kultural itu pada
akhirnya bergeser ke posisi yang bukan sekadar berbeda, namun bertentangan
dengan nilai-nilai kultural arus utama (mainstream). Sejak itulah kontra-budaya
(counter-culture) terjadi. Baca Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu
Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm. 1069.
5. Konsep ini terkait dengan subkultur di atas. Counter-culture merujuk pada pengertian
suatu subkultur dan kultur tandingan yang memiliki tatanan kepercayaan dan nilai-
nilai yang berbeda dengan kultur utama yang dominan (mainstream culture). Baca
David Jary & Julia Jary, Collins Disctionary of Sociology, Great Britain: Harper Collins,
1991, hlm.125. Bandingkan Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu
Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hlm.1069.
6. Istilah subaltern ini awalnya muncul dalam karya seorang Marxist Italia, Antonio
Gramsci (1881–1937). Secara harafiah, istilah itu merujuk pada pemahaman tentang
10 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

dati berfokus pada non-elit (semisal elit birokrasi pemerintahan, elit


birokrasi LSM, dan lain-lain) namun kelompok ini tentu saja akan
bersinggungan dengan elit juga ketika mewacanakan dan beretorika
dalam proses penguatan gerakan sosial dan politik demi membela
kepentingan basis massanya tersebut.

RKMSY: Awal Mula Forum Senenan (FS)


Awal terbentuknya FS ini tak bisa dilepaskan dari sejarah pem-
bentukan aliansi masyarakat sipil pasca bencana gempa bumi Yogya-
Jateng. Aliansi yang diberi nama Rembug Konsolidasi Masyarakat
Sipil Yogyakarta (RKMSY) itu merupakan gabungan dari berbagai
elemen masyarakat sipil, di antaranya adalah: Komite Kemanusiaan
Yogyakarta (KKY), Forum Suara Korban Bencana, Jogja Recovery,
Forum Jogja Bangkit, Merti Jogja, Gerakan Jogja Bangkit, FKKJ,
Forum LSM DIY, Forum Korban Bencana (ForKoB), Gabun-
gan Posko Rakyat (GPR), Paguyuban Korban Gempa Yogyakarta
(PKGY), AJI Jogja, WALHI DIY, LBH Yogyakarta, Sappurata,
PSM Yogyakarta, dan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya.
Pembentukan aliansi besar itu dilatarbelakangi oleh tiga alasan
dasar: pertama, “Jangan jadikan Yogya seperti Aceh”. Catatan bu-
ruk tentang penanganan pasca bencana gempa bumi dan tsunami di
Aceh rupanya menginspirasi kalangan masyarakat sipil Yogyakarta
untuk mengupayakan penanganan pasca bencana yang lebih baik.
Mereka tak ingin penanganan bencana Yogya seperti yang terjadi
di Aceh. Tak rela Yogya dijadikan sebagai Aceh kedua, berbagai
elemen masyarakat sipil mendesakkan kepada pemerintah provinsi
untuk menerapkan aturan yang jelas dan tegas kepada lembaga-lem-
baga pemberi bantuan baik lokal, nasional, maupun internasional.
Kedua, selama dua bulan pasca gempa, penanganan bencana
yang dilakukan oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders),
nampaknya telah memunculkan preseden buruk. Di sana-sini terjadi
kekisruhan, kesemrawutan, ketidakmerataan, tumpang tindih ban-
tuan, dan bahkan muncul kasus program bantuan yang tak mendidik
pula, semisal cash for work. Melihat perkembangan situasi yang kian
memprihatinkan itu, maka berbagai elemen tergerak untuk mengini­
PENDAHULUAN 11

siasi lahirnya gerakan masyarakat sipil lintas jaringan yang mampu


meminimalisir berbagai dampak buruk bantuan pasca bencana.
Ketiga, pentingnya menjumbuhkan gerak pikir dan langkah da­
lam koordinasi kerja-kerja lintas lembaga dan forum. Terkait dengan
capaian ini, dalam serangkaian pertemuan besar yang digelar di salah
satu ruang Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-UGM, selu-
ruh elemen RKMSY bersama-sama mendiskusikan persoalan aktual
warga korban bencana berikut solusi, strategi, dan pendekatannya.
Demi tercapainya tujuan itu, maka agenda utama dari RKMSY ini
adalah penyusunan Code of Conduct dalam penanganan bencana Yog­
ya. Penyusunan Kode Etik itu dirasa sangat penting untuk dilaku-
kan, agar seluruh proses penanganan bencana bisa terkoordinir, ti-
dak tumpang-tindih, tidak menimbulkan konflik di masyarakat, dan
selalu mengedepankan nilai-nilai keadilan maupun kearifan lokal
masyarakat.
Semua itu merupakan prasyarat utama bagi pemenuhan hak-
hak dasar warga korban bencana. Dengan adanya Kode Etik terse-
but, seluruh pemangku kepentingan dalam penanganan bencana bisa
menghargai martabat warga korban bencana dan pola-pola pemberi­
an bantuan tidak mengakibatkan ketergantungan bagi masyarakat.
Secara rinci, berbagai hal penting yang tercakup dalam agenda RK-
MSY itu di antaranya adalah sebagai berikut: (a) Code of Conduct
(kesamaan prinsip-prinsip cara bertindak, episentrumnya harus dari
perspektif korban); (b) Perencanaan rehabilitasi/ rekonstruksi; (c)
Pendekatan/cara-cara; (d) Pembagian peran; dan (e) Identifikasi
sumber daya dan partisipasi masyarakat.7

orang atau kelompok yang terkategorikan berada di tingkatan dan tataran inferior,
yang disebabkan oleh karena ras, kelas, gender, orientasi seks, etnis, agama dan lain
sebagainya. Dalam perkembangannya, istilah subaltern ini kadang diterapkan juga
pada cara pandang dan pendekatan yang lebih luas lagi. Kajian subaltern ini misalnya
lebih menekankan pada keutamaan untuk membeberkan sejarah dari bawah (akar
rumput), dan lebih memusatkan perhatian lebih pada apa yang terjadi dan dialami
oleh massa rakyat di tingkat akar rumput ketimbang kaum elitnya. Baca lebih jauh
dalam “http://en.wikipedia.org/wiki/Subaltern_Studies”
7. Notulensi pertemuan Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli
2006. Untuk mengetahui poin-poin penting dalam Rancangan Code of Conduct
12 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Mengawali agenda besar itu, muncul kesepakatan bersama un-


tuk melakukan latihan “pemanasan”. Rencana aksi massa pun diran-
cang dan diuji-cobakan di awal-awal RKMSY berdiri. Terbentuklah
ketika itu aliansi gerakan aksi massa untuk menagih janji dana ban-
tuan pemerintah sebesar 10, 20, dan 30 juta untuk setiap rumah war-
ga yang rusak ringan, sedang, dan berat/roboh. Aliansi yang diberi
nama Gerakan Aksi Tagih Janji (GANTI) tersebut digelar pada 19
Juli 2006, bertepatan dengan kunjungan Wapres Jusuf Kalla di Yo-
gyakarta.8 Meski pada saat evaluasi bersama ternyatakan bahwa aksi
jalanan tersebut berhasil digelar secara damai dan bisa menggerak­
kan ribuan orang, namun muncul beberapa catatan kelemahan. Satu
di antaranya adalah kurang solidnya elemen-elemen masyarakat sipil
yang tergabung di dalam RKMSY itu sendiri.
Pasca aksi jalanan, RKMSY meneruskan agenda besarnya dalam
beberapa kali pertemuan, dengan tingkat partisipasi yang nampak
kian merosot dari waktu ke waktu. Seiring dengan meningkatnya
kesibukan lembaga-lembaga partisipan di wilayah dampingan ma­
sing-masing, aliansi RKMSY pun benar-benar mengendur, dan akh-
irnya lenyap bagai ditelan bumi. Aktivitas RKMSY praktis hanya
berlangsung kurang lebih tiga bulan. Memasuki bulan ke­empat pas-
ca bencana, aktivitas-aktivitas RKMSY tak lagi terdengar kabarnya.
Tak diketahui secara pasti, kapan RKMSY ini bubar. Meski pada
awal-awal proses perumusan Kode Etik Penanganan Bencana di
Yogyakarta banyak partisipan masih terlibat aktif, namun akhirnya
proses perumusan itu tak juga tertuntaskan hingga kini.
Meningkatnya kompleksitas persoalan penanganan bencana,
justru ditandai oleh merosotnya soliditas dalam jejaring gerakan ma-
syarakat sipil di Yogyakarta. Kendati respon atas lemahnya penanga-
nan bencana tetap muncul dari elemen-elemen gerakan masyarakat

Penanganan Pasca Bencana Gempa Bumi Yogya-Jateng, baca lebih jauh di halaman
lampiran buku ini.
8. Baca Batal 30 Juta, Tuntut Minta Maaf dalam Buletin Suara Korban Bencana, Edisi
Susulan ke 7, 1 Agustus 2006, hlm.4-5.
PENDAHULUAN 13

sipil, namun itu toh hanya berskala kecil, sporadis, dan tak terpadu.
Dalam situasi seperti itu, posisi tawar (bargaining position) mereka
tak cukup memadai untuk merubah keadaan. Merasakan kepriha-
tinannya meradang, beberapa kawan eks-RKMSY tetap berupaya
keras untuk menghidupi harapan yang telah ada. Dengan sisa-sisa
harapan itu, kawan-kawan secara rutin menggelar pertemuan setiap
Senin sore. Selepas mendampingi masyarakat di wilayah masing-ma-
sing, mereka selalu berkumpul di tempat lahirnya RKMSY, yaitu
di Pusat Studi Perdesaan dan Kawasan (PSPK)-UGM. Salah satu
proponen RKMSY, Mas Susetiawan, sosok intelektual gaek yang
bersemangat muda, merelakan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk
menjadi sparing partner yang setia dalam diskusi kawan-kawan. Jika
meminjam petuah Ki Hajar Dewantara tentang laku seorang pendi-
dik yang musti selalu ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa,
tutwuri handayani, maka Mas Susetiawan inilah sosok riilnya. Lanta-
ran pertemuan selalu diadakan setiap hari Senin, maka sejak itulah
kelompok ini mendapat julukan Forum Senenan, sekadar identitas
pengenal saja.

Otokritik Kiprah LSM Pasca Gempa


Pada dasarnya, konstalasi sosial turut memicu berdirinya FS.
Sejumlah forum yang formal tingkat kerentanannya ternyata rela-
tif lebih tinggi. Ibarat baru seumur jagung saja, forum-forum terse-
but sudah mulai loyo dan mengendur. Bahkan ada pula yang bubar.
Artinya, mereka tidak mampu lagi menjalankan mandat, fungsi, dan
perannya secara ajeg, berkelanjutan, dan mandiri. Pilihan rasional
untuk tidak terperangkap dalam formalitas itu memungkinkan FS
mampu bertahan hingga saat ini. Pola relasi dan kerja-kerjanya pun
bisa dibilang tak kalah serius ketimbang forum-forum yang formal.
Bila ditelisik lebih jauh, berdirinya FS itu memang dipicu oleh kepri-
hatinan yang sama atas tumpang-tindihnya kiprah LSM (baik yang
lokal, nasional, maupun internasional) pasca bencana.
Sekilas, menilik kembali perjalanan setahun penanganan pasca
gempa Yogya dan Jateng, tentu saja kita tak bisa menafikan peran
14 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

yang signifikan dari kalangan LSM yang terlibat di dalamnya. Tak


terbayangkan, apa jadinya tanpa adanya andil dari kalangan LSM
tersebut. Semisal, dalam situasi serba darurat pada hari naas hingga
tujuh hari pasca gempa, kalangan LSM bersama-sama warga dan
berbagai elemen masyarakat sipil lainnya melakonkan penanganan
darurat yang mengagumkan. Di kepung oleh situasi yang chaotic,
para aktivis LSM sebisanya berbagi sumberdaya yang mereka mi-
liki, membuat jejaring sosial, dan mengerahkannya demi menolong
warga korban yang tertimpa musibah gempa bumi. Harus diakui,
peran LSM dalam penanganan pasca gempa Yogya-Jateng jauh lebih
cepat ketimbang pemerintah.
Kendati responnya terhitung cepat, namun terkait dengan per-
soalan koordinasi dan manajemen, kiprah LSM tetap saja tak jauh
berbeda dengan pemerintah. Tidak ada koordinasi dan guideline
(gerak pikir dan tindakan) yang sama di antara LSM lokal sendiri.
Meskipun mungkin sudah terwadahi dalam satu forum bersama, na-
mun koordinasi di antara mereka tetap tidak bisa optimal. Terkait
dengan data misalnya, forum-forum LSM lokal tidak berhasil meng-
umpulkan dan saling sharing data-data yang penting. Jaringan di an-
tara mereka pun masih terpecah dan tidak padu. Ada kesan, forum
dibentuk sekadar untuk memenuhi prasyarat “rasa aman” (simptom-
simptom mental kawanan) saja, bukan atas dasar kebutuhan yang
substansial. Muncul kesan juga bahwa forum dibentuk lebih karena
untuk kepentingan penggalangan dana (fund rising) secara bersama-
sama.
Ketika penggalangan dana berhasil, forum biasanya bertambah
partisipannya, namun tidak dengan tingkat koordinasinya. Setelah
masing-masing lembaga partisipan forum menjalankan proyek kerja
di wilayah masing-masing, koordinasi bersama menjadi semakin me-
lemah dan terabaikan. Tak jarang, di antara anggota forum sendiri
pun muncul rivalitas yang tak sehat. Beberapa kasus saling tuding
dan menjelek-jelekan (black campaign) di antara LSM lokal sudah la­
zim terjadi. Perbedaan dasar ideologi, strategi, dan pendekatan ma-
PENDAHULUAN 15

sing-masing LSM ternyata cukup menentukan pola relasi semacam


itu.9 Ujung-ujungnya, warga korban bencana menerima getahnya
juga. Warga korban bencana yang semestinya dibantu, justru harus
membantu menyelesaikan tumpang tindihnya pendekatan antar
LSM tersebut. Alih-alih bersepakat untuk saling menakar kekurang­
an dan kelebihan masing-masing di dalam suatu forum koordinasi,
kedua LSM yang terlibat konflik itu tetap bersikeras untuk bekerja
sendiri-sendiri.
Diakui atau tidak, LSM lokal di Yogya-Jateng secara umum
bisa dikatakan tidak/belum siap melakukan penanganan bencana.
Banyak LSM lokal tidak memiliki pengalaman dalam penanganan
darurat bencana. Sebagian besar dari mereka masih berada pada
taraf belajar, learning by doing, dalam penanganan bencana gempa
bumi Yogya-Jateng itu. Ditakar dari mandat kelembagaannya, tidak
banyak LSM lokal yang memiliki sistem manajemen dan kapasitas
pengalaman yang memadai untuk bergerak di emergency unit ini. Lan-
taran tidak memiliki mandat (tercermin di dalam misi dan visi lem-
baga), praktis sebagian besar dari mereka tidak menyiapkan segenap
resources (seperti human resource, skill, financial, dan berbagai institu-
tional management lainnya) untuk darurat bencana tersebut. Maka
tak mengherankan jika banyak LSM lokal yang terlihat kedodoran

