Anda di halaman 1dari 45

Abdul Malik Sadat Idris, dkk.

Policy Brief : Konsep Partisipasi Petani dalam Pengembangan dan Pengelolaan Jaringan Irigasi
Jakarta : Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, 2019
5 + 37 hal., kertas A4

Cetakan Pertama, Desember 2019


Penerbit :
Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas
Jl. Taman Suropati No. 2
Jakarta Pusat

© Hak cipta dilindungi udang-undang

Penulis:
Abdul Malik Sadat Idris, ST, M.Eng
Ir. Juari, ME
Mohammad Irfan Saleh, ST, MPP, Ph.D
Ewin Sofian Winata, ST, MEM
Frieda Astrianty Hazet, ST
Unika Merlin Sianturi, ST
Bintang Rahmat Wananda, ST
Aditya Riski Taufani, ST, M.Eng
Ir. Sudar Dwi Atmanto
Khuswatun Chasanah, ST
Ayunda Pratiwi, S.Stat

Pendukung :
Aris Kurniawan, ST
Sidik Permana Ali Muhtaj, ST
Awang Kadinata Rachman Diputra, S.E
Rizqa Mulia Josiana, ST
Aldila Utami Hapsari, S.I.Kom
Sekar Adjeng Bramesti, SE, Akt.
Dewi Sri Wahyuni, S.Ikom,
Vera Nita Adm.
Rizki Agung Hermanto, SE

Narasumber :
Ir. Theresia Sri Sirdharti, MT
Dr. Ir. Murtiningrum, M.Eng
M. Tahid, ST, MPPM
Ir. Djito, SP1
Prof. Dr. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng
Muhamad Dwi Sumanto.S.Sos
R. Eddy Kurniawan
Edy Ansory
Kata Pengantar

Berangkat dari beberapa isu dalam pelaksanaan ​loan Integrated Participatory Development
and Management of Irrigation Program Loan ADB No​. 3529-INO co-financing dengan AIF
No. 8327-INO dan IFAD ​Loan ​No. ID-1445, Direktorat Pengairan dan Irigasi - Bappenas
melalui kegiatan ​Knowledge Management Center ​(KMC) yang bersumber dari Hibah IFAD
No. 2000001446 menginisiasi penyusunan 3 (tiga) ​policy brief yaitu: 1) Partisipasi Petani
dalam Pengembangan dan Pengelolaan Irigasi, 2) Sinergi, Sinkronisasi, Dan Konsolidasi
Kelembagaan Petani di Lahan Irigasi, dan 3) Pengelolaan Satu Kesatuan Sistem Irigasi
(​Single Management Irigasi). Ketiga ​policy brief ini mengidentifikasi beberapa permasalahan
dan alternatif maupun rekomendasinya yang diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan
masukan dalam penyusunan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Irigasi sebagai
pengaturan lebih teknis sesuai amanat UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Metode penyusunan ​policy brief ​dilakukan dengan berbagai diskusi melalui ​forum group
discussion (FGD) dan ​workshop ​serta melakukan survei secara terbatas karena dalam kondisi
pandemic Covid-19. Dengan segala keterbatasan sumber daya dan metode diskusi dalam
penyusunan, kiranya banyak kendala dan kekurangan dalam ​policy brief ​ini. Namun kiranya
dari yang terbatas ini dapat bermanfaat dalam penyusunan RPP Irigasi maupun
regulasi-regulasi teknis keirigasian lainnya.

Policy brief ​Partisipasi Petani​, dimaksudkan untuk mendorong implementasi yang telah ada
payung hukumnya termasuk sebagai kunci utama dalam modernisasi irigasi. Penerapan
partisipasi petani dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi juga akan menunjang sisi
demand driven atau aspek peningkatan pelayanan kepada pelanggan yang selalu dituntut
dalam atau ​water governance​. Selain itu dalam jangka panjang atau dalam perspektif yang
lebih luas, partisipasi petani dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi dapat diarahkan
sebagai ​person ​yang melaporkan kerusakan jaringan irigasi melalui sistem atau database
e-PAKSI sehingga akan cepat dan tepat diketahui oleh pengelola jaringan irigasi. Dalam
konteks penerapan sistem telemetri pada jaringan irigasi, partisipasi petani dapat diterapkan
dengan memfungsikan person untuk ​menjaga keamanan alat ukur tersebut, yang dapat
ditingkatkan menjadi ​pemelihara ​alat ukur telemetri.

Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terimakasih kepada seluruh ​stakeholder
yang telah memberikan masukan dan saran selama proses diskusi, dan menjadi bahan utama
dalam penyusunan ​policy brief. Berbagai ​stakeholder t​ ersebut adalah: seluruh Direktorat pada
Ditjen SDA Kementerian PUPR; Direktorat Irigasi Pertanian, Ditjen PSP Kementan, dan
Badan Pusat Penyuluhan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian;
Direktorat Sistem Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) I dan II, Ditjen Bina Bangda,
Kementerian Dalam Negeri; dan Pakar dari UGM dan IPB serta berbagai praktisi.

Jakarta, Desember 2020

Abdul Malik Sadat Idris ST. M.Eng.

1
Daftar Isi

PENDAHULUAN 3
1.1 Latar Belakang 3
1.2 Tujuan, Sasaran, dan Ruang Lingkup 4
1.3 Pelaksanaan Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi 5
KERANGKA REGULASI, KELEMBAGAAN, DAN KEBIJAKAN 8
2.1. Kerangka Regulasi 8
2.2. Kerangka Kelembagaan Petani 10
2.3. Kerangka Kebijakan Pelaksanaan Partisipasi Petani 11
MODEL PELAKSANAAN PARTISIPASI DALAM PENGELOLAAN IRIGASI 14
3.1 Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS) 15
3.2 Surat Kesepakatan Kerja Sama (SKKS) 15
3.3 Kerja Sama Operasional (KSO) 16
3.4. Program Partisipasi Rutin 19
3.4.1 Partisipasi P3A/GP3A melalui P3TGAI 19
3.4.2 Partisipasi Petani melalui Dana Desa 22

ANALISIS 29
4.1 Kelembagaan P3A/GP3A 29
4.2 Sumber Pendanaan dan Pembiayaan Kegiatan Partisipasi 31
4.3 Regulasi 34
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 36
5.1 Kesimpulan 36
5.2 Rekomendasi 36
5.2.1 Jangka Pendek 36
5.2.2 Jangka Menengah-Panjang 37
Lampiran 38

2
Policy Paper

KONSEP PARTISIPASI PETANI DALAM PENGEMBANGAN DAN


PENGELOLAAN JARINGAN IRIGASI
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air irigasi merupakan salah satu faktor sarana produksi yang sangat penting dan strategis
dalam menentukan keberhasilan budidaya pertanian di lahan beririgasi. Sehingga,
keberadaan jaringan irigasi yang berfungsi baik untuk memberikan pelayanan air irigasi
sangat penting untuk diperhatikan. Untuk menjaga kondisi jaringan irigasi agar tetap
berfungsi secara efektif dan efisien, maka diperlukan kegiatan operasi dan pemeliharaan
(OP) dan rehabilitasi yang teratur sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Namun saat ini,
kondisi jaringan irigasi di Indonesia secara umum ±50% jaringan mengalami kerusakan,
mulai dari rusak ringan sampai rusak berat. Salah satu faktor yang menyebabkan
kerusakan jaringan irigasi yaitu pelaksanaan kegiatan OP dan kegiatan rehabilitasi
jaringan irigasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Salah satunya yaitu
terbatasnya sumber daya manusia (SDM) pemerintah yang melaksanakan kegiatan OP dan
rehabilitasi jaringan irigasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu alternatif
dan potensi yang ada yaitu meningkatkan partisipasi petani dalam kegiatan OP dan
rehabilitasi pada jaringan irigasi yang ada. Partisipasi petani dapat ditingkatkan dengan
melakukan pelatihan dan pemberdayaan petani.

Partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi sudah ada sejak masa kerajaan. Masyarakat
terlibat langsung dalam pengelolaan irigasi terutama dalam melakukan kegiatan
pemeliharaan saluran dan menjaga pelaksanaan gilir air (pembagian air). Partisipasi petani
tersebut merupakan keikutsertaan petani yang dapat terjadi pada kegiatan pembangunan
baru jaringan irigasi, rehabilitasi jaringan irigasi, serta pada kegiatan OP jaringan irigasi.
Dalam konteks meningkatkan peluang keterlibatan masyarakat dalam rangka
meningkatkan kualitas dan kuantitas pemeliharaan dan operasi, kegiatan pemeliharaan
untuk jaringan irigasi dapat dilakukan oleh petani atau P3A/GP3A/IP3A. Saat ini, upaya
peningkatan partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi semakin diperlukan, akibat
semakin berkurangnya jumlah personil dari instansi pemerintah, baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah yang bertanggungjawab dalam pengelolaan irigasi. Menurut
Korten (1997), pelaksanaan kegiatan partisipasi petani akan meningkatkan rasa memiliki
dan rasa tanggung jawab petani terhadap jaringan irigasi yang dikelola langsung oleh
petani. Kendala terbatasnya personil pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengelola
irigasi, seharusnya dapat meningkatkan keberadaan petani, yang tergabung dalam
organisasi P3A/GP3A untuk dapat lebih berpartisipasi dalam membantu pelaksanaan
pengelolaan irigasi.

3
Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan partisipasi petani
yaitu: 1) lahan irigasi yang sangat luas berdampak pada rehabilitasi dan OP yang masif,
sehingga memerlukan banyak personil yang akan menghadapi kendala dalam
pemenuhannya; 2) sebaran lahan irigasi yang mayoritas berada di daerah pedesaan,
memiliki akses transportasi yang kurang baik, sehingga mobilisasi tenaga kerja ke lokasi
jaringan irigasi merupakan kendala tersendiri; 3) kebutuhan petani akan air tidak bisa
ditunda, sehingga perlu respon yang cepat untuk menghindari masalah dan kerusakan yang
semakin parah; dan 4) bentuk penerapan prinsip pemerintahan kolaboratif dan demokratis
yang harus mendorong partisipasi petani. Kegiatan OP yang memadai dan dilakukan
secara berkala dan berkelanjutan di seluruh jaringan irigasi, tidak bisa mengandalkan
pendekatan konvensional (kontrak dengan pihak ketiga) seperti yang dilakukan selama ini.
Perlu adanya terobosan dalam skala luas untuk menjawab masalah dan tantangan yang ada
dalam partisipasi petani.

1.2 Tujuan, Sasaran, dan Ruang Lingkup

Tujuan ​dari kegiatan partisipasi petani dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan
jaringan irigasi yaitu:
1) Mewujudkan efisiensi, efektifitas, dan keberlanjutan sistem irigasi;
2) Meningkatkan kondisi fisik jaringan irigasi;
3) Meningkatkan rasa memiliki, rasa tanggung jawab, dan kemampuan masyarakat
petani.
4) Meningkatkan kinerja organisasi P3A/GP3A/IP3A dalam melakukan kerja sama antar
anggota petani dalam melakukan kegiatan partisipasi dan meningkatkan peluang
peningkatan pendapatan petani.

Sasaran dari kegiatan partisipasi petani dalam kegiatan pengembangan dan pengelolaan
jaringan irigasi yaitu:
1) Meningkatnya kinerja jaringan irigasi dalam melayani kebutuhan air irigasi untuk
budidaya pertanian;
2) Meningkatnya produksi dan Indeks Pertanaman, serta pendapatan petani anggota
P3A/GP3A yang menjadi tenaga kerja dalam kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi;
3) Meningkatnya kapasitas kelembagaan P3A/GP3A/IP3A dalam mengorganisasi
anggotanya dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain dalam mengelola
jaringan irigasi.

Ruang lingkup​ kegiatan partisipasi petani meliputi 2 (dua) jenis kegiatan yaitu
1) Kegiatan Pengembangan Sistem Irigasi
Kegiatan pengembangan sistem irigasi meliputi kegiatan pembangunan dan/atau
peningkatan jaringan irigasi yang sudah ada.

4
2) Kegiatan Pengelolaan Sistem Irigasi
Kegiatan pengelolaan irigasi meliputi kegiatan rehabilitasi dan operasi pemeliharaan.
Kegiatan rehabilitasi atau perbaikan untuk mengembalikan fungsi jaringan irigasi
yang rusak dan kegiatan pemeliharaan dilakukan untuk menjaga kondisi jaringan
irigasi dapat berfungsi sesuai desain yang dibuat. Terdapat dua jenis kegiatan
pemeliharaan yaitu pemeliharaan rutin dan pemeliharaan berkala.

1.3 Pelaksanaan Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi

Berdasarkan Permen 30 Tahun 2015 terkait Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi
(PPSI), dalam menyelenggarakan pengembangan sistem irigasi sebagaimana dimaksud,
masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi mulai dari pemikiran awal,
pengambilan keputusan, dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dan peningkatan
jaringan irigasi.

Partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A dalam pengembangan sistem irigasi,


kegiatan pembangunan dan peningkatan jaringan irigasi dilakukan melalui tahapan
sosialisasi dan konsultasi publik, survei, investigasi dan desain, pengadaan tanah,
pelaksanaan konstruksi, serta persiapan dan pelaksanaan operasi dan pemeliharaan.
Sementara dalam pengelolaan irigasi, partisipasi masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A
diimplementasikan pada beberapa kegiatan seperti berikut:

1. Kegiatan Operasi Jaringan Irigasi.


Masyarakat petani berpartisipasi dalam pengajuan usulan rencana tata tanam,
pengajuan kebutuhan air, pemberian masukan mengenai pengubahan rencana tata
tanam, pengubahan pola tanam, pengubahan jadwal tanam, dan pengubahan jadwal
pemberian/pembagian air dalam hal terjadi perubahan ketersediaan air pada sumber
air. Kata kuncinya adalah “berpartisipasi dalam pengajuan”, sehingga diperlukan
pengaturan yang memadai dan agar prinsip tersebut benar benar dapat dijalankan.

2. Kegiatan Pemeliharaan Jaringan Irigasi.


Masyarakat petani berpartisipasi dalam kegiatan penelusuran jaringan irigasi,
penyusunan kebutuhan biaya, dan pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan jaringan
irigasi primer dan sekunder. Kata kuncinya adalah “berpartisipasi” sehingga perlu
dijabarkan dan dirumuskan secara memadai dalam implementasinya.

3. Kegiatan Rehabilitasi Jaringan Irigasi.


Dilakukan melalui tahapan sosialisasi dan konsultasi publik, penilaian indeks kinerja
sistem irigasi, survei, investigasi dan desain, pengadaan tanah, pelaksanaan
konstruksi, serta persiapan operasi dan pemeliharaan. Masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A berperan pada setiap tahapan pelaksanaan termasuk
pelaksanaan konstruksi. Kata kuncinya adalah “berperan”, sehingga perlu dirumuskan

5
makna dan cakupan kata “berperan” tersebut serta pengaturan implementasi secara
memadai, agar aspek partisipasi benar-benar dapat diterapkan.

Makna dari ketiga kata kunci tersebut adalah memberikan kesempatan kepada petani untuk
berperan serta dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Hal tersebut sejalan dengan
pelayanan kepada pelanggan/customer yaitu petani sehingga pelayanan prima akan dapat
terwujud karena adanya kolaborasi antara penyedia layanan dan pemanfaat layanan.

Pengalaman kegiatan pemerintah dalam meningkatkan partisipasi petani dalam


pengelolaan irigasi, khususnya kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi sudah dilakukan cukup
lama. Pengembangan partisipasi diawali dengan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi irigasi
sederhana dan irigasi desa yang dilaksanakan sekitar tahun 1980 an. Pemilihan skala
kegiatan pada level desa ini merupakan strategi pendekatan yang memberikan gambaran
partisipasi masyarakat/petani. Kegiatan ini dilaksanakan di Direktorat Irigasi I, Ditjen
Pengairan Kementerian PU dan Direktorat Jenderal Pengembangan Areal Tanaman
Kementerian Pertanian. Pada tahun akhir 1980-an Ditjen Sumber Daya Air, Kementerian
PU sudah melakukan pilot projek peningkatan partisipasi petani dalam perbaikan jaringan
irigasi tersier dan irigasi kecil di bawah 150 Ha di Proyek Irigasi dengan Bantuan IDA
melalui ​Irrigation Project with IDA Assistance ​(PROSIDA) di wilayah karesidenan
Madiun.

Kemudian Program Penyerahan Irigasi Kecil (PIK) yang dimulai pada tahun 1987
memberikan perhatian lebih besar pada aspek non teknis terutama aspek pemberdayaan
P3A. Dalam pelaksanaannya melibatkan tiga lembaga yaitu Departemen PU, LP3ES, dan
IIMI (International Irrigation Management Institute) melalui pendanaan Bank Dunia dan
Ford Foundation. Secara prinsip, konsep PIK ingin mendorong peningkatan level
partisipasi petani melalui pemberian kewenangan pengelolaan irigasi kecil dengan luas <
150 Ha. Implementasi peningkatan kualitas partisipasi tersebut dalam konteks UU 7 Tahun
2004, kewenangan pengelolaan jaringan irigasi tersier diserahkan kepada petani dan
pemerintah tetap memberikan bantuan teknis serta pembinaan kepada petani melalui P3A.
Prinsip partisipasi pada kegiatan PIK dimulai pada tahap perencanaan dengan menyusun
PST (Profil Sosio Teknis) dimana petani turut serta dalam penelusuran jaringan irigasi
sehingga petani dapat memberikan masukan sesuai kebutuhan yang dirasakan oleh petani.
Pada tahap selanjutnya dalam pelaksanaan pilot projek partisipasi petani, PST ini
dikembangkan menjadi Profil Sosio Ekonomi Teknis Kelembagaan (PSETK) dengan
menambahkan aspek ekonomi dan kelembagaan petani.

Setelah program Penyerahan Irigasi Kecil (PIK) dilanjutkan dengan pilot projek partisipasi
petani pada projek ​Small Scale Irrigation Management Project ​(SSIMP) di Provinsi
Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat sekitar awal tahun 1990-an. Selain itu, juga
terdapat kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi menengah khususnya di Pulau Jawa, dengan
nama projek Java Irrigation and Water Management Project ​(JIWMP) pada akhir tahun
1990an sampai awal tahun 2000-an. Kemudian setiap kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi
dengan pembiayaan ​loan (Pinjaman Luar Negeri) selalu menggunakan pendekatan

6
“partisipasi” dalam pelaksanaannya, baik dalam pelaksanaan penguatan kelembagaan
petani maupun dalam kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi, seperti projek ​Participatory
Irrigation Sector Project (PISP) dengan pembiayaan ​loan dari ADB, projek ​Water and
Irrigation Sector Management Project (WISMP) dengan pembiayaan ​loan dari Bank
Dunia.

Akan tetapi upaya untuk mendorong peningkatan partisipasi P3A/GP3A/IP3A tersebut


seringkali tidak berlanjut ketika kegiatan proyek yang dibiayai ​loan tersebut berhenti.
Padahal dari pengalaman yang ada (​lesson learned​), banyak pelajaran positif terkait
pelaksanaan kegiatan partisipasi petani dan kegiatan rehabilitasi. Pendekatan partisipasi
tersebut dinilai berhasil pada beberapa aspek kondisi fisik jaringan irigasi yang dihasilkan,
aspek penguatan organisasi P3A/GP3A, aspek pendekatan partisipasi oleh SDM dari
pemerintah, dan aspek peningkatan pendapatan petani ketika ada kegiatan rehabilitasi
jaringan irigasi yang melibatkan partisipasi petani. Dengan berbagai pengalaman yang ada
tersebut, dinilai sudah saatnya pemerintah membuat kebijakan terkait kegiatan rehabilitasi
dan kegiatan OP jaringan irigasi yang melibatkan partisipasi petani dengan menggunakan
anggaran pembiayaan dari sumber APBN. Sehingga, pelaksanaan kegiatan partisipasi
petani dalam rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi tidak terbatas dari pembiayaan
loan dan dapat menjadi kegiatan yang berkelanjutan. Kendala ketersediaan anggaran
pemerintah dan pilihan prioritas kegiatan sehingga komponen seperti partisipasi antara lain
sebagai pertimbangan yang mengakibatkan implementasi partisipasi dalam pengembangan
dan pengelolaan irigasi tidak dapat berlanjut.

7
II. KERANGKA REGULASI, KELEMBAGAAN, DAN KEBIJAKAN

2.1. Kerangka Regulasi

Kegiatan partisipasi masyarakat telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
2017 terkait pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah yang mengatur partisipasi secara umum dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal
ini sejalan dengan prinsip demokratisasi yang salah satu pilarnya adalah keterlibatan
masyarakat. Pelaksanaan partisipasi masyarakat diantaranya partisipasi petani dalam
pengembangan dan pengelolaan irigasi yang pada dasarnya juga telah diatur dalam
Undang-Undang tentang Sumber Daya Air atau Pengairan. Mulai dari UU No. 11 Tahun
1974 tentang Pengairan, UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan UU No. 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang memberikan amanah dan arahan bahwa
masyarakat yang memperoleh manfaat dengan adanya bangunan sumber daya
air/pengairan, termasuk irigasi, dapat berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya air
termasuk dalam pengelolaan irigasi.

Dalam regulasi, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan


Rakyat (PUPR) telah mengatur pelaksanaan kegiatan pengembangan dan pengelolaan
irigasi melalui Peraturan Menteri PUPR No. 30 Tahun 2015 tentang Pengembangan dan
Pengelolaan Sistem Irigasi (PPSI), yang memberikan amanah tentang pelaksanaan
partisipasi petani. Dalam pasal 4 ayat (2) dikatakan bahwa Pengembangan dan
Pengelolaan Sistem Irigasi diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan
lingkungan hidup, transparan, akuntabel dan berkeadilan. Kegiatan partisipasi masyarakat
petani, sesuai dengan pasal 4 ayat (3) dari Peraturan Menteri tersebut dapat disalurkan
melalui Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di wilayah kerjanya. Sedangkan
pelaksanaan partisipasi P3A/GP3A dimaksudkan untuk “meningkatkan rasa memiliki, rasa
tanggung jawab, serta meningkatkan kemampuan masyarakat petani/P3A/GP3A/IP3A
dalam rangka mewujudkan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan sistem irigasi (PP No.
30 Tahun 2015, pasal 4 ayat 4).

Secara spesifik dan implementatif pengaturan partisipatif ini muncul dalam rangka
pelaksanaan proyek atau loan sebagai pilot proyek atau sarana untuk
mengimplementasikan prinsip partisipatif. Salah satunya yang dijadikan dasar pemerintah
untuk melaksanakan kegiatan partisipasi petani/P3A/GP3A/IP3A untuk beberapa projek
tertentu seperti Proyek WISMP dengan menggunakan dasar legalitas yaitu Surat Edaran
Dirjen Sumber Daya Air (SDA) No.IK-01.02-04/404, Tanggal 22 Juni 2009, Perihal
Komisi Irigasi dan Kerja Sama Pengelolaan Irigasi Secara Partisipatif. Dengan dasar
legalitas tersebut kegiatan rehabilitasi pada jaringan irigasi yang menjadi lokasi projek
WISMP dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif yang terdiri dari SID partisipatif,
konstruksi partisipatif, dan OP partisipatif dengan 3 (tiga) pendekatan pelaksanaan
pengelolaan irigasi partisipatif yaitu ​pertama ​pendekatan Surat Perjanjian Kerja Sama
(SPKS); ​kedua​, pendekatan Surat Kesepakatan Kerja Sama (SKKS); dan ​ketiga
pendekatan Kerja Sama Operasional (KSO). Dengan Surat Edaran Ditjen SDA tersebut

8
maka menjadi dasar pelaksanaan rehabilitasi dan kegiatan OP dilaksanakan secara
partisipatif dilaksanakan pada proyek WISMP tahap II. Pada proyek WISMP,
pembelajaran partisipasi dilakukan oleh pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten) pada
daerah irigasi kewenangannya, sementara DI Kewenangan Pemerintah Pusat yang relatif
besar masih belum secara intensif mengadopsi prinsip partisipasi sebagaimana
kewenangan daerah.

Di sisi lain pemerintah juga mengembangkan pola partisipasi yang langsung dapat
memberikan afirmasi kepada P3A/GP3A untuk melakukan pemeliharaan atau bahkan
pengembangan jaringan irigasi di wilayahnya. Melalui Peraturan Menteri PUPR No 24
Tahun 2017 tentang Pedoman Umum Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air
Irigasi (P3TGAI), perintah partisipasi petani dalam kegiatan rehabilitasi yang
dilaksanakan melalui Program Percepatan Peningkatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi
(P3TGAI). Program P3TGAI merupakan salah satu program padat karya dalam bidang
Pekerjaan Umum yang dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi jaringan irigasi desa
dan irigasi tersier. Kegiatan ini dilaksanakan dengan pendekatan partisipasi P3A, melalui
kontrak kerja antara P3A dengan dengan perwakilan dari B/BWS dimana lokasi jaringan
irigasi tersebut berada.

Secara regulasi, kegiatan partisipasi petani/P3A dalam pelaksanaan pengelolaan irigasi


telah diamanahkan mulai dari tingkat UU sampai dengan Peraturan Menteri, bahkan pada
tingkat SE Dirjen SDA. Akan tetapi dalam hal partisipasi petani/P3A dalam pelaksanaan
rehabilitasi jaringan irigasi masih dilaksanakan terbatas pada proyek-proyek tertentu dan
dalam jangka waktu tertentu sehingga mengalami kendala dalam replikasi atau
keberlanjutannya menggunakan dana rupiah murni (APBN dan APBD). Hal tersebut
antara lain disebabkan oleh keterbatasan waktu dan anggaran sehingga memprioritaskan
output dari pembangunan infrastruktur dan kurang memprioritaskan aspek partisipasi.

Berkaca dari dua pengalaman mengimplementasikan prinsip partisipasi baik pada DI


kewenangan daerah dan DI kewenangan pusat melalui penerbitan SE Dirjen dan Permen
PU memberikan gambaran yang baik semangat menjalankan prinsip partisipasi, oleh
karena itu semangat tersebut perlu terus didorong dan difasilitasi serta ditingkatkan
kualitasnya agar kinerja jaringan irigasi semakin membaik.

Sebagaimana diketahui setiap tahun terdapat alokasi anggaran rutin baik pada APBN dan
APBD yang mengalokasikan anggaran untuk kegiatan rehabilitasi dan kegiatan OP
jaringan irigasi. Hal ini seharusnya dapat dijadikan sebagai potensi untuk memberikan
kesempatan lebih kepada petani/P3A untuk terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan
kegiatan OP jaringan irigasi. Partisipasi dalam pengelolaan irigasi tidak hanya
dimaksudkan untuk kegiatan proyek-proyek tertentu, tetapi seharusnya dipahami untuk
semua pola pembiayaan yang digunakan dalam pengelolaan irigasi, yaitu kegiatan
rehabilitasi dan kegiatan OP pada jaringan irigasi.

9
2.2. Kerangka Kelembagaan Petani

Keberadaan kelembagaan petani di Indonesia khususnya P3A, sudah ada sejak lama dan
semakin berkembang sesuai dengan bertambahnya jaringan irigasi untuk mendukung
budidaya tanaman padi. Dengan perkembangan pembangunan pertanian dan rehabilitasi
jaringan irigasi yang semakin meningkat, pemerintah mengintensifkan pembinaan
terhadap P3A. Namun, belum terlaksana secara efektif karena belum ada sinkronisasi
materi dan kerangka legal, petunjuk teknis/ pelaksanaan atau ​guideline pembinaan serta
waktu pelaksanaan kegiatan pembinaan antar instansi pemerintah. Hal ini mengakibatkan
pembinaan kelembagaan P3A masih dilaksanakan secara parsial. Kementerian PUPR lebih
fokus pada teknis tata guna air dan Kementerian Pertanian lebih fokus pada teknis
budidaya tanaman. Sedangkan aspek finansial terlihat belum diberdayakan untuk P3A. Di
tingkat desa sudah ada lembaga petani Kelompok Tani (Poktan) yang mendapatkan
pemberdayaannya dari Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian/Tanaman Pangan.
Kerangka pengembangan kelembagaan P3A perlu dipikirkan kembali untuk menata ulang
dan mensinkronisasikan dengan lembaga-lembaga petani yang ada di desa seperti
P3A/GP3A/IP3A, Poktan/Gapoktan, dan organisasi petani lainnya untuk dapat
diintegrasikan, termasuk strategi pembinaannya agar pelaksanaannya menjadi lebih efektif
dan efisien.

Lembaga P3A mempunyai hak dan tanggung jawab pada jaringan irigasi tersier dalam
mengelola irigasi. Akan tetapi dalam menjalankan hak dan tanggung jawab tersebut, P3A
belum memperoleh hak yang memadai untuk mendapatkan anggaran dan
menggunakannya sebagai biaya kegiatan pengelolaan irigasi tersier. Alokasi anggaran
untuk jaringan irigasi tersier dialokasikan oleh Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian
untuk membantu perbaikan/pengelolaan jaringan tingkat usaha tani atau tersier dan
jaringan irigasi desa. Pola ini menjadikan P3A menjadi organisasi yang sulit mandiri.
Reformulasi pemberdayaan P3A/GP3A harus berjalan bersama Poktan/Gapoktan yang
mengarah pada kelembagaan petani yang terpadu dengan berbagai keahlian untuk
mendukung pelaksanaan partisipasi petani secara langsung yang dalam jangka panjang
dapat menjadi cikal bakal bentuk korporasi petani dengan memperhatikan skala ekonomi
(​economic scale​).

Mengingat bahwa struktur kelembagaan organisasi petani pemakai air saat sekarang ada 3
(tiga) tingkatan struktur yang sesuai dengan struktur jaringan irigasi primer, sekunder, dan
tersier, maka kerangka kelembagaan organisasi petani dalam kegiatan partisipasi petani
dalam kegiatan rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi seharusnya juga diatur dalam
3 (tiga) struktur kelembagaan yang sesuai dengan keberadaan tingkatan jaringan irigasi
yang ada yaitu:
1) Organisasi P3A berpartisipasi pada jaringan irigasi Tersier. Sesuai dengan batasan
kriteria pembentukan kelembagaan perkumpulan petani pemakai air bahwa pada
tingkat jaringan irigasi tersier dibentuk kelembagaan P3A. Maka untuk kegiatan
partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi tersier akan
dilaksanakan oleh organisasi P3A.

10
2) Organisasi GP3A berpartisipasi pada jaringan irigasi Sekunder. Sesuai dengan
wilayah kerja dari GP3A yang ada, maka kelembagaan yang mengkoordinir kegiatan
partisipasi petani untuk kegiatan jaringan irigasi sekunder yaitu Gabungan P3A.

3) Organisasi IP3A berpartisipasi pada jaringan irigasi Primer. Jika kegiatan rehabilitasi
dan kegiatan OP pada jaringan irigasi primer maka kelembagaan yang mengkoordinir
kegiatan partisipasi petani pada jaringan irigasi tersebut yaitu Induk P3A (IP3A).

Secara faktual keberadaan petani dalam arti ​by name by ​address a​ dalah pada tingkat P3A.
Oleh karena organisasi GP3A anggotanya adalah organisasi P3A dan IP3A anggotanya
adalah organisasi GP3A, maka jika terdapat kegiatan partisipasi untuk rehabilitasi dan
kegiatan OP GP3A dan IP3A dapat meminta bantuan petani yang ada pada organisasi P3A
untuk dilibatkan pada kegiatan partisipasi di jaringan irigasi sekunder atau di jaringan
irigasi primer.

2.3. Kerangka Kebijakan Pelaksanaan Partisipasi Petani

Sejarah kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi di Indonesia tidak terlepas dengan
keikutsertaan petani atau partisipasi petani. Sejak awal pembangunan jaringan irigasi yang
dilaksanakan pada zaman kerajaan, kemudian zaman kolonial Belanda, kemudian pada era
orde lama, sampai era orde baru selalu diikuti dengan adanya partisipasi atau keikutsertaan
petani. Upaya pemerintah dalam memperkuat partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi
selama ini tampak belum efektif sebagaimana yang diharapkan. Kegiatan partisipasi petani
dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi yang selama ini dilaksanakan hanya
dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan pilot projek saja dan beberapa kegiatan yang sifatnya
terbatas pada proyek-proyek tertentu dari proyek yang dibiayai dari ​loan​. Sedangkan
kegiatan pengembangan dan pengelolaan irigasi partisipatif yang dibiayai menggunakan
APBN sangat sedikit seperti Program P3TGAI dan beberapa kegiatan OP jaringan irigasi
kewenangan pusat, yang hanya menggunakan petani sebagai tenaga kerja/buruh lepas.

Beberapa contoh kegiatan partisipasi petani Poktan/P3A dalam pengembangan dan


pengelolaan irigasi yang ada di Indonesia dilaksanakan pada beberapa pilot projek seperti
PROSIDA, ​Irrigation Sub Sector Project (ISSP), projek ​Small Scale Irrigation
Management Project (SSIMP), ​Java Irrigation and Water Management Project (JIWMP),
dan ​Water and Irrigation Sector Management Project (WISMP). Pemerintah pusat yang
menginisiasi proyek tersebut tidak mempunyai komitmen untuk melanjutkan model
pendekatan projek partisipasi dalam pengelolaan irigasi. Dari kegiatan proyek partisipasi
pengembangan dan pengelolaan irigasi atau projek WISMP menghasilkan 3 (tiga) model
pendekatan partisipasi yaitu: 1) Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS); 2) Surat
Kesepakatan Kerja Sama (SKKS); dan 3) Kerja Sama Operasional (KSO). Proses kegiatan
irigasi partisipatif dalam kegiatan WISMP dimulai dengan penentuan DI kesepakatan,
sosialisasi dan penyadaran publik, penyusunan PSETK, pembentukan, revitalisasi dan

11
legalisasi P3A/GP3A, perencanaan dan desain partisipatif, konstruksi rehabilitas dan/atau
OP partisipatif, dan monitoring evaluasi. Gambaran proses kegiatan tersebut dapat
ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1: Proses kegiatan irigasi partisipatif dalam kegiatan WISMP

Kegiatan irigasi partisipatif pada WISMP-II dapat dikelompokkan ke dalam 7 tahapan,


yakni 1) penentuan DI kesepakatan; 2) sosialisasi dan konsultasi publik; 3) penyusunan
Profil Sosial Ekonomi Teknis dan Kelembagaan (PSETK); 4) pembentukan atau
penguatan P3A/GP3A; 5) perencanaan dan desain partisipatif; 6) konstruksi/rehabilitasi
dan/atau operasi & pemeliharaan (O&P) Partisipatif; dan 7) monitoring dan evaluasi.

Kegiatan partisipasi lain dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi secara terbatas
dilakukan melalui Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air irigasi (P3TGAI).
Kegiatan program ini dilaksanakan di irigasi kecil dan irigasi desa dengan luas lahan <
150 Ha. Dengan pengalaman panjang pelaksanaan irigasi partisipatif, inovasi atau
pemikiran baru merupakan modal dalam menjalankan partisipasi sebagai modal sosial
yang sangat diperlukan dalam kesuksesan pembangunan​. Tampak pada pelaksanaan
projek Integrated and Participatory Development and Management Irrigation Program
(IPDMIP), meskipun beberapa loan terdahulu sebagai penggerak penerapan partisipasi,
tidak demikian dengan loan ADB yang ​co-financing dengan AIF dan loan dari IFAD
untuk IPDMIP. Loan tersebut belum mampu untuk menjamin berlanjutnya pelaksanaan
partisipasi dalam pengelolaan irigasi, terutama dalam kegiatan rehabilitasi dan kegiatan
OP jaringan irigasi. Dengan sebutan proyek yang menggunakan nama “​Participatory”​ ,
namun di dalam “Pedoman Pelaksanaan Kegiatan” dan implementasinya, kegiatan SID
dan pelaksanaan konstruksi tidak diatur bagaimana pelaksanaan partisipasi pada tahap SID
dan konstruksi harus dilaksanakan. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan maksud dan
tujuan adanya kegiatan proyek yang dibiayai dengan dana pinjaman (​loan)​ dari ​Asian
Development ​Bank (ADB), ​Asian Infrastructure Fund (AIF), dan ​International Fund for
Agriculture Development (IFAD). Salah satu kendala adalah sifat loan tersebut tidak

12
bersifat project loan, melainkan semacam program loan walaupun outputnya bersifat
proyek dengan menerapkan pola pencairan loan didasarkan pada ​Result Based Lending
(RBL) dengan menggunakan ​Disbursement-Linked Indicator (​ DLI) yang mengacu pada
output proyek. Namun dengan sifat RBL tersebut, ADB memberikan keleluasaan bahwa
pelaksanaan ​loan t​ ersebut menyatu pada mekanisme ​country system,​ seperti dalam proses
procurement dan administrasi ​loan t​ idak memerlukan ​approval a​ tau NoL dari ADB.
Dengan demikian dibanding dengan ​loan - loan ​sebelumnya sesuai dengan kerangka
intervensinya dalam skema RBL, ADB tidak terlalu detail ikut serta dalam proses
pelaksanaannya.

Dalam implementasinya, partisipasi pengelolaan irigasi masih sebatas program ​top-down


dari pusat dan program PHLN. Sehingga, pasca program PHLN, hanya sedikit daerah
yang melanjutkan kegiatan partisipasi pada jaringan irigasi. Implementasi pelaksanaan
partisipasi ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1: Implementasi Pelaksanaan Partisipasi Petani

Program Sifat dan Hasil Keberhasilan Dampak


P3TGAI Top/Down Sukses dalam Magnitude
Juklak Juknis implementasi cukup besar
Partisipasi
SPKS Inisiatif melestarikan Ada nilai-nilai atau Magnitude
Kabupaten implementasi partisipatif/ manfaat dan relatif masih
Lombok Barat akuntabilitas terjamin keuntungan dari kecil
dengan mencantumkan pelaksanaan
dalam dokumen lelang partisipasi

Ex-WISMP II Jejak-jejak implementasi Tidak dilanjutkan


Kabupaten partisipasi: dengan dana APBD
Sleman, Pati, - Infrastruktur hasil
Purworejo, partisipasi
Provinsi - Soliditas kelembagaan
Yogyakarta (anggota P3A yang
ditugaskan dalam
partisipasi)

Dari uraian di atas, diketahui bahwa kerangka kebijakan pelaksanaan partisipasi dalam
pengembangan dan pengelolaan irigasi yang ada saat ini dilaksanakan tanpa ada konsep
pelaksanaan yang berkelanjutan. Dari sisi regulasi, tidak ada jaminan kepastian bahwa
kegiatan partisipasi dapat dilaksanakan dengan menggunakan sumber pembiayaan dari
APBN maupun APBD. Padahal pada UU tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Menteri
tentang PPSI sudah diatur secara eksplisit dan jelas bahwa kegiatan pengembangan dan
pengelolaan irigasi dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan partisipatif.

13
III. MODEL PELAKSANAAN PARTISIPASI DALAM PENGELOLAAN IRIGASI

Penyelenggaraan irigasi berbasis peran serta masyarakat petani mulai dari pemikiran awal,
pengambilan keputusan, sampai dengan pelaksanaan kegiatan pada tahapan perencanaan,
pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi (Kementerian PUPR
2017). Perencanaan pemeliharaan dibuat oleh Dinas/pengelola irigasi bersama
perkumpulan petani pemakai air berdasarkan rencana prioritas hasil inventarisasi jaringan
irigasi. Dalam rencana pemeliharaan jaringan irigasi, terdapat pembagian tugas, antara
P3A/GP3A dengan pemerintah diantaranya bagian mana bisa ditangani P3A/GP3A dan
bagian mana yang ditangani pemerintah melalui Nota Kesepakatan kerjasama OP. Petugas
pemeliharaan yang berada di lapangan bertugas untuk membina P3A/GP3A/IP3A untuk
ikut dalam kegiatan pemeliharaan.

Irigasi partisipatif dilaksanakan berdasarkan pada peran serta masyarakat petani (sesuai
dengan kemauan, kemampuan, serta kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
petani), bukan berbasis kontribusi masyarakat petani. Namun, tidak ditutup kemungkinan
bagi masyarakat petani untuk memberikan kontribusi dalam pengembangan dan
pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder. Penjelasan pengembangan dan
pengelolaan sistem irigasi ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi

Menurut bentuk pelaksanaan pekerjaan pembangunan dan/atau peningkatan jaringan


irigasi, dalam modul PPSIP (2019), Kementerian PUPR membagi pelaksanaan kerja sama

14
menjadi 2 bentuk, yaitu secara s​wakelola yang meliputi pola SPKS dan SKK​S; dan secara
kontraktual dengan pola KSO yang dijabarkan sebagai berikut:

3.1 Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS)

Surat Perjanjian Kerja Sama yaitu kerjasama antara pemberi pekerjaan (PPK) dengan
P3A/GP3A/IP3A berdasarkan tolak ukur, volume dan harga yang telah disepakati
oleh kedua belah pihak, pelaksanaan tanggung jawab sepenuhnya oleh
P3A/GP3A/IP3A. Kegiatan rehabilitasi atau operasi & pemeliharaan dengan pola
hibah melalui Perjanjian Kerja sama antara Dinas PU Pengairan/SDA atau Balai/
Besar Wilayah Sungai dengan P3A/GP3A/IP3A. Pada pola ini P3A/GP3A/IP3A dan
Dinas atau B/BWS membuat kesepakatan kerja sama yang berisi jenis kegiatan
rehabilitasi atau pemeliharaan jaringan irigasi, jumlah dana yang dialokasikan untuk
rehabilitasi atau pemeliharaan, dan waktu pelaksanaan kegiatan.

Model ini merupakan model yang umumnya diharapkan oleh P3A/GP3A dalam
pelaksanaan kegiatan partisipasi kegiatan rehabilitasi dan kegiatan O&P. Sebab
pelaksanaan kegiatannya P3A/GP3A/IP3A diposisikan sebagai organisasi yang
dipercaya mendapatkan kontrak tertentu dengan jenis pekerjaan tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu juga. Akan tetapi syarat untuk mendapatkan kepercayaan
tersebut memang tidak mudah, karena P3A/GP3A/IP3A harus mempunyai syarat
administrasi, syarat manajemen dan syarat teknis yang dipenuhi. Idealnya model
SPKS ini diharapkan yang akan dikembanngkan dalam mendorong P3A/GP3A/IP3A
menjadi organisasi yang mempunyai kinerja dan kapasitas untuk dapat melaksanakan
kegiatan partisipasi rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi. Sehingga pembinaan
yang dilakukan K/L terhadap P3A/GP3A akan berorientasi pada kemampuan dan
kriteria P3A/GP3A untuk dapat melakukan partisipasi pola SPKS.

3.2 Surat Kesepakatan Kerja Sama (SKKS)

Pola partisipasi pelaksanaan rehabilitasi dan Operasi & Pemeliharaan dengan pola
Surat Kesepakatan Kerja Sama (SKKS) ini merupakan pola kegiatan partisipasi petani
melalui organisasi P3A/GP3A/IP3A, yang pelaksanaannya melalui pola Swakelola
Dinas atau Balai. Dalam pelaksanaannya dikerjasamakan dengan P3A/GP3A/IP3A
dengan berdasarkan Surat Kesepakatan Kerja Sama/SKKS. Model kerja sama
partisipasi ini terlaksana setelah pihak Dinas PUSDA atau B/BWS memperoleh
persetujuan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi dengan pola
swakelola dari penanggung jawab pelaksanaan kegiatan yang dalam pelaksanaan loan
sering disebut dengan ​National Project Implementation Unit (NPIU). Selanjutnya
Dinas Pengairan atau pihak B/BWS membuat kesepakatan dengan P3A/GP3A/IP3A
untuk mempersiapkan tenaga kerja dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi atau
pemeliharaan jaringan irigasi yang dikerjakan secara swakelola oleh Dinas PU
Pengairan/SDA.

15
Model ini dalam implementasinya sering dirasakan merepotkan bagi pihak pengelola
proyek atau Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) karena semua biaya untuk membayar
tenaga kerja yang ikut bekerja harus ada tanda tangannya. Dan itu harus dilakukan
sesuai dengan jadwal pelaksanaan kegiatan yang tenaga kerjanya menggunakan petani
(hampir setiap hari). Sehingga hal tersebut dianggap merepotkan pada aspek
administrasi, yang harus disiapkan dengan baik agar tidak mengakibatkan kendala
pada proses audit. Untuk mengantisipasi persoalan tersebut maka pihak PPK biasanya
melakukan semacam pelatihan (​coa
ching)​ mempersiapkan proses administrasi kepada pengurus P3A/GP3A/IP3A yang
akan melaksanakan kegiatan partisipasi untuk rehabilitasi dan OP jaringan irigasi
dengan model SKKS ini. Sehingga dalam pelaksanaannya akan lebih memudahkan
dalam proses pertanggungjawaban pengadministrasian cara swakelola dalam
pertanggungjawaban keuangan.

3.3 Kerja Sama Operasional (KSO)

Kegiatan partisipasi untuk rehabilitasi atau Operasi dan Pemeliharaan ini dilaksanakan
dengan melibatkan kontraktor pelaksana atau sistem kontraktual. Pelaksanaan pola
Kerja sama Operasional (KSO) ini yaitu bahwa partisipasi yang dilaksanakan oleh
P3A/GP3A/IP3A dengan membuat kesepakatan kerjasama dengan kontraktor yang
terpilih dalam proses pengadaan oleh pihak Dinas PU SDA atau B/BWS dan diketahui
oleh pemberi pekerjaan (PPK) untuk melaksanakan sebagian pekerjaan kontraktor.
Kesepakatan kerja sama antara kontraktor dengan P3A/GP3A untuk beberapa jenis
kegiatan tertentu, yang didasarkan kesepakatan antara kontraktor yang mendapatkan
pekerjaan rehabilitasi atau pemeliharaan dengan pengurus P3A/GP3A pada lokasi
jaringan irigasi tertentu. Jadi, pelaksanaan kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh
P3A/GP3A/IP3A hanya dilaksanakan pada bangunan dan saluran yang ada pada
perjanjian kesepakatan yang dibuat. Menurut pengalaman di lapangan, biasanya peran
P3A/GP3A/IP3A yang ikut berpartisipasi hanya sebatas tenaga kerja. Dari
pengalaman yang terjadi pola kerjasama seperti ini, umumnya P3A/GP3A/IP3A tidak
merasa senang, karena hal ini dianggap seperti hal yang umum.. Hal ini menurut
beberapa pengurus P3A/GP3A/IP3A rasanya seperti membantu kontraktor. Padahal
jika kerjasama dengan partisipasi P3A/GP3A/IP3A juga diberi kesempatan penuh
untuk melakukan kegiatan rehabilitasi saluran atau bangunan irigasi yang rusak maka
P3A/GP3A/IP3A akan lebih bersemangat untuk berpartisipasi dalam kegiatan
tersebut.

Bagi kontraktor pilihan pola ini merupakan pilihan yang lebih mudah dilaksanakan
kontraktor karena pihak kontraktor umumnya cenderung mencari pola yang relatif
lebih mudah dilaksanakan. Maka pihak kontraktor cenderung tidak memberikan
pekerjaan rehabilitasi jaringan irigasi kepada P3A/GP3A/IP3A. Hal tersebut
dilakukan kontraktor dengan mempertimbangkan jaminan kualitas pekerjaan
rehabilitasi agar sama dengan yang dikerjakan oleh pihak kontraktor sendiri, dan
pihak kontraktor sebagai pengusaha tetap berorientasi untuk memperoleh profit yang

16
cukup signifikan. Untuk mendorong pelaksanaan KSO dan menjamin kontraktor agar
mau melibatkan petani dalam kegiatan partisipatif, harus dilakukan dalam kerangka
legal yaitu skema tersebut perlu tercantum dalam dokumen lelang tersebut telah
dikembangkan ​lesson learnt di NTB. Dan faktanya berjalan dengan baik . Namun
memang diperlukan perhatian yang cukup teliti baik oleh dinas maupun PPK,
sehingga, kontraktor memiliki ​awareness adanya partisipasi petani dalam kegiatan
irigasi.

Berikut beberapa contoh Daerah Irigasi (DI) yang telah melaksanakan model
partisipasi yang dilaksanakan pada kegiatan rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan
irigasi berdasar dari kunjungan yang dilaksanakan ke 3 (tiga) provinsi yaitu Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), yang tersaji pada tabel di
bawah ini.

Tabel 2 : Model Partisipasi P3A/GP3A dalam Kegiatan Rehabilitasi dan OP Jaringan Irigasi

Model DI Kewenangan Kab. DI Kewenangan Pusat DI Kewenangan Prov.

SPKS 1. DI Keru, Kab. Lombok - -


Barat
2. DI Cepoko, Kab.
Semarang

SKKS - DI Klambu Kanan, Kab. Pati DI Ponggok, Kab. Bantul-


Sleman

KSO - 1. DI Boro, Kab. -


Purworejo
2. DI Makmur, Kab.
Purworejo

Sumber : Kunjungan dan konsultansi di 3 (tiga) provinsi yaitu Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Nusa
Tenggara Barat (NTB), 2019.

Dari 3 (tiga) pola di atas, terdapat kelebihan dan kekurangan (kendala) yang dihadapi
dalam implementasi di lapangan. Secara substansi partisipasi petani/P3A, model yang
ideal dalam mendorong partisipasi P3A/GP3A dalam pelaksanaan rehabilitasi dan
pemeliharaan seharusnya model SPKS. Sebab petani melakukan kontrak kerja untuk
semua tahap kegiatan dan jenis kegiatan, mulai dari perencanaan sampai dengan
kegiatan pasca pelaksanaan rehabilitasi. Dengan pendekatan model SPKS, P3A/GP3A
melakukan kontrak kerja sama untuk mendapatkan mandat penuh dalam melakukan
rehabilitasi jaringan irigasi, sesuai dengan jenis pekerjaan dan jumlah alokasi biaya
yang tertulis pada dokumen kontrak antara P3A/GP3A dengan wakil
pemerintah/pemerintah daerah yang mendapat kewenangan melakukan kontrak kerja
sama. Jadi P3A/GP3A betul-betul berfungsi sebagai kontraktor utama. Selain itu,
dengan pola SPKS ini dalam praktiknya sering terjadi P3A/GP3A dapat melakukan

17
efisiensi terutama biaya tenaga kerja petani, sehingga P3A/GP3A dapat menambahkan
volume pekerjaan rehabilitasi yang sudah disepakati dalam kontrak kerjasama dengan
pemerintah/pemerintah daerah. Hal ini tentu menjadi nilai positif bagi P3A/GP3A
dalam mengkoordinir petani dan juga membangun penguatan organisasi petani dalam
mengelola jaringan irigasi. Pola ini juga akan meningkatkan rasa memiliki (​sense of
ownership)​ .

Akan tetapi beberapa kendala yang muncul dengan model SPKS ini yaitu di beberapa
lokasi di wilayah provinsi Yogyakarta dan Jawa Tengah, P3A/GP3A tidak
mempunyai faktur pajak terkait dengan administrasi pembayaran pajak badan sebagai
kontraktor. Mengingat GP3A merupakan lembaga/organisasi yang melakukan
penyerahan barang/jasa kena pajak, maka untuk mendapatkan faktur pajak harus
terdaftar di Pengusaha Kena Pajak (PKP). Oleh karena itu dalam pelaksanaan
kerjasama rehabilitasi irigasi berikutnya, Dinas PU menggunakan mekanisme KSO
yang dianggap lebih mudah dalam administrasi. Hal ini yang memerlukan penanganan
bantuan dari pemerintah terkait penyelesaian administrasi tersebut. Jadi walaupun
secara teknis, finansial, dan aspek legal badan hukum P3A/GP3A sudah ada, namun
kelengkapan kelembagaan yang memenuhi sebagai kontraktor, P3A/GP3A masih
menghadapi kendala. Hal tersebut dinilai perlu adanya aturan dan pedoman khusus
bagi P3A/GP3A agar kendala tersebut tidak menjadi penghambat dalam proses
pemberdayaan P3A/GP3A.

Pada penerapan/pelaksanaan model SKKS dan KSO, tidak ditemukan permasalahan


administrasi terkait faktur pajak karena P3A/GP3A hanya berposisi sebagai pelaku
sub-kontraktor saja. Pada model SKKS, pelaksana rehabilitasi dilakukan oleh pihak
Dinas PU Pengairan atau SDA, sedangkan P3A/GP3A hanya menjadi pelaksana pada
sebagian pekerjaan rehabilitasi dengan dasar Surat Kesepakatan Kerja Sama
(Kontrak) antara Dinas PU Pengairan/SDA dengan P3A/GP3A. Sehingga, faktur
pajak penangananya merupakan tanggung jawab pihak Dinas PU/SDA. Sedangkan
model KSO, merupakan model pendekatan partisipatif yang kurang mendorong
partisipasi petani di lapangan karena tidak berperan secara langsung. KSO di Provinsi
NTB kurang diminati oleh P3A/GP3A karena pelaksana utama pekerjaan diserahkan
pada kontraktor. Sehingga, peran P3A/GP3A dalam pelaksanaan kegiatan hanya
sebagai pekerja di bawah kontraktor terkait.

Dari informasi hasil konsultasi dengan pihak BBWS/BWS di tiga provinsi dan dengan
pihak Dinas PU/PSDA dan beberapa kabupaten yang dikunjungi menunjukkan bahwa
pelaksanaan pendekatan partisipasi dalam rehabilitasi jaringan irigasi dan
pemeliharaan jaringan irigasi masih terbatas atau rendah. Misalnya di Kabupaten
Lombok Barat, pada tahun 2019 hanya terdapat 2 GP3A yang mendapatkan kegiatan
kerjasama model SPKS dari 18 GP3A yang ada pada DI yang menjadi kewenangan
pemerintah kabupaten. Hal tersebut, menunjukkan masih kurangnya atau rendahnya
penerapan pendekatan partisipasi untuk kegiatan rehabilitasi atau kegiatan OP

18
jaringan irigasi. Rendahnya penerapan pendekatan partisipasi ini asimetris dengan
arahan dan amanah dari UU tentang Sumber Daya Air dan juga amanah dari Peraturan
Menteri PU tentang pelaksanaan PPSI yang menganjurkan pendekatan partisipatif
pada setiap tahap kegiatan dari perencanaan, pelaksanaan konstruksi, kegiatan OP dan
monitoring-evaluasi.

3.4. Program Partisipasi Rutin

3.4.1 Partisipasi P3A/GP3A melalui P3TGAI

Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 24 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum


Pelaksanaan P3TGAI, kerjasama pelaksanaan kegiatan partisipasi P3A/GP3A dengan
pola Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air irigasi (P3TGAI), merupakan
bentuk program padat karya untuk kegiatan perbaikan jaringan irigasi untuk tata guna
air irigasi yang lebih baik. Adapun secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri
tersebut jenis penggunaan program P3TGAI ada 3 jenis yaitu: 1) perbaikan jaringan
irigasi yaitu mengembalikan fungsi secara parsial; 2) pelaksanaan rehabilitasi jaringan
irigasi yaitu mengembalikan fungsi jaringan irigasi; dan 3) peningkatan fungsi
jaringan irigasi yaitu menambah luas areal lahan yang diairi. Kegiatan program
P3TGAI dilaksanakan hanya pada 2 (dua) lokasi yang telah ditentukan yaitu: 1)
daerah irigasi kecil dengan luas areal dibawah 150 hektar atau daerah irigasi desa dan
2) jaringan irigasi tersier pada jaringan irigasi kewenangan pemerintah, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kegiatan ini pelaksanaanya dilakukan oleh
P3A yang ada pada DI atau jaringan irigasi tersier di wilayah P3A tersebut.

Sebelum pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dimulai, disusun kesepakatan kerja sama


antara wakil pemerintah (PPK) selaku wakil pengelola jaringan irigasi dengan
pengurus P3A/GP3A/IP3A yang mengatur hak dan kewajiban P3A/GP3A/IP3A dan
PPK sebagai pihak yang saling mengikat dalam pelaksanaan P3TGAI. Selain itu juga
diatur nilai perjanjian kerjasama termasuk pajak, jangka waktu perjanjian kerjasama,
penyaluran dana/pembayaran, dan pertanggungjawaban penyelesaian pekerjaan.

Tahapan P3TGAI terdiri dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan penyelesaian


dimana masing-masing tahap tersebut terdiri dari beberapa langkah. Tahapan
persiapan terdiri dari 17 langkah sedangkan tahap perencanaan terdiri dari 6 langkah,
dan sementara untuk tahap pelaksanaan terdiri dari 4 langkah. Tahap terakhir atau
tahap penyelesaian dengan keseluruhan terdiri dari 6 langkah dimulai dengan kegiatan
Musyawarah Desa III. Keseluruhan alur tahapan kegiatan dan langkah-langkah
program P3TGAI sebagaimana tergambar pada Gambar 3.

19
20
Gambar 3. Bagan Tahapan Kegiatan dan Langkah-Langkah Program P3TGAI
(Peraturan Menteri PUPR No. 17 Tahun 2017 tentang Pedoman Umum P3TGAI)

21
Pelaksanaan P3TGAI dilakukan dengan pendekatan yang tidak sepenuhnya
partisipatif atau ​semi partisipatif yang menempatkan organisasi P3A sebagai
pelaksana kegiatan perbaikan jaringan irigasi. Dikatakan semi partisipatif karena
dalam pelaksanaannya banyak kegiatan disiapkan oleh Tenaga Pendamping
Masyarakat (TPM). Misalnya dalam kegiatan perencanaan, mulai kegiatan survei ke
lokasi jaringan irigasi, musyawarah desa dengan perangkat desa dan perwakilan P3A,
hingga menyusun Rencana Kegiatan P3A/RKP3A. Kegiatan padat karya ini bersifat
crash program yang dalam implementasinya mayoritas mengakomodasi program
pemerintah yang sering diistilahkan dengan t​op down policy d​ engan manfaat kegiatan
lebih dimaksudkan untuk pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan pendapatan
masyarakat petani yang memperoleh air irigasi di wilayah kerja jaringan irigasi tersier
atau pada jaringan irigasi desa. Selain itu jangka waktu pelaksanaan kegiatan relatif
singkat dengan kegiatan perencanaan sekitar 1-1.5 bulan dan tahap persiapan sampai
dengan pelaksanaan konstruksi rehabilitasi hanya membutuhkan waktu kurang lebih
selama 5 (lima) bulan. Berdasarkan hal tersebut, proses partisipasi dinilai kurang
optimal dilaksanakan, sehingga dapat lebih ditingkatkan lagi dengan memperpanjang
waktu perencanaan.

3.4.2 Partisipasi Petani melalui Dana Desa

Pengembangan program percepatan peningkatan tata guna air irigasi dilakukan untuk
mendukung kedaulatan pangan nasional dan mendukung kemandirian ekonomi
domestik dan daerah. Salah satu sumber pendanaan dan pembiayaan program yang
dilakukan oleh pemerintah yaitu APBN, untuk pemerintah tingkat pusat maupun
daerah, termasuk tingkat desa sebagai penyelenggara dan pelaksana di lapangan
secara langsung. Dana APBN disalurkan ke daerah melalui ​dana desa sebagai sumber
pendapatan desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan, pembinaan masyarakat, dan
pemberdayaan masyarakat.

Menurut UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, pasal 78 tentang pembangunan desa
menyatakan bahwa proses pembangunan desa merupakan wujud kebersamaan dan
gotong royong dari warga desa dengan memprioritaskan aspirasi mayoritas
masyarakat. Penggunaan dana desa untuk kegiatan pengembangan dan pengelolaan
irigasi dimungkinkan karena berdasarkan prinsip pada UU No. 6 Tahun 2018 tentang
Desa dan Peraturan Menteri Desa Tertinggal dan Transmigrasi No. 16 Tahun 2018
tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa yang diperbaharui menjadi Peraturan
Menteri DTT No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, dimana
pada pasal 9 memberikan arahan yaitu: 1) membiayai pelaksanaan bidang
pembangunan yang terkait dengan bidang pembinaan dan pemberdayaan masyarakat
desa; 2) membiayai kegiatan lintas bidang; dan 3) memberi manfaat seluasnya bagi
masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup.

22
Program kegiatan desa ini dihasilkan berdasarkan pada musyawarah desa melalui
tahapan berbagai musyawarah yang terdiri dari 7 tahapan musyawarah yang dimulai
dengan musyawarah kelompok. Gambaran utuh mengenai tahapan musyawarah desa
tersebut terjadi pada Gambar 4.

Gambar 4. Bagan Tahapan Musyawarah Desa

Penentuan kegiatan partisipatif diawali dengan musyawarah kelompok hingga


musyawarah desa. Masyarakat terlibat mulai dari musyawarah kelompok hingga
terbentuk RPJMDesa untuk menentukan prioritas program yang akan dilakukan oleh
desa. Selain dalam musyawarah, masyarakat terlibat dalam program yang
dilaksanakan, seperti peserta pelatihan, tenaga kerja pembangunan, dan lain lain.

Program prioritas yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan


masyarakat desa (petani) meliputi: 1) pengembangan produk unggulan desa/kawasan
perdesaan; 2) pembangunan dan pengembangan embung dan/atau penampungan air
kecil lainnya; 3) pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana olahraga
desa; dan 4) pembentukan dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa dan/atau
Badan Usaha Milik Desa Bersama. Prioritas penggunaan dana desa berdasarkan pada
prinsip: 1) kebutuhan prioritas; 2) keadilan; 3) kewenangan desa; 4) fokus; 5)
partisipatif; 6) swakelola; dan 7) berbasis sumber daya desa. Dari pasal 8 ayat 1 (b)
tersebut dinyatakan bahwa prioritas penggunaan dana desa dapat digunakan untuk
pembangunan dan pengembangan embung desa/atau penampungan air kecil. Dengan
prinsip dan prioritas tersebut, maka alokasi dana desa yang diperuntukkan untuk
pembangunan pengelolaan jaringan irigasi memang tidak ada secara eksplisit. Namun
sudah muncul dalam lampiran daftar kegiatan prioritas bidang pembangunan desa.
Penentuan program prioritas irigasi desa melalui musyawarah desa cukup relevan
untuk dilakukan masyarakat yang wilayahnya berada pada jaringan irigasi dan areal
sawah. Salah satu contoh pelaksanaan kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi
menggunakan dana desa dapat ditemui di DI Renggung kewenangan provinsi, di
Kabupaten Lombok Barat, NTB.

Menurut Permendes No. 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa
2020, pemanfaatan dan penggunaan dana desa wajib berdasarkan daftar kewenangan
desa skala desa melalui identifikasi dan inventarisasi oleh Pemda Kabupaten/Kota
dengan melibatkan desa. Di tingkat desa, besarnya dana desa yang diterima
tergantung pada hasil identifikasi dan evaluasi pemerintah kabupaten/kota sesuai
prioritas penggunaan dana desa. Secara lengkap, prosedur pengelolaan dana desa yang
diawali dengan usulan desa diatur melalui PMK No. 305 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Dana Desa, prosedur tersebut ditetapkan dengan landasan akuntabilitas
sehingga pemerintah kabupaten/kota mempunyai kontrol dalam pelaksanaan dana

23
desa. Gambaran proses pengajuan dana desa hingga disetujui dan bahkan sampai
penyaluran dana desa dapat ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Prosedur Tahapan Pengajuan Dana Desa (Kemendesa 2020)

Penyaluran dana desa dilaksanakan dari pemerintah pada kabupaten dilaksanakan


melalui cara pemindahan buku dari RKUN ke RKUD. Selanjutnya, dana yang ada
diberikan pada pemerintah kabupaten ke desa. Penyaluran dana desa dijalankan
melalui tahapan-tahapan sebagai berikut

Masyarakat berhak berpartisipasi dalam penentuan prioritas penggunaan dana desa


untuk mewujudkan peningkatan kualitas hidup manusia, peningkatan kesejahteraan
masyarakat desa dan penanggulangan kemiskinan. Masyarakat juga dapat
berpartisipasi dalam perencanaan dan pembangunan, pemberdayaan masyarakat,
pengawasan dan pemantauan yang disepakati dalam musyawarah desa. Kegiatan yang
masuk ke dalam daftar kegiatan prioritas bidang pembangunan desa adalah
pengadaan, pembangunan, pengembangan dan pemeliharaan sarana prasarana
produksi dan pengolahan hasil usaha pertanian dan/atau perikanan untuk ketahanan
pangan dan usaha pertanian berskala produktif yang difokuskan kepada pembentukan
dan pengembangan produk unggulan desa dan/atau produk unggulan kawasan
perdesaan seperti irigasi desa dan perbaikan dan penataan sistem irigasi/drainase
hemat air sebagai mitigasi perubahan iklim. Kegiatan ini dapat menyerap tenaga
kerja/padat karya dalam jumlah besar.

Untuk mendukung ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan petani, dana desa
dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan pelatihan terkait pertanian, termasuk kegiatan
pendukung lain yang bekerja-sama dengan berbagai pihak seperti paguyuban
pedagang/hasil pertanian, BUMDes, supermarket untuk pemasaran, dan lain lain.
Kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi yang dilaksanakan pemerintah desa dilaksanakan

24
di tingkat jaringan irigasi tersier, jaringan irigasi desa atau juga untuk pembangunan
bendungan berskala kecil, embung desa, kolam mata air, plesengan sungai, dan lain
lain.

Anggaran dana desa untuk Tahun Anggaran 2020 sebesar Rp 72 triliun, meningkat
dibandingkan pada TA 2019 sebesar Rp 70 triliun yang dimaksudkan untuk
pemberdayaan masyarakat desa dan pengembangan potensi ekonomi desa. Dampak
positif dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat sebagai sumber pendapatan negara
adalah adanya kegiatan pembangunan melalui dana desa. Agar pengelolaan dana desa
dapat berjalan sesuai rencana​, dilakukan pengawasan yang dilakukan oleh
Kemendagri, yang dapat ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Pola Pengawasan dan Pengelolaan Dana Desa (Kemendagri 2020)

Dana desa harus diinformasikan kepada masyarakat dalam ruang terbuka dan mudah
diakses. pengawasan dana desa dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal. salah
satu pengawasan dana desa secara vertikal dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi
dan kab/kota hingga dikelola dan dikembangkan oleh desa melalui Bumdes. Peran
bupati/walikota dalam pengawasan dana desa yaitu: 1) melakukan verifikasi data
desa; 2) menetapkan perda tentang rincian dana desa per desa; 3) verifikasi dokumen
persyaratan penyaluran; 4) menetapkan pedoman teknis pelaksanaan kegiatan yang
didanai oleh dana desa; 5) evaluasi perdes terkait anggaran pendapatan belanja desa;
6) pendampingan atas penggunaan dana desa; 7) monev pelaksanaan dana desa, sisa
dana desa di rekening kas desa dan capaian keluaran dana desa. Sementara camat
bertanggungjawab untuk: 1) memastikan ketepatan waktu atas penyampaian
persyaratan; 2) memastikan ketepatan waktu penyampaian perdes mengenai APBDes;
3) melakukan evaluasi rancangan perdes mengenai APBDes dan belanja desa; 4)
pendampingan atas penggunaan dana desa.

25
Pengelolaan dana desa harus sesuai dengan kriteria usulan dan persyaratan
penggunaan dana desa. Dana desa dapat digunakan sebagai usaha layanan,
perdagangan dan jasa, dan layanan keuangan. Keberhasilan dan akuntabilitas
penggunaan/pengelolaan dana desa ini didukung dengan SDM dan SISDUR yang
memadai, sehingga pengelolaan keuangan desa menjadi efektif, efisien, dan tepat
waktu.

Pada praktiknya, banyak risiko dalam pengelolaan dana desa mulai dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, hingga pertanggungjawaban
keuangan desa. Agar keuangan desa menjadi efektif, maka dilakukan pengawasan
keuangan desa mulai dari input SDM dan SISDUR, bagi hasil pajak kab/kota, ADD,
bantuan keuangan lain yang diperoleh sebagai dana desa seperti bantuan keuangan,
hibah, sumbangan, dan pendapatan desa lain yang sah. Sehingga pelaporan dan
pertanggungjawaban menjadi jelas.

Penyaluran dana desa dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN (KPPN
setempat) ke RKUD secara bertahap. Kemudian Dana Desa tersebut disalurkan oleh
kabupaten/kota kepada Desa dengan dengan cara pemindahbukuan dari RKUD ke
RKD (Rekening Kas Desa) . ​Dengan mekanisme tersebut, diharapkan Dana Desa
akan lebih cepat diterima oleh desa, pengendapan Dana Desa di RKUD tidak akan
terjadi, serta tetap tercatat dalam APBD Kabupaten/Kota. Dalam hal ini, Kemendagri
selaku pihak yang memfasilitasi upaya pencegahan, pengawasan dan penanganan
permasalahan dana desa pada tingkat pusat serta ikut dalam memfasilitasi kerjasama
para pihak di daerah. Selain itu dalam pengelolaan keuangan desa terdapat sistem
yang mengatur dana desa. Terdapat SISKEUDES dan SISWASKEUDES yang juga
memiliki peran penting dalam pengelolaan keuangan desa, dimana keduanya harus
memastikan dana yang telah diproses dan diterima sesuai dengan kriteria yang
diajukan sehingga dapat menghasilkan output yang akuntabel.

Pada pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, partisipasi sangat dibutuhkan untuk


meningkatkan kapasitas sumber daya serta pendapatan/ekonomi masyarakat melalui
pemanfaatan tenaga kerja setempat secara swakelola. Dana desa harus dialokasikan
sebesar minimum 30% dari dana desa untuk upah tenaga kerja. Besarnya upah tenaga
kerja untuk pekerjaan irigasi yaitu sebesar 40%. Besarnya upah tenaga kerja
swakelola dari seluruh kegiatan dana desa ditentukan menurut satuan standar harga
yang berlaku. Salah satu contoh pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah desa
menggunakan dana desa yaitu di Desa Krasak, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Dasar aturan yang digunakan dalam penyelenggaraan dana desa ini ditunjukan pada
Gambar 7.

26
Gambar 7: Bagan Tahapan dan Proses Penyelenggaraan Dana Desa Krasak,
Kabupaten Wonosobo

Penyusunan dan desa harus mengikuti regulasi dan peraturan yang ada mulai dari
tingkat pusat, pemprov, pemkab/kota, hingga pemdes. Peraturan yang digunakan
untuk menyusun APBDes yaitu:
1) Tingkat pusat : PMK 305/2019, Permendes 11/2019, Permendagri
2) Tingkat provinsi (studi Provinsi Jawa Tengah): Pergub prov.Jateng 7/2019 dan
6/2019
3) Tingkat kab/kota (studi Kab.Wonosobo): Perbup Kab 49 dan 50/2019

Dengan mengikuti regulasi yang ada, pemerintah desa melakukan musyawarah desa
musyawarah desa bersama perangkat desa dan perwakilan desa untuk membahas
kebutuhan dan prioritas kegiatan yang akan dilakukan untuk diusulkan ke kabupaten
sesuai dengan persyaratan usulan yang telah ditetapkan. Kemudian usulan yang sudah
diterima diterbitkan dalam RPJMNDesa yang menyebutkan rincian dana desa dan
belanja desa.

Di dalam Perbup No. 49 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan dan Transfer ke
Desa Tahun 2020, tidak disebutkan kegiatan penyelenggaran terkait
pembangunan/rehab jaringan irigasi maupun OP jaringan irigasi untuk mendukung
pertanian. Meskipun tidak disebutkan besaran/nilai partisipasi masyarakat desa, telah
disebutkan tujuan dari dana transfer ke daerah untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat. Pelaksanaan partisipasi ini lebih bersifat umum dan tergantung pada
program prioritas desa yang dilakukan. Pembagian dan alokasi anggaran APBDesa
tersebut dapat digambarkan pada Gambar 8.

27
Gambar 8: Grafik Alokasi Belanja Desa (Pemdes Krasak, Jawa Tengah 2020)

Total APBDes Desa Krasak TA 2020 yaitu sebesar Rp 1.373.069.222,- dimana


kegiatan irigasi yang dilaksanakan berupa pembangunan sender irigasi sawah/Sungai
Toblo (lanjutan) yang masuk kedalam kegiatan pemberdayaan masyarakat desa.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini ada sebagai pelaksana kegiatan
penyelesaian pekerjaan yang sudah dilakukan pada tahun 2019 dengan anggaran
sebesar Rp 11.500.000,-. Anggaran ini dinilai kecil karena bersifat penyelesaian
pekerjaan.

Kegiatan partisipasi petani dalam rehabilitasi jaringan irigasi dengan dana desa tidak
dilaksanakan melalui kerja sama tertulis atau kontrak kerja dengan P3A/GP3A, tetapi
hanya melibatkan petani secara individu yang menjadi penduduk dari desa yang
menerima dana desa tersebut. Poktan/Gapoktan dan masyarakat hanya berperan
sebagai pengusul kegiatan dan melakukan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan
konstruksinya sebagai tenaga kerja. Besarnya persentase keterlibatan
masyarakat/petani di desa tidak ditentukan secara eksplisit. Pelaksanaan kegiatan
dilakukan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) dari Desa. Sehingga pola kegiatan
partisipasi petani pada pelaksanaan pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi
dari dana desa tidak dapat digolongkan sebagai pola yang dapat memperkuat
kelembagaan petani/Poktan/P3A/GP3A.

28
IV. ANALISIS

Pada era demokratisasi, aspek partisipasi mutlak dijalankan. Dengan berkaca pada negara
maju, peran pemerintah sebagai regulator lebih mendominasi sehingga harus mendorong
partisipasi masyarakat dalam implementasi kegiatan. Dorongan, kebutuhan, tuntutan, dan
keharusan pendekatan partisipasi dapat ditunjukkan pada Gambar 9.

Gambar 9: Bagan Era Pemerintahan Dalam Pelaksanaan Partisipasi

Pelaksanaan pendekatan partisipasi petani perlu didukung oleh kapasitas kelembagaan


yang baik sehingga memerlukan pemberdayaan yang lebih komprehensif. Selain itu,
sumber pendanaan dan pembiayaan kegiatan partisipasi juga diperlukan untuk memastikan
kegiatan partisipasi dapat berkelanjutan dengan diiringi regulasi yang dapat memberikan
aturan yang jelas untuk memberikan kewajiban kepada pemerintah dalam rangka
melibatkan petani pada kegiatan partisipasi pengembangan dan pengelolaan irigasi.

4.1 Kelembagaan P3A/GP3A

Pelaksanaan pendekatan partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi merupakan suatu upaya


untuk memberdayakan petani Poktan/P3A/GP3A dalam pengelolaan irigasi di wilayah
kerja masing-masing. Keberadaan dan kinerja dari P3A/GP3A sangat menentukan
keberhasilan pendekatan partisipasi yang dilaksanakan dalam kegiatan rehabilitasi dan
kegiatan OP jaringan irigasi. Akan tetapi, dari hasil pemantauan partisipasi yang
dilaksanakan oleh beberapa instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan dalam
pemberdayaan P3A/GP3A, ternyata kinerja P3A/GP3A secara fungsional belum seperti
yang diharapkan. Dari faktor kebijakan tentang pemberdayaan P3A sejak tahun 1984
pemerintah telah mengeluarkan peraturan berupa Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1984
tentang Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Inpres tersebut mengatur peningkatan
kinerja sistem irigasi di Indonesia dimana petani pemakai air perlu mengorganisasi diri
menjadi P3A pada tingkat jaringan irigasi tersier dan irigasi desa. Kemudian salah satu

29
sasaran dari pembentukan dan pemberdayaan P3A yaitu menjadi P3A sebagai organisasi
yang mandiri yang mempunyai kapasitas yang baik pada 3 (tiga) kemampuan utama yaitu
(1) kemampuan kelembagaan/organisasi; (2) kemampuan teknis, baik teknis irigasi dan
teknis budidaya tanaman; dan (3) kemampuan finansial.

Selanjutnya dalam perkembangannya, pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana


tentang pemberdayaan P3A, yaitu Peraturan Menteri PU No. 33 Tahun 2007 tentang
Pemberdayaan P3A, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun 2001, dan Peraturan
Menteri Pertanian No. 79 Tahun 2017. Namun, ketiga peraturan tersebut lebih fokus
melakukan pengaturan pada pembentukan organisasi dan pada aspek legalitas badan
hukum. Pemberdayaan P3A/GP3A dilaksanakan sebagai upaya dalam menjadikan petani
sebagai pelaku utama dalam pelaksanaan kegiatan partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi
dan kegiatan OP jaringan irigasi. Akan tetapi, pada pelaksanaan di beberapa proyek
tertentu tidak dilakukan persiapan terhadap beberapa syarat untuk pembekalan atau
pelatihan kepada P3A/GP3A. Misalnya pelatihan teknik rehabilitasi, pelatihan manajemen
proyek rehabilitasi jaringan irigasi, pelatihan pengelolaan keuangan, dan pelatihan
administrasi proyek serta pelatihan pelaporan. Akibatnya, dalam pelaksanaan kegiatan
partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi, terkesan dilaksanakan tergesa-gesa
dan kemudian terkesan bahwa petani/P3A/GP3A tidak siap dalam pelaksanaan kegiatan
partisipasi petani dalam rehabilitasi jaringan irigasi.

Dalam pengembangan teknologi, kapasitas kelembagaan petani dan kualitas partisipasi


petani dalam pengelolaan sistem irigasi sangat dibutuhkan, sehingga pemberdayaan petani
Poktan/P3A dinilai penting untuk menunjang peningkatan kapasitas kelembagaan
terutama seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Upaya
pemanfaatan teknologi ini dilakukan dalam pengelolaan irigasi melalui sistem informasi
pelaporan OP Irigasi seperti Sistem Manajemen Operasi Dan Pemeliharaan Irigasi
(SMOPI), dan elektronik Pengelolaan Aset Irigasi dan Indeks Kinerja Irigasi (e-PAKSI).
Peningkatan kapasitas kelembagaan Poktan/P3A, diharapkan P3A/GP3A/IP3A dapat ikut
terlibat dan berpartisipasi dalam pengumpulan data dan informasi yang dibutuhkan di
lapangan, termasuk informasi kerusakan jaringan irigasi secara ​real time​. Partisipasi petani
dalam pelaporan kerusakan jaringan ini telah dicoba oleh Bappenas melalui program
Leveraging ICT For Irrigated Agricultural Extension (​Grant A ​ DB) di Kabupaten
Sukabumi dan Kabupaten Pasaman Barat.

Peningkatan partisipasi masyarakat petani akan meningkatkan ​ownership ​atau rasa


memiliki sehingga petani ikut menjaga aset infrastruktur irigasi. Pada tahap lanjut, kondisi
tersebut membuka peluang bagi petani melalui organisasi P3A/GP3A yang dapat direkrut
secara profesional sebagai tenaga OP jaringan irigasi terutama untuk petugas pintu air
(PPA) dengan memprioritaskan tenaga P3A yang dekat dengan lokasi bangunan
operasional. Selain itu, adanya pemanfaatan aset teknologi seperti telemetri dan sensor
yang dipasang pada area sekitar daerah irigasi pada level dasar minimal membutuhkan
pengamanan yang dapat memanfaatkan petani, sehingga akan lebih terjamin jika adanya
rasa memiliki yang muncul dari partisipasi petani.

30
4.2 Sumber Pendanaan dan Pembiayaan Kegiatan Partisipasi

Sumber pembiayaan untuk kegiatan P3A/GP3A selama ini sebagian besar hanya dari dua
sumber utama yaitu dari iuran anggota P3A yang ada pada DI tertentu dan dari dana
bantuan pemerintah jika ada kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi pada lokasi DI tersebut.
Kita ketahui bahwa sumber biaya kegiatan P3A yang bersumber dari iuran sangat sulit
terkumpul dan jumlahnya sangat terbatas dengan kebutuhan kegiatan pengelolaan irigasi
di wilayah kerjanya. Pengumpulannya pun dilakukan hanya setiap musim tanam.
Sedangkan sumber dana dari bantuan pemerintah juga terbatas dan biasanya dalam bentuk
kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tidak setiap tahun diterima oleh P3A/GP3A.
Kemudian dari beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan
pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatan partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi
dan OP jaringan irigasi, mayoritas menggunakan dana yang bersumber dari kerja sama
luar negeri, baik ​loan maupun grant. Dan biasanya jika kegiatan dari sumber biaya dari
loan dan grant tersebut selesai, maka tidak berlanjut dengan menggunakan dana APBN
dan APBD. Selain dari pembiayaan dari luar negeri tersebut, terdapat sedikit sumber biaya
dari dalam negeri yaitu APBN yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan program
P3TGAI. Dari gambaran kondisi tersebut, maka sangat sulit jika kinerja P3A/GP3A
dituntut menjadi organisasi yang mandiri yang mampu melakukan pengelolaan irigasi
secara berkelanjutan. Maka perlu ada regulasi yang memberi subsidi pendanaan kepada
P3A/GP3A dalam pengelolaan irigasi di wilayah DI-nya secara reguler setiap tahun.

Kegiatan pemeliharaan berkala masuk ke dalam jenis belanja barang dengan scope yang
lebih kecil dibandingkan kegiatan rehabilitasi. Salah satu hambatan dalam aspek
pembiayaan yang dihadapi Balai yaitu bahwa alokasi pembiayaan untuk kegiatan
partisipasi merupakan kelompok belanja barang, sementara sesuai dengan Peraturan
Menteri Keuangan bahwa kegiatan di B/BWS alokasi belanja barang semakin dibatasi dan
diperbesar untuk alokasi belanja modal. Kegiatan pemeliharaan berkala jika bisa dilakukan
dengan kategori belanja modal maka pelaksanaannya akan lebih luas/lebih besar. Menurut
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), petani dapat ikut
berpartisipasi dalam kegiatan pengelolaan jaringan irigasi dan melakukan belanja modal
melalui kegiatan swakelola tipe IV. Kegiatan ini meliputi tahap perencanaan, persiapan,
pelaksanaan, pengawasan dan pelaporan, dan pertanggungjawaban. Kegiatan ini dapat
dijelaskan pada Gambar 10.

31
Gambar 10. Tahapan Swakelola tipe IV (LKPP 2020)

Pelaksanaan Swakelola tipe IV direncanakan sendiri oleh K/L/PD penanggung jawab


dan/atau berdasarkan usulan kelompok masyarakat (petani) dan dilaksanakan serta diawasi
oleh kelompok masyarakat. Nilai pekerjaan yang tercantum dalam kontrak sudah termasuk
kebutuhan barang/jasa yang diperoleh melalui penyedia. Pembayaran pelaksanaan
pekerjaan yang dapat dilakukan meliputi pembayaran ​tenaga kerja, tenaga ahli,
pengadaan peralatan/suku cadang, dan bahan/material​. Jika pelaksana tidak dapat
melaksanakan pengadaan barang/jasa, maka dapat dibuat kontrak terpisah dengan PPK.
Pelaksanaan swakelola petani tipe IV ini dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Bagan Pelaksana Swakelola tipe IV (LKPP 2020)

32
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 173 Tahun 2016 tentang Mekanisme
Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah seharusnya dapat dialokasikan pembiayaan
dari APBN untuk melibatkan partisipasi petani (P3A/GP3A) dalam pelaksanaan
rehabilitasi jaringan irigasi dan/atau kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Mekanisme pembiayaan ini diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan P3TGAI. Salah satu
syarat P3A tergabung dalam P3TGAI yaitu telah berbadan hukum, minimal disahkan oleh
kepala desa, dan memiliki akta notaris. Namun dalam pelaksanaannya, masih perlu
kepastian melalui panduan tentang mekanisme pemberian bantuan pemerintah kepada
P3A/GP3A agar petani tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaan kegiatan di lapangan
maupun menghadapi pemeriksaan administrasi dan keuangan oleh auditor.

Mengingat penting dan strategisnya pendekatan partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan


rehabilitasi dan kegiatan OP dan sesuai dengan amanah UU No. 17 Tahun 2019 tentang
Sumber Daya Air yang baru yang mengarahkan agar pelaksanaan partisipasi
masyarakat/petani dapat dilakukan pada setiap tahap mulai dari SID sampai kegiatan
monitoring dan evaluasi, maka perlu disediakan nomenklatur pembiayaan keterlibatan
partisipasi P3A/GP3A dalam rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi yang
diberikan/dihibahkan langsung kepada P3A/GP3A/IP3A paling tidak sekitar 10% dari
total alokasi biaya OP dari suatu DI atau jumlah minimal tertentu sesuai dengan luas areal
DI yang ada dengan pertimbangan nilai kontrak kegiatan dari kebutuhan biaya rehabilitasi
atau pemberian kebutuhan dana OP kepada P3A/GP3A/IP3A yang telah memenuhi syarat
yang ditentukan. Untuk memperkuat dari sisi kementerian keuangan, opsi adanya
pembatasan nilai maksimum sesuai regulasi Pejabat Pengadaan menjalankan Penunjukan
Langsung untuk pengadaan Barang / Pekerjaan Konstruksi / Jasa Lainnya yang bernilai
paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan untuk pengadaan Jasa
Konsultansi bernilai paling banyak Rp.100.000.000,00.

Pelaksanaan program partisipasi dengan sumber pendanaan rutin seperti P3TGAI dan
Dana Desa dinilai masih kurang optimal dilaksanakan. P3TGAI bertujuan untuk kegiatan
padat karya bidang sumber daya air yang bersifat crash program dan dibatasi untuk
jaringan irigasi tersier dan irigasi desa. Sedangkan model partisipasi dengan menggunakan
dana desa tidak dimaksudkan hanya untuk pengembangan dan pengelolaan jaringan
irigasi, dan target grup masyarakatnya bukan hanya petani. Petani melalui P3A/GP3A
hanya berfungsi sebagai pengusul kegiatan, sedangkan pengawas kegiatan dilakukan oleh
pihak pengelola dana desa.

Pelaksanaan P3TGAI perlu diperluas dengan membedakan 1) P3TGAI yang bersifat


sosial/padat karya dan 2) P3TGAI reguler yang dapat diprogramkan dan sinkron dengan
hasil PAKSI sehingga sesuai dengan program rehabilitasi irigasi dan lebih berkelanjutan.
Dengan berdasarkan pelajaran pelaksanaan P3TGAI tersebut maka untuk kedepan pilihan
kebijakan pemberian dana reguler pada perkumpulan petani pengguna air (P3A) juga perlu
dipertimbangkan dengan konsep pemberian hibah dana untuk pelaksanaan OP jaringan
irigasi dan rehabilitasi ringan secara rutin. Konsep pemberian hibah ini juga merupakan
tindak lanjut fasilitasi pembelajaran bagi kelompok tani/P3A untuk melakukan kegiatan

33
pengelolaan irigasi sesuai dengan bimbingan teknis yang telah dilakukan secara
berkelanjutan. Hal tersebut sinkron dengan konteks pemberdayaan organisasi petani
(P3A), dimana petani akan selalu mendapatkan fasilitasi bantuan teknis dan sekaligus
praktek teknis keirigasian. Untuk mengimplementasikan pendekatan tersebut sangat
diperlukan adanya payung regulasi secara teknis paling tidak dari dua kementerian yaitu
Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan.

4.3 Regulasi

Salah satu faktor hambatan dari pelaksanaan kegiatan partisipasi adalah faktor regulasi,
baik regulasi yang berkaitan dengan aspek pembiayaan, aspek pemberdayaan petani, aspek
alokasi bantuan kepada petani, dan aspek lainnya. Informasi yang diterima di daerah untuk
meningkatkan peluang partisipasi petani dalam kegiatan pengelolaan irigasi tidak merata,
sehingga pelaksanaan partisipasi petani menjadi tidak optimal. Upaya untuk mendorong
kegiatan partisipasi P3A/GP3A untuk rehabilitasi jaringan irigasi menjadi semakin
terbatas.

Untuk substansi pengaturan tentang pembinaan/pemberdayaan P3A/GP3A perlu ada revisi


pada 3 (tiga) Peraturan Menteri untuk Pemberdayaan atau Pembinaan, yaitu Peraturan
Menteri PUPR No. 33 Tahun 2007, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 50 Tahun 2001,
dan Peraturan Menteri Pertanian No. 79 Tahun 2017 yang ketiganya mengatur tentang
Pemberdayaan P3A. Akan tetapi pada ketiga Peraturan Menteri tersebut, substansi materi
pemberdayaan lebih fokus pada pembentukan P3A dan legalisasi P3A, sementara
substansi tentang aspek organisasi/kelembagaan dan aspek finansial sangat sedikit
diuraikan, padahal kedua aspek tersebut merupakan faktor esensial untuk diberdayakan
dibanding faktor legalisasi organisasi.

Untuk mendorong keberlanjutan kegiatan partisipasi pada kegiatan rehabilitasi dan OP


jaringan irigasi tersier, Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan perlu menyusun
peraturan terkait pemberian pembiayaan pengelolaan irigasi tersier kepada P3A yang
memiliki kewenangan mengelola jaringan tersier. Hal ini perlu dilakukan dengan
berdasarkan pada prinsip keadilan dan pemberdayaan kepada P3A. Prinsip keadilan
dengan mempertimbangkan bahwa pemerintah yang mempunyai kewenangan pengelolaan
jaringan primer dan sekunder diberi alokasi biaya pengelolaan (OP) secara rutin setiap
tahun. Maka wajar jika petani melalui P3A juga mendapat alokasi pembiayaan untuk
mengelola jaringan irigasi tersier. Selain itu, untuk meningkatkan partisipasi P3A/GP3A
dalam kegiatan rehabilitasi dan OP jaringan irigasi primer dan sekunder, perlu ada dasar
regulasi Peraturan Menteri Keuangan tentang Bantuan Pemerintah untuk mendukung
partisipasi petani pada pengelolaan jaringan irigasi primer dan sekunder. Meskipun
sekarang sudah ada PMK No. 173 Tahun 2016 tentang Bantuan Pemerintah kepada
Masyarakat akan tetapi hal tersebut hanya terbatas pada daerah irigasi yang bukan
kewenangan pemerintah, seperti jaringan irigasi tersier dan irigasi desa. Sedangkan untuk
jaringan irigasi primer dan sekunder yang menjadi kewenangan pemerintah, tetap

34
menggunakan mekanisme pembiayaan pola kontraktual atau swakelola yang dilaksanakan
oleh pemerintah sendiri. dan P3A/GP3A memiliki peluang untuk terlibat dalam kegiatan
rehabilitasi dan OP jaringan irigasi primer maupun sekunder sebagai “sub-kontraktor”
sesuai dengan pola yang diterapkan.

Dalam konteks ini, dengan memperhatikan PMK No. 173 Tahun 2016 tentang Bantuan
Pemerintah Kepada Masyarakat ternyata untuk kegiatan di jaringan tersier dan irigasi
desa, seharusnya memberi peluang juga untuk kegiatan OP jaringan irigasi pada tingkat
sekunder dan primer. Perubahan substansi pengaturan tersebut pada PMK No. 173 Tahun
2016 tersebut harus mempunyai landasan regulasi yang menyatakan secara eksplisit
bahwa masyarakat mempunyai kewenangan melakukan kegiatan OP pada jaringan irigasi
sekunder dan primer tersebut. Dengan dasar regulasi tersebut maka kedepan tampaknya
perlu ada revisi terhadap PMK No. 173 Tahun 2016 tersebut dan juga Peraturan Menteri
PUPR untuk menambahkan peraturan tentang pembiayaan kegiatan OP yang dilaksanakan
oleh P3A/GP3A/IP3A dengan menggunakan sumber biaya/pendanaan APBN. Dan
tampaknya solusi ini masih harus menempuh jalan yang panjang mengingat bahwa dalam
UU No. 17 tahun 2019 pasal 10 (penjelasan huruf i) menyebutkan bahwa pengelolaan
sistem irigasi kewenangan pusat merupakan pengelolaan jaringan irigasi yang meliputi
kegiatan operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi di daerah irigasi dari
sistem irigasi primer, sekunder, dan tersier. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa
kewenangan pemerintah mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kewenangan dan
tanggung jawab dalam mengelola jaringan irigasi sehingga tidak perlu diberi bantuan
pembiayaan untuk turut mengelola irigasi, walaupun untuk kegiatan OP maupun
pemeliharaan ringan/sederhana pada jaringan irigasi. Hal ini diperkuat dengan
dihilangkannya pasal pembagian kewenangan DI pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota.

Selain opsi untuk melakukan revisi pada level peraturan menteri, opsi lainnya adalah
mengusulkan pengaturan partisipasi petani dalam RPP irigasi. Di dalam PP Irigasi yang
sedang disusun sebagai turunan dari UU 17 Tahun 2019 tentang SDA, perlu dibuka dan
diperjelas secara eksplisit terkait kesempatan partisipasi petani/masyarakat dalam
pengelolaan jaringan irigasi agar tidak menimbulkan permasalahan baru terutama pada
pelayanan air sampai sistem irigasi tersier. Dengan adanya nomenklatur pembiayaan dan
keterlibatan partisipasi P3A/GP3A dalam rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi
akan memperkuat regulasi tersebut, sehingga pelaksanaan di lapangan akan semakin jelas
dan ketat sesuai dengan regulasi. Selama ini, pemerintah daerah tidak memiliki pedoman
yang jelas untuk melibatkan masyarakat/organisasi petani P3A/GP3A dalam kegiatan
rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi. Pelaksanaan partisipasi tidak cukup hanya
melalui himbauan, tetapi memerlukan aturan melalui PP sehingga pelaksanaannya dapat
terjamin dan berkelanjutan. Nomenklatur dan besaran nilai yang dimasukkan ke dalam
regulasi juga akan memperkuat pemerintah daerah melaksanakan kegiatan dengan
melibatkan masyarakat untuk pelaksanaan pemberdayaan petani/P3A/GP3A. Bentuk
aturan tersebut menjadi kewajiban bagi pengelola irigasi untuk melaksanakan partisipasi
sehingga dapat dijadikan indikator penilaian evaluasi tingkat SKPD.

35
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Sudah ada pengalaman penerapan dan pengalaman kegiatan partisipasi dalam
kegiatan pengelolaan sistem irigasi pada kegiatan rehabilitasi dan OP di beberapa DI
dan lokasi dalam bentuk pilot proyek yang dibiayai dari luar negeri seperti ​loan dan
atau ​grant​.
b. Pendekatan partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi
pada masing-masing pola mempunyai kelebihan dan kekurangan. Secara substansi
partisipasi petani/P3A, model yang ideal dalam mendorong partisipasi P3A/GP3A
dalam pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan adalah model SPKS.
c. Kegiatan partisipasi petani untuk kegiatan rehabilitasi merupakan bagian dari
pemberdayaan organisasi P3A dan peningkatan pendapatan petani. Sehingga
memerlukan kesiapan kelembagaan P3A dalam melakukan kerja sama dengan pihak
kontraktor atau pihak Dinas PU Pengairan/SDA yang ada.
d. Belum ada regulasi yang memberikan arahan tentang perlu ada alokasi biaya untuk
melaksanakan kegiatan rehabilitasi dan operasi & pemeliharaan partisipasi dalam
pengelolaan irigasi. Sehingga tidak ada dasar pemerintah daerah untuk
mengalokasikan.

5.2 Rekomendasi
5.2.1 Jangka Pendek
a. Perlu adanya revisi dan penekanan secara eksplisit pada PP tentang irigasi yang akan
diterbitkan sebagai dasar pelaksanaan irigasi partisipatif. Aturan ini akan digunakan
sebagai dasar dalam pelaksanaan pembangunan, rehab, dan OP irigasi secara
partisipatif.
b. Perlu segera disiapkan dasar regulasi untuk pelaksanaan kegiatan partisipasi P3A
untuk pelaksanaan rehabilitasi dan pelaksanaan OP jaringan irigasi yang memberi
kesempatan kepada P3A/GP3A/IP3A dapat bantuan untuk melaksanakan kegiatan
rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi minimal 10-20% dari biaya rehabilitasi
dan semua kebutuhan biaya OP jaringan irigasi yang dapat diterapkan dalam loan
IPDMIP yang saat ini sedang berjalan) dengan maksimum nilai kegiatan sebesar Rp
200.000.000,- jika dilakukan dengan skema penunjukan langsung. Hal ini agar segera
menjadi dasar bagi pihak B/BWS, Dinas PSDA Provinsi dan Dinas PSDA Kabupaten
dalam menyiapkan kontrak kegiatan konstruksi rehabilitasi dan OP. Sebaiknya pola
partisipasi juga memberi kesempatan untuk model SPKS dan SKKS, dan tidak hanya
model KSO saja.
c. Diperlukan Pedoman Pelaksanaan Partisipasi Petani yang lebih spesifik dan terarah
untuk dijadikan acuan pelaksanaan partisipasi petani dalam kegiatan rehabilitasi dan
OP jaringan irigasi.

36
d. Perlu ada revisi terhadap 3 (tiga) Peraturan Menteri yaitu Menteri PUPR, Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertanian, yang lebih memperjelas tentang instansi
pemerintah yang bertanggung jawab dalam pemberdayaan P3A untuk aspek finansial
dan aspek organisasi/kelembagaan. Sehingga akan memperjelas pihak penanggung
jawab perkembangan dua aspek tersebut dalam pemberdayaan P3A/GP3A. Tanpa ada
kejelasan penguatan aspek finansial dan kelembagaan maka sangat sulit mencapai
kemandirian P3A/GP3A.
e. Perlu melakukan internalisasi PPSI Partisipatif yang lebih spesifik dan terarah ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 5 tahunan (RPJMD)
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota agar dapat dijadikan pedoman dalam
pelaksanaan partisipasi petani.

5.2.2 Jangka Menengah-Panjang


a. Untuk meningkatkan partisipasi petani dan menjaga keberlanjutan partisipasi petani
perlu ada upaya revitalisasi untuk mengkonsolidasi organisasi petani P3A/GP3A
dengan Poktan/Gapoktan. Penggabungan organisasi tersebut dimaksudkan untuk
memperkuat organisasi petani terkait pengelolaan irigasi dan budidaya tanaman, yang
berorientasi pada terwujudnya “korporasi petani”. Sehingga memperkuat aktivitas
pengelolaan irigasi dan budidaya tanaman yang punya perspektif penguatan ekonomi
petani.
b. Dalam rangka meningkatkan kapasitas partisipasi P3A/GP3A dan menjaga
keberlanjutan partisipasi petani maka perlu ada dukungan kebijakan untuk
mengalokasikan pembiayaan pengelolaan jaringan irigasi tersier yang diberikan
kepada P3A yang mempunyai kewenangan pengelolaan irigasi tersier. Kebijakan ini
tentu dilaksanakan dengan mekanisme pendekatan yang memberdayakan kapasitas
kelembagaan P3A dan prinsip akuntabilitas kegiatan.
c. Perlu disusun Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Menteri PUPR yang
mengatur pemberian hibah pemerintah untuk membantu organisasi P3A/GP3A dalam
meningkatkan partisipasi P3A/GP3A pada jaringan irigasi primer dan sekunder.

37
Lampiran

Lampiran 1 - Proses Pelaksanaan Kerja Sama Partisipasi


Mekanisme pelaksanaan kegiatan irigasi partisipatif perlu didasarkan pada pendekatan
bottom-up approach (pendekatan dari bawah) dengan diikuti adanya kesepakatan antara
pihak P3A/GP3A/IP3A dengan pihak pelaksana atau penanggung jawab untuk kegiatan
rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Prinsip lain dalam pelaksanaan kegiatan
partisipasi petani yaitu petani harus bergabung dalam organisasi P3A/GP3A, sehingga
memudahkan mengorganisasikan pelaksanaan partisipasi petani. Adapun tahapan
pelaksanaan partisipasi petani antara lain:
1. Pembentukan atau revitalisasi P3A/GP3A
Proses partisipasi untuk kegiatan rehabilitasi dan OP diawali dengan kegiatan
pembentukan P3A/GP3A, atau revitalisasi P3A/GP3A jika sudah terbentuk sebelumnya
tetapi keberadaan organisasi petani tersebut kurang atau tidak aktif. Tujuan
pengorganisasian petani yaitu untuk memudahkan konsolidasi petani dalam proses
membuat kesepakatan dengan Dinas PU Pengairan atau pihak B/BWS.
2. Penyusunan nota kesepakatan (MoU)
Sebelum dilakukan pembahasan kesepahaman antara P3A/GP3A dengan Dinas PU
Pengairan atau B/BWS, maka disusun draft kesepakatan yang berisi kesepahaman
beberapa hal terkait pelaksanaan kegiatan yang akan dikerjakan oleh petani. Draft
tersebut perlu dibahas antara wakil atau pengurus P3A/GP3A dengan wakil dari Dinas
PU Pengairan atau dari wakil B/BWS yang diberi kewenangan oleh instansi tersebut.

3. Kesepakatan dan penandatanganan Kesepahaman


Setelah dilakukan pembahasan terhadap isi kesepakatan antara pengurus P3A/GP3A
dengan wakil dari instansi pemerintah yang memberikan kegiatan rehabilitasi atau
kegiatan OP kepada P3A/GP3A, maka dilanjutkan dengan penandatangan MoU oleh
kedua pihak. MoU akan dijadikan dasar bagi P3A/GP3A untuk melaksanakan kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi atau kegiatan OP.

4. Persiapan penentuan pola kerja sama pengelolaan jaringan irigasi antara P3A dengan
Dinas atau B/BWS
Setelah ada kesepakatan dan penandatangan kesepahaman antara wakil P3A/GP3A
dengan wakil pemerintah setempat, kegiatan selanjutnya yaitu persiapan penentuan pola
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi atau pemeliharaan jaringan irigasi. Dengan ditentukan
pola kerja sama tersebut, selanjutnya menjadi dasar bagi Dinas PU Pengairan, atau
B/BWS untuk menetapkan pola kerja sama sebagai dasar untuk membuat kesepahaman
kerja sama.

5. Penentuan jenis atau pola kerja sama


Setelah dilakukan pembahasan berdasarkan peluang kegiatan yang ada pada alokasi
anggaran dan sumber dananya, maka selanjutnya ditentukan pola kerja sama yang sesuai
dengan kebutuhan dan keberadaan pembiayaan yang ada. Sehingga diharapkan dalam
pelaksanaannya akan bisa efektif sesuai dengan upaya peningkatan partisipasi
masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi atau kegiatan pemeliharaan
jaringan irigasi yang disepakati.
6. Penandatangan perjanjian kerjasama (MoU)
Setelah ada kesepakatan pola kerja sama dan dan ditetapkan jenis pola kerja sama, maka
perlu dilakukan legalitas kesepakatan antara Pengurus P3A/GP3A dengan pejabat Dinas
PU Pengairan atau pejabat dari B/BWS. Legalitas kesepakatan diwujudkan dalam bentuk
melakukan penandatangan kesepakatan pelaksanaan kerja sama untuk kegiatan
rehabilitasi partisipatif atau pemeliharaan partisipatif. Penandatangan perjanjian kerja
sama ini diharapkan akan dijadikan dasar bagi P3A/GP3A untuk segera memulai
melaksanakan kegiatan yang diatur dalam perjanjian kerja sama tersebut.

7. Pelaksanaan rehabilitasi dan pemeliharaan partisipatif


Setelah dilakukan penandatanganan kerja sama maka pihak P3A/GP3A dapat memulai
kegiatan rehabilitasi partisipatif, atau pemeliharaan partisipatif pada bangunan dan
saluran yang perlu diperbaiki berdasarkan dokumen kesepakatan yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak.
BAGAN ALIR TAHAPAN PROSES KEGIATAN
REHABILITASI DAN OP PARTISIPATIF
PADA JARINGAN IRIGASI
Lampiran 2 – Jenis Kegiatan Partisipatif menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 12
Tahun 2015 tentang Eksploitasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi

Jenis Kegiatan
P3A Dinas/ Kontraktual
Pemeliharaan
1. Pemeliharaan 1. Perawatan
Rutin - Pelumasan;
- Pembersihan saluran dan
bangunan (babat rumput;
sampah);
- Pembuangan endapan lumpur
dari bangunan ukur;
- Pemeliharaan tanaman
lindung.
2. Perbaikan ringan
- Tutup kebocoran kecil di
saluran/bangunan;
- Perbaikan kecil pada pasangan
(plester retak; batu muka
lepas).

2. Pemeliharaan 1. Sifat Perawatan 1. Sifat Perbaikan


Berkala - Pengecatan pintu air - Perbaikan bangunan Ukur
- Pengurasan lumpur dari dan kelengkapannya
saluran/bangunan - Perbaikan Fasilitas
2. Sifat Perbaikan pendukung (kantor, rumah
- Perbaikan bendung bocor; dinas, rumah PPA/PPB dan
bangunan pengambilan/ kendaraan
bangunan pengaturan.
- Perbaikan saluran 2. Sifat Penggantian
- Perbaikan pintu sadap/bagi dan - Penggantian pintu bagi,
skot balok pintu sadap
- Perbaikan jalan inspeksi - Penggantian alat ukur
(pheil schall, dan alat ukur
lain)

3. Pemeliharaan/ Akibat kejadian luar Biasa:


Perbaikan - Bencana alam
Darurat dan - Kerusakan berat (kerusakan
Penanggulangan tanggul, longsoran tebing yang
menutup saluran irigasi, tanggul
putus, perbaikan bendung retak
dan atau pintu bendung).
Lampiran 3 Logical Framework Partisipasi Irigasi
Narasi Ringkas Indikator Alat Verifikasi Asumsi dan Resiko
GOALS Terciptanya layanan irigasi yang prima,  Ketersediaan air untuk petani memadai  Pengukuran kondisi irigasi  Kinerja P3A dalam
berkelanjutan, efektif dan efisien dengan tingkat (dapat ditunjukkan dengan Nilai IKSI dan (IKSI dan IKMI) secara pengeloalaan irigasi
partisipasi masyarakat yang tinggi atau IKMI yang meningkat secara regular semakin baik;
berkelanjutan)  Laporan tahunan P3A  Tingkat kepercayaan
 P3A secara organisasi semakin aktif dan  Penilaian regular terhadap pemerintah kepada P3A
mandir kondisi P3A (dapat menjadi dalam mengelola irigasi
bagian dari pengukuran semakin besar.
kondisi irigasi)
OBJECTIVE Kegiatan rehabilitasi (ringan), dan sebagian  P3A dapat menjalankan kegiatan  Monitoring dan supervisi  P3A aktif dan bertanggung
pemeliharaan serta operasi irigasi dapat dilakukan rehabiiltasi, pemeliharaan dan operasi kegiatan dan anggaran jawab dalam melaksanakan
oleh masyarakat melalui P3A dengan standar melalui kerjasama dengan pemerintah  Pelaporan kegiatan; kegiatan;
pekerjaan yang memadai, di mulai dari proses berdasarkan peraturan perundangan;  Pemantauan yang bersifat  Penilaian kondisi P3A
perencanaan, implementasi hingga pelaporan  Alokasi anggaran untuk pemeliharaan dan regular dilakukan (secara bertahap);
OP yang dilakukan oleh P3A atau GP3A;  Tool pelaporan telah
 Keluhan terhadap kondisi irigasi berkurang. dilatihkan.
OUTPUT  P3A memahami persyaratan untuk dapat  Kegiatan dan anggaran untuk peningkatan  Sosialisasi  Kerangka regulasi,
terlibat dalam kegiatan; kapasitas kelembagaan dan personal P3A;  Sistem perencanaan termasuk petunjuk
 P3A melakukan upaya aktif untuk memenuhi  Perencanaan hybrid berbasis partisipasi dan berbasis partisipatif yang pelaksanaan telah selesai
persyaratan agar terlibat dalam kegiatan teknokratis berjalan baik dan dituangkan terintegrasi dengan disusun & disosialisasikan
dengan dukungan pemerintah; dalam dokumen perencanaan & perencanaan regular,  Sistem perencanaan
 Perencanaan kegiatan rehabilitasi dan OP penganggaran; termasuk di dalamnya partisipatif, complaint
berbasis partisipasi masyarakat berjalan baik  P3A dapat menyampaikan laporan kondisi system complaint handling; handling, telah
dan sinergi dengan perencanaan teknokratis irigasi (termasuk keluhan).  Instrumen penilaian kondisi dikembangkan dan
pemerintah; P3A. digunakan
ACTIVITIES  Penyamaan visi dan misi serta pemahaman  Daftar kegiatan rehabilitasi, pemeliharaan  Workshop dan FGD; Semua pemangku kepentingan
para stake-holder; dan operasi yang dapat dilakukan  Quick Assessment & Field memiliki visi dan misi serta
 Identifikasi kegiatan rehabilitasi, pemeliharaan masyarakat; Visit; pemahaman yang sama;
dan operasi yang dapat dilakukan oleh petani;  Keunggulan dan resiko pelibatan  Kajian legal;
 Identifikasi keunggulan dan resiko pelibatan masyarakat;  Pengembangan desain
masyarakat;  Peta jalan pengembangan P3A yang pelaksanaan;
 Identifikasi requirement bagi P3A untuk dapat mandiri dan dapat terlibat dalam kegiatan,  Sosialisasi
terlibat secara aktif dan mandiri; beserta instrument penilaiannya;
 Penyiapan kerangka regulasi  Kerangka regulasi yang diperlukan;
 Penyiapan desain pelaksanaan  Desain pelaksanaan.

Anda mungkin juga menyukai