Anda di halaman 1dari 14

PENGEMBANGAN HERMENEUTIKA SCHLEIEMACHER DI DALAM

MEMAHAMI MATIUS 12:31-32


Samuel Lengkong
Samuel Lengkong
Sekolah Tinggi Agama Kristen Lentera Bangsa
lengkong.samuel@gmail.com

Abstrak

Di dalam sejarah perkembangan gereja-gereja Pentakosta dan Karismatik ada


sejumlah orang banyak yang melihat fenomena-fenomena manifestasi dan
kepenuhan Roh Kudus mengolok-olok, mentertawakan, menghina, bahkan
mengatakan sesat sebagai pekerjaan setan. Namun, ada sejumlah kesaksian bagi
mereka yang mengolok-olok, mentertawakan, menghina, bahkan mengatakan sesat
sebagai pekerjaan setan terhadap fenomena-fenomena manifestasi dan kepenuhan
Roh Kudus menjadi setia dan sungguh di dalam Tuhan, bahkan menerima kepenuhan
Roh Kudus. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan makna sebenarnya dan
memahami Matius 12:31-32 berdasarkan pendekatan paralelisasi dan romantisme
hermeneutika Friedrich D. E. Schleiemacher, sehingga mendapatkan pemahaman
yang valid dan sangat antisipatif di dalam kehidupan iman Kristen. Metode
penelitian kualitatif yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kepustakaan.
Hasil penelitian ini adalah bahwa sebagai pembelaan, maka Yesus menantang orang-
orang Farisi bahwa apabila Yesus menggunakan kuasa setan dengan
mengatasnamakan kuasa Roh Allah, berarti Yesus menghujat Roh Kudus, maka
Yesus siap tidak akan diampuni. Perbedaan mengenai dosa menentang Anak
Manusia akan diampuni, namun dosa menentang Roh Kudus tidak akan diampuni,
bukanlah menunjukkan adanya perbedaan derajat antara Anak Manusia dengan Roh
Kudus. Namun, perbedaannya terletak pada hakikat dari diri manusia itu sendiri,
yakni manusia yang pada dasarnya “jahat”

Kata kunci: Pengembangan, Lingkaran Hermeneutika, Schleiemacher, Matius 12:31-32

Abstract
In the history of the development of the Pentecostal and Charismatic churches there are a
number of people who see the phenomena of the manifestation and infilling of the Holy Spirit
mocking, laughing, insulting, and even saying heresy as the work of Satan. However, there
are a number of testimonies for those who make fun of, laugh at, insult, and even say heresy
as the work of Satan on the phenomena of the manifestation and infilling of the Holy Spirit to
be faithful and truly in God, even receiving the fullness of the Holy Spirit. This paper aims to
find the true meaning and understand Matthew 12:31-32 based on Friedrich D. E.
Schleiemacher's parallelization and romantic approach to hermeneutics, so as to gain a
valid and highly anticipatory understanding in the life of Christian faith. The qualitative
research method used by the researcher is library research. The result of this study is that as
a defense, Jesus challenged the Pharisees that if Jesus used the power of Satan in the name
of the power of the Spirit of God, it meant that Jesus was blaspheming the Holy Spirit, then
Jesus was ready not to be forgiven. The difference regarding the sin against the Son of Man
will be forgiven, but the sin against the Holy Spirit will not be forgiven, does not indicate
that there is a difference in degree between the Son of Man and the Holy Spirit. However, the
difference lies in the nature of humans themselves, namely humans who are basically "evil"

Keywords: Development, Hermeneutic Circle, Schleiemacher, Matthew 12:31-32

1
PENDAHULUAN
Di dalam Matius 12:31-32 mengatakan bahwa, “Sebab itu Aku berkata kepadamu:
Segala dosa dan hujat manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak
akan diampuni (12:31). Apabila seorang mengucapkan sesuatu menentang Anak
Manusia, ia akan diampuni, tetapi jika ia menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni,
di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak (12:32). Bagi sebagian orang
menimbulkan ketakutan dengan kebenaran tersebut, dan bertanya-tanya apakah
kehidupannya telah menghujat dan menentang Roh Kudus?1
Di dalam sejarah perkembangan gereja-gereja Pentakosta dan Karismatik ada
sejumlah orang banyak yang melihat fenomena-fenomena manifestasi dan kepenuhan
Roh Kudus mengolok-olok, mentertawakan, menghina, bahkan mengatakan sesat
sebagai pekerjaan setan. Namun, ada sejumlah kesaksian bagi mereka yang mengolok-
olok, mentertawakan, menghina, bahkan mengatakan sesat sebagai pekerjaan setan
terhadap fenomena-fenomena manifestasi dan kepenuhan Roh Kudus menjadi setia dan
sungguh di dalam Tuhan, bahkan menerima kepenuhan Roh Kudus. Ayat-ayat tersebut
juga menjadi pertanyaan dan persoalan, diantaranya adalah mengapa pada ayat-ayat
tersebut ada dosa yang tidak dapat diampuni, sedangkan pada ayat-ayat lain mengatakan
bahwa “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan
mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes
1:9). Begitupun juga di dalam 1 Yohanes 2:2, mengatakan bahwa, “Dan Ia adalah
pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk
dosa seluruh dunia.” Di dalam PL, yakni di dalam Yesaya 1:18 mengatakan bahwa,
“Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun
berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba.”
Berdasarkan ayat-ayat tersebut menyiratkan bahwa seberat atau sebesar apa pun, dan
separah apapun dosa kita akan diampuni.2 Apakah orang-orang yang percaya kepada
Yesus dapat melakukan dosa yang tidak dapat diampuni tersebut. Selanjutnya, mengapa
ada perbedaan atau apa yang menyebabkan berbedanya antara hujat manusia akan
diampuni dengan hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni?
Hal diatas tersebut dibutuhkan penafsiran yang tepat untuk mendapatkan makna
yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, hermeneutika merupakan aktivitas yang dibutuhkan
untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut. Hermeneutika berasal dari kata Yunani
hermenuein yang berarti “menafsirkan,” kata tersebut berasal dari nama dewa Yunani
Hermes. Hermes merupakan utusan dan juru kabar yang menerjemahkan atau
menafsirkan pesan-pesan dari para dewa kepada manusia. Terdapat dua konsep dasar

1
Hali Daniel Lie, “Dosa Yang Tak Terampuni,” Jurnal Amanat Agung 5, no. 1 (2009): 51–62.
2
Lie.
2
dalam penyampaian atau penafsiran tersebut, yakni konsepsi dan representasi
(interpretation). Interpretasi dibutuhkan untuk menjadikan makna sebuah pemikiran atau
teks menjadi transparan, terang, jelas, dan gamblang.3 Schleiermacher mengartikan
hermeneutik sebagai Kunstslehre des Verstehens (seni memahami). Seni memahami
Schleiermacher bertolak dari kesalahpahaman (Mibverstandnis), sebagaimana kerap
terjadi antara orang asing dan penduduk asli. Kesalahpemahaman terjadi bukan
dikarenakan berdasarkan pada perbedaan bahasa, melainkan karena prasangka.
Prasangka itu ada dalam perspektif pembaca, sehingga yang dimengerti ketika membaca
suatu teks adalah pikiran manusia, bukan pikiran dari penulis yang berbicara kepada
pembaca.4 Oleh sebab itu, seni memahami bagi Schleiermacher bertujuan untuk
mengalami kembali proses-proses mental (pikiran) dari penulis teks atau berefleksi,
berempati, lalu menempatkan refleksi dan empati atas penulis itu pada konteksnya.5
Memahami berarti berada pada lapisan dimensi kedalaman sekaligus keluasan cakrawala
rasionalitas dan relasionalitas,6 serta menyeberangi sekaligus memasuki dimensi yang
berada dibalik wilayah kesadaran informatif tersebut.7 Hal tersebut merupakan suatu
upaya untuk mendapatkan makna kehidupan.8 Dua metode Schleiemacher untuk
melakukan ini adalah interpretasi gramatika (memasuki dunia teks) dan interpretasi
psikologis (memasuki dunia mental penulis).
Tulisan ini bertujuan untuk menemukan makna sebenarnya dan memahami Matius
12:31-32 berdasarkan pendekatan paralelisasi dan romantisme hermeneutika Friedrich D.
E. Schleiemacher, sehingga mendapatkan pemahaman yang valid dan sangat antisipatif
di dalam kehidupan iman Kristen. Oleh sebab itu, penelitian ini sangatlah relevan dan
urgensi untuk dapat diteliti, Penelitian ini menghasilkan sebuah penjelasan yang
mengungkapkan makna secara mendalam mengenai implikasi dari dosa yang tidak
diampuni, yakni dosa menghujat Roh Kudus. Dan perbedaan dari dosa menghujat Anak
Manusia dengan dosa menghujat Roh Kudus. Penelitian ini menjelaskan mengenai
penggunaan pendekatan hermeneutika secara paralelisasi untuk melihat kesatuan dari
bagian-bagian yang terpisah dan terkait, sehingga merekonstruksi pemahaman yang utuh

3
Yohanes Verdianto, “Hermeneutika Alkitab Dalam Sejarah : Prinsip Penafsiran Alkitab Dari Masa Ke Masa,”
Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen Mitra Sriwijaya 1, no. 1 (2020).
4
F. Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermarcher Sampai Derrida (Yogyakarta: Kanisius,
2015).
5
Tony Wiyaret Fanggidea and Dina Datu Paonganan, “Filsafat Hermeneutika: Pergulatan Antara Perspektif
Penulis Dan Pembaca,” Jurnal Filsafat Indonesia 3 No. 3, no. 3 (2020): 102–8,
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/download/26007/16363.
6
Antono Wahyudi, “Interpretasi Hermeneutika: Meneropong Diskursus Seni Memahami Melalui Lensa Filsafat
Modern Dan Postmodern,” KLAUSA (Kajian Linguistik, Pembelajaran Bahasa, Dan Sastra) 2, no. 02 (2019): 51–
79, https://doi.org/10.33479/klausa.v2i02.150.
7
Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermarcher Sampai Derrida.
8
Wahyudi, “Interpretasi Hermeneutika: Meneropong Diskursus Seni Memahami Melalui Lensa Filsafat Modern
Dan Postmodern.”
3
mengenai dosa yang tidak diampuni, yakni dosa menghujat Roh Kudus.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menjelaskan mengenai penggunaan pendekatan hermeneutika
romantisme Friedrich D. E. Schleiemacher di dalam melihat ke dalam aspek psikologis
penulis atau pembicara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif biasanya berhubungan dengan masalah sosial
dan keagamaan.9 Metode penelitian kualitatif yang digunakan oleh peneliti adalah
penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah “Penelitian yang menjadikan data-
data kepustakaan sebagai teori untuk dikaji dan ditelaah dalam memperoleh hipotesa atau
konsepsi untuk mendapatkan hasil yang objektif.”10 Di dalam metode ini, peneliti
mengumpulkan sebanyak-banyaknya teori dan informasi dari bahan kepustakaan
menyangkut topik penelitian. Bahan-bahan dari sumber pustaka tersebut pada umumnya
terdiri dari konsep, pendapat, ide dan gagasan yang semuanya dipilih berdasarkan
kesesuaian dan relevansinya terhadap topik penelitian.11 Analisis dilakukan dengan cara
pengamatan dan eksegesis mengenai hujat terhadap Anak Manusia akan diampuni dan
hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni dengan menelisik Matius 12:31-32,
kemudian melakukan analisis dengan membandingkan ayat-ayat paralelisasi, diantaranya
Markus 3:29 dan Lukas 12:10, dan juga menggunakan pendekatan hermeneutika
romantisme Schleiemacher. Selanjutnya, hasil penelitian ini diuraikan secara deskriptif
dan sistematis.12

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hermeneutika Romantisme Friedrich D.E. Schleiermacher (1768-1834)
Hermeneutik dibagi menjadi dua yaitu: hermeneutik umum yaitu prinsip-prinsip
menafsir yang digunakan secara umum untuk menafsir segala macam bentuk karya sastra
umum, dan hermenutik khusus yaitu prinsip-prinsip menafsir yang dikembangkan secara
khusus sehubungan dengan jenis gaya sastra tertentu, misalnya puisi, cerita, dan
sebagainya.13 Hermeneutik juga mengharuskan peneliti kembali berulang ke sumber
data, mengadakan dialog dengan sumber itu, mencoba memahami makna bagi

9
Sonny Eli Zaluchu, “Metode Penelitian Di Dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan,” Jurnal Teologi Berita
Hidup 3, no. 2 (2021): 6.
10
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1999).
11
Sonny Eli Zaluchu, “Metode Penelitian Di Dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan.”
12
Yakub Hendrawan Perangin Angin, Tri Astuti Yeniretnowati, and Yonatan Alex Arifianto, “Implikasi Nilai
Manusia Dalam Praksis Kepemimpinan Menurut Kejadian 1:26-27,” MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi Dan
Kepemimpinan Kristen 2, no. 1 (2020): 47–61, https://doi.org/10.52220/magnum.v2i1.72.
13
Deora Westa Purba, “HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENDEKATAN DALAM TEOLOGI,” Jurnal Pendidikan
Agama Kristen Regula Fidei 3, no. 1 (2018): 82–92.
4
pembuatnya dan mengintegrasikannya dengan makna bagi peneliti. Hermeneutika
sebagai teori interpretasi selalu menarik untuk suatu kajian. Banyak kalangan
cendekiawan mengklaim bahwa hermeneutika menjadi solusi efektif dalam masalah
penafsiran.14
Kata Hermeneutika berasal dari nama dewa Yunani kuno, yakni Hermes. Hermes
merupakan seorang utusan dewa yang menyampaikan kabar dengan menafsirkan atau
menerjemahkan pesan-pesan dari para dewa.. Menurut Richard E. Palmer, proses
penerjemahan yang dilakukan Hermes mengandung tiga bentuk dasar makna
hermeneutis.15 Pertama, mengungkapkan atau menyatakan sesuatu yang tadinya masih
dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian dan pemberitahuan dari
Hermes. Bentuk pernyataan, perkataan, dan pengungkapan ini merupakan hal terpenting
dalam interpretasi.16 Kedua, menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih
samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti. Hal yang paling esensial dari kata-
kata bukanlah “menyatakan”, meskipun itu merupakan tindakan utama penafsiran, tetapi
menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, dan membuatnya jelas. Ketiga,
menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain yang lebih dikuasai
pembaca. Ketiga pengertian tersebut terangkum dalam pengertian “menafsirkan”
(interpreting, understanding). Hal ini karena segala sesuatu yang masih membutuhkan
pengungkapan secara lisan, penjelasan yang masuk akal, dan penerjemahan bahasa, pada
dasarnya mengandung proses memberi pemahaman atau dengan kata lain
menafsirkannya.
Hermeneutik Schleiermacher menekankan bagaimana mengatasi kesenjangan
ruang dan waktu antara teks, penulis dan pembaca untuk menemukan maksud asli
penulis teks itu tanpa prasangka penulis.17 Kesenjangan tersebut berdampak pada
kesalahpahaman terhadap pembaca. Menurut Schleiemacer untuk mengatasi prasangka
di dalam memperkecil kesenjangan tersebut, maka pembaca atau penafsir tidak hanya
memasuki dunia teks, namun juga dunia mental penulis, yakni situasi dan kondisi penulis
saat memproduksi tulisannya. Interpretasi terhadap Alkitab tidaklah cukup dilakukan
hanya melalui penyelidikan gramatika (interpretasi objektif), tetapi juga penafsiran
psikologis (interpretasi teknis) atas diri pengarang. Interpretasi psikologis tersebut
dilakukan dengan intuisi, imajinasi dan empati penafsir atas pengalaman hidup

14
Daden Robi Rahman, “Kritik Nalar Hermeneutika Paul Ricoeur,” Kalimah 14, no. 1 (2016): 37,
https://doi.org/10.21111/klm.v14i1.360.
15
Richard E. Palmer, Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer
(Evanston: Northwestern University Press, 1969).
16
Musnur Heri dan Damanhuri Muhammed, Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi, XI (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005).
17
Syani Bombongan Rantesalu, “Kompetensi Pedagogik Menurut Analisis Ulangan 6 : 7-9 Dengan Pendekatan
Hermeneutik Schleiermacher,” Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen Kontekstual BIA 1, no. 2 (2018): 3–12.
5
pengarang.18 Aktivitas tersebut oleh Schleiermacher disebut sebagai “lingkaran
hermeneutika,” yakni interpretasi gramatika dan interpretasi psikologi.
Schleiermacher memperkenalkan metode interpretasi gramatikal, yakni melibatkan
pemahaman teks, yang membutuhkan pemahaman kata-kata dan bahasa umum. Bahasa
yang digunakan oleh penulis seiring dengan perkembangan zaman akan memiliki makna
yang berbeda atau mengalami perubahan makna. Misalnya, seperti apa yang dicontohkan
oleh Schleiermacher dalam kata Latin hostis yang berarti “orang asing” yang semula
artinya adalah “musuh”. Sebab dahulu orang asing adalah musuh. Seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perleburan budaya, di mana hostis
dimaknai sebagai orang asing yang dapat berteman dengan penduduk setempat, maka
kata hostis tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang negatif. Di dalam interpretasi
gramatika ini, penulis “bergerak” dari pikiran ke kalimat-kalimat yang ditulisnya,
pembaca atau penafsir “bergerak” dari kalimat-kalimat yang ditulis ke isi pikiran penulis.
Seseorang harus memeriksa kata-kata dalam kaitannya dengan kalimat, dan kalimat
dalam konteks paragraf, dan seterusnya, hingga pemahaman teks dapat dicapai secara
akurat. Interpretasi gramatika menggunakan bahasa yang ditulis dalam pengamatan pola
struktur dan bentuk kata-kata serta kalimat-kalimat yang ditulis, keterkaitan antara teks
(struktur dan bentuk bahasa yang digunakan) dengan teks-teks lainnya untuk menentukan
dan memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis. Dengan kata lain, pembaca
melakukan analisa tata bahasa penulis untuk dapat memahami secara objektif apa yang
dimaksudkan oleh penulis tersebut.19 Kita tidak dapat memahami arti dari keseluruhan
teks selain dari memahami makna dari kalimat individu, dan bahkan kata-kata, dalam
teks tersebut. Di sisi lain, kita tidak dapat memahami bagian-bagian individual dengan
benar selain memahaminya secara menyeluruh.20 Dengan kata lain mengalami kembali
pengalaman (nacherleben) penulisnya dengan cara melihat segala hal yang berkaitan
dengan teks itu, misalnya keadaan dan kondisi pesikologis penulisnya pada saat menulis,
mendalami struktur budaya dari penulis, mendalami maksud dari penulis menulis teks itu
seolah-olah pembaca dapat memahami secara tepat apa yang dimaksudkan oleh penulis,
sehingga mendapatkan pemahaman yang untuh dan menyeluruh.
Selanjutnya, interpretasi psikologis pembaca “bergerak” terarah pada konteks
kehidupan penulis seolah-olah ketika momen-momen teks itu sedang ditulis. Konteks
kehidupan berarti situasi dan kondisi kehidupan penulis, kehidupan masyarakat,
kebudayaan, sosial-politik dan zaman di mana teks tersebut ditulis yang dapat
mempengaruhi bagaimana penulis mengungkapkan isi pikirannya di dalam teks.

18
Febriaman Lalaziduhu Harefa, “Analisis Kritis Terhadap Hermeneutika Kaum Postmodernis,” Jurnal Scripta
Teologi Dan Pelayanan Kontekstual 1, no. 1 (2016): 11–24.
19
Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermarcher Sampai Derrida.
20
Verdianto, “Hermeneutika Alkitab Dalam Sejarah : Prinsip Penafsiran Alkitab Dari Masa Ke Masa.”
6
Schleiermacher mengatakan bahwa pembaca tidak hanya mendapatkan pemahaman atas
apa yang dimaksudkan oleh penulis, tetapi juga mendapatkan pengetahuan yang lebih
dari sekedar apa yang ada pada isi pikiran penulis, yaitu situasi dan kondisi sosial,
politik, budaya, ekonomi, dan sebagainya. Dalam rangka mendapatkan pemahaman
secara objektif dan menyeluruh dari teks penulis, interpretasi gramatika dan psikologis
tersebut perlu dilakukan secara serentak, karena tidak cukup memahami suatu teks hanya
dengan menggunakan salah satu interpretasi saja, kedua interpretasi ini perlu saling
melengkapi.21 Proses secara serentak tersebut dilakukan ketika membaca teks
membutuhkan divinasi, yakni suatu metode memahami teks dengan cara mengambil
alih posisi orang lain, khususnya dalam hal ini adalah penulis, agar dapat memahami
atau menangkap kepribadiannya “secara langsung,” yakni isi pikirkan penulis.
Ketika menganalisa teks yang merupakan suatu dialog atau debat yang
diungkapkan oleh penulis, maka lingkaran hermeneutika tidaklah cukup menjelaskan
secara utuh makna yang sesungguhnya, terdapat bagian yang hilang. Oleh sebab itu
intrepetasi gramatika dan psikologi itu pembaca atau penafsir juga harus bergerak terarah
dari pikiran ke kalimat-kalimat pembicara pada teks atau narasi tersebut, pembaca atau
penafsir “bergerak” dari kalimat-kalimat yang ditulis ke isi pikiran pembicara pada teks
atau narasi tersebut. Selanjutnya, pembaca juga “bergerak” terarah pada konteks
kehidupan pembicara, yakni situasi dan kondisi kehidupan pembicara, kehidupan
masyarakat, kebudayaan, sosial-politik dan zaman di mana teks tersebut ditulis yang
dapat mempengaruhi bagaimana pembicara mengungkapkan isi pikirannya.
Pengembangan lingkaran hermeneutika yang melibatkan pembicara untuk dapat
dilakukan intrepetasi gramatika dan psikologis ini akan diterapkan di dalam memahami
Matius 12:31-32.

Memahami Matius 12:31-32


Di dalam pembahasan ini akan menggunakan pengembangan interpretasi
gramatika dan psikologis Schleiemacher, yakni masuk ke dunia mental nya penulis Injil
Matius, pembicara (Yesus dan orang-orang Farisi), dan bahasa serta kebudayaan pada
waktu itu. Hal pertama, kita menelusuri pemahaman Yahudi mengenai praktik
pengusiran setan (eksorsis) Di kalangan Yudaisme bagi orang-orang Farisi mereka
mengetahui ada praktik mengusir setan (eksorsis). Pengusiran setan itu dapat dilakukan
oleh seorang dukun atau seorang nabi. Orang-orang Farisi tidak akan mengakui bahwa
Yesus mengusir setan itu dengan kuasa Roh Allah. Karena, orang-orang Farisi tersebut
tidak menghendaki orang banyak akan menjadi lebih percaya kepada Yesus. Oleh sebab

21
Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermarcher Sampai Derrida.
7
itu, orang-orang Farisi menuduh Yesus melakukan pengusiran setan dengan cara yang
dilakukan oleh seorang dukun, yakni dengan kuasa setan. Namun, ditengah tuduhan
orang-orang Farisi terhadap Yesus, justru menjadi sikap yang dikecam oleh Yesus
sebagai tindakan penghujatan terhadap Roh Kudus.
Diperlukan kajian sejumlah kata di dalam pembahasan ini, yakni Roh Kudus,
menghujat, diampuni. Mengenai Roh Kudus, Barclay mengatakan bahwa Yesus tidak
sedang berbicara tentang Roh Kudus dalam pengertian Kristen yang lengkap. Oleh sebab
itu, Barclay mengatakan supaya perkataan Yesus harus ditafsirkan dalam terang
pemahaman Yahudi tentang Roh Kudus. Adapun dalam pemahaman Yahudi, Roh Kudus
memiliki dua tugas utama. Pertama, Roh Kudus membawa kebenaran Allah kepada
manusia. Kedua, Roh Kudus memampukan manusia untuk mengenali dan memahami
kebenaran itu ketika mereka melihatnya.22 Kata “menghujat” dalam bahasa Yunani
adalah Βλασφημέωn (blasphemeo) yang artinya adalah sebagai berikut: (1) To vilify
(menjelekkan, memfitnah, mencemarkan dan memburuk-burukkan), blaspheme
(mengutuk), defame (memfitnah dan mencemarkan), rail on, revile (mencaci dan
mencerca), and speak evil (berbicara jahat); (2) blaspheme (mengutuk), speak evil of
(berbicara jahat), rail on, blasphemer (penghujat), speak blasphemy (berbicara
penghujatan), blasphemously (yang menghina Tuhan). Kata blasphēmeō di dalam
Perjanjian Baru muncul sebanyak 35 kali, di antaranya adalah Lukas 22:65, Roma 14:16,
1 Korintus 10:30, Kisah 26:11, dan Wahyu 16:11. Dari beberapa ayat tersebut, kata
blasphēmeō diartikan hujat, menghujat, difitnah, berkata jahat dan menyangkal imannya.
Kata “menghujat” dalam Bahasa Ibrani adalah gadaph yang artinya adalah menghujat,
hujat, menista, menjadi penista. Kata gadaph muncul 7 kali dalam Perjanjian Lama,
yakni di dalam 2 Raja-raja 19:6, 22; Yesaya 37:6, 23; 52:5; Mazmur 44:16; 74:10, 18.
Hukuman atas penghujatan yang berlaku pada waktu itu adalah dilempari batu sampai
mati. Dalam Imamat ada seorang Israel peranakan yang berbuat dosa demikian, dan
umumnya penghujatan dilakukan oleh orang-orang kafir (2 Raja-raja 19:6, 22; Yesaya
37:6, 23; 52:5; Mazmur. 44:16; 74:10, 18). Apabila umat Allah jatuh kepada
penyembahan berhala, maka mereka dianggap melakukan penghujatan seperti orang
kafir (Yehezkiel 20:27, Yesaya 65:7).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dari kata “penghujatan, maka esensi dari
penghujatan yang dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh orang Farisi terhadap Yesus
adalah menjelekkan, mencemarkan, memfitnah, mengutuk, bahkan penyembahan kepada
berhala dianggap sebagai penghujatan terhadap Allah (Yehezkiel 20:27). Dan orang-
orang Farisi tersebut jatuh kepada penyembahan berhala, dikarenakan tidak memihak

22
W Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius Pasal 11-28 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009).
8
kepada Yesus yang sangat jelas melakukan pekerjaan Allah dan menggunakan kuasa
Allah. Daniel J. Harrington SJ berpendapat bahwa satu-satunya dosa yang tidak dapat
diampuni adalah menganggap pekerjaan Roh Kudus sebagai pekerjaan roh jahat. Roh
Kudus adalah kekuatan Allah merupakan sumber kekuatan Yesus di dalam mengalahkan
Beelzebul dan bala tentaranya. Tidak mengakui Anak manusia masih dapat diampuni,
namun tidak mengakui sumber dari kuasa-Nya tidak dapat diampuni.23
Perkataan orang Farisi merupakan tudingan terhadap perkataan dan ajaran Yesus
itu berasal dari setan. Oleh sebab itu, mengatakan bahwa Yesus bekerja dengan
menggunakan kekuatan Beelzebul itu menandakan menghujat Roh Kudus.24 Dan
“penghujatan” yang dilakukan oleh orang-orang Farisi tersebut tidaklah sama dengan apa
yang dilakukan oleh orang-orang yang “menertawakan, menghina, dan menolak”
manifestasi Roh Kudus yang sesungguhnya di dalam gereja Pantekosta dan Karismatik.
Kita harus melihat bahwa pernyataan Yesus itu merupakan pernyataan yang ditujukan
secara langsung dan terfokus kepada orang-orang Farisi yang menuding bahwa Yesus
mengusir setan dengan menggunakan kuasa Beelzebul, bukan kepada yang lainnya.
Namun, itu juga ditujukan kepada orang-orang yang dirinya sama seperti orang-orang
Farisi tersebut. Yesus tidak sembarangan mengenakan tindakan penghujatan dilakukan
oleh orang-orang Farisi, Yesus melihat motif buruk yang sangat banyak dari orang-orang
Farisi. Orang-orang Farisi tersebut sudah tahu bahwa kuasa yang digunakan oleh Yesus
adalah kuasa Roh Allah, tetapi orang-orang Farisi tersebut memutarbalikkan fakta bahwa
Yesus menggunakan kuasa setan. Dengan kata lain, mereka tidak mengakui dan menolak
pekerjaan Roh Kudus yang nyata-nyata telah mereka saksikan, dan hal itu menunjukkan
kedegilan hati mereka yang tidak mau menerima kebenaran, bahkan Yesus melihatnya
mereka tidak akan pernah menerima pekerjaan Roh Kudus.
Tidak adanya pengampunan bukan terletak kepada Allah yang tidak memberikan
pengampunan melainkan kembali kepada orang tersebut yang tidak mau membuka diri
untuk bertobat. Ketidakinginan untuk bertobat membuat dirinya tidak mendapatkan
pengampunan dari Allah.25 Henry mengatakan bahwa peringatan yang sangat
menakutkan yang diberikan Kristus kepada mereka agar memperhatikan betapa
berbahayanya kata-kata yang mereka ucapkan itu. Namun, mereka mungkin
meremehkan peringatan ini, menganggapnya hanya sebagai silat lidah belaka, sebagai
bahasa orang yang berpikiran bebas.26 Billy Graham mengatakan: “menghujat Roh
Kudus hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak percaya.”27 Kata “pengampunan” di

23
Daniel J. Harrington SJ, Tafsir Injil Matius, Dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2002).
24
Yohanes Sukendar, “Pengampunan Menurut Kitab Suci Perjanjian Baru,” n.d., 24–39.
25
Dicky Dominggus, “Makna Dosa Menghujat Roh Kudus,” Veritas Lux Mea 2, no. 1 (2020): 71–79.
26
M Henry, Tafsiran Matthew Henry: Injil Markus (Surabaya: Momentum, 2011).
27
Billy Graham, Roh Kudus: Kuasa Allah Dalam Hidup Anda (Bandung: LLB, 1986).
9
dalam Perjanjian Baru dari kata benda aphesis artinya melepaskan.28 Oleh sebab itu, arti
kata pengampunan adalah pembebasan atau pelepasan dari kesalahan atau dosa. Dan
mengampuni adalah melepaskan atau membebaskan seseorang dari kesalahan atau dosa.
Untuk mendapatkan pengampunan dari Allah, maka dari pihak manusia harus ada
pertobatan. Seruan pertobatan itu menjadi salah-satu pemberitaan Injil di dalam
Perjanjian Baru Markus 1:4, "Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan
mengampuni dosamu." Kisah Para Rasul 2:38, “Bertobatlah dan hendaklah kamu
masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan
dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.” Pertobatan atau metanioa
adalah perubahan hati, yakni pertobatan nyata dalam pikiran, sikap, pandangan dengan
arah yang sama sekali berubah, putar balik dari dosa kepada Allah dan pengabdian
kepada-Nya.29
Tidak akan diampuni tidaklah berarti orang-orang Farisi dan mereka yang
mempunyai hati sama seperti orang-orang Farisi tersebut akan mengalami pertobatan
yang sesungguhnya. Karena, mereka sesungguhnya adalah jahat, sehingga tidak akan
mengalami pertobatan yang sesungguhnya. Yesus tahu siapa diri mereka yang
sebenarnya adalah pada dasarnya jahat dan tidak akan menghasilkan buah yang baik dari
diri mereka, sebagaimana yang dikatakan di dalam Matius 12:33, “… jikalau suatu
pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya.” Di ayat 34-35,
dikatakan bahwa apa yang diucapkan mulut meluap dari dalam hati (ayat 34), dan orang
jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaan yang jahat (ayat 35). Sangat
jelas pernyataan tersebut itu ditujukan kepada orang-orang Farisi (Matius 12:34), hal itu
menunjukkan bahwa sesungguhnya orang-orang Farisi yang menuding Yesus pada kasus
tersebut adalah pada dasarnya orang-orang jahat yang tidak akan pernah berubah diri
mereka. Dan mereka harus mempertanggungjawabkan perkataan sia-sia mereka pada
waktu penghakiman (ayat 36).
Pernyataan Yesus itu merupakan pernyataan secara emosional untuk menanggapi
tudingan orang-orang Farisi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh dikarenakan kuasa
setan. Ketika melihat alur struktur kalimat dan keseluruhan dari narasi tersebut, bahkan
mengamati dan memahami situasi yang terjadi pada waktu itu yang pasti memicu
emosional diri Yesus, maka interpretasi terhadap frasa, “hujat terhadap Roh Kudus tidak
akan diampuni” merupakan pernyataan yang menjelaskan bahwa seandainya Yesus
mengusir setan dengan kuasa setan, dengan kata lain bahwa menurut mereka selama ini
Yesus telah berdusta mengatasnamakan Allah dengan menggunakan kuasa setan.
Sebagai pembelaan, maka Yesus secara tidaklah langsung juga ingin menyatakan bahwa

28
N. Hillyer, Ensiklopedi Alkitab Makasa Kini, Jilid I, M-Z (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1999).
29
Hillyer.
10
apabila Yesus menggunakan kuasa setan dengan mengatasnamakan kuasa Roh Allah,
berarti Yesus menghujat Roh Kudus. Dan Yesus berani mengatakan bahwa apabila
Yesus menghujat Roh Kudus, maka Yesus mengatakan bahwa Dia tidak akan diampuni.
Yesus menantang mereka dengan pernyataan tersebut, yakni jikalau tindakan Yesus
menghujat Roh Kudus, maka Yesus siap tidak akan diampuni.
Mengenai perbedaan mengenai dosa menentang Anak Manusia akan diampuni,
namun dosa menentang Roh Kudus tidak akan diampuni, bukanlah menunjukkan adanya
perbedaan derajat antara Anak Manusia dengan Roh Kudus. Namun, perbedaannya
terletak pada hakikat dari diri manusia itu sendiri, yakni manusia yang pada dasarnya
“jahat” dengan manusia yang belum diperbaharui dan belum mengenal Anak Manusia.
Bagi orang-orang yang belum diperbaharui, memang belum menerima Anak Manusia
bahkan Roh Kudus, namun mereka dapat diperbaharui oleh Roh Kudus. Sehingga setelah
mengalami hidup baru dan mengalami pertobatan, maka orang-orang tersebut akan
menerima Anak Manusia dan Roh Kudus. Bagi orang-orang yang pada dasarnya “jahat,”
mereka tidak akan mengalami hidup baru dan pertobatan. Oleh sebab itu, Yesus
memberikan ilustrasi pada Matius 12:33, “… jikalau suatu pohon kamu katakan tidak
baik, maka tidak baik pula buahnya.” Di ayat 34-35, dikatakan bahwa apa yang
diucapkan mulut meluap dari dalam hati (ayat 34), dan orang jahat mengeluarkan hal-hal
yang jahat dari perbendaharaan yang jahat (ayat 35). Mereka itu sesungguhnya adalah
berasal dari si jahat, yakni Iblis, sehingga mereka tidak akan mengalami pertobatan
sesungguhnya, dan yang keluar dari diri mereka adalah yang jahat.

KESIMPULAN
Ketika menganalisa teks yang merupakan suatu dialog atau debat yang
diungkapkan oleh penulis, maka lingkaran hermeneutika tidaklah cukup menjelaskan
secara utuh makna yang sesungguhnya, terdapat bagian yang hilang. Oleh sebab itu
intrepetasi gramatika dan psikologi itu pembaca atau penafsir juga harus bergerak terarah
dari pikiran ke kalimat-kalimat pembicara pada teks atau narasi tersebut, pembaca atau
penafsir “bergerak” dari kalimat-kalimat yang ditulis ke isi pikiran pembicara pada teks
atau narasi tersebut. Selanjutnya, pembaca juga “bergerak” terarah pada konteks
kehidupan pembicara, yakni situasi dan kondisi kehidupan pembicara, kehidupan
masyarakat, kebudayaan, sosial-politik dan zaman di mana teks tersebut ditulis yang
dapat mempengaruhi bagaimana pembicara mengungkapkan isi pikirannya.
Pengembangan lingkaran hermeneutika yang melibatkan pembicara untuk dapat
dilakukan intrepetasi gramatika dan psikologis ini akan diterapkan di dalam memahami

11
Matius 12:31-32. Oleh sebab itu, kita harus melihat maksud dari pernyataan Yesus itu
lebih dalam lagi.
Pernyataan Yesus itu merupakan pernyataan secara emosional untuk menanggapi
tudingan orang-orang Farisi terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus dinyatakan
sebagai pekerjaan kuasa setan. Pernyatan Yesus pada frasa, “hujat terhadap Roh Kudus
tidak akan diampuni” merupakan pernyataan yang menjelaskan bahwa seandainya Yesus
mengusir setan dengan kuasa setan, dengan kata lain bahwa sesungguhnya selama ini
Yesus telah berdusta mengatasnamakan Allah dengan menggunakan kuasa setan.
Sebagai pembelaan, maka Yesus secara tidaklah langsung juga ingin menyatakan bahwa
apabila Yesus menggunakan kuasa setan dengan mengatasnamakan kuasa Roh Allah,
berarti Yesus menghujat Roh Kudus. Dan, Yesus berani mengatakan bahwa apabila
Yesus menghujat Roh Kudus, maka Yesus mengatakan bahwa Dia tidak akan diampuni.
Yesus menantang mereka dengan pernyataan tersebut, yakni jikalau tindakan Yesus
menghujat Roh Kudus, maka Yesus siap tidak akan diampuni.
Selanjutnya, pernyataan Yesus itu merupakan pernyataan yang ditujukan secara
langsung dan terfokus kepada orang-orang Farisi yang menuding bahwa Yesus mengusir
setan dengan menggunakan kuasa Beelzebul, bukan kepada yang lainnya. Namun, itu
juga ditujukan kepada orang-orang yang dirinya sama seperti orang-orang Farisi tersebut.
Yesus tidak sembarangan memberikan pernyataan itu kepada orang-orang Farisi tersebut.
Yesus tahu siapa diri mereka yang sebenarnya adalah pada dasarnya jahat dan tidak akan
menghasilkan buah yang baik dari diri mereka, sebagaimana yang dikatakan di dalam
Matius 12:33, “… jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula
buahnya.” Di ayat 34-35, dikatakan bahwa apa yang diucapkan mulut meluap dari dalam
hati (ayat 34), dan orang jahat mengeluarkan hal-hal yang jahat dari perbendaharaan
yang jahat (ayat 35). Sangat jelas pernyataan tersebut itu ditujukan kepada orang-orang
Farisi (Matius 12:34), hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya orang-orang Farisi
yang menuding Yesus pada kasus tersebut adalah pada dasarnya orang-orang jahat yang
tidak akan pernah berubah diri mereka. Dan mereka harus mempertanggungjawabkan
perkataan sia-sia mereka pada waktu penghakiman (ayat 36).
Perbedaan mengenai dosa menentang Anak Manusia akan diampuni dan dosa
menentang Roh Kudus tidak akan diampuni, bukanlah menunjukkan adanya perbedaan
derajat antara Anak Manusia dengan Roh Kudus. Namun, perbedaannya terletak pada
hakikat dari diri manusia itu sendiri, yakni manusia yang pada dasarnya “jahat.” Manusia
yang pada dasarnya “jahat” akan mengeluarkan yang jahat, dan tidak akan mengeluarkan
yang baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Barclay, W. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius Pasal 11-28. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009.
Dominggus, Dicky. “Makna Dosa Menghujat Roh Kudus.” Veritas Lux Mea 2, no. 1
(2020): 71–79.
Fanggidea, Tony Wiyaret, and Dina Datu Paonganan. “Filsafat Hermeneutika: Pergulatan
Antara Perspektif Penulis Dan Pembaca.” Jurnal Filsafat Indonesia 3 No. 3, no. 3
(2020): 102–8.
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JFI/article/download/26007/16363.
Graham, Billy. Roh Kudus: Kuasa Allah Dalam Hidup Anda. Bandung: LLB, 1986.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami Hermeneutik Dari Schleiermarcher Sampai Derrida.
Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Harefa, Febriaman Lalaziduhu. “Analisis Kritis Terhadap Hermeneutika Kaum
Postmodernis.” Jurnal Scripta Teologi Dan Pelayanan Kontekstual 1, no. 1 (2016):
11–24.
Henry, M. Tafsiran Matthew Henry: Injil Markus. Surabaya: Momentum, 2011.
Hillyer, N. Ensiklopedi Alkitab Makasa Kini, Jilid I, M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, 1999.
Lie, Hali Daniel. “Dosa Yang Tak Terampuni.” Jurnal Amanat Agung 5, no. 1 (2009):
51–62.
Muhammed, Musnur Heri dan Damanhuri. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai
Interpretasi. XI. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Palmer, Richard E. Hermeneutics; Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press, 1969.
Perangin Angin, Yakub Hendrawan, Tri Astuti Yeniretnowati, and Yonatan Alex
Arifianto. “Implikasi Nilai Manusia Dalam Praksis Kepemimpinan Menurut
Kejadian 1:26-27.” MAGNUM OPUS: Jurnal Teologi Dan Kepemimpinan Kristen
2, no. 1 (2020): 47–61. https://doi.org/10.52220/magnum.v2i1.72.
Purba, Deora Westa. “HERMENEUTIKA SEBAGAI METODE PENDEKATAN
DALAM TEOLOGI.” Jurnal Pendidikan Agama Kristen Regula Fidei 3, no. 1
(2018): 82–92.
Rahman, Daden Robi. “Kritik Nalar Hermeneutika Paul Ricoeur.” Kalimah 14, no. 1
(2016): 37. https://doi.org/10.21111/klm.v14i1.360.
Rantesalu, Syani Bombongan. “Kompetensi Pedagogik Menurut Analisis Ulangan 6 : 7-9
Dengan Pendekatan Hermeneutik Schleiermacher.” Jurnal Teologi Dan Pendidikan
Kristen Kontekstual BIA 1, no. 2 (2018): 3–12.
SJ, Daniel J. Harrington. Tafsir Injil Matius, Dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Baru.
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Sonny Eli Zaluchu. “Metode Penelitian Di Dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan.”
Jurnal Teologi Berita Hidup 3, no. 2 (2021): 6.
Subagyo, Joko. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta,
1999.
Sukendar, Yohanes. “Pengampunan Menurut Kitab Suci Perjanjian Baru,” n.d., 24–39.
Verdianto, Yohanes. “Hermeneutika Alkitab Dalam Sejarah : Prinsip Penafsiran Alkitab
Dari Masa Ke Masa.” Jurnal Teologi Dan Pendidikan Kristen Mitra Sriwijaya 1, no.
1 (2020).
Wahyudi, Antono. “Interpretasi Hermeneutika: Meneropong Diskursus Seni Memahami
13
Melalui Lensa Filsafat Modern Dan Postmodern.” KLAUSA (Kajian Linguistik,
Pembelajaran Bahasa, Dan Sastra) 2, no. 02 (2019): 51–79.
https://doi.org/10.33479/klausa.v2i02.150.

14

Anda mungkin juga menyukai