9. Black campaign ini biasanya dilakukan karena ada kepentingan tersembunyi dari
pelakunya. Misalnya, rebutan akses resources/funding menggiring LSM ke persaingan
yang tidak sehat. Antar LSM berupaya mengunggulkan namanya dengan cara
menyebar gosip yang menjelek-jelekkan pihak lain. Dalam konteks ini, kiranya benar
pepatah jawa yang menuturkan dahwen ati open. Pepatah itu secara harafiah berarti
demikian: Perasaan iri karena tidak berhasil memiliki, membuat orang jadi dengki
dan suka omongkan kejelekan pihak lain yang jadi rivalnya. Terkait dengan urusan
“dapur” ini memang cukup menentukan pilihan pendekatan, program, strategi,
metode pengorganisiran di lapangan. Di sini, godaan pragmatisme sering dihadapi
LSM, yaitu bagaimana caranya untuk “menghemat” dana agar dapur tetap ngebul.
Dalam konteks seperti ini, warga korban bencana lagi-lagi terkorbankan haknya.
Warga korban menjadi prioritas kedua, terkalahkan oleh kepentingan LSM itu
sendiri.
16 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

ketika harus menangani warga korban bencana, terutama ketika di


masa emergency.10
Kendati tidak memiliki mandat untuk bergerak di bidang emer-
gency, sebagian besar LSM lokal “terpaksa” harus melakukan itu.
“Didesak” oleh situasi (lantaran warga korban butuh bantuan mau-
pun banyak lembaga donor asing perlu mitra LSM lokal untuk me-
nyalurkan bantuan), LSM lokal memposisikan diri sebagai “media-
tor” untuk dua kutub kepentingan itu. Situasi itulah yang ditangkap
LSM lokal sebagai suatu peluang (oportunity) ataupun momentum.
Tentu saja, momentum/peluang itu sangat tergantung pada motif
dari masing-masing LSM lokal itu sendiri (untuk kepentingan mem-
bantu warga korban, belajar manajemen bencana, maupun meng-
hidupkan kembali “dapur” lembaga, dan lain-lain). Bisa dikatakan,
nyaris semua LSM lokal terlibat dalam penanganan bencana gempa
bumi Yogya-Jateng, meski dengan tingkat keterlibatan yang ber-
beda-beda. Ada korelasi positif antara besarnya akses dana bantuan
yang dimiliki LSM lokal dengan besarnya tingkat keterlibatan LSM
lokal dengan warga korban bencana. Mereka yang memiliki akses
lebih besar kepada lembaga donor maka semakin besar/luas pula
tingkat keterlibatan ke warga. Bagi mereka yang aksesnya relatif ke-
cil kepada lembaga donor, maka relatif kecil pula keterlibatan/akti-
vitas mereka dengan warga korban bencana.11

10. Secara umum dan mendasar, LSM di Indonesia memang masih memiliki banyak
kelemahan dan keterbatasan seperti: kurangnya dana, tingginya keterantungan pada
donor, rendahnya tingkat efisiensi manajerial dan kredibilitas sosial, rendahnya
profesionalisme, tingginya bias yang terjadi di LSM, dan lain-lain. Beberapa catatan
tentang kelemahan dan keterbatasan LSM ini baca Suharko, Merajut Demokrasi,
Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-
2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.115-120. Bandingkan Binny Buchori, Peta
Permasalahan LSM dalam Kompas, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan,
Jakarta: Kompas, 2004, hlm.3-16.
11. Situasi ini memang menjadi dilema bagi banyak LSM lokal. Sebagian besar dari
mereka masih berpegang pada keyakinan dan komitmen bahwa untuk memfasilitasi,
menganimasi, dan gerak pemberdayaan masyarakat tak selalu butuh dana yang besar.
Celakanya, dalam situasi pasca bencana, warga korban bencana memiliki logika sendiri
PENDAHULUAN 17

Mencermati situasi tersebut, bisa dikatakan di sini bahwa


dalam upaya membantu memenuhi hak-hak dasar warga korban
bencana, LSM lokal sangat tergantung kepada dana bantuan dari
lembaga donor. Besarnya tingkat ketergantungan ini boleh jadi akan
sangat berdampak pada beberapa hal berikut:12 pertama, LSM lo-
kal tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap lem-
baga donor tersebut. Konsekuensinya, berbagai “pesan khusus” yang
dipaksakan oleh lembaga donor harus diterima, meski tidak sesuai
visi misi lembaga dan kebutuhan warga korban bencana sekalipun.13
Misalnya, lembaga donor menunjuk dan menentukan sendiri ko-
munitas yang akan menerima bantuan. Munculnya kapling-kapling
wilayah komunitas di antara LSM lokal pun menjadi tak terhindar­
kan. Konflik antar LSM lokal ini tak urung juga menimbulkan kon-
flik dengan warga korban yang akan menerima bantuan tersebut.14
Kedua, LSM lokal tidak leluasa untuk menerapkan berbagai program
partisipatif yang disesuaikan dengan kebutuhan warga korban ben-
cana. Misalnya, karena terpaksa harus mengejar jumlah sasaran dan
tenggat waktu yang mepet dari lembaga donor, LSM lokal tidak bisa
mewujudkan capaian nilai-nilai (semisal partisipasi, kearifan lokal,

yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan itu. Banyak kasus menunjukkan,
LSM lokal ditolak warga lantaran tidak membawa bantuan yang “riil”. LSM yang
tidak membawa bantuan diharap menyingkir. Harus diakui, derasnya kucuran dana
bantuan dari donor pasca bencana berpotensi menciptakan ketergantungan, baik
bagi LSM sendiri maupun warga masyarakat.
12. Ancaman dari ketergantungan pada bantuan ini telah diuraikan secara gamblang dan
detail oleh penulis Jerman, Erler. Ada anekdot satir tentang itu: Ambilah proyek ini!
Bukankah orang sulit membuktikan bahwa ia telah membawa dampak negatif. Baca
Brigitte Erler, Bantuan Mematikan, Catatan Lapangan tentang Bantuan Asing; Jakarta:
LP3ES, hlm. 28.
13. Terkait dengan relasi yang asimetris dan timpang ini, baca Suharko, Merajut Demokrasi,
Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-
2001); Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm.119-120.
14. Ada banyak kasus lain tentang pemaksaan oleh lembaga donor ini. Sejumlah
donor memaksakan kepada LSM lokal untuk menyalurkan bantuan karitatif pasca
emergensi, yang menurut kalangan LSM lokal itu sendiri sesungguhnya tidak
18 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

dan lain-lain), ataupun mengontrol kualitas fasilitas bantuan yang


diberikan kepada warga korban.15 Ketiga, LSM lokal sebagai “media-
tor” terperangkap dalam konflik kepentingan. Konflik kepentingan
seperti ini semakin membuat LSM lokal menjadi semakin tergiring
pada pragmatisme klasik-paternalis: Asal Bapak Senang (ABS) atau
Asal Donor Senang (ADS). Didesak oleh pragmatisme itu, keberpi-
hakan LSM lokal kepada warga korban bencana akhirnya terbajak.
LSM lokal lupa akan hakikat dirinya. Kewajiban utamanya untuk
melayani dan membela warga korban bencana, dengan mudah terka-
lahkan oleh kepentingan untuk melayani dan “membela yang bayar”,
yaitu lembaga donor.16
Jika kultur semacam itu terus menerus dikembangkan, maka
LSM lokal akan terjebak dalam pola perilaku yang menurut pepatah

mendidik warga. Ada donor yang memaksakan untuk menyalurkan bantuan bukan
kepada warga miskin namun kepada industri-industri kelas menengah dengan alasan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah (GDP). Ada juga donor yang
sengaja menuntut prasyarat yang cukup memberatkan warga. Semisal terkait dengan
pengucuran dana bantuan untuk industri kerajinan, lembaga donor menuntut bahwa
design handycraft warga tersebut harus diserahkan dan menjadi hak milik lembaga
donor. Contoh lainnya, sebuah lembaga donor dari Jerman (sekaligus implementator
di daerah Klaten) tetap memaksakan pendekatan yang tidak tepat dalam penyaluran
bantuan. Meski telah menimbulkan konflik horisontal di masyarakat, seorang
wakil dari lembaga donor itu dengan pongahnya mengatakan bahwa: “Kami sudah
berupaya membantu. Tidak ada yang salah dengan bantuan yang telah kami serahkan
kepada warga. Jika bantuan yang telah kami serahkan itu akhirnya bermasalah (tidak
merata/menimbulkan konflik), maka itu urusan warga dan bukan urusan kami.”
Jawaban semacam ini bisa dibaca sebagai fenomena ketidakpedulian lembaga donor
asing terhadap warga korban bencana. Terkait dengan bantuan yang menjerat
warga, baca Basilica D. Putranti dan Y. Tri Subagya, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi,
Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta: PSKK UGM dan
Ford Foundation, 2005.
15. Dalam bingkai oto-kritik, di kalangan aktivis LSM sendiri muncul istilah “LSM
kurir” (delivery NGO) untuk melukiskan peran LSM lokal yang terkesan lalu lalang,
sekadar menjadi pengirim bantuan dari donor kepada warga. Fenomena ini banyak
dijumpai terutama pada masa emergensi.
16. Muncul banyak godaan bagi LSM untuk bias donor dan menjauh dari konstituen
(warga masyarakat). Tanpa sadar, LSM “tergoda” untuk lebih “mengabdi” lembaga
donor ketimbang warga. Dari sudut pandang semiotik, baca Zaim Zaidi, As’as
PENDAHULUAN 19

Jawa diistilahkan sebagai “milik nggendong lali”.17 Tergiur oleh loba


dan mental tamak demi meraup keuntungan dari “berkah bencana”
ini, hak-hak dasar dan kebutuhan warga korban bencana pun akan
mudah dikorbankan oleh LSM. Demi mengisi pundi-pundinya, LSM
bisa mudah tergiur melakukan mark up atau menggeser beberapa
alokasi budget, sehingga tak sesuai dengan MoU dengan lembaga
donor (semisal operation cost yang mestinya sebesar 10 % dari total
dana bantuan, dalam praktiknya melebihi prosentase tersebut). Di­
sinyalir, pola-pola korupsi dana bantuan semacam ini acap terjadi di
lingkup LSM, terutama dalam proyek-proyek pasca bencana.18
Dari beberapa kasus, LSM lokal sangat lemah untuk mendesak­
kan idealismenya kepada lembaga donor. Semua itu tentu karena
besarnya tingkat ketergantungan LSM kepada donor asing. Tentu
saja tidak semua donor asing memaksakan “pesan-pesan khusus” itu
kepada LSM lokal. Banyak juga dari mereka yang mempercayakan
sepenuhnya alokasi dana bantuan itu kepada LSM lokal. Rasa saling
percaya di antara donor asing dan LSM lokal seperti ini biasanya
telah terbangun sejak lama, jauh sebelum bencana gempa bumi itu
sendiri terjadi. Relasi seperti ini tentu saja memudahkan LSM lo-
kal mensinergikan berbagai pendekatan yang sesuai dengan konteks
masyarakat lokal. Bahkan, dengan adanya relasi kemitraan yang telah

Nugroho, dan Hamid Abidin, Merebut Hati Lembaga Donor, Kiat Sukses Pengembangan
Program, Manual dan Panduan Menyusun Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis;
Jakarta:Piramedia, 2004.
17. Pepatah milik nggendong lali ini secara harafiah berarti barang siapa yang menyimpan
hasrat, niat dan maksud ingin memiliki, maka ia akan melupakan berbagai nilai
keutamaan dalam hidup. Tujuan hidup yang mulia bisa terkorbankan oleh karena
hasrat ingin memiliki tersebut. Dalam konteks penanganan bencana, nafsu besar
LSM untuk meraup keuntungan dari dana bantuan niscaya akan menghilangkan
komitmen dan keberpihakannya kepada warga korban bencana.
18. Menurut John Clark, masalah petangungjawaban keuangan ini telah ditengarai
sebagai salah satu kelemahan LSM. Baca John Clark, NGO dan Pembangunan
Demokrasi; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995, hlm.78-79. Bandingkan dengan persoalan
korupsi di LSM dalam Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana,
hlm.116.
20 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

lama berjalan itu, program-program jangka menengah dan panjang


pun sangat mungkin dirancang oleh LSM lokal tersebut bersama
masyarakat. Dengan demikian, bantuan kepada masyarakat bukan
bersifat karitatif (biasanya pada masa emergency), tetapi yang bersifat
memberdayakan dan memandirikan para beneficiaries-nya.
Terlepas apakah relasi dengan lembaga donor asing itu baru
terjalin sebelum atau setelah gempa terjadi, LSM lokal memang me-
miliki prosedur baku untuk proyek penyaluran bantuan. LSM lokal
harus mengajukan proposal ke lembaga donor terlebih dulu. Setelah
diterima dan disetujui donor, bantuan baru bisa disalurkan oleh
LSM lokal kepada warga. Kondisi prosedural ini tentu saja menjadi
kendala yang cukup prinsipil bagi kalangan LSM untuk merespon
segera situasi darurat bencana. LSM juga kerepotan dan nyaris tidak
mungkin merancang program bersama warga, sehingga benar-benar
merepresentasikan kebutuhan komunitas akar rumput. Sejumlah
kasus menunjukkan warga terlambat menerima bantuan karena
mekanisme prosedural tersebut. Hal itu tentu saja mengan­dung im-
plikasi bahwa bantuan tidak lagi tepat waktu, tepat guna, dan te-
pat sasaran. Kondisi semacam itu tentu saja rawan bagi LSM yang
kurang menekankan aspek pemberdayaan, dan cenderung karitatif
dengan sifatnya yang suka menebar janji kepada masyarakat. Dam-
pak risiko yang lebih besar bisa terjadi ketika proposal yang diajukan
LSM ditolak donor. Karena terlanjur dijanjikan sesuatu, maka keti-
ka janji itu tak terealisasi, warga pasti akan merasa dikecewa. Bukan
tidak mungkin itu akan merusak relasi antara warga dan LSM itu sen­
diri. Bahkan muncul sejumlah kasus, LSM diusir oleh warga lantaran
urung memberikan bantuan yang telah dijanjikan sebelumnya.
Kiranya hubungan triadik: donor-LSM-masyarakat pasca ben-
cana memang terasa sangat penting dan urgen untuk ditelisik dan
dikaji lebih jauh lagi. Karena, pemetaan atas pola relasi di antara
ketiganya itu akan sangat berarti untuk menyikapi pergeseran atas
berbagai aspek keberdayaan, kemandirian, dan keberlanjutan hidup
masyarakat. Pasca gempa telah muncul kecenderungan pola relasi
PENDAHULUAN 21

itu semakin asimetris dan timpang. Baik warga maupun LSM sema-
kin tersubordinasi dan tergantung kepada donor. Hal itu tentu saja
menjadi kendala bagi tumbuhnya gerakan kemandirian masyarakat.
Itulah tantangan bagi kiprah LSM dan berbagai elemen masyarakat
sipil ke depan. Waktunya bagi seluruh kalangan masyarakat untuk
memaknai bencana sebagai momentum perubahan menuju ke situ-
asi yang lebih baik.

Bencana sebagai Momentum: Petikan Hikmah


Bertolak pada oto-kritik atas cacat dan lemahnya kiprah LSM
pasca gempa di atas, berikut ini kita perlu menegaskan lagi beberapa
hikmah dan pelajaran berharga yang bisa kita jadikan modal untuk
kerja-kerja ke depan. Dengan belajar pada kesalahan, kita diberi
peluang untuk menjajal pendekatan lain yang musti dijumbuhkan
kembali dengan kithah LSM berikut mandat moral yang diemban-
nya.19 Dalam konteks penanganan pasca gempa itu, mandat moral
yang musti dikukuhkan kembali itu adalah bahwa segala daya upaya
yang responsif, kompeten, berkeadilan, dan bermartabat harus di-
maksimalkan agar warga korban terposisikan sebagai subyek yang
aktif dan bukannya obyek yang pasif; sebagai subyek yang otonom
dan bukan obyek yang tergantung. Dengan berpegang pada komit-
men moral itu maka gerak pikir dan langkah LSM akan lebih ter-
fokus dan berpihak kepada komunitas akar rumput, bukan kepada
lembaga donor.

