Pahlawan Sulawesi
Pahlawan Sulawesi
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
KELOMPOK 1
KELAS XII MIA 2
1. A. AMANDA
2. FITRIANI
3. HASRI DALIA
4. NURFA
5. RIZAL SYUKRI
PONG TIKU
Pahlawan nasional asal Sulsel selanjutnya adalah Pong Tiku. Ia merupakan
bangsawan Toraja sekaligus panglima perang dalam perlawanan terhadap
Penjajah Belanda. Pertempuran sengit antara Pong Tiku dan Belanda tidak
terelakkan. Satu per satu benteng pertahanan Pong Tiku dikuasai oleh Belanda.
Pong Tiku dan pasukannya terdesak. Meski begitu, ia berhasil menyelamatkan
diri dari kejaran Belanda. Tetapi tidak berlangsung lama, ia segera ditangkap di
persembunyiannya kemudian dijatuhi hukuman mati pada 30 Juni 1907. Pong
Tiku atau juga dikenal dengan nama Ne Baso meninggal 10 Juli 1907 di Sungai
Sadan, Sinki Rantepao, Toraja. Ia meninggal di usia 61 tahun dan dimakamkan
di TPU Pangala, Tana Toraja.
LA MADDUKELLENG
La Maddukelleng adalah pahlawan nasional asal Sulsel yang memimpin
pasukan dari suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan, untuk
melawan Belanda. Perjuangan La Maddukelleng dimulai ketika membantu
pasukan Daeng Parani, Daeng Marewa dan Haji Sore melawan Johor pada
tahun 1715-1721. La Maddukelleng mengirim pasukan yang dipimpin oleh
La Banna To Asak dan memenangkan peperangan. La Maddukelleng
berulang kali menolak menyatakan persaudaraan dengan VOC. Pada bulan
Februari 1741 terjadi peperangan sengit dalam waktu yang cukup lama antara
Wajo dengan Belanda, namun pasukan VOC (Smout) dapat dipukul mundur
oleh pasukan Wajo yang dipimpin La Maddukelleng. La Maddukelleng
meninggal dan dimakamkan di Wajo pada tahun 1765 tepatnya di usia 65
tahun.
ANDI DJEMMA
Andi Djemma merupakan Raja atau Datu Luwu. Dia merupakan pahlawan
nasional asal Sulsel yang memimpin Perlawanan Semesta Rakyat Luwu
terhadap Belanda selama Revolusi Nasional. Andi Djemma memprakarsai
pembentukan organisasi Soekarno Muda (SM) pada tanggal 2 September
1945 untuk melakukan gerakan merebut senjata Jepang di Palopo. Ia juga
menyatakan bahwa daerah Luwu adalah bagian dari NKRI. Selain itu, Andi
Djemma juga menegaskan bahwa Pemerintah Luwu menolak kerja sama
dengan aparat NICA pada masa itu. Andi Djemma meninggal di usia 64
tahun pada tanggal 23 Februari 1965 di Makassar. Ia kemudian dimakamkan
di TMP Panaikang Makassar.
EMMY SAELAN
Emmy Saelan merupakan pahlawan nasional wanita asal Sulsel. Dia Emmy
Saelan bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi
(LAPRIS) di bawah komando Ranggong Daeng Romo pada tahun 1946.
Emmy Saelan memiliki nama asli Salma Soehartini Saelan. Emmy Saelan
kemudian bergabung dalam LAPRIS sebagai penanggung jawab dalam Bagian
Palang Merah. Pejuang wanita asal Sulawesi Selatan ini kemudian merawat
para pejuang yang terluka. Namun, tidak hanya merawat para pejuang yang
terluka, Emmy Saelan juga berjuang dengan mengangkat senjata. Bahkan
Emmy Saelan mendapatkan misi spionase, yakni mata-mata untuk mencari
informasi mengenai kekuatan lawan dalam hal ini NICA.
Saat menjalankan misi tersebut, posisi Emmy Saelan terbaca oleh pihak lawan. Kontak senjata pun tidak
terhindarkan. Di dalam peristiwa tersebut, Emmy Saelan gugur bersama para tentara NICA yang
mengepungnya.
Andi Pangerang Petta Rani pernah menjalani profesi sebagai tentara dan turut
berjuang melawan penjajah. Pada masa itu tentara Hindia Belanda sempat
menguasai kawasan di Sulawesi Selatan, bahkan mereka memiliki beberapa
Benteng pertahanan yang terletak di beberapa lokasi, seperti Benteng Fort
Rotterdam dan Benteng Somba Opu. Pada bulan Agustus 1945 Andi
Pangerang Petta Rani ditunjuk sebagai anggota delegasi Sulawesi ke Komite Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Ia bersama dengan Dr. Sam Ratulangi dan Andi Sultan Daeng Radja. Andi Pangerang Petta
Rani tutup usia 72 tahun. Ia meninggal pada 12 Agustus 1975 di Ujung Pandang.
