Anda di halaman 1dari 87

Abdul Malik Sadat Idris, dkk.

Policy Brief : Sinergi, Sinkronisasi, dan Konsolidasi Kelembagaan Petani di Lahan Irigasi
Jakarta : Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, 2019
iv + 83 hal., kertas A4

Cetakan Pertama, Desember 2019


Penerbit :
Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas
Jl. Taman Suropati No. 2
Jakarta Pusat

© Hak cipta dilindungi udang-undang

Penulis:
Abdul Malik Sadat Idris, ST, M.Eng
Ir. Juari, ME
Mohammad Irfan Saleh, ST, MPP, Ph.D
Ewin Sofian Winata, ST, MEM
Frieda Astrianty Hazet, ST
Unika Merlin Sianturi, ST
Bintang Rahmat Wananda, ST
Aditya Riski Taufani, ST, M.Eng
Ir. Sudar Dwi Atmanto
Sidik Permana Ali Muhtaj, ST
Khuswatun Chasanah, ST

Pendukung :
Aris Kurniawan, ST
Awang Kadinata Rachman Diputra, S.E
Rizqa Mulia Josiana, ST
Ayunda Pratiwi, S.Stat
Aldila Utami Hapsari, S.I.Kom
Sekar Adjeng Bramesti, SE, Akt.
Dewi Sri Wahyuni, S.Ikom,
Vera Nita Adm.
Rizki Agung Hermanto, SE

Narasumber :
Prof. Dr. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng
Ir. Theresia Sri Sirdharti, MT
Dr. Jamhari, SP, MP
Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, MS
Dr. Ir. Murtiningrum, M.Eng
Dr. Ir. Dyah Susilokarti, MP
Dadang Ridwan, ST, MPSDA
Ir. Basuki Setiabudi
M. Tahid, ST, MPPM
Ir. Djito, SP1

ii
Kata Pengantar

Berangkat dari beberapa isu dalam pelaksanaan loan Integrated Participatory


Development and Management of Irrigation Program Loan ADB No. 3529-INO co-
financing dengan AIF No. 8327-INO dan IFAD Loan No. ID-1445, Direktorat Pengairan
dan Irigasi - Bappenas melalui kegiatan Knowledge Management Center (KMC) yang
bersumber dari Hibah IFAD No. 200000144 menginisiasi penyusunan 3 (tiga) policy brief
yaitu: 1) Sinergi, Sinkronisasi, Dan Konsolidasi Kelembagaan Petani di Lahan Irigasi, 2)
Partisipasi Petani dalam Pengembangan dan Pengelolaan Irigasi, dan 3) Pengelolaan Satu
Kesatuan Sistem Irigasi (Single Management Irigasi). Ketiga policy brief ini
mengidentifikasi beberapa permasalahan dan alternatif maupun rekomendasinya yang
diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dan masukan dalam penyusunan Rencana
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Irigasi sebagai pengaturan lebih teknis sesuai
mandat UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

Metode penyusunan policy brief dilakukan dengan berbagai diskusi melalui forum group
discussion (FGD) dan workshop serta melalukan survey secara terbatas karena dalam
kondisi pandemic Covid-19. Dengan segala keterbatasan sumber daya dan metode
diskusi dalam penyusunan, kiranya banyak kendala dan kekurangan dalam policy brief
ini. Namun kiranya dari yang terbatas ini dapat bermanfaat dalam penyusunan RPP
Irigasi maupun regulasi-regulasi teknis keirigasian lainnya.

Policy brief Kelembagaan Petani, dimaksudkan untuk melakukan penilaian atas


kemandirian P3A dan mensinergikan dengan kelembagaan petani lainnya. Dengan
mencermati konsep Lembagaa Ekonomi Petani pada Lahan Beririgasi (LEPLI) dari loan
WISMP I dapat dijadikan pertimbangan dan masukan arah sinergi antara Poktan dan
P3A. Belajar dari fasilitasi yang dilakukan oleh Fakultas Pertanian UGM dan LPPM IPB,
sinergi antara Poktan dan P3A tersebut perlu dibarengi dengan konsolidasi lahan dan
konsolidasi manajemen agar skala ekonomi usaha tani relatif dapat dicapai dan unsur
mekanisasi pertanian dapat dilakukan pada skala relatif besar.

Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terimakasih kepada seluruh stakeholder
yang telah memberikan masukan dan saran selama proses diskusi, dan menjadi bahan
utama dalam penyusunan policy brief. Berbagai stakeholder tersebut adalah: seluruh
Direktorat pada Ditjen SDA Kementerian PUPR; Direktorat Irigasi Pertanian, D itjen PSP
Kementan, dan Badan Pusat Penyuluhan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian
Pertanian; Direktorat Sistem Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) I dan II, D itjen Bina
Bangda, Kementerian Dalam Negeri; dan Pakar dari UGM dan IPB serta berbagai praktisi.

Jakarta, Desember 2020

Abdul Malik Sadad Idris

iii
Daftar Isi

Kata Pengantar.................................................................................................................... iii


Daftar Isi ............................................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Permasalahan ............................................................................... 1
1.2. Tujuan, Ruang Lingkup, dan Metodologi ............................................................... 4
II. KERANGKA REGULASI, KELEMBAGAAN, DAN KEBIJAKAN ...................................... 5
2.1. Kerangka Regulasi................................................................................................ 5
2.2. Kerangka Kelembagaan Kelompok Tani (Poktan) dan P3A..................................... 7
2.3. Kerangka Kebijakan .............................................................................................. 9
III. TRANSISI PENGUATAN ORGANISASI PETANI (ALTERNATIF KEBIJAKAN) ............ 10
3.1. Keterpaduan Kelembagaan Poktan dan P3A........................................................ 10
3.2. Syarat Minimal Keberlanjutan Organisasi Petani .................................................. 16
3.3. Peluang dan Tantangan Kelembagaan Petani...................................................... 19
3.4. Konsep Pengembangan Tata Guna Air (PTGA) .................................................... 24
3.5. Lesson Learnt Lembaga Ekonomi Petani di Lahan Irigasi (LEPLI) ....................... 27
3.5.1. Gagasan dan Regulasi.................................................................................... 27
3.5.2. Faktor-faktor yang menyebabkan LEPLI tidak bisa berjalan ............................ 28
3.6. Lesson Learnt Penguatan Kelembagaan Petani Menuju Pembentukan Unit
Bisnis Pertanian.................................................................................................. 29
3.6.1. Pembentukan Unit Bisnis Pertanian dan Korporasi Petani................................ 30
3.6.2. Peran Stakeholder untuk Mendukung Keberhasilan Unit Bisnis Pertanian ........ 31
3.6.3. Konsolidasi Managamen ................................................................................. 32
3.6.4. Konsolidasi Lahan .......................................................................................... 35
3.6.5. Konsolidasi Lahan dan Managemen untuk DI kewenangan Daerah ................. 38
3.6.6. Peran Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Konsolidasi Managemen dan
Lahan ............................................................................................................ 43
3.7. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) .................................... 51
3.7.1. Media Sosial dan Aplikasi Pertanian ................................................................ 52
3.7.2. Program Leveraging ICT For Irrigated Agricultural Extension oleh Bappenas ... 54
IV. ANALISIS KELEMBAGAAN PETANI ...................................................................... 58
4.1. Pengelolaan Kelembagaan Petani ....................................................................... 58
4.2. Konsep Kelembagaan ......................................................................................... 61
4.3. Sumber Pendanaan dan Pembiayaan Kegiatan Kelembagaan .............................. 63
4.4. Regulasi ............................................................................................................. 66
4.5. Analisis Komprehensif......................................................................................... 76
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...................................................................... 79
5.1. Kesimpulan ........................................................................................................ 79
5.2. Rekomendasi ..................................................................................................... 80
Lampiran .......................................................................................................................... 82

iv
Policy Paper

SINERGI, SINKRONISASI, DAN KONSOLIDASI

KELEMBAGAAN PETANI DI LAHAN IRIGASI

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan


Air irigasi merupakan salah satu faktor sarana produksi yang sangat penting dan
strategis dalam menentukan keberhasilan budidaya pertanian di lahan beririgasi.
Sehingga, keberadaan jaringan irigasi yang berfungsi baik untuk memberikan
pelayanan air irigasi sangat penting untuk diperhatikan. Untuk menjaga kondisi
jaringan irigasi agar tetap berfungsi secara efektif dan efisien, maka diperlukan
kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP) yang teratur. Akan tetapi, kondisi
jaringan irigasi di Indonesia sekarang secara umum hampir 50% mengalami
kerusakan, mulai dari rusak ringan hingga rusak berat. Salah satu faktor yang
menyebabkan kerusakan tersebut yaitu kurangnya intensitas kegiatan OP yang
tidak dijalankan dan sumberdaya manusia serta kemampuan keuangan
pemerintah yang terbatas.

Organisasi petani memegang peran penting dalam keberhasilan program


ketahanan pangan nasional, namun keberadaannya perlu diperhatikan dan ditata
terkait budidaya pertanian dan pengelolaan irigasi. Tingkat keberhasilan
organisasi/kelembagaan petani sangat ditentukan oleh kesiapan organisasi petani
dalam mengelola air irigasi dan jaringan irigasi yang berada di wilayah kerja
organisasi petani. Di Indonesia, organisasi petani yang mengelola budidaya
pertanian dan irigasi berbeda, padahal masih dalam lingkup yang sama.
Kebanyakan petani memiliki keanggotaan dan/atau kepengurusan organisasi
petani lebih dari satu seperti Poktan, P3A, maupun organisasi lainnya, sehingga
terjadi duplikasi keanggotaan dan kepengurusan organisasi. Kegiatan budidaya
pertanian pada tingkat usahatani dikelola oleh Kelompok Tani/Gabungan
Kelompok Tani (Poktan/Gapoktan). Sedangkan kegiatan pengelolaan air irigasi
pada jaringan irigasi tersier dikelola oleh Perkumpulan Petani Pemakai
Air/Gabungan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A/GP3A).

1
Dalam pembinaan P3A/GP3A, terdapat 3 (tiga) kementerian yang terlibat secara
intens yaitu Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam
Negeri. Berdasarkan aspek regulasi, dinilai bahwa paling tidak terdapat 2 (dua)
persoalan yaitu 1) kurangnya integrasi regulasi antar K/L untuk mensinergikan
program pemberdayaan petani; dan 2) inti atau substansi pembinaan petani
belum mampu menjawab kebutuha n kegiatan organisasi, khususnya kegiatan
pemberdayaan organisasi dan pengelolaan keuangan atau finansial. Padahal justru
substansi pemberdayaan organisasi dan finansial sangat menentukan suatu
organisasi dapat berjalan secara berkelanjutan.

Dalam rangka menghadapi tantangan pembangunan pertanian menuju ketahanan


pangan dan peningkatan kesejahteraan petani, maka organisasi petani yang
bertugas mengelola kegiatan budidaya tanaman dan air irigasi perlu diupayakan
pembenahan secara lebih mendasar. Salah satu alternatif dan potensi yang
mendukung upaya tersebut, yaitu meningkatkan partisipasi petani dalam
kegiatan OP (pemeliharaan) jaringan irigasi dan sinkronisasi kegiatan
kelembagaan petani di tingkat tersier antara Poktan/Gapoktan dan P3A/GP3A.

Reaktualisasi dan pola pikir ke arah integrasi untuk membentuk organisasi petani
dan memberikan pembinaan terhadap organisasi petani perlu dilakukan secara
terus menerus. Mengingat hasil dari beberapa kajian bersama antar K/L belum
dapat mensinergikan kegiatan petani serta pembinaan dan pemberdayaan
kelembagaan petani, maka sinergi dan sinkronisasi dinilai sangat perlu untuk
dilakukan demi kepentingan petani. Sudah saatnya K/L teknis yang terlibat dalam
pembinaan dan pemberdayaan petani mengupayakan agar kelembagaan
Poktan/Gapoktan dan P3A/GP3A dapat terintegrasi menjadi organisasi petani yang
berskala ekonomi lebih besar dengan pengaturan budidaya tanaman dan
pengelolaan irigasi yang terintegrasi ataupun integrasi kegiatan antar
kelembagaan petani.

Faktor kapasitas pembiayaan kelembagaan dalam pengelolaan irigasi sangat


menentukan keberhasilan petani dalam kegiatan usahatani. Selama ini, sumber
keuangan organisasi P3A/GP3A berasal dari iuran wajib anggota serta bantuan
pemerintah. Namun, bantuan dan atau intervensi pemerintah tidak diperoleh
setiap tahun dan biasanya/kebanyakan hanya dilaksanakan pada jaringan irigasi
primer dan sekunder. Sehingga, pelayanan air irigasi menjadi permasalahan yang
sering muncul karena kondisi dan fungsi jaringan irigasi tersier yang kurang bagus
dan kemampuan pembiayaan dan keuangan P3A yang lemah. Pada kenyataannya,
iuran anggota di hampir semua P3A/GP3A tidak berjalan karena tingkat
2
pendapatan petani yang relatif kecil diantaranya karena faktor kepemilikan
lahan yang sangat kecil, rata-rata di bawah 0,3 hektar. Selain itu, dibandingkan
dengan pekerja di sektor lain, upah di sektor pertanian lebih kecil, hanya lebih
baik dari pekerja di sektor jasa lainnya, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1:

Keterangan:

Dalam juta
rupiah

Gambar 1 Upah pekerja berbagai sektor (Sumber: SAKERNAS BPS Agustus 2019)

Berdasarkan pada Grafik tersebut, operasional P3A yang bersumber dari iuran
anggota sangat tidak memungkinkan dan kurang tepat untuk keberlanjutan
kelembagaan. Petani yang sebagian besar merupakan petani kecil memerlukan
organisasi yang kuat dan mandiri, tidak hanya dalam pengelolaan irigasi, namun
juga membantu memperbaiki penghidupan dan kesejahteraannya.

Selama ini, isu keberlanjutan organisasi selalu muncul ketika suatu proyek
irigasi yang didanai oleh pinjaman luar negeri ( loan/grant) selesai dilaksanakan
(closing program ). Setelah loan/grant selesai, pelaksanaan kegiatan praktis tidak
berlanjut karena sumber pendanaan hanya berasal dari pemerintah, namun belum
ditangani secara serius hingga saat ini. Berdasarkan Permen PUPR No. 33 Tahun
2007 tentang Pemberdayaan P3A dan Permentan No. 273 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pembianaan Kelembagaan Petani, petani cenderung difungsikan sebagai
pelaksana program pembangunan sektoral. Organisasi petani hanya dibentuk dan
diberdayakan selama program berjalan, namun ikut berhenti ketika masa program
selesai, sehingga sering disebut organisasi TUKIYEM (dibentuk kemudian
diam/berhenti). Persoalan pola kelembagaan ini perlu perlu dicarikan alternatif

3
solusi baru agar kelembagaan petani dapat dilaksanakan secara
kontinu/berkelanjutan.

1.2. Tujuan, Ruang Lingkup, dan Metodologi


Kegiatan penyusunan naskah kebijakan ( policy paper) ini bertujuan untuk
memberikan dukungan dan strategi serta rekomendasi sebagai upaya terobosan
yang bersifat konseptual untuk keberlanjutan kelembagaan petani di lahan
beririgasi. Dalam konsep peningkatan partisipasi petani dan kelembagaan petani
dalam pengelolaan irigasi, dibatasi pada jaringan/lahan irigasi serta pengelolaan
tata air untuk usahatani di lahan beririgasi. Naskah kebijakan ini memuat
permasalahan seperti regulasi, kelembagaan, dan kebijakan pelaksanaan kegiatan
pertanian di lahan beririgasi, serta lesson learnt dan rekomendasi upaya
penerapan konsep kelembagaan petani agar dapat diterapkan dan meningkatkan
kesejahteraan petani. Metodologi yang digunakan adalah analisis pakar ( expert
analysis) dengan didukung desk study , diskusi (focus group discussion/FGD), dan
workshop yang dilakukan beberapa kali dengan mengundang berbagai nara
sumber berbeda untuk mendapatkan masukan dari para pakar dan stakeholder.

4
II. KERANGKA REGULASI, KELEMBAGAAN, DAN KEBIJAKAN

2.1. Kerangka Regulasi


Pada kegiatan operasi dan pemeliharaan serta pengelolaan irigasi, keterlibatan
dan partisipasi petani telah diatur sejak tahun 1974 melalui UU No. 11 Tahun 1974
tentang Pengairan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan UU No.
17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Aturan tersebut memberikan amanah
dan arahan bahwa masyarakat yang memperoleh manfaat dari bangunan sumber
daya air/pengairan, termasuk irigasi, dapat berpartisipasi dalam pengelolaan
sumber daya air dan pengelolaan irigasi. Selain itu, juga diamanahkan agar
pemerintah melakukan upaya pembinaan dan pemberdayaan kepada
kelembagaan petani. Selain itu juga terdapat peraturan yang masih berlaku dan
belum dicabut, yaitu UU No. 16 T ahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan, UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani (P3). Selain UU, terdapat regulasi turunannnya seperti
Perpres No. 154 Tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluhan Pertanian,
Perikanan, dan Kehutanan; PP No. 43 Tahun 2009 tentang Pembiayaan,
Pembinaan, dan Pengawasan Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan;
PP 45 2017 Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemda; Permentan No.
67 Tahun 2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani; Permen PUPR No. 33
Tahun 2007 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A.

Di dalam Permen PUPR No. 30 Tahun 2015 tentang Pengembangan dan


Pengelolaan Sistem Irigasi (PPSI) pasal 4 ayat (2) juga diamanahkan pelaksanaan
partisipasi petani. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa PPSI
diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup,
transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Sedangkan pada ayat (3), pelaksanaan
PPSI dapat disalurkan melalui P3A di wilayah kerjanya untuk meningkatkan rasa
memiliki, rasa tanggung jawab, serta meningkatkan kemampuan masyarakat
petani/P3A/GP3A/IP3A dalam rangka mewujudkan efisiensi, efektiv itas, dan
keberlanjutan sistem irigasi. Untuk mengembalikan kondisi jaringan irigasi desa
dan irigasi tersier, partisipasi P3A melalui Program Percepatan Peningkatan Tata
Guna Air Irigasi (P3TGAI) sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR No. 24 Tahun
2017 tentang Pedoman Umum dengan pelaksanaan padat karya. Pelaksanaannya
dilakukan mekanisme kontrak antara P3A dengan B/BWS. Namun hasil yang
diperoleh kurang optimal karena terbatas waktu pelaksanaan kegiatan 4-5 bulan
yang dinilai relatif cepat.
5
Menurut Inpres No. 2 Tahun 1984 tentang Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A),
wilayah kerja P3A yaitu pada jaringan irigasi tersier dan jaringan irigasi desa.
Selain itu, pembinaan P3A melibatkan 3 (tiga) kementerian sekaligus untuk
mengatur aspek: 1) kemampuan kelembagaan/organisasi P3A oleh Kementerian
Dalam Negeri; 2) kemampuan teknis keirigasian oleh Kementerian PUPR; dan 3)
kemampuan teknis budidaya pertanian oleh Kementerian Pertanian. Sebagai
acuan dalam menjalankan Inpres 2 Tahun 1984 tersebut, ketiga kementerian
menerbitkan Peratuan Menteri atau Keputusan Menteri yaitu: 1) Peraturan
Menteri PUPR No. 33 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemberdayaan
P3A/GP3A/IP3A; 2) Peraturan Menteri Pertanian No. 79 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pemberdayaan P3A; dan 3) Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 50 Tahun 2001 tentang Pedoman Pemberdayaan P3A. Namun, secara
substansi, dan implementasi yang dijalankan peraturan terkait P3A baru sebatas
pembentukan yang dilanjutkan untuk memperoleh badan hukum kelembagaan.
Aspek-aspek penguatan organisasi dan pembinaan yang bersifat teknis masih
harus terus didorong dan diupayakan dalam rangka meningkatkan kemampuan
petani dan kapasitas kelembagaan atau organisasi.

Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 79 Tahun 2012 tentang Pedoman


Pembinaan dan Pemberdayaan P3A, Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian
bertanggung jawab untuk memberikan bantuan teknis kepada P3A untuk
pengelolaan jaringan irigasi tingkat usahatani (JITUT) atau irigasi tersier dan
jaringan irigasi desa (JIDES). Disisi lain program Kementan mengacu kepada
organisasi petani yang disebut dengan Kelompok Tani (Poktan). Dengan demikian
didalam Kementan sendiri terdapat dikotomi organisai petani yaitu P3A dan
Poktan.

Mengacu dengan Permentan 79 Tahun 2012, seharusnya secara internal


Kementan terdapat pola yang memadai untuk berlangsungnya koordinasi antara
Poktan dan P3A di tingkat usaha tani atau jaringan irigasi tersier. Namun dalam
kenyataannya regulasi yang ada terkait partisipasi dan pemberdayaan
kelembagaan petani dinilai kurang terintegrasi untuk mensinergikan program
kegiatan dan substansi materi pemberdayaan. Regulasi yang ada dinilai belum
mampu menjawab kebutuhan kegiatan kelembagaan petani, khususnya kegiatan
pemberdayaan organisasi dan pengelolaan keuangan atau finansial, baik Poktan
maupun P3A.

6
2.2. Kerangka Kelembagaan Kelompok Tani (Poktan) dan P3A
Keberadaan lembaga petani di Indonesia khususnya P3A sudah ada sejak lama
dan mengalami perubahan atau perkembangan sesuai dengan bertambahnya
jaringan irigasi untuk mendukung budidaya tanaman padi. Perubahan tersebut
terkait dengan intensitas pembinaan lembaga petani sesuai dengan tugas
pembinaan yang dilakukan oleh beberapa kementerian. Dengan berkembangnya
pertanian, pemerintah juga mengintensifkan pembinaan terhadap kelembagaan
petani pada aspek teknis keirigasian dan teknis budidaya tanaman, dan aspek
kelembagaan/keorganisasian, serta aspek finansial/pembiayaan. Namun,
pelaksanaannya belum terlaksana secara efektif karena belum ada sinkronisasi
materi dan waktu pelaksanaan kegiatan pembinaan. Sehingga pada
kenyataannya, pelaksanaan pembinaan kelembagaan masih parsial.

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 33 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A Pasal 17 Ayat (3) disebutkan bahwa
pemberdayaan dilakukan melalui penguatan yang meliputi:
a. pembentukan organisasi sampai berstatus badan hukum, hak dan
kewajiban anggota, manajemen organisasi, pengakuan keberadaannya,
dan tanggung jawab pengelolaan irigasi di wilayah kerjanya;
b. kemampuan teknis pengelolaan irigasi dan teknis usaha tani; dan
c. kemampuan pengelolaan keuangan dalam upaya mengurangi
ketergantungan dari pihak lain.
PUPR baru menyentuh aspek pada butir a dan sebagian butir b. Kementerian
Pertanian lebih fokus pada materi teknis budidaya tanaman (sebagian butir b).
Sedangkan untuk aspek finansial (butir c) belum/ tidak ada instansi pemerintah
yang mengintervensi atau melaksanakan pemberdayaan P3A dan bertanggung
dalam aspek finansial atau pembiayaan. Kementerian Koperasi dan UKM
mempunyai program tersendiri dengan sasaran anggota masyarakat yang besar
kemungkinan sebagiannya juga merupakan petani.
Pembinaan pengelolaan keuangan sejauh ini hanya dilakukan oleh Kementerian
Pertanian untuk POKTAN atau GAPOKTAN. Sudah cukup banyak POKTAN atau
GAPOKTAN yang memfasilitasi berjalannya layanan atau penyediaan keuangan
mikro bagi anggotanya. Bahkan hingga Bulan Juni 2020, tercatat 75 Lembaga
Keuangan Mikro yang merupakan pengembangan dari GAPOKTAN dan Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) sudah terdaftar dan memiliki
ijin operasi resm i dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
(https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data -dan-statistik/direktori/direktori-
lkm/Pages/Direktori-Lembaga-Keuangan-Mikro-Juni-2020.aspx). Berkaca pada
kondisi tersebut, kerangka pengembangan kelembagaan P3A perlu dipikirkan dan

7
ditata ulang, termasuk keberadaan lembaga-lembaga petani yang ada di desa
seperti Poktan/Gapoktan, dan organisasi petani lainnya agar dapat terintegrasi
dan lebih efektif dalam menjalankan fungsinya.
P3A memiliki fungsi utama sebagai mitra pemerintah dalam penyediaan layanan
irigasi bagi petani. Dengan cakupan kegiatan dan wilayah layanan irigasi yang
sangat luas, peran P3A sangat penting untuk meningkatkan efektiv itas, efisiensi
serta kecepatan layanan. Dilihat dari sisi kelembagaan, P3A memilliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Kegiatan utama adalah layanan irigasi. Meskipun di beberapa tempat P3A
juga melakukan kegiatan di luar layanan irigasi seperti kegiatan yang
terkait dengan pertanian, namun tidak dapat didorong untuk berlaku
secara luas sebab juga terdapat organisasi POKTAN yang memiliki core
kegiatan di sektor pertanian;
b. Wilayah kerja P3A terbatas di wilayah tertentu, kira -kira seluas desa atau
kecamatan. P3A tidak dapat melakukan ekspansi ke wilayah lain
disebabkan di wilayah lain juga terdapat organisasi P3A;
c. Kelembagaan P3A bersifat voluntary atau sukarela, baik dari sisi
keanggotaan maupun operasional organisasi, tidak atau belum didorong
menjadi satu lembaga modern dan professional;
d. Dari sisi kegiatan, dapat dikatakan selama ini kegiatan P3A bersifat
incidental, berbasis proyek pemerintah.
Meskipun demikian, dapat dicatat dan perlu diakui bahwa selama ini P3A sudah
berperan dan bekerjasama dalam pengelolaan dan sebagian pengembangan
jaringan irigasi, paling tidak yang difasilitasi dengan loan dari ADB dan WB.
Namun peran yang sudah mulai tumbuh tersebut, jika dilihat secara magnitude
atau dibandingkan dengan keseluruhan jaringan irigasi di Indoinesia dapat
dikatakan peran P3A masih sangat minim, yang keaktifannya sangat bergantung
pada dana pemerintah. Sehingga ketika tidak ada kucuran dana pemerintah, P3A
praktis tidak berkegiatan atau kalau pun ada sangat minim. Dengan melihat
investasi yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk pembentukan P3A
(kebanyakan berasal dari dana pinjaman luar negeri), tentu kondisi ini sangat
disayangkan.
Kondisi yang sudah berjalan puluhan tahun ini perlu diubah. M empertimbangkan
peran yang dapat dijalankan oleh P3A berdasarkan beberapa peraturan yang ada,
maka pemerintah perlu merumuskan satu bentuk organisasi yang lebih baik, kuat,
mandiri dan berkelanjutan sehingga dapat menjalankan peran dan fungsinya
secara optimal. Tentunya hal ini perlu mendapat dukungan pemerintah, baik
berupa dukungan dana, peningkatan kapasitas maupun pemberdayaan dan
pembinaan. Pengembangan kapasitas kelembagaan petani diarahkan untuk
meningkatkan kelembagaannya menjadi kelembagaan ekonomi petani sehingga
meningkatkan skala ekonomi, efisiensi usaha, dan posisi tawar petani.

8
Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang pernah dijalankan dalam
rangka pengelolaan dan pengembangan jaringan irigasi seperti UU No. 11 Tahun
1974 tentang Pengairan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
khussusnya pasal 70 ayat (2), dan Undang-Undang yang saat ini berlaku yakni UU
No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, pasal 55 ayat (2), dinyatakan
bahwa pemberdayaan masyarakat dilaksanakan pada kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, operasi, dan pemeliharaan, serta pemantauan dan evaluasi
pengelolaan sumber daya air. Pendekatan partisipasi masyarakat/petani
seharusnya menjadi dasar pelaksanaan pemberdayaan lembaga petani dalam
pengelolaan irigasi. Poktan maupun P3A seharusnya dilibatkan pada setiap tahap
kegiatan mulai dari perencanaan sampai dengan pemantauan dan evaluasi,
sebagai bentuk pemberdayaan kelembagaan petani. Secara praktis hal tersebut
dapat diawali dengan melakukan dialog yang regular yang bisa dalam setiap
bulan/kwartal/semester/tahaunan sebagai cara untuk membahas berbagai
permasalahan dalam pengelolaan dan pengembangan irigasi. Namun dalam
pelaksanaannya, hanya sedikit kegiatan proyek yang menggunakan pendekatan
partisipatif.

2.3. Kerangka Kebijakan


Kerangka kebijakan pelaksanaan partisipasi dalam pengembangan pertanian dan
pengelolaan irigasi yang ada saat ini, dilaksanakan belum atau baru sedikit yang
mengacu kepada konsep yang berkelanjutan. Dalam menjalankan afirmatif
partisispasi atau peningkatan kapasitas kelembagaan petani, terdapat dikotomi
kebijakan, dimana terdapat program P3TGAI yang agak sedikit bersifat top down
karena dipersiapkan dalam rangka program padat karya dan menggerakkan
ekonomi lokal/pedesaan. Padahal disisi lain dalam UU tentang Sumber Daya Air
dan Peraturan Menteri tentang PPSI sudah diatur secara eksplisit dan jelas bahwa
kegiatan pengembangan dan dan pengelolaan irigasi dilaksanakan menggunakan
pendekatan partisipatif. Partisipasi petani dalam irigasi dapat didorong dengan
adanya penguatan kelembagaan dan pemberdayaan petani melalui pemberdayaan
SDM serta peningkatan ekonomi dan pendapatan petani dengan memperbesar
kapasitas dan skala usahtani anggota Poktan maupun P3A agar dapat mandiri
dan berkelanjutan. Keberlanjutan pengembangan pertanian dan pengelolaan
irigasi juga dapat didukung dengan adanya sinergi dan sinkronisasi program
dan kegiatan serta pembinaan Poktan dan P3A melalui konsolidasi organisasi dan
lahan pertanian.

9
III. TRANSISI PENGUATAN ORGANISASI PETANI
(ALTERNATIF KEBIJAKAN)

3.1. Keterpaduan Kelembagaan Poktan dan P3A


Keberadaan Poktan sebagai salah satu kelembagaan petani berfungsi sebagai
wadah pembinaan untuk melaksanakan kegiatan budidaya pertanian. Sedangkan
P3A berfungsi sebagai wadah pembinaan untuk melaksanakan kegiatan
pengelolaan dan tata air irigasi di jaringan tersier. Kedua lembaga ini berada di
level tersier, sehingga mengelola daerah yang sama atau mungkin beririsan,
namun kegiatan kelembagaan dilakukan masing-masing secara terpisah. Dalam
perkembangannya, Poktan dapat melaksanakan dan membentuk kegiatan yang
lebih luas seperti koperasi dengan wadah Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena lebih
fleksibel dan memilki intervensi program dari Kementan. Sedangkan P3A tetap
berjalan sesuai dengan tugasnya mengelola irigasi, namun kurang mendapat
perhatian dari K/L terkait, terutama pembinaan teknis irigasi dan kelembagaan.

Alur pikir keberadaan kelembagaan petani dapat ditunjukkan pada Gambar 2:

Gambar 2 Alur pikir model kelembagaan petani kedepan

10
Dalam perkembangannya, kelembagaan petani terus mengalami perubahan akibat
regulasi maupun kebijakan yang berlaku sepanjang tahun. Timeline dinamika
kelembagaan petani di Indonesia dapat ditunjukkan pada Gambar 3:

Gambar 3 Timeline dinamika kelembagaan petani Indonesia

Pada tahun 2008-2016, kewenangan pembentukan dan pembinaan P3A dialihkan


sepenuhnya dari Kementerian PUPR kepada Kementerian Pertanian, termasuk
pembinaan di daerah. Namun, pembinaan terkait pengelolaan dan pengembangan
infrastruktur jaringan irigasi dinilai belum optimal, sehingga peran P3A di lapangan
menurun. Penurunan peran P3A dalam pengelolaan irigasi tersebut memberikan
dampak terhadap menurunnya kinerja jaringan irigasi baik kewenangan pusat
maupun kewenangan daerah.

Pengelolaan irigasi yang dilakukan seluas-luasnya oleh daerah pada Era Otonomi
Daerah, mengalami perubahan pembagian kewenangan dengan diterbitkannya UU
No. 7 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Air. Kewenangan irigasi dibagi menjadi 3
(tiga) tingkatan yaitu: 1) kewenangan pusat, 2) kewenangan prov insi, dan 3)
kewenangan kabupaten/kota. Seluruh instansi yang telah menerapkan otonomi
daerah pun kembali menyesuaikan kebijakan tersebut. Kemudian pada tahun 2017
dilakukan percepatan inventarisasi jaringan irigasi dan pemutakhiran awal
pembentukan dan pembinaan P3A oleh PUPR menggunakan pendekatan Single
11
Management Irigasi. Dengan pendekatan ini, pembinaan tersier dan P3A kembali
ke Kementerian PUPR.

Anggota kelembagaan Poktan dan P3A yang mayoritas sama memiliki tugas dan
pembinaan yang berbeda. Perbedaan sikap K/L terhadap Poktan dan P3A
menyebabkan berbagai ketimpangan kegiatan kelembagaan di lapangan. Secara
kesejarahan program rehabilitasi irigasi besar-besaran yang dilakukan pada awal
tahun 90-an, dilengkapi dengan pembentukan PTGA untuk menghadapi persoalan
baru terkait OP jaringan irigasi di lapangan.

UU No. 17 Tahun 2019 tentang SDA yang baru diterbitkan pada bagian akhir
menegaskan pembagian kewenangan daerah irigasi tidak diatur pada level
Undang-Undang, sehingga dapat mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan irigasi.
Namun dengan mengacu kepada pasal 10, 11, dan 15, UU No. 17 Tahun 2019
sesungguhnya masih terdapat pembagian kewenangan irigasi, karena secara
eksplisit terdapat pengaturan tersebut. Menurut perkembangannya, keterbatasan
kapasitas SDM pemerintah dan petani untuk melaksanakan OP, serta adanya
regulasi baru terkait pembagian kewenangan, menyebabkan PTGA tidak relevan
untuk dilaksanakan di prov insi. Sehingga, pelaksanaan PTGA didorong untuk
dilaksanakan di daerah irigasi kewenangan pusat.

Dengan fasilitasi dari Loan WISMP I dari World Bank, dilakukan upaya untuk
mensinergikan kelembagaan petani termasuk untuk mengantisipasi adanya
perkembangan organisasi kelembagaan tersebut. Pilot pembentukan sinergi
kelembagaan petani tersebut dengan nama lembaga ekonomi di lahan beririgasi
(LEPLI) yang mensinkronkan kegiatan Poktan dan P3A. Konsep kelembagaan
ekonomi pertanian dan pengelolaan irigasi serupa cukup baik untuk dijadikan
pembelajaran dan contoh sebagai salah satu alternatif pendekatan sinkronisasi
kelembagaan Poktan dan P3A di jaringan tersier. Konsep-konsep kelembagaan
petani yang dikembangkan untuk mensinkronisasi kegiatan pertanian dan
pengelolaan irigasi serta kegiatan ekonomi kelembagaan petani terus berkembang
di lapangan. Beberapa diantaranya yaitu korporasi petani yang
mengkonsolidasikan lahan petani ( corporate farming), komunitas estate padi
(KEP), dan korporasi petani lainnya untuk memperkuat Poktan maupun P3A.

Gambaran masing-masing kelembagaan petani dapat ditunjukkan pada Tabel 1:

12
Tabel 1 Gambaran kelembagaan petani Indonesia

Nama Kelebihan dan


Tugas-Fungsi Keberlanjutan
Lembaga Kekurangan
Kelompok - Sekumpulan petani yang - Kelebihannya sudah ada Jika berkembang
Tani menyelenggarakan payung regulasinya menjadi Korporasi
(Poktan) kegiatan budidaya - Sudah dikenal oleh Petani akan lebih
pertanian di lahan sawah sebagian besar petani fungsional dan
beririgasi. - Sudah diakui berkelanjutan
- Mengorganisasikan petani keberadaannya oleh
dalam satu hamparan luas pemerintah/pemerintah
lahan daerah
- Membuat kesepakatan - Sudah dikembanhgkan
menanm jenis tanaman beberapa jadi Gabungan
untuk satu musim tanam Kelompok Tani dan
(MT) usahanya diakui oleh
- Membuat kesepakatan OJK
waktu tanam bersama - Umumnya organisasinya
- Sebagai organisasi petani aktivitasnya sangat
yang menerima terbatas untuk
penyuluhan pertanian dari mengelola budidaya
PPL pertanian, belum
- Dapat membentuk menjadi organisasi
Gabungan Kelompok Tani korporasi petani
(Gapoktan) dengan - Kapasitas SDM
Kelompok Tani lainnya kepengurusan sangat
terbatas dan mayoritas
usianya sudah tua.
- Kemampuan keuangan
organisasi sangat kecil,
karena luas lahan petani
kecil.
Perkumpulan - Sekumpulan orang yang - Kelebihannya sudah ada Karena kegiatannya
Petani berprofesi sebagai petani payung regulasinya hanya terbatas pada
Pemakai Air di lahan berigasi yang - Sudah dikenal oleh pengelolaan air irigasi
(P3A) lahan sawahnya menerima sebagian petani dan dengan luas
air irigasi dari jaringan - Sudah diakui kepemilikan lahan
tersier yang sama keberadaannya oleh kecil-kecil serta
- Mempunyai kewenangan pemerintah/pemerintah kualitas SDM petani
dan tanggung jaab dalam daerah relatif rendah, maka
mengelola jaringan irigasi - Umumnya organisasinya kedepan tampaknya
tersier aktivitasnya sangat P3A/GP3A susah
- Dapat berpartisipasi dalam terbatas untuk mengatur menjadi organisasi
kegiatan OP jaringan air pada jaringan irigasi yang fungsional dan
rigasi primer dan sekunder kuarter mandiri.
sesuai kamampuan dan - Kapasitas SDM Akan tetapi jika
kesepakatan dengan pihak kepengurusan sangat P3A/GP3A bergabung
13
Nama Kelebihan dan
Tugas-Fungsi Keberlanjutan
Lembaga Kekurangan
pengelola dari terbatas dengan organisasi
pemerintah/pemerintah - Kemampuan keuangan petani lain yang ada
daerah organisasi sangat kecil, di pedesaan dan
- Bersama petugas penjaga karena luas lahan petani mengelola usahatani,
air ikut serta menentukan kecil. maka organisasi P3A
pola pembagan air di akan dapat survive
musim kemarau dalam menjalankan
fungsi mengelola
irigasi sebagai bagian
dari kegiatan
usahatani lainnya
Lembaga - LEPLI merupakan konsep - Menggabungkan Jika konsep LEPLI
Ekonomi lembaga ekonomi petani kelembagaan yang diadopsi dan
Petani di di perdesaan yang sudah ada (tidak diterapkan akan lebih
Lahan Irigasi fungsional dan mengubah/membentuk efisien dan dapat
(LEPLI) berkelanjutan kelembagaan baru) mengintegrasikan
- Berusaha - Tidak terjadi tumpang kegiatan irigasi dan
mengembangkan usaha tindih kewenangan pertanian antar
ekonomi produktif yang - Terjadi sinergitas kelembagaan petani
berkaitan dengan kegiatan irigasi dan yang sudah ada
dukungan kebutuhan pertanian
usahatani baik untuk on- - Berkembang sesuai
farm dan off-farm kebutuhan untuk
- Organisasi LEPLI ini dapat meningkatkan
terbentuk dari lembaga kesejahteraan petani
baru atau dari lembaga - Adanya ego sektoral
yang sudah ada yang - Kurang dinilai urgent
bergabung atau - Pilot belum pernah
dikembangkan jenis dilaksanakan sebelum
aktivitasnya. closed program
PTGA PTGA dirancang sebagai Unit - PTGA sebagai unit Dapat meningkatkan
Pelaksana Tugas yang ada di khusus yang mempunyai kapasitas SDM petani
BBWS/BWS yang berfungsi tugas khusus untuk melalui
“melaksanakan menyiapkan modul dan pembinaan/bimbingan
pembinaan/bimbingan teknis melaksanakan pelatihan teknis dan
dan pemberdayaan kepada utk memberdayakan pemberdayaan
P3A/GP3A/IP3A dan petugas P3A/GP3A/IP3A dan kepada
pemerintah yang terkait Petugas pembina di tkt P3A/GP3A/IP3A
dalam pengelolaan irgasi” propinsi, kab/kota,
kecamaytan, dan tkt
P3A/GP3A/IP3A.
- Unit PTGA tidak
melakukan
pemberdayaan langsung

14
Nama Kelebihan dan
Tugas-Fungsi Keberlanjutan
Lembaga Kekurangan
kepada organisasi petani
atau P3A/GP3A/IP3A.
Sehingga unit PTGA
hanya sebagai funsi
fasilitasi saja.
Konsolidasi Konsolidasi lahan dan - Konsolidasi lahan dengan Pilot dilaksanakan di
Managemen managemen untuk menggabungkan lahan lahan seluas 6,5
dan Lahan mengembangkan komoditas petani hektar di Kabupaten
(konsep lokal dan berorientasi dalam - Batas sawah dihilangkan Bantul, DIY dan
korporasi negeri dalam satu unit desa agar lebih mudah sedang
petani UGM) berbasis agribisnis pengelolaannya dikembangkan model
- Dapat disinkronkan penyuluhan pertanian
dengan partisipasi dan berbasis aplikasi
korporasi smartphone “Desa
- Memperluas hamparan Apps”.
petani yang lahannya Dapat dikembangkan
kecil pemanfaatan
- Hemat air dan hemat teknologi dan ICT di
biaya lahan.
- Meningkatkan nilai
ekonomi dan daya saing
pasar
- Belum ada dukungan
fasilitas irigasi pertanian
- Konflik ekonomi akibat
konsolidasi lahan
Komunitas Membentuk bisnis ko lekstif - Membangun capacity Dilaksanakan
Estate Padi sesuai harapan dan building multi menggunakan prinsip
(konsep kesepakatan dengan prinsip kelembagaan komunitas.
kelembagaan sinergi, konsolidasi, - Konsolodasi lahan dalam Program riset di
IPB) kebersamaan, keberlanjutan hamparan mencapai 101 Kabupaten
Mengembangkan usaha ha Purbalingga sejak
beras dan sampingan lain - Kerjasama inter-relasi Tahun 2018
antar stakeholder Tahun 2020 akan
- Perlu waktu lama dan dikembangkan di
pembinaan intensif daerah lain dengan
untuk mengubah budaya tema petani organik
dan sinergi petani sesuai kondisi dan
kebutuhan petani
lokal.

15
3.2. Syarat Minimal Keberlanjutan Organisasi Petani
Secara tekstual, berbagai peraturan pelaksanaan pemberdayaan petani telah
menyebutkan bahwa pemberdayaan petani harus berhasil mewujudkan
kelembagaan yang mandiri. Sehingga, faktor kemandirian menjadi tuntutan utama
bagi instansi pemerintah dalam melakukan pemberdayaan kelembagaan petani,
namun pada realitanya masih jauh dari harapan. Jika kemandirian didefinisikan
sebagai lembaga petani yang mampu membangun dan memelihara jaringan irigasi
tersier, maka dipastikan belum ada Poktan dan P3A yang dapat disebut mandiri.
Dengan memperhatikan luas kepemilikan lahan yang rekatif kecil dimana rata-rata
sebesar 0,3 ha di pulau Jawa dan kegiatan ekonomi keluarga yang tidak
mendukung, maka kemandirian kelembagaan petani akan sangat sulit diwujudkan
dan berlanjut.

Kemandirian dan keberlanjutan kelembagaan petani sangat terkait dengan


tingkat pendapatan ekonomi anggotanya untuk mendukung pembiayaan
pengelolaan jaringan irigasi dan penguatan kelembagaan. Salah satu faktor yang
menyebabkan usahatani tidak berjalan yaitu skala ekonomi minimal petani
tidak terpenuhi. Luas lahan yang relatif kecil dan komoditas yang dipilih adalah
padi menyebabkan iuran anggota sebagai sumber pembiayaan kelembagaan akan
terkendala dan tidak mencukupi. Jika produktiv itas terbesar petani yang
menggarap lahan seluas 0,3 ha adalah 10 ton/ha, keuntungnya tetap saja sedikit.
Jika petani memiliki lahan garapan besar, maka keuntungan usahanya juga akan
berlipat dibandingkan lahan kecil.

Upaya untuk mencapai kelembagaan petani yang mandiri dan berkelanjutan dapat
ditempuh dengan pendekatan konsolidasi kelembagaan Poktan dan P3A yang
memiliki area kegiatan pertanian dan pengelolaan irigasi bersinggungan. Daerah
irigasi yang telah melaksanakan konsolidasi Poktan dan P3A menjadi satu
kepengurusan semakin banyak ditemui di beberapa daerah seperti GP3A Keru
Lombok Barat, Koperasi Tani Wire Singe Lombok Barat, Koperasi Tani Subak
Guama Bali, Subak Jatiluwih Bali, dan lainnya. Upaya konsolidasi Pokta n dan P3A
perlu diikuti dengan mendorong kelembagaan petani tersebut menjadi sebuah
organisasi “korporasi petani” dengan batasan wilayah kerja sesuai wilayah
Gapoktan dan GP3A. Dengan memperhatikan perkembangan organisasi petani
dan kinerjanya yang relatif tidak banyak berkembang selama 30 tahun terakhir,
maka usaha peningkatan kinerja organisasi petani yang terkonsolidasi dalam
pengelolaan irigasi dan budidaya tanaman dapat dijadikan sebagai alternatif

16
kelembagaan petani dan strategi baru untuk meningkatkan kinerja Poktan dan
P3A dengan didukung menggunakan teknologi dan digitalisasi.

Menurut Jenelle Kerlin (2017), untuk menentukan apakah institusi/kelembagaan


sudah memadai menuju kelembagaan yang mandiri, terdapat beberapa aspek
yang perlu diperhatikan yaitu: 1) pendanaan dan pembiayaan; 2) adanya
dukungan kebijakan (regulasi/perundang-undangan); 3) berorientasi pada
pengembangan menuju pasar; 4) dan adanya akses terhadap pengembangan
keterampilan (skill) dan kemampuan institusional. Kedepan, kelembagaan juga
dapat dibantu dengan pemanfaatan teknologi dan informasi serta internet of
things (IoT). Hubungan antara pemenuhan syarat organisasi/kelembagaan petani
(hulu) hingga memasuki pasar dan mencapai konsumen sebagai pelaku akhir
(hilir) hasil pertanian dapat dilihat dari Gambar 4:

Gambar 4 Digitalisasi kelembagaan petani

Faktor-faktor ini sangat bergantung pada kondisi masing-masing daerah. Dalam


perkembangannya, kemampuan dan kemandirian institusi/kelembagaan
masyarakat di masing-masing daerah beragam akibat adanya perbedaan budaya
dan adat istiadat, system pemerintahan/politik, tingkat ekonomi masyarakat,
17
kegiatan perkumpulan masyarakat, dan hubungan inter-relasi masing-masing
indiv idu dalam masyarakat. Dengan memenuhi aspek dan faktor-faktor diatas
dengan prinsip keterpaduan serta kombinasi yang sinergi, kelembagaan petani
pun dapat berjalan secara berkelanjutan dan mandiri.

Berdasarkan pada pengalaman pelaksanaan kegiatan pengembangan


kelembagaan di lapangan, terdapat 4 (empat) faktor yang harus dipenuhi, dimana
ketiga faktornya sebagaimana telah disebutkan oleh Jenelle Kerlin (2017) yaitu: 1)
sumber pembiayaan; 2) adanya kegiatan usaha ekonomi; 3) adanya payung
hukum/regulasi; dan 4) adanya kegiatan pemberdayaan anggota organisasi.
Sumber pembiayaan kelembagaan petani tidak boleh hanya berasal dari iuran
anggota saja, namun harus didukung dengan sumber lain seperti keuntungan
yang diperoleh dari usahatani/usaha ekonomi bersama dalam kelembagaan petani
sesuai dengan potensi masing-masing daerah. Dalam pelaksanaan setiap kegiatan
dalam organisasi perlu adanya aturan yang mengatur, baik secara internal dalam
bentuk AD/ART maupun regulasi eksternal berupa peraturan perundang-undangan
dan turunannya yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pelaksanaan keg iatan petani
pun harus memperoleh pendampingan dan pembinaan dari pemerintah dan K/L
terkait melalui pemberdayaan anggota dalam rangka meningkatkan keterampilan
petani dalam berbagai aspek baik budidaya pertanian, teknis pengelolaan irigasi,
pengelolaan kelembagaan (organisasi), dan pengembangan usaha ekonomi
pertanian dan irigasi di level petani. Kelembagaan petani yang bagus adalah yang
tumbuh secara bottom up agar keberlanjutan kelembagaan terjaga. Pembentukan
kelembagaan secara top-down sangat berisiko tidak berlanjut kecuali jika ada
pembinaan yang aktif dan intensif.

Agar kelembagaan petani dapat berjalan secara berkelanjutan, maka organisasi


harus dapat mengatasi permasalahan dan kendala yang dihadapi, sehingga
organisasi yang terbentuk menjadi kuat dan mandiri. Untuk mewujudkan
kelembagaan petani yang mandiri, kelembagaan petani tidak hanya melakukan
kegiatan pertanian dan pengelolaan irigasi di lapangan, namun juga bersifat sosial
(social enterprised), yaitu usaha yang bersifat sosial yang melayani anggota
organisasinya. Berdasarkan perhitungan yang disampaikan dalam FGD Sinkronisasi
Kelembagaan Petani di Bappenas (2020), besaran lahan pertanian dalam satu unit
usahatani untuk mencapai skala ekonomi dengan marjin yang cukup untuk
menjamin keberlanjutan dan kemandirian suatu lembaga petani, yaitu seluas 600
hingga 1.000 hektar.

18
3.3. Peluang dan Tantangan Kelembagaan Petani
Setelah memahami syarat organisasi dapat mandiri, hal yang perlu diperhatikan
adalah peluang dan tantangan kelembagaan petani untuk dapat menjadi
organisasi mandiri, termasuk menjawab model kelembagaan petani yang ada dan
model ideal untuk mencukupi dan mencapai tujuan kelembagaan.
Pada prinsipnya, P3A merupakan organisasi nirlaba. Lembaga organisasi nirlaba
senantiasa dicirikan dengan satu atau lebih sumber dana. Berdasarkan
karakteristik kegiatan organisasi, P3A dapat dimasukkan dalam kategori lembaga
nirlaba (non profit). Sebagai lembaga nirlaba, sumber pembiayaan mengandalkan
donatur untuk menjalankan roda organisasi: 1) bisa berasal dari pendiri atau
donator, baik rutin maupun incidental; 2) dapat memiliki sumber dana lain,
misalnya dari iuran anggota; 3) sumber dana komersial dimungkinkan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dari pelaksanaan kegiatan tersebut, organisasi
nirlaba dapat memperoleh keuntungan, yang kemudian hasil keuntungan tersebut
dikembalikan kepada organisasi, anggota atau lingkungan sekitar. Berdasarkan
penjelasan tersebut – dan dengan mempertimbangkan bahwa untuk menjalankan
roda organisasi memerlukan sumber daya – maka P3A dapat memperoleh
keuntungan dari kegiatannya. Artinya, P3A harus memiliki fungsi ekonomi dalam
memberikan benefit (bukan hanya profit) bagi organisasi, anggota maupun
lingkungan sekitar. Selain itu, tuntutan agar P3A memberi benefit bagi anggota
atau lingkungan sekitar menunjukkan bahwa P3A harus memiliki fungsi sosial.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan analisis peluang dan tantangan, baik
yang bersifat internal maupun eksternal. Analisis dilakukan dengan metode SWOT
(Strength, Weaknesses, Opportunity dan Threat), dengan fokus pada beberapa
aspek yakni (1) kelembagaan formal; (2) Sosial-Budaya; (3) Keuangan; dan (4)
Sumber Daya Manusia. Aspek-aspek ini merupakan determinant factor satu
lembaga bisa mandiri dan berkelanjutan. Tabel 2 berikut merupakan hasil analisis
SWOT yang dilakukan terhadap P3A:
Tabel 2 Hasil analisis SWOT P3A

Strength – Opportunity Weakness – Threat

Kelembagaan  P3A memiliki landasan  Belum semuanya berbadan


Legal – Formal peraturan pemerintah hukum
dalam bentuk Permen
Strength  Permen yang melandasi P3A
 P3A menjadi satu-satunya tidak saling terhubung
Opportunity lembaga di masyarakat  Secara legal, hubungan
yang menyediakan layanan
antara P3A dan GP3A tidak
19
Strength – Opportunity Weakness – Threat
Weakness irigasi jelas
Threat  Layanan Irigasi kepada
seluruh petani, tidak
terbatas anggota P3A
Sosial-Budaya  Sifat gotong-royong di  Generasi muda banyak tidak
perdesaan relatif masih tertarik kepada sektor
kuat pertanian
Ekonomi dan  Setiap tahun pemerintah  Keuangan P3A sangat
Keuangan menyediakan alokasi OP tergantung bantuan
pemerintah
 Program rehabilitasi
pemerintah  Kemampuan pengelolaan
administrasi keuangan minim
 Kesejahteraan petani selaku
anggota P3A secara umum
relatif rendah
 Iuran anggota sangat terbatas
 Kemampuan mencari
pendanaan lain sangat
terbatas
Sumber Daya  Fungsi yang dijalankan P3A  Pendampingan sangat minim,
Manusia sudah lama berjalan di bahkan di banyak lokasi tidak
masyarakat ada dan tidak kontinu
 Kegiatan peningkatan
kapasitas sangat minim,
bahkan sudah lama tidak ada
 Pertemuan rutin terbatas
 Petugas OP pemerintah
kurang

Berdasarkan hasil analisis SWOT tersebut, sumber pembiayaan untuk operasional


organisasi P3A saat ini praktis hanya berasal dari pemerintah. Sumber -sumber lain
– dengan cakupan kegiatan dan wilayah kerja yang sangat terbatas – tidak
tersedia, atau kalau pun ada sangat terbatas dan bersifat insidental, tidak
berkesinambungan. Iuran anggota sulit diharapkan untuk memutar roda
organisasi mengingat kesejahteraan petani sebagai anggota P3A yang relatif
rendah dibanding profesi lain karena kepemilikan lahan yang sangat sempit. Hal
ini dapat dipahami karena penghasilan petani padi yang relatif rendah dan
20
tergantung musim. Satu peluang yang dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan
organisasi secara berkela njutan adalah kegiatan operasi dan pemeliharaan sebab
berlangsung sepanjang tahun. Kegiatan rehabilitasi hanya sesekali, sehingga tidak
dapat diharapkan menjadi sumber pendapatan untuk kegiatan operasional
organisasi secara rutin.
Selanjutnya, penting untuk melakukan pemetaan mengenai pola aktiv itas
operasional P3A sebagai sebuah organisasi saat ini dan potensi yang dapat
dilakukan di masa depan. Pemetaan dilakukan menggunakan metode pemetaan
Business Model Generation (Osterwalder dan Oigneur, 2012) yang
menganalogikan suatu organisasi atau badan usaha ( business entity ) sebagai
suatu bangunan yang terdiri dari sembilan unsur utama. Sembilan unsur tersebut
merupakan hal-hal dasar yang perlu diidentifikasi secara jelas oleh setiap
organisasi yang ingin tumbuh kuat. Intisari dari sembilan unsur dasar di atas
dapat disajikan ke dalam sebuah Kanvas Model Bisnis ( business model canvas ).
Melalui satu lembar Kanvas Model Bisnis tersebut, sebuah organisasi usaha dapat
menyusun suatu hipotesa perencanaan ke depan, mengevaluasi koherensi setiap
langkah-langkah bisnis yang telah dilakukan dengan rencana tersebut; dan yang
terpenting adalah, Kanvas Model Bisnis dapat secara rasional menjelaskan
bagaimana sebuah organisasi usaha menciptakan, menawarkan dan memberikan
tawaran nilainya, yang pada akhirnya akan berakibat pada kemampuan suatu
organisasi untuk dapat mandiri secara berkelanjutan. Berikut ini adalah Kanvas
Model Bisnis organisasi P3A dapat ditunjukkan pada Tabel 3 dengan item di
dalamnya baik bersifat existing, sudah berjalan namun bersifat insidental maupun
yang masih bersifat potensial:
Tabel 3 Kanvas Model Bisnis organisasi P3A

Rekanan Kegiatan Kunci Tawaran Nilai Hubungan Segmen


Kunci Pengguna Pengguna
 Petani  Pemeliharaan  Air  Penyediaan Petani
 Dinas saluran irigasi; diperlukan layanan irigasi dalam satu
PSDA  Koordinasi oleh setiap untuk budidaya kesatuan
 Dinas pembagian air; petani; padi;
hidrologis,
Pertanian  Rehabilitasi  Merupakan  Sebagai saluran
 Desa ringan saluran satu-satunya aspirasi dan kira-kira
irigasi; lembaga paritipasi seluas desa
 Pemantauan masyarakat masyarakat untuk atau
kondisi infra yang diakui kegiatan irigasi; kecamatan
irigasi; pemerintah
 Terlibat dalam untuk
perencanaan layanan
21
irigasi; irigasi;
 Pelaporan
kepada instansi
yang berwenang
Sumber Daya Kanal Distribusi
Kunci
 Air untuk Irigasi;  Rapat/
 Infrastruktur musyawarah
Irigasi;  Media social (WAG)
Struktur Biaya *) Arus Penerimaan
 Biaya pemeliharaan  Iuran Anggota
 Biaya rehab ringan  Margin keuntungan
 Biaya rapat/sosialisasi pengerjaan rehab
 Biaya Capacity Building  Margin keuntungan
pengerjaan pemeliharaan
Keterangan: Sudah berjalan
Bersifat incidental
Masih bersifat potensi

Berdasarkan pemetaan tersebut, dapat didefinisikan kegiatan minimal apa yang


perlu dilakukan organisasi P3A – bukan kegiatan indiv idual – untuk menjalankan
fungsi utamanya sebagai mitra pemerintah dalam memberikan layanan irigasi bagi
petani.
Berdasarakan pada hasil s imulasi kebutuhan kegiatan dan anggaran P3A
(Lampiran 1) untuk menjalankan fungsi utamanya, kebutuhan operasional P3A
belum memperhitungkan beberapa komponen kegiatan dan biaya yang
diasumsikan menjadi kontribusi masyarakat. Meskipun hal tersebut dinilai lumrah,
namun ke depan bila P3A diarahkan menjadi lembaga yang lebih profesional,
maka perlu dilakukan penghitungan ulang terhadap komponen-komponen
tersebut. Tabel 4 berikut adalah beberapa contoh komponen yang menjadi
kontribusi masyarakat terhadap P3A:
Tabel 4 Contoh kontribusi masyarakat terhadap P3A

No Komponen Keterangan
1 Sewa Kantor (+ listrik, air) Menggunakan balai desa/rumah pengurus
2 Sewa Ruang Rapat Menggunakan balai desa/rumah pengurus
3 Alat kerja kantor (komputer, Menggunakan fasilitas desa atau anggota
printer, internet, modem, listrik) atau pengurus
4 Alat komunikasi (HP) Menggunakan milik anggota/ pengurus
5 Kendaraan (motor) Menggunakan milik anggota/ pengurus

22
Memperhatikan hasil simulasi tersebut, kebutuhan operasional minimal organisasi
P3A relatif kecil. Meskipun kebutuhan operasi minimal organisasi P3A relative kecil,
sejauh ini sulit bagi P3A untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karena praktis P3A
tidak memiliki pendapatan rutin yang berkelanjutan. Lantas, potensi yang dapat
dimanfaatkan oleh P3A agar minimal dapat menjalankan fungsi utamanya secara
baik perlu dikaji lebih mendalam.
Berdasarkan pada hasil simulasi peluang kegiatan dan penerimaan yang dapat
dimanfaatkan P3A ( Lampiran 2), terdapat defisit yang besar antara potensi
pendapatan dengan kebutuhan/pengeluaran minimal organisasi P3A, bahkan
dengan beberapa komponen dinilai gratis karena diasumsikan menjadi kontribusi
masyarakat. Merujuk pada simulasi tersebut, bila porsi kegiatan pemeliharaan
(70%-100%) dan rehabilitasi ringan (dilaksanakan 10 tahun seka li) dilakukan P3A
dengan iuran anggota dinilai Rp 0, hanya dapat menutup biaya operasional antara
28,95% - 36,85%. Sedangkan bila iuran anggota diasumsikan mencapai 50%,
penerimaan P3A dapat menutup 72,82% - 80,71% dari kebutuhan.
Partisipasi masyarakat secara bertahap dapat terus ditingkatkan, termasuk
kepatuhan membayar iuran anggota. Namun ini akan sangat bergantung pada
kinerja layanan irigasi dan manfaat organisasi yang dirasakan oleh masyarakat.
Sepanjang masyarakat tidak merasakan manfaat P3A, sulit diharapkan partisipasi
masyarakat secara optimal. Perlu digarisbawahi, simulasi tersebut hanya sebatas
kebutuhan minimal P3A untuk menjalankan fungsinya. Untuk mengembangkan
P3A menjadi organisasi dengan layanan yang lebih luas, diperlukan kegiatan dan
pendanaan yang lebih besar.
Berdasarkan hasil pemetaan dan simulasi tersebut, sulit bagi P3A untuk dapat
menjadi satu organisasi masyarakat yang mandiri. Sehingga tidak heran bila P3A
aktif hanya bila ada pengerjaan proyek pemerintah. Untuk memperbaiki hal ini,
maka lembaga P3A perlu diperbaiki. Dengan wilayah operasional yang tidak dapat
diperluas, maka yang dapat dilakukan adalah memperluas cakupan kegiatan P3A,
sehingga dapat menambah penerimaan untuk memutar roda organisasi. Namun
demikian, gagasan ini juga mengalami dilema atau terdapat problematik, karena
basis anggota P3A adalah petani, maka kegiatan yang mungkin diperluas ada di
sektor pertanian. Permasalahannya, di sektor pertanian terdapat organisasi
masyarakat yang juga dibentuk pemerintah, yakni Kelompok Tani (Poktan)
beserta pengembangannya (Gapoktan).
Meskipun di bagian sebelumnya disebutkan bahwa beberapa P3A sudah
melakukan kegiatan di sektor pertanian, adanya Poktan membuat hal tersebut

23
sulit untuk menjadi satu kebijakan yang bersifat nasional. Pada bagian selanjutnya
akan dibahas tentang bagaimana pola hubungan kedua lembaga tersebut
sehingga dapat tercipta organisasi petani yang tidak hanya terbatas melakukan
kegiatan rutin yang menjadi core business -nya, namun dapat menjadi lembaga
petani yang maju, modern, mandiri dan dapat meningkatkan kualitas penghidupan
dan kesejahtaraan anggotanya.

3.4. Konsep Pengembangan Tata Guna Air (PTGA)


Dalam rangka untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam penyediaan dan
pemenuhan pangan nasional, salah satu upaya yang dikembangkan yaitu
peningkatan ketahanan pangan ( food security ). Salah satu faktor produksi yang
sangat penting yaitu ketersediaan air untuk budidaya tanaman pangan, terutama
padi. Ketersediaan air yang dimanfaatkan untuk budidaya pertanian perlu
didukung dengan adanya infrastruktur yang baik dan tata guna air.

Program PTGA merupakan program dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Kementerian PUPR yang telah dilaksanakan pada masa Orde Baru. Pada waktu itu,
pembentukan PTGA dinilai perlu dengan pertimbangan bahwa pada awal Orde
Baru pemerintah melakukan kegiatan pembangunan irigasi baru dan kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi secara besar-besaran. Sehingga, pasca kegiatan
pembangunan irigasi baru dan rehabilitasi jaringan irigasi sangat memerlukan
kegiatan penilaian ( assessment) kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan
pelaksanaan kegiatan OP dalam pengelolaan jaringan irigasi. Pembangunan baru
dan rehab tanpa diikuti kegiatan OP akan menyebabkan umur ( life-time)
infrastruktur jaringan irigasi tersebut berkurang dan rusak lebih cepat. Selain itu,
juga melaksanakan kegiatan pelatihan-pelatihan teknis kegiatan OP, mulai dari
tingkat Cabang Dinas PU Pengairan tingkat kabupaten/kota, tingkat Pengamat
Pengairan, Juru Pengairan, Petugas Pintu Air, dan tingkat P3A.

Dengan pertimbangan tersebut, maka PTGA dibentuk sebagai wadah untuk


menyiapkan dan menjalankan suatu program terkait dengan dukungan
kegiatan OP yang dilaksanakan oleh organisasi struktural yang menangani
kegiatan OP di wilayah kerjanya. Program ini berada di setiap wilayah Prov insi dan
dikoordinasikan oleh Kantor Wilayah Pekerjaan Umum (PU), yang dalam era
sentralisasi merupakan kepanjangan tangan Departemen di prov insi. Sampai
dengan akhir pemerintahan Orde Baru, keberadaan PTGA mencapai 20 un it di 20

24
prov insi. Dalam melaksanakan program kegiatannya, unit PTGA bekerjasama
dengan Dinas PU Provinsi, khusunya Sub Dinas Pengairan.

Dalam pelaksanaannya di lapangan, unit PTGA tersebut kemudian tidak berjalan


dan hilang ketika terjadi perubahan rezim pemerintahan dari Orde Baru menuju
Orde Reformasi pada tahun 1998. Rezim Orde Reformasi selanjutnya membuat
kebijaksanaan dengan pendekatan pembangunan yang tidak sentralistis, akan
tetapi berubah menjadi desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan adanya
pendekatan pembangunan desentralisasi dan otonomi daerah tersebut, maka
keberadaan Kantor Wilayah PU di Prov insi dan termasuk unit PTGA juga
ditiadakan. Sejak Orde Reformasi ini kegiatan pembinaan dan pelatihan
peningkatan kemampuan kegiatan OP pengelolaan jaringan irigasi hampir tidak
dilaksanakan lagi, termasuk kegiatan pelatihan-pelatihan kegiatan OP jaringan
irigasi yang dilaksanakan secara berjenjang seperti sebelumnya. Kondisi ini
semakin kurang mendapat perhatian ketika terjadi perubahan kebijakan
pembagian kewenangan pengelolaan jaringan irigasi berdasarkan pada UU No. 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang membagi kewenangan pengelolaan
irigasi untuk pemerintah pusat, kewenangan pemerintah prov insi, dan
kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

Ketika UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA yang tidak berlaku pasca keputuhan
Mahkamah Konstitusi, pengaturan keirigasian melalui Peraturan Menteri PUPR No.
30 Tahun 2015 tentang Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi (PPSI).
Sehingga, pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian
PUPR mulai memberikan perhatian kepada kondisi kegiatan OP yang sudah
memerlukan perhatian serius, terutama daerah irigasi kewenangan pemerintah
daerah. Menurut Permen PUPR No. 30 Tahun 2015 tentang PPSI, diatur tata
guna air irigasi untuk budidaya tanaman. Berdasarkan kondisi tersebut, pada
tahun 2016 program PTGA diselenggarakan kembali untuk mendukung kegiatan
OP jaringan irigasi yang menjadi kewenangannya di beberapa Balai Wilayah
Sungai/Balai Besar Wilayah Sungai. Target keseluruhan yang diharapkan yaitu di
17 B/BWS. Dalam implementasinya, modul serta pelatihan harus ditambah dan
dilengkapi terkait dengan pengembangan sistem irigasi dan tata guna air.

Untuk sementara, program PTGA yang sedang dikembangkan di B/BWS dikelola


oleh seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dibawah koordinasi Satuan Kerja
(satker) OP di B/BWS tersebut. Struktur kerja tersebut masih bersifat sementara
sebelum program PTGA menjadi satu unit tersendiri. Secara nasional, kegiatan
program PTGA disiapkan dan dilaksanakan di Direktorat Operasi dan Pemeliharaan
25
Ditjen SDA, Kementerian PUPR. Sekarang, beberapa modul untuk kegiatan
pelatihan OP di berbagai tingkatan mulai dari tingkat P3A dan tingkat OP daerah
irigasi sedang disiapkan Direktorat OP. Kemudian nantinya akan dilaksanakan
pelatihan ToT oleh personil Direktorat OP kepada perwakilan B/BWS dan
diteruskan kepada petugas B/BWS yang ditunjuk untuk memberikan pelatihan OP
di lapangan dengan benar dan efektif. Salah satu pilot unit pengelolaan irigasi
(UPI) yang melaksanakan program PTGA adalah BBWS Bengawan Solo.

UPI dapat menjadi wadah sebagai sistem informasi dan perencanaan program OP
irigasi, pengendalian dan pengawasan OP, dan fungsi penyuluhan melalui PTGA.
Pembentukan UPI bertujuan untuk meningkatkan tata kelola air di jaringan irigasi
dalam satu kesatuan sistem irigasi dari jaringan utama sampai jaringan tersier
serta meningkatkan kondisi sarana dan prasarana jaringan irigasi dengan
melaksanakan kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan ir igasi. Salah satu
fungsi pembentukan UPI adalah penyuluhan dan tata guna air di DI kewenangan
pusat, yang meliputi DI Colo (DI wilayah Jawa Tengah) dengan luas 25.056 ha
dan DI Semen-Krinjo (DI wilayah Jawa Timur) dengan luas 929 ha yang melintasi
2 (dua) kabupaten, yaitu Kabupaten Rembang dan Kabupaten Tuban. BBWS
merekrut petugas OP untuk menginventarisasi P3A/GP3A/IP3A di sekitar daerah
irigasi. Selain PTGA, UPI juga melaksanakan beberapa kegiatan seperti: 1) monev
OP jaringan irigasi; 2) peningkatan kapasitas sdm petugas op irigasi termausk
kegiatan sosialisasi aplikasi SMOPI; 3) penilaian kinerja jaringan irigasi; 4) kalibrasi
bangunan ukur; 5) mendukung penyusunan manual OP irigasi; dan 6) rapat
pembagian air irigasi setiap bulan dengan melibatkan Perum Jasa Tirta I, BBWS
Bengawan Solo, dan P3A/HIPPA bersama Dinas Pengairan dan Dinas Pertanian.

Program PTGA yang sedang disiapkan (konsep terbaru) dinilai belum


mengantisipasi penerapan program PTGA dengan implikasi penerbitan UU No.
17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang telah menghapuskan pembagian
kewenangan pengelolaan irigasi antara pemerintah, pemerintah prov insi, dan
pemerintah kabupaten/kota. Sehingga, bentuk organisasi pada program PTGA
harus disesuaikan dengan amanah UU No. 17 Tahun 2019 tentang SDA dan PP
tentang Irigasi yang akan disusun. Hal ini disebabkan wilayah kerja dari program
PTGA yang sekarang berada di B/BWS hanya akan melayani kinerja kegiatan OP
untuk jaringan irigasi kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur pada UU
No. 7 Tahun 2004 yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan UU No.
23 Tahun 2017 tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan kegiatan PTGA di
lapangan perlu memasukkan aspek SDM ( human capital) tidak hanya sebagai

26
unsur produksi, namun juga merndorong perubahan organisasi. Perubahan yang
perlu dilakukan adalah perubahan pola pikir ( mindset) institusi bahwa kegiatan
irigasi dan pertanian dilakukan untuk ketahanan pangan menuju pelaksanaan
modernisasi irigasi. Selain itu untuk melakukan pemberdayaan dan menempatkan
irigasi menjadi bagian dari budaya. Hal ini perlu didukung dengan adanya
knowledge management agar terjadi pemahaman yang sama terhadap
pelaksanaan kelembagaan melalui kegiatan sosialisasi kepada petugas dan pihak
terkait. Dialog sebagai bentuk konsultasi publik juga dapat dilakukan dengan
menetapkan topik/isu yang sesuai dengan pelakasanaan modernisasi irigasi serta
penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani.

3.5. Lesson Learnt Lembaga Ekonomi Petani di Lahan Irigasi (LEPLI)

3.5.1. Gagasan dan Regulasi


Lembaga Ekonomi Petani di Lahan Irigasi (LEPLI) dibentuk berdasarkan gagasan
dari Dr. Ir. Gatot Irianto yang menjabat sebagai Dirjen PSP, sebagai upaya
pengembangan kelembagaan petani di lahan irigasi yang berorientasi pada
pengembangan ekonomi petani. Dasar pembentukan LEPLI yaitu PP No.38
Tahun 2007 tentang pembagian kewenanan pemerintah pusat, pemerintah
prov insi, dan pemerintah kabupaten/kota dan Permentan No.79 Tahun 2012
tentang Pemberdayaan P3A. LEPLI yang dilaksanakan pada kegiatan Water and
Irrigation Sector Management Project (WISMP I) fokus pada pembinaan dan
pemberdayaan P3A yang secara regulasi menjadi kegiatan kewenangan
Kementerian Pertanian. Sehingga, dalam implementasinya di lapangan tidak
terjadi tumpang tindih kewenangan, terutama dalam hal pembinaan kepada
Poktan maupun P3A. Kementerian Pertanian fokus memberikan perhatian kepada
P3A yang berada di jaringan tersier.

Pelaksanaan kegiatan bantuan teknis irigasi dan penetapan badan hukum tetap
diberikan kepada P3A. Sedangkan pembinaan diluar aspek irigasi dilakukan
melalui LEPLI. Pelaksanaan kegiatan partisipasi petani dan kegiatan OP pada
masa WISMP I diatur menurut Surat Edaran Dirjen Sumber Daya Air No. IK-
01.02-04/404 Tahun 2009 Perihal Komisi Irigasi dan Kerjasama Pengelolaan
Irigasi Partisipatif. Pelaksanaan partisipasi dikerjasamakan dengan Balai PSDA
dengan menggunakan pendekatan Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS), Surat
Keterangan Kerja Sama (SKKS), dan Kerja Sama Operasional (KSO).

27
Pada prinsipnya, LEPLI merupakan gagasan kelembagaan petani yang
menyatukan kegiatan Poktan dan P3A untuk membentuk lembaga ekonomi
petani pada lahan beririgasi. Pada struktur organisasi LEPLI, dimungkinkan untuk
membentuk dan mengembangkan beberapa Bidang seperti Bidang Budidaya
Pertanian, Penjualan Benih dan Pestisida, Pemasaran Hasil Budidaya, dan Bidang
Pengelolaan Irigasi. Organisasi semacam LEPLI ini dinilai seharusnya dapat
menjadi salah satu alternatif bentuk organisasi petani yang dapat
mengakomodir kegiatan budidaya pertanian dan juga pengelolaan irigasi.
Sehingga menciptakan kesatuan petani dalam berorganisasi secara lebih
produktif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok tani
dan anggotanya. Dengan demikian, organisasi petani dapat berkembang sesuai
dengan kebutuhan masing-masing kelompok sesuai kondisi dan peluang yang
ada di lapangan.

Namun, konsep LEPLI tersebut belum/tidak dapat diimplementasikan karena loan


WISMP I berakhir sebelum pilot LEPLI berjalan secara berkelanjutan dan
pemerintah kurang memprioritaskan kegiatan tersebut. Pemerintah pusat dan
pemerintah daerah kembali menerapkan kelembagaan Poktan dan P3A secara
terpisah. Keberadaan LEPLI dinilai menjadi perhatian dari Kementerian Pertanian
saja dan belum mendapat dukungan secara menyeluruh dari stakeholder lain.
Padahal secara konseptual, bentuk organisasi LEPLI dapat dijadikan salah satu
model integrasi organisasi petani antara Poktan dengan P3A yang cukup baik.

3.5.2. Faktor-faktor yang menyebabkan LEPLI tidak bisa berjalan


1) Tidak adanya sinergitas pembinaan petani. Dalam implementasi di daerah
irigasi, pembentukan dan pembianaan serta pemberdayaan petani/P3A tidak
mudah dijalankan karena Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian di
prov insi dan Kabupaten/Kota telah memiliki organisasi binaannya sendiri
yang disebut Poktan/Gapoktan, dengan batasan wilayah kerja yaitu
hamparan administrasi desa. Sedangkan Kementerian PUPR melakukan
pembentukan dan pemberdayaan P3A dengan batasan wilayah kerja jaringan
irigasi tersier. Kementerian Dalam Negeri melakukan pembinaan P3A melalui
pemerintah kabupaten/kota yang kemampuan anggaran pembiayaannya
sangat terbatas.

2) Adanya perbedaan penilaian antar K/L dimana LEPLI dinilai belum dapat
dijadikan sebagai acuan keberhasilan kelembagaan dalam
mengembangkan kelembagaan petani di perdesaan.

28
3) LEPLI masih berstatus pilot proyek, yang belum menjadi budaya di Dinas
Pertanian baik di prov insi maupun kabupaten.

4) Belum ada kajian dan perhitungan mendalam agar LEPLI dapat mandiri
dan diterapkan untuk sinergitas Poktan dan P3A.

5) Secara legal atau teknis, LEPLI belum dilengkapi dengan petunjuk teknis
dan petunjuk pelaksanaan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama dari
ke 3 (tiga) kementerian terkait.

3.6. Lesson Learnt Penguatan Kelembagaan Petani Menuju Pembentukan


Unit Bisnis Pertanian
Integrasi kegiatan Poktan dengan P3A diperlukan agar kelembagaan petani
menjadi lebih efektif, efisien, dan bermanfaat dalam pengembangan budidaya
pertanian di lahan pertanian beririgasi. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan
implementasi yang lebih praktis, yang secara jelas mengatur peran, tanggung
jawab, dan hak Poktan dan P3A agar mandiri serta berkontribusi dan
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pertanian dan pengelolaan
irigasi. Selain itu juga untuk mengurangi adanya risiko konflik yang mungkin
timbul di dalam masyarakat. Untuk menghindari konflik yang sering terjadi, perlu
penguatan kelembagaan dan kesadaran bersama bahwa lahan pertanian beririgasi
yang dikelola petani adalah milik bersama, sehingga perlu dikelola bersama
untuk kepentingan ekonomi dan sosial masyarakat/petani.

Dalam rangka penguatan kelembagaan petani menuju unit usaha bisnis pertanian,
terdapat beberapa istilah yang perlu pemahaman bersama agar konsep yang
diusulkan dapat konvergen, menuju satu kesepakatan. Untuk mensinergikan dan
mensinkronisasi kelembagaan petani Poktan dan P3A, perlu dibuat langkah-
langkah yang mencerminkan peningkatan intensitas sinkronisasi kelembagaan
tersebut, seperti integrasi, sinergi, sinkronisasi, konsolidasi, dst. Sesuai dengan
terminologi tersebut, berdasarkan KBBI, integrasi adalah pembauran hingga
menjadi kesatuan yang utuh atau bulat dan penggabungan aktiv itas, program,
atau komponen perangkat keras yang berbeda ke dalam satu unit fungsional.
Sinergi adalah kegiatan atau operasi gabungan dan sinergisme adalah kegiatan
yang tergabung, biasanya pengaruhnya lebih besar daripada jumlah total
pengaruh masing-masing. Sinkronisasi adalah penyerentakan dalam
melaksanakan tugasnya masing-masing, semua unsur departemen wajib

29
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan perihal meny inkronkan.
Konsolidasi adalah perbuatan untuk memperkuat (perhubungan, persatuan, dan
sebagainya) atau peleburan dua hal atau lebih menjadi satu.

3.6.1. Pembentukan Unit Bisnis Pertanian dan Korporasi Petani


Beberapa faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian di Indonesia
antara lain yaitu: 1) politik pengelolaan yang bersifat persuasif; 2) peningkatan
jumlah populasi; 3) adanya politik kepentingan antara pengusaha dengan
penguasa. Menurut Efendi Pasandaran (2019), pembangunan irigasi dan
pertanian di Indonesia berdasarkan pada : 1) adanya kebutuhan jaringan irigas i;
2) penyediaan edukasi bagi masyarakat; 3) pengembangan kebijakan
transmigrasi untuk mendukung pemerataan kesejahteraan petani.

Bisnis usahatani bidang pertanian di lahan beririgasi perlu dilakukan untuk


mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, meningkatkan kesejahteraan petani
padi, dan mengurangi kemiskinan di perdesaan. Unit bisnis pertanian yang
dilakukan dengan mensinergikan dan mensinkronisasikan
kelembagaan petani dilaksanakan untuk memperkuat kelembagaan dan
pemberdayaan petani, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani,
mengembangkan kapasitas produksi dan skala usaha anggota kelembagaan,
meningkatkan nilai jual produksi pertanian, dan memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya. Usulan konsep sinkronisasi kelembagaan Poktan dan P3A
dimaksudkan untuk menuju managemen usahatani bersama dalam bentuk
kelompok/komunitas/lembaga/korporasi petani yang mandiri dan
bekerlanjutan yang didukung dan terkoneksi dengan lingkungan digitalisasi.
Sehingga, petani tidak hanya berperan sebagai user, namun juga berhak
mendapatkan pelayanan dan mendapatkan insentif dalam melaksanakan
kegiatan usahatani agar dapat mengusahakan budidaya pertanian secara
berkelanjutan dan meningkatkan ekonomi dan nilai pertanian serta
meningkatkan nilai bergaining petani.

Unit bisnis pertanian yang sinergi membentuk korporasi petani. Bentuk serta
hubungan sinergi dan sinkronisasi kelembagaan petani ini dapat ditunjukkan
pada Gambar 5:

30
Gambar 5 Hubungan sinergi dan sinkronisasi kelembagaan petani (Kementerian Pertanian 2020)

Untuk mewujudkan perkembangan dan terbentuknya korporasi petani, terdapat


peran K/L di tingkat pusat untuk mendorong kelembagaan petani bersinergi
dengan pemerintah, mitra bisnis dan pihak terakit lainnya. Beberapa poin yang
dapat dilakukan oleh Kementerian Pertaninan sebagai pembina petani yaitu:
1) peny iapan identifikasi potensi sumberdaya pertanian secara terbatas ; 2)
pemantapan rencana aksi untuk aspek teknis, aspek sumberdaya m anusia dan
kelembagaan, serta aspek bisnis; dan 3) koordinasi internal kementan dan
eksternal. Sementara itu, Kementerian Koperasi dan UKM dapat
melaksanakan: 1) penyiapan pengembangan bisnis koperasi dan pengelola
koperasi; dan 2) pemantapan organisasi da n pengelolaan/manajemen koperasi
untuk peny iapan sumberdaya pengelola koperasi, tata kelola, dan sumber
pembiayaan. BUMN dapat mendukung dengan kegiatan: 1) penyusunan model
bisnis korporasi petani; 2) pencarian sumber pembiayaan korporasi petani
(investasi dan modal kerja); 3) pengembangan jejaring pemasaran dan
kemitraan; dan 4) peny iapan pengelola korporasi petani. Bappenas bersama
KemenkumHAM memberikan perizinan kelembagaan Korporasi Petani sebagai
agen pembangunan pertanian dan produksi pangan di lahan beririgasi.

3.6.2. Peran Stakeholder untuk Mendukung Keberhasilan Unit Bisnis


Pertanian
Secara struktur dan fungsi kelembagaan, managemen dan sumber daya antara
Poktan dan P3A berbeda. Sehingga, unit bisnis pertanian yang terintegrasi
31
dikembangkan untuk mengakomodir dan mensinkronisasi kedua sektor ini
melalui kegiatan pembinaan dan pendampingan. Hal ini dapat mendukung
efisiensi dan efektiv itas usaha pertanian yang perkelanjutan. Kementerian PU
bertanggung jawab dalam pembinaan aspek pengelolaan teknis irigasi.
Kementerian Pertanian bertanggung jawab dalam pembinaan aspek pengelolaan
teknis budidaya tanaman/pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri
bertanggung jawab dalam pengelolaan lembaga organisasi P3A.

Pelaksanaan sinkronisasi pertanian di lahan beririgasi pe rlu memperhatikan


kearifan lokal (budaya setempat) karena adanya keberagaman kondisi dan
budaya kelembagaan petani di masing-masing wilayah. Pendekatan melalui
kultural/budaya, tokoh agama dan tokoh adat termasuk kalangan milenial dan
pemerintah sangat penting diintervensi untuk memunculkan komitmen bersama
antar pihak. Sebagai contoh daerah yang menerapkan kearifan lokal adalah
sistem Subak di Bali dan perhatian sistem irigasi sebagai bagian dari budaya di
Prov insi DIY. Pemerintah secara keseluruhan dan lembaga terkait harus ikut
berpartisipasi dalam mendukung keberhasilan kelembagaan petani menuju
unit usaha bersama/bisnis pertanian. Lembaga pembina terkait pertanian
meliputi PPL, BPTP, POPT, dan PBT/BPSB akan tetap berjalan sebagaimana
tupoksinya seperti yang sudah dilakukan selama ini. Dukungan program
pemerintah dalam berbagai bentuk baik fungsi pendidikan, pelatihan maupun
fungsi ekonomi serta infrastruktur seperti irigasi, jalan, sarana produksi,
pelayanan sertifikasi benih, informasi iklim dan cuaca, teknologi informasi,
informasi kebutuhan pemasaran dan lain-lain juga sangat diperlukan.

3.6.3. Konsolidasi Managamen


Kepemilikan lahan petani yang sempit akan menyulitkan pelaksanaan mekanisasi
pertanian. Rendahnya motivasi petani dalam penggunaan benih unggul bermutu
dan pengelolaan usahatani akan menyebabkan usahatani menjadi tidak efisien.
Fragmentasi lahan yang sempit akan menyebabkan pola tanam tidak serempak
meskipun sudah diatur kalender tanam. Program pemerintah untuk
meningkatkan IP padi juga akan menyebabkan fase penanaman menjadi
sepanjang tahun. Hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap risiko hama
dan penyakit karena selalu ada inang atau sumber makanan bagi hama, dengan
kata lain bahwa inang atau sumber makanan hama tersedia sepanjang tahun
atau fase pertumbuhan tanaman di lapangan selalu ada. Oleh karena itu sangat
penting dilakukan konsolidasi sistem pertanian, baik konsolidasi lahan maupun

32
konsolidasi managemen agar usaha tani menjadi lebih efisien dan
menguntungkan serta mensejahterakan petani.

Konsolidasi manajemen usahatani merupakan upaya sejumah petani untuk


bergabung dan melakukan usaha bersama dalam satu kesatuan manajemen.
Poktan dan P3A yang pada prinsipnya sama dapat dikonsolidasikan melalui
managemen/pengelolaan tata air dan pertaniannya. Sehingga, pengelolaan air
dapat meningkatkan IP dan produksi pertanian. Untuk mensinergikan
kelembagaan petani, perlu diawali dengan sinkronisasi program/kegiatan dari
Kementerian PUPR sebagai Pembina P3A dengan Kementerian Pertanian sebagai
Pembina Poktan.

Sektor pertanian untuk mendukung ketahanan pangan, penyediaan bahan baku


industri, serta penyerap tenaga kerja daerah belum dapat dirasakan langsung
atau belum sejalan dengan tingkat kesejahteraan petani sebagai pelaku
utamanya. Hal ini dikarenakan petani belum menerapkan prinsip agribisnis dalam
usaha taninya. Konsolidasi managemen yang terpadu dari hulu ke hilir dilakukan
untuk menjamin usaha tani yang berkelanjutan, efisien, dan mengurangi
terjadinya konversi lahan. Masalah yang muncul akibat konversi lahan tidak
hanya menyebabkan produksi pangan turun, tetapi juga merupakan salah satu
bentuk kerugian investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi dan
budaya pertanian, yang berakibat semakin sempitnya luas garapan usahatani
serta turunnya kesejahteraan petani sehingga kegiatan usahatani yang dilakukan
petani tidak dapat menjamin tingkat kehidupan yang layak. Tantangan dan
upaya untuk menekan laju konversi lahan pertanian kedepan adalah dengan
melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian
tata ruang serta meningkatkan konsolidasi kelembagaan petani yang baik.

Konsolidasi managemen dalam usahatani yaitu dengan membentuk corporate


farming dalam satu unit managemen usahatani tanpa menghilangkan hak
kepemilikan setiap pemilik atas lahannya masing-masing. Sehingga efisiensi
usaha, standarisasi mutu, dan efektiv itas serta efisiensi manajemen pemanfaatan
sumber daya dapat dicapai (Dinas Pertanian, 2000 dalam Musthofa dan Kurnia,
2018). Tahapan pembentukan usahatani dalam satu managemen bersama di
satu unit desa tani (korporasi petani) dapat dilihat pada Gambar 6:

33
Gambar 6 Tahapan pembentukan usahatani korporasi petani (Jamhari 2020)

Upaya melakukan konsolidasi manajemen usahatani yang terdiri dar i kumpulan


petani sudah dicoba dibeberapa daerah irigasi dengan melibatkan beberapa
perguruan tinggi. Akan tetapi dalam implementasinya tidak mudah dilaksanakan
terutama keikutsertaan petani atau kepesertaan petani dalam satu hamparan
luasan areal sawah tertentu. Petani peserta umumnya masih meragukan dengan
pola konsolidasi manajemen tersebut. Ada dua hal yang sering membuat petani
ragu-ragu untuk ikut program kegiatan konsolidasi manajemen yaitu pertama,
petani mayoritas tidak mempunyai gambaran yang pasti selama pengusahaan
pertaniannya dikerjakan secara bersama/oleh pengelola off taker. Sedangkan
petani tidak melakukan kegiatan untuk semua aktiv itas usahatani pada lahan
petani sendiri. Kedua, petani merasa tidak mempunyai hitungan yang pasti
tentang keuntungan yang akan diperoleh di akhir musim tanam (panen).
Akibatnya petani pemilik lahan pertanian merasa lebih mempunyai kepastian
dalam memperoleh pendapatan hasil tanamnya dengan melakukan budidaya
sendiri. Namun, kendala pertama tersebut dapat diatasi dengan pengelolaan
persiapan secara baik dengan memperhatikan minat petani dalam pengeloalan
lahan usahatani tersebut. Sehingga, akan teridentifikasi petani yang ingin tetap
berusaha di bidang pertanian yang harus diakomodir oleh pihak pengelola.
34
Penerapan corporate farming di negara maju baik di Asia, Eropa maupun
Amarika dapat kita telaah sebagai bahan komparasi separate contoh best
practices konsolidasi petani adalah corporate farming dan community farming di
Jepang yang memiliki fungsi dan prinsip berbeda. Corporate farming merupakan
pelaksanaan kegiatan pertanian skala besar yang dimiliki atau dipengaruhi oleh
suatu perusahaan/korporasi besar. Corporate farming berbadan hukum seperti
PT/CV. Community farming merupakan komunitas nonprofit yang melaksanakan
kegiatan perencanaan dan managemen pengelolaan pertanian dengan prinsip
komunitas. Community farming mirip dengan kelembagaan petani yang ada di
Indonesia, yaitu petani yang tergabung dalam satu kelembagaan/komunitas
petani untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan produktiv itas
pertanian dengan tata air yang baik. Petani yang tergabung dalam
corporate/community farming dan koperasi petani di Jepang akan mendapat
insentif (meskipun kecil) dan fasilitas irigasi pertanian dari pemerintah.

3.6.4. Konsolidasi Lahan


Di lapangan, sebagian besar anggota Poktan dan P3A sama dengan lingkungan
alam dan sosial ekonomi yang juga sama. Permasalahan utama yang terjadi
adalah luas lahan yang menurun, kepemilikan lahan oleh petani yang semakin
yang sempit, dan fragmentasi lahan, dimana lahan pertanian tidak berada
dalam satu penguasaan luasan lahan yang utuh. Selain masalah luas lahan yang
menurun, masalah lain yang terkait dengan lahan yaitu kepemilikan lahan oleh
petani yang semakin sempit. Berdasarkan hasil Survei Pertanian Antar Sensus
(SUTAS 2018), luas lahan pertanian yang dimiliki oleh satu rumah tangga usaha
pertanian kurang dari 0,5 hektar sebanyak 15,89 juta rumah tangga atau
sebesar 59,07% dari total rumah tangga petani. Jumlah ini meningkat dari 14,62
juta rumah tangga pada tahun 2013 menjadi 15,89 juta rumah tangga pada
tahun 2018. Kondisi kepemilikan lahan ini disebabkan beberapa hal, yaitu 1)
meningkatnya konversi lahan pertanian untuk keperluan pemukiman dan fasilitas
umum; 2) terjadinya fragmentasi lahan karena proses pembagian pewarisan
keluarga; dan 3) terjadinya penjualan tanah sawah. Luas lahan pertanian yang
dikuasai rumah tangga usaha tani dapat ditunjukkan pada Gambar 7:

35
Gambar 7 Luas lahan petani Indonesia (Sutas 2018)

Berdasarkan pada kondisi tersebut, perlu adanya konsolidasi lahan agar


pelaksanaan mekanisasi dan pengambangan pertanian dapat sinergi. Bebera hal
yang menyebabkan fragmentasi yaitu adanya budaya dan sistem warisan, jual-
beli lahan, dan pembangunan infrastruktur. Dengan mengkonsolidasikan lahan
yang berkaitan dengan hamparan, akan mempermudah Poktan bersinergi
dengan P3A yang wilayahnya berdasarkan hamparan melalui pembentukan
corporate farming. Permasalahan mahalnya biaya perawatan lahan dan
transportasi antar lahan serta sosial sesama petani pun dapat dihindari.

Keuntunngan pelaksanaan konsolidasi lahan yaitu untuk: 1) mengurangi


fragmentasi lahan; 2) efisiensi ekonomi; 3) mempermudah mekanisasi dengan
menggunakan alsintan yang relatif berukuran besar dan penggunaannya yang
relatif masih terbatas. Penggunaan mekanisasi dapat menarik minat generasi
milenial yang memiliki persepsi bahwa pekerjaan pertanian dan irigasi
merupakan pekerjaan berat, sehingga dengan mekanisasi maka kegiatan
budidaya pertanian menjadi lebih ringan. Selain itu juga menarik keterlibatan
perempuan dalam pelaksanaan usahatani di lahan beririgasi.

Konsolidasi lahan merupakan salah satu faktor yang akan memudahkan dalam
menjalankan kegiatan usahatani di lahan irigasi pertanian. Dengan terjad inya
konsolidasi lahan akan memudahkan dalam menentukan pilihan jenis komoditas
apa yang akan dibudidayakan. Juga akan memudahkan dalam menentukan
pemberian air irigasi untuk pengolahan lahan pertanian, karena hamparan lahan
yang ada berada dalam satu penguasaan manajemen usahatani. Begitu juga
dalam penyediaan sarana produksi tanaman, akan jauh lebih efisien jika petani
pemilik lahan yang melakukan pembelian saprotan secara mandiri atau sendiri-
sendiri. Dalam menerapkan mekanisasi pertanian dengan alat-alat mesin
36
pertanian modern, tentu akan lebih mudah jika lahan budidaya pertanian telah
terkonsolidasi menjadi satu hamparan yang dapat dikelola bersama.

Akan tetapi dalam implementasinya, konsolidasi lahan mengalami banyak


kendala pada pelaksanaan satu pola manajemen pengusahaan pertanian.
Beberapa tantangan yang masih menjadi kendala utama yaitu 1) faktor kejelasan
kegiatan yang dilakukan oleh pemilik lahan ketika lahan pertaniannya tidak
dikelola langsung oleh dirinya, tetapi dikelola oleh pengelola lainnya; 2) belum
jelasnya konsep pembagian keuntungan setelah kegiatan budidaya tanaman
yang terkonsolidasi berakhir. Apakah hanya berdasarkan luas lahan yang dimiliki
oleh peserta kegiatan konsolidasi lahan atau terdapat variabel lainnya yang
sangat menentukan produksi hasil kegiatan usahatani di lahan konsolidasi ini; 3)
pola pengaturan hak dan kewajiban antara para pemilik lahan dengan
pengusaha pengelola lahan konsolidatif, yang belum dapat memberi kepuasan
kepada para pemilik lahan; dan 4) faktor budaya petani kita dalam memandang
status kepemilikan lahan pada umumnya beranggapan bahwa keberadaan lahan
yang dikuasai perlu dikelola sendiri sebagai simbol status sosial terhadap
lingkungan sosial dimana petani berada. Petani merasa dihargai dan mempunyai
kebanggaan jika menguasai lahan yang diusahakan sendiri. Faktor-faktor
tersebutlah yang masih menjadi penghambat program pemerintah untuk
melaksanakan kegiatan konsolidasi lahan untuk usahatani hingga saat ini.

Dengan adanya penetapan UU No. 17 Tahun 2019 yang baru diterbitkan, perlu
diperhatikan implikasi terkait kewenangan dan pemberdayaan petani, dimana
jaringan irigasi primer sampai dengan jaringan irigasi tersier pengelolaannya
menjadi kewenangan oleh pemerintah dan kewenangan daerah irigasi tidak lagi
diatur dalam undang-undang tersebut, sehingga petani tidak memiliki
kewenangan lagi. Peraturan tersebut akan berimplikas i terhadap tingkat
partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi yang akan semakin menurun. Untuk
mengatasi kekhawatiran kondisi tersebut yang mungkin terjadi, maka salah satu
alternatifnya yaitu dalam proses menyusun RPP tentang Irigasi, terutama terkait
dengan kewenangan kegiatan OP jaringan irigasi yang dilakukan petani,
disarankan agar petani tetap diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan irigasi, sehingga diharapkan petani akan tetap memiliki rasa
memiliki terhadap pengelolaan jaringan irigasi.

37
3.6.5. Konsolidasi Lahan dan Managemen untuk DI kewenangan
Daerah
Salah satu usaha untuk meningkatkan produktiv itas pertanian di lahan beririgasi
di Indonesia yaitu dengan menerapkan pendekatan konsolidasi lahan dan
konsolidasi managemen usahatani. Pendekatan konsolidasi lahan dan
managemen diperlukan mengingat bahwa luas kepemilikan lahan petani di Pulau
Jawa pada umumnya kecil dan sempit. Sehingga, ada kecenderungan petani
untuk melakukan budidaya pertanian secara indiv idual dan tidak terkonsolidasi,
sebagai satu kesatuan kegiatan usahatani secara bersama-sama. Misalnya,
dalam tahap menanam tanaman padi akan berbeda dan beragam karena faktor
lokasi dan kepemilikan lahan yang terpisah. Hal ini akan menyebabkan
perbedaan masa tanam dan tidak sesuai dengan jadwal tanam yang mungkin
sudah direncanakan. Faktor kepemilikan lahan yang terfragmentasi juga
mengakibatkan petani membeli sarana produksi seperti benih, pupuk, dan
pestisida secara terpisah, dengan satuan jumlah yang terbatas. Akibatnya harga
satuan saprotan menjadi lebih mahal. Begitu juga dalam hal penggunaan alat-
mesin pertanian (alsintan), jika lahan pertanian belum terkonsolidasi maka
penggunaan alsintan tersebut menjadi kurang efisien dan efektif dan sulit
dilakukan apabila lahan pertanian sempit, dibanding jika penguasaan lahan
sudah tergabung dan terkonsolidasi menjadi satu hamparan yang mudah dikelola
dengan alat mekanisasi pertanian.

Untuk daerah irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, pihak


pemerintah aerah sudah saatnya berupaya untuk meningkatkan produktiv itas
budidaya pertanian dengan pendekatan konsolidasi lahan terhadap petani dalam
satu kawasan daerah irigasi perlu diupayakan. Konsolidasi lahan dan managamen
sebagai salah satu usaha untuk menyatukan potensi petani yang ada di wilayah
tersebut. Termasuk untuk mengkonsolidasikan ke beradaan Poktan/Gapoktan
dan P3A/GP3A yang merupakan organisasi petani yang mempunyai bidang
kegiatan usahatani di daerah irigasi. Jika pihak Pemerintah Daerah mempunyai
pendekatan yang konsolidatif pada dua oranisasi petani yang sama-sama
mempunyai kegiatan untuk usahatani. Kondisi tersebut merupakan potensi yang
sangat menarik jika dua organisasi yaitu Poktan dan P3A.

Salah satu upaya yang mungkin perlu dipersiapkan bagi pemerintahan daerah
yaitu menyusun Regulasi atau Peraturan Daerah tentang Konsolidasi manajemen
usahatani dan lahan pertanian. Dalam regulasi tersebut yang penting untuk
diatur yaitu 1) adanya aturan tentang adanya pemberian “insentif” bagi petani

38
pemilik lahan yang mau mengikuti program konsolidasi manajemen usahatani
dan konsolidasi lahan dalam satu wailayah daerah irigasi tertentu; 2) pengaturan
tentang hak dan kewajiban bagi petani pemilik lahan yang mengikuti kegiatan
konsolidasi; 3) batasan waktu kegiatan yang akan dilaksanakan; dan 4) aturan
lainnya yang perlu diatur untuk menstimulasi petani agar tertarik berkonsolidasi.

Dari uraian tentang konsolidasi manajemen dan konsolidasi lahan di atas


tampaknya kejadian tersebut mirip terjadi pada era penerapan program Tebu
Rakyat Intensifikasi (TRI) pada tahun 1980-an di Prov insi Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Program TRI pada waktu itu secara managerial usahatani yang
dilakukan oleh PT Perkebunan Negara (PTPN) c.q Adminstrator pabrik gula
melakukan konsolidasi manajemen usahatani dan konsolidasi lahan. PTPN
melakukan kontrak kerja sama dengan petani pemilik lahan dalam suatu blok
hamparan lahan sawah dalam waktu tertentu, untuk dike lola oleh PTPN untuk
budidaya tanaman tebu. Dalam pelaksanaan budidaya tanaman, petani
mendapatkan kredit tertentu untuk biaya budidaya dan petani juga bertanggung
jawab dalam kegiatan budidaya tanaman tebu tersebut. Jadi, petani pemilik
lahan tetap beraktiv itas di lahan masing-masing. PTPN bertanggung jawab untuk
melakukan pembinaan budidaya tanaman tebu, menentukan waktu panen tebu,
dan menyediakan pabrik gula untuk memproses hasil panen tebu menjadi produk
gula. Kemudian pembagian hasilnya ditentukan berdasarkan rendemen dari
tanaman tebu masing-masing petani, dan dibagi sesuai kesepakatan presentase
hasil yang sudah disepakati di awal perjanjian kerja sama dengan PTPN. Sistem
penggunaan/pemanfaatan lahan petani kepada PTPN ini sering disebut dengan
sistem GLEBAGAN.

Pada pelaksanaan program TRI, beberapa hal yang membuat petani yang ikut
dalam program TRI kurang puas yaitu: 1) sistem pembinaan budidaya tebu oleh
pabrik gula dirasakan petani kurang intensif; 2) sistem penentuan jadwal panen
antar petani kurang jelas, sehingga petani merasa ketika seharusnya tebu masuk
masa panen tetapi belum dipanen, padahal keterlambatan waktu panen akan
menurunkan rendemen tebu; 3) sistem penentuan rendemen dirasa tidak
transparan, sehingga ada rasa kurang adil; dan 4) penentuan harga gula dari
PTPN sering kali hanya menghasilkan keuntungan yang kecil, akibatnya
keuntungan yang di terima petani peserta hanya terbatas untuk biaya produksi
saja. Kejadian tersebut tentunya dapat dijadikan pelajaran ( lesson learnt) bagi
pihak pengelola yang akan melakukan upaya konsolidasi manajemen dan lahan,
bahwa dalam melaksanakan program konsolidasi sangat perlu memperhatikan

39
transparansi pengelolaan dan kejelasan tentang pembagian tugas antara petani
pemilik lahan dengan pengelola lahan terkonsolidasi (korporasi).

Perkembangan korporasi petani tahun 2020 tersebar di beberapa lokasi, yaitu


Kabupaten Demak, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten
Subang. Pengembangan korporasi petani ini sudah dimasukkan kedalam Major
Project Koprorasi Petani Kementerian Pertanian. Komoditas korporasi
petani ini tidak terbatas pada padi, namun juga tanaman hortikultura, kopi,
dan ternak sapi potong. Perkembangan masing-masing korporasi yang
berkembang di daerah dapat ditunjukkan pada Tabel 5:

Tabel 5 Perkembangan korporasi petani di daerah (Kementerian Pertanian 2020)

Rencana Tindak
No Korporasi Perkembangan Permasalahan
Lanjut
1 Padi, Kab. a. On going konsolidasi a. Belum semua a. Pembentukan
Demak petani anggota resmi koperasi provinsi
b. Koperasi menjadi anggota b. Mendorong
dicanangkan sebagai koperasi konsolidasi petani
koperasi provinsi b. Modal kerja dan c. Koordinasi bersama
c. Telah dilakukan investasi terbatas Kementan,
pelatihan c. Sarana prasarana Kemenkop UKM, BRI
manajemen koperasi pendukung masih dan Agritera
d. Pembiayaan petani kurang d. Mendorong KUR
melalui KUR Petani
e. Proses penyusunan e. Model bisnis yang
model bisnis disusun oleh Agritera
(Agritera dan BRI) akan dikoordinasikan
f. Proses observasi dengan BRI selaku
dan pendaftaran PIC
varietas lokal
2 Padi, Kab. a. Memasok kebutuhan a. Belum dipersiapkan a. Konsolidasi petani
Indramayu 9 mitra usaha (beras dan dibuat model b. Koordinasi dengan
merah dan putih) bisnis korporasi petani PT Telkom
b. Telah dibuat b. PT Telkom belum c. Penguatan
Rencana Aksi memposisikan sebagai kelembagaan dan
c. Pembiayaan dari PIC manajemen koperasi
KUR via Sinar Mas c. Koperasi belum d. Menggali sumber
d. Tambahan bankable pembiayaan
pendapatan dari resi d. Kualitas produk belum e. Perluasan gudang
gudang dan fee optimal f. Updating rencana
penggilingan e. Sumber pembiayaan aksi
terbatas

40
Rencana Tindak
No Korporasi Perkembangan Permasalahan
Lanjut
3 Hortikultura, a. Bisnis sudah a. Modal kerja dan a. Koordinasi antara
Kab. berkembang investasi terbatas PIHC, Koperasi serta
Bandung b. PIHC sebagai PIC b. Standar dan kualitas para stakeholder
sedang dalam belum optimal terkait penajaman
proses menyusun c. Sarana prasarana model bisnis
model bisnis pendukung masih b. Menggali sumber
c. PIHC akan kurang pembiayaan dari
berkoordinasi perbankan
dengan BRI untuk
pembiayaan
koperasi
4 Kopi, Kab. a. Telah disusun a. Setiap koperasi a. Sosialisasi model
Bandung rancangan model memiliki kapasitas bisnis
bisnis Konsolidasi 7 finansial yang berbeda b. Telaahan kapasitas
koperasiPengembang b. Lahan kopi banyak produksi
an luas lahan berada di wilayah DAS c. Penyederhaan rantai
produksi (milik perhutani atau pasok
b. Jumlah pekebun kopi KLHK)
semakin bertambah d. Pelatihan teknis dan
c. Rantai pemasaran manajemen
yang panjang
e. Menggali sumber
d. Kapasitas pekebun pembiayaan untuk
masih kurang modal kerja dan
e. Kualitas kopi belum investasi
optimal
f. Sarana dan prasarana
belum memadai untuk
GAP, GHP maupun
GMP
5 Sapi potong, a. Usulan pemanfaatan a. Belum adanya respon a. Bedah koperasi
Kab. Subang lahan eks PT. RNI dari PT. RNI b. Konsolidasi petani
seluas 50 ha untuk b. Aset di miliki oleh dan usaha dengan
pengembangan kelompok ternak membentuk cluster
Peternakan modern.
c. Pengelolaan koperasi c. Pembenahan
b. Memperkuat Unit- belum profesional pengelolaan
unit usaha yang koperasi
d. Unit usaha masih
eksisting
berskala kecil. d. Pengembangan
kemitraan usaha
e. Pngembangan
jaringan pasar
f. Membuka akses
pembiayaan

41
Kegiatan konsolidasi kelembagaan Poktan dan P3A dinilai perlu dibantu dan
dipermudah dengan adanya akses terhadap sumber pendanaan dan pembiayaan
serta kredit (model perbankan) untuk melaksanakan usahatani di lahan
beririgasi. Berdasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas
2016), hanya sekitar 15% dari sekitar 8.000 sampel petani yang sudah
mengakses kredit bank, sedangkan mayoritas sebesar 52% petani masih
mengandalkan modal sendiri, koperasi, kerabat, dan lembaga keuangan non-
Bank lainnya. Sementara itu, 33% petani lainnya mengandalkan kredit Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan kredit usaha rakyat (KUR).

Meskipun skema pembiayaan usaha pertanian telah tersedia, namun kondisi


petani masih dihadapkan pada kecilnya skala penguasaan dan pengusahaan
lahan petani yang mengakibatkan terbatasnya kemampuan petani untuk
menambah permodalan melalui lembaga pembiayaan dan investasi. Pemerintah
telah memberi berbagai fasilitas pembiayaan untuk memudahkan petani untuk
mengakses permodalan dalam menjalankan usaha taninya. Namun, dalam
implementasinya petani masih kesulitan untuk mendapatkan bantuan modal
sehingga hasilnya belum sesuai dengan yang ditargetkan. Hal ini terlihat dari
masih rendahnya realisasi penyaluran KUR untuk sektor pertanian yang dapat
ditunjukkan pada Gambar 8 (realisasi tahun 2016-2019):

Gambar 8 Penyaluran KUR sektor pertanian

Ketidakmampuan petani untuk mengakses sumber pemodalan formal diakibatkan


oleh tidak mudahnya prosedur pengajuan kredit dan tidak adanya agunan yang
dipersyaratkan. Tantangan kedepan adalah upaya kelembagaan petani untuk
dapat berkolaborasi dengan lembaga pembiayaan agar berpihak dan mau
42
menyalurkan modalnya pada sektor pertanian. Konsolidasi managemen dan
lahan Poktan dan P3A diharapkan dapat menjadi jawaban dari permasalahan ini.

3.6.6. Peran Perguruan Tinggi dalam Pengembangan Konsolidasi


Managemen dan Lahan
Perguruan Tinggi dalam konsolidasi managemen dan lahan berperan untuk
mempersiapkan tenaga pendamping yang tergabung dalam satu tim
pendamping yang terdiri dari pakar dengan berbagai keahlian. Perguruan Tinggi
setempat diharapkan bersinergi dan dapat mengambil peran yang semakin tinggi
dengan berjalannya waktu. Tim pendamping bertugas melakukan superv isi,
bimbingan, dan pendampingan, baik aspek teknis maupun non-teknis. Program
pendampingan disusun dalam suatu kurikulum dan disepakati bersama.
Kelembagaan Poktan dan P3A dapat disinkronkan dengan pendekatan partisipasi
petani dan menggunakan konsep konsolidasi managemen dan lahan. Konsep ini
bertujuan untuk membentuk kelompok petani yang terintegrasi dalam satu
hamparan lahan atau satu unit desa tani dengan skala usaha yang lebih
luas/besar agar tercipta petani yang mandiri, berdaya saing, dan
berkesinambungan melalui pengelolaan lahan secara korporasi.

Pendekatan dalam pengembangan kelembagaan adalah melalui pembangunan


pedesaan berbasis agribisnis dengan memanfaatkan peluang sumberdaya
dan kelembagaan masyarakat secara optimal (Setiawan, 2008 dalam Musthofa
dan Kurnia, 2018). Korporasi petani ( corporate farming) memiliki ciri, yaitu:

1) Pengelolaan lahan dipercayakan pada lembaga agribisnis dengan suatu


perjanjian kerjasama ekonomi tertentu, dimana petani bertindak sebagai
pemegang saham sesuai dengan luas lahan kepemilikannya

2) Pembentukan dilakukan melalui musyawarah/mufakat antar para anggotanya


dengan memperhatikan sosial dan budaya setempat

3) Pemimpin merupakan manajer profesional, yang dipilih oleh petani serta


dikelola secara transparan dan demokratis sesuai dengan prinsip b isnis
komersial

4) Potensi dan kapasitas pengembangan agroindustri dan pemasaran


disesuaikan dengan kondisi dan kapasitas serta ketersediaan teknologi untuk
meningkatkan efisiensi dan kemampuan teknis pengelolaan dalam satu
manajemen

43
5) Cakupan kegiatan berdasarkan pada komoditas unggulan di wilayahnya
dengan memeperhatikan peluang pengembangan serta diversifikasi

Sinergi kelompok tani di Indonesia dapat menerapkan pembentukan corporate


farming skala kecil untuk memperluas hamparan petani agar sinkronisasi
yang dilakukan lebih mudah. Sinergi kelembagaan yang terkait dengan
managemen dan pengelolaan lahan akan mempengaruhi produktiv itas dan
meningkatkan pendapatan petani dan skala usahatani. Peningkatkan
kesejahteraan dan kemampuan daya beli petani dapat dilihat dari: 1)
peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kerja pertanian; 2) peluang dan
diversifikasi pasar yang dapat dijangkau petani; 3) peningkatan nilai tambah dan
daya saing petani melalui industrialisasi pertanian on -farm dan investasi dalam
mekanisasi pertanian; 4) kelembagaan petani yang berdaya sehingga memiliki
posisi tawar dalam menyusun kebijakan; 5) peningkatan pendidikan petani
(SDM); 6) kesempatan akses petani ke lembaga keuangan.

Beberapa pembelajaran ( lesson learnt) diambil dari pengalaman yang sudah


dilakukan oleh Perguruan Tinggi yaitu: 1) konsolidasi managemen KEP oleh IPB
di Kabupaten Purbalinggga, Jawa Tengah; 2) konsolidasi lahan (korporasi petani)
dan penerapan desa apps oleh UGM di Kabupaten Bantul, DIY. Gambaran
konsolidasi lahan dan managemen tersebut dijelaskan sebagai berikut.

3.6.6.1. Komunitas Estate Padi (KEP) di Kabupaten Purbalingga, Jawa


Tengah
Konsolidasi manajemen menjadi alternatif yang dipilih oleh IPB untuk
mengembangkan usahatani melalui “Komunitas Estate Padi” (KEP).
Sejumah petani bergabung untuk melakukan usaha bersama dalam satu
kesatuan manajemen. Usaha yang dilakukan dari hulu hingga ke hilir. Dalam
model konsolidasi manajemen hulu hilir ini akan muncul usaha -usaha baru
sehingga petani yang tergabung dapat membagi peran dan tugas untuk
melakukan usaha produksi benih, produksi gabah, usaha pasca panen,
pengolahan, bengkel, gudang, dan seterusnya. Selain dapat memunculkan
lapangan kerja baru, juga dapat memberikan nilai tambah dan keuntungan
bagi petani dari kegiatan hulu hilir tersebut.

Sejak Tahun 2018, LPPM IPB bekerja sama dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Karawang, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara. Sementara

44
itu pengambangan KEP di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan dan Kabupaten
Banyuasin Sumatera Selatan sedang dalam proses sosialisasi dan rintisan.
Kegiatan KEP di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dilaksanakan oleh Dinas
Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (Dinpertan) serta Badan Perencanaan
dan Penelitian Pengembangan Pembangunan Daerah (Bapelitbangda),
menginisiasi kegiatan pengembangan riset dan penguatan kelembagaan
petani dalam bentuk KEP di Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja. KEP
merupakan kelembagaan petani atau satu wadah yang sesuai dengan
harapan dan kesepakatan petani setempat untuk membentuk bisnis kolektif
dengan membangun kelembagaan petani ( capacity building) yang
melibatkan Poktan/Gapoktan, P3A/GP3A, Usaha Pelayanan Jasa Alsintan
(UPJA), Program Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP), dan Pemuda Tani
setempat.

KEP dibentuk oleh petani berskala kecil dalam suatu hamparan dengan
memegang prinsip sinergi, konsolidasi managemen, kebersamaan, dan
berkelanjutan. Satu unit KEP yang dibentuk sebesar 101 hektar (100 ha
untuk produksi konsumsi dan satu ha produksi benih). Jika KEP akan
dikembangkan di luar Pulau Jawa, satu unit KEP dilaksanakan pada luasan
lahan 303 hektar (300 ha produksi konsumsi dan tiga ha produksi benih) area l
sawah. Seluruh petani yang tergabung tetap bekerja di lahan milik masing-
masing seperti yang dilakukan selama ini. Lahan yang diusahakan tersebut
dapat berupa lahan milik sendiri ataupun lahan sewa dan berada pada satu
hamparan.

Sinergi antar pihak menjadi sangat penting dilaksanakan untuk mendukung


keberhasilan pelaksanaan KEP di daerah. Struktur hubungan antara
pemerintah, akademisi (perguruan tinggi), dan swasta dalam rangka mencapai
sinergitas dapat dilihat pada Gambar 9:

45
Gambar 9 Struktur hubungan dalam pengembangan KEP (LPPM IPB 2018)

KEP-IPB bertujuan untuk memberi ilmu pengetahuan ( knowledge transfer )


melalui kegiatan pendampingan kepada petani berskala kecil tentang aspek
teknis maupun non teknis usahatani padi sawah, untuk menuju satu
manajemen berbentuk perusahaan kolektif berbadan hukum. Dalam
pelaksanaannya di Desa Bukateja, Purbalingga, KEP mengalami beberapa
kendala organisasi sehingga kurang berkembang. Pada awal Tahun 2018,
pendampingan dilakukan bersama antara LPPM IPB dan LPPM UGM, namun
pada Tahun 2019 hanya IPB yang terlibat. Dari hasil evaluasi kegiatan yang
telah dilakukan oleh IPB, untuk mengembangkan satu kesatuan unit KEP
memerlukan waktu yang lama dan pendampingan intensif karena adanya
faktor budaya petani yang sudah melekat dan sulit untuk diubah. Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, pada tahun 2020 akan dilakukan
reorganisasi kelembagaan dengan melibatkan lebih banyak petani muda
milenial dan perguruan tinggi setempat, yaitu Universitas Soedirman untuk
melakukan pendampingan intensif sebagai tenaga pendamping di lapangan.

Belajar dari pendampingan KEP tersebut, pada tahun 2020 akan


dikembangkan di Desa Penolih, Kecamatan Kalogondang Purbalingga,
berdasarkan pada potensi dan kebutuhan petani, yaitu pertanian organik.
Poktan Organik tersebut sudah pernah mendapatkan sertifikasi organik dar i

46
LSO pada tahun 2018 dan sudah menerapkan prinsip komunitas. Sehingga,
KEP diharapkan lebih mudah berkembang.

Struktur manajemen KEP dirancang secara sangat sederhana untuk


memberikan kekuasaan penuh kepada petani yang diwakili oleh Forum
Perwakilan Petani Pemilik dan Penggarap Lahan (FP4L). Ketua KEP pun
disepakati bersama antara ketua kelembagaan petani yang terlibat. Sumber
Daya Manusia KEP (FP4L dan manajer) juga perlu terus ditingkatkan
sebagaimana perusahaan profesional. Perusahaan kolektif ini berbadan
hukum dalam bentuk Koperasi/PT yang sahamnya dimiliki seluruh petan i
peserta KEP secara proporsional. Semua petani diharapkan mampu mengelola
usahatani padi berdasarkan Standard Operasional Procedure (SOP) dan
menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM). Struktur organisasi KEP dapat
ditunjukkan pada Gambar 10:

Gambar 10 Struktur organisasi KEP (LPPM IPB 2018)

KEP pada awalnya mengembangkan usaha beras, kemudian dapat


mengembangkan usaha lain seperti produksi benih, penyediaan sarana
produksi, usaha pupuk organik, usaha jasa bengkel alat dan mekanisasi
pertanian, UPJA, dan usaha sampingan lainnya. Perkembangan jenis usaha
yang beragam tersebut akan memerlukan kehandalan managemen yang
terus meningkat. Pendampingan pakar diperlukan untuk mendukung
perkembangan dan capacity building KEP yang semakin membesar, biasanya
minimal dilakukan selama tiga tahun. Kegiatan pendampingan yang diberikan
meliputi: 1) sosialisasi KEP; 2) paparan konsep KEP kepada public; 3) diskusi
dengan tokoh petani; 4) pendampingan pembentukan FP4L; dan 5)
pendampingan penentuan manager.

47
Untuk kelancaran dan berjalannya managemen, KEP bekerja sama dengan
lembaga lain yang diperlukan dengan hubungan inter-relasi. Lembaga lain
yang terkait yaitu: 1) pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga dan
dinas/lembaga lainnya yang relevan; 2) Perguruan Tinggi IPB, UGM, dan
Unsoed; 3) Bank melalui fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR); 4) Rice Mill Unit
(RMU)/Centralize Rice Process Complex (CRPC) terdekat; dan 5) Pasar.
Hubungan inter-relasi ini dapat ditunjukkan pada Gambar 11:

Gambar 11 Hubungan inter-relasi dalam KEP (LPPM IPB 2018)

Berdasarkan pada Gambar tersebut, dapat dipahami bahwa di dalam unit


usaha dan pengelolaan ( management) kelembagaan petani, peran RMU/CRPC
sangat signifikan untuk melakukan kerjasama bisnis menuju pasar sebaga i
penjamin mutu hasil pertanian (beras) yang dilanjutkan dengan pemasaran
hasil panen pertanian.

3.6.6.2. Konsolidasi Managemen dan Lahan di Kabupaten Bantul, DIY


Lembaga petani Poktan/P3A, termasuk koperasi pertanian, dipandang sebagai
salah satu akselerator sektor pertanian. Namun, untuk memaksimalkan peran
lembaga petani masih sulit dilakukan karena partisipasi anggota rendah,
banyaknya fragmentasi kelembagaan petani, dan involusi kelembagaan petani
yang semula merupakan koperasi berbasis wilayah unit desa (600 sampai
dengan 1.000 hektar) menjadi Gapoktan dan sejenisnya. Penguatan
kelembagaan petani dengan cara konsolidasi kelembagaan tani melalui corporate
farming yang berada di dalam satu wilayah unit desa dilakukan untuk
48
meningkatkan efisiensi dan efektiv itas usaha pertanian. Corporate farming
dilakukan dengan mengembangkan komoditas berbasis lokal dan
berorientasi dalam negeri, sehingga dapat meningkatkan akselarasi
pertumbuhan sektor pertanian dan meningkatkan nilai tambah yang akan
diperoleh petani, terutama di masa Pandemi Covid-19.

Konsolidasi managemen dan lahan yang dilaksanakan di Kabupaten Bantul pada


tahun 2017 dilakukan dengan menggabungkan lahan pertanian milik para petani
untuk ditanami secara bersamaan melalui corporate farming. Kegiatan ini
diinisiasi oleh Fakultas Pertanian UGM yang berkerja sama dengan Bank
Indonesia dan Dinas Pertanian Pangan, Kelautan, dan Perikanan (Diperpautkan)
Kabupaten Bantul. Kegiatan ini dilakukan sebagai pilot di Blawong Jetis Desa
Trimulyo, Bantul dengan lahan seluas 6.5 hektar.

Konsolidasi lahan dilaksanakan dimulai dengan menggabungkan lima sampai


enam petak sawah menjadi satu untuk ditanami varietas padi sama serta
perlakukan sama, setelah pembatas petak dihilangkan agar lebih mudah
pengelolaannya. Upaya ini dilakukan untuk membantu dan mempermudah petani
yang memiliki lahan sempit kurang dari 1 (satu) hektar. Bentuk konsolidasi lahan
yang dilakukan dapat ditunjukkan pada Gambar 12:

Gambar 12 Sinergi kelembagaan dan konsolidasi lahan


49
Konsolidasi lahan tidak mudah dilaksanakan karena dapat menimbulkan
konflik, terutama dalam aspek ekonomi, meskipun secara sosial petani
sangat rukun. Penggabungan lahan yang memiliki karakteristik berbeda
(waterlogging) dapat menjadi sumber konflik jika hasil panen tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Pengurangan batas-batas petak sawah petani
sangat membutuhkan kepercayaan petani karena akan sulit jika petani masih
ragu ragu mengenai hasil panen yang lebih baik jika dikerjakan oleh orang
lain. Di sisi lain, konsolidasi lahan akan mengefisienkan penggunaan alsintan
dan mempermudah mekanisasi. Pelaksanaan ini membutuhkan kepercayaan
petani dan harus memperhatikan sosial budaya (budaya) setempat. Budaya
petani setempat perlu dijaga dan dipertahankan sebagai nilai tambah dan
nilai jual tersendiri bagi kelembagaan petani di daerah.

Perlu adanya pembelajaran dan studi risiko permasalahan/konflik setelah


konsolidasi lahan dilaksanakan serta managemen risiko dan kepatuhan
terhadap pelaksanaan. Selain itu, perlu studi bagaimana kondisi saat ini
terkait hubungan pemerintah (terutama daerah) dan petani, agar dapat
mengetahui sinergi kelembagaan antara pemerintah dan petani di lapangan.
Pada pelaksanaannya, konsolidasi lahan ini per lu memperhatikan pendekatan
sosial dan pendekatan ekonomi petani. Untuk menghindari konflik yang
mungkin muncul, dapat dilakukan sertifikasi lahan milik petani yang
tergabung dalam konsolidasi lahan dan komunikasi yang bagus untuk
berkoordinasi dalam penge lolaan irigasi dan lahan.

Selama ini, jumlah produksi petani sedikit, sehingga mengalami kesulitan


dalam memperoleh pasar dan harga jual yang lebih baik. Dengan adanya
corporate farming, kuantitas panen menjadi lebih banyak dan petani lebih
mudah melakukan pemasaran. Corporate farming memiliki keunggulan
dimana biaya dalam pengolahan tanah, pemakaian traktor, dan proses
pemanenan dengan alsintan menjadi lebih hemat, termasuk pengairannya
menjadi lebih hemat air. Corporate farming akan jauh lebih baik apabila
petani yang tidak mendapat bagian mengurus lahan dapat mengolah hasil
pertanian menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi untuk dipasarkan.
Konsolidasi lahan harus meningkatkan manfaat dan value of money bagi
petani agar tertarik tergabung dalam pelaksanaan konsolidasi dan korporasi.

Selain corporate farming, kelembagaan petani diharapkan dapat membentuk


koperasi pertanian/koperasi semacam koperasi unit desa (KUD) yang sukses
pada era orde baru dengan beranggotakan Gapoktan/GP3A. Kelembagaan
50
petani dapat berdaya dan berkembang sejalan dengan perkembangan
teknologi yang berkembang melalui digitalisasi pertanian untuk
mempermudah petani dalam pengembangan dan perluasan usahatani,
pasar, dan fintech. Salah satu bentuk digitalisasi yang sudah dikembangkan
dalam konsolidasi managemen dan lahan ini yaitu penyuluhan pertanian
digital melalui aplikasi “Desa Apps” yang dapat diakses melalui smartphone
untuk membantu petani dalam proses penanaman, perawatan, panen,
hingga penjualan serta penyuluhan dan tanya jawab. Desa App tersebut
difasilitasi oleh Faperta UGM, sehingga ketersediaan informasi dan teknologi
sebagai respon terhadap keperluan petani dapat berjaalan.

3.7. Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT)


Teknologi dan sistem informasi dalam pengelolaan pertanian dan irigasi semakin
berkembang, termasuk di tingkat petani di perdesaan. Menurut data BPS (2018),
potensi internet di tingkat petani dan perdesaan sebesar 93,9%. Sebagian besar
pengguna internet melakukan akses internet melalui smartphone/telepon seluler
(96,6%). Berdasarkan data Potensi Desa (Podes 2018), terdapat 77.172 (91,95%)
desa/kelurahan yang telah dapat menerima sinyal telepon selular. Jumlah ini
meningkat jika dibandingkan pada tahun 2011 dan 2014, di mana desa/kelurahan
yang dapat menerima sinyal telepon selular hanya sebanyak 70.610 (89,82%)
desa/ kelurahan pada tahun 2011 dan 74.473 (90,61%) desa/kelurahan pada
tahun 2014. Jumlah petani pengguna internet ini dapat ditunjukkan pada Gambar
13:

Gambar 13 Jumlah petani pengguna internet di Indonesia (BPS 2018)

Dari total petani Indonesia (33,4 juta petani), terdapat 4,5 juta petani
menggunakan internet (13%). Secara umum, sinyal internet telah merata pada
sebagian besar perdesaan dan telah terjangkau sinyal 2G, 3G, dan 4G.
51
Berdasarkan data tersebut, kondisi petani yang mulai terhubung dengan
perangkat telepon dan internet dapat dijadikan modal awal transformasi digital
pada bidang pertanian dan irigasi serta meningkatkan literasi petani.

Menurut Angguniko dan Hidayah (2017), salah satu fungsi dari pengelolaan irigasi
adalah penyuluhan dan pengembangan tata guna air (PTGA). Oleh karena itu,
pada Tahun 2012, Balai Litbang Irigasi dibawah Puslitbang Sumber Daya Air
(sekarang Direktorat Bina Teknis SDA) mengembangkan sistem managemen OP
irigasi (SMOPI) untuk mendukung keberhasilan tata guna air dalam rangka
mempermudah petugas dan petani. Kementerian Pertanian juga mengembangkan
aplikasi tata tanam untuk petani melalui Kalender Tanam (KATAM) yang sudah
dikembangkan dan terhubung dengan data lain terkait seperti informasi cuaca dan
pemantauan lahan. Pemerintah, swasta, maupun perguruan tinggi juga sudah
mulai memanfaatkan dan mengembangkan sistem informasi untuk keperluan
pertanian, pemantauan lahan, irigasi, perkiraan cuaca, dan pengukuran debit
untuk mempermudah pengelolaan pertanian dan irigasi bagi petani.

3.7.1.Media Sosial dan Aplikasi Pertanian


Media sosial dapat menjadi fasilitas berbagi informasi, menstimulasi partisipasi,
memberdayakan masyarakat, dan mempengaruhi kebijakan publik jika mampu
menulisakan opini atau menerbitkan cerita di media sosial. Salah satu kekuatan
media sosial adalah menggerakkan masyarakat dengan mengedukasi dan
praktek petani, kemudian diunggah dalam media sosial. Media sosial dijadikan
sebagai alat komunikasi dan platform media dalam memfasilitasi petani untuk
meningkatkan aktiv itas dan kolaborasi petani, peneliti, penyuluh, dan
pemerintah. dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian. Selain itu, media
sosial juga dapat meningkatkan kemampuan petani dalam penyelesaian masalah,
terutama permasalahan pertanian yang dihadapai di lapangan.

Beberapa kelemahan dan faktor pembatas pengguna media sosial (petani) dalam
mengasah kemampuan literasi informasi yaitu faktor bahasa, tata cara dan
manfaat fitur, serta keterbatasan fasilitas dalam fitur yang disediakan. Faktor
pendorong kemampuan literasi informasi pengguna adalah kemudahan akses
internet, ketersediaan alat ( smartphone), dan kemauan pengguna untuk
meningkatkan kapasitas dirinya. Media sosial yang paling sering digunakan oleh
petani Indonesia yaitu Youtube, Facebook, dan Whatsapp.

Petani senior menggunakan media sosial, terutama Youtube dan Whatsapp


untuk memperoleh informasi dengan mudah dan meningkatkan literasi petani.
52
Sedangkan petani muda menggunakan media sosial dan aplikasi yang lebih
beragam, termasuk aplikasi pemasaran dan pertanian. Sehingga, penyuluh
dapat memanfaatkan media sosial untuk membuat konten menarik agar petani
tertarik dan dapat memperoleh informasi dan meningkatkan literasi petani terkait
pertanian dengan lebih mudah.

Beberapa pembelajaran pelaksanaan pendampingan petani yang dilakukan oleh


UGM di Poncosari, Bantul DIY dan Desa Rumbia, Jeneponto yaitu dengan
memanfaatkan media sosial dalam penyuluhan pertanian. Sehingga terjadi
peningkatan literasi petani. Petani yang sudah didampingi dapat memanfaatkan
media sosial tidak hanya untuk komunikasi, namun juga memanfaatkannya
untuk usaha, pemasaran, mencari informasi, dan hiburan. Kemampuan
komunikasi, mencari informasi, dan interaksi petani pun meningkat.

Selain media sosial, aplikasi pertanian semakin berkembang dan beragam untuk
mendukung kegiatan pertanian yang tidak hanya berisi informasi budidaya
pertanian, namun juga pemasaran dan teknologi pertanian. Contoh aplikasi
pertanian yang sudah berkembang di masyarakat yaitu IGrow, Rego Pantes,
Tanihub, Sikumis, Agro Jowo, dan Desa Apps. Aplikasi ini menjadi bagian dari
aktiv itas media sosial untuk menampilkan informasi-informasi pertanian.

Aplikasi Agro Jowo merupakan salah satu aplikasi yang dikembangkan oleh Dinas
Pertanian Provinsi Jawa Tengah. Aplikasi Agro Jowo menyediakan data-data
terkait update harga pasar per komoditas per hari di tingkat petani. Sehingga,
mempermudah petani dalam usahatani dan pemasaran hasil pertaniannya.

Desa Apps (Digital Extension Society for Agriculture Apps ) merupakan aplikasi
penyuluhan yang dikemas secara digital untuk membantu petani menyelesaikan
permasalahan pertanian mulai dari penanaman, perawatan, panen, hingga
penjualan. Desa Apps dikembangkan oleh Fakultas Pertanian UGM untuk menjadi
platform penyuluhan pertanian dan pengembangan komunitas petani digital di
Prov insi DIY. Desa Apps dikemas secara digital untuk membantu petani
menyelesaikan segala masalah pertanian mulai dari penanaman, perawatan,
panen, hingga penjualan. Adanya Desa Apps dapat berguna bagi pengguna
aplikasi tersebut (petani) untuk saling memberikan informasi, berinteraksi, dan
bertransaksi di bidang pertanian. Fitur penyuluhan pertanian dalam aplikasi Desa
Apps terdiri dari Tanya Jawab, Artikel, Informasi Harga, Catatan Tani, Informasi
Cuaca, Informasi Toko, Informasi Kantor, Informasi Pasar, dan Jual Barang.

53
Pemanfaatan fitur penyuluhan pertanian yang disediakan oleh Desa Apps
memberikan peluang kepada petani untuk mendapatkan literasi informasi yang
dibutuhkan, dan juga sebagai sarana peningkatan keterampilan mengelola
informasi yang diperolehnya. Oleh karena itu, kehadiran Desa Apps
memberdayakan petani untuk mandiri informasi. Namun demikian, dalam
performa Desa Apps sebagai salah satu sumber informasi masih harus
ditingkatkan. Agar pemanfaatan Desa Apps menjadi lebih optimal, maka
dilakukan penyempurnaan performa aplikasi, promosi dan sosialisasi Desa Apps,
responsiv itas tenaga ahli, dan optimalisasi pemanfaatan Desa Apps sebagai
marketing place.

Di awal Tahun 2020, muncul Cov id-19 yang berdampak luas di segala aspek
kegiatan, termasuk pertanian. Banyaknya PHK massal menyebabkan tenaga
kerja kembali ke desa. Sehingga, pelaksanaan kegiatan pertanian dan program
padat karya yang diga lakan oleh pemerintah menjadi kegiatan yang paling
bertahan di masa pandemi. Dari data BPS (2020), terlihat bahwa kenaikan
ekonomi justru meningkat pada sektor pertanian. Adanya Covid -19 merupakan
momentum bagi penyuluhan dan komunikasi pertanian untuk mengatur strategi
kembali dengan memanfaatkan media sosial (Twitter, IG, Facebook, Youtube,
Koran, TV, dan juga platform pertanian seperti Desa Apps) untuk menggerakkan
masyarakat, khususnya yang terkena dampak PHK dan petani.

Peran penyuluh menjadi sangat penting dalam menjembatani petani (kebutuhan


petani) dengan pemerintah (kebijakan) dengan memanfaatkan media sosial dan
aplikasi pertanian yang semakin berkembang. Kedepan, diharapkan dapat dibuat
big data yang dapat dikolaborasikan dan bekerjasama antar K/L dengan pemda,
swasta, dan petani agar pemanfaatan aplikasi pertanian dapat berkelanjutan.

3.7.2.Program Leveraging ICT For Irrigated Agricultural Extension oleh


Bappenas
Kegiatan pertanian dan irigasi di sebagian besar daerah di Indonesia tidak
menerapkan budaya dan filosofi lokal yang sudah ada sejak lama. Kebudayaan
ini sejalan dan terkait dengan kondisi dan perkembangan teknologi yang
berkembang. Pembelajaran dari beberapa program ICT dalam pengembangan
dan pengelolaan pertanian beririgasi yang melibatkan organisasi petani yaitu
penerapan teknologi ICT di 4 (empat) kabupaten di Indonesia. Program ICT ini
merupakan bagian dari program Integrated Participatory Development and
Management of Irrigation Program (IPDMIP) yang dibiayai melalui grant ADB.

54
Ruang lingkup yang dikembangkan dalam program ICT ini antara lain:
1) Untuk menjangkau 100 ribu petani (40% perempuan);
2) Mengirim atau bertanya terkait informasi cuaca, harga, GAP, dan irigasi
dengan memanfaatkan mobile phone/Hp;
3) Layanan keuangan dan pasar untuk petani;
4) Model kolaborasi;
5) Exit strategy untuk keberlanjutan pelaksanaan dan pemanfaatan ICT.

Program ICT yang dilaksanakan sebagai pilot di beberapa daerah meliputi:

1) Pengembangan ICT oleh application provider MSMB:


a. Kabupaten Pasaman Barat, dengan target jumlah DI sebanyak 12 DI,
250 kelompok petani pengguna, dan 20.000 petani yang terdaftar;
b. Kabupaten Sukabumi, dengan target jumlah DI sebanyak 16 DI, 250
kelompok petani pengguna, dan 30.000 petani yang terdaftar.
2) Pengembangan ICT oleh application provider 8Villages yang sudah
mengembangkan dashboard laporan kondisi irigasi sebagai informasi
pengelolaan irigasi, antara lain:
a. Kabupaten Garut, dengan target jumlah DI sebanyak 15 DI, 300
kelompok petani pengguna, dan 30.000 petani yang terdaftar;
b. Kabupaten Lombok Timur, dengan target jumlah DI sebanyak 10 DI,
200 kelompok petani pengguna, dan 20.000 petani yang terdaftar.

Fokus dari program yaitu untuk meningkatkan produktiv itas dan pendapatan
petani menggunakan teknologi informasi dan bekerjasama dengan application
provider (MSMB dan 8Villages). Program ini memanfaatkan teknologi sensor dan
otomatisasi dalam bidang irigasi yang telah dikenal di Indonesia terutama pada
setiap saluran irigasi, baik primer, sekunder dan tersier. Pelaksanaan program ini
malakukan kolaborasi ICT dan integrasi (inovasi) di lahan beririgasi untuk
pertanian. Penerapan inovasi ICT oleh provider 8Villages dapat dilihat pada
Gambar 14:

55
Gambar 14 Penerapan inovasi ICT oleh provider 8Villages (8Villages 2020)

Model kolaborasi yang dikembangkan oleh Bappenas di 4 kabupaten dapat


ditunjukkan pada Gambar 15:
aran

Gambar 15 Model kolaborasi dan integrasi ICT (Mercy Corps 2020)

Kolaborasi dan integrasi ICT yang sudah dilaksanakan bermanfaat bagi


pemerintah maupun petani. Program ini pun menghasilkan dampak positif pada
aspek sosial dan bisnis. Dampak langsung yang dapat dilihat yaitu: 1)
peningkatan literasi petani; 2) petani dapat terhubung langsung dengan bisnis
produk pertanian dan dapat memperpendek rantai pasok yang tadinya
business to business menjadi business to consumen; dan 3) pemanfaatan
56
dan inovasi ICT berdampak pada kegiatan pertanian dan ir igasi yang
berkelanjutan. Dapak positif ini dapat dilihat pada Gambar 16:

Gambar 16 Dapak positif inovasi ICT irigasi dan pertanian (8Villages 2020)

Meskipun berdampak positif, masih ada beberapa kendala dan kurangnya sinergi
antara pemerintah dengan kelembagaan Poktan dan P3A di lapangan. Dari
pelaksanaan kegiatan ICT di lokasi pilot project, terdapat beberapa kendala dan isu
yang ditemukani di Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Sukabumi. Pada
pelaksanaannya, ICT baru menjangkau petani yang tergabung dalam Poktan yang
berkoordinasi dengan dinas terkait, yaitu Dinas Pertanian setempat. Sedangkan P3A
dan Dinas PSDA belum ikut terlibat dalam kegiatan ICT. Salah satu layanan ICT yaitu
memberikan informasi debit air. Beberapa kendala yang dihadapi petani yaitu cara
memahami informasi yang diberikan seperti kecepatan air, debit air, dan ketinggian
muka air untuk mengetahui ketersediaan air hingga mencapai lahan sawahnya.
Petani belum dapat menginterpretasikan informasi yang tersedia secara optimal,
sehingga masih belum mengetahui makna dan tindak lanjut dari informasi tersebut
apakah ketersediaan debit air mampu mencapai lahan sawahnya. Keterlibatan Dinas
Pertanian dan Dinas PU/SDA di lapangan dinilai sangat perlu untuk membantu
memberikan pelatihan dan pembinaan kepada petani, baik Poktan maupun P3A.
Peran juru air dan penjaga bendung yang mengoperasikan pengairan dan irigasi juga
perlu dilibatkan agar manfaat ICT dapat dirasakan secara optimal. Keterlibatan
penyuluh dan petani milenia l di lapangan juga perlu ditingkatkan untuk koordinasi
bersama mensinergikan keterlibatan petani Poktan dan P3A dengan dinas terkait
seperti Dinas PU/SDA, Dinas Pertanian, dan pihak terkait lainnya.
57
IV. ANALISIS KELEMBAGAAN PETANI

Dari berbagai aspek uraian di atas maka analisis di bawah ini akan memberikan fokus
perhatian pada 4 (empat) aspek untuk pengembangan kelembagaan organisasi
petani di lahan pertanian beririgasi. Empat aspek ini meliputi 1) pengelolaan
kelembagaan petani; 2) konsep kelembagaan; 3) sumber pendanaan dan
pembiayaan kegiatan kelembagaan; 4) regulasi. Permasalahan umum yang sering
muncul terkait kelembagaan yaitu lemahnya kelembagaan petani karena faktor
petani Poktan dan P3A di lapangan. Sehingga perlu adanya pertimbangan
peningkatan kapasitas kelembagaan petani untuk mengelola budidaya di lahan
pertanian dan mengelola jaringan irigasi. Pengembangan kapasitas kelembagaan
petani diarahkan untuk meningkatkan kelembagaannya menjadi kelembagaan petani
dengan skala ekonomi yang lebih besar dengan menerapkan prinsip efisiensi usaha
dan meningkatkan posisi tawar kelembagaan petani itu sendiri. Sehingga, indiv idu
petani dan kelembagaan petani menjadi sejahtera.

4.1. Pengelolaan Kelembagaan Petani


Berkaca dari situasi kelembagaan petani saat ini, isu keberlanjutan kelembagaan
selalu muncul pada proyek irigasi. Kelembagaan petani dinilai tidak sustain atau
tidak berlanjut jika tidak menerima pendampingan atau kurang mendapatkan
perhatian pemerintah, namun hingga saat ini isu ini belum ditangani secara serius.
Dari aspek kebijakan/regulasi, pelaksanaan pengembangan kelembagaan petani
dalam pembangunan pertanian dan pengelolaan irigasi masih dilaksanakan secara
parsial dan belum mempertimbangkan prinsip keberlanjutan dan kemandirian,
sehingga terjadi tumpang tindih regulasi kelembagaan petani. Padahal
keberlanjutan dan kemandirian kelembagaan petani sangat terkait dengan tingkat
pendapatan ekonomi anggotanya serta kondisi masing-masing daerah. Sehingga,
perlu dilakukan restrukturisasi pengembangan dan penguatan kelembagaan petani
dan usahatani dengan melakukan konsolidasi terhadap lahan budidaya
pertaniannya dan konsolidasi terhadap manajemen usahataninya.

Upaya untuk mendorong pengembangan organisasi petani dalam pengelolaan


usahatani di lahan beririgasi diperlukan perubahan paradigma berpikir, baik
pada tingkat pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pada pola pikir
petani dalam usahatani. Penguatan organisasi petani tidak bisa lagi
menggunakan pendekatan yang sektoral sesuai dengan mandat tugas dan fu ngsi
dari perspektif Kementerian/Lembaga, yang berakibat hanya mengikuti target-
target dari K/L sebagai pembina dan pembentuknya. Padahal upaya dalam
58
membentuk dan membina organisasi petani itu harus berdasarkan pada
kepentingan petani sendiri dan untuk me layani kebutuhan petani sendiri.

Upaya penguatan organisasi petani harus diikuti perubahan pola berpikir patani
dalam melakukan kegiatan usahatani. Faktor kepemilikan lahan yang kecil-kecil
dan adanya kemampuan berpikir Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas
perlu dilakukan upaya untuk mengkonsolidasikan sumber daya yang dimiliki
oleh petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Sumber
daya yang dimiliki petani saat ini diusahakan secara kurang produktif, baik untuk
faktor lahan yang diusahakan dan faktor manajemen kegiatan usahatani. Luas
lahan yang kecil-kecil menjadikan kegiatan usahatani tidak efisien baik proses
pengolahan lahan maupun dalam pembiayaan pembelian sarana produksi, proses
pengolahan lahan sampai proses pemasaran hasil usahataninya, dan penggunaan
tenaga kerjanya.

Aspek pengelolaan kelembagaan dan organisasi petani ke depan perlu berorientasi


pada prinsip organisasi petani modern yang memperhatikan faktor efisiensi
kerja organisasi, berorientasi pada pelayanan anggota, dan menjadi organisasi
yang berkelanjutan. Maka petani yang tergabung dalam organisasi Poktan
maupun P3A perlu didorong untuk berorganisasi dengan melakukan konsolidasi
lahan pada satu hamparan tertentu yang dibatasi oleh wilayah administrasi
tertentu atau wilayah daerah aliran irigasi, misalnya satu jaringan tersier, dengan
luas areal sawah antara 50 – 150 hektar. Hal ini sering disebut sebagai bentuk
konsolidasi lahan sebagai satu kesatuan usahatani. Jika lahan petani bisa
terkonsolidasi dalam batasan hamparan yang sudah ada, seperti satu Gapoktan
atau satu aliran jaringan tersier, maka berdasarkan kesatuan hamparan atau
konsolidasi lahan tersebut merupakan satu entitas lembaga yang mempunyai
pola pengelolaan usahatani yang secara teknis budidaya tanaman serta teknis
keirigasian sebagai satu kesatuan pengelolaan dalam satu organisasi petani.

Untuk menunjang efektiv itas manfaat dari pelaksanaan konsolidasi lahan secara
teknis budidaya maka perlu juga dilakukan konsolidasi manajemen usahatani.
Konsolidasi manajemen usahatani dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan
semua faktor sarana produksi yang diperlukan dalam pelaksanaan usahatani.
Mulai dari pengolahan tanah/lahan, pengadaan benih, pengadaan pupuk dan
pelaksanaan pemupukan, pengadaan dan pelaksanaan pemberian pestisida yang
diperlukan, sampai dengan kegiatan pasca panen. Hal tersebut jika dapat
dilaksanakan tentu akan meningkatkan efisiensi usaha yang signifikan dan

59
sekaligus meningkatkan posisi tawar (bargaining position) bagi organisasi
petani dalam berusahatani.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sinkronisasi kelembagaan ini
yaitu kesepakatan pemerintah dalam penggunaan nama “LEPLI” karena dinilai
sebagai kepentingan Kementeraian Pertanian saja dan tidak senada dengan
kepentingan K/L lain. Konsep dan model kelembagaan yang bagus, namun tidak
dijalankan/diimplementasikan akan menjadi sia-sia dan tidak bermanfaat bagi
petani. Pemilihan nomenklatur dan penggunaan nama kelembagaan
petani sebenarnya tidak menjadi masalah jika dikoordinasikan dan disepakati
bersama. Kelembagaan petani didorong untuk melakukan sinkronisasi dan
konsolidasi kegiatan antara Poktan, P3A, ataupun kelembagaan petani lain menuju
pelaksanaan konsolidasi managamen dan lahan yang berbasis ekonomi dan
bisnis/usahatani. Sinkronisasi dan konsolidasi kelembagaan petani juga didorong
untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi (ICT). Kedepan,
pelaksanaan di lapangan akan didukung dengan pemberdayaan dan
pendampingan dari perguruan tinggi setempat.

Salah satu keuntungan dari pelaksanaan konsolidasi lahan dan managemen yaitu
dapat menarik minat generasi muda (milenial), termasuk keterlibatan perempuan
dalam pelaksanaan usahatani di lahan beririgasi. Kegiatan usahatani tidak semata-
mata pekerjaan fisik dan berat di lahan sawah, namun sudah dipermudah dengan
adanya mekanisasi pertanian dan perkembangan ICT. Keterlibatan generasi muda
dan perempuan dapat disamakan dengan laki-laki yang sudah sering terlibat
dalam organisasi/kelembagaan petani dengan menyamaratakan kedudukan semua
pihak (mainstreaming gender). Kesamaan hak/kewajiabn terkait keterlibatan
generasi muda dan perempuan didalam kelembagaan petani dilakukan untuk
memastikan bahwa kebutuhan dan prioritas yang berbeda dari petani perempuan
dan laki-laki di pedesaan diidentifikasi dan dipertimbangkan sepenuhnya dalam
desain, implementasi, pemantauan dan evaluasi untuk semua komponen kegiatan,
pembinaan, dan pemberdayaan sistem produksi pertanian, kegiatan rantai nilai,
pembiayaan perdesaan, maupun kegiatan pengelolaan irigasi.

Sudah saatnya pihak pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi dalam
melakukan pembinaan dan pemberdayaan organisasi petani, perlu mulai berpikir
bahwa salah satu upaya yang cukup penting dan strategis dalam menguatkan
organisasi petani yaitu dengan mela kukan inovasi-inovasi pendekatan yang
bertujuan untuk mewujudkan terjadinya konsolidasi aset fisik lahan petani dan
juga konsolidasi dalam manajemen usahatani. Sehingga, dengan demikian arah
60
pembinaan organisasi petani akan menghasilkan organisasi petani y ang sama rata
dan mempunyai skala ekonomi ( economic of scale) yang memadai untuk menuju
organisasi petani yang berkelanjutan, baik dari sisi teknis budidaya dan
pengelolaan irigasinya, maupun dari sisi usaha ekonomi-keuangannya.

4.2. Konsep Kelembagaan


Kelembagaan organisasi petani perlu diarahkan pembinaannya pada terjadinya
organisasi petani untuk budidaya tanaman di lahan beririgasi yang memilki
kegiatan integratif dan komprehensif untuk semua aspek kegiatan usahatani.
Kegiatan yang terintegrasi meliputi teknik budidaya pertanian, teknik pengelolaan
irigasi, aspek organisasi, aspek kegiatan usaha, dan aspek finansial. Hal tersebut
penting untuk diprioritaskan dalam pengembangan organisasi agar dapat tumbuh
secara aktif dan berkelanjutan.

Pelajaran dari pengalaman kegiatan LEPLI yang dicoba dikembangkan oleh


Kementerian Pertanian pada proyek WISMP I pada dasarnya telah mencoba untuk
mensinergikan keberadaan dan kegiatan dari 2 (dua) organisasi petani yang sudah
lama ada di tingkat petani yaitu Poktan dan P3A, yang selama ini masih berjalan
sendiri-sendiri sesuai dengan arahan Kementerian Pertanian dan Kementerian
Pekerjaan Umum. Padahal, dua organisasi tersebut yang menjadi anggota dan
beberapa pengurusnya, adalah indiv idu petani yang sama. Begitu pula jenis
kegiatannya pun saling melengkapi. Kelompok Tani memberikan perhatian pada
aspek budidaya tanaman. Sedangkan P3A memberikan perhatian pada aspek
tata air di saluran tersier yang menjadi kewenangan pengelolaannya P3A. Secara
substansi, kegiatan tersebut dapat disatukan sebagai jenis kegiatan budidaya
pertanian di lahan beririgasi.

Pada kegiatan LEPLI tersebut selain mensinergikan jenis kegiatan budidaya


tanaman dengan pemberian air irigasi, juga dilakukan kegiatan terkait usaha
ekonomi dan pemasaran hasil produksi, sehingga petani yang tergabung dalam
LEPLI tersebut terkoordinasi, mulai dari kegiatan budidaya tanaman, pengelolaan
irigasi, sampai kegiatan usaha ekonomi pemasaran produksi pertanian. Jadi,
keberadaan organisasi LEPLI dalam praktisnya merupakan organisasi petani yang
mempunyai kegiatan usahatani di lahan pertanian beririgasi yang beranggotakan
semua petani yang mempunyai lahan pertanian di wilayah tertentu, dengan
bidang kegiatan budidaya pertanian, pengelolaan irigasi, koordinasi kebutuhan
sarana pertanian, koordinasi faktor finansial, dan kegiatan pasca panen. Meskipun
unsur anggota organisasi LEPLI ini terdiri dari organisasi Poktan dan P3A, akan
tetapi mereka dapat bersama-sama tergabung dalam LEPLI untuk
61
mengembangkan usahatani dan usaha ekonomi di lahan beririgasi. Sehingga,
organisasi LEPLI ini merupakan bentuk organisasi yang terdiri dari petani Poktan
dan P3A yang mempunyai kegiatan ekonomi usahatani untuk meningkatkan
kesejahteraan petani anggotanya. Jadi skala kegiatan organisasi petani LEPLI ini
lebih luas dari organisasi Poktan dan P3A.

Secara konseptual, organisasi LEPLI dibentuk dan dikembangkan dengan prinsip


keterbukaan untuk menggabungkan keberadaan dan kegiatan organisasi Poktan,
P3A, dan organisasi petani lain menjadi satu entitas organisasi usaha ekonomi
pertanian. Sehingga, operasional organisasi LEPLI ini dapat dibagi dalam beberapa
bidang atau div isi, yaitu bidang budidaya, bidang peralatan pertanian, bidang tata
kelola irigasi, bidang pengolahan pasca panen, bidang pemasaran/penjualan,
bidang simpan pinjam, dan sebagainya. Sehingga, konsep organisasi LEPLI
merupakan bentuk korporasi petani yang basis kegiatan usahanya berdasarkan
pada komoditas utama yang dibudidayakan oleh petani yang menjadi anggotanya.
Jika petani melakukan budidaya padi, maka sebagai usaha ekonominya adalah
produk padi, atau jika usahatani para petani berupa tanaman hortikultura, maka
kegiatan usaha ekonominya juga hortikultura. Dengan konsep kelembagaan
organisasi petani seperti ini diharapkan akan mengurangi pembentukan dan
pemberdayaan organisasi petani yang sektoral dan parsial. Model/konsep
kelembagaan organisasi tersebut akan mendorong terwujudnya organisasi petani
yang terintegrasi sebagai korporasi petani yang mempunyai berbagai aspek
kegiatan seperti budidaya komoditas tanaman hingga aspek kegiatan usaha pasca
panennya dan pemasaran produk komoditas yang dihasilkan.

Dengan konsep pengembangan kelembagaan yang terintegrasi antara 2 (dua)


organisasi atau lebih, maka dalam operasionalnya perlu diantisipasi bagaimana
pengaturan pembagian tugasnya dari organisasi yang bersinergi dalam model
konsep LEPLI dan juga pembagian pendapatannya. Jika penerapan model
organisasi petani seperti LEPLI dijalankan dan terdapat dua organisasi atau lebih
yang bergabung di dalamnya, maka perlu diakomodasi terkait pembagian tugas
antara organisasi yang berintegrasi dalam organisasi LEPLI dan juga diatur dalam
pembagian keuntungan ( profit sharing). Adanya pengaturan pembagian tugas dan
pembagian keuntungan kegiatan bidang ekonomi yang akan dilaksanakan oleh
organisasi LEPLI tersebut bersifat penting untuk disiapkan di awal kegiatan
pembentukan organisasi. Sehingga, organisasi petani yang akan bergabung
memiliki pemahaman sama terkait keuntungan dan konsekuensi organisasi.

62
Sebagai organisasi petani yang berorientasi pada pelayanan dan peningkatan
kesejahteraan petani, maka organisasi yang terintegrasi kedepan perlu disusun
pemikiran tentang arah dan model dari konsep kelembagaan LEPLI tersebut.
Sebagai organisasi petani yang mempunyai prinsip untuk memberikan pelayanan
kepada anggota petani dalam hal pemberian air irigasi dan menghasilkan
keuntungan, maka organisasi petani dengan konsep kelembagaan LEPLI
tampaknya harus mempunyai filosofi kegiatan sebagai organisasi yang bersifat
“Socio-Enterpreneurship”. Artinya orientasi kegiatan organisasi dengan konsep
LEPLI dimaksudkan untuk melayani anggotanya, sekaligus mempunyai kegiatan
usaha ekonomi yang menghasilkan keuntungan bagi anggotanya, serta
mempunyai fungsi sosial dan pemberdayaan bagi petani anggotanya.

Konsep kelembagaan LEPLI yang sudah pernah diujicoba dalam pelaksanaan


proyek WISMP I seharusnya dikembangkan secara tidak terbatas pada
terintegrasinya organisasi Poktan dan P3A serta pelaksanaan kegiatan usaha
ekonomi yang terkait dengan kegiatan usahataninya. Namun, konsep
kelembagaan LEPLI perlu dapat dikembangkan kepada petani dengan
memasukkan aspek kegiatan sosial dan pemberdayaan petani dalam hal teknik
usahatani, teknik pengelolaan irigasi, upaya pemasaran produk secara korporatif,
dan sebagainya.

Sebagai pelajaran dari kegiatan LEPLI yang sudah dilaksanakan pada WISMP I,
penyebab kelembagaan petani tidak dapat berkelanjutan yaitu karena tidak
adanya payung regulasi sebagai dasar hukum untuk melaksanakan konsep LEPLI
tersebut. Untuk kedepannya, konsep kelembagaan LEPLI tersebut perlu
dikembangkan sebagai pilihan untuk pengembangan organisasi petani untuk
mengembangkan usahatani di lahan beririgasi. Sehingga, perlu dilakukan kajian
yang lebih mendalam dan meneyeluruh terhadap substansi berbagai aspek yang
potensial untuk pemberdayaan organisasi petani yang fungsional dan
berkelanjutan.

4.3. Sumber Pendanaan dan Pembiayaan Kegiatan Kelembagaan


Salah satu syarat keberlanjutan organisasi petani di perdesaan dalam mengelola
usahatani yaitu adanya kepastian sumber pendanaan dan pembiayaan untuk
mendukung aktiv itas organisasi tersebut. Selama ini, kita mengetahui bahwa
umumnya sumber pendanaan dan pembiayaan utama organisasi petani yaitu dari
iuran anggotanya. Tetapi, sebagaimana diketahui jika organisasi petani hanya

63
mengandalkan iuran anggotanya untuk mendukung kegiatan organisasinya, sudah
dapat dipastikan bahwa organisasi petani tersebut tidak akan berkembang seperti
yang diharapkan, apalagi menjadi organisasi yang mandiri. Dengan kepemilikan
luas lahan yang kecil-kecil, maka jumlah iuran yang dikumpulkan juga sangat
terbatas. Selain itu juga sangat sulit agar semua anggota dapat membayar.

Selain dari iuran anggota, biasanya beberapa organisasi petani seperti P3A/GP3A
dan Poktan/Gapoktan menerima dana dari partisipasi kegiatan rehabilitasi pada
jaringan irigasi. Akan tetapi, pendapatan organisasi petani dari kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi tidak diperoleh setiap tahun karena tidak dilaksanakan
pada jaringan irigasi yang sama setia p tahunnya. Sehingga, bantuan dari kegiatan
partisipasi pada kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tidak dapat dijadikan sumber
pendanaan kegiatan organisasi petani.

Untuk meningkatkan sumber pembiayaan dan pendanaan organisasi petani,


organisasi petani harus melakukan inovasi sendiri dengan melakukan usaha
ekonomi. Akan tetapi, memang tidak mudah suatu organisasi petani untuk
memulai kegiatan usaha ekonomi sendiri. Beberapa penyebab sulitnya
pengembangan usaha ekonomi yaitu adanya keperluan yang meliputi: 1)
keberadaan dan kemampuan pengurus organisasi petani dalam mengambil
keputusan; 2) penentuan potensi jenis usaha yang terkait dengan kegiatan
budidaya pertanian pada tahapan kegiatan budidaya pertanian, pelaksanaan, atau
kegiatan pasca panen; dan 3) akses terhadap modal pada awal dimulainya
kegiatan. Disinilah seharusnya kehadiran faktor pembinaan dan pendampingan
sangat diperlukan suatu organisasi petani untuk memulai usaha ekonominya.

Terdapat beberapa pengalaman suatu organisasi petani yang melakukan kegiatan


usaha ekonomi yang paling sederhana yaitu kegiatan simpan-pinjam diantara
anggota sendiri, yang kemudian jika berjalan dengan baik dan berkembang dapat
menjadi Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa). Kegiatan pengadaan sarana produksi
pertanian (Saprotan) bagi anggota dan pemberian modal awal oleh pengurus
organisasi petani seperti Poktan/Gapotan atau P3A/GP3A menjadi pemikiran
inovatif yang dapat memotivasi dan memajukan organisasi petaninya. Atau
kegiatan jasa penggilingan padi keliling yang memerlukan modal tertentu dan
sistem pengelolaan jasa yang cukup bagus. Jika pelaksanaan usaha ini
berkembang dapat menjadi usaha penggilingan padi yang menetap, hingga dapat
menjual produk beras yang dapat dipasok dari anggotanya. Untuk mewujudkan
harapan-harapan sebagaimana hal-hal tersebut di atas, diperlukan kerja sama

64
yang baik antara pengurus organisasi petani dengan pembina (pemerintah)
khususnya untuk bantuan teknis.

Sumber pendanaan organisasi petani seperti Poktan/Gapoktan, P3A/GP3A, atau


LEPLI yaitu berupa pembiayaan untuk kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP)
pada jaringan irigasi. Sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri PUPR
tentang Kegiatan OP, pasal 15 menyebutkan bahwa organisasi petani
P3A/GP3A/IP3A dapat berpartisipasi dalam kegiatan pengelo laan jaringam irigasi.
Seharusnya pemerintah mempunyai komitmen untuk memperkuat partisipasi
organisasi petani dan menyerahkan tanggung jawab kegiatan OP jaringan irigasi
beserta biaya kegiatannya kepada petani. Kegiatan OP ringan yang dapat
dilakukan secara partisipatif oleh petani yaitu pengerukan sedimen saluran,
penyiangan rumput di tanggul saluran irgasi, pengecatan pintu bagi atau sadap,
dan juga pemberian pelumas pada pintu-pintu bangunan air yang ada. Sebab
kegiatan OP jaringan irigasi sifatnya sangat sederhana. Untuk meningkatkan
kualitas dan keterampilan pengurus organisasi petani, maka perlu diberikan
pelatihan pemeliharaan jaringan irigasi. Pada implementasinya dapat dilaksanakan
dengan kriteria pemilihan anggota organisasi petani yang dinilai mampu secara
teknis dan organisatoris untuk melaksanakannya.

Sudah saatnya pendekatan partisipasi petani dilaksanakan secara konsisten pada


semua kegiatan rehabilitasi dan kegiatan OP jaringan irigasi, dan tidak terbatas
pada kegiatan yang dibiayai oleh dana loan (PHLN). Pendekatan ini perlu diatur
dalam regulasi pemerintah bahwa setiap kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi serta
operasi dan pemeliharaan memiliki alokasi biaya sendiri agar dilaksanakan oleh
P3A, misal dengan persentase partisipasi sebesar maksimal 10 – 15 % dari total
biaya konstruksinya. Nilai presentase ini perlu dimunculkan untuk memperkuat
kebijakan. Begitu juga untuk kegiatan OP jaringan irigasi, perlu ada alokasi biaya
OP yang diberikan kepada organisasi P3A yang telah memiliki kemampuan teknis
perbaikan dan manajerial yang bagus.

Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan, kebijakan pelaksanaan partisipasi


melalui perjanjian/kesepakatan seperti SPKS/SKKS/KSO dan juga pemikiran untuk
memberikan bantuan sosial (cash) kepada kelompok sebagai sarana untuk
menjalankan aktiv itas kelompok merupakan alternatif-aalternatif yang harus terus
didorong dan dikembangkan. Kegiatan partisipasi juga dapat ditingkatkan dengan
mengalokasikan pendanaan partisipasi petani kedalam kegiatan AKNOP sebagai
bentuk apresiasi kepada petani. Beberapa loan irigasi sudah memberikan syarat
adanya pelaksanaan partisipasi petani dan keterlibatan kelembagaan petani dalam
65
pengelolaan irigasi, termasuk pemeliharaan jaringan irigasi. Establishment atau
pemantapan kelembagaan petani merupakan salah satu prasyarat unsur penting
dalam pelaksanaan Irrigation Service Agreement (ISA) yang diterapkan dalam loan
SIMURP. Selain itu, sebagai ide awal yang inovatif, prinsip partisipasi petani yang
dapat dikerjasamakan menggunakan pola KPBU oleh pemerintah akan menambah
nilai investasi kegiatan rehabilitasi, sehingga dapat meningkatkan layanan irigasi
dan keterlibatan kelembagaan petani di lapangan.

4.4. Regulasi

Salah satu faktor yang mempengaruhi lemahnya kinerja organisasi petani yaitu
kurangnya konsolidasi faktor regulasi tentang pembinaan terhadap organisasi
petani yang ada saat ini. Pada tingkat pemerintah pusat terdapat 3 (tiga)
kementerian yang mengatur terkait dengan pembinaan dan pemberdayaan
kelembagaan petani, baik Poktan maupun P3A. Faktor lain yang mempengaruhi
yaitu koordinasi pembinaan dan pemberdayaan organisasi petani antara
pemerintah dengan pemerintah daerah. Hal ini muncul sebagai akibat implikasi
adanya pembagian kewenangan dalam pengelolaan irigasi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan pengelolaan
irigasinya.

Aspek regulasi tentang pembinaan dan pemberdayaan P3A/GP3A dan


Poktan/Gapoktan terkait dengan keberadaan organisasi petani dalam pengelolaan
usahatani di lahan beririgasi mengalami proses perubahan sesuai dengan
perhatian pemerintah dalam menjalankan kebijakan 2 (dua) sektor yaitu sektor
pertanian dan sektor irigasi. Dalam pelaksanaannya, tugas antara penyuluh dan
petugas lain serta petani tidak dapat disamakan antar daerah. Dominasi Poktan
dan P3A maupun kelembagaan lain yang lebih besar di lapangan berbeda di
masing-masing daerah. Sehingga, pemberdayaan dan struktur organisasi yang
dibentuk harus fleksibel sesuai kondisi wilayah.

Perhatian pemerintah terhadap keberadaan dan pembinaan d ua organisasi


tersebut juga dipengaruhi adanya pergantian rezim pemerintahan pasca Orde
Baru dan juga adanya kebijakan Otonomi Daerah dalam pelaksanaan
pembangunan di daerah. Tabel 6 berikut merupakan uraian penjelasan urutan
(sequence) perkembangan dan dinamika regulasi pemerintah terkait dengan
pembinaan organisasi Poktan/Gapoktan dan P3A/GP3A:

66
Tabel 6 Sequence perkembangan dan dinamika regulasi pembinaan petani

Periode Waktu
No Tentang/Perihal Penjelasan
Jenis Regulasi
1 Awal Orde Baru ( > 1966)
- Program BIMAS - Dimulai program intensifikasi - Pemerintah mulai membentuk
(1968) tanaman dengan organisasi Kelompok Tani untuk
- Program menerapkan Panca Usaha mendukung program BIMAS dan
Intensifikasi Tani. INMAS secara masif, terutama di
Khusus/INSUS - Rehabilitasi irigasi masif dan Jawa dan Bali.
(1979) mulai pembangunan irigasi - Petani yang memperoleh
- Diundangkannya baru manfaat atas layanan jaringan
UU No. 11/1974 - Kewenangan pembangunan irigasi dapat berpartisipasi dalam
tentang Pengairan dan rehabilitasi irigasi pada kegiatan E-P jaringan irigasi.
pemerintah pusat. Akan
tetapi kegiatan E-P dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi
Lesson learnt : 1) petani didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemeliharaan
jaringan irigasi, terutama jaringan irigasi tersier dan kegiatan pembagiaan air jaringan
irigasi tersier; 2) petani difasilitasi untuk membentuk organisasi P3A pada jaringan irigasi
tersier, sehingga petani dapat belajar mengatur anggotanya berdasarkan AD/ART yang
disusun dan disepakati oleh petani yang menjadi anggota P3A tersebut; 3) petani
melalui organisasi P3A dapat menyepakati dan mengumpulkan iuran anggota untuk
mendukung pembiayaan kegiatan organisasi P3A, terutama kegiatan EP dan kegiatan
rapat yang dilaksanakan P3A.
2 Tahun 1980-an
- Inpres No.2/1984 - Dikeluarkannya Instruksi - Instruksi tersebut diberikan
tentang P3A Presiden tentang kepada tiga kementerian yaitu
- Tahun 1986/87 pembentukan dan Kementerian PU, Pertanian, dan
tentang Program pembinaan P3A. Dalam Negeri. Dibentuk P3A,
Supra Insus - Dikeluarkannya peraturan agar petani melalui P3A ikut
tentang Program Supra serta berpartisipasi dalam
Insus, sebagai kelanjutan kegiatan E-P.
dari program INSUS - Program Supra-Insus untuk lebih
meningkatkan produktifitas
tanaman padi di lahan sawah,
dengan didukung adanya subsidi
berupa Kredit Usaha Tani (KUT).
Lesson learnt : 1) terdapat 3 (tiga) kementerian yaitu PU, Pertanian, dan Dalam Negeri
yang fokus terhadap proses pembentukan dan pembinaan organisasi petani yang
mengelola air irigasi/P3A; 2) semakin banyak jaringan irigasi yang berhasil dibangun dan

67
Periode Waktu
No Tentang/Perihal Penjelasan
Jenis Regulasi
direhabilitasi, semakin terbatas kapasitas pemerinah dalam mengelola dan memberikan
pelayanan air irigasi kepada petani. Sehungga petani perlu berpartisipasi dalam kegiatan
pemeliharaan dan pembagian air di jaringan tersier; 3) Program Insus perlu dukungan
pelayanan air irigasi secara lebih intensif agar sasaran peningkatan produktivitas padi
per hektar dan produksi padi nasional dapat dicapai. Sehingga, melalui Inpres No. 2
Tahun 1984 terbentuk organisasi pengelola irigasi untuk meningkatkan efektivitas
pelayanan pemberian air. Mesk ipun menyebabkan adanya dualisme keberadaan
organisasi petani yang sama mengurus budidaya pertanian yaitu Poktan Tani dan P3A.
3 Tahun 1990-an
- Tahun 1997 - Salah satu pengaturan - Gapoktan yaitu gabungan dari
diundangkan pembinaan yang penting beberapa Poktan yg melakukan
KepMen Pertanian yaitu pembentukan usaha agribisnis diatas prinsip
No. 93/1997 Gabungan Poktan kebersamaan dan kemitraan
tentang Pedoman (Gapoktan) untuk mencapai peningkatan
Pembinaan - Adanya UU No. 22/1999 produksi dan pendapatan
Poktan merupakan awal banyaknya usahatani bagi anggotanya
- Terbit UU No. kewenangan Pemda dalam - Adanya pendekatan
22/1999 tentang pelaksanaan pembangunan pembangunan yang tidak
Pemerintahan - Kepres No 3/1999 sentralistis, termasuk terjadi
Daerah (Otonomi merupakan wujud reformasi pembagian kewenangan dalam
Daerah) pengelolaan irigasi, yang pengelolaan irigasi antara
- Terbit Kepres No. mengurangi kewenangan pemerintah dengan pemerintah
3/1999 tentang pemerintah pusat daerah
PKPI - PKPI merupakan spirit pemberian
kewenangan kepada masyarakat
petani dalam pengelolaan irgasi
sesuai dengan kemampuan
petani/P3A.
Lesson learnt : 1) pergantian rezim dari Orde Baru menjadi Orde Reformasi menyebabkan
perubahan pendekatan pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi
daerah); 2) UU tentang Otonomi Daerah berakibat pada kebijakan dalam Peraturan
Pemerintah tentang pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota; 3) pada akhir periode tahum 1990an, muncul
semangat untuk memberikan kewenangan pengelolaan jaringan irigasi kepada
kelemabgaan petani/P3A sesuai dengan kemampuan P3A. Kebijakan ini membawa
semangat dan perkembangan yang positif kepada P3A/GP3A, karena kewenangan dan
keberadaan P3A diakui.
4 Tahun 2000-an
- Pada fase ini - Diberlakukannya kebijakan - Pada periode ini tampaknya
68
Periode Waktu
No Tentang/Perihal Penjelasan
Jenis Regulasi
terjadi dinamika penyerahan kewenangan kebijakan pengelolaan SDA dan
peraturan yang pengelolaan irigasi dari pengelolaan irigasi paling
mengalami pemerintah kepada dinamis terjadi perubahan akibat
banyak P3A/GP3A/IP3A sesuai dari digantinya UU No. 11/1974
perubahan kemampuan organsasi tentang Pengairan menjadi UU
- Diundangkan PP - Adanya pembagian No. 7/2004 tentang SDA. Akan
No. 77/2001 kewenangan pengelolaan tetapi pada tahun 2014 UU No.
tentang Irigasi irigasi antara pemerintah, 7/2004 tersebut di-judicial review
- Diundangkan UU Pemerintah Provinsi dan oleh Mahkamah Konstitusi.
No. 7/2004 Pemerintah Kabupaten/Kota - Pada periode ini juga
tentang Sumber - Diberlakukannya dilahirkannya PP No 77/2001
Daya Air kewenangan pengelolaan tentang Irigasi menggantikan PP
- Direvisinya PP No. jaringan irigasi tersier oleh N0. 22/1982. Akan tetapi PP No.
77/2001 menjadi petani/P3A 77/2001 direvisi menjadi PP No,
PP No. 20/2006 - Tahun 2006 20 / 2006 tentang Irigasi. Yang
tentang Irigasi diberhentikannya program kemudian tidak berlaku seiring
- Kepmendagri No. penyerahan pengelolaan dengan di-judicial review-nya UU
50/2001 tentang irigasi kepada No. 7/2004
Pedoman P3A/GP3A/IP3A - Dilain pihak, adamya kebijakan
Pemberdayaan - Adanya pengaturan pembangunan otonomi daerah
P3A pembagian kewenangan dengan adanya UU No. 22/1999
- PerMen PUPR No. tugas pemerintah yang yang direvisi menjadi UU No.
33/2007 tentang berakibat pembinaan P3A 23/2015 tentang Pemerintah
Pedoman menjadi tugas Daerah mengubah kebijakan
Pemberdayaan Kementerian/Dinas Pertanian pengelolaan SDA dan
P3A/GP3A/IP3A - Akan tetapi terdapat tiga pengelolaan irigasi, termasuk
- PerMen Pertanian Permen tentang Pembinaan pembinaan kelembagaan P3A
No. 79/2012 P3A yang juga mengalami beberapa
tentang Pedoman kali perubahan
Pembinaan dan
Pemberdayaan
P3A
Lesson learnt : 1) terdapat banyak jaringan irigasi kewenangan daerah mengalami
deteriorisasi/kerusakan lebih cepat akibat perubahan peraturan; 2) kebijakan
desentralisasi pengelolaan irigasi mengkibatkan perubahan struktur kelembagaan
pengelolaan irigasi yang menjadi terkotak-kotak; 3) pembinaan teknis pengelolaan irigasi
dari pemerintah pusat kepada pemprov dan pemkab/kota tidak efektif; 4) tidak ada garis
komando antara pemerintah dengan pemda, sehingga aliran data dan laporan
(administrasi) menjadi terhambat; 5) kewenangan pengelolaan irigasi yang diberikan

69
Periode Waktu
No Tentang/Perihal Penjelasan
Jenis Regulasi
kepada petani/P3A mengalami kemunduran dan melemah karena kekecewaan petani
terhadap pemerintah.
5 Tahun 2020 dan seterusnya
- Diundangkannya - Dengan adanya UU No - Dengan adanya perubahan
UU No. 17/2019 17/2019 tampaknya terkait dalam pengelolaan irigasi
tentang Sumber kebijakan pengelolaan irgasi dan pembinaan P3A/GP3A/IP3A
Daya Air, akan mengalami perubahan yang tampak tidak sinergis dan
menggantikan UU yang cukup mendasar baik sinkron antar K/L selama periode
No. 7/2004 terkait dengan pembagian tahun 2000 -2020 perlu upaya
kewenangan pengelolaan untuk mensinergikan
antara pemerintah, PemProv, kelembagaan petani dalam
dan PemKab/Kota penelolaan pertanian di lahan
- Akan terjadi perubahan beririgasi dengan dibuatkannya
kewenangan pengelolaan Instruksi Presiden (INPRES).
jaringan irigasi tersier yang Sehingga, pembinaan organisasi
dulunya menjadi petani menjadi sinkron antar K/L
kewenangan P3A, dalam UU yang terlibat untuk mencapai
ini kewenangannya beralih sasaran tertentu.
ke pemerintah, termasuk
tentang kewenangan
pembinaan kepada
petani/P3A tampaknya juga
akan mengalami perubahan
dengan adanya kebijakan
“ single manajement ” dalam
pengelolaan irigasi
Lesson learnt : belum ada pelajaran kongkrit yang terjadi. Namun, perlu diantisipasi
kemungkinan isu yang akan muncul terkait pola pemberdayaan dan partisipasi organisasi
petani yang bersifat pemberdayaan atau pengembangan potensi organisasi petani.
Pengaturan pemberdayaan dan partisipasi kelembagaan petani perlu dituangkan secara
eksplisit dalam regulasi seperti PP.

Dari uraian Tabel 6, dinilai bahwa sudah saatnya pemerintah untuk memikirkan
persiapan kebijakan dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan pemberdayaan
organisasi petani dengan lebih serius dan lebih sinergis agar kelembagaan petani
menjadi lebih fungsional dan berkelanjutan.

Pada fase awal Orde Baru atau fase setalah tahun 1966 merupakan fase
pengenalan bagi petani pada lahan beririgasi untuk “dipaksa” belajar berorganisasi
70
dalam mengelola air irigasi dan bekerjasama dalam mengatur air dari hulu dengan
pola pikir prinsip satu sistem hidrologis mulai dari bangunan bendung sampai
dengan jaringan tersier bahkan pada saluran irigasi kwarter atau saluran cacingan.
Pola pemberdayaan organisasi petani yang masih cenderung mobilisasi tanpa ada
stimulasi ke arah organisasi petani dalam mengelola jaringan irigasi tampaknya
tidak membangun kesadaran dan kapasitas petani dalam pengelolaan irigasi.
Hasilnya ketika kegiatan pembinaan dilakukan, petani dapat memahami bahwa
pengelolaan air irigasi harus direncanakan mulai dari ketersediaan air irigasi dari
wilayah hulu, wilayah tengah, hingga wilayah hilir. Akan tetapi, pola pembinaan ini
belum mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan petani pada
tingkat pemakai air yang mandiri dalam mengelola irigasi yang ada.

Pada fase kedua pasca tahun 1980an prioritas perhatian pemerintah pada
program prioritas supra Insus untuk meningkatkan produktiv itas tanaman padi,
maka diperlukan dukungan pelayanan air irigasi yang baik. Salah satu program
pemerintah yaitu bagaimana organisasi petani pemakai air dapat berperan serta
dalam pelayanan irigasi di tingkat usahatani. Akan tetapi penerbitan Inpres No. 2
Tahun 1984 tentang Pembentukan P3A lebih memberikan perhatian kepada tugas
dan fungsi pembinaan, tetapi belum/tidak dilengkapi dengan bentuk bantuan
fasilitasi secara nyata dan keberlanjutan kepada P3A yang sudah dibina. Akibatnya
wujud dan hasil pembinaan kepada P3A tidak berkelanjutan. Selain itu implikasi
negatif adanya pembentukan organisasi P3A berakibat terjadi dualisme organisasi
petani yaitu Kelompok Tani untuk kegiatan budidaya tanaman padi, dan P3A
untuk kegiatan pengelolaan jaringan irigasi. Padahal seharusnya dua
organisasi petani tersebut didorong sebagai satu kesatuan organisasi
petani yang mempunyai tugas fungsi baik sebagai pelaku budidaya pertanian dan
juga pengelola layanan air irigasi di wilayah kerjanya.

Pada fase ketiga yaitu fase masa transisi pemerintahan dari pola otoriter tidak
demokratis era Orde Baru menjadi system pemerintah yang reformatis-demokratis
yang ditandai dengan turunnya rezim Orde baru digantikan oleh Orde Reformasi
pada tahun 1998. Dilain pihak dalam sistem pemerintahan, terjadi perubahan
sistem pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis, yang juga berdampak
pada kewenangan pengelolaan irigasi. Kewenangan pengelolaan irigas i yang
terbagi jadi kewenangan pemerintah, pemerintah prov insi, dan kewenangan
kabupaten juga berimplikasi pada kewenangan pembinaan P3A, yang juga
didasarkan pada kewenagan pengelolaan irigasi. Sehingga, pembinaan P3A
pada fase ini mengalami “ketidak-jelasan”. Implikasi dari otonomi

71
daerah atau desentralisasi mengakibatkan kegiatan pembangunan dan
pembinaan petani juga dibatasi kewenangan. Pemerintah pusat tidak bisa
melakukan pemberian pembinaan dan bantuan kepada jaringan irigasi yang bukan
sebagai kewenangannya, begitu pun sebaliknya.

Pada fase keempat yaitu pasca tahun 2000 merupakan fase awal implementasi
dari kebijakan pengelolaan irigasi yang memberikan kewenangan pengelolaan
jaringan irigasi sesuai dengan kemampuan P3A/GP3A/IP3A. Menimbang bahwa
kebijakan pengelolaan irigasi yang diatur dalam PP No. 23 Tahun 1982 tentang
Irigasi, sudah tidak sesuai lagi dengan era otonomi daerah menurut UU No. 22
Tahun 199 tentang Pemerintah Daerah, maka kebijakan pengelolaan irigasi
berubah. Sehubungan dengan itu, diterbitkan regulasi baru PP No. 77 Tahun 2001
tentang irigasi yang dapat digunakan sebagai landasan hukum dalam bidang
penyelenggaraan irigasi. PP No. 77 Tahun 2001 memberikan kewenangan
pengelolaan jaringan irigasi kepada P3A, sehingga pelaksanaan pola
pemberdayaan organisasi P3A berjalan seiring dengan kegiatan rehabilitasi
jaringan irigasi. Pada fase ini pendekatan pelaksanaan “irigasi partisipatif”
atau Participatory Irrigation Management (PIM) diimplementasikan.
Petani/P3A ditempatkan sebagai subyek yang nantinya akan mengelola
jaringan irigasi, sehingga sejak pembentukan/penguatan P3A, kegiatan
pembuatan desain, persiapan konstruksi rehabilitasi, pelaksanaan konstruksi
rehabilitasi, sampai dengan uji coba jaringan irigasi ( trial-run) sampai dengan
pembuatan pedoman OP jaringan irigasi P3A selalu terlibat dan bahkan
memberikan persetujuan. Dengan dasar filosofi bahwa penyerahan kewenangan
pengelolaan irigasi dari pemerintah kepada P3A/GP3A harus berdasarkan
kapasitas P3A yang akan mengelola. Akan tetapi, setelah UU No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber daya Air diundangkan maka PP No. 77 Tahun 2001 tersebut
diubah menjadi PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi yang menghilangkan
kebijakan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi menjadi Pengembangan
dan Pengelolaan Sistem irigasi Partisipatif (PPSIP).

Prinsip filosofi dari petani/P3A sebagai penerima kewenangan pengelolaan satu


kesatuan jaringan irigasi, berubah menjadi petani/P3A yang hanya diberi batasan
kewenangan untuk mengelola jaringan tersier. Artinya, pendekatan PPSIP
menempatkan petani/P3A bukan sebagai penerima kewenangan pengelolaan
jaringan irigasi, tetapi hanya sebatas berperan serta. Sehingga, pendekatan
pemberdayaan P3A dan kegiatan konstruksi rehabilitasi tidak bersinergi dalam
memberdayakan organisasi P3A, tetapi hanya sebatas menjadi pekerja dalam

72
kegiatan rehab/perbaikan fisik jaringan irigasi yang dilaksanakan oleh kontraktor.
P3A hanya bergerak sesuai dengan arahan/perintah kontraktor. Hal ini
menyebabkan petani/P3A merasa bahwa hak/kewenangannya dalam
mengelola jaringan irigasi dikurangi.

Prinsip pemberdayaan organisasi petani yaitu: 1) P3A harus dijadikan subyek


dalam mengambil keputusan; 2) kegiatan konstruksi rehabilitasi harus menjadi
bagian dari pemberdayaan P3A; 3) kegiatan pembinaan organisasi P3A harus
memiliki insentif ekonomi bagi P3A; 4) prinsip pengelolaan irigasi partisipatif harus
terwujud dalam hubungan pembinaan yang berkelanjutan, termasuk pemberian
alokasi dana untuk kegiatan OP di jaringan irigasi di wilayah P3A.

Pada fase kelima atau pasca 2020 merupakan fase baru dengan adanya UU No.
17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Pada UU ini, aspek pengelolaan irigasi
masih belum eksplisit dijelaskan pada pasal-pasal didalamnya. Akan tetapi,
terdapat beberapa pasal tentang kewenangan pengelolaan irigasi yang akan
dilakukan oleh pemerintah daerah. Meskipun begitu belum dijelaskan secara
eksplisit kriteria pengelolaannya. Pada fase ini belum ada lesson learnt
tentang bentuk implementasi pembinaan organisasi petani/P3A.
Sehingga, perlu diantisipasi perlunya aspek pembinaan organisasi petani dalam
pengelolaan irigasi harus dijelaskan secara eksplisit prinsip dari pengelolaan
“irigasi partisipatif” yang menempatkan petani pada subyek pengambil keputusan,
dengan menjalankan prinsi insentif untuk organisasi petani dan pelaksanaan
pembinaan dengan memberikan alokasi fasilitasi biaya OP yang dikelola oleh
organisasi petani sendiri.

Pada realitanya, ada beberapa regulasi seperti undang-undang yang belum


dicabut dan masih berlaku, sehingga banyak aturan yang saling tumpang tindih.
Selin itu, terminologi yang dipakaipun berbeda. Menurut UU No. 16 Tahun 2006
tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan,
terdapat dua (2) terminologi terkait pembagian petani, yaitu 1) pelaku utama da n
2) pelaku usaha. Pelaku utama merupakan petani secara umum dengan
kelembagaan petani yang di lapangan berbentuk pekebun, pengeolah ikan,
peternak, baik formal maupun informal. Pelaku utama sudah sudah komprehensif
dan mengakomodasi petani yang ada di lapangan sesuai dengan jenis usahatani.
Pelaku usaha merupakan pelaku yang terkait dengan kegiatan produksi pertanian.
UU ini juga menyebutkan bahwa kelembagaan petani berperan sebagai wadah
unit sarpras dan produksi pertanian, termasuk yang terkait dengan unit lainnya
seperti jasa. wadah ini dapat berbentuk kelompok dan korporasi. Meskipun sudah
73
jelas dalam regulasi sudah disebutkan bentuk kelembagaan dan peran petani di
dalamnya, namun fakta di lapangan masih terjadi fragmentasi petani dan
kelompok tani dalam kegiatan usahatani/pertanian, sehingga perlu adanya
sinkronisasi yang mengarah pada konsolidasi managemen sebagai basis
peningkatan ekonomi dan managemen agar lebih efisien.

Menurut UU No. 19 Tahun 2013 tentang P3A, kegiatan petani juga meliputi
kegiatan untuk menyediakan dan mengelola sarpras pertanian seperti jalan usaha
tani dan pengairan (saluran irigasi). Sehingga, petani wajib memelihara sarpras
pertanian tersebut. Hal ini berarti pemerintah dapat mendorong P3A sebagai core
business yang dapat dikembangkan menjadi unit bisnis sendiri/mandiri. Jika petani
berada di satu kawasan bersama, petani dapat didorong membentuk Koperasi dan
Korporasi, dimana koperasi bisa mengembangkan usaha lain. Pada level
berikutnya koperasi dapat bergabung dengan koperasi lain membentuk korporasi
petani dengan share modal. Jika kelompok tani (P3A) sudah bertransformasi
dalam kegiatan usahatani, petani dapat tetap mengelola bisnis agar kelembagaan
tetap berkelanjutan. Kelembagaan P3A seharusnya didukung dengan adanya
kegiatan pemberdayaan. UU ini juga mengatur kelembagaan petani yaitu Poktan
sebagai asosiasi. Pada pengertiannya, terdapat pula terminologi baru
kelembagaan yaitu kelembagaan ekonomi petani (KEP).

Efektiv itas regulasi pada UU No. 16 Tahun 2000 yaitu mensinergikan tiga (3)
sektor, namun sektor tersebut belum membuat regulasi turunan untuk teknis
pelaksanannya, termasuk aspek kelembagaan. karena bebrapa K/L menerapkan
kebijakan yang berbeda terhadap kelembagaan. Pada tahun 2014, muncul UU No.
23 tentang Pemerintah Daerah yang dan menjadi acuan pelaksanaan
kelembagaan institusi di daerah, sedangkan UU No. 16 Tahun 2006 masih berlaku
dan tidak dijadikan sebagai acuan. Sehingga, undang-undang menjadi tidak
berjalan dan tidak efektif. Kelembagaan di level petani bersifat kasuistik. Jika
irisan Poktan dan P3A sama, penyuluh petani seharusnya melakukan pembinaan
terhadap P3A, namun pada pelaksanannya sangat minim penyuluhan terkait aspek
teknis (irigasi).

Dengan UU No. 17 Tahun 2019, pelaksanaan pengelolaan kelembagaan dalam


regulasi masih bersifat monosentris dari hulu hingga hilir, dimana pemerintah
mengatur keseluruhan pelaksanaan kelembagaan petani meskipun pada
konsepnya sudah bersifat polisentris. Jaringan irigasi tersier pun akan dikelola dan
diambil alih oleh pemerintah pusat (Kementerian PUPR). Meskipun dalam UU 17
Tahun 2019 tersebut memungkinkan kerjasama dengan petani melalui partisipasi,
74
bukan mobilisasi, namun PP Irigasi yang sedang disusun perlu membahas lebih
jelas terkait partisipasi petani dengan kedudukannya yang sejajar dengan
pemerintah yang perlu memperhatikan kesiapan SDM dan sosial ekonomi petani
di lapangan, sebagai salah satu peraturan pelaksanaan yang harus disiapkan.

Kegiatan pengelolaan irigasi oleh petani masih menjadi unsur projek, dimana
masing-masing kementerian melakukan pemberdayaan dan pelatihan sendiri
dalam bentuk JITUT, JIDES, dan P3TGAI. Sehingga, perlu adanya kejelasan dan
aturan/regulasi yang mendukung pelaksanaan pemberdayaan dan pengelolaan
pertanian beririgasi oleh kelembagaan petani. Tindak lanjut pelaksanaan
sinkronisasi dan konsolidasi yaitu perbaikan di hulu dengan menyusun regulasi
yang kuat dan terarah. Beberapa hal yang perlu dibangun bersama yaitu: 1)
kesepakatan pemerintah dan petani; 2) kebutuhan organisasi yang terorganisir; 3)
konsolidasi kelembagaan tingkat petani (dengan studi yang lebih dalam); 4)
dukungan pemerintah terhadap potensi kelembagaan petani menjadi
kelembagaan yang lebih baik dan kuat; 5) roadmap pemberdayaan dan
pembinaan petani yang lebih tajam.

Salah satu alternatif regulasi yang disarankan untuk diterbitkan yaitu Instruksi
Presiden (Inpres) terkait sinergitas dan sinkronisasi pembentukan dan
pemberdayaan organisasi petani di lahan irigasi. K/L yang terlibat meliputi
Bappenas, Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri,
dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigras i.

Pembuatan regulasi yang sinergis di atas PP maupun Peraturan Menteri


diharapkan akan menghindarkan terjadinya ego-sektoral dari masing-masing K/L,
baik pada proses penyusunan peraturan operasional Inpres, maupun jenis
kegiatan yang harus dilakukan dan menjadi target kinerja masing-masing K/L. Jika
menerapkan UU yang masih berlaku, akan ada konsekuensi yang harus dilakukan,
yaitu menegaskan kelembagaan P3A/kelembagaan petani lainnya merupakan
bagian dari Poktan. Oleh karena itu, untuk menyepakati dan merealisasikan
penyusunan Inpres tersebut, perlu dimulai dengan rapat-rapat koordinasi terkait
posisi strategis dan perlunya Inpres tersebut. Metode review regulasi yang dapat
digunakan adalah estate system . Arah kebijakan Inpres ini yaitu menekankan
pada tujuan dan komitmen bersama antar pelaksana kebijakan serta
kepentingan pemerintah dan masyarakat untuk membentuk kelembagaan petani
yang terintegrasi.

75
Inpres tersebut diharapkan akan memberikan instruksi arahan tentang tugas serta
substansi pembinaan dan pengembangan organisasi petani dalam rangka
pemberdayaan kelembagaan di lahan beririgasi, baik Poktan maupun P3A.
Sehingga, akan dipahami tugas dan tanggung jawab serta capaian yang harus
dilakukan oleh masing-masing K/L. Kementerian PPN/Bappenas dapat menjadi
jembatan untuk mewujudkan tercapainya konsep sinkronisasi kelembagaan
dan kesepakatan bersama yang dapat/tidak dikerjakan oleh pemerintah maupun
kelembagaan petani melalui korporasi petani yang bersifat bottom up.

4.5. Analisis Komprehensif

Di Indonesia, terdapat permasalahan secara umum terkait kelembagaan, yaitu


lemahnya kelembagaan petani karena faktor petani (P3A) dan petugas (dinas
penyelenggara irigasi, Komir). Tugas dan fungsi irigasi pun sudah terpecah
menjadi sumber daya air dan pertanian. Untuk menyatukan dan mensinkronkan
kegiatan irigasi dan pertanian ini perlu pembagian role sharing pada level
kelembagaan birokrasi terkait. Pembagian role sharing ini dapat dimulai dari level
bawah, seperti yang sudah dilakukan oleh UGM di DIY yang memfasilitasi petani
berdialog untuk mengumpulkan aspirasi petani dan knowledge sharing terkait
irigasi dan pertanian.

Dari beberapa poin analisis tersebut maka dapat dirangkum bahwa upaya
memperkuat kelembagaan petani dalam mengelola usahatani dan pelayanan
irigasi perlu adanya konsep pendekatan penguatan kelembagaan petani yang
komprehensif dan integratif dari berbagai perspektif. Selain itu juga harus
terintegrasi dengan konsep modernisasi pertanian dan modernisasi organisasi,
yang bercirikan proses kegiatan yang efisien tetapi tetap berkeadilan, sehingga
diharapkan menhasilkan output berupa terbentuknya organisasi petani yang
mempunyai kekuatan ekonomi-finansial, managemen organisasi yang teratur dan
transparan, untuk mewujudkan kelembagaan petani yang mandiri, mampu
mengurus diri sendiri, dan bertahan dalam menghadapi tantangan yang ada.

Untuk mencapai hal diatas, maka prinsip dasar konsep LEPLI yang mempunyai
semangat untuk mengintegrasikan beberapa organisasi petani yang ada seperti
Poktan/Gapoktan dan P3A/GP3A serta organisasi petani lainnya perlu terus
didorong perwujudannya. Selain itu juga perlu diupayakan terjadinya konsolidasi
majamen usahatani diantara para petani pemilik dan pengelola lahan dan juga
konsolidasi lahan yang terfragmentasi menjadi satu kesatuan entitas usahatani
dalam satu kawasan lahan yang berdasarkan batasan wilayah jaringan pelayanan

76
irigasi. Sehingga, akan memudahkan terwujudnya budidaya pertanian yang efisien
dan memudahkan mekanisasi pertanian dalam skala usaha yang relatif memenuhi
skala ekonomi yang diperlukan agar organisasi petani dapat berkelanjutan.
Konsolidasi lahan ini menggunakan pendekatan sosial dan ekonomi petani dan
meminimalisir risiko dan konflik yang mungkin muncul di masyarakat, sehingga
perlu adanya komunikasi yang baik untuk mengkoordinasikan usahatani dan
pengelolaan irigasi di lahan.

Konsolidasi lahan sendiri sudah diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pengertian konsolidasi lahan yang
dimaksud dalam konteks perlindungan untuk petani yaitu adanya lahan pertanian
untuk mendukung program ketahanan pangan nasional, dan untuk korporasi yang
bergerak lebih kepada konsolidasi bisnis. Bentuk yang akan didorong dalam level
petani adalah koperasi yang bisa bekerjasama dengan bisnis ( end to end
business) dengan mempertahankan share modal milik petani minimal sebesar
51%.

Masing-masing Kementerian sudah memiliki perundangan terkait kelembagaan


petani. Syarat untuk memberikan bantuan, kelompok petani tersebut harus
memiliki badan hukum/legalitas. Sehingga, perlu diatur mekanisme antar
kelompok/kelembagaan petani. Upaya untuk memperlancar konsep pendekatan
organisasi petani yang berkelanjutan tersebut perlu adanya dukungan pemerintah
pada faktor pembiayaan atau keuangan dan faktor regulasi yang memberi peluang
agar berbagai faktor di atas dapat dioperasionalkan dengan baik. Pemerintah perlu
merevisi regulasi yang mengatur pola bantuan pembiayaan ke organisasi petani
dengan regulasi yang memberikan kesempatan peluang organisasi petani untuk
dapat diberi kesempatan untuk melaksanakan kegiatan OP jaringan irigasi dan
pembiayaannya diberikan kepada P3A/GP3A/IP3A. Maka perlu dilakukan rev isi
terhadap PMK No. 173 Tahun 2016 tentang Bantuan Pemerintah kepada
Masyarakat dan juga Peraturan Menteri PUPR tentang pelaksanaan kegiatan OP
jaringan irigasi yang dilakukan oleh P3A/GP3A/IP3A.

Selain itu, perlu adanya regulasi tentang pembinaan organisas i petani yang
integratif yang dilaksanakan oleh beberapa K/L dalam pemberdayaan petani. Nilai
tambah yang diperoleh petani dari kegiatan pemberdayaan petani bukan hanya
meningkatkan pendapatan saja, namun juga pengetahuan managemen rantai
pasok dan implementasinya. Managemen yang dapat dikembangkan petani
meliputi: 1) kontrol kualitas produk pertanian; 2) pengiriman produk secara
langsung melalui platform logistik; 3) managemen gudang dan pengepakan
77
produk pertanian; 4) perlakuan produk khusus untuk produk pertanian tertentu
untuk meminimalisir produk terbuang; dan 5) optimalisasi pemanfaatan produk
secara kelompok. Konsep-konsep kelembagaan praktis/riil Poktan dan P3A diatur
dengan regulasi yang bersifat nasional atau lintas K/L. Jika terlalu luas, seluruh
kelembagaan diatur menjadi satu berdasarkan sektor/bidang seperti petani,
pedagang, dan nelayan.

Oleh karena itu, diperlukan upaya lanjutan untuk mendorong dialog melalui FGD
dan/atau konsultasi publik dalam rangka membahas secara lebih nyata perlunya
penerbitan regulasi yang memungkinkan pelaksanaan sinkronisasi dan sinergi
antar petani berupa Instruksi Presiden/Inpres yang mengatur secara integratif
terkait pemberdayaan organisas i petani, sehingga K/L yang mempunyai tugas dan
fungsi tersebut selalu mengacu kepada substansi isi dari Inpres/Perpres tersebut.

78
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan
1) Organisasi atau kelembagaan petani diharapkan dapat menjadi payung untuk
memenuhi kebutuhan bagi Poktan dan/atau P3A untuk melakukan sinergitas
usaha atau kegiatan dalam pengembangan pertanian dan pengelolaan irigasi
di jaringan irigasi tersier. Konsep Lembaga Ekonomi Petani di Lahan
Beririgasi (LEPLI) yang pernah dibangun dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif pendekatan/konsep sinkronisasi kelembagaan Poktan dan P3A di
jaringan tersier untuk menerapkan konsep konsolidasi manajemen,
konsolidasi lahan, pembinaan, dan penguatan agribisnis untuk mencapai
kesejahteraan petani. Konsep yang dikembangkan kedepan dapat berupa
KEP maupun korporasi petani (bergabungnya beberapa badan usaha dimana
share milik petani lebih tinggi (min 51% milik petani dan 49% milik pihak
lain) yang mencerminkan keterwakilan Poktan dan P3A. Konsep
kelembagaan petani tidak harus baru, namun ada regulasi yang mengatur
kelembagaan petani di masing-masing institusi terkait sinergi dan konsolidasi
untuk mengatur mekanisme kelembagaan petani yang terintegrasi.

2) Konsep-konsep kelembagaan praktis/riil Poktan dan P3A diatur dengan


regulasi yang bersifat nasional atau lintas K/L. Jika terlalu luas, seluruh
kelembagaan diatur menjadi satu berdasarkan sektor/bidang seperti petani,
pedagang, dan nelayan.

3) Dalam rangka menjamin berkelanjutan dan kemandirian lembaga petani,


maka aspek yang perlu diperhatikan yaitu aspek teknis, finansial dan
ekonomi, dan budaya atau filosofi (nilai-nilai) kelembagaan petani.

4) Sinkronisasi dan konsolidasi kelembagaan petani perlu didorong untuk


memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi (ICT). Kemudahan
teknologi dan mekanisasi pertanian menjadi lebih menarik bagi generasi
milenial untuk ikut bergabung dalam kelembagaan petani maupun kegiatan
irigasi, sehingga perkembangan kelembagaan pun akan ikut meningkat.

5) Masih ada regulasi pemberdayaan petani dalam pengelolaan irigasi secara


parsial oleh masing-masing K/L terkait. Sedangkan regulasi yang
memberikan kesempatan kepada organisasi petani untuk mendapatkan
bantuan pembiayaan pemberdayaan yang diberikan secara reguler untuk
memperkuat organisasi petani dalam pengembangan usatani dan
79
pengelolaan jaringan irigasi belum ada. Mengingat aspek irigasi, pertanian,
dan ketahanan pangan, permasalahan kelembagaan petani belum dianggap
penting (tingkat urgency rendah). Untuk mewujudkan sinergi kelembagaan
petani, perlu segera disiapkan dasar hukum/regulasi yang berpihak kepada
petani sebagai bentuk quickwin yang komprehensif dan diturunkan hingga
level praktis, khususnya dalam menyediakan bantuan pembiayaan
pengelolaan kegiatan OP jaringan irigasi secara rutin kepada P3A/GP3A/IP3A.
Selain itu juga mendesak kegiatan pemberdayaan organisasi petan i yang
integratif serta sinkronisasi kelembagaan petani Poktan dan P3A berupa
Inpres. Regulasi ini memuat role sharing setiap instansi terkait kelembagaan
petani. Hal ini mengingat saat ini beberapa peraturan perundangan (misal
beberapa peraturan Menteri) sudah tidak berlaku karena UU No. 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air sudah tidak berlaku dengan diterbitkannya
UU No.17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air.

6) Untuk melaksanakan intervensi kelembagaan petani, perlu dimulai dari level


pemerintah sebagai regulator/enabler sebelum intervensi ke masyarakat.
Hubungan dan peran pemerintah dan petani harus jelas, tidak hanya sebatas
pemberian bantuan pembangunan untuk menyelesaikan program. Peran
petani yang terlibat adalah sebagai mitra pembangunan, bukan sebagai
sasaran program. Pelaksanaan sinkronisasi kelembagaan petani ini perlu
dimulai dengan adanya dialog publik dan forum-forum antar akademisi, LSM,
dan institusi terkait agar kelembagaan aktif dan hidup kembali.

5.2. Rekomendasi

1) Dalam pelaksanaan kegiatan pertanian dan pengelolaan irigasi yang


terintegrasi dengan usahatani dan peningkatan ekonomi kelembagaan
petani, perlu adanya sinkronisasi kelembagaan dengan pendekatan bersama
yang didukung dengan pendampingan untuk melakukan konsolidasi lahan
dan managemen di level petani untuk menuju kelembagaan yang mandiri
dan berkelanjutan. Hal ini dilaksanakan untuk penguatan dan pemberdayaan
organisasi petani dalam kegiatan pertanian dan pengelolaan irigasi yang
melibatkan K/L terkait.

2) Konsep/model kelembagaan petani yang didorong yaitu kelembagaan yang


kegiatannya tersinkronisasi dan terkonsolidasi membentuk korporasi petani.
Korporasi petani melakukan konsolidasi managemen dan lahan serta memiliki
80
usahatani di lahan beririgasi untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan anggota. Korporasi petani dapat dilaksanakan
berdasarkan batas administrasi desa maupun jaringan irigasi tersier,
tergantung pada kondisi masing-masing daerah. Sehingga, perlu didukung
dengan kelengkapan data -data blok desa dan sistem irigasinya. Anggota
korporasi petani bisa berasal dari 1 desa atau lebih dalam 1 kecamatan,
dengan syarat minimal 3 kelompok tani yang bergabung.

3) Bentuk korporasi petani dapat diterapkan dengan pilot dan dilaksanakan


secara bertahap.

81
Lampiran
Lampiran 1. Simulasi kebutuhan kegiatan dan anggaran P3A untuk menjalankan
fungsi utamanya:

Item Harga
No Kebutuhan Volume Satuan Satuan Sub Total Keterangan
1 Biaya Komunikasi 12 50.000 Rp 600.000
2 Biaya Sosialisasi 4 500.000 Rp 2.000.000 Rapat awal
dan Rapat tahun, Rapat
akhir tahun,
MT 1, MT 2
3 Penyusunan 1 250.000 Rp 250.000
Laporan Tahunan
4 Insentif Pengurus
- Ketua 12 150.000 Rp 1.800.000
- Sekretaris 12 100.000 Rp 1.200.000
- Bendahara 12 100.000 Rp 1.200.000
5 Alat tulis kantor 12 50.000 Rp 600.000
(buku, pulpen, dll)
6 Perjalanan D inas 2 500.000 Rp 1.000.000
ke Kab
7 Perjalanan D inas 12 50.000 Rp 600.000
dalam desa/kec
TOTAL KEBUTUHAN PER TAHUN 9.250.000
RATA-RATA KEBUTUHAN PER BULAN 770.833

82
Lampiran 2. Simulasi peluang kegiatan dan penerimaan yang dapat dimanfaatkan
oleh P3A

Sumber Tahun
No Item Nilai Satuan Keterangan
Data Data
1 Luas Lahan Baku Sawah 7.463.948 ha ATR, 2019
Nasional Kementan,
BIG, BPS,
LAPAN

2 Luas Daerah Irigasi 9.136.027 ha PUPR 2015


3 Jumlah Daerah Irigasi 56.291 DI PUPR 2015
4 Rata-rata luas Daerah Irigasi 162,30 ha 2015
5 Biaya Pemeliharaan per ha 300.000 Rp Tanpa Operasi
6 Rata-rata biaya pemeliharaan 48.689.988 Rp
per DI
7 Skenario 1: Seluruh 48.689.988 Rp
Pemeliharaan diserahkan
kepada P3A
8 Skenario 2: 70% Pemeliharaan 34.082.991 Rp
diserahkan kepada P3A
9 Management Fee untuk P3A 2.434.499 Rp
(5%) - Skenario 1
10 Management Fee untuk P3A 1.704.150 Rp
(5%) - Skenario 2
11 Estimasi Neraca Keuangan per - 6.815.501 Rp Tanpa Iuran &
tahun - Skenario 1 Rehab
12 Estimasi Neraca Keuangan per - 7.545.850 Rp Tanpa Iuran &
tahun - Skenario 2 Rehab
13 Potensi Penerimaan dari Iuran 8.114.998 Rp Rp 50 rb/ha/tahun
Anggota
14 Potensi Penerimaan dari Iuran 4.057.499 Rp Mempertimbangkan
Anggota - 50% membayar bahwa banyak
petani hanya
penggarap, selain
pemilik+penggarap
15 Rata-rata Potensi Penerimaan 973.800 Rp 10 tahun sekali,
dari Proyek Rehabilitasi per porsi yg dilakukan
tahun (Management Fee 5%) P3A 10% dari total
pekerjaan rehab.
Unit cost rehab 12
juta/ha
16 Estimasi Neraca Keuangan per - 1.784.202 Rp Dengan Iuran 50%
tahun - Skenario 1 + Rehab
17 Estimasi Neraca Keuangan per - 2.514.552 Rp Dengan Iuran 50%
tahun - Skenario 2 + Rehab

83

Anda mungkin juga menyukai