19. Menurut Eldrige (1995:38), orientasi dasar LSM di antaranya adalah: (1). Memperkuat
kelompok masyarakat sebagai basis pembentukan masyarakat yang sehat, dan sebagai
kekuatan pengimbang terhadap kekuasaan pemerintah; (2). Mencari strategi baru
untuk menghadapi kebutuhan sosial yang terus berubah, dan untuk menghadapi
kemunculan kelompok lemah dan miskin; (3). Berkomitmen kuat pada cita-cita
partisipasi rakyat dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan program.
Uraian ini dikutip dari Suharko, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta: Tiara Wacana,
hlm.115.
22 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Inilah hikmah dan pelajaran yang paling utama dan berharga


bagi kalangan LSM pasca gempa. Bencana telah mengajarkan ke-
pada kita tentang arti pentingnya penguatan jejaring sosial untuk
menghadapi datangnya masa dan situasi yang sulit, seperti halnya
bencana alam yang muncul tiba-tiba itu. Kuatnya jejaring sosial ini
tentu saja bisa menjadi jaminan atas terakumulasinya modal sosial
sebagai basis utama bagi perubahan yang radikal, massif, dan me-
nentukan. Memang, dalam situasi krisis seperti itu, orang cenderung
abai terhadap berbagai peluang yang terkandung di dalamnya. Pada-
hal krisis sejatinya bisa menjadi momentum bagi kita untuk menyu-
sun langkah-langkah strategis dan taktis guna menghadapi berbagai
risiko bencana yang akan datang. Bencana mesti diposisikan sebagai
titik tolak dan daya dorong bagi seluruh elemen masyarakat untuk
menyusun agenda berikut langkah-langkah konkritnya ke depan.
Di dalam bencana yang memilukan terkandung oase harapan untuk
menata kembali masa depan yang lebih baik.
Dalam kerangka itu, menurut catatan lapangan para aktivis
LSM yang tersebar di seluruh tulisan di buku ini, beberapa agenda
yang mendesak untuk ditindaklanjuti bersama-sama akan diuraikan
lebih jauh dalam paparan berikut ini.
Pertama, munculnya kesadaran baru di kalangan masyarakat
tentang ancaman bencana. Berpijak pada kesalahan dan kelemahan-
nya, LSM merasa perlu menginisiasi, menyemai, dan menguatkan
kesadaran tentang risiko dan ancaman bencana yang berpotensi
menghancurkan lingkungan fisik, tatanan sosial, dan budaya masya­
rakat. Di sini, beragam bentuk fasilitasi penyadaran publik, melalui
jalur pendidikan formal dan informal, perlu mendapat atensi dan
kepedulian yang lebih besar ketimbang masa-masa sebelumnya. Di
tingkatan praksis, secara partisipatif, organisasi berbasis komunitas
(Community Based Organization) atau kelembagaan lokal yang terse-
bar di seluruh pelosok desa mesti terlibat penuh dalam proses pe-
nyadaran ini. Dengan demikian, kesadaran baru itu bisa tersebarluas­
kan secara massif dan partisipatoris. Seluruh ikthiar penyadaran ini
PENDAHULUAN 23

tentu saja mengarah pada tercapainya tahapan yang lazim disebut


sebagai kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) di masyarakat
kita. Kesiapsiagaan bencana bisa dirancang dan diimplementasikan
melalui intensifikasi praksis sosial dan kultural yang menyasar pada
upaya pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction).
Kedua, munculnya kebutuhan untuk meningkatkan dan mem-
perkuat kapasitas kelembagaan dalam manajemen bencana. Bagi
kalangan LSM, bencana telah memicu dan mendorong semangat
untuk segera memperbaiki dan mengembangkan kapasitas (capacity
building) manajerial LSM yang terkait dengan penanganan bencana
seperti: skill pendataan, analisis data, penggalangan dana, distribusi
bantuan, penentuan efektivitas bantuan, penentuan prioritas target
dan sasaran (terutama anak-anak, perempuan dan difable), penen-
tuan strategi dan pendekatan partisipatoris (participatory approach),
akuntabilitas, transparansi anggaran, koordinasi, penguatan jeja­ring
(networking), pengorganisasian masyarakat, pemberdayaan masyara-
kat, penyadaran publik, advokasi kebijakan, dan lain sebagainya. Se-
luruh aspek itu harus dibingkai kembali dengan mandat moral (visi
dan misi) lembaga. Menyangkut relasi dengan lembaga donor, LSM
lagi-lagi harus mendudukkan mandat moral tersebut sebagai pan-
duan (guideline) dalam melobi dan menandatangani nota kesepakat­
an dengan lembaga donor. Dalam hal ini, LSM harus mampu me­
negakkan jati diri lembaganya maupun warga korban yang mereka
dampingi. Bagaimanapun lembaga donor harus diajari juga untuk
menghormati kedaulatan dan otonomi warga juga. Sehingga donor
tidak bisa seenaknya memaksakan seluruh kepentingannya. Di sini,
LSM harus bisa berperan sebagai tameng (barrier) sekaligus saring­
an atas dampak-dampak negatif dari bantuan. Prinsip selektif dan
penuh kehati-hatian (precautionary principle) dalam memilih mitra
(donor) tetap harus dipegang teguh oleh LSM. Alat verifikasinya
jelas, yaitu visi dan misi lembaga. Jika pemberian bantuan itu sendiri
sudah dipaket dengan “pesan sponsor” yang rigid maupun berbagai
macam kepentingan donor yang hegemonik, maka LSM pantas un-
24 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

tuk menolaknya. Demi tetap tegaknya keberpihakan kepada warga


korban, LSM harus berfikir masak-masak atas risiko ketergantung­
an yang melekat dalam pemberian bantuan dari donor tersebut.
Mesti disadari, warga tidak melulu butuh duit, namun lebih butuh
pendampingan. Tiba saatnya bagi LSM, bersama warga masyarakat,
mulai berlatih menata diri sendiri menyongsong kemandirian.
Ketiga, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya penguat­
an koordinasi di antara LSM di Yogyakarta. Sebelum bencana ter-
jadi, koordinasi antar LSM masih sangat lemah. Masing-masing
LSM bergerak sendiri-sendiri, terpisah, dan nyaris tak pernah saling
taut dan tersinergikan, bahkan mereka bersaing tak sehat. Namun
pasca bencana, penguatan koordinasi lintas LSM di Yogyakarta
ber­­peluang besar untuk semakin diintensifkan. Beberapa kalangan
LSM sudah memasukkan isu ini kedalam agenda lembaga dan mulai
menggelar forum-forum kecil yang terbuka guna merembug peri-
hal koordinasi lintas program maupun wilayah dampingan (semisal
menggelar pelatihan community organizer dan berbagai program lain-
nya secara bersama-sama). Seperti telah disinggung di atas, kalang­
an LSM di Yogyakarta telah mulai merintis penyusunan Kode Etik
(Code of Conduct) dalam kerja-kerja pasca bencana. Kendati masih
berupa embrio, namun bukan tidak mungkin itu akan segera tersu-
sun dan terimplementasikan, jika benar-benar digeluti dan dimaui
bersama.20 Jika dilihat dari latar belakang warga Yogyakarta yang
relatif terdidik (well educated), cita-cita kalangan LSM itu akan ber-
peluang besar untuk tersinergikan dalam praksis mereka di tingkat

20.Terkait dengan Kode Etik Penanganan Bencana oleh kalangan ormas dan LSM
di Yogya, kita bisa merujuk dan membandingkan dengan gagasan Kode Etik bagi
LSM yang pernah muncul di Indonesia. Tujuan dari gagasan ini adalah mewujudkan
LSM Indonesia yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan etikal, sehingga
kepercayaan pihak luar (pemerintah, swasta, donor, serta publik yang lebih luas)
terhadap integritas komunitas LSM semakin meningkat. Baca Tim Fasilitasi LP3ES
untuk Kode Etik, Mengapa LSM Membutuhkan Kode Etik? dalam Hamid Abidin &
Mimin Rukmini (edt), Kritik & Otokritik LSM, Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan
Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia, Jakarta: Piramedia; 2004, hlm 157-179.
PENDAHULUAN 25

akar rumput. Lebih jauh, jika menimbang kembali kultur LSM Yog­
yakarta yang memang bertumbuh dari spirit gerakan dan pikiran
yang terbuka (open mind), maka penguatan koordinasi antar LSM
itu bisa terwujud dan bisa menginspirasi gerakan serupa di berbagai
wilayah lain di Indonesia. Bermodalkan pikiran yang terbuka itu,
mereka mudah menyadari atas kelemahan dan kekurangannya, hing-
ga mudah tergerak pula untuk segera berbenah dan belajar memper-
baiki kelemahan dan kesalahan itu secara bersama-sama.
Keempat, Munculnya kesadaran baru tentang penguatan jeja­
ring (networks) masyarakat sipil di Yogyakarta. Terkait erat dengan
kepedulian kalangan LSM dalam koordinasi di atas, penguatan jeja­
ring masyarakat sipil ini pada dasarnya merupakan agenda lanjutan
yang tak terpisahkan. Hanya saja lingkup dan cakupan jejaring ini
jauh lebih luas lagi. Cakupannya bukan hanya kalangan LSM saja,
melainkan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya (ormas, organ-
isasi berbasis komunitas, partai, pelaku bisnis, dan lain sebagainya).
Kelima, munculnya kesadaran baru tentang pentingnya penguat­
an kembali secara lebih intensif atas praksis-praksis pemberdayaan
masyarakat pasca bencana. Sangat disadari, bencana telah merubah
tatanan fisik, sosial, dan budaya masyarakat secara radikal dan mas-
sif. Jika perubahan itu tidak dikawal dan dimonitoring secara inten-
sif maka bisa dipastikan berbagai dampak negatif dari bantuan akan
segera menggumpal menjadi sistem dan tatanan sosial dan budaya
baru yang tidak sehat. Berbagai residu dan ekses sosial yang negatif
dari bantuan (terutama bantuan asing) harus ditangani dan dikorek­
si segera melalui intervensi penyadaran publik. Penggalian kembali
atas keutamaan nilai-nilai tradisi, pengetahuan, dan kearifan lo-
kal pun perlu diprioritaskan dalam kerja-kerja praksis penyadaran
publik di komunitas akar rumput tersebut. Dengan menggunakan
pendekatan yang partisipatoris, kendali perubahan sosial dan bu-
daya pasca bencana bisa dipegang dan digerakkan bersama-sama
melalui sinergi kekuatan jejaring masyarakat sipil yang ada. Dengan
kata lain, perubahan radikal dan massif akibat bencana itu harus di-
26 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

ikuti juga dengan rehabilitasi dan rekonstruksi yang radikal, massif,


dan menyeluruh pula (bukan rekonstruksi yang bias fisik seperti saat
ini). Terkait dengan dampak-dampak negatif yang merusak tatanan
dunia sosial masyarakat, rupanya kita juga harus segera mengerah-
kan seluruh kapasitas, kekuatan, dan kompetensi untuk melaku-
kan rekonstruksi sosial yang mendasar. Untuk itu, jalan menuju
kemandirian masyarakat melalui program-program pemberdayaan
harus mulai ditentukan titik-titik arahan, target, dan sasarannya. Di
sini, LSM harus memahami sungguh-sungguh kapan waktu yang te-
pat untuk mengucurkan bantuan dan kapan kucuran bantuan itu ha-
rus dihentikan. Jika kalangan LSM sendiri tidak punya kemampuan
untuk memahami dan menganalisis situasi dan kondisi warga, maka
LSM tersebut tidak akan pernah tahu kapan ia akan menghentikan
bantuan. Bagaimanapun juga diperlukan transfer pengetahuan dan
nilai perihal ancaman berbentuk bantuan ini bagi warga masyarakat.
Rekonstruksi sosial inilah yang menjadi agenda besar dan berat yang
mesti kita garap dan tuntaskan ke depan, tentu saja dengan keterli-
batan dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat sipil yang
ada.

Epilog: Menuntaskan Rekonstruksi Sosial


Menyadari bahwa program rehabilitasi dan rekonstruksi dari
pemerintah sangat bias fisik, maka koreksi bersama atas itu menjadi
tugas yang mendesak untuk dilakukan oleh jejaring masyarakat sipil.
Jejaring itulah yang akan menghidupkan modal sosial di masyara-
kat. Harus diakui, para penyintas (survivors) sendiri memang benar-
benar telah menunjukkan prestasi pengakumulasian modal sosial
yang sangat mengagumkan selama masa tanggap darurat (emergency).
Secara laten, harta karun sosial (seperti partisipasi aktif dari warga,
solidaritas sosial, gotong-royong, voluntarisme, spirit filantropis)
yang mereka rawat dan hidupi selama ini, tiba-tiba muncul menjadi
energi sosial yang sangat kuat hingga mampu meredam kekalutan
massa. Energi sosial itu pun telah berfungsi efektif sebagai jejaring
PENDAHULUAN 27

pengaman yang mampu menyelamatkan banyak nyawa. Di tengah


absennya negara, secara tiba-tiba, tak terduga, dan tanpa adanya
komando, warga penyintas bersama-sama elemen-elemen masyara-
kat lainnya berhasil menyelenggarakan tata kelola kebencanaannya
sendiri (disaster governance).21
Sayangnya, negara telah salah urus atas menguatnya modal
so­sial dalam wujud partisipasi aktif dari warga dalam penanganan
bencana ini. Dengan memaksakan kebijakan yang top down, negara
melupakan pentingnya suara korban bencana sebagai landasan ke-
bijakan yang pro rakyat. Kalau suara korban pun dinisbikan, alih-
alih diafirmasi dan diperkuat, partisipasi maupun modal sosial justru
dipatahkan oleh negara. Pendekatan kebijakan teknokratik yang
dibangun oleh state apparatus tidak saja berimplikasi pada terabai-
kannya hak warga korban namun juga terlewatkannya pertimbangan
sosial budaya yang berbasiskan keberagaman lokal.
Karakter kebijakan negara yang terkesan gebyah-uyah dan di­
seragamkan pada setiap komunitas masyarakat yang berbeda-beda
telah menyebabkan kebijakan negara—semisal POKMAS (Ke-
lompok Masyarakat)—menuai kecaman dan resistensi dari warga
kor­ban. Lebih celaka lagi, karena lembeknya kapasitas manajemen
dan monitoring pemerintah, program rehabilitasi dan rekonstruksi
akhirnya justru menciptakan konflik vertikal maupun horisontal di
masyarakat. Bermacam pola penilepan yang massif atas dana ban-
tuan dana DIPA (Daftar Isian Proyek Anggaran) juga telah men-
jadi dampak buruk ikutan yang kian memprihatinkan. Pemerintah
menutup mata atas itu. Pembiaran atas praktik penilepan yang me­
rambah ke berbagai level itu membuktikan bahwa pemerintah telah
abai terhadap aspek keadilan sosial di masyarakat. Praktik birokrasi
yang korup telah menular dan menjalar ke lapisan akar rumput. Pro-
gram rehabilitasi dan rekonstruksi terbukti telah menjadi azab bagi

21. Baca Benny D. Setianto, Governance by Accident in Indonesia Disaster Mitigation:


A Theoritical Literary Review Disaster dalam Jurnal Renai, Governance Bencana,
Tahun VII No.1 2007, hlm5-36.
28 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

ikhtiar menggapai keadaban publik. Dan itu merupakan ujian yang


berat bagi upaya rekonstruksi sosial pasca gempa.22
Terkait dengan agenda rekonstruksi sosial itu, perlu disadari,
masyarakat pra bencana memang tak seromantis kehidupan masya­
rakat pada masa feodal yang acap digambarkan tanpa konflik. Se-
belum terjadi bencana, masyarakat pada dasarnya telah bertinggal
bersama dan tentu saja berkonflik bersama. Namun demikian, ma-
syarakat juga belajar untuk meresolusikan konflik melalui kearifan
lokal serta modalitas sosial yang dipunya. Seharusnya kebijakan ke-
bencanaan juga diibangun dengan belajar pada basis historis yang
jelas sehingga mampu memperhitungkan potensi konflik dalam
masyarakat dan bukannya semakin memperuncing jurang konflik
dalam masyarakat.
Bagi masyarakat yang sadar pada bahaya kebijakan negara yang
tidak ramah dengan kearifan lokal mereka, kritik maupun resistensi
merupakan saluran untuk menyuarakan ketidakberdayaan warga
dalam bernegosiasi dengan kebijakan yang tidak ramah pada kearif­
an lokal mereka. Sebagaimana tercermin dalam gerakan GANTI
(Gerakan Aksi Tagih Janji) yang menuntut pemenuhan hak rakyat
sekaligus menyuarakan ketidakrelaan masyarakat apabila masyara-
kat terpecah belah akibat gempa susulan 30 juta skala rupiah yang
“diguncangkan” Sang Wakil Presiden, Jusuf Kalla.
Sementara bagi banyak warga korban yang lain, ketidakber-
dayaan tercermin dari kepatuhan untuk melaksanakan setiap juk-
lak-juknis peraturan kebencanaan yang tidak sesuai dengan konteks
mereka sehari-hari. Kebijakan yang tak menghitung rakyat sebenar­
nya bukan barang baru di negeri ini, tapi bila kebijakan itu dipak-
sakan untuk diterima dan dilaksanakan rakyat, contoh konkretnya
adalah POKMAS dan Bagitas (pembagian dana bantuan menurut