SYEKH YUSUF
Syekh Yusuf Tajul Khalwati adalah pahlawan nasional asal Sulsel yang lebih
dikenal dengan sapaan Syekh Yusuf. Perjuangannya melawan Belanda bukan
hanya di tanah kelahirannya, Gowa tetapi juga di Banten hingga Afrika Selatan.
Kegigihan perjuangan Syekh Yusuf Tajul Khalwati membuat rakyat Banten
bersemangat mengusir penjajah bersama Sultan Ageng Tirtayasa. Pada masa itu
Syekh Yusuf memiliki pengaruh yang luar biasa dan berhasil meningkatkan
kewibawaan kerajaan Banten diantara Raja-raja di Nusantara.
Syekh Yusuf sepeninggal Sultan Ageng Tirtayasa, memimpin perang Gerilya
bersama Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul di daerah Tangerang. Pada tahun 1684 Syekh Yusuf
dibuang ke pulau Ceylon Sri Lanka. Dampaknya, Belanda memindahkan Syekh Yusuf ke Zandvliet,
Afrika Selatan. Tidak patah arang, Syekh Yusuf terus menyebarkan Agama Islam sekaligus semangat anti
penjajahan terhadap rakyat Afrika Selatan, sampai wafat pada 23 Mei 1699. Syekh Yusuf meninggal di
Cape Town, Afrika Selatan pada usia 73 tahun. Ia dimakamkan di Gowa, Sulawesi Selatan.
Pahlawan nasional asal Sulsel selanjutnya adalah Andi Abdullah Bau Massepe.
Ia merupakan panglima pertama TRI Divisi Hasanuddin. Andi Abdullah Bau
Massepe adalah putra dari Andi Mappanyukki. ia memiliki sikap kerakyatan
dan demokratis yang mampu berbaur dengan baik bersama rakyat biasa.
JOHN LIE
John Lie Tjeng Tjoan, anak kedua dari delapan bersaudara, pasangan Lie
Kae Tae dan Oei Tseng Nie. Ayah John adalah pengusaha pengangkutan
berbagai barang dagangan yang terkenal di Manado, Sulawesi Utara,
semasa negara ini belum merdeka. Sebagai anak laki-laki, John tak tertarik
pada bisnis transportasi. Ia lebih senang pada kapal, pelayaran dan laut
yang penuh tantangan. Tak heran, bila bocah kelahiran Manado, 11 Maret
1911, ini senang betul tatkala iring-iringan kapal perang gugus tugas AL
Belanda sandar di pelabuhan Manado untuk istirahat. Lie ingin melihat
lebih dekat kapal-kapal hebat ini. Darahnya menggelora. Padahal ia baru
10 tahun. Terkagum-kagum ia melihat turet meriam, anjungan kapal yang
gagah dan seragam AL yang putih mengkilat. Pada Mei 1946, Lie
langsung mengabdikan diri pada Angkatan Laut Republik Indonesia, yang waktu itu masih bernama
BKR LAUT (Badan Keamanan Rakyat) dan bertemu dengan pimpinannya, Laksamana Mas Pardi di
markas besarnya di Jogjakarta.
Robert mula-mula bersekolah di Hollands Inslanche School (HIS-setingkat dengan SD). Sejak kecil ia
adalah anak yang gagah, tampan, keras kemauan dan cerdas. Sesudah tamat dari HIS ia melanjutkan ke
MULO, yaitu SMP pada jaman Hindia Belanda.
Robert Walter Monginsidi menggabungkan diri pada pasukan Ronggeng Daeng Romo yang bermarkas di
Plongbangkeng. Ia bertugas sebagai penyidik, karena mahir berbahasa asing dan mempunyai wajah yang
mirip orang Indo-Belanda.
Pada hari yang lain ia memasuki markas Polisi Militer Belanda dan menempelkan plakat berisi ancaman
yang ditandatanganinya sendiri. Nama Robert Walter Monginsidi bagaikan hantu yang sangat ditakuti
oleh pasukan Belanda. Pada tanggal 17 Juli 1946, Robert Walter Monginsidi bersama-sama dengan para
pemuda pejuang lainnya mendirikan organisasi perjuangan bernama Lasykar Pemberontak Rakyat
Indonesia Sulawesi (LAPRIS), terdiri dari 19 satuan perjuangan.
SAM RATULANGI
Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob (GSSJ) Ratulangi, pahlawan dari Tanah
Minahasa ini menjadi pembaca ulang proklamasi di hadapan warganya.
Diasingkan ke pedalaman Papua tak membuat dirinya lekang dari sebutan 'tuan-
tuan merdeka'. Sam Ratulangi, panggilannya, lahir di Tondano, Sulawesi Utara,
pada 5 November 1890. Ia lahir di keluarga pamong, ayahnya Kepala Distrik
Kasendukan saat itu.
Pada 5 April 1956, Belanda menangkap Sam Ratulangi dan enam orang
koleganya. Mereka disebut Belanda sebagai tujuh Oknum Berbahaya. Tujuh
orang itu dijebloskan ke penjara Makassar Lalu dibuang ke Serui, Papua. Di
sana mereka disambut hangat warga lokal. Sam Ratulangi dan kawan-kawan
pun disapa 'Tuan-tuan Merdeka' karena memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Usai Perjanjian Renville pada 1948, Sam Ratulangi dikembalikan ke Indonesia. Ia lalu
bertolak ke ibukota Indonesia saat itu, Yogyakarta. Tak berselang lama, ia kembali ditahan usai Agresi
Militer II pada 18 Desember 1948.
Sebulan setelahnya, ia dikirim ke Jakarta untuk diasingkan ke Bangka. Namun karena kondisi kesehatan,
ia meninggal pada 30 Juni 1949. Sam Ratulangi dimakamkan di kampung halamannya, Tondano. Negara
menganugerahinya gelar pahlawan nasional pada 9 November 1961.
HAMMAD SALEH
Hj. Maemunah. dikenal sebagai anak yang shaleh taat beribadah dan pemberani.
Sebagai anak petama dari lima bersaudara, Maemunah selalu bersikap hati-hati
dalam bertindak karena dia adalah panutan terhadap keempat adiknya. Tahun
1928, yaitu pada usia 12 tahun Maemunah memasuki sekolah dasar 6 tahun di
Majene. Setelah iu ia melanjutkan pendidikan guru selama 2 tahun di tempat
yang sama. Pada tahun 1937, maemunah kemudian melanjutkan ke CVO untuk
mendidik tenaga-tenaga guru. Maemunah sudah diangkat sebagai kepala sekolah
Ba’babulo dari tahun 19371953. Di mandar. Satu wanita diantara beberapa
wanita yang menjadi tokoh sentral dalam perjuangan mempertahankan
kemerdekaan di Majene adalah Hj. Maemunah yang menjadi pemimpin
Kelaskaran GAPRI 5.3.1. bersama dengan suaminya yang bernama H. Muh.
Djud Pantje, Hj. Maemunah menjadi pimpinan suatu Kelaskaran terbesar yang ada di Majene yang
bertugas dibidang keamanan dan pertahanan dalam rangka perjuangan menegakkan dan
mempertahankan kemerdekaan Republik indonesia. Berita menyerahnya Jepan pada sekutu itu,
membankitkan semangat nasionalisme dan cita-cita kemerdekaan dari pemudapemudi Indonesia yng
menghendaki segera mengumumkan pernyataan kemerdekaan Indonesia.
BAHARUDDIN LOPA
Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H., M.H. (27 Agustus 1935 – 3 Juli 2001)
adalah Jaksa Agung Republik Indonesia dari 6 Juni 2001 sampai wafatnya
pada 3 Juli 2001. Baharuddin Lopa juga adalah mantan Duta Besar Indonesia
untuk Arab Saudi. Antara tahun 1993-1998, ia duduk sebagai anggota Komnas
HAM. Baharuddin Lopa dan Bismar Siregar merupakan contoh yang langka
dari figur yang berani melawan arus. Sayang Lopa sudah tiada dan Bismar
sudah pensiun. Tetapi mereka telah meninggalkan warisan yang mulia kepada
rekan-rekannya. Tentu untuk diteladani. Baharudin Lopa meninggal dunia pada
usia 66 tahun, di rumah sakit Al-Hamadi Riyadh, pukul 18.14 waktu setempat
atau pukul 22.14 WIB 3 Juli 2001, di Arab Saudi, akibat gangguan pada
jantungnya.
PUE LASANDINDI
Tokoh Tanah Kaili yang bernama asli Pue Lasadindi atau masyarakat
Sulteng mengenalnya dengan sebutan Mangge Rante ini berasal dari
keluarga bangsawan Sindue, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi
Tengah. Ia lahir pada tahun 1828 dan dan wafat saat berusia seabad
lebih di Desa Rondomayang, Sulawesi Barat, pada tahun 1958.
Sosok Mangge Rante diyakini memiliki karamah oleh sebagian masyarakat Bumi Tadulako. Mulai dari
pesisir wilayah Pantai Barat, Kabupaten Donggala, Tomini Pantai Timur, Lembah Palu, hingga
Kabupaten Sigi. Kisah kepahlawanannya diceritakan secara turun-temurun oleh masyarakat Sulteng. Hal
itu ditandai dengan pembuatan monumen patung Pue Lasadindi di Desa Toaya, Kecamatan Sindue,
Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Masyarakat Sulteng meyakini eksistensi perjuangan
Mangge Rante pada saat itu. Hingga kini, anak dari Mangge Rante, Pue Ratu Hindia Lasadindi atau
dalam dialek Bahasa Kaili Rai disebut Ndo'o Bose, masih hidup dan tinggal di Desa Enu, Kabupaten
Donggala. Gubernur Sulteng, Longky Djanggola, melalui suratnya telah mengusulkan kepada Menteri
Sosial RI, Nomor 464.1/ 069/Dis Sos, tertanggal 16 April 2019, perihal pengusulan Mangge Rante
menjadi pahlawan Nasional.