KAPITA SELEKTA
PERUNDANG – UNDANGAN
1. Pengantar
Whystle Blower atau peniup pluit atau orang yang pertama
memberikan informasi tentang adanya suatu tindak pidana ini
dalam istilah hukum disebut saksi karena memenuhi syarat yang
ditentukan oleh undang-undang hukum acara pidana. dimana
keterangannya sangat diperlukan dan bernilai sebagai alat bukti
yang sah
Salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan
pidana adalah keterangan saksi atau korban yang mendengar,
melihat atau mengalami sendiri terjadinya suatu Tindak Pidana
dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak
pidanayang dilakukan oleh pelaku.
Penegak Hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan
tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sering
mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan
atau korban disebabkan adanya ancaman baik secara fisik
maupun psikis dari pihak tertentu.
Prinsiphukum internasional sebagaimana tercantum dalam
Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang antara
lain menetapkan sebagai berikut :
a. perselisihan hak;
b. perselisihan kepentingan;
c, perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
2. Standar Kompetensi
BAB I
Kompetensi Dasar
d. Ancaman
Adalah segala bentuk perbuatan yang
menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak
langsung yang mengakibatkan saksi dan atau Korban
merasa takut dan atau dipaksa melakukan atau tidak
melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan
pemberian kesaksiannya dalam proses peradilan
pidana.
e. Keluarga
Adalah orang yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus keatas atau kebawah dan garis
menyamping sampai derajat ketiga, atau yang
mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang
menjadi tanggungan saksi dan atau korban.
a. Profil LPSK
LPSK sebagai Lembaga pemerintah non
kementrian diharapkan oleh undang-undang yang
menjadi dasar hukumnya menjadi lembaga yang
independen dalam arti bebas dari intervensi dari pihak
manapun dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan
peranannya, sehingga lembaga ini harus mempunyai
kedudukan yang strategis dalam perlindungan terhadap
saksi dan atau korban,
Adapun kedudukan dan pertanggung jawaban
LPSK sesuai Undang-undang nomor 13 Tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban sebagaimana
diatur dalam pasal 11 adalah sebagai berikut :
1) merupakan lembaga yang mandiri.
2) berkedudukan di ibukota negara RI
3) mempunyai perwakilan didaerah sesuai dengan
keperluan.
b.. Pertanggung jawabanLPSK
1) bertanggung jawab untuk menangani pemberian
perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban
berdasarkan tugas dan kewenangan;
2) bertanggung jawab kepada presiden
3) membuat laporan secara berkala tentang
pelaksanaan tugas LPSK kepada DPR paling
sedikit sekali dalam satu tahun
Kompetensi Dasar
f. Perusahaan adalah:
1) setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau
tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan,
atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun
milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain;
a. Pasal 9
c. Pasal 11
e. Pasal 13
(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga
pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga
pelatihan kerja swasta.
(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat
pelatihan atau tempat kerja.
(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam
menyelenggarakan pe-latihan kerja dapat bekerja
sama dengan swasta.
f. Pasal 18
(1) Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan
kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja
yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja
pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau
pelatihan di tempat kerja.
(2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
sertifikasi kompe tensi kerja.
(3) Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti oleh
tenaga kerja yang telah berpengalaman.
g. Pasal 19
h. Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem
pemagangan.
4. PENEMPATAN TENAGA KERJA
Perihal penempatan kerja sesuai dengan ketentuan
Pasal 31 adalah “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau
pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak
di dalam atau di luar negeri.” Implementasinya adalah
bahwa Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan
asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa
diskriminasi.(pasal 32)
5. Hubungan Kerja
a. Terjadinya hubungan kerja
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian
kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.(pasal 50)
8. Hak-hak Buruh/Pekerja
Hak-hak pekerja/buruh untuk memperoleh
pelindungan yang diatur dalam pasal 86 adalah hak untuk
memperoleh perlindunga atas :
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai agama.
9. Pengupahan.
Hak mempeoleh penghasilan
a. Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
b. Sistem Pengupahan
Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pemerintah
menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh. yang meliputi:
1) upah minimum;
2) upah kerja lembur;
3) upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
4) upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan
lain di luar pekerjaannya;
c. Perselisihan SP/SB
d. Perselisihan PHK
15. Penyidikan
a. Pejabat Penyidik
a. Ketentuan Pidana
1) Pasal 183
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74,
dikenakan sanksi pidana penjara paling
3) Pasal 185
5) Pasal 187
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(2), Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal
67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal
78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), dan ayat (2),
Pasal 85 ayat (3), dan Pasal 144, dikenakan
sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tindak pidana
pelanggaran.
6) Pasal 188
(1) Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal
78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat
(3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan
sanksi pidana denda paling sedikit Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling
7) Pasal 189
b. Sanksi Administratif
Pasal 190
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk mengenakan
sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 15, Pasal 25, Pasal 38 ayat (2), Pasal 45
ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 48, Pasal 87, Pasal
106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berupa :
a. teguran;
b. peringatan tertulis;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan persetujuan;
f. pembatalan pendaftaran;
g. penghentian sementara sebagian atau seluruh
alat produksi;
h. pencabutan ijin.
Kompetensi dasar
a. Pasal 15
Pelaksanaan penyampaian pendapat dimuka umum
dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 10, dan Pasal 11.
b. Pasal 16
Pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian
pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan
melanggar hukum dapat dikenakan sanksi hukum
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
d. Pasal 18
Ayat (1) Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan menghalang-halangi hak
warga negara untuk menyampaikan pendapat
di muka umum yang telah memenuhi
ketentuan undang-undang ini dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Kompetensi Dasar
1) Pancasila;
2) Bhinneka Tunggal Ika;
3) kenusantaraan;
4) keadilan;
5) ketertiban dan kepastian hukum;
6) kemanfaatan;
7) keberlanjutan;
8) partisipasi; dan
9) transparansi dan akuntabilitas.
a. Penemuan
Ketentuan penemuan Cagar Budaya (benda yang
diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga
Bangunan Cagar Budaya, struktur yang didugaStruktur
Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar
Budaya oleh setiap orang sebagaimana diatur dalam pasal
23 ayat (1, 2 dan 3) adalah sebagai beariut :
1) wajib melaporkannya kepada instansi yang
berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi
terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
ditemukannya.
2) Temuan yang tidak dilaporkan oleh penemunya
dapat diambil alih oleh Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah.
3) Berdasarkan laporan tersebut, instansi yang
berwenang di bidang kebudayaan melakukan
pengkajian terhadap temuan.
b. Pencarian
Ketentuan mengenai pencarian Cagar Budaya yang diatur
dalam Pasal 26 adalahsebagai berikut :
1) Pemerintah berkewajiban melakukan pencarian
benda,bangunan, struktur, dan/atau lokasi yang
diduga sebagai Cagar Budaya.
2) Pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar
Budaya dapat dilakukan oleh setiap orang dengan
penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di
darat dan/atau di air
3) Pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) hanya dapat dilakukan melalui penelitian
dengan tetap memperhatikan hak kepemilikan
dan/atau penguasaan lokasi.
4) Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar
Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dengan
penggalian, penyelaman, dan/atau pengangkatan di
darat dan/atau di air, kecuali dengan izin
Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya.
9. PEMERINGKATAN
a. Ketentuan pemeringkatan Cagar Budaya
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat
melakukan pemeringkatan Cagar Budaya berdasarkan
kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat
provinsi, dan peringkat kabupaten/kota berdasarkan
rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.( Pasal 41)
a) musnah;
b) kehilangan wujud dan bentuk aslinya;
c) kehilangan sebagian besar unsurnya; atau
d) tidak lagi sesuai dengan syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, atau
Pasal 44.
a) musnah;
b) hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam)
tahun tidak ditemukan;
c) mengalami perubahan wujud dan gaya
sehingga kehilangan keasliannya; atau
d) di kemudian hari diketahui statusnya bukan
Cagar Budaya.
4) Penghapusan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan tidak
menghilangkan data dalam Register Nasional Cagar
Budaya dan dokumen yang menyertainya.(pasal 51
ayat 2)
5) Dalam hal Cagar Budaya yang hilang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditemukan kembali,
Cagar Budaya wajib dicatat ulang ke dalam
Register Nasional Cagar Budaya. .(pasal 51 ayat 3)
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Register Nasional
Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
( Pasal 52)
3) Zonasi
5) Pemugaran
6) Pengembangan
a) Ketentuan umum pengembangan
menurut pasal 78 :
7) Penelitian
a) dilakukannya penelitian pada setiap
rencana pengembangan Cagar Budaya
untuk menghimpun informasi serta
mengungkap, memperdalam, dan
menjelaskan nilai-nilai budaya.( Pasal
79 ayat 1)
b) penelitian pada setiap rencana
pengembangan Cagar Budaya tersebut
sesuai pasal 79 ayat 1 dan ayat 2
dilakukan terhadap Cagar Budaya
melalui:
9) Pemanfaatan
a) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
setiap orang dapat memanfaatkan
Cagar Budaya untuk kepentingan
agama, sosial, pendidikan, ilmu
pengetahuan, teknologi,
kebudayaan, dan pariwisata.( Pasal 85
ayat 1)
a) mewujudkan, menumbuhkan,
mengembangkan, serta meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab akan
hak dan kewajiban masyarakat dalam
pengelolaan Cagar Budaya;
b) mengembangkan dan menerapkan
kebijakan yang dapat menjamin
terlindunginya dan termanfaatkannya
Cagar Budaya;
c) menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan Cagar Budaya;
d) menyediakan informasi Cagar Budaya
untuk masyarakat;
e) menyelenggarakan promosi Cagar
Budaya;
f) memfasilitasi setiap orang dalam
melaksanakan pemanfaatan dan
promosi Cagar Budaya;
g) menyelenggarakan penanggulangan
bencana dalam keadaan darurat untuk
benda, bangunan, struktur, situs, dan
kawasan yang telah dinyatakan sebagai
Cagar Budaya serta memberikan
dukungan terhadap daerah yang
mengalami bencana;
b. Wewenang
1) Wewenang yang diberikan oleh Undang-
undang Cagar Budaya (Pasal 96 ayat 1)
kepada Pemerintah dan Pemerintah
Daerah sesuai dengan tingkatannya adalah :
a) menetapkan etika pelestarian Cagar
Budaya;
b) mengoordinasikan pelestarian Cagar
Budaya secara lintas sektor dan
wilayah;
c) menghimpun data Cagar Budaya;
d) menetapkan peringkat Cagar Budaya;
e) menetapkan dan mencabut status
Cagar Budaya;
f) membuat peraturan pengelolaan Cagar
Budaya;
g) menyelenggarakan kerja sama
pelestarian Cagar Budaya;
h) melakukan penyidikan kasus
pelanggaran hukum;
i) mengelola Kawasan Cagar Budaya;
j) mendirikan dan membubarkan unit
pelaksana teknis bidang pelestarian,
penelitian, dan museum;
k) mengembangkan kebijakan sumber
daya manusia di bidang kepurbakalaan;
l) memberikan penghargaan kepada
setiap orang yang telah melakukan
Pelestarian Cagar Budaya;
m) memindahkan dan/atau menyimpan
Cagar Budaya untuk
kepentingan pengamanan;
n) melakukan pengelompokan Cagar
Budaya berdasarkan
13. PENDANAAN
b. Penyidikan
a. Pasal 101
Setiap orang yang tanpa izin mengalihkan
kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama
5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
c. Pasal 103
Setiap orang yang tanpa izin Pemerintah atau
Pemerintah Daerah melakukan pencarian Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
d. Pasal 104
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi, atau menggagalkan upaya
Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
e. Pasal 105
Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
g. Pasal 107
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota, memindahkan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
h. Pasal 108
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota memisahkan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus
juta rupiah).
j. Pasal 110
Setiap orang yang tanpa izin Menteri, gubernur, atau
bupati/wali kota mengubah fungsi ruang Situs Cagar
Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
k. Pasal 111
Setiap orang yang tanpa izin pemilik dan/atau yang
menguasainya, mendokumentasikan Cagar Budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
m. Pasal 113