22. Mengenai penisbian modal sosial ini, baca lebih lanjut AB. Widyanta, Modal Sosial:
Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam Governance Kebencanaan (Belajar
Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya-Jateng) dalam Jurnal Renai, Governance
Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm 96-116.
PENDAHULUAN 29

prioritas), maka konflik sosial horisontal adalah sebuah realitas yang


diciptakan oleh struktur kebijakan. Konflik ini adalah gejala mani-
fest dari ketidakberdayaan masyarakat untuk bersuara di hadapan
pemerintah dan negaranya. Mereka adalah komunitas subaltern
yang mengalami penindasan bertubi dari struktur yang seharusnya
melindungi.
Membaca kapasitas, potensi dan kerentanan masyarakat da­
lam menghadapi terjangan gempa sebagai gejala alam dan gejala so­
sial, perlu dilakukan LSM dengan hati-hati dan tanggap. Dengan
menghitung masyarakat di dalam kebijakan, LSM dapat mendesain
program yang dibutuhkan masyarakat sekaligus mengadvokasikan
problem masyarakat (baca: menyuarakan). Namun bila pengabaian
dilakukan, niscaya kekeruhan di aras akar rumput merupakan capai­
an kerja LSM yang mengadopsi pola kerja birokrasi negara. Maka,
kembali kepada sebuah upaya untuk melihat bencana sebagai mo-
mentum, bencana bisa menjadi momentum baik maupun momen-
tum buruk. Di tengah kondisi anomi dan chaotic karena rusaknya
tatanan sosial lama, LSM bisa mengambil peran untuk mengkerang-
kai kapasitas dan potensi masyarakat dengan nilai-nilai demokrasi,
pemberdayaan dan lain sebagainya. Upaya itu juga harus didukung
dengan kerja konkret untuk menghitung mereka yang tak pernah
dihitung, menyuarakan mereka yang tak berani bersuara.
Sebagai contoh, kelompok rentan, minoritas maupun kelas so-
sial bawah adalah bagian dari masyarakat yang sebelum terjadi ben-
cana telah mengalami sekian banyak pengabaian. Melalui bencana
sebagai momentum, kelompok-kelompok ini harus didukung untuk
berani bersuara dan diakui kapasitasnya oleh masyarakatnya sendiri.
Keterlibatan kelompok-kelompok marginal di atas akan mendorong
demokratisasi dan penciptaan struktur sosial baru yang lebih baik.
Maka kembali kepada agenda rekonstruksi sosial yang radikal, mas-
sif, dan menyeluruh, LSM harus bersungguh-sungguh melakukan
pendidikan dan penyadaran publik yang partisipatoris di tingkat ba-
sis. Di tingkat praksis, kalangan LSM harus mendelegasikan kepada
30 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

para stafnya (community organizer) yang berkompeten, berkomitmen,


dan berpengalaman sungguh-sungguh untuk itu. Jangan lagi, agenda
seserius itu dijadikan ajang uji coba bagi para staf lapangan yang baru
atau bahkan para volunteer di LSM tersebut. Sementara, para staf
LSM yang berkapasitas dan berpengalaman (biasanya staf senior)
justru semakin jarang atau bahkan sudah tidak terlibat sama sekali
di komunitas basis, lantaran telah menjadi kaum elit LSM. Jujur ha-
rus diakui, pola manajeman yang salah kaprah semacam itulah yang
seringkali terjadi di LSM selama ini. Demi kesuksesan rekonstruksi
sosial itu, kalangan LSM harus berani menata dan mengubah dirinya
untuk kembali ke kithah.
Kiranya, merupakan tugas besar bagi seluruh pemangku ke-
pentingan (stakeholders), terutama pemerintah, untuk merombak
sesat pikir dan sesat tindakan atas sumbangan modal sosial berupa
partisipasi aktif warga korban di atas. Terkaitan dengan modal so­
sial itu, Fukuyama telah mengingatkan kepada kita bahwa:23

Pemerintah mampu membentuk modal sosial, tapi juga bisa meng­


hancurkannya... Negara-negara yang tidak berhasil menjamin ke­
amanan masyarakat atau hak milik pribadi cenderung menghasilkan
warga yang tidak saja tidak percaya kepada pemerintah, melainkan
juga kepada sesama warga lainnya dan sulit menjalin ikatan dengan
orang lain. Pertumbuhan negara-negara kesejahteraan modern,
pemusatan fungsi-fungsinya, dan campur tangannya dalam hampir
semua bidang kehidupan cenderung memperlemah hubungan spon­
tan antarwarga. Negara sebagai sekutu dan sebagai seteru modal
sosial.

Di sini, seluruh pemangku kepentingan, terutama kalangan


pemerintah, harus belajar memahami dan mengimplementasikan
hakikat dari partisipasi itu. Secara fundamental, partisipasi sangat
dibutuhkan untuk menjaring informasi terpercaya, dan kemudian

23. Francis Fukuyama, Guncangan Besar, Jakarta: Gramedia, hlm.316-318


PENDAHULUAN 31

dipergunakan sebagai alat kontrol yang riil, dan akhirnya berfungsi


sebagai penjaga gawang dari setiap tindakan pemerintah. Dari sisi
berbeda, partisipasi juga sangat dibutuhkan sebagai taji penghujam
yang mampu mendorong kinerja pemerintah untuk lebih efisien dan
menciptakan pengaruh balik bagi layanan publik. Ini merupakan
sesuatu yang penting untuk mengawasi akses dan kualitas pelayanan
publik oleh negara. Berbagai bukti empirik mengindikasikan bahwa
sebuah masyarakat sipil yang kuat dan kaya dengan modal sosial
akan mampu memerankan peran kritis di dalam mendorong gover-
nance kebencanaan yang handal.24
Kiranya inilah hikmah yang bisa kita petik bersama dari bencana
gempa bumi Yogya-Jateng setahun silam. Bencana telah memberi
kita momentum untuk mawas diri dan membenahi segala kekilafan,
kecacatan, dan kelemahan dalam keberagaman dan kebersamaan
yang kokoh. Dengannya kita bisa saling menguatkan hakikat peran
masing-masing untuk sebuah sinergi keberpihakan yang riil kepada
warga korban bencana ke depan. Dengan mengenang para syuhada
gempa, semoga kita mampu menginisiasi diri menjadi bangsa pem-
belajar dan pemetik hikmah yang baik. Sehingga kita bisa mewujud-
kan kesadaran baru bahwa hidup harus dirawat, diperjuangkan, dan
dijaga keberlangsungan dan keadabannya demi anak, cucu, dan cicit
generasi kita mendatang. Untuk menuntaskan rekonstruksi sosial
itu, seberapa tangguhkah kita?[]

24. AB. Widyanta, Modal Sosial: Partisipasi Warga Yang Selalu Dinisbikan Dalam
Governance Kebencanaan (Belajar Dari Penanganan Gempa Bumi Yogya-Jateng)
dalam Jurnal Renai, Governance Bencana, Tahun VII No.1 2007, hlm.114
32 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Daftar Pustaka

Abidin, Hamid & Rukmini, Mimin (edt), 2004; Kritik & Otokritik
LSM, Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya
Masyarakat Indonesia, Jakarta: Piramedia;
Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Susulan ke 7, 1 Agustus 2006
Clark John, 1995, NGO dan Pembangunan Demokrasi; Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Draf Rencana Aksi Daerah tentang Pengurangan Risiko Bencana
Erler, Brigitte, 1989, Bantuan Mematikan, Catatan Lapangan tentang Bantuan
Asing; Jakarta: LP3ES.
Eugene Garfield, 199, What Is The Primordial Reference For The Phrase ‘Publish
Or Perish’? The Scientist, Vol:10, #12, p.11, June 10,
Figley, Charles R. Ph.D, Compassion Fatigue: An Introduction dalam www.
greencross.org
Fukuyama, Francis, 2005, Guncangan Besar (terjemahan bahasa Indonesia
oleh Masri Maris), Jakarta: Gramedia.
Jary, David & Jary, Julia, 1991, Collins Disctionary of Sociology, Great Britain:
Harper Collins.
Kompas, 2004, LSM Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan; Jakarta:
Kompas
Kuper, Adam & Kuper, Jessica, 2000, Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta:
Rajawali Press
Notulensi Rembug Konsolidasi Masyarakat Sipil Yogyakarta, 29 Juli 2006
tentang Rancangan Code of Conduct Penanganan Pasca Bencana
Gempa Bumi Yogya-Jateng.
Putranti, Basilica D. & Subagya, Y. Tri, 2005, Jerat Bantuan, Jerit Pengungsi,
Penanganan Kesehatan Reproduksi di Poso Pasca Konflik, Yogyakarta:
PSKK UGM dan Ford Foundation.
Suharko, 2005, Merajut Demokrasi, Hubungan NGO, Pemerintah, dan
Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001); Yogyakarta:
Tiara Wacana
Zaidi, Zaim; Nugroho, As’ad; Abidin, Hamid, 2004, Merebut Hati Lembaga
Donor, Kiat Sukses Pengembangan Program, Manual dan Panduan Menyusun
Proposal dengan Teknik Analisis Kerangka Logis; Jakarta:Piramedia.
Kisah Rumah di Tanah Gempa
Napak Tilas Tradisi Membangun
Rumah Tradisional Jawa1

AB. Widyanta2

“Kabeh niku mboten wonten sing tahan


gempa.”
(Samijo)
“Pas enten gempa wingi griya kula
njondhil-njondhil, gendhenge sami
mawut, cagake anjlok saking umpak,bar
niku namung dhoyong. Mboten
ambruk.”
(Ngatimin)
“Susunan konstruksi tradisional, dengan
bahan kayu yang elastis fleksibel, ber­
pondasi titik dari tiang-tiang
pen­dukung tanpa pembebanan pada
dinding-dinding, memungkinkan
selu­ruh bangunan bisa “melenggang”
menyesuaikan diri secara elastis dengan
getaran.”
(YB. Mangunwijaya)

1. Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan berjudul Rumah Punya Sejarah,
Napak Tilas Pembangunan Rumah Tradisional Jawa. Tulisan yang pernah dimuat

287
288 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Mitos Rumah Tahan Gempa: Suatu Pengantar

K
osa kata “tahan gempa” mendadak nge-pop di masyarakat
Yogya dan Jateng pasca gempa 27 Mei 2006. Simaklah
bagaimana masyarakat menggunakan kosa kata itu dalam
berbagai kesempatan. Mulai dari rasanan warga di angkringan, per­
bincangan warga di gardu ronda, rapat RT, rembug desa, hingga
rapat kedinasan di kantor-kantor pemerintah, kata itu nyaris tak
pernah absen. Memasuki masa rekonstruksi, kosa kata itu kian
santer diperbincangkan. Sebutan rumah “tahan gempa”, bangunan
“tahan gempa”, konstruksi “tahan gempa”, dan semacamnya semakin
familiar di telinga khalayak. Berbagai media masa (cetak dan elek­
tronik) pun tak luput memakai kosa kata itu dalam berragam
pem­beritaannya. Iklan-iklan layanan masyarakat dan advertensi
komersial ternyata juga tak mau kalah untuk itu. Entah mengapa,
kosa kata rumah “tahan gempa” sangat populer di kawasan Yogya
dan Jateng. Hingga kelatahan pun tak terelakkan. Seakan tak afdol
tanpa menyebutnya.
Memang, propaganda rumah “tahan gempa” diam-diam te­
ngah menjadi aktivitas yang acap tak disadari dampaknya oleh

di www.suarakorbanbencana.org itu merupakan hasil wawancara penulis dengan Ir.


Mahatmanta, Pengajar Perkembangan Arsitektur di UKDW. Dalam rangka refleksi
1 tahun penanganan pasca gempa Yogya-Jateng, tulisan ini diangkat kembali dan
ditambahi dengan berbagai kasus dan persoalan aktual yang terjadi di masyarakat
selama pasca gempa. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada Mas
Anto, arsitek populis-kultural-mengagumkan, yang telah berkenan memperkaya
pemahaman penulis tentang nilai-nilai kultural yang terkandung dalam arsitektur
rumah Jawa. Untuk itu, penulis mendedikasikan tulisan ini secara khusus untuk Mas
Anto, para warga korban, dan siapa saja yang peduli dan tak kenal lelah berpraksis
untuk nguri-uri berbagai nilai kearifan lokal.
2. AB. Widyanta adalah staf peneliti di Cindelaras Institute for Rural Empowerment
and Global Studies dan Mantan Koordinator Forum Suara Korban Bencana. Forum
SUARA (Solidaritas untuk Emergensi, Advokasi, dan Rehabilitasi) adalah forum
koordinasi organisasi non-pemerintah yang dideklarasikan oleh 26 ORNOP yang
bekerja di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 29 Mei 2006, dua hari
setelah gempa melanda kedua wilayah tersebut.
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 289

berbagai kalangan masyarakat. Andil terbesar boleh jadi muncul dari


kalangan staf pemerintah, akademisi, arsitek, pakar teknik sipil, dan
tak ketinggalan aktivis-aktivis LSM. Berbagai kajian ilmiah perihal
rumah “tahan gempa” yang digelar oleh dinas Pekerjaan Umum
misalnya saja—dengan melibatkan para kaum cerdik cendikia
da­ri berbagai universitas ternama—telah menjadi bukti atas itu.
Kiranya tidaklah berlebihan jika kita menyebut mereka (kaum biro­
krat dan intelektual) sebagai produsen utama atas jargon rumah
“tahan gempa” itu. Berbagai gagasan ilmiah perihal rumah “tahan
gempa” yang diyakini “sahih” akhirnya berhasil direpetisikan hingga
termassifikasi dengan sangat baik di kalangan masyarakat. Kaum
cerdik cendikia benar-benar sukses sebagai trend setter bahasa (baca:
jargon).
Menyoal bahasa, kita mungkin teringat gagasan Jacques Lacan
perihal pikiran manusia yang dibentuk oleh bahasa. Baginya, begitu
besar kekuatan yang terkandung dalam bahasa. Entah bagaimana
realitas yang sesungguhnya, namun yang jelas apa yang dikatakan
di­anggap sebagai kebenaran. Bahasa telah menjadi realitas yang
memuat kebenarannya sendiri. Dalam konteks ini, pemikiran Lacan
menemukan relevansinya. Di mata masyarakat, jargon “tahan gempa”
telah diyakini sebagai sesuatu yang benar adanya. “Tahan gempa”
telah menjadi kebenaran itu sendiri. Bagaimanakah realitas atau
ke­nyataan yang sesungguhnya? Apakah rumah “tahan gempa” yang
diucapkan itu merujuk pada kenyataan atas rumah yang benar-benar
tahan terhadap gempa? Di sinilah letak persoalannya. Jargon rumah
“tahan gempa” yang dikontruksi kaum cerdik cendikia tak merujuk
pada realitas atau kenyataan yang sesungguhnya. Tepatnya, rumah
tahan gempa itu hanyalah mitos. Kenyataan telah menunjukkan
bahwa rumah dan bangunan kokoh dengan konstruksi baja yang kuat
sekalipun ternyata rontok juga oleh guncangan gempa Sabtu Wage,
27 Mei 2006 silam. Ada banyak kesaksian warga tentang itu. Rumah
bisa tahan terhadap gempa atau tidak, hanya bisa diuji oleh gempa
itu sendiri, dan bukan oleh kaum cendikia—yang memproduksi
jargon rumah “tahan gempa”—tersebut.
290 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Ada satu contoh menarik perihal itu. Di pinggiran jalan raya,


