Policy Brief : Sinergi, Sinkronisasi, dan Konsolidasi Kelembagaan Petani di Lahan Irigasi
Jakarta : Direktorat Pengairan dan Irigasi Bappenas, 2019
iv + 83 hal., kertas A4
Penulis:
Abdul Malik Sadat Idris, ST, M.Eng
Ir. Juari, ME
Mohammad Irfan Saleh, ST, MPP, Ph.D
Ewin Sofian Winata, ST, MEM
Frieda Astrianty Hazet, ST
Unika Merlin Sianturi, ST
Bintang Rahmat Wananda, ST
Aditya Riski Taufani, ST, M.Eng
Ir. Sudar Dwi Atmanto
Sidik Permana Ali Muhtaj, ST
Khuswatun Chasanah, ST
Pendukung :
Aris Kurniawan, ST
Awang Kadinata Rachman Diputra, S.E
Rizqa Mulia Josiana, ST
Ayunda Pratiwi, S.Stat
Aldila Utami Hapsari, S.I.Kom
Sekar Adjeng Bramesti, SE, Akt.
Dewi Sri Wahyuni, S.Ikom,
Vera Nita Adm.
Rizki Agung Hermanto, SE
Narasumber :
Prof. Dr. Ir. Sigit Supadmo Arif, M.Eng
Ir. Theresia Sri Sirdharti, MT
Dr. Jamhari, SP, MP
Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, MS
Dr. Ir. Murtiningrum, M.Eng
Dr. Ir. Dyah Susilokarti, MP
Dadang Ridwan, ST, MPSDA
Ir. Basuki Setiabudi
M. Tahid, ST, MPPM
Ir. Djito, SP1
ii
Kata Pengantar
Metode penyusunan policy brief dilakukan dengan berbagai diskusi melalui forum group
discussion (FGD) dan workshop serta melalukan survey secara terbatas karena dalam
kondisi pandemic Covid-19. Dengan segala keterbatasan sumber daya dan metode
diskusi dalam penyusunan, kiranya banyak kendala dan kekurangan dalam policy brief
ini. Namun kiranya dari yang terbatas ini dapat bermanfaat dalam penyusunan RPP
Irigasi maupun regulasi-regulasi teknis keirigasian lainnya.
Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terimakasih kepada seluruh stakeholder
yang telah memberikan masukan dan saran selama proses diskusi, dan menjadi bahan
utama dalam penyusunan policy brief. Berbagai stakeholder tersebut adalah: seluruh
Direktorat pada Ditjen SDA Kementerian PUPR; Direktorat Irigasi Pertanian, D itjen PSP
Kementan, dan Badan Pusat Penyuluhan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian
Pertanian; Direktorat Sistem Urusan Pemerintahan Daerah (SUPD) I dan II, D itjen Bina
Bangda, Kementerian Dalam Negeri; dan Pakar dari UGM dan IPB serta berbagai praktisi.
iii
Daftar Isi
iv
Policy Paper
I. PENDAHULUAN
1
Dalam pembinaan P3A/GP3A, terdapat 3 (tiga) kementerian yang terlibat secara
intens yaitu Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam
Negeri. Berdasarkan aspek regulasi, dinilai bahwa paling tidak terdapat 2 (dua)
persoalan yaitu 1) kurangnya integrasi regulasi antar K/L untuk mensinergikan
program pemberdayaan petani; dan 2) inti atau substansi pembinaan petani
belum mampu menjawab kebutuha n kegiatan organisasi, khususnya kegiatan
pemberdayaan organisasi dan pengelolaan keuangan atau finansial. Padahal justru
substansi pemberdayaan organisasi dan finansial sangat menentukan suatu
organisasi dapat berjalan secara berkelanjutan.
Reaktualisasi dan pola pikir ke arah integrasi untuk membentuk organisasi petani
dan memberikan pembinaan terhadap organisasi petani perlu dilakukan secara
terus menerus. Mengingat hasil dari beberapa kajian bersama antar K/L belum
dapat mensinergikan kegiatan petani serta pembinaan dan pemberdayaan
kelembagaan petani, maka sinergi dan sinkronisasi dinilai sangat perlu untuk
dilakukan demi kepentingan petani. Sudah saatnya K/L teknis yang terlibat dalam
pembinaan dan pemberdayaan petani mengupayakan agar kelembagaan
Poktan/Gapoktan dan P3A/GP3A dapat terintegrasi menjadi organisasi petani yang
berskala ekonomi lebih besar dengan pengaturan budidaya tanaman dan
pengelolaan irigasi yang terintegrasi ataupun integrasi kegiatan antar
kelembagaan petani.
Keterangan:
Dalam juta
rupiah
Gambar 1 Upah pekerja berbagai sektor (Sumber: SAKERNAS BPS Agustus 2019)
Berdasarkan pada Grafik tersebut, operasional P3A yang bersumber dari iuran
anggota sangat tidak memungkinkan dan kurang tepat untuk keberlanjutan
kelembagaan. Petani yang sebagian besar merupakan petani kecil memerlukan
organisasi yang kuat dan mandiri, tidak hanya dalam pengelolaan irigasi, namun
juga membantu memperbaiki penghidupan dan kesejahteraannya.
Selama ini, isu keberlanjutan organisasi selalu muncul ketika suatu proyek
irigasi yang didanai oleh pinjaman luar negeri ( loan/grant) selesai dilaksanakan
(closing program ). Setelah loan/grant selesai, pelaksanaan kegiatan praktis tidak
berlanjut karena sumber pendanaan hanya berasal dari pemerintah, namun belum
ditangani secara serius hingga saat ini. Berdasarkan Permen PUPR No. 33 Tahun
2007 tentang Pemberdayaan P3A dan Permentan No. 273 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pembianaan Kelembagaan Petani, petani cenderung difungsikan sebagai
pelaksana program pembangunan sektoral. Organisasi petani hanya dibentuk dan
diberdayakan selama program berjalan, namun ikut berhenti ketika masa program
selesai, sehingga sering disebut organisasi TUKIYEM (dibentuk kemudian
diam/berhenti). Persoalan pola kelembagaan ini perlu perlu dicarikan alternatif
3
solusi baru agar kelembagaan petani dapat dilaksanakan secara
kontinu/berkelanjutan.
4
II. KERANGKA REGULASI, KELEMBAGAAN, DAN KEBIJAKAN
6
2.2. Kerangka Kelembagaan Kelompok Tani (Poktan) dan P3A
Keberadaan lembaga petani di Indonesia khususnya P3A sudah ada sejak lama
dan mengalami perubahan atau perkembangan sesuai dengan bertambahnya
jaringan irigasi untuk mendukung budidaya tanaman padi. Perubahan tersebut
terkait dengan intensitas pembinaan lembaga petani sesuai dengan tugas
pembinaan yang dilakukan oleh beberapa kementerian. Dengan berkembangnya
pertanian, pemerintah juga mengintensifkan pembinaan terhadap kelembagaan
petani pada aspek teknis keirigasian dan teknis budidaya tanaman, dan aspek
kelembagaan/keorganisasian, serta aspek finansial/pembiayaan. Namun,
pelaksanaannya belum terlaksana secara efektif karena belum ada sinkronisasi
materi dan waktu pelaksanaan kegiatan pembinaan. Sehingga pada
kenyataannya, pelaksanaan pembinaan kelembagaan masih parsial.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 33 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A Pasal 17 Ayat (3) disebutkan bahwa
pemberdayaan dilakukan melalui penguatan yang meliputi:
a. pembentukan organisasi sampai berstatus badan hukum, hak dan
kewajiban anggota, manajemen organisasi, pengakuan keberadaannya,
dan tanggung jawab pengelolaan irigasi di wilayah kerjanya;
b. kemampuan teknis pengelolaan irigasi dan teknis usaha tani; dan
c. kemampuan pengelolaan keuangan dalam upaya mengurangi
ketergantungan dari pihak lain.
PUPR baru menyentuh aspek pada butir a dan sebagian butir b. Kementerian
Pertanian lebih fokus pada materi teknis budidaya tanaman (sebagian butir b).
Sedangkan untuk aspek finansial (butir c) belum/ tidak ada instansi pemerintah
yang mengintervensi atau melaksanakan pemberdayaan P3A dan bertanggung
dalam aspek finansial atau pembiayaan. Kementerian Koperasi dan UKM
mempunyai program tersendiri dengan sasaran anggota masyarakat yang besar
kemungkinan sebagiannya juga merupakan petani.
Pembinaan pengelolaan keuangan sejauh ini hanya dilakukan oleh Kementerian
Pertanian untuk POKTAN atau GAPOKTAN. Sudah cukup banyak POKTAN atau
GAPOKTAN yang memfasilitasi berjalannya layanan atau penyediaan keuangan
mikro bagi anggotanya. Bahkan hingga Bulan Juni 2020, tercatat 75 Lembaga
Keuangan Mikro yang merupakan pengembangan dari GAPOKTAN dan Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) sudah terdaftar dan memiliki
ijin operasi resm i dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
(https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data -dan-statistik/direktori/direktori-
lkm/Pages/Direktori-Lembaga-Keuangan-Mikro-Juni-2020.aspx). Berkaca pada
kondisi tersebut, kerangka pengembangan kelembagaan P3A perlu dipikirkan dan
7
ditata ulang, termasuk keberadaan lembaga-lembaga petani yang ada di desa
seperti Poktan/Gapoktan, dan organisasi petani lainnya agar dapat terintegrasi
dan lebih efektif dalam menjalankan fungsinya.
P3A memiliki fungsi utama sebagai mitra pemerintah dalam penyediaan layanan
irigasi bagi petani. Dengan cakupan kegiatan dan wilayah layanan irigasi yang
sangat luas, peran P3A sangat penting untuk meningkatkan efektiv itas, efisiensi
serta kecepatan layanan. Dilihat dari sisi kelembagaan, P3A memilliki karakteristik
sebagai berikut:
a. Kegiatan utama adalah layanan irigasi. Meskipun di beberapa tempat P3A
juga melakukan kegiatan di luar layanan irigasi seperti kegiatan yang
terkait dengan pertanian, namun tidak dapat didorong untuk berlaku
secara luas sebab juga terdapat organisasi POKTAN yang memiliki core
kegiatan di sektor pertanian;
b. Wilayah kerja P3A terbatas di wilayah tertentu, kira -kira seluas desa atau
kecamatan. P3A tidak dapat melakukan ekspansi ke wilayah lain
disebabkan di wilayah lain juga terdapat organisasi P3A;
c. Kelembagaan P3A bersifat voluntary atau sukarela, baik dari sisi
keanggotaan maupun operasional organisasi, tidak atau belum didorong
menjadi satu lembaga modern dan professional;
d. Dari sisi kegiatan, dapat dikatakan selama ini kegiatan P3A bersifat
incidental, berbasis proyek pemerintah.
Meskipun demikian, dapat dicatat dan perlu diakui bahwa selama ini P3A sudah
berperan dan bekerjasama dalam pengelolaan dan sebagian pengembangan
jaringan irigasi, paling tidak yang difasilitasi dengan loan dari ADB dan WB.
Namun peran yang sudah mulai tumbuh tersebut, jika dilihat secara magnitude
atau dibandingkan dengan keseluruhan jaringan irigasi di Indoinesia dapat
dikatakan peran P3A masih sangat minim, yang keaktifannya sangat bergantung
pada dana pemerintah. Sehingga ketika tidak ada kucuran dana pemerintah, P3A
praktis tidak berkegiatan atau kalau pun ada sangat minim. Dengan melihat
investasi yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk pembentukan P3A
(kebanyakan berasal dari dana pinjaman luar negeri), tentu kondisi ini sangat
disayangkan.
Kondisi yang sudah berjalan puluhan tahun ini perlu diubah. M empertimbangkan
peran yang dapat dijalankan oleh P3A berdasarkan beberapa peraturan yang ada,
maka pemerintah perlu merumuskan satu bentuk organisasi yang lebih baik, kuat,
mandiri dan berkelanjutan sehingga dapat menjalankan peran dan fungsinya
secara optimal. Tentunya hal ini perlu mendapat dukungan pemerintah, baik
berupa dukungan dana, peningkatan kapasitas maupun pemberdayaan dan
pembinaan. Pengembangan kapasitas kelembagaan petani diarahkan untuk
meningkatkan kelembagaannya menjadi kelembagaan ekonomi petani sehingga
meningkatkan skala ekonomi, efisiensi usaha, dan posisi tawar petani.
