Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEDUDUKAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM


NASIONAL

DOSEN

M. Muamar, Lc., M.H.

DISUSUN OLEH
----

UNIVERSITAS MUMHAMMADIYAH PURWOKERTO

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur khadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah tentang Kedudukan Antara Hukum Islam
Dengan Hukum Nasional. Penyusunan Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas dari
dosen pengampu kami.
Kami memahami bahwa dalam penyusunan Makalah ini hasilnya masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi sempurnanya Makalah ini. Dengan selesainya penyusunan Makalah ini kami
berharap semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

PENDAHULUAN.....................................................................................................................4

Latar Belakang........................................................................................................................4

Rumusan Masalah...................................................................................................................6

PEMBAHASAN.......................................................................................................................7

Hukum Islam..........................................................................................................................7

Hukum Nasional.....................................................................................................................8

Kedudukan Antara Hukum Islam dengan Hukum Nasional..................................................9

PENUTUP...............................................................................................................................11

Kesimpulan...........................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................12

iii
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hukum Islam memiliki kedudukan penting dalam sistem hukum nasional Indonesia
yang majemuk. Sebagai negara yang mendasarkan diri pada Pancasila, Indonesia menghadapi
tugas berat dalam menyatukan berbagai sistem hukum, termasuk adat, Islam, dan Barat.
Sejarah perkembangan Indonesia telah menciptakan sistem hukum yang majemuk ini, dengan
ketiga sistem ini memiliki peran dan peraturan tersendiri dalam masyarakat.
Hukum Islam telah berakar di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi, ketika agama Islam
pertama kali diperkenalkan ke kepulauan ini. Selama berabad-abad, tata hukum Islam telah
diterapkan dan berkembang dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam. Berbagai ahli
Hukum Islam Indonesia, seperti Hamka, telah memberikan kontribusi penting dengan karya-
karya yang membahas aspek-aspek Hukum Islam di Indonesia.
Karya-karya Hukum Islam di Indonesia, seperti "Shirat al-Thullab," "Shirat al-
Mustaqim," "Sabil al-Muhtadin," "Kartagama," dan "Syainat al-Hukm," telah ada 1. Namun,
perlu diingat bahwa sebagian besar karya-karya ini cenderung bersifat doktriner dan lebih
fokus pada pemahaman ajaran dari Imam Mazhab tertentu.
Salah satu tantangan dalam perkembangan Hukum Islam di Indonesia adalah orientasi
yang kuat pada ajaran Imam Mazhab tertentu, seperti Hanafi, Maliki, Shafi'i, dan Hanbali.
Hal ini dapat menghasilkan ketidaksesuaian antara hukum Islam dan tuntutan masyarakat
yang semakin modern. Pemerintah Indonesia telah mencoba untuk mengintegrasikan
berbagai sistem hukum ini melalui upaya harmonisasi hukum, seperti pendirian pengadilan
agama yang menangani kasus perdata berdasarkan Hukum Islam.
Meskipun demikian, perlu terus dilakukan penelitian dan reformasi untuk memastikan
bahwa Hukum Islam di Indonesia tetap relevan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
yang semakin kompleks dan beragam. Dengan demikian, Hukum Islam dapat berfungsi
efektif dalam sistem hukum nasional Indonesia yang majemuk. Keseluruhan, Hukum Islam
memiliki peran sentral dalam kerangka hukum nasional Indonesia yang memadukan berbagai
sistem hukum yang ada.
Pada masa kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, peradilan
agama sudah ada secara formal. Di berbagai daerah, seperti Jawa, Sumatera, Kesultanan
Banjar, dan Pontianak, terdapat lembaga peradilan agama yang dijalankan oleh para ulama