sebelum memasuki gapura kota Bantul, berdiri sebuah rumah yang
baru saja di bangun setelah gempa terjadi. Oleh si pemilik, rumah
tersebut diberi label “Rumah Contoh Tahan Gempa” Rangka Rumah
“Harapan”.3 Jika dibaca sekilas, tak ada yang lucu dalam tulisan itu.
Namun bila tulisan itu ditautkan dengan konteks bahwa rumah itu
dibangun setelah gempa berlalu, maka barulah kelucuan muncul.
Ditilik dari kronologi waktu, terasa ganjil jika rumah yang dibangun
setelah gempa kok diberi label “Rumah Contoh Tahan Gempa”.
Ironi. Argumen “tahan gempa” dalam tulisan tersebut sejatinya
te­lah ternegasikan dengan sendirinya ketika kita meletakkannya
dalam konteks kronologi waktu. Mustinya predikat tahan gempa
hanya layak diatributkan pada rumah yang didirikan sebelum gempa
terjadi, dan pasca guncangan gempa rumah itu masih tetap berdiri
kokoh. Itulah rumah tahan gempa dalam arti yang sesungguhnya.
Rumah tahan gempa mustinya merujuk pada kenyataan bahwa
rumah itu benar-benar telah teruji oleh guncangan gempa, dan
bukannya jargon kosong yang jauh dari realitas sesungguhnya.
Sebutan “Rumah Tahan Gempa” itu sendiri, jika ditilik da­ri
kultur Jawa, secara implisit memuat simtom-simtom sikap nggege
mongso dan grusah-grusuh. Kata nggege mongso itu kira-kira menjelaskan
tentang sebentuk keinginan dan harapan semata yang serba abai
terhadap konteks waktu, situasi, dan kondisi yang sesungguhnya.
Sementara, kata grusah-grusuh menjelaskan perihal sikap yang se­
nantiasa tergesa-gesa hingga tindakan serba tidak tepat. Lebih jauh
lagi, pengertian nggege mongso itu sendiri merujuk pada situasi dari
sebuah keinginan yang sama sekali tidak didasari dan ditopang oleh
adanya sarana-sarana pendukung yang riil dan memadai. Sebutan
“Rumah Tahan Gempa” itu pada hakikatnya hanya sekadar keinginan
dan harapan belaka tanpa merujuk kondisi dan kualitas riilnya.

3. Pemberitaaan satir mengenai Rumah Contoh Tahan Gempa ini pernah muncul
dalam Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke-20, 1 November 2006, hlm.2.
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 291

Tidaklah masuk di akal saja jika rumah yang baru kemarin sore
dibangun sudah disebut, bahkan lebih celaka lagi dipropagandakan,
sebagai rumah tahan gempa. Bukankah itu merupakan sebutan
yang nggege mongso, prematur, dan terlalu dini untuk dimunculkan
(lantaran kualitas belum teruji oleh gempa sungguhan)? Sebutan itu
sendiri sebenarnya masih berkadar “harapan”, dan bukan realitas
yang mengandung kualitas (tahan gempa) yang senyatanya.
Pembacaan atas fenomena “Rumah Tahan Gempa” sebagai
sekadar harapan dan bukan realitas itu lebih jauh bisa dianalogikan
dengan kasus berikut. Tatkala ada orang tua menamai anak lelakinya
yang baru lahir dengan nama Joko Prakoso, itu berarti si orang tua
berkeinginan agar anaknya kelak bisa menjadi sosok yang sesuai
dengan makna yang terkandung dalam nama tersebut. Dalam bahasa
Jawa, joko berarti anak laki-laki. Sementara, prakoso berarti gagah,
kuat, dan perkasa. Dengan demikian, tatkala memilih dan memberi
nama kepada anaknya yang baru lahir itu, si orang tua pastilah tengah
menyemai harapan agar kelak di kemudian hari anak tersebut bisa
tumbuh dan dewasa sebagai seorang lelaki yang senantiasa sehat,
kuat, gagah, dan perkasa layaknya Bima.4 Tapi benarkah si anak itu
senyatanya akan menjadi lelaki yang gagah, kuat dan perkasa? Realitas
kadang tak seturut harapan. Acap kali harapan yang dititipkan dalam
sebutan nama tak senantiasa menunjuk pada kualitas makna atau sifat
baik dari realitas yang sesungguhnya. Contoh analogi ini kiranya bisa
menjelaskan argumen bahwa merebaknya fenomena “Rumah Tahan
Gempa” adalah fenomena tentang idealisasi harapan. Lantaran di­
propagandakan dan didesakkan seolah-olah sebagai realitas, maka
sejak itulah muncul konsep yang lazim disebut sebagai jargon.
Jika sekadar jargon, maka berarti propaganda kepalsuan
tengah berlangsung. Label “Rumah Contoh Tahan Gempa” di atas
benar-benar kebenaran palsu. Memang, sudah teramat lazim dalam
4. Bima yang merupakan nama lain dari Wijaksena, alias Werkudoro, ayahanda
Gatotkaca, adalah salah seorang tokoh dalam pewayangan yang menggambarkan
seorang ksatria berperawakan besar, gagah, dan perkasa.
292 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

keseharian hidup kita menjumpai sindroma pedagang obral “obat


panasea penyembuh se-abreg-serombongan penyakit”, “kecap nomor
satu”, dan berbagai ungkapan serupa. Terkait dengan jargon rumah
“tahan gempa” ini rupanya kita pun tengah menghadapi sindroma
sejenis. Selidik punya selidik, tak jauh dari praduga, bahwa ternyata
si pemilik “Rumah Contoh Tahan Gempa” tadi adalah sebuah per­­
usahaan rancang bangun perumahan yang tengah melakukan pro­
mosi produk sekaligus jasa konstruksi.
Kekhawatiran pun meruyak. Sindroma pengobral obat rupanya
tengah menjadi endemi. Tanpa sadar, kita semua andil dalam me­
reproduksi sulapan bahasa yang jauh dari rujukan kebenaran. Boleh
jadi kita tengah ingkar atas pentingnya sebuah bahasa kebenaran
yang musti ditegakkan. Sampai-sampai kita rela menggadaikan
mar­tabat dan memilih jadi pesulap-pesulap yang tengah berupaya
menyembunyikan modus demi meraup fulus. Terbukti benar ung­
kapan Lacan, bahasa memiliki kekuatannya sendiri. Dengan ba­
hasa, kaum intelektual bisa membungkus kepentingan sekaligus
mengendarai pikiran banyak orang demi kepentingannya. Dalam
kon­teks ini, rezim teknokratis sungguh-sungguh berfungsi sangat
efektif dalam mendongkrak jargon rumah “tahan gempa” yang pada
hakikatnya adalah mitos. Benar-benar suatu kekhawatiran yang tak
terpalingkan.
Sedemikian parahkah implikasi dari jargon rumah “tahan
gempa” di atas? Bukankah bantuan rumah “tahan gempa” yang te­
ngah marak dibangun Kelompok Masyarakat (Pokmas) saat ini ter­
bukti diterima dan berguna juga bagi masyarakat? Boleh jadi itulah
gugatan benak kita. Gugatan itu tidaklah salah. Namun bila ditilik
mendalam, jawabnya tak sesederhana itu. Harus diakui, bantuan
rumah pasca bencana biasanya tak menyajikan banyak pilihan bagi
penyitas (survivors). Sebagaimana lazimnya, bantuan cenderung
tak ramah kebutuhan warga. Ketergopohan respon pasca bencana
meniscayakan rancangan dan implementasi kebijakan abai terhadap
kultur lokal. Kasus penanganan pasca gempa Yogya dan Jateng telah
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 293

membeber fakta itu. Kita tentu mafhum mengenai fakta seputar


mekanisme bantuan berikut konstruksi standar rumah “tahan gem­
pa” dari pemerintah yang diinstruksikan ke seluruh Kelompok
Masyarakat (Pokmas).
Contoh lain yang lebih spektakuler bisa kita simak pada kasus
pembangunan rumah a la Teletubbies (rumah dome) di Padukuhan
Sengir, Kelurahan Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman,
Yogyakarta.5 Sekadar mengusung proyek ber-jargon rumah “tahan
gempa”, sebuah lembaga bantuan asing—yang tentu saja atas
seijin Pemerintah Kabupaten Sleman6 dan Pemerintah Propinsi—
berkolaborasi dengan arsitek dan staf lokal membangun rumah
beton berbentuk parabola tengkurap. Pembangunan rumah dome
itu sungguh-sungguh abai terhadap kebutuhan warga. Misalnya,
berapapun jumlah anggota keluarga yang akan menghuni, bangunan
rumah tetap dirancang seragam. Itu berarti, rumah ini sama sekali
tidak mengenal konsep rumah tumbuh layaknya rumah Jawa yang
serba luwes untuk dideformasi sewaktu-waktu. Bangunan yang
seragam dengan desain “mati” semacam itu merupakan simbolisasi
kematian jiwa-jiwa kreatif penghuninya.

5. Di area tanah seluas 2,5 hektar, sebanyak 81 rumah dome didirikan dengan rincian 73
rumah tinggal, 2 masjid, 6 MCK. Menurut kalkulasi mereka, biaya pembangunan rumah
dome ini berbiaya di bawah 15 juta. Namun biaya paling besar dalam pembangunan
rumah dome ini adalah biaya pengadaan balon untuk mempola bangunan parabola
tersebut. Balon-balon tersebut didatangkan dari Amerika Serikat. Konon rumah
Dome ini oleh donatur pernah dibangun di beberapa negara seperti Kenya, India,
Thailand, dan Chili. Menurut seorang nara sumber, rencana awalnya rumah Dome
ini akan dibangun di wilayah Bantul. Lantaran Bupati Bantul tidak mengijinkan dan
bahkan menolak mentah-mentah, maka bermigrasilah rumah Dome ini ke wilayah
yang lebih mudah diajak “kompromi”, Sleman. Konon, “pembawa” rumah Dome ini
adalah seorang mantan menteri di era kabinet Abdurahman Wahid (Gus Dur).
6. Sebuah ungkapan ironis muncul dari Bupati Sleman. Secara khusus Sang Bupati
justru merasa beruntung lantaran Sleman memiliki rumah-rumah dome ini. Secara
panjang lebar ia mengungkapkan: “Dengan bentuknya yang unik bisa saja rumah dome
tersebut menjadi monumen peristiwa gempa 27 Mei, serta menjadi aset wisata yang
menarik untuk dikunjungi wisatawan. Kawasan itu juga bakal menjadi situs budaya
yang mengingatkan kita akan semangat hidup dan semangat gotong royong.” Dikutip
dari Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage 27 Mei 2007, hlm.3
294 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Merujuk pada kultur Jawa, omah (rumah) acap diyakini sebagai


semah (belahan jiwa, soulmate, layaknya istri atau suami). Omah
merupakan simbolisasi dari kelekatan tata relasi fisik dan ekspresi
jiwa para penghuni sebagai ruhnya. Konsep omah ini juga dipakai
pada saat orang jawa memasuki jenjang perkawinan atau hendak
membangun hidup baru bernama keluarga. Menurut kultur Jawa,
orang yang memasuki jenjang perkawinan atau hidup baru itu lazim
disebut sebagai omah-omah. Artinya, persoalan berumah tangga
dalam perkawinan Jawa bukanlah sekedar membangun bangunan
fisik artifisial berupa omah semata. Melampaui itu, filosofi omah-omah
melukiskan perihal totalitas relasi dan dialog dua hati yang padu
dalam lingkup jagad mikro bernama omah. Di sini, omah dimaknai
sebagai ruang privat yang selalu menanti untuk diisi, dihidupi, dan
dijiwai oleh penghuninya. Itulah sebabnya mengapa bangunan
rumah Jawa tidak statis, melainkan luwes dan dinamis sesuai dengan
kebutuhan semasa dari penghuninya.
Bentuk-bentuk rumah Jawa pun akan selalu mengikuti
dinamika anggota keluarga. Tatkala ada anggota keluarga yang
hendak me­lakukan omah-omah, maka tidak jarang bentuk rumah akan
berubah. Beberapa bagian rumah diberikan sebagai sangu warisan
bagi keluarga baru itu. Harapannya, meski terpisah oleh jarak,
namun keluarga baru tersebut masih tetap mewarisi ruh omah lama.
Maka di manapun keluarga baru itu tinggal, mereka telah menjadi
satu kesatuan yang utuh dan tak akan pernah terpisahkan. Itulah
sebab mengapa kekerabatan di masyarakat Jawa begitu kuat. Dalam
konteks kultural semacam ini, tak sulit bagi kita untuk melukiskan
dampak kultural rumah dome tersebut bagi masyarakat Sengir kelak
di kemudian hari.
Di sinilah letak dimana kita mesti mempertanyakan kembali
akar persoalan dari kebijakan rekonstruksi yang sangat massif
dan abai kelokalan warga. Rumah yang dibantukan dan bahkan di­
bangunkan oleh wong liya (orang lain) boleh jadi adalah hal yang
samasekali baru bagi kamus masyarakat Jawa. Kita tidak tahu apa
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 295

yang terjadi dengan jagad mikro (dunia privat) masing-masing warga


tatkala mereka tidak melibatkan otak, tangan, dan hatinya dalam
membangun sendiri rumah yang akan mereka huni nanti. Inilah
gugatan fundamental yang pantas kita renungkan bersama.
Secara umum kita bisa menegaskan bahwa pembangunan
rumah dome sungguh-sungguh telah mengabaikan berbagai aspek-
aspek ekologis, sosial, dan budaya masyarakat. Warga yang biasa­nya
menghuni rumah kampung, limasan, ataupun joglo, kini harus tinggal
di dalam tempurung beton. Layaknya oven roti, bisa dipastikan,
cuaca panas akan memanggang seluruh penghuni rumah. Terlalu
sepele bagi rasio modern untuk memecahkan persoalan itu. Air
Conditioner (AC) adalah solusinya. Luar biasa. Penggagas rumah
dome ini benar-benar tak kurang akal. Lantaran berlebih akal, yang
kemudian terjadi adalah proyek akal-akalan. Sesat pikir tepatnya.
Nalar sederhananya, pastilah AC itu butuh kapasitas listrik yang
sangat besar. Di tengah membumbungnya biaya-biaya pelayanan
publik seperti listrik saat ini, tidakkah mereka berfikir bahwa
bantuan itu justru akan memasung warga nantinya? Tidakkah
mereka berfikir bahwa dengan bantuan semacam itu, warga menjadi
tergantung kepada teknologi yang sama sekali tak memiliki basis
topangan kultural maupun sumberdaya lokal? Kiranya, nalar sehat
akan mengerti bahwa bantuan semacam itu tidak membantu, tapi
justru membebani warga. Kiranya sejarah juga telah mencatat perihal
kasus-kasus bantuan yang mematikan. Dan inilah salah satu contoh
riilnya. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa rumah
dome akan benar-benar berdiri di wilayah Yogyakarta. Boleh jadi,
inilah kali pertama sejarah mencatat masuknya rumah dome dalam
kasanah arsitektur rumah Jawa.
Sayang, gayung terlanjur bersambut. Para warga nampak
gembira menerimanya. Menurut penuturan warga: “Sudah mending­
an kami dapat bantuan rumah, Mas. Namanya saja bantuan, kami
sadrema mung nampa seneng (semata-mata hanya bisa menerima
dengan senang hati).” “Namanya bantuan kalau tidak di terima ya
296 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

mubazir, mas!” Begitulah warga menyodorkan beragam argumen,


seolah menegaskan adagium orang Jawa yang berbunyi: “Ora ilok
nampik pawehing lian” (pamali menampik pemberian orang). Bantuan
materi sebentuk omah batok-beton (rumah tempurung dari beton)
tanpa disangka-sangka hadir sebagai rejeki nomplok atau bahkan
anugerah besar yang terlalu sayang jika ditolak. Benar-benar Klop.
Sempurnalah sudah. Jika sudah sedemikian situasinya, lantas siapa
yang musti bertanggungjawab atas carut marutnya pengelolaan
bantuan asing yang tak ramah terhadap kearifan lokal dan pada
akhirnya justru menjerat dan memasung warga semacam ini? Da­
lam situasi semacam ini, muncul satu pertanyaan yang senantiasa
menggelitik dan menuntut jawaban. Sejauh mana kita menentukan
tolok ukur bahwa bantuan itu merupakan berkah atau bencana?
Inilah dilema yang mau tak mau harus kita hadapi dan pecahkan
bersama.
Bagaimanapun juga, gempa secara kasat mata telah merubah
tata sosial dan kultural masyarakat. Wacana kultural semakin berkelit
berkelindan dengan wacana ekonomi politik bantuan. Dramaturgi
sosial pasca gempa nampaknya kian kompleks. Namun patut kita
sadari bahwa repitisi latah atas jargon rumah “tahan gempa” telah
menghilangkan kesadaran kritis orang. Sampai-sampai terasa sulit
memilah antara mitos dan realitas. Secara gamblang, jargon rumah
“tahan gempa” yang nge-trend pasca bencana telah membeberkan
fakta bahwa masyarakat kita ternyata lebih menggandrungi mitos
ketimbang realitas. Itulah wajah dunia sosial kita pasca gempa.