8
Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang pernah dijalankan dalam
rangka pengelolaan dan pengembangan jaringan irigasi seperti UU No. 11 Tahun
1974 tentang Pengairan, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
khussusnya pasal 70 ayat (2), dan Undang-Undang yang saat ini berlaku yakni UU
No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, pasal 55 ayat (2), dinyatakan
bahwa pemberdayaan masyarakat dilaksanakan pada kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, operasi, dan pemeliharaan, serta pemantauan dan evaluasi
pengelolaan sumber daya air. Pendekatan partisipasi masyarakat/petani
seharusnya menjadi dasar pelaksanaan pemberdayaan lembaga petani dalam
pengelolaan irigasi. Poktan maupun P3A seharusnya dilibatkan pada setiap tahap
kegiatan mulai dari perencanaan sampai dengan pemantauan dan evaluasi,
sebagai bentuk pemberdayaan kelembagaan petani. Secara praktis hal tersebut
dapat diawali dengan melakukan dialog yang regular yang bisa dalam setiap
bulan/kwartal/semester/tahaunan sebagai cara untuk membahas berbagai
permasalahan dalam pengelolaan dan pengembangan irigasi. Namun dalam
pelaksanaannya, hanya sedikit kegiatan proyek yang menggunakan pendekatan
partisipatif.
9
III. TRANSISI PENGUATAN ORGANISASI PETANI
(ALTERNATIF KEBIJAKAN)
10
Dalam perkembangannya, kelembagaan petani terus mengalami perubahan akibat
regulasi maupun kebijakan yang berlaku sepanjang tahun. Timeline dinamika
kelembagaan petani di Indonesia dapat ditunjukkan pada Gambar 3:
Pengelolaan irigasi yang dilakukan seluas-luasnya oleh daerah pada Era Otonomi
Daerah, mengalami perubahan pembagian kewenangan dengan diterbitkannya UU
No. 7 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Air. Kewenangan irigasi dibagi menjadi 3
(tiga) tingkatan yaitu: 1) kewenangan pusat, 2) kewenangan prov insi, dan 3)
kewenangan kabupaten/kota. Seluruh instansi yang telah menerapkan otonomi
daerah pun kembali menyesuaikan kebijakan tersebut. Kemudian pada tahun 2017
dilakukan percepatan inventarisasi jaringan irigasi dan pemutakhiran awal
pembentukan dan pembinaan P3A oleh PUPR menggunakan pendekatan Single
11
Management Irigasi. Dengan pendekatan ini, pembinaan tersier dan P3A kembali
ke Kementerian PUPR.
Anggota kelembagaan Poktan dan P3A yang mayoritas sama memiliki tugas dan
pembinaan yang berbeda. Perbedaan sikap K/L terhadap Poktan dan P3A
menyebabkan berbagai ketimpangan kegiatan kelembagaan di lapangan. Secara
kesejarahan program rehabilitasi irigasi besar-besaran yang dilakukan pada awal
tahun 90-an, dilengkapi dengan pembentukan PTGA untuk menghadapi persoalan
baru terkait OP jaringan irigasi di lapangan.
UU No. 17 Tahun 2019 tentang SDA yang baru diterbitkan pada bagian akhir
menegaskan pembagian kewenangan daerah irigasi tidak diatur pada level
Undang-Undang, sehingga dapat mempengaruhi pelaksanaan pengelolaan irigasi.
Namun dengan mengacu kepada pasal 10, 11, dan 15, UU No. 17 Tahun 2019
sesungguhnya masih terdapat pembagian kewenangan irigasi, karena secara
eksplisit terdapat pengaturan tersebut. Menurut perkembangannya, keterbatasan
kapasitas SDM pemerintah dan petani untuk melaksanakan OP, serta adanya
regulasi baru terkait pembagian kewenangan, menyebabkan PTGA tidak relevan
untuk dilaksanakan di prov insi. Sehingga, pelaksanaan PTGA didorong untuk
dilaksanakan di daerah irigasi kewenangan pusat.
Dengan fasilitasi dari Loan WISMP I dari World Bank, dilakukan upaya untuk
mensinergikan kelembagaan petani termasuk untuk mengantisipasi adanya
perkembangan organisasi kelembagaan tersebut. Pilot pembentukan sinergi
kelembagaan petani tersebut dengan nama lembaga ekonomi di lahan beririgasi
(LEPLI) yang mensinkronkan kegiatan Poktan dan P3A. Konsep kelembagaan
ekonomi pertanian dan pengelolaan irigasi serupa cukup baik untuk dijadikan
pembelajaran dan contoh sebagai salah satu alternatif pendekatan sinkronisasi
kelembagaan Poktan dan P3A di jaringan tersier. Konsep-konsep kelembagaan
petani yang dikembangkan untuk mensinkronisasi kegiatan pertanian dan
pengelolaan irigasi serta kegiatan ekonomi kelembagaan petani terus berkembang
di lapangan. Beberapa diantaranya yaitu korporasi petani yang
mengkonsolidasikan lahan petani ( corporate farming), komunitas estate padi
(KEP), dan korporasi petani lainnya untuk memperkuat Poktan maupun P3A.
12
Tabel 1 Gambaran kelembagaan petani Indonesia
14
Nama Kelebihan dan
Tugas-Fungsi Keberlanjutan
Lembaga Kekurangan
kepada organisasi petani
atau P3A/GP3A/IP3A.
Sehingga unit PTGA
hanya sebagai funsi
fasilitasi saja.
Konsolidasi Konsolidasi lahan dan - Konsolidasi lahan dengan Pilot dilaksanakan di
Managemen managemen untuk menggabungkan lahan lahan seluas 6,5
dan Lahan mengembangkan komoditas petani hektar di Kabupaten
(konsep lokal dan berorientasi dalam - Batas sawah dihilangkan Bantul, DIY dan
korporasi negeri dalam satu unit desa agar lebih mudah sedang
petani UGM) berbasis agribisnis pengelolaannya dikembangkan model
- Dapat disinkronkan penyuluhan pertanian
dengan partisipasi dan berbasis aplikasi
korporasi smartphone “Desa
- Memperluas hamparan Apps”.
petani yang lahannya Dapat dikembangkan
kecil pemanfaatan
- Hemat air dan hemat teknologi dan ICT di
biaya lahan.
- Meningkatkan nilai
ekonomi dan daya saing
pasar
- Belum ada dukungan
fasilitas irigasi pertanian
- Konflik ekonomi akibat
konsolidasi lahan
Komunitas Membentuk bisnis ko lekstif - Membangun capacity Dilaksanakan
Estate Padi sesuai harapan dan building multi menggunakan prinsip
(konsep kesepakatan dengan prinsip kelembagaan komunitas.
kelembagaan sinergi, konsolidasi, - Konsolodasi lahan dalam Program riset di
IPB) kebersamaan, keberlanjutan hamparan mencapai 101 Kabupaten
Mengembangkan usaha ha Purbalingga sejak
beras dan sampingan lain - Kerjasama inter-relasi Tahun 2018
antar stakeholder Tahun 2020 akan
- Perlu waktu lama dan dikembangkan di
pembinaan intensif daerah lain dengan
untuk mengubah budaya tema petani organik
dan sinergi petani sesuai kondisi dan
kebutuhan petani
lokal.
15
3.2. Syarat Minimal Keberlanjutan Organisasi Petani
Secara tekstual, berbagai peraturan pelaksanaan pemberdayaan petani telah
menyebutkan bahwa pemberdayaan petani harus berhasil mewujudkan
kelembagaan yang mandiri. Sehingga, faktor kemandirian menjadi tuntutan utama
bagi instansi pemerintah dalam melakukan pemberdayaan kelembagaan petani,
namun pada realitanya masih jauh dari harapan. Jika kemandirian didefinisikan
sebagai lembaga petani yang mampu membangun dan memelihara jaringan irigasi
tersier, maka dipastikan belum ada Poktan dan P3A yang dapat disebut mandiri.
Dengan memperhatikan luas kepemilikan lahan yang rekatif kecil dimana rata-rata
sebesar 0,3 ha di pulau Jawa dan kegiatan ekonomi keluarga yang tidak
mendukung, maka kemandirian kelembagaan petani akan sangat sulit diwujudkan
dan berlanjut.
Upaya untuk mencapai kelembagaan petani yang mandiri dan berkelanjutan dapat
ditempuh dengan pendekatan konsolidasi kelembagaan Poktan dan P3A yang
memiliki area kegiatan pertanian dan pengelolaan irigasi bersinggungan. Daerah
irigasi yang telah melaksanakan konsolidasi Poktan dan P3A menjadi satu
kepengurusan semakin banyak ditemui di beberapa daerah seperti GP3A Keru
Lombok Barat, Koperasi Tani Wire Singe Lombok Barat, Koperasi Tani Subak
Guama Bali, Subak Jatiluwih Bali, dan lainnya. Upaya konsolidasi Pokta n dan P3A
perlu diikuti dengan mendorong kelembagaan petani tersebut menjadi sebuah
organisasi “korporasi petani” dengan batasan wilayah kerja sesuai wilayah
Gapoktan dan GP3A. Dengan memperhatikan perkembangan organisasi petani
dan kinerjanya yang relatif tidak banyak berkembang selama 30 tahun terakhir,
maka usaha peningkatan kinerja organisasi petani yang terkonsolidasi dalam
pengelolaan irigasi dan budidaya tanaman dapat dijadikan sebagai alternatif
16
kelembagaan petani dan strategi baru untuk meningkatkan kinerja Poktan dan
P3A dengan didukung menggunakan teknologi dan digitalisasi.
18
3.3. Peluang dan Tantangan Kelembagaan Petani
Setelah memahami syarat organisasi dapat mandiri, hal yang perlu diperhatikan
adalah peluang dan tantangan kelembagaan petani untuk dapat menjadi
organisasi mandiri, termasuk menjawab model kelembagaan petani yang ada dan
model ideal untuk mencukupi dan mencapai tujuan kelembagaan.
Pada prinsipnya, P3A merupakan organisasi nirlaba. Lembaga organisasi nirlaba
senantiasa dicirikan dengan satu atau lebih sumber dana. Berdasarkan
karakteristik kegiatan organisasi, P3A dapat dimasukkan dalam kategori lembaga
nirlaba (non profit). Sebagai lembaga nirlaba, sumber pembiayaan mengandalkan
donatur untuk menjalankan roda organisasi: 1) bisa berasal dari pendiri atau
donator, baik rutin maupun incidental; 2) dapat memiliki sumber dana lain,
misalnya dari iuran anggota; 3) sumber dana komersial dimungkinkan baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dari pelaksanaan kegiatan tersebut, organisasi
nirlaba dapat memperoleh keuntungan, yang kemudian hasil keuntungan tersebut
dikembalikan kepada organisasi, anggota atau lingkungan sekitar. Berdasarkan
penjelasan tersebut – dan dengan mempertimbangkan bahwa untuk menjalankan
roda organisasi memerlukan sumber daya – maka P3A dapat memperoleh
keuntungan dari kegiatannya. Artinya, P3A harus memiliki fungsi ekonomi dalam
memberikan benefit (bukan hanya profit) bagi organisasi, anggota maupun
lingkungan sekitar. Selain itu, tuntutan agar P3A memberi benefit bagi anggota
atau lingkungan sekitar menunjukkan bahwa P3A harus memiliki fungsi sosial.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan analisis peluang dan tantangan, baik
yang bersifat internal maupun eksternal. Analisis dilakukan dengan metode SWOT
(Strength, Weaknesses, Opportunity dan Threat), dengan fokus pada beberapa
aspek yakni (1) kelembagaan formal; (2) Sosial-Budaya; (3) Keuangan; dan (4)
Sumber Daya Manusia. Aspek-aspek ini merupakan determinant factor satu
lembaga bisa mandiri dan berkelanjutan. Tabel 2 berikut merupakan hasil analisis
SWOT yang dilakukan terhadap P3A:
Tabel 2 Hasil analisis SWOT P3A
No Komponen Keterangan
1 Sewa Kantor (+ listrik, air) Menggunakan balai desa/rumah pengurus
2 Sewa Ruang Rapat Menggunakan balai desa/rumah pengurus
3 Alat kerja kantor (komputer, Menggunakan fasilitas desa atau anggota
printer, internet, modem, listrik) atau pengurus
4 Alat komunikasi (HP) Menggunakan milik anggota/ pengurus
5 Kendaraan (motor) Menggunakan milik anggota/ pengurus
22
Memperhatikan hasil simulasi tersebut, kebutuhan operasional minimal organisasi
P3A relatif kecil. Meskipun kebutuhan operasi minimal organisasi P3A relative kecil,
sejauh ini sulit bagi P3A untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karena praktis P3A
tidak memiliki pendapatan rutin yang berkelanjutan. Lantas, potensi yang dapat
dimanfaatkan oleh P3A agar minimal dapat menjalankan fungsi utamanya secara
baik perlu dikaji lebih mendalam.
Berdasarkan pada hasil simulasi peluang kegiatan dan penerimaan yang dapat
dimanfaatkan P3A ( Lampiran 2), terdapat defisit yang besar antara potensi
pendapatan dengan kebutuhan/pengeluaran minimal organisasi P3A, bahkan
dengan beberapa komponen dinilai gratis karena diasumsikan menjadi kontribusi
masyarakat. Merujuk pada simulasi tersebut, bila porsi kegiatan pemeliharaan
(70%-100%) dan rehabilitasi ringan (dilaksanakan 10 tahun seka li) dilakukan P3A
dengan iuran anggota dinilai Rp 0, hanya dapat menutup biaya operasional antara
28,95% - 36,85%. Sedangkan bila iuran anggota diasumsikan mencapai 50%,
penerimaan P3A dapat menutup 72,82% - 80,71% dari kebutuhan.
Partisipasi masyarakat secara bertahap dapat terus ditingkatkan, termasuk
kepatuhan membayar iuran anggota. Namun ini akan sangat bergantung pada
kinerja layanan irigasi dan manfaat organisasi yang dirasakan oleh masyarakat.
Sepanjang masyarakat tidak merasakan manfaat P3A, sulit diharapkan partisipasi
masyarakat secara optimal. Perlu digarisbawahi, simulasi tersebut hanya sebatas
kebutuhan minimal P3A untuk menjalankan fungsinya. Untuk mengembangkan
P3A menjadi organisasi dengan layanan yang lebih luas, diperlukan kegiatan dan
pendanaan yang lebih besar.
Berdasarkan hasil pemetaan dan simulasi tersebut, sulit bagi P3A untuk dapat
menjadi satu organisasi masyarakat yang mandiri. Sehingga tidak heran bila P3A
aktif hanya bila ada pengerjaan proyek pemerintah. Untuk memperbaiki hal ini,
maka lembaga P3A perlu diperbaiki. Dengan wilayah operasional yang tidak dapat
diperluas, maka yang dapat dilakukan adalah memperluas cakupan kegiatan P3A,
sehingga dapat menambah penerimaan untuk memutar roda organisasi. Namun
demikian, gagasan ini juga mengalami dilema atau terdapat problematik, karena
basis anggota P3A adalah petani, maka kegiatan yang mungkin diperluas ada di
sektor pertanian. Permasalahannya, di sektor pertanian terdapat organisasi
masyarakat yang juga dibentuk pemerintah, yakni Kelompok Tani (Poktan)
beserta pengembangannya (Gapoktan).
Meskipun di bagian sebelumnya disebutkan bahwa beberapa P3A sudah
melakukan kegiatan di sektor pertanian, adanya Poktan membuat hal tersebut
23
sulit untuk menjadi satu kebijakan yang bersifat nasional. Pada bagian selanjutnya
akan dibahas tentang bagaimana pola hubungan kedua lembaga tersebut
sehingga dapat tercipta organisasi petani yang tidak hanya terbatas melakukan
kegiatan rutin yang menjadi core business -nya, namun dapat menjadi lembaga
petani yang maju, modern, mandiri dan dapat meningkatkan kualitas penghidupan
dan kesejahtaraan anggotanya.
Program PTGA merupakan program dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air
Kementerian PUPR yang telah dilaksanakan pada masa Orde Baru. Pada waktu itu,
pembentukan PTGA dinilai perlu dengan pertimbangan bahwa pada awal Orde
Baru pemerintah melakukan kegiatan pembangunan irigasi baru dan kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi secara besar-besaran. Sehingga, pasca kegiatan
pembangunan irigasi baru dan rehabilitasi jaringan irigasi sangat memerlukan
kegiatan penilaian ( assessment) kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan
pelaksanaan kegiatan OP dalam pengelolaan jaringan irigasi. Pembangunan baru
dan rehab tanpa diikuti kegiatan OP akan menyebabkan umur ( life-time)
infrastruktur jaringan irigasi tersebut berkurang dan rusak lebih cepat. Selain itu,
juga melaksanakan kegiatan pelatihan-pelatihan teknis kegiatan OP, mulai dari
tingkat Cabang Dinas PU Pengairan tingkat kabupaten/kota, tingkat Pengamat
Pengairan, Juru Pengairan, Petugas Pintu Air, dan tingkat P3A.
24
prov insi. Dalam melaksanakan program kegiatannya, unit PTGA bekerjasama
dengan Dinas PU Provinsi, khusunya Sub Dinas Pengairan.
Ketika UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA yang tidak berlaku pasca keputuhan
Mahkamah Konstitusi, pengaturan keirigasian melalui Peraturan Menteri PUPR No.
30 Tahun 2015 tentang Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi (PPSI).
Sehingga, pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian
PUPR mulai memberikan perhatian kepada kondisi kegiatan OP yang sudah
memerlukan perhatian serius, terutama daerah irigasi kewenangan pemerintah
daerah. Menurut Permen PUPR No. 30 Tahun 2015 tentang PPSI, diatur tata
guna air irigasi untuk budidaya tanaman. Berdasarkan kondisi tersebut, pada
tahun 2016 program PTGA diselenggarakan kembali untuk mendukung kegiatan
OP jaringan irigasi yang menjadi kewenangannya di beberapa Balai Wilayah
Sungai/Balai Besar Wilayah Sungai. Target keseluruhan yang diharapkan yaitu di
17 B/BWS. Dalam implementasinya, modul serta pelatihan harus ditambah dan
dilengkapi terkait dengan pengembangan sistem irigasi dan tata guna air.
UPI dapat menjadi wadah sebagai sistem informasi dan perencanaan program OP
irigasi, pengendalian dan pengawasan OP, dan fungsi penyuluhan melalui PTGA.
Pembentukan UPI bertujuan untuk meningkatkan tata kelola air di jaringan irigasi
dalam satu kesatuan sistem irigasi dari jaringan utama sampai jaringan tersier
serta meningkatkan kondisi sarana dan prasarana jaringan irigasi dengan
melaksanakan kegiatan operasi dan pemeliharaan jaringan ir igasi. Salah satu
fungsi pembentukan UPI adalah penyuluhan dan tata guna air di DI kewenangan
pusat, yang meliputi DI Colo (DI wilayah Jawa Tengah) dengan luas 25.056 ha
dan DI Semen-Krinjo (DI wilayah Jawa Timur) dengan luas 929 ha yang melintasi
2 (dua) kabupaten, yaitu Kabupaten Rembang dan Kabupaten Tuban. BBWS
merekrut petugas OP untuk menginventarisasi P3A/GP3A/IP3A di sekitar daerah
irigasi. Selain PTGA, UPI juga melaksanakan beberapa kegiatan seperti: 1) monev
OP jaringan irigasi; 2) peningkatan kapasitas sdm petugas op irigasi termausk
kegiatan sosialisasi aplikasi SMOPI; 3) penilaian kinerja jaringan irigasi; 4) kalibrasi
bangunan ukur; 5) mendukung penyusunan manual OP irigasi; dan 6) rapat
pembagian air irigasi setiap bulan dengan melibatkan Perum Jasa Tirta I, BBWS
Bengawan Solo, dan P3A/HIPPA bersama Dinas Pengairan dan Dinas Pertanian.
26
unsur produksi, namun juga merndorong perubahan organisasi. Perubahan yang
perlu dilakukan adalah perubahan pola pikir ( mindset) institusi bahwa kegiatan
irigasi dan pertanian dilakukan untuk ketahanan pangan menuju pelaksanaan
modernisasi irigasi. Selain itu untuk melakukan pemberdayaan dan menempatkan
irigasi menjadi bagian dari budaya. Hal ini perlu didukung dengan adanya
knowledge management agar terjadi pemahaman yang sama terhadap
pelaksanaan kelembagaan melalui kegiatan sosialisasi kepada petugas dan pihak
terkait. Dialog sebagai bentuk konsultasi publik juga dapat dilakukan dengan
menetapkan topik/isu yang sesuai dengan pelakasanaan modernisasi irigasi serta
penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani.
Pelaksanaan kegiatan bantuan teknis irigasi dan penetapan badan hukum tetap
diberikan kepada P3A. Sedangkan pembinaan diluar aspek irigasi dilakukan
melalui LEPLI. Pelaksanaan kegiatan partisipasi petani dan kegiatan OP pada
masa WISMP I diatur menurut Surat Edaran Dirjen Sumber Daya Air No. IK-
01.02-04/404 Tahun 2009 Perihal Komisi Irigasi dan Kerjasama Pengelolaan
Irigasi Partisipatif. Pelaksanaan partisipasi dikerjasamakan dengan Balai PSDA
dengan menggunakan pendekatan Surat Perjanjian Kerja Sama (SPKS), Surat
Keterangan Kerja Sama (SKKS), dan Kerja Sama Operasional (KSO).
27
Pada prinsipnya, LEPLI merupakan gagasan kelembagaan petani yang
menyatukan kegiatan Poktan dan P3A untuk membentuk lembaga ekonomi
petani pada lahan beririgasi. Pada struktur organisasi LEPLI, dimungkinkan untuk
membentuk dan mengembangkan beberapa Bidang seperti Bidang Budidaya
Pertanian, Penjualan Benih dan Pestisida, Pemasaran Hasil Budidaya, dan Bidang
Pengelolaan Irigasi. Organisasi semacam LEPLI ini dinilai seharusnya dapat
menjadi salah satu alternatif bentuk organisasi petani yang dapat
mengakomodir kegiatan budidaya pertanian dan juga pengelolaan irigasi.
Sehingga menciptakan kesatuan petani dalam berorganisasi secara lebih
produktif dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok tani
dan anggotanya. Dengan demikian, organisasi petani dapat berkembang sesuai
dengan kebutuhan masing-masing kelompok sesuai kondisi dan peluang yang
ada di lapangan.
2) Adanya perbedaan penilaian antar K/L dimana LEPLI dinilai belum dapat
dijadikan sebagai acuan keberhasilan kelembagaan dalam
mengembangkan kelembagaan petani di perdesaan.
28
3) LEPLI masih berstatus pilot proyek, yang belum menjadi budaya di Dinas
Pertanian baik di prov insi maupun kabupaten.
4) Belum ada kajian dan perhitungan mendalam agar LEPLI dapat mandiri
dan diterapkan untuk sinergitas Poktan dan P3A.
5) Secara legal atau teknis, LEPLI belum dilengkapi dengan petunjuk teknis
dan petunjuk pelaksanaan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama dari
ke 3 (tiga) kementerian terkait.
Dalam rangka penguatan kelembagaan petani menuju unit usaha bisnis pertanian,
terdapat beberapa istilah yang perlu pemahaman bersama agar konsep yang
diusulkan dapat konvergen, menuju satu kesepakatan. Untuk mensinergikan dan
mensinkronisasi kelembagaan petani Poktan dan P3A, perlu dibuat langkah-
langkah yang mencerminkan peningkatan intensitas sinkronisasi kelembagaan
tersebut, seperti integrasi, sinergi, sinkronisasi, konsolidasi, dst. Sesuai dengan
terminologi tersebut, berdasarkan KBBI, integrasi adalah pembauran hingga
menjadi kesatuan yang utuh atau bulat dan penggabungan aktiv itas, program,
atau komponen perangkat keras yang berbeda ke dalam satu unit fungsional.
Sinergi adalah kegiatan atau operasi gabungan dan sinergisme adalah kegiatan
yang tergabung, biasanya pengaruhnya lebih besar daripada jumlah total
pengaruh masing-masing. Sinkronisasi adalah penyerentakan dalam
melaksanakan tugasnya masing-masing, semua unsur departemen wajib
29
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan perihal meny inkronkan.
Konsolidasi adalah perbuatan untuk memperkuat (perhubungan, persatuan, dan
sebagainya) atau peleburan dua hal atau lebih menjadi satu.
Unit bisnis pertanian yang sinergi membentuk korporasi petani. Bentuk serta
hubungan sinergi dan sinkronisasi kelembagaan petani ini dapat ditunjukkan
pada Gambar 5:
30
Gambar 5 Hubungan sinergi dan sinkronisasi kelembagaan petani (Kementerian Pertanian 2020)
32
konsolidasi managemen agar usaha tani menjadi lebih efisien dan
menguntungkan serta mensejahterakan petani.
33
Gambar 6 Tahapan pembentukan usahatani korporasi petani (Jamhari 2020)
35
Gambar 7 Luas lahan petani Indonesia (Sutas 2018)
Konsolidasi lahan merupakan salah satu faktor yang akan memudahkan dalam
menjalankan kegiatan usahatani di lahan irigasi pertanian. Dengan terjad inya
konsolidasi lahan akan memudahkan dalam menentukan pilihan jenis komoditas
apa yang akan dibudidayakan. Juga akan memudahkan dalam menentukan
pemberian air irigasi untuk pengolahan lahan pertanian, karena hamparan lahan
yang ada berada dalam satu penguasaan manajemen usahatani. Begitu juga
dalam penyediaan sarana produksi tanaman, akan jauh lebih efisien jika petani
pemilik lahan yang melakukan pembelian saprotan secara mandiri atau sendiri-
sendiri. Dalam menerapkan mekanisasi pertanian dengan alat-alat mesin
36
pertanian modern, tentu akan lebih mudah jika lahan budidaya pertanian telah
terkonsolidasi menjadi satu hamparan yang dapat dikelola bersama.
Dengan adanya penetapan UU No. 17 Tahun 2019 yang baru diterbitkan, perlu
diperhatikan implikasi terkait kewenangan dan pemberdayaan petani, dimana
jaringan irigasi primer sampai dengan jaringan irigasi tersier pengelolaannya
menjadi kewenangan oleh pemerintah dan kewenangan daerah irigasi tidak lagi
diatur dalam undang-undang tersebut, sehingga petani tidak memiliki
kewenangan lagi. Peraturan tersebut akan berimplikas i terhadap tingkat
partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi yang akan semakin menurun. Untuk
mengatasi kekhawatiran kondisi tersebut yang mungkin terjadi, maka salah satu
alternatifnya yaitu dalam proses menyusun RPP tentang Irigasi, terutama terkait
dengan kewenangan kegiatan OP jaringan irigasi yang dilakukan petani,
disarankan agar petani tetap diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan irigasi, sehingga diharapkan petani akan tetap memiliki rasa
memiliki terhadap pengelolaan jaringan irigasi.
37
3.6.5. Konsolidasi Lahan dan Managemen untuk DI kewenangan
Daerah
Salah satu usaha untuk meningkatkan produktiv itas pertanian di lahan beririgasi
di Indonesia yaitu dengan menerapkan pendekatan konsolidasi lahan dan
konsolidasi managemen usahatani. Pendekatan konsolidasi lahan dan
managemen diperlukan mengingat bahwa luas kepemilikan lahan petani di Pulau
Jawa pada umumnya kecil dan sempit. Sehingga, ada kecenderungan petani
untuk melakukan budidaya pertanian secara indiv idual dan tidak terkonsolidasi,
sebagai satu kesatuan kegiatan usahatani secara bersama-sama. Misalnya,
dalam tahap menanam tanaman padi akan berbeda dan beragam karena faktor
lokasi dan kepemilikan lahan yang terpisah. Hal ini akan menyebabkan
perbedaan masa tanam dan tidak sesuai dengan jadwal tanam yang mungkin
sudah direncanakan. Faktor kepemilikan lahan yang terfragmentasi juga
mengakibatkan petani membeli sarana produksi seperti benih, pupuk, dan
pestisida secara terpisah, dengan satuan jumlah yang terbatas. Akibatnya harga
satuan saprotan menjadi lebih mahal. Begitu juga dalam hal penggunaan alat-
mesin pertanian (alsintan), jika lahan pertanian belum terkonsolidasi maka
penggunaan alsintan tersebut menjadi kurang efisien dan efektif dan sulit
dilakukan apabila lahan pertanian sempit, dibanding jika penguasaan lahan
sudah tergabung dan terkonsolidasi menjadi satu hamparan yang mudah dikelola
dengan alat mekanisasi pertanian.
Salah satu upaya yang mungkin perlu dipersiapkan bagi pemerintahan daerah
yaitu menyusun Regulasi atau Peraturan Daerah tentang Konsolidasi manajemen
usahatani dan lahan pertanian. Dalam regulasi tersebut yang penting untuk
diatur yaitu 1) adanya aturan tentang adanya pemberian “insentif” bagi petani
38
pemilik lahan yang mau mengikuti program konsolidasi manajemen usahatani
dan konsolidasi lahan dalam satu wailayah daerah irigasi tertentu; 2) pengaturan
tentang hak dan kewajiban bagi petani pemilik lahan yang mengikuti kegiatan
konsolidasi; 3) batasan waktu kegiatan yang akan dilaksanakan; dan 4) aturan
lainnya yang perlu diatur untuk menstimulasi petani agar tertarik berkonsolidasi.
Pada pelaksanaan program TRI, beberapa hal yang membuat petani yang ikut
dalam program TRI kurang puas yaitu: 1) sistem pembinaan budidaya tebu oleh
pabrik gula dirasakan petani kurang intensif; 2) sistem penentuan jadwal panen
antar petani kurang jelas, sehingga petani merasa ketika seharusnya tebu masuk
masa panen tetapi belum dipanen, padahal keterlambatan waktu panen akan
menurunkan rendemen tebu; 3) sistem penentuan rendemen dirasa tidak
transparan, sehingga ada rasa kurang adil; dan 4) penentuan harga gula dari
PTPN sering kali hanya menghasilkan keuntungan yang kecil, akibatnya
keuntungan yang di terima petani peserta hanya terbatas untuk biaya produksi
saja. Kejadian tersebut tentunya dapat dijadikan pelajaran ( lesson learnt) bagi
pihak pengelola yang akan melakukan upaya konsolidasi manajemen dan lahan,
bahwa dalam melaksanakan program konsolidasi sangat perlu memperhatikan
39
transparansi pengelolaan dan kejelasan tentang pembagian tugas antara petani
pemilik lahan dengan pengelola lahan terkonsolidasi (korporasi).
Rencana Tindak
No Korporasi Perkembangan Permasalahan
Lanjut
1 Padi, Kab. a. On going konsolidasi a. Belum semua a. Pembentukan
Demak petani anggota resmi koperasi provinsi
b. Koperasi menjadi anggota b. Mendorong
dicanangkan sebagai koperasi konsolidasi petani
koperasi provinsi b. Modal kerja dan c. Koordinasi bersama
c. Telah dilakukan investasi terbatas Kementan,
pelatihan c. Sarana prasarana Kemenkop UKM, BRI
manajemen koperasi pendukung masih dan Agritera
d. Pembiayaan petani kurang d. Mendorong KUR
melalui KUR Petani
e. Proses penyusunan e. Model bisnis yang
model bisnis disusun oleh Agritera
(Agritera dan BRI) akan dikoordinasikan
f. Proses observasi dengan BRI selaku
dan pendaftaran PIC
varietas lokal
2 Padi, Kab. a. Memasok kebutuhan a. Belum dipersiapkan a. Konsolidasi petani
Indramayu 9 mitra usaha (beras dan dibuat model b. Koordinasi dengan
merah dan putih) bisnis korporasi petani PT Telkom
b. Telah dibuat b. PT Telkom belum c. Penguatan
Rencana Aksi memposisikan sebagai kelembagaan dan
c. Pembiayaan dari PIC manajemen koperasi
KUR via Sinar Mas c. Koperasi belum d. Menggali sumber
d. Tambahan bankable pembiayaan
pendapatan dari resi d. Kualitas produk belum e. Perluasan gudang
gudang dan fee optimal f. Updating rencana
penggilingan e. Sumber pembiayaan aksi
terbatas
40
Rencana Tindak
No Korporasi Perkembangan Permasalahan
Lanjut
3 Hortikultura, a. Bisnis sudah a. Modal kerja dan a. Koordinasi antara
Kab. berkembang investasi terbatas PIHC, Koperasi serta
Bandung b. PIHC sebagai PIC b. Standar dan kualitas para stakeholder
sedang dalam belum optimal terkait penajaman
proses menyusun c. Sarana prasarana model bisnis
model bisnis pendukung masih b. Menggali sumber
c. PIHC akan kurang pembiayaan dari
berkoordinasi perbankan
dengan BRI untuk
pembiayaan
koperasi
4 Kopi, Kab. a. Telah disusun a. Setiap koperasi a. Sosialisasi model
Bandung rancangan model memiliki kapasitas bisnis
bisnis Konsolidasi 7 finansial yang berbeda b. Telaahan kapasitas
koperasiPengembang b. Lahan kopi banyak produksi
an luas lahan berada di wilayah DAS c. Penyederhaan rantai
produksi (milik perhutani atau pasok
b. Jumlah pekebun kopi KLHK)
semakin bertambah d. Pelatihan teknis dan
c. Rantai pemasaran manajemen
yang panjang
e. Menggali sumber
d. Kapasitas pekebun pembiayaan untuk
masih kurang modal kerja dan
e. Kualitas kopi belum investasi
optimal
f. Sarana dan prasarana
belum memadai untuk
GAP, GHP maupun
GMP
5 Sapi potong, a. Usulan pemanfaatan a. Belum adanya respon a. Bedah koperasi
Kab. Subang lahan eks PT. RNI dari PT. RNI b. Konsolidasi petani
seluas 50 ha untuk b. Aset di miliki oleh dan usaha dengan
pengembangan kelompok ternak membentuk cluster
Peternakan modern.
c. Pengelolaan koperasi c. Pembenahan
b. Memperkuat Unit- belum profesional pengelolaan
unit usaha yang koperasi
d. Unit usaha masih
eksisting
berskala kecil. d. Pengembangan
kemitraan usaha
e. Pngembangan
jaringan pasar
f. Membuka akses
pembiayaan
41
Kegiatan konsolidasi kelembagaan Poktan dan P3A dinilai perlu dibantu dan
dipermudah dengan adanya akses terhadap sumber pendanaan dan pembiayaan
serta kredit (model perbankan) untuk melaksanakan usahatani di lahan
beririgasi. Berdasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas
2016), hanya sekitar 15% dari sekitar 8.000 sampel petani yang sudah
mengakses kredit bank, sedangkan mayoritas sebesar 52% petani masih
mengandalkan modal sendiri, koperasi, kerabat, dan lembaga keuangan non-
Bank lainnya. Sementara itu, 33% petani lainnya mengandalkan kredit Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan kredit usaha rakyat (KUR).
43
5) Cakupan kegiatan berdasarkan pada komoditas unggulan di wilayahnya
dengan memeperhatikan peluang pengembangan serta diversifikasi
Sejak Tahun 2018, LPPM IPB bekerja sama dengan Pemerintah Daerah
Kabupaten Karawang, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara. Sementara
44
itu pengambangan KEP di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan dan Kabupaten
Banyuasin Sumatera Selatan sedang dalam proses sosialisasi dan rintisan.
Kegiatan KEP di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah dilaksanakan oleh Dinas
Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan (Dinpertan) serta Badan Perencanaan
dan Penelitian Pengembangan Pembangunan Daerah (Bapelitbangda),
menginisiasi kegiatan pengembangan riset dan penguatan kelembagaan
petani dalam bentuk KEP di Desa Bukateja, Kecamatan Bukateja. KEP
merupakan kelembagaan petani atau satu wadah yang sesuai dengan
harapan dan kesepakatan petani setempat untuk membentuk bisnis kolektif
dengan membangun kelembagaan petani ( capacity building) yang
melibatkan Poktan/Gapoktan, P3A/GP3A, Usaha Pelayanan Jasa Alsintan
(UPJA), Program Pengembangan Usaha Agribisnis (PUAP), dan Pemuda Tani
setempat.
KEP dibentuk oleh petani berskala kecil dalam suatu hamparan dengan
memegang prinsip sinergi, konsolidasi managemen, kebersamaan, dan
berkelanjutan. Satu unit KEP yang dibentuk sebesar 101 hektar (100 ha
untuk produksi konsumsi dan satu ha produksi benih). Jika KEP akan
dikembangkan di luar Pulau Jawa, satu unit KEP dilaksanakan pada luasan
lahan 303 hektar (300 ha produksi konsumsi dan tiga ha produksi benih) area l
sawah. Seluruh petani yang tergabung tetap bekerja di lahan milik masing-
masing seperti yang dilakukan selama ini. Lahan yang diusahakan tersebut
dapat berupa lahan milik sendiri ataupun lahan sewa dan berada pada satu
hamparan.
45
Gambar 9 Struktur hubungan dalam pengembangan KEP (LPPM IPB 2018)
46
LSO pada tahun 2018 dan sudah menerapkan prinsip komunitas. Sehingga,
KEP diharapkan lebih mudah berkembang.
47
Untuk kelancaran dan berjalannya managemen, KEP bekerja sama dengan
lembaga lain yang diperlukan dengan hubungan inter-relasi. Lembaga lain
yang terkait yaitu: 1) pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga dan
dinas/lembaga lainnya yang relevan; 2) Perguruan Tinggi IPB, UGM, dan
Unsoed; 3) Bank melalui fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR); 4) Rice Mill Unit
(RMU)/Centralize Rice Process Complex (CRPC) terdekat; dan 5) Pasar.
Hubungan inter-relasi ini dapat ditunjukkan pada Gambar 11:
Dari total petani Indonesia (33,4 juta petani), terdapat 4,5 juta petani
menggunakan internet (13%). Secara umum, sinyal internet telah merata pada
sebagian besar perdesaan dan telah terjangkau sinyal 2G, 3G, dan 4G.
51
Berdasarkan data tersebut, kondisi petani yang mulai terhubung dengan
perangkat telepon dan internet dapat dijadikan modal awal transformasi digital
pada bidang pertanian dan irigasi serta meningkatkan literasi petani.
Menurut Angguniko dan Hidayah (2017), salah satu fungsi dari pengelolaan irigasi
adalah penyuluhan dan pengembangan tata guna air (PTGA). Oleh karena itu,
pada Tahun 2012, Balai Litbang Irigasi dibawah Puslitbang Sumber Daya Air
(sekarang Direktorat Bina Teknis SDA) mengembangkan sistem managemen OP
irigasi (SMOPI) untuk mendukung keberhasilan tata guna air dalam rangka
mempermudah petugas dan petani. Kementerian Pertanian juga mengembangkan
aplikasi tata tanam untuk petani melalui Kalender Tanam (KATAM) yang sudah
dikembangkan dan terhubung dengan data lain terkait seperti informasi cuaca dan
pemantauan lahan. Pemerintah, swasta, maupun perguruan tinggi juga sudah
mulai memanfaatkan dan mengembangkan sistem informasi untuk keperluan
pertanian, pemantauan lahan, irigasi, perkiraan cuaca, dan pengukuran debit
untuk mempermudah pengelolaan pertanian dan irigasi bagi petani.
Beberapa kelemahan dan faktor pembatas pengguna media sosial (petani) dalam
mengasah kemampuan literasi informasi yaitu faktor bahasa, tata cara dan
manfaat fitur, serta keterbatasan fasilitas dalam fitur yang disediakan. Faktor
pendorong kemampuan literasi informasi pengguna adalah kemudahan akses
internet, ketersediaan alat ( smartphone), dan kemauan pengguna untuk
meningkatkan kapasitas dirinya. Media sosial yang paling sering digunakan oleh
petani Indonesia yaitu Youtube, Facebook, dan Whatsapp.
Selain media sosial, aplikasi pertanian semakin berkembang dan beragam untuk
mendukung kegiatan pertanian yang tidak hanya berisi informasi budidaya
pertanian, namun juga pemasaran dan teknologi pertanian. Contoh aplikasi
pertanian yang sudah berkembang di masyarakat yaitu IGrow, Rego Pantes,
Tanihub, Sikumis, Agro Jowo, dan Desa Apps. Aplikasi ini menjadi bagian dari
aktiv itas media sosial untuk menampilkan informasi-informasi pertanian.
Aplikasi Agro Jowo merupakan salah satu aplikasi yang dikembangkan oleh Dinas
Pertanian Provinsi Jawa Tengah. Aplikasi Agro Jowo menyediakan data-data
terkait update harga pasar per komoditas per hari di tingkat petani. Sehingga,
mempermudah petani dalam usahatani dan pemasaran hasil pertaniannya.
Desa Apps (Digital Extension Society for Agriculture Apps ) merupakan aplikasi
penyuluhan yang dikemas secara digital untuk membantu petani menyelesaikan
permasalahan pertanian mulai dari penanaman, perawatan, panen, hingga
penjualan. Desa Apps dikembangkan oleh Fakultas Pertanian UGM untuk menjadi
platform penyuluhan pertanian dan pengembangan komunitas petani digital di
Prov insi DIY. Desa Apps dikemas secara digital untuk membantu petani
menyelesaikan segala masalah pertanian mulai dari penanaman, perawatan,
panen, hingga penjualan. Adanya Desa Apps dapat berguna bagi pengguna
aplikasi tersebut (petani) untuk saling memberikan informasi, berinteraksi, dan
bertransaksi di bidang pertanian. Fitur penyuluhan pertanian dalam aplikasi Desa
Apps terdiri dari Tanya Jawab, Artikel, Informasi Harga, Catatan Tani, Informasi
Cuaca, Informasi Toko, Informasi Kantor, Informasi Pasar, dan Jual Barang.
53
Pemanfaatan fitur penyuluhan pertanian yang disediakan oleh Desa Apps
memberikan peluang kepada petani untuk mendapatkan literasi informasi yang
dibutuhkan, dan juga sebagai sarana peningkatan keterampilan mengelola
informasi yang diperolehnya. Oleh karena itu, kehadiran Desa Apps
memberdayakan petani untuk mandiri informasi. Namun demikian, dalam
performa Desa Apps sebagai salah satu sumber informasi masih harus
ditingkatkan. Agar pemanfaatan Desa Apps menjadi lebih optimal, maka
dilakukan penyempurnaan performa aplikasi, promosi dan sosialisasi Desa Apps,
responsiv itas tenaga ahli, dan optimalisasi pemanfaatan Desa Apps sebagai
marketing place.
Di awal Tahun 2020, muncul Cov id-19 yang berdampak luas di segala aspek
kegiatan, termasuk pertanian. Banyaknya PHK massal menyebabkan tenaga
kerja kembali ke desa. Sehingga, pelaksanaan kegiatan pertanian dan program
padat karya yang diga lakan oleh pemerintah menjadi kegiatan yang paling
bertahan di masa pandemi. Dari data BPS (2020), terlihat bahwa kenaikan
ekonomi justru meningkat pada sektor pertanian. Adanya Covid -19 merupakan
momentum bagi penyuluhan dan komunikasi pertanian untuk mengatur strategi
kembali dengan memanfaatkan media sosial (Twitter, IG, Facebook, Youtube,
Koran, TV, dan juga platform pertanian seperti Desa Apps) untuk menggerakkan
masyarakat, khususnya yang terkena dampak PHK dan petani.
54
Ruang lingkup yang dikembangkan dalam program ICT ini antara lain:
1) Untuk menjangkau 100 ribu petani (40% perempuan);
2) Mengirim atau bertanya terkait informasi cuaca, harga, GAP, dan irigasi
dengan memanfaatkan mobile phone/Hp;
3) Layanan keuangan dan pasar untuk petani;
4) Model kolaborasi;
5) Exit strategy untuk keberlanjutan pelaksanaan dan pemanfaatan ICT.
Fokus dari program yaitu untuk meningkatkan produktiv itas dan pendapatan
petani menggunakan teknologi informasi dan bekerjasama dengan application
provider (MSMB dan 8Villages). Program ini memanfaatkan teknologi sensor dan
otomatisasi dalam bidang irigasi yang telah dikenal di Indonesia terutama pada
setiap saluran irigasi, baik primer, sekunder dan tersier. Pelaksanaan program ini
malakukan kolaborasi ICT dan integrasi (inovasi) di lahan beririgasi untuk
pertanian. Penerapan inovasi ICT oleh provider 8Villages dapat dilihat pada
Gambar 14:
55
Gambar 14 Penerapan inovasi ICT oleh provider 8Villages (8Villages 2020)
Gambar 16 Dapak positif inovasi ICT irigasi dan pertanian (8Villages 2020)
Meskipun berdampak positif, masih ada beberapa kendala dan kurangnya sinergi
antara pemerintah dengan kelembagaan Poktan dan P3A di lapangan. Dari
pelaksanaan kegiatan ICT di lokasi pilot project, terdapat beberapa kendala dan isu
yang ditemukani di Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Sukabumi. Pada
pelaksanaannya, ICT baru menjangkau petani yang tergabung dalam Poktan yang
berkoordinasi dengan dinas terkait, yaitu Dinas Pertanian setempat. Sedangkan P3A
dan Dinas PSDA belum ikut terlibat dalam kegiatan ICT. Salah satu layanan ICT yaitu
memberikan informasi debit air. Beberapa kendala yang dihadapi petani yaitu cara
memahami informasi yang diberikan seperti kecepatan air, debit air, dan ketinggian
muka air untuk mengetahui ketersediaan air hingga mencapai lahan sawahnya.
Petani belum dapat menginterpretasikan informasi yang tersedia secara optimal,
sehingga masih belum mengetahui makna dan tindak lanjut dari informasi tersebut
apakah ketersediaan debit air mampu mencapai lahan sawahnya. Keterlibatan Dinas
Pertanian dan Dinas PU/SDA di lapangan dinilai sangat perlu untuk membantu
memberikan pelatihan dan pembinaan kepada petani, baik Poktan maupun P3A.
Peran juru air dan penjaga bendung yang mengoperasikan pengairan dan irigasi juga
perlu dilibatkan agar manfaat ICT dapat dirasakan secara optimal. Keterlibatan
penyuluh dan petani milenia l di lapangan juga perlu ditingkatkan untuk koordinasi
bersama mensinergikan keterlibatan petani Poktan dan P3A dengan dinas terkait
seperti Dinas PU/SDA, Dinas Pertanian, dan pihak terkait lainnya.
57
IV. ANALISIS KELEMBAGAAN PETANI
Dari berbagai aspek uraian di atas maka analisis di bawah ini akan memberikan fokus
perhatian pada 4 (empat) aspek untuk pengembangan kelembagaan organisasi
petani di lahan pertanian beririgasi. Empat aspek ini meliputi 1) pengelolaan
kelembagaan petani; 2) konsep kelembagaan; 3) sumber pendanaan dan
pembiayaan kegiatan kelembagaan; 4) regulasi. Permasalahan umum yang sering
muncul terkait kelembagaan yaitu lemahnya kelembagaan petani karena faktor
petani Poktan dan P3A di lapangan. Sehingga perlu adanya pertimbangan
peningkatan kapasitas kelembagaan petani untuk mengelola budidaya di lahan
pertanian dan mengelola jaringan irigasi. Pengembangan kapasitas kelembagaan
petani diarahkan untuk meningkatkan kelembagaannya menjadi kelembagaan petani
dengan skala ekonomi yang lebih besar dengan menerapkan prinsip efisiensi usaha
dan meningkatkan posisi tawar kelembagaan petani itu sendiri. Sehingga, indiv idu
petani dan kelembagaan petani menjadi sejahtera.
Upaya penguatan organisasi petani harus diikuti perubahan pola berpikir patani
dalam melakukan kegiatan usahatani. Faktor kepemilikan lahan yang kecil-kecil
dan adanya kemampuan berpikir Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas
perlu dilakukan upaya untuk mengkonsolidasikan sumber daya yang dimiliki
oleh petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani. Sumber
daya yang dimiliki petani saat ini diusahakan secara kurang produktif, baik untuk
faktor lahan yang diusahakan dan faktor manajemen kegiatan usahatani. Luas
lahan yang kecil-kecil menjadikan kegiatan usahatani tidak efisien baik proses
pengolahan lahan maupun dalam pembiayaan pembelian sarana produksi, proses
pengolahan lahan sampai proses pemasaran hasil usahataninya, dan penggunaan
tenaga kerjanya.
Untuk menunjang efektiv itas manfaat dari pelaksanaan konsolidasi lahan secara
teknis budidaya maka perlu juga dilakukan konsolidasi manajemen usahatani.
Konsolidasi manajemen usahatani dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan
semua faktor sarana produksi yang diperlukan dalam pelaksanaan usahatani.
Mulai dari pengolahan tanah/lahan, pengadaan benih, pengadaan pupuk dan
pelaksanaan pemupukan, pengadaan dan pelaksanaan pemberian pestisida yang
diperlukan, sampai dengan kegiatan pasca panen. Hal tersebut jika dapat
dilaksanakan tentu akan meningkatkan efisiensi usaha yang signifikan dan
59
sekaligus meningkatkan posisi tawar (bargaining position) bagi organisasi
petani dalam berusahatani.
Salah satu kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan sinkronisasi kelembagaan ini
yaitu kesepakatan pemerintah dalam penggunaan nama “LEPLI” karena dinilai
sebagai kepentingan Kementeraian Pertanian saja dan tidak senada dengan
kepentingan K/L lain. Konsep dan model kelembagaan yang bagus, namun tidak
dijalankan/diimplementasikan akan menjadi sia-sia dan tidak bermanfaat bagi
petani. Pemilihan nomenklatur dan penggunaan nama kelembagaan
petani sebenarnya tidak menjadi masalah jika dikoordinasikan dan disepakati
bersama. Kelembagaan petani didorong untuk melakukan sinkronisasi dan
konsolidasi kegiatan antara Poktan, P3A, ataupun kelembagaan petani lain menuju
pelaksanaan konsolidasi managamen dan lahan yang berbasis ekonomi dan
bisnis/usahatani. Sinkronisasi dan konsolidasi kelembagaan petani juga didorong
untuk memanfaatkan perkembangan teknologi dan informasi (ICT). Kedepan,
pelaksanaan di lapangan akan didukung dengan pemberdayaan dan
pendampingan dari perguruan tinggi setempat.
Salah satu keuntungan dari pelaksanaan konsolidasi lahan dan managemen yaitu
dapat menarik minat generasi muda (milenial), termasuk keterlibatan perempuan
dalam pelaksanaan usahatani di lahan beririgasi. Kegiatan usahatani tidak semata-
mata pekerjaan fisik dan berat di lahan sawah, namun sudah dipermudah dengan
adanya mekanisasi pertanian dan perkembangan ICT. Keterlibatan generasi muda
dan perempuan dapat disamakan dengan laki-laki yang sudah sering terlibat
dalam organisasi/kelembagaan petani dengan menyamaratakan kedudukan semua
pihak (mainstreaming gender). Kesamaan hak/kewajiabn terkait keterlibatan
generasi muda dan perempuan didalam kelembagaan petani dilakukan untuk
memastikan bahwa kebutuhan dan prioritas yang berbeda dari petani perempuan
dan laki-laki di pedesaan diidentifikasi dan dipertimbangkan sepenuhnya dalam
desain, implementasi, pemantauan dan evaluasi untuk semua komponen kegiatan,
pembinaan, dan pemberdayaan sistem produksi pertanian, kegiatan rantai nilai,
pembiayaan perdesaan, maupun kegiatan pengelolaan irigasi.
Sudah saatnya pihak pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi dalam
melakukan pembinaan dan pemberdayaan organisasi petani, perlu mulai berpikir
bahwa salah satu upaya yang cukup penting dan strategis dalam menguatkan
organisasi petani yaitu dengan mela kukan inovasi-inovasi pendekatan yang
bertujuan untuk mewujudkan terjadinya konsolidasi aset fisik lahan petani dan
juga konsolidasi dalam manajemen usahatani. Sehingga, dengan demikian arah
60
pembinaan organisasi petani akan menghasilkan organisasi petani y ang sama rata
dan mempunyai skala ekonomi ( economic of scale) yang memadai untuk menuju
organisasi petani yang berkelanjutan, baik dari sisi teknis budidaya dan
pengelolaan irigasinya, maupun dari sisi usaha ekonomi-keuangannya.
62
Sebagai organisasi petani yang berorientasi pada pelayanan dan peningkatan
kesejahteraan petani, maka organisasi yang terintegrasi kedepan perlu disusun
pemikiran tentang arah dan model dari konsep kelembagaan LEPLI tersebut.
Sebagai organisasi petani yang mempunyai prinsip untuk memberikan pelayanan
kepada anggota petani dalam hal pemberian air irigasi dan menghasilkan
keuntungan, maka organisasi petani dengan konsep kelembagaan LEPLI
tampaknya harus mempunyai filosofi kegiatan sebagai organisasi yang bersifat
“Socio-Enterpreneurship”. Artinya orientasi kegiatan organisasi dengan konsep
LEPLI dimaksudkan untuk melayani anggotanya, sekaligus mempunyai kegiatan
usaha ekonomi yang menghasilkan keuntungan bagi anggotanya, serta
mempunyai fungsi sosial dan pemberdayaan bagi petani anggotanya.
Sebagai pelajaran dari kegiatan LEPLI yang sudah dilaksanakan pada WISMP I,
penyebab kelembagaan petani tidak dapat berkelanjutan yaitu karena tidak
adanya payung regulasi sebagai dasar hukum untuk melaksanakan konsep LEPLI
tersebut. Untuk kedepannya, konsep kelembagaan LEPLI tersebut perlu
dikembangkan sebagai pilihan untuk pengembangan organisasi petani untuk
mengembangkan usahatani di lahan beririgasi. Sehingga, perlu dilakukan kajian
yang lebih mendalam dan meneyeluruh terhadap substansi berbagai aspek yang
potensial untuk pemberdayaan organisasi petani yang fungsional dan
berkelanjutan.
63
mengandalkan iuran anggotanya untuk mendukung kegiatan organisasinya, sudah
dapat dipastikan bahwa organisasi petani tersebut tidak akan berkembang seperti
yang diharapkan, apalagi menjadi organisasi yang mandiri. Dengan kepemilikan
luas lahan yang kecil-kecil, maka jumlah iuran yang dikumpulkan juga sangat
terbatas. Selain itu juga sangat sulit agar semua anggota dapat membayar.
Selain dari iuran anggota, biasanya beberapa organisasi petani seperti P3A/GP3A
dan Poktan/Gapoktan menerima dana dari partisipasi kegiatan rehabilitasi pada
jaringan irigasi. Akan tetapi, pendapatan organisasi petani dari kegiatan
rehabilitasi jaringan irigasi tidak diperoleh setiap tahun karena tidak dilaksanakan
pada jaringan irigasi yang sama setia p tahunnya. Sehingga, bantuan dari kegiatan
partisipasi pada kegiatan rehabilitasi jaringan irigasi tidak dapat dijadikan sumber
pendanaan kegiatan organisasi petani.
64
yang baik antara pengurus organisasi petani dengan pembina (pemerintah)
khususnya untuk bantuan teknis.
4.4. Regulasi
Salah satu faktor yang mempengaruhi lemahnya kinerja organisasi petani yaitu
kurangnya konsolidasi faktor regulasi tentang pembinaan terhadap organisasi
petani yang ada saat ini. Pada tingkat pemerintah pusat terdapat 3 (tiga)
kementerian yang mengatur terkait dengan pembinaan dan pemberdayaan
kelembagaan petani, baik Poktan maupun P3A. Faktor lain yang mempengaruhi
yaitu koordinasi pembinaan dan pemberdayaan organisasi petani antara
pemerintah dengan pemerintah daerah. Hal ini muncul sebagai akibat implikasi
adanya pembagian kewenangan dalam pengelolaan irigasi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan pengelolaan
irigasinya.
66
Tabel 6 Sequence perkembangan dan dinamika regulasi pembinaan petani
Periode Waktu
No Tentang/Perihal Penjelasan
Jenis Regulasi
1 Awal Orde Baru ( > 1966)
- Program BIMAS - Dimulai program intensifikasi - Pemerintah mulai membentuk
(1968) tanaman dengan organisasi Kelompok Tani untuk
- Program menerapkan Panca Usaha mendukung program BIMAS dan
Intensifikasi Tani. INMAS secara masif, terutama di
Khusus/INSUS - Rehabilitasi irigasi masif dan Jawa dan Bali.
(1979) mulai pembangunan irigasi - Petani yang memperoleh
- Diundangkannya baru manfaat atas layanan jaringan
UU No. 11/1974 - Kewenangan pembangunan irigasi dapat berpartisipasi dalam
tentang Pengairan dan rehabilitasi irigasi pada kegiatan E-P jaringan irigasi.
pemerintah pusat. Akan
tetapi kegiatan E-P dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi
Lesson learnt : 1) petani didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemeliharaan
jaringan irigasi, terutama jaringan irigasi tersier dan kegiatan pembagiaan air jaringan
irigasi tersier; 2) petani difasilitasi untuk membentuk organisasi P3A pada jaringan irigasi
tersier, sehingga petani dapat belajar mengatur anggotanya berdasarkan AD/ART yang
disusun dan disepakati oleh petani yang menjadi anggota P3A tersebut; 3) petani
melalui organisasi P3A dapat menyepakati dan mengumpulkan iuran anggota untuk
mendukung pembiayaan kegiatan organisasi P3A, terutama kegiatan EP dan kegiatan
rapat yang dilaksanakan P3A.
2 Tahun 1980-an
- Inpres No.2/1984 - Dikeluarkannya Instruksi - Instruksi tersebut diberikan
tentang P3A Presiden tentang kepada tiga kementerian yaitu
- Tahun 1986/87 pembentukan dan Kementerian PU, Pertanian, dan
tentang Program pembinaan P3A. Dalam Negeri. Dibentuk P3A,
Supra Insus - Dikeluarkannya peraturan agar petani melalui P3A ikut
tentang Program Supra serta berpartisipasi dalam
Insus, sebagai kelanjutan kegiatan E-P.
dari program INSUS - Program Supra-Insus untuk lebih
meningkatkan produktifitas
tanaman padi di lahan sawah,
dengan didukung adanya subsidi
berupa Kredit Usaha Tani (KUT).
Lesson learnt : 1) terdapat 3 (tiga) kementerian yaitu PU, Pertanian, dan Dalam Negeri
yang fokus terhadap proses pembentukan dan pembinaan organisasi petani yang
mengelola air irigasi/P3A; 2) semakin banyak jaringan irigasi yang berhasil dibangun dan
67
Periode Waktu
No Tentang/Perihal Penjelasan
Jenis Regulasi
direhabilitasi, semakin terbatas kapasitas pemerinah dalam mengelola dan memberikan
pelayanan air irigasi kepada petani. Sehungga petani perlu berpartisipasi dalam kegiatan
pemeliharaan dan pembagian air di jaringan tersier; 3) Program Insus perlu dukungan
pelayanan air irigasi secara lebih intensif agar sasaran peningkatan produktivitas padi
per hektar dan produksi padi nasional dapat dicapai. Sehingga, melalui Inpres No. 2
Tahun 1984 terbentuk organisasi pengelola irigasi untuk meningkatkan efektivitas
pelayanan pemberian air. Mesk ipun menyebabkan adanya dualisme keberadaan
organisasi petani yang sama mengurus budidaya pertanian yaitu Poktan Tani dan P3A.
3 Tahun 1990-an
- Tahun 1997 - Salah satu pengaturan - Gapoktan yaitu gabungan dari
diundangkan pembinaan yang penting beberapa Poktan yg melakukan
KepMen Pertanian yaitu pembentukan usaha agribisnis diatas prinsip
No. 93/1997 Gabungan Poktan kebersamaan dan kemitraan
tentang Pedoman (Gapoktan) untuk mencapai peningkatan
Pembinaan - Adanya UU No. 22/1999 produksi dan pendapatan
Poktan merupakan awal banyaknya usahatani bagi anggotanya
- Terbit UU No. kewenangan Pemda dalam - Adanya pendekatan
22/1999 tentang pelaksanaan pembangunan pembangunan yang tidak
Pemerintahan - Kepres No 3/1999 sentralistis, termasuk terjadi
Daerah (Otonomi merupakan wujud reformasi pembagian kewenangan dalam
Daerah) pengelolaan irigasi, yang pengelolaan irigasi antara
- Terbit Kepres No. mengurangi kewenangan pemerintah dengan pemerintah
3/1999 tentang pemerintah pusat daerah
PKPI - PKPI merupakan spirit pemberian
kewenangan kepada masyarakat
petani dalam pengelolaan irgasi
sesuai dengan kemampuan
petani/P3A.
Lesson learnt : 1) pergantian rezim dari Orde Baru menjadi Orde Reformasi menyebabkan
perubahan pendekatan pembangunan dari sentralisasi menjadi desentralisasi (otonomi
daerah); 2) UU tentang Otonomi Daerah berakibat pada kebijakan dalam Peraturan
Pemerintah tentang pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota; 3) pada akhir periode tahum 1990an, muncul
semangat untuk memberikan kewenangan pengelolaan jaringan irigasi kepada
kelemabgaan petani/P3A sesuai dengan kemampuan P3A. Kebijakan ini membawa
semangat dan perkembangan yang positif kepada P3A/GP3A, karena kewenangan dan
keberadaan P3A diakui.
4 Tahun 2000-an
- Pada fase ini - Diberlakukannya kebijakan - Pada periode ini tampaknya
68
Periode Waktu
No Tentang/Perihal Penjelasan
Jenis Regulasi
terjadi dinamika penyerahan kewenangan kebijakan pengelolaan SDA dan
peraturan yang pengelolaan irigasi dari pengelolaan irigasi paling
mengalami pemerintah kepada dinamis terjadi perubahan akibat
banyak P3A/GP3A/IP3A sesuai dari digantinya UU No. 11/1974
perubahan kemampuan organsasi tentang Pengairan menjadi UU
- Diundangkan PP - Adanya pembagian No. 7/2004 tentang SDA. Akan
No. 77/2001 kewenangan pengelolaan tetapi pada tahun 2014 UU No.
tentang Irigasi irigasi antara pemerintah, 7/2004 tersebut di-judicial review
- Diundangkan UU Pemerintah Provinsi dan oleh Mahkamah Konstitusi.
No. 7/2004 Pemerintah Kabupaten/Kota - Pada periode ini juga
tentang Sumber - Diberlakukannya dilahirkannya PP No 77/2001
Daya Air kewenangan pengelolaan tentang Irigasi menggantikan PP
- Direvisinya PP No. jaringan irigasi tersier oleh N0. 22/1982. Akan tetapi PP No.
77/2001 menjadi petani/P3A 77/2001 direvisi menjadi PP No,
PP No. 20/2006 - Tahun 2006 20 / 2006 tentang Irigasi. Yang
tentang Irigasi diberhentikannya program kemudian tidak berlaku seiring
- Kepmendagri No. penyerahan pengelolaan dengan di-judicial review-nya UU
50/2001 tentang irigasi kepada No. 7/2004
Pedoman P3A/GP3A/IP3A - Dilain pihak, adamya kebijakan
Pemberdayaan - Adanya pengaturan pembangunan otonomi daerah
P3A pembagian kewenangan dengan adanya UU No. 22/1999
- PerMen PUPR No. tugas pemerintah yang yang direvisi menjadi UU No.
33/2007 tentang berakibat pembinaan P3A 23/2015 tentang Pemerintah
Pedoman menjadi tugas Daerah mengubah kebijakan
Pemberdayaan Kementerian/Dinas Pertanian pengelolaan SDA dan
P3A/GP3A/IP3A - Akan tetapi terdapat tiga pengelolaan irigasi, termasuk
- PerMen Pertanian Permen tentang Pembinaan pembinaan kelembagaan P3A
No. 79/2012 P3A yang juga mengalami beberapa
tentang Pedoman kali perubahan
Pembinaan dan
Pemberdayaan
P3A
Lesson learnt : 1) terdapat banyak jaringan irigasi kewenangan daerah mengalami
deteriorisasi/kerusakan lebih cepat akibat perubahan peraturan; 2) kebijakan
desentralisasi pengelolaan irigasi mengkibatkan perubahan struktur kelembagaan
pengelolaan irigasi yang menjadi terkotak-kotak; 3) pembinaan teknis pengelolaan irigasi
dari pemerintah pusat kepada pemprov dan pemkab/kota tidak efektif; 4) tidak ada garis
komando antara pemerintah dengan pemda, sehingga aliran data dan laporan
(administrasi) menjadi terhambat; 5) kewenangan pengelolaan irigasi yang diberikan
69
Periode Waktu
No Tentang/Perihal Penjelasan
Jenis Regulasi
kepada petani/P3A mengalami kemunduran dan melemah karena kekecewaan petani
terhadap pemerintah.
5 Tahun 2020 dan seterusnya
- Diundangkannya - Dengan adanya UU No - Dengan adanya perubahan
UU No. 17/2019 17/2019 tampaknya terkait dalam pengelolaan irigasi
tentang Sumber kebijakan pengelolaan irgasi dan pembinaan P3A/GP3A/IP3A
Daya Air, akan mengalami perubahan yang tampak tidak sinergis dan
menggantikan UU yang cukup mendasar baik sinkron antar K/L selama periode
No. 7/2004 terkait dengan pembagian tahun 2000 -2020 perlu upaya
kewenangan pengelolaan untuk mensinergikan
antara pemerintah, PemProv, kelembagaan petani dalam
dan PemKab/Kota penelolaan pertanian di lahan
- Akan terjadi perubahan beririgasi dengan dibuatkannya
kewenangan pengelolaan Instruksi Presiden (INPRES).
jaringan irigasi tersier yang Sehingga, pembinaan organisasi
dulunya menjadi petani menjadi sinkron antar K/L
kewenangan P3A, dalam UU yang terlibat untuk mencapai
ini kewenangannya beralih sasaran tertentu.
ke pemerintah, termasuk
tentang kewenangan
pembinaan kepada
petani/P3A tampaknya juga
akan mengalami perubahan
dengan adanya kebijakan
“ single manajement ” dalam
pengelolaan irigasi
Lesson learnt : belum ada pelajaran kongkrit yang terjadi. Namun, perlu diantisipasi
kemungkinan isu yang akan muncul terkait pola pemberdayaan dan partisipasi organisasi
petani yang bersifat pemberdayaan atau pengembangan potensi organisasi petani.
Pengaturan pemberdayaan dan partisipasi kelembagaan petani perlu dituangkan secara
eksplisit dalam regulasi seperti PP.
Dari uraian Tabel 6, dinilai bahwa sudah saatnya pemerintah untuk memikirkan
persiapan kebijakan dan memfasilitasi terlaksananya kegiatan pemberdayaan
organisasi petani dengan lebih serius dan lebih sinergis agar kelembagaan petani
menjadi lebih fungsional dan berkelanjutan.
Pada fase awal Orde Baru atau fase setalah tahun 1966 merupakan fase
pengenalan bagi petani pada lahan beririgasi untuk “dipaksa” belajar berorganisasi
70
dalam mengelola air irigasi dan bekerjasama dalam mengatur air dari hulu dengan
pola pikir prinsip satu sistem hidrologis mulai dari bangunan bendung sampai
dengan jaringan tersier bahkan pada saluran irigasi kwarter atau saluran cacingan.
Pola pemberdayaan organisasi petani yang masih cenderung mobilisasi tanpa ada
stimulasi ke arah organisasi petani dalam mengelola jaringan irigasi tampaknya
tidak membangun kesadaran dan kapasitas petani dalam pengelolaan irigasi.
Hasilnya ketika kegiatan pembinaan dilakukan, petani dapat memahami bahwa
pengelolaan air irigasi harus direncanakan mulai dari ketersediaan air irigasi dari
wilayah hulu, wilayah tengah, hingga wilayah hilir. Akan tetapi, pola pembinaan ini
belum mampu meningkatkan kapasitas kelembagaan petani pada
tingkat pemakai air yang mandiri dalam mengelola irigasi yang ada.
Pada fase kedua pasca tahun 1980an prioritas perhatian pemerintah pada
program prioritas supra Insus untuk meningkatkan produktiv itas tanaman padi,
maka diperlukan dukungan pelayanan air irigasi yang baik. Salah satu program
pemerintah yaitu bagaimana organisasi petani pemakai air dapat berperan serta
dalam pelayanan irigasi di tingkat usahatani. Akan tetapi penerbitan Inpres No. 2
Tahun 1984 tentang Pembentukan P3A lebih memberikan perhatian kepada tugas
dan fungsi pembinaan, tetapi belum/tidak dilengkapi dengan bentuk bantuan
fasilitasi secara nyata dan keberlanjutan kepada P3A yang sudah dibina. Akibatnya
wujud dan hasil pembinaan kepada P3A tidak berkelanjutan. Selain itu implikasi
negatif adanya pembentukan organisasi P3A berakibat terjadi dualisme organisasi
petani yaitu Kelompok Tani untuk kegiatan budidaya tanaman padi, dan P3A
untuk kegiatan pengelolaan jaringan irigasi. Padahal seharusnya dua
organisasi petani tersebut didorong sebagai satu kesatuan organisasi
petani yang mempunyai tugas fungsi baik sebagai pelaku budidaya pertanian dan
juga pengelola layanan air irigasi di wilayah kerjanya.
Pada fase ketiga yaitu fase masa transisi pemerintahan dari pola otoriter tidak
demokratis era Orde Baru menjadi system pemerintah yang reformatis-demokratis
yang ditandai dengan turunnya rezim Orde baru digantikan oleh Orde Reformasi
pada tahun 1998. Dilain pihak dalam sistem pemerintahan, terjadi perubahan
sistem pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis, yang juga berdampak
pada kewenangan pengelolaan irigasi. Kewenangan pengelolaan irigas i yang
terbagi jadi kewenangan pemerintah, pemerintah prov insi, dan kewenangan
kabupaten juga berimplikasi pada kewenangan pembinaan P3A, yang juga
didasarkan pada kewenagan pengelolaan irigasi. Sehingga, pembinaan P3A
pada fase ini mengalami “ketidak-jelasan”. Implikasi dari otonomi
71
daerah atau desentralisasi mengakibatkan kegiatan pembangunan dan
pembinaan petani juga dibatasi kewenangan. Pemerintah pusat tidak bisa
melakukan pemberian pembinaan dan bantuan kepada jaringan irigasi yang bukan
sebagai kewenangannya, begitu pun sebaliknya.
Pada fase keempat yaitu pasca tahun 2000 merupakan fase awal implementasi
dari kebijakan pengelolaan irigasi yang memberikan kewenangan pengelolaan
jaringan irigasi sesuai dengan kemampuan P3A/GP3A/IP3A. Menimbang bahwa
kebijakan pengelolaan irigasi yang diatur dalam PP No. 23 Tahun 1982 tentang
Irigasi, sudah tidak sesuai lagi dengan era otonomi daerah menurut UU No. 22
Tahun 199 tentang Pemerintah Daerah, maka kebijakan pengelolaan irigasi
berubah. Sehubungan dengan itu, diterbitkan regulasi baru PP No. 77 Tahun 2001
tentang irigasi yang dapat digunakan sebagai landasan hukum dalam bidang
penyelenggaraan irigasi. PP No. 77 Tahun 2001 memberikan kewenangan
pengelolaan jaringan irigasi kepada P3A, sehingga pelaksanaan pola
pemberdayaan organisasi P3A berjalan seiring dengan kegiatan rehabilitasi
jaringan irigasi. Pada fase ini pendekatan pelaksanaan “irigasi partisipatif”
atau Participatory Irrigation Management (PIM) diimplementasikan.
Petani/P3A ditempatkan sebagai subyek yang nantinya akan mengelola
jaringan irigasi, sehingga sejak pembentukan/penguatan P3A, kegiatan
pembuatan desain, persiapan konstruksi rehabilitasi, pelaksanaan konstruksi
rehabilitasi, sampai dengan uji coba jaringan irigasi ( trial-run) sampai dengan
pembuatan pedoman OP jaringan irigasi P3A selalu terlibat dan bahkan
memberikan persetujuan. Dengan dasar filosofi bahwa penyerahan kewenangan
pengelolaan irigasi dari pemerintah kepada P3A/GP3A harus berdasarkan
kapasitas P3A yang akan mengelola. Akan tetapi, setelah UU No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber daya Air diundangkan maka PP No. 77 Tahun 2001 tersebut
diubah menjadi PP No. 20 Tahun 2006 tentang Irigasi yang menghilangkan
kebijakan penyerahan kewenangan pengelolaan irigasi menjadi Pengembangan
dan Pengelolaan Sistem irigasi Partisipatif (PPSIP).
72
kegiatan rehab/perbaikan fisik jaringan irigasi yang dilaksanakan oleh kontraktor.
P3A hanya bergerak sesuai dengan arahan/perintah kontraktor. Hal ini
menyebabkan petani/P3A merasa bahwa hak/kewenangannya dalam
mengelola jaringan irigasi dikurangi.
Pada fase kelima atau pasca 2020 merupakan fase baru dengan adanya UU No.
17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Pada UU ini, aspek pengelolaan irigasi
masih belum eksplisit dijelaskan pada pasal-pasal didalamnya. Akan tetapi,
terdapat beberapa pasal tentang kewenangan pengelolaan irigasi yang akan
dilakukan oleh pemerintah daerah. Meskipun begitu belum dijelaskan secara
eksplisit kriteria pengelolaannya. Pada fase ini belum ada lesson learnt
tentang bentuk implementasi pembinaan organisasi petani/P3A.
Sehingga, perlu diantisipasi perlunya aspek pembinaan organisasi petani dalam
pengelolaan irigasi harus dijelaskan secara eksplisit prinsip dari pengelolaan
“irigasi partisipatif” yang menempatkan petani pada subyek pengambil keputusan,
dengan menjalankan prinsi insentif untuk organisasi petani dan pelaksanaan
pembinaan dengan memberikan alokasi fasilitasi biaya OP yang dikelola oleh
organisasi petani sendiri.
Menurut UU No. 19 Tahun 2013 tentang P3A, kegiatan petani juga meliputi
kegiatan untuk menyediakan dan mengelola sarpras pertanian seperti jalan usaha
tani dan pengairan (saluran irigasi). Sehingga, petani wajib memelihara sarpras
pertanian tersebut. Hal ini berarti pemerintah dapat mendorong P3A sebagai core
business yang dapat dikembangkan menjadi unit bisnis sendiri/mandiri. Jika petani
berada di satu kawasan bersama, petani dapat didorong membentuk Koperasi dan
Korporasi, dimana koperasi bisa mengembangkan usaha lain. Pada level
berikutnya koperasi dapat bergabung dengan koperasi lain membentuk korporasi
petani dengan share modal. Jika kelompok tani (P3A) sudah bertransformasi
dalam kegiatan usahatani, petani dapat tetap mengelola bisnis agar kelembagaan
tetap berkelanjutan. Kelembagaan P3A seharusnya didukung dengan adanya
kegiatan pemberdayaan. UU ini juga mengatur kelembagaan petani yaitu Poktan
sebagai asosiasi. Pada pengertiannya, terdapat pula terminologi baru
kelembagaan yaitu kelembagaan ekonomi petani (KEP).
Efektiv itas regulasi pada UU No. 16 Tahun 2000 yaitu mensinergikan tiga (3)
sektor, namun sektor tersebut belum membuat regulasi turunan untuk teknis
pelaksanannya, termasuk aspek kelembagaan. karena bebrapa K/L menerapkan
kebijakan yang berbeda terhadap kelembagaan. Pada tahun 2014, muncul UU No.
23 tentang Pemerintah Daerah yang dan menjadi acuan pelaksanaan
kelembagaan institusi di daerah, sedangkan UU No. 16 Tahun 2006 masih berlaku
dan tidak dijadikan sebagai acuan. Sehingga, undang-undang menjadi tidak
berjalan dan tidak efektif. Kelembagaan di level petani bersifat kasuistik. Jika
irisan Poktan dan P3A sama, penyuluh petani seharusnya melakukan pembinaan
terhadap P3A, namun pada pelaksanannya sangat minim penyuluhan terkait aspek
teknis (irigasi).
Kegiatan pengelolaan irigasi oleh petani masih menjadi unsur projek, dimana
masing-masing kementerian melakukan pemberdayaan dan pelatihan sendiri
dalam bentuk JITUT, JIDES, dan P3TGAI. Sehingga, perlu adanya kejelasan dan
aturan/regulasi yang mendukung pelaksanaan pemberdayaan dan pengelolaan
pertanian beririgasi oleh kelembagaan petani. Tindak lanjut pelaksanaan
sinkronisasi dan konsolidasi yaitu perbaikan di hulu dengan menyusun regulasi
yang kuat dan terarah. Beberapa hal yang perlu dibangun bersama yaitu: 1)
kesepakatan pemerintah dan petani; 2) kebutuhan organisasi yang terorganisir; 3)
konsolidasi kelembagaan tingkat petani (dengan studi yang lebih dalam); 4)
dukungan pemerintah terhadap potensi kelembagaan petani menjadi
kelembagaan yang lebih baik dan kuat; 5) roadmap pemberdayaan dan
pembinaan petani yang lebih tajam.
Salah satu alternatif regulasi yang disarankan untuk diterbitkan yaitu Instruksi
Presiden (Inpres) terkait sinergitas dan sinkronisasi pembentukan dan
pemberdayaan organisasi petani di lahan irigasi. K/L yang terlibat meliputi
Bappenas, Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri,
dan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigras i.
75
Inpres tersebut diharapkan akan memberikan instruksi arahan tentang tugas serta
substansi pembinaan dan pengembangan organisasi petani dalam rangka
pemberdayaan kelembagaan di lahan beririgasi, baik Poktan maupun P3A.
Sehingga, akan dipahami tugas dan tanggung jawab serta capaian yang harus
dilakukan oleh masing-masing K/L. Kementerian PPN/Bappenas dapat menjadi
jembatan untuk mewujudkan tercapainya konsep sinkronisasi kelembagaan
dan kesepakatan bersama yang dapat/tidak dikerjakan oleh pemerintah maupun
kelembagaan petani melalui korporasi petani yang bersifat bottom up.
Dari beberapa poin analisis tersebut maka dapat dirangkum bahwa upaya
memperkuat kelembagaan petani dalam mengelola usahatani dan pelayanan
irigasi perlu adanya konsep pendekatan penguatan kelembagaan petani yang
komprehensif dan integratif dari berbagai perspektif. Selain itu juga harus
terintegrasi dengan konsep modernisasi pertanian dan modernisasi organisasi,
yang bercirikan proses kegiatan yang efisien tetapi tetap berkeadilan, sehingga
diharapkan menhasilkan output berupa terbentuknya organisasi petani yang
mempunyai kekuatan ekonomi-finansial, managemen organisasi yang teratur dan
transparan, untuk mewujudkan kelembagaan petani yang mandiri, mampu
mengurus diri sendiri, dan bertahan dalam menghadapi tantangan yang ada.
Untuk mencapai hal diatas, maka prinsip dasar konsep LEPLI yang mempunyai
semangat untuk mengintegrasikan beberapa organisasi petani yang ada seperti
Poktan/Gapoktan dan P3A/GP3A serta organisasi petani lainnya perlu terus
didorong perwujudannya. Selain itu juga perlu diupayakan terjadinya konsolidasi
majamen usahatani diantara para petani pemilik dan pengelola lahan dan juga
konsolidasi lahan yang terfragmentasi menjadi satu kesatuan entitas usahatani
dalam satu kawasan lahan yang berdasarkan batasan wilayah jaringan pelayanan
76
irigasi. Sehingga, akan memudahkan terwujudnya budidaya pertanian yang efisien
dan memudahkan mekanisasi pertanian dalam skala usaha yang relatif memenuhi
skala ekonomi yang diperlukan agar organisasi petani dapat berkelanjutan.
Konsolidasi lahan ini menggunakan pendekatan sosial dan ekonomi petani dan
meminimalisir risiko dan konflik yang mungkin muncul di masyarakat, sehingga
perlu adanya komunikasi yang baik untuk mengkoordinasikan usahatani dan
pengelolaan irigasi di lahan.
Konsolidasi lahan sendiri sudah diatur di dalam UU No. 19 Tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Pengertian konsolidasi lahan yang
dimaksud dalam konteks perlindungan untuk petani yaitu adanya lahan pertanian
untuk mendukung program ketahanan pangan nasional, dan untuk korporasi yang
bergerak lebih kepada konsolidasi bisnis. Bentuk yang akan didorong dalam level
petani adalah koperasi yang bisa bekerjasama dengan bisnis ( end to end
business) dengan mempertahankan share modal milik petani minimal sebesar
51%.
Selain itu, perlu adanya regulasi tentang pembinaan organisas i petani yang
integratif yang dilaksanakan oleh beberapa K/L dalam pemberdayaan petani. Nilai
tambah yang diperoleh petani dari kegiatan pemberdayaan petani bukan hanya
meningkatkan pendapatan saja, namun juga pengetahuan managemen rantai
pasok dan implementasinya. Managemen yang dapat dikembangkan petani
meliputi: 1) kontrol kualitas produk pertanian; 2) pengiriman produk secara
langsung melalui platform logistik; 3) managemen gudang dan pengepakan
77
produk pertanian; 4) perlakuan produk khusus untuk produk pertanian tertentu
untuk meminimalisir produk terbuang; dan 5) optimalisasi pemanfaatan produk
secara kelompok. Konsep-konsep kelembagaan praktis/riil Poktan dan P3A diatur
dengan regulasi yang bersifat nasional atau lintas K/L. Jika terlalu luas, seluruh
kelembagaan diatur menjadi satu berdasarkan sektor/bidang seperti petani,
pedagang, dan nelayan.
Oleh karena itu, diperlukan upaya lanjutan untuk mendorong dialog melalui FGD
dan/atau konsultasi publik dalam rangka membahas secara lebih nyata perlunya
penerbitan regulasi yang memungkinkan pelaksanaan sinkronisasi dan sinergi
antar petani berupa Instruksi Presiden/Inpres yang mengatur secara integratif
terkait pemberdayaan organisas i petani, sehingga K/L yang mempunyai tugas dan
fungsi tersebut selalu mengacu kepada substansi isi dari Inpres/Perpres tersebut.
78
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
1) Organisasi atau kelembagaan petani diharapkan dapat menjadi payung untuk
memenuhi kebutuhan bagi Poktan dan/atau P3A untuk melakukan sinergitas
usaha atau kegiatan dalam pengembangan pertanian dan pengelolaan irigasi
di jaringan irigasi tersier. Konsep Lembaga Ekonomi Petani di Lahan
Beririgasi (LEPLI) yang pernah dibangun dapat dijadikan sebagai salah satu
alternatif pendekatan/konsep sinkronisasi kelembagaan Poktan dan P3A di
jaringan tersier untuk menerapkan konsep konsolidasi manajemen,
konsolidasi lahan, pembinaan, dan penguatan agribisnis untuk mencapai
kesejahteraan petani. Konsep yang dikembangkan kedepan dapat berupa
KEP maupun korporasi petani (bergabungnya beberapa badan usaha dimana
share milik petani lebih tinggi (min 51% milik petani dan 49% milik pihak
lain) yang mencerminkan keterwakilan Poktan dan P3A. Konsep
kelembagaan petani tidak harus baru, namun ada regulasi yang mengatur
kelembagaan petani di masing-masing institusi terkait sinergi dan konsolidasi
untuk mengatur mekanisme kelembagaan petani yang terintegrasi.
5.2. Rekomendasi
81
Lampiran
Lampiran 1. Simulasi kebutuhan kegiatan dan anggaran P3A untuk menjalankan
fungsi utamanya:
Item Harga
No Kebutuhan Volume Satuan Satuan Sub Total Keterangan
1 Biaya Komunikasi 12 50.000 Rp 600.000
2 Biaya Sosialisasi 4 500.000 Rp 2.000.000 Rapat awal
dan Rapat tahun, Rapat
akhir tahun,
MT 1, MT 2
3 Penyusunan 1 250.000 Rp 250.000
Laporan Tahunan
4 Insentif Pengurus
- Ketua 12 150.000 Rp 1.800.000
- Sekretaris 12 100.000 Rp 1.200.000
- Bendahara 12 100.000 Rp 1.200.000
5 Alat tulis kantor 12 50.000 Rp 600.000
(buku, pulpen, dll)
6 Perjalanan D inas 2 500.000 Rp 1.000.000
ke Kab
7 Perjalanan D inas 12 50.000 Rp 600.000
dalam desa/kec
TOTAL KEBUTUHAN PER TAHUN 9.250.000
RATA-RATA KEBUTUHAN PER BULAN 770.833
82
Lampiran 2. Simulasi peluang kegiatan dan penerimaan yang dapat dimanfaatkan
oleh P3A
Sumber Tahun
No Item Nilai Satuan Keterangan
Data Data
1 Luas Lahan Baku Sawah 7.463.948 ha ATR, 2019
Nasional Kementan,
BIG, BPS,
LAPAN
83