1
Hamka, Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 324

4
atau qadi. Namun, meskipun peradilan agama sudah hadir dalam bentuk formal, sangat
disayangkan bahwa pada masa tersebut belum ada buku hukum positif yang sistematik yang
menjadi rujukan resmi. Hukum yang diterapkan masih bersifat abstrak dan ditarik dari
doktrin fiqih.
Baru pada tahun 1760, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) memerintahkan
D.W. Freijer untuk menyusun suatu buku hukum yang kemudian dikenal dengan nama
Compendium Freijer. Compendium ini dijadikan sebagai rujukan hukum dalam
menyelesaikan sengketa yang melibatkan masyarakat Islam di daerah-daerah yang dikuasai
oleh VOC2. Penggunaan Compendium Freijer, meskipun penting, tidak berlangsung lama.
Pada tahun 1800, VOC menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Hindia Belanda,
dan seiring dengan itu, Compendium Freijer pun lenyap dan tidak lagi digunakan. Pada masa
ini, muncul politik hukum baru yang didasarkan pada teori resepsi atau teori konflik yang
dikembangkan oleh tokoh seperti Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven. Dengan
pendekatan ini, hukum Islam secara sistematik diambil dari peran utama dalam sistem
peradilan. Sebagai gantinya, hukum adat mulai digunakan.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian mencoba menerapkan hanya dua sistem hukum
yang berlaku, yaitu hukum adat untuk golongan Bumiputera dan hukum barat bagi golongan
Eropa. Upaya paksaan untuk mengurangi peran hukum Islam mencapai puncaknya dalam
Staatsblad 1937 Nomor 116. Aturan ini berisi berbagai ketentuan, termasuk pencabutan
wewenang Peradilan Agama (Raad Agama) untuk mengadili perkara kewarisan, yang
kemudian dialihkan kepada Landraad. Pengadilan Agama juga ditempatkan di bawah
pengawasan Landraad, dan putusan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan tanpa
executoir verklaring dari ketua Landraad3.
Pendekatan ini mengakibatkan pergeseran yang signifikan dalam sistem peradilan di
Indonesia, dengan pengurangan peran hukum Islam dan peningkatan dominasi hukum adat
dan hukum barat. Perkembangan ini mencerminkan dinamika kompleks dalam sejarah hukum
di Indonesia dan perjuangan untuk mengintegrasikan berbagai sistem hukum yang ada dalam
satu kerangka hukum nasional.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, muncul perubahan signifikan dalam
pandangan terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Meskipun aturan peralihan
menyatakan bahwa hukum lama masih tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD
2
Supomo dan Djoko Sutowo, Sejarah Politik Hukum Adat 1609 – 1848, Jakarta: Djambatan 1955, hlm. 26
3
M. Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: “Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam”,
dalam, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta, Logos, 1999, hlm.
27

5
1945, beberapa peraturan pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptie (penerimaan
hukum asing) tidak lagi berlaku. Hal ini karena pandangan hukum yang berakar dalam teori
receptie dianggap bertentangan dengan semangat UUD 1945 dan ajaran agama4.
Menurut pandangan Hazairin, teori receptie5 dianggap telah patah, tidak berlaku, dan
harus ditinggalkan dari tata negara Indonesia sejak tahun 1945, ketika Indonesia merdeka dan
UUD 1945 mulai berlaku. Hazairin mengacu pada Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa negara Republik Indonesia berkewajiban untuk membentuk hukum
nasional Indonesia yang memiliki dasar hukum agama. Ini berarti bahwa hukum agama,
termasuk hukum Islam, diakui sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.
Hazairin juga menekankan bahwa hukum agama tidak hanya merujuk kepada hukum Islam,
tetapi juga hukum agama lain yang dianut oleh masyarakat beragama lain.
Di samping Hazairin, Sayuti Thalib juga mengkritik teori receptie dan
mengembangkan teori receptie a contrario. Menurut pandangan ini, hukum adat baru berlaku
jika tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki
posisi yang lebih kuat dalam kerangka hukum nasional.
Ismail Sunny juga berpendapat bahwa teori receptie tidak berlaku lagi setelah
Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku. Ia menyatakan bahwa hukum Islam berlaku bagi
warga Indonesia yang beragama Islam sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 6. Sunny menyebut
era ini sebagai "Periode Penerimaan Hukum Islam sebagai sumber Persuasif (Persuasive
source)7," yang menandakan bahwa hukum Islam diakui sebagai sumber hukum yang kuat
dan berpengaruh dalam proses perundang-undangan Indonesia.
Dengan demikian, perubahan pandangan terhadap teori receptie menggambarkan
pergeseran signifikan dalam pengakuan terhadap peran hukum agama, terutama hukum
Islam, dalam konteks hukum nasional Indonesia setelah kemerdekaan. Hukum agama diakui
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kerangka hukum nasional Indonesia, menggantikan
teori receptie yang sebelumnya mendominasi.
Rumusan Masalah
Bagaimana kedudukan antara hukum islam dengan hukum nasional

4
Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam, Hukum Islam di Indonesia
Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Rosdakarya, 1991, hlm. 128
5
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2004, hlm.
17
6
Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. .37-40
7
Ismail Sunny, ìTradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum Islamî, dalam, Hukum Islam
dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cik Hasan Bisri (ed), Jakarta: Logos Publishing, 1988, hlm. 96

6
PEMBAHASAN

Hukum ISLAM
Istilah "hukum Islam" memiliki makna yang lebih kompleks daripada yang mungkin
terlihat pada pandangan awal. Sebenarnya, kata "hukum Islam" sendiri tidak ditemukan
dalam al-Qur'an atau literatur hukum Islam klasik. Yang umumnya ditemui dalam al-Qur'an
adalah istilah-istilah seperti "syari'ah," "fiqh," "hukum Allah," dan sejenisnya. Penggunaan
kata "hukum Islam" lebih merupakan hasil terjemahan dari istilah "Islamic Law" dalam
literatur Barat.
Dalam literatur Barat, terdapat definisi hukum Islam yang menggambarkan pengertian
yang lebih mendekati kata "syari'ah." Definisi ini menggambarkan hukum Islam sebagai
"keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. 8"
Ini menunjukkan bahwa istilah "hukum Islam" dalam konteks ini lebih dekat dengan
pengertian "syari'ah."
Namun, pandangan ini bukanlah satu-satunya pemahaman tentang "hukum Islam."
Sebagian ulama Islam, seperti Hasbi Asy-Syiddiqy, memberikan definisi yang lebih
mendekati "fiqh." Dalam pandangan ini, "hukum Islam" adalah "koleksi daya upaya fuqaha
dalam menerapkan syari'at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 9" Ini menunjukkan
bahwa "hukum Islam" dalam konteks ini lebih berfokus pada pemahaman dan aplikasi hukum
Islam yang diterjemahkan oleh para fuqaha (ahli fiqh) sesuai dengan kebutuhan zaman dan
masyarakat tertentu.
Untuk lebih memahami makna "hukum Islam," kita perlu terlebih dahulu memahami
makna dasar dari kata "hukum." Meskipun tidak ada definisi hukum yang sempurna, kita
dapat mengambil definisi yang diambil dari Oxford English Dictionary yang menggambarkan
hukum sebagai "seperangkat peraturan, baik yang berasal dari aturan formal maupun adat,
yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu sebagai mengikat bagi anggotanya10."
Ketika kita menghubungkan kata "hukum" dengan "Islam," maka "hukum Islam"
dapat diartikan sebagai "seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul
tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk
semua umat yang beragama Islam.11" Dalam konteks ini, "hukum Islam" mencakup baik

8
Lihat Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford: University Press, 1964, hlm. 1
9
Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 44
10
0 AS. Honrby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Britain: Oxford University Press,
1986, hlm. 478

7
Hukum Syari'ah (yang berasal dari ajaran agama Islam) maupun Hukum Fiqh (yang
merupakan hasil interpretasi dan aplikasi dari Hukum Syari'ah oleh para fuqaha).
Jadi, istilah "hukum Islam" mencakup dua dimensi penting: dimensi syari'ah yang
berasal dari ajaran agama Islam dan dimensi fiqh yang merupakan hasil pemahaman dan
aplikasi hukum Islam dalam konteks kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim.

Hukum Nasional
Pembangunan hukum nasional di Indonesia merupakan upaya penting setelah
kemerdekaan negara ini. Hukum nasional dirancang untuk menggantikan hukum kolonial
yang berlaku sebelumnya dan menjadi landasan hukum bagi semua penduduk Indonesia,
terutama warga negara Republik Indonesia. Namun, pembangunan hukum nasional di
Indonesia bukanlah tugas yang mudah mengingat keragaman budaya, agama, dan hukum
yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial.
Pembangunan hukum nasional ini harus memperhatikan peran penting agama dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh, agama Islam di Indonesia memiliki peran
yang signifikan dalam mengatur hubungan antar-individu dan dengan benda dalam
masyarakat. Islam dikenal sebagai agama hukum yang memiliki norma dan prinsip yang
mengatur aspek-aspek kehidupan. Oleh karena itu, dalam konteks pembangunan hukum
nasional di negara mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia, unsur-unsur
hukum agama, khususnya Islam, harus diperhatikan dengan cermat.
Menteri Kehakiman Indonesia pada tahun 1989, Ismail Saleh, mengemukakan bahwa
dalam merencanakan pembangunan hukum nasional, tiga wawasan nasional harus
dipertimbangkan secara bersama-sama: wawasan kebangsaan, wawasan nusantara, dan
wawasan bhineka tunggal ika. Wawasan kebangsaan menekankan bahwa sistem hukum
nasional harus sepenuhnya mengakomodasi aspirasi dan kepentingan bangsa Indonesia. Ini
tidak berarti sistem hukum nasional tertutup terhadap nilai-nilai hukum modern, tetapi harus
mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman12.
Selain itu, wawasan nusantara menginginkan adanya satu sistem hukum nasional yang
mengatur seluruh golongan masyarakat, menggantikan sistem hukum kolonial yang beragam.

11
Amir Syarifuddin, “Pengertian dan Sumber Hukum Islam”, dalam Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1992, hlm. 14.
12
Dikutip oleh M. Daud Ali, dalam Pengembangan Hukum Material Peradilan Agama, lihat Jurnal Mimbar
Hukum: Aktualisasi Hukum Islam Nomor 17 Tahun V (Nov – Des 1994), Jakarta: Al-Hikmah dan Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994, hlm. 34

8
Namun, dalam upaya unifikasi ini, harus memperhatikan perbedaan latar belakang sosial,
budaya, dan kebutuhan hukum dari kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Untuk itu, wawasan bhineka tunggal ika menjadi penting dalam proses pembangunan
hukum nasional. Prinsip ini memerintahkan penghormatan terhadap keragaman suku bangsa,
budaya, dan agama sebagai aset pembangunan nasional, selama hal itu tidak membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa.
Dengan mempergunakan ketiga wawasan ini, berbagai asas dan kaidah hukum Islam,
hukum adat, dan hukum eks Barat akan menjadi bagian integral dari hukum nasional, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum Islam, khususnya, memiliki prinsip-prinsip
universal yang dapat digunakan dalam proses penyusunan hukum nasional. Ini
mencerminkan usaha untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam hukum
nasional Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan relevan
dengan kebutuhan masyarakat, terutama umat Islam.
Pembangunan hukum nasional di Indonesia merupakan upaya kompleks yang
mempertimbangkan keragaman budaya dan agama sambil memastikan bahwa hukum
nasional dapat mengayomi seluruh masyarakat Indonesia. Hukum Islam memiliki peran yang
signifikan dalam konteks ini dan harus diintegrasikan secara bijaksana dan relevan dengan
kebutuhan zaman.

Kedudukan Antara Hukum Islam Dengan Hukum Nasional


Kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia memiliki dampak yang
signifikan dan kompleks. Pertama, pengakuan dan integrasi hukum Islam dalam hukum
nasional dapat dilihat melalui regulasi seperti UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. UU
ini mengakui sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai dengan hukum agama masing-
masing, termasuk Islam. Hal ini mencerminkan upaya untuk mengakomodasi berbagai
keyakinan agama dalam hukum nasional.
Kedua, hukum Islam berperan dalam pembentukan karakter dan moral individu dalam
masyarakat. UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan
pentingnya beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai bagian dari
pendidikan yang komprehensif. Ini menunjukkan bahwa nilai-nilai agama, termasuk ajaran
Islam, berperan dalam membentuk manusia yang berakhlak baik.
Ketiga, hukum Islam juga berkontribusi dalam pembentukan lembaga hukum
nasional, seperti Peradilan Agama yang diatur dalam UU No. 7 tahun 1989. Pembentukan

9
lembaga ini sejalan dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam dan
menunjukkan upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hukum mereka.
Keempat, Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi sumber acuan penting dalam
pengambilan keputusan hakim di Peradilan Agama. Meskipun KHI tidak dihasilkan melalui
undang-undang, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengakui KHI sebagai bagian yang
penting dalam sistem hukum nasional. Ini membantu memastikan konsistensi dan keadilan
dalam penegakan hukum Islam di Indonesia.
Kelima, peraturan-peraturan yang terkait dengan hukum Islam, seperti perwakafan
tanah milik, juga dikeluarkan untuk mengatur aspek-aspek hukum yang relevan dengan
ajaran agama Islam. Hal ini mencerminkan upaya untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip
hukum Islam ke dalam hukum nasional Indonesia.
Kesimpulannya, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia
mencerminkan integrasi yang kuat antara keduanya. Hukum Islam diakui, dihormati, dan
diintegrasikan dalam kerangka hukum nasional, sementara tetap memperhatikan
keberagaman agama dalam masyarakat. Hubungan ini memiliki dampak yang signifikan
dalam pembentukan karakter, lembaga hukum, dan penegakan hukum di Indonesia, dan harus
dijaga dengan cermat agar berfungsi secara seimbang dan sejalan.

10
PENUTUP

Kesimpulan
Kedudukan antara hukum Islam dan hukum nasional di Indonesia mencerminkan
integrasi yang erat dengan sejumlah implikasi penting.
1. Hukum Islam diakui dan diintegrasikan secara resmi dalam hukum nasional, seperti yang
terlihat dalam regulasi seperti UU Perkawinan yang mengakui sahnya perkawinan sesuai
dengan hukum agama masing-masing, termasuk Islam. Ini menunjukkan pengakuan dan
integrasi hukum Islam dalam kerangka hukum nasional.
2. Hukum Islam memiliki dampak yang signifikan dalam pembangunan manusia secara
menyeluruh, seperti yang ditekankan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang
menekankan pentingnya beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Ini mencerminkan peran
agama, termasuk Islam, dalam membentuk karakter dan moral individu dalam
masyarakat.
3. Hukum Islam memberikan dasar bagi pembentukan lembaga-lembaga hukum seperti
Peradilan Agama. UU Peradilan Agama menegaskan kehadiran dan pengembangan
lembaga ini sebagai respons terhadap mayoritas penduduk yang beragama Islam.
4. Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi acuan penting dalam pengambilan keputusan
oleh hakim di Peradilan Agama. Ini membantu memastikan konsistensi dan keadilan
dalam penegakan hukum Islam di Indonesia.
5. Berbagai peraturan terkait dengan hukum Islam telah dikeluarkan untuk mengatur aspek-
aspek hukum yang relevan dengan agama Islam. Ini menunjukkan upaya untuk
mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam hukum nasional Indonesia.
Secara keseluruhan, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia
mencerminkan integrasi yang kuat antara keduanya, dengan dampak yang signifikan dalam
pembentukan karakter, lembaga hukum, dan penegakan hukum di Indonesia. Integrasi ini
harus dijaga dengan cermat untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan antara hukum
Islam dan hukum nasional.

11
DAFTAR PUSTAKA

Hamka. (1974). Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao". Jakarta: Bulan Bintang.
Supomo dan Djoko Sutowo. (1955). Sejarah Politik Hukum Adat 1609 - 1848. Jakarta:
Djambatan.
Harahap, M. Yahya. (1999). Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: "Mempositifkan
Abstraksi Hukum Islam". Dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama
dalam Sistem Hukum Nasional, 27. Jakarta: Logos.
Ichtijanto. (1991). Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia. Dalam
Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, 128. Bandung:
Rosdakarya.
Nuruddin, Amiur, & Tarigan, Azhari Akmal. (2004). Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Thalib, Sayuti. (1985). Receptie a Contrario. Jakarta: Bina Aksara.
Sunny, Ismail. (1988). Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam Bidang Hukum
Islam. Dalam Hukum Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, diedit oleh Cik
Hasan Bisri, 96. Jakarta: Logos Publishing.
Schacht, Joseph. (1964). An Introduction to Islamic Law. Oxford: University Press.
Ash-Shiddiqy, Muhammad Hasbi. (1993). Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hornby, A. S. (1986). Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English. Britain:
Oxford University Press.
Syarifuddin, Amir. (1992). Pengertian dan Sumber Hukum Islam. Dalam Falsafah Hukum
Islam, 14. Jakarta: Bumi Aksara.
Daud Ali, M. (1994). Pengembangan Hukum Material Peradilan Agama. Jurnal Mimbar
Hukum: Aktualisasi Hukum Islam Nomor 17 Tahun V (Nov - Des 1994), 34. Jakarta:
Al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam.

12

Anda mungkin juga menyukai