Segala Sesuatu Tak Ada yang Tahan Gempa7


Di tengah hiruk pikuknya jargon rumah “tahan gempa”, suara-
suara lirih warga muncul sesekali di sana-sini. Terdengar lirih lantaran
mereka terkucilkan oleh mainstream jargon rumah “tahan gempa”.
Suara-suara itu bermunculan dari para warga yang menjadi saksi
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 297

mata atas kelenturan berbagai model rumah tradisional Jawa tatkala


gempa mengguncang. Adalah Ngatimin, seorang warga dari dusun
Karangasem RT 02, Muntuk, Dlingo, Bantul, yang menuturkan
perihal rumahnya saat terjadi gempa. Dengan berbahasa Jawa kromo,
lebih jauh ia mengisahkan:8

“Pas enten gempa wingi griya kula njondhil-njondhil, gendhenge


sami mawut, cagake anjlok saking umpak, bar niku namung dhoyong.
Mboten ambruk.”

(Ketika gempa terjadi, rumah saya berjingkrakan, genteng


berjatuhan, ujung bawah tiang rumah terperosok anjlok dari atas
umpak, setealah itu rumah hanya miring. Tidak ambruk.)

Begitulah Ngatimin mengisahkan pentas tarian alam rumah


limasan-nya saat gempa bertandang di dusunnya. Ingatan Ngatimin
ternyata berhasil merekam dengan baik bahwa di RT 02 tersebut
sebagian besar rumah warga adalah rumah tradisional bergaya limas­
an. Itulah sebabnya, menurut argumen Ngatimin, hanya ada 2 rumah
dan 1 mushola yang roboh. Padahal jika ditilik dari letak geografis,
Desa Muntuk sangat berdekatan dengan lokasi pusat gempa, yaitu
di tempuran Opak-Oya.
Kisah serupa ditemui juga di daerah Nglatiyan II, Ngentak
Rejo, Lendah Kulon Progo. Suparno, pemilik rumah tradisional
Jawa bergaya joglo, menceritakan kembali perihal rumah joglo yang
tetap melenggang saja meski gempa mengguncangnya. Menurut
penuturan Suparno:9

7. Sub judul ini merupakan terjemahan dari pendapat Samijo (64 tahun) yang
mengatakan: “Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa”. Kutipan diambil dari
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke 23, 22 November 2006, hlm.2.
8. Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Lebaran 25 Oktober 2006, hlm. 2.
9. Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-22, 15 November 2006, hlm.2.
298 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Saya dan seluruh keluarga sudah berada di luar sehingga bisa melihat
rumah ini berayun-ayun. Padahal pada waktu kejadian itu sepertinya
sudah mau roboh ke utara, tapi ya nggak jadi.

Benar-benar mengejutkan. Rumah joglo berusia hampir 50 tahun


itu terbukti sanggup mengatasi ayunan gempa berskala 5,9 skala
richter.
Tak kalah mengejutkan dari itu adalah kisah rumah kuno Mbah
Mangun Sumarto (86 tahun). Rumah limasan berusia lebih dari
100 tahun itu terletak di RT 06, Dusun Gandikan, Kaligondang,
Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul. Kisah rumah kuno Mbah
Mangun kian menyempurnakan dua kisah rumah tradisional Jawa di
atas. Menurut sejarahnya, rumah tersebut pernah digoyang gempa
pada tahun 1942, dan terbukti masih sanggup mengatasi gempa pada
27 Mei 2006 silam. Lebih jauh, Mbah Mangun menuturkan, rumah
limasan yang dihuninya tidak berubah dari dulu hingga kini. Bahan
baku yang digunakan masih asli semuanya. Sambungan antar kayu
menggunakan semacam paku/kancing kayu berbentuk bulat atau
yang biasa disebut sunduk kili. Pada saat gempa terjadi, rumah kuno
Mbah Mangun ini juga hanya meliuk ke kanan dan ke kiri. “Mung
doyong sisih kidul kuwi” (hanya miring sebelah selatan itu), begitu
tutur ringan Mbah Mangun dengan bahasa Jawa ngoko-nya.10
Berbagai kisah unik yang dituturkan oleh Ngatimin, Suparno,
dan Mbah Mangun di atas hanyalah contoh kecil dari sekian banyak
kisah warga yang tak sempat terpaparkan kepada khalayak secara
memadai. Kendati demikian, kalangan masyarakat sebenarnya te­
ah mendengar dan memperoleh impresi khusus mengenai kisah
“kandang-kandang sapi” yang masih tetap berdiri kokoh meski gempa
dahsyat menerpanya. Banyak sekali kasus di lapangan menunjukkan
bahwa para warga akhirnya justru “menggusur” ternak-ternak dan
memanfaatkan kandang sebagai hunian sementara. Inilah kisah
10. Uraian ini dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22
November 2006, hlm.2.
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 299

yang sesungguhnya sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Sayangnya,


nilai-nilai itu sering dianggap usang, tradisional, tak modern, dan
lebih celaka lagi, tak memiliki makna apapun, kecuali sebagai cerita
lalu yang hanya pantas dikenang saja. Belajar dari kisah kandang
itu, kita sejatinya bisa memetik buah refleksi tentang bagaimana se­
sungguhnya prinsip dan konstruksi rumah yang responsif/tanggap
terhadap gempa, dan bukannya rumah tahan gempa sebagai jargon
yang justru latah dan menyesatkan.
Memang itulah sesat pikir yang telah mewabah di wilayah pu­
blik. Hingga teramat sulit untuk meluruskannya kembali. Terkait
dengan konsep rumah modern yang kini marak dibangun pasca gem­
pa, baik yang didanai oleh pemerintah maupun berbagai lembaga
donor, menurut Ir. Mahatmanto, seorang pengajar perkembangan
arsitektur, bisa diibaratkan tak lebih seperti membuat “kontainer”.
Lebih jauh ia berargumen bahwa “kontainer-kontainer” semacam
ini jelas-jelas tidak membiarkan energi alam lewat tetapi justru
me­nahan, melawan, bahkan merusak alam.11 Argumen tentang
konstruksi rumah yang selaras dengan alam juga dilontarkan oleh
guru besar arsitektur bermatra kearifan lokal, YB Mangunwijaya.
Menurutnya, sudah terbukti, bahwa gedung-gedung berkonstruksi
modern yang dirancang kaku (rigid) hancur, sedangkan yang ber­
konstruksi tradisional bisa bertahan. Pada hakekatnya, lebih jauh
Mangunwijawa mengungkapkan:12

“Susunan konstruksi tradisional, dengan bahan kayu yang elastis


fleksibel, berpondasi titik dari tiang-tiang pendukung tanpa
pembebanan pada dinding-dinding, memungkinkan seluruh bangun­
an bisa “melenggang” menyesuaikan diri secara elastis dengan
getaran.”

11. Hasil wawancara penulis dengan Ir. Mahatmanto, 2 Oktober 2006.


12. Mangunwijaya YB, Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan, Jakarta: Gramedia,
1980, hlm 89
300 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Senada dengan dua argumen di atas, argumen Yuskar Lase juga


menegaskan perihal karakter-karakter dasar rumah tradisional
yang responsif/tanggap terhadap gempa. Berdasarkan pada hasil
wawancara dan reportase Evawani Ellisa yang termuat di majalah
National Geographic, lebih jauh Lase menegaskan:13

“Bangunan tahan gempa seperti ilalang. Sifat ilalang yang ringan dan
fleksibel menyebabkan tanaman ini tak akan tercerabut dari akarnya
walau diterpa angin kencang. Kunci untuk membuat struktur
bangunan yang fleksibel terhadap gaya gempa terletak pada sistem
sambungan ductile atau sambungan yang mampu berdeformasi besar
tanpa harus berkurang kekuatannya.”

Secara khusus, reportase ini muncul dilatarbelakangi oleh


sebuah fenomena menarik pasca gempa Nias. Alkisah, pasca gempa
Nias terdapat sebuah rumah adat Nias berukuran besar dan berusia
lebih dari satu abad yang masih tetap sanggup berdiri kokoh kendati
gempa telah meratakan rumah-rumah warga sekitarnya.
Dalam konteks ini, kiranya menjadi penting bagi kita untuk
mulai serius mengkaji berbagai prinsip dan nilai kultural yang ter­
kandung dalam konstruksi rumah tradisional di berbagai wilayah
Nusantara. Bila kita mencermati sungguh-sungguh, konstruksi ru­
mah tradisional yang bertebaran di seantero negeri ini secara umum
memiliki prinsip yang hampir sama. Semuanya nampak merujuk
pada prinsip-prinsip hidup yang selaras, seimbang, dan harmonis
dengan alam. Kajian semacam itu tentu saja sangatlah penting,
ter­lebih ketika kita semakin paham bahwa wilayah Nusantara ini
ternyata adalah wilayah langganan/jalur gempa (ring of fire). Dengan
memahami dan mengkaji secara lebih mendalam perihal nilai-nilai
kearifan lokal yang terkandung dalam konstruksi rumah-rumah
tradisional itu, kita akan menjadi sadar bahwa ternyata warisan

13. Yuskar Lase, dalam National Geographic April 2006, hasil wawancara Evawani
Ellisa, Teknologi Gempa Bumi, hlm. 77)
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 301

budaya nenek moyang kita sangatlah kaya dengan berbagai pilihan


sikap arif dan bijak. Ibarat buku, warisan budaya itu selalu terbuka
untuk kita baca dan cecapi kandungan nilai-nilai di dalamnya. Kini,
tinggal bagaimana kita menyikapinya.
Selama masa rekonstruksi pasca gempa Yogya dan Jateng, kita
tahu persis bagaimana kebijakan pemerintah diimplementasikan.
Tak ada afirmasi kebijakan atas nilai-nilai kearifan lokal itu. Warisan
budaya dinisbikan. Para local genius tak dilibatkan dalam rancangan
dan implementasi kebijakan. Jangankan dilibatkan, didengar dan
dimintai pendapat pun tidak. Tak ayal, apa yang terjadi kini adalah
gambar dari suatu bangsa yang tak beridentitas dan tak berkarakter.
Bangsa ini serba gado-gado, tak yakin akan potensi dirinya. Dalam
kondisi demikian, maka bukanlah hal yang aneh jika pada masa re­
konstruksi pasca gempa itu, implementasi kebijakan tidak berakar
pada kultur lokal. Kultur luar yang dibawa dan diperkenalkan oleh
agensi-agensi asing pengelola bantuan, jauh lebih diperhatikan
oleh pemerintah. Tanpa memasang filter, semisal code of conduct,
pemerintah sangat terbuka dan bahkan permisif terhadap bantuan
agensi-agensi asing yang sebenarnya berpotensi merusak. Sungguh,
bangsa ini telah kehilangan identitasnya.
Secara kasat mata kita bisa cermati contoh pilihan tunggal ke­
bijakan rekonstruksi berupa rumah tahan gempa di atas. Jika saja
pemerintah kita mau sedikit arif, rakyat mustinya diberi beberapa
alternatif pilihan model rumah yang akan dibangun kembali.
Namun nampaknya pemerintah tak mau dibuat repot untuk itu.
Berdalih efisiensi dan efektifitas untuk program rekonstruksi, pe­
merintah secara sentralistis mendesakkan model tunggal konstruksi
rumah beton dengan pondasi, sloof, ring dan tiang besi cor-coran
ala standarisasi pemerintah yang implementasinya dikawal oleh
Departemen Pekerjaan Umum. Harus diakui, proyek semacam itu
memang lebih enteng, praktis, dan lebih “menjanjikan”. Nampak­
nya warga pun pada akhirnya tak punya banyak pilihan, kecuali me­
nerimanya. Semata-mata demi kepentingan pragmatis dan efisiensi,
302 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

hakekat warga sebagai subyek pembangunan pun menjadi tak


relevan dan tak penting lagi. Hal yang sama berlaku juga pada rumah
tahan gempa, apakah itu realitas atau mitos, sudah tidak relevan dan
tak penting lagi digagas. Semuanya toh sekadar pragmatisme dan
efisiensi. Dalam konteks ini, pemerintah benar-benar telah mem­
posisikan warga sebagai obyek pasif, yang tak mampu berfikir dan
bersikap kritis terhadap berbagai kebijakan pembangunan, yang
sesungguhnya tak lebih dari sekadar mitos belaka.
Menyoal mitos kebijakan rumah tahan gempa, sebenarnya
bang­sa ini bisa belajar dari pandangan arif warganya, yang boleh
jadi tak mengenyam pendidikan tinggi seperti Samijo (64 tahun)
berikut ini. Warga Dusun Gandikan, Kaligondang, Sumbermulyo,
Bambanglipuro, Bantul, ini lebih jauh mengungkapkan:14

Kabeh niku mboten wonten sing tahan gempa (segala sesuatu itu tak ada
yang tahan gempa). Hanya saja rumah yang terbuat dari kayu lebih
aman ketika terjadi gempa, karena penghuninya masih memiliki
cukup waktu untuk menyelamatkan diri. Kalau pun ada penghuni
yang terjebak, menyelamatkannya juga lebih mudah, karena kayu
kan ringan.”

Sekilas, penuturan Samijo di atas terdengar biasa-biasa saja.


Namun bila didalami lebih jauh, argumen bersahaja itu mampu
membongkar dan meruntuhkan mitos rumah tahan gempa yang di­
propagandakan oleh para cerdik cendikia. Dalam keugahariannya
sebagai seorang warga dusun, ungkapan Samijo di atas sesungguhnya
telah menggelar suatu wacana tandingan. Secara implisit Lik Samijo
hendak memaknakan bahwa tak akan ada yang mampu melawan
ke­kuatan gempa. Gempa merupakan keniscayaan perubahan alam
yang kekuatannya tak bisa dibendung oleh siapapun. Untuk itu, gem­
pa tak perlu disikapi secara berlebihan. Karena pada dasarnya gem­

14. Uraian ini dikutip dari Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22
November 2006, hlm.2.
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 303

pa adalah kenyataan yang musti dihadapi, bukannya dilawan atau


ditentang. Gempa bukanlah musuh yang mengancam. Gempa hanya
salah satu peristiwa alam biasa yang musti disikapi dengan arif dan
bijak. Menghadapi dan menyikapinya secara arif dan bijak itulah
yang musti selalu dipikirkan. Tercermin dalam ungkapannya, Samijo
nampak terbiasa melakukan proses nggelar-nggulung kahanan (arti
harafiahnya: proses dialektis aksi-refleksi atas realitas kehidupan).
Dalam kerangka kultur dan kearifan lokalnya, Samijo hadir sebagai
sosok local genius yang mampu membongkar mitos rumah tahan gem­
pa yang saat ini tengah diagung-agungkan.
Konstruksi sosial atas tata nilai dan tradisi dalam menghadapi
perubahan alam itu sendiri bermula dari pengalaman yang kemudian
melahirkan pengetahuan lokal atas konstruksi rumah tradisional
Jawa yang responsif/tanggap terhadap gempa sehingga relatif
aman. Pengetahuan itu dari waktu ke waktu ditradisikan sehingga
menjadi apa yang biasa diistilahkan sebagai indigenous knowledge.
Cakupan indigenous knowledge itu sendiri, dalam dinamika peradaban
masyarakat, senantiasa ditapakkan dalam ranah praksis atau laku
hidup keseharian yang kontekstual. Padupadan dialektis antara
pengetahuan, nilai-nilai keyakinan, dan praksis hidup sosial itulah
yang pada akhirnya melahirkan sebentuk kearifan-sosial-khusus
yang biasa kita sebut sebagai local wisdom. Dalam berbagai kisah
kandang sapi dan berbagai macam tipe rumah tradisional Jawa
(kampung, limasan, joglo) di atas, sebetulnya tersimpan dasar filosofi
dan perangkat nilai kultural masyarakat Jawa yang sangat penting
untuk dijadikan tuntunan dalam mempertimbangkan dan menyikapi
secara arif dan bijak berbagai risiko yang ditimbulkan oleh gempa
dan berbagai wujud perubahan alam lainnya. Jika saat ini buku UN
International Strategy for Disaster Reduction bertitel Living with Risk15
tengah menjadi mainstream atau bahkan menjadi “kitab suci” bagi
banyak lembaga dalam penanganan bencana, maka sebenarnya Lik

15. Living with Risk: A Global View of Disaster Reduction Initiatives; Geneva: UN
International Strategy for Disaster Reduction, 2002.
304 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Samijo jauh-jauh sebelumnya telah menerjemahannya ke dalam prak­


sis. Ia riil berpraksis. Di sini kerangka pikir, pengetahuan lokal, telah
diimplementasikannya dalam tindakan nyata.
Rupanya, Samijo adalah orang Jawa yang paham betul perihal
laku hidup yang selalu “eling lan waspada” dan tidak gampang kaget
lan gumunan (tidak gampang terkaget-kaget dan gampang terheran-
heran) terhadap arus perubahan di sekitarnya. Ia tetap teguh dan ber­
akar dalam keyakinannya. Terbukti pendapatnya berbeda dan bah­
kan bertolak belakang dengan pendapat para cendikia. Kata “eling
lan waspada” memiliki makna tentang sadar dan waspada terhadap
segala kemungkinan yang terjadi dan yang akan terjadi dalam hidup.
Kata itu juga melukiskan suatu daya upaya/ikhtiar manusia untuk
selalu berpijak ke bumi, praksis hidup yang riil, dan bukan di awang-
awang. Dengan kata lain, kesadaran (kritis) dan kewaspadaan itulah
instrumen yang sangat penting dalam praksis kehidupan.
Tanpa bermaksud simplistis, boleh jadi inilah sistem peri­
ngat­an dini (early warning system) dalam versi kearifan lokal.
Sistem peringatan dini yang kultural ini bersifat lebih organik dan
jauh dari bias perangkat keras bernama teknologi mutakhir yang
harganya mencapai jutaan atau bahkan hingga milyaran rupiah.
Sikap peka, tanggap, dan tangguh dalam kultur lokal semacam ini
sesungguhnya merupakan sumber-sumber pengetahuan yang sangat
berharga untuk dikaji. Hal itu perlu didesakkan agar implementasi
kebijakan penanganan bencana yang dilakukan pemerintah tak
me­nafikan kearifan lokal masyarakat. Harapannya, kesiapsiagaan
bencana (disaster preparedness) senantiasa menjadi mudah untuk
diinisiasi. Sehingga gerakan penyadaran sesungguhnya atas disaster
preparedness berbasis kearifan lokal tersebut bisa terarah pada suatu
sistem yang terpadu dalam masyarakat. Itulah potensi kekayaan yang
sejatinya teramat berharga, jika saja bangsa ini mau mengerti.
Menimbang betapa berharganya kearifan lokal yang ada di
masya­rakat kita, tulisan berikut akan menguraikan lebih jauh se­
jarah, filosofi, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam konstruksi
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 305

rumah tradisional Jawa. Dengan paparan ini, diharapkan kita


akan terinsipirasi dan teryakinkan untuk senantiasa berupaya me­
ngembangkan berbagai nilai kearifan lokal dalam konteks pem­
bangunan yang tengah kehilangan dimensi kerakyataannya saat ini.
Diawali dari filosofi rumah tradisional Jawa, tulisan berikut ini lebih
jauh lagi akan memaparkan beberapa perubahan bentuk rumah
Jawa yang diakibatkan oleh pengadopsian kultur-kultur yang dibawa
masuk oleh para saudagar dan bangsa-bangsa kolonial dari berbagai
belahan dunia. Pertemuan dengan jagad-jagad kultural dari berbagai
belahan dunia itu pada akhirnya menghasilkan konstruksi rumah
tradisional Jawa seperti yang umum kita kenal saat ini.

Sejarah dan Filosofi Rumah Tradisional Jawa


Rumah Jawa sebenarnya ada banyak ragamnya. Selain karena
tanah Jawa—tempat dibangunnya rumah itu—beragam secara
geo­­logis, rumah Jawa itu sendiri mengalami perkembangan, tidak
statis. Rumah-rumah Jawa sebagaimana digambarkan dalam relief
percandian abad VIII-XII berbeda dari rumah-rumah Jawa yang
kita lihat pada masa kini. Ada perubahan dan perkembangan yang
selalu mencari kecocokan dengan kebutuhan semasa.
Pada hakikatnya, rumah adalah “alam kedua” bagi orang Jawa
yang bisa melindungi mereka dari berlebihnya (ganasnya) kekuatan
alam semesta (cuaca, binatang buas, dan lain sebagainya). Karena
merupakan alam kedua, maka prinsipnya ia tidak bertentangan,
tidak berlawanan dengan alam pertama yang melingkupinya. Alam
kedua itu justru menjadi bagian utuh yang tak terpisahkan dari
“alam pertama” (alam semesta). Alam kedua tersebut tersusun
dari bahan-bahan yang diambil dari alam pertama, yang dirangkai
sedemikian rupa agar memberi kesempatan kepada alam semesta
untuk mengalirkan energinya tanpa ada hambatan.
Alam Kedua itu seperti anak yang terlahir dari rahim alam
sebagai ibunya: merupakan “buah tubuh” dari alam yang ditaburi
benih budidaya/kultur manusia. Dalam filosofi semacam itu maka
306 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

bangunan yang didirikan pun harus mencakup dimensi keselarasan


antara manusia yang menghuninya, kultur dan alam. Berasal dari
turunan nilai tradisi dan kultur besar itu, maka bangunan rumah Jawa
memiliki konsep dan karakteristik seperti dalam uraian berikut ini.
Bangunan rumah Jawa tidak bersifat kaku (rigid), tidak meng­
agungkan kekokohan yang acap mencirikan keangkuhan. Bila
di­simak, sistem sambungan yang merangkai bagian-bagiannya, ru­
mah Jawa bersifat sangat longgar, elastis (memiliki prinsip seperti
rumput ilalang), fleksibel (melenggang) dan mudah diurai. Demikian
pula prinsip yang sama dapat dilihat pada desain busana Jawa yang
longgar, serba kain ubel (jarik, stagen, udeng, dan lain-lain). Ia tidak
mengenal konsep ngunci atau tali pati. Karakter dominan dalam ru­
mah Jawa sangatlah organik, luwes, gampang diudhari (diurai), dan
mudah dipretheli (dilepas satu-persatu). Sehingga kalau pun rubuh,
bisa dengan mudah ditegakkan kembali.
Jabaran berbagai karakter itu mengindikasikan bahwa rumah
Jawa adalah rancangan rumah tumbuh. Dalam keluwesannya itu,
ia bisa berubah, tumbuh, dan berkembang seturut perkembangan
jumlah anggota keluarga di rumah tangga yang menghunginya. Dengan
luwesnya, rumah induk/utama akan berkembang menyamping
se­turut perkembangan jumlah anggota keluarga. Alasan itu pula
yang menyebabkan batas-batas teritori rumah Jawa tidaklah kaku,
tidak seperti rumah modern. Hal itu bisa dicermati dalam realitas
masyarakat Jawa bahwa beberapa KK tinggal dalam rumah yang
sama. Satu rumah ada beberapa pawon (dapur), dan lain-lain.
Oleh karena itu, terkait dengan struktur fisik, rumah Jawa
lebih menekankan struktur rangka yang fleksibel dan bukan dinding
yang kaku. Tengoklah kasus-kasus seperti rumah Jawa yang tidak
mengenal struktur kerangka yang mati. Kerangka rumah dirancang
dengan kayu yang ditumpuk-tumpuk untuk mendapatkan sifatnya
yang fleksibel. Sambungan antar batang kayu selalu menggunakan
sindik atau pasak (paku dan baut tidak dikenal samasekali dalam
kamus arsitektur tradisional), sehingga memudahkan penghuninya
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 307

ketika sewaktu-waktu ingin mendeformasi bentuk rumahnya.


Sambungan untuk interseksi antar lajur kayu (reng dan usuk) yang
menggunakan tali (tutus= tali dari pelintiran bilah-bilah bambu, atau
pelintiran tali ijuk yang dianyam) sebagai penguatnya.
Dengan titik tumpu pada struktur kerangka, maka dinding
bukanlah unsur baku dalam rumah Jawa. Bagi orang Jawa, dinding
hanya sebatas sebagi penanda sekat fleksibel (slintru, gebyok, tirai
(wand) dan bukan dinding penanggungbeban (muur). Itulah sebabnya
mengapa dalam kultur Jawa dinding sewaktu-waktu bisa dipindah,
diboyong seturut keinginan dan kebutuhan penghuninya. Ditinjau
dari aspek tata cahaya dalam rumah, yang kala itu hanya bersumber
pada lampu senthir dari minyak jarak, atau lampu teplok dari mi­
nyak tanah, dinding penyekat yang serba luwes itu bisa gampang
disesuaikan dengan sumber penerangan tersebut. Dalam kasus
gebyok, ukir-ukiran yang tembus antar permukaan gebyok, selain
berfungsi untuk ventilasi udara, ia juga berfungsi untuk menyiasati
pencahayaan ruang dari sumber penerangan yang selembut senthir
tadi. Jika ditilik dari implikasi sosial, konsepsi privasi bagi orang
Jawa tidaklah begitu ketat. Dalam pandangan orang Jawa dinding
ketat, kaku, dan permanen hanya difungsikan sebagai properti
pembungkus benda-benda sakral bagi orang Jawa. Sakralitas haruslah
ditempatkan di ruang yang memang primpen, terpisah, dan berbeda
dari ruangan-ruangan yang lain.
Berkaitan dengan aspek atap, sejalan dengan prinsip selaras
dengan energi alam tersebut, orang Jawa memilih atap yang sangat
fleksibel untuk melindungi mereka dari berbagai macam cuaca yang
berubah-ubah (panas, dingin, lembab, dan lain sebagainya). Bahan
yang dipilih pun sangat dekat dengan unsur alam seperti: kayu, ijuk,
daun tebu/rapak, daun kelapa, dan lain lain.
Terkait dengan topangan dasar bagi struktur bangunan Jawa
tersebut, kultur Jawa tidak pernah mengenal pondasi. Untuk me­­
numpukan tiang-tiang penyangga utama struktur kerangka ter­
sebut, orang Jawa—dan juga berbagai suku di Indonesia lainnya—
308 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

menggunakan apa yang biasa disebut sebagai umpak. Pada awalnya


umpak ini terbut dari batu-batu bulat biasa. Dalam perkembangannya
disesuaikan dengan semakin tingginya kesadaran akan berbagai
aspek potensi risiko dan juga perkembangan cita rasa artistik dan
fungsinya, maka umpak tadi berubah bentuk kotak dengan bagian
bawah yang berukuran lebih lebar. Kegunaan umpak ini selain sebagai
penyangga dasar bagi struktur bangunan, ia juga difungsikan sebagai
pengaman bagi struktur agar tidak mudah lapuk, baik termakan
rayap, air, api, dan lain-lain. Di beberapa wilayah, bentuk umpak ini
berbeda-beda. Misalnya di daerah Kudus, umpak bentuknya lebih
tinggi dibandingkan dengan umpak di rumah-rumah Jawa bagian
selatan. Disinyalir, bentuk umpak yang tinggi ini terjadi ketika di
daerah Kudus tersebut genangan air ketika musim penghujan cukup
tinggi, sehingga dibutuhkan umpak yang tingginya melampaui
tingginya genangan air.

Perubahan Kultur dan Bentuk Rumah Tradisional Jawa


Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, orang
Jawa tak luput dari perjumpaan kultur dengan masyarakat luar.
Dalam konteks perjumpaan antar jagad-jadag kultural tersebut,
maka keniscayaan atas perubahan pun tak bisa ditampik. Tidak
meng­herankan jika pola/konstruksi pikir dan konstruksi sosial
dan kultural atas kehidupan pun berubah, termasuk di dalamnya
“artefak” rumah tradisional tersebut di atas. Tiga elemen utama
rumah yang dikenalkan itu adalah: pondasi, dinding tembok, atap
genting, dan jendela.
Berikut adalah catatan pergeseran bentuk dan fungsi dari
rumah tradisional Jawa. Pergeseran bentuk itu diantaranya meliputi:
pondasi, dinding tembok, atap genting, dan jendela.

Pondasi
Meski pondasi tidak dikenal oleh kultur rumah Jawa (dan ber­
bagai suku (tribes) di Indonesia), namun pada suatu titik sejarah,
kultur pondasi ini juga mulai muncul dan diadopsi oleh orang
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 309

Jawa. Berdasarkan catatan sejarah, kultur pondasi rumah ini di­


perkenalkan oleh bangsa-bangsa dari luar kawasan tropik. Pada
hakikatnya, pondasi ini difungsikan sebagai elemen dasar bagi
bangunan berdinding bebatuan kokoh dan kaku, yang mengepung
seluruh sisinya.
Konteks wilayah yang melatarbelakangi konsep bangunan se­
macam itu tentu saja adalah wilayah-wilayah yang berhawa sangat
dingin. Maka konteks alam semacam itu memunculkan kultur pi­
kir bahwa masyarakat di sana sangat membutuhkan perlindungan
ekstra tebal/ketat dari ancaman hawa dingin yang siap membekukan
darah.
Demi menopang dinding bebatuan tebal itu maka pondasi
merupakan titik tumpu utama yang tak tergantikan. Tengoklah
bangunan di wilayah Eropa, Cina di bagian Utara, atau rumah orang
Eskimo, dan lain-lain.

Dinding Tembok
Serupa dengan pondasi, tradisi rumah Jawa tidak mengenal
adanya dinding bebatuan kokoh semacam itu. Dinding bebatuan
yang juga dikenalkan oleh para saudagar dan kaum kolonial itu pada
awalnya terbuat dari pecahan-pecahan batu alam yang kemudian
ditata vertikal untuk menopang struktur kerangka atap yang berat.
Dalam perkembangannya, karena langkanya bebatuan, material
bebatuan itu bergeser ke material batu-batu yang dicetak dari ta­
nah liat dan dibakar terlebih dulu. Kultur tembikar semacam ini
diperkenalkan oleh para saudagar Cina, yang mana di wilayah Cina
sendiri material semacam itu digunakan untuk membangun benteng
kokoh pertahanan di kompleks kerajaan. Karenanya dinding ini
menjadi elemen utama kedua setelah pondasi.

Atap Genting
Tak berbeda dengan kedua elemen di atas, atap genting me­
rupakan elemen utama ketiga yang diperkenalkan kepada masya­
310 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

rakat Jawa dan berbagai suku-suku di Nusantara. Genting yang


proses pembuatannya hampir sama dengan pembuatan batu-bata,
diperkenalkan juga oleh bangsa Cina.

Jendela
Jendela tidak dikenal oleh kultur Jawa. Kita tidak punya kon­
sep “melubangi” dinding. Bila ada bukaan pun itu terjadi karena
kita membiarkan bidang yang dibingkai rangka dinding itu terbuka.
Bangunan Jawa modern menggunakan konsep jendela karena
mengadopsi kultur dinding dari luar. Istilah “jendela” ini sendiri
berasal dari Bahasa Portugis.
Tak terelakkannya difusi kebudayaan baru dengan kultur
masyarakat Jawa itu tentu saja membawa berbagai implikasi yang
perlu diurai lebih jauh. Namun ada satu hal mendasar yang perlu
dicatat bahwa pada prinsipnya, semua kultur yang ada di dunia
ini muncul dari rasionalisasi seting kehidupan masyarakat yang
kontekstual. Kultur nenek moyang orang Jawa dilatarbelakangi
oleh kondisi alam yang tentu saja teramat berbeda dengan Cina dan
Eropa.

Epilog: Siapa Buntung - Siapa Untung?


Setelah mencermati seluruh uraian di atas, tulisan ini akhirnya
sampai pada epilog. Epilog singkat ini bukanlah catatan kesimpulan,
melainkan justru catatan pembuka yang akan mengantar kita untuk
menelusuri dan mengkaji lebih jauh perihal nilai-nilai kearifan lokal
yang tercecer dan terserak dalam penanganan pasca gempa Yogya
dan Jateng. Boleh dikata, epilog ini merupakan undangan sekaligus
tantangan bagi kita semua, untuk melakukan kajian mendalam atas
berbagai warisan budaya yang ada di seluruh masyarakat negeri ini.
Dengannya kita akan menuai petuah-petuah arif dan bijak yang
bisa dijadikan bekal untuk menghadapi anomali kehidupan berupa
bencana. Dalam konteks ini, diskursus “rumah tahan gempa” versus
rumah tradisional Jawa di atas masih menunggu kajian lanjutan dari
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 311

kita. Agenda ini penting dilakukan agar berbagai bentuk pengabaian


terhadap nilai-nilai lokal tidak terulang lagi dalam penanganan pasca
bencana di masa-masa mendatang.
Secara prinsipil, bantuan haruslah memerdekakan, bukannya
membelenggu atau bahkan membunuh. Jika suatu bantuan telah
mengabaikan atau bahkan sengaja melanggar nilai-nilai kearifan
lokal, maka bisa dipastikan bantuan itu sendiri tak akan membantu,
namun justru menjerat. Itu berarti bantuan itu tak memerdekakan
beneficiaries. Dalam kesengajaan itu, secara prematur bantuan itu
sendiri berarti telah ingkar terhadap hakikat warga sebagai subyek
yang aktif dan otonom. Dengan segenap dalih efisiensi, efektifitas,
dan pragmatisme, bantuan itu hanya akan menimbulkan petaka yang
tidak jarang justru jauh lebih dahsyat ketimbang bencana alam itu
sendiri. Dalih-dalih itu secara khusus mencerminkan watak tekno­
kratis yang terbiasa berfikir cupet, dan tak mau repot oleh persoalan
yang kompleks. Dalam dimensi waktu, cupet pikir itu dengan mudah
bisa dikenali dalam pilihan-pilihan kebijakan yang serba berjangka
pendek, dan tak menimbang implikasi-implikasinya dalam jangka
panjang. Dalam dimensi cakupan aspek, cupet pikir itu biasanya
tercermin dalam pilihan kebijakan yang bias pada beberapa aspek-
aspek dominan saja, dan kurang memperhitungkan keterkaitan
berbagai aspek secara utuh dan menyeluruh (holistik).
Andai saja bangsa ini mau bersikap arif, pastilah kearifan lokal
akan dijadikan sebagai elemen utama dalam berbagai kebijakannya.
Dengan begitu, warga merasa eksistensinya dihargai, diindahkan, dan
ditempatkan sebagai subyek otonom yang berdaulat dan bermartabat
dalam segala aktivitas pembangunan di Negeri ini. Andai saja bangsa
ini mau menalar jernih, pastilah harta karun sosial di masyarakat
kita itu akan dimaknai dan diposisikan sebagai kekayaan paling
ber­harga melampaui apapun. Sehingga modal sosial akan didorong,
difasilitasi, diafirmasi, dan diperkuat oleh negara, bukan sebaliknya.
Andai saja bangsa ini mau bertindak secara bijaksana, pastilah
program-program yang dijalankan dalam penanganan bencana akan
312 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

berkiblat pada pengutamaan atas hak-hak dasar korban dan program


pemulihan (recovery) yang pro-lingkungan.
Jika kita menimbang fakta bahwa letak geografis kepulauan
Nusantara ini merupakan jalur gempa potensial, maka adalah suatu
kemendesakkan bagi bangsa ini untuk bergegas menginisiasi secara
serius program-program mitigasi atau kesiap-siagaan bencana di
seluruh wilayah di Nusantara. Program itu tentu saja harus berbasis
pada kearifan lokal masyarakat sebagaimana terurai di atas. Lebih
jauh, penyusunan dan pengimplementasian kode etik (code of
conduct) dalam pengelolaan bantuan juga menjadi agenda pokok
lainnya yang harus segera dibakukan. Hal itu penting dilakukan
demi mengantisipasi terjadinya praktik-praktik penyimpangan oleh
berbagai lembaga bantuan. Seluruh tindakan itu ditempuh demi
memproteksi dan menghargai martabat warga sebagai subyek yang
aktif. Inilah PR besar yang musti kita rampungkan.
Untuk menggenapi PR itu, pertanyaan mendasar yang tak kalah
penting untuk direfleksikan adalah siapa sesungguhnya yang paling
untung dan siapa yang paling buntung dalam rekonstruksi rumah
pasca gempa bumi Yogya dan Jateng? Untuk menjawab hal itu,
bolehlah kita bermain hitung-hitungan sejenak siapa sesungguhnya
yang paling diuntungkan dari bantuan yang serba diproyekkan se­
macam itu. Dari sekian banyak kebutuhan material bangunan yang
digunakan untuk membangun “rumah tahan gempa” tersebut (seperti
besi, semen, pasir, kayu, batu-bata), material mana saja yang bisa
dipenuhi sendiri oleh warga/masyarakat lokal? Jawabannya mungkin
dua atau tiga jenis material terakhir. Dari sekian jenis itu, material
manakah yang paling mahal biayanya? Jawabannya bisa dipastikan,
besi dan semen.
Berdasarkan hitungan seorang nara sumber—yang kebetulan
adalah seorang sekretaris Pokmas—untuk membangun rumah ber­
ukuran 6 x 6 m2 (ukuran sesuai dengan peraturan rumah tahan
gempa versi pemerintah), warga membutuhkan 55 lonjor besi ber­
ukuran 12mm, dengan harga Rp. 45.000/lonjor, sehingga total
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 313

biaya besi lonjoran sebesar Rp. 2.475.000. Dibutuhkan besi begel


sebanyak 60 kg, dengan harga Rp. 7500/kg, jadi total biaya begel
sebesar Rp. 450.000. Kebutuhan semen mencapai 60 sak, dengan
harga Rp.30.000/sak, jadi total biaya semen sebesar Rp.1.800.000.
Hitungan tersebut berasumsi jumlah kebutuhan materialnya paling
minimal. Selain itu, fase pembangunannya terhitung sampai pada
tahapan rumah berdiri dengan tembok yang belum di-lepo. Asumsi
lainnya, harga-harga tersebut stabil, tidak menghitung harga pasar
yang dari hari ke hari cenderung meningkat. Sedangkan, kebutuhan
material lainnya dicukupi dengan menggunakan sisa-sisa material
lama yang masih bisa dipakai.
Dari hasil kalkulasi itu, total biaya yang dibutuhkan warga
untuk membeli besi dan semen adalah sebesar Rp. 4.725.000 (nyaris
sepertiga dari total bantuan pemerintah Rp.15.000.000). Jika
perkiraan jumlah rumah yang dibangun di Yogyakarta mencapai
160.109 rumah, maka total biaya dari DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran) yang terbelanjakan untuk besi dan semen akan mencapai
sebesar Rp.756.515.025.000 (Rp.756,5 M). Perhitungan rincinya,
total biaya besi sebesar Rp. 468.318.825.000 (Rp.468,3 M) dan total
biaya semen sebesar Rp. 288.196.200.000 (Rp.288, 2 M).
Dari uraian di atas, kita bisa menerka kemana larinya uang
sebesar itu. Pihak-pihak yang paling diuntungkan tidak ada lain
kecuali pabrik besi dan pabrik semen. Tak tanggung-tanggung
lagi, prosentasenya pun cukup fantastis, yaitu 30% dari total ban­
tuan pemerintah. Tampak jelas betapa warga masyarakat, yang se­
mestinya menjadi pihak yang paling berhak dilayani dan dibantu,
pada akhirnya hanya menjadi jalur pintas bagi keluar masuknya dana
bantuan. Bantuan yang dikucurkan pemerintah tak tertampung di
warga, tapi justru “bocor” dan menggerojok ke pabrik-pabrik besi
dan semen. Realitas jauh semakin terasa masgul lagi ketika kita
tahu bahwa sebagian besar saham dari pabrik-pabrik besi dan semen
tersebut ternyata dimiliki oleh pengusaha-pengusaha asing. Lag-lagi,
bantuan pemerintah untuk rakyat pun akhirnya harus tersedot dan
mengalir jauh ke negeri orang.
314 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

Sementara, warga yang masih harus membeli bahan material


lain (seperti kayu, batu-bata, genting, pernik-pernik material lain­
nya) dan membayar tenaga tukang yang semakin mahal, terpaksa
harus meliyak-liyukkan dana bantuan yang cupet itu agar rumah
mereka tetap bisa berdiri. Di tengah cupetnya dana bantuan ter­
sebut, persoalan warga semakin diperparah lagi oleh perilaku rent-
seeker berikut “sunatan massal” dana bantuan dengan segala modus­
nya. Sunatan terjadi dengan angka nominal yang sangat variatif,
mulai dari ratusan ribu hingga hitungan jutaan pun terjadi. Pelakunya
juga bervariasi, mulai dari ketua Pokmas, ketua RT, Dukuh, Lurah,
hingga Fasilitator Kelompok, dan lain-lain. Secara telanjang, “sunatan
massal” dana bantuan telah menjadi persoalan sosial yang kian
memprihatinkan. Hingga kini, tidak/belum ada penegakan hukum
yang signifikan atas itu. Berbagai kasus di atas menjadi tanda atas
menguatnya kaotik sosial masyarakat Yogyakarta pasca gempa.
Menyoal kembali tentang mitos Rumah Tahan Gempa di atas,
waktunya bagi kita untuk kembali merenungkan implikasi panjang
dari penciptaan mitos tersebut. Bila kita timbang-timbang lagi
perihal Rumah Tahan Gempa yang sarat dengan material besi dan
semen, bukankah dua material itu merupakan hasil eksplotasi perut
bumi kita? Bukankah eksploitasi itu telah berandil pada kerapuhan
bumi yang berpotensi bencana? Dan bukankah material-material
itu adalah sumberdaya alam yang tak terbarui? Bukankah akan
lebih baik jika donasi yang mencampai hingga trilyunan itu dikelola
penggunaannya agar pembelanjaan semaksimal mungkin beredar di
wilayah lokal, sehingga bisa menghidupkan sektor perekonomian
lokal warga, bukannya justru menguap keluar dan memperkaya ko­
cek para pemilik pabrik besi dan semen? Jika demikian, bukankah
para kapitalis yang justru mereguk untung dan wargalah yang me­
nanggung buntung? Bukankah akan jauh lebih bijaksana jika dalam
penyusunan kebijakan rekonstruksi, pemerintah berkiblat pada
nilai-nilai budaya/kearifan lokal, sehingga pembangunan rumah yang
relatif lebih responsif terhadap gempa dan lebih ramah lingkungan—
KISAH RUMAH DI TANAH GEMPA 315

seperti tercermin dalam rumah tradisional Jawa—bisa menjawab


berbagai kebutuhan warga?
Logika semacam itu tentu tak akan pernah mudah diterima oleh
orang kebanyakan yang telah terbiasa hidup di kultur kapitalistik.
Banyak orang akan sangat menyangsikan bahwa itu bisa terjadi.
Pasalnya, Negeri ini telah kelewat gandrung pada developmentalism
dan pemuja neoliberalism nomor wahid. Maka tak heran jika pola pikir
kita pun merupakan replikasi dari kondisi makro pembangunan yang
tidak pro-rakyat dan pro-lingkungan tersebut. Seperti tercermin
dalam implementasi kebijakan penanganan pasca gempa Yogya dan
Jateng, apa yang terjadi tak lebih dari sekadar aktivitas penanganan
pasca bencana yang didominasi oleh logika proyek dan bisnis.
Dalam lanskap bencana, pestapora loba berebut rente (profit) tengah
kita gelar dan rayakan, tanpa rasa malu dan bersalah. Naga-naganya
kita telah jauh keblinger (sesat pikir) lantaran sengaja membutakan
nalar dan nurani bahwa dalam euforia kultur kapitalistik itu, kita
sesungguhnya tengah beramai-ramai menenggelamkan bumi, tempat
bergantungnya hidup ordo primata bernama manusia ini.
Andai saja kita mau belajar dari pengetahuan hidup para local
genius seperti Kang Ngatimin, Lik Suparno, Mbah Mangun, dan Lik
Samijo di atas, pastilah kita akan belajar untuk bersikap ugahari dan
teguh mempertahankan jatidiri. Dari merekalah kita bisa belajar
makna dan arti hidup yang selaras dan harmonis dengan alam. Kisah
rumah Mbah Mangun Sumarto telah mencelekkan mata kita bahwa
tanpa propaganda apapun rumah tradisional Jawa berusia 100 tahun
tetap tegak dan berdiri kokoh. Darinya pula kita diajarkan kebenaran
dan pelajaran hidup yang teramat berharga bahwa pada hakikatnya
rumah punya sejarah, rumah punya kenangan, dan rumah punya jasa:
telah menyelamatkan penghuninya dari gebalau gempa bumi Sabtu
Wage 27 Mei 2006, setahun silam. Alhamdulillah. Matur nuwun,
Gusti! Thanks God!
Terimakasih Kang Ngatimin, Lik Suparno, Mbah Mangun, dan
Lik Samijo, atas tutur dan petuah berharga untuk kami. Semoga kami
bisa belajar untuk semakin arif dan bijak. Wallahualam bisawab.
316 KISAH KISRUH DI TANAH GEMPA

DAFTAR PUSTAKA

Buku
UN International Strategy for Disaster Reduction, Living with Risk:
A Global View of Disaster Reduction Initiatives; Geneva: UN
International Strategy for Disaster Reduction, 2002.
Mangun Wijaya, Pasal-Pasal Penghantar Fisika Bangunan ; Jakarta:
Gramedia, 1981

Buletin
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan ke-20, 1 November
2006
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-22, 15 November
2006
Buletin Suara Korban Bencana Edisi Susulan Ke-23, 22 November
2006
Buletin Suara Korban Bencana, Edisi Lebaran 25 Oktober 2006

Koran
Kedaulatan Rakyat, Minggu Wage 27 Mei 2007

Majalah
National Geographic April 2006 (Teknologi Gempa Bumi)

Website
www.suarakorbanbencana